Archive for the ‘Para Imam’ Category

Iman IslamJujur dan Adil

Bukanlah suatu hal yang mengherankan bila seseorang jujur dan adil terhadap sesama kawan. Tetapi bila ada orang yang jujur dan adil terhadap lawan, ini sungguh suatu keluar-biasaan. Justru inilah yang menjadi salah satu sifat istimewa Imam Ali r.a.

Dalam kedudukkannya sebagai Khalifah, pada satu hari Imam Ali r.a. melihat baju besi yang pernah dimilikinya berada di tangan seorang penduduk beragama Nasrani. Karena merasa yakin, bahwa barang itu memang miliknya, untuk mendapatkan kembali secara baik ia mengadu kepada hakim setempat. Dalam sidang khusus untuk menyelesaikan tuntutannya itu, di depan peradilan Imam Ali r.a. mengatakan bahwa baju besi itu benar­benar miliknya. Ia menegaskan: “Belum pernah aku menjual baju besi itu. Sepanjang ingatanku, belum pernah barang itu kuhadiah­kan kepada orang lain.”

Sungguhpun demikian, orang Nasrani yang menjadi tergugat itu tetap bertahan, bahwa baju besi itu miliknya yang sah. Tanpa ragu-ragu ia menjawab: “Baju besi ini milikku sendiri. Aku yakin Amirul Mukminin tidak akan berbuat bohong.”

Mendengar keterangan yang berlawanan itu, hakim menoleh kepada Imam Ali r.a. dan bertanya sekali lagi: “Apakah anda mempunyai keterangan tambahan?”

Beberapa saat lamanya Imam Ali r.a. diam, tidak tahu apa yang harus dikatakan. Namun ia yakin bahwa barang itu me­mang miliknya. Akhirnya pertanyaan hakim itu dijawab sam­bil tersenyum: “Apa yang anda tanyakan itu memang perlu, te­tapi aku tidak mempunyai keterangan tambahan.”

Setelah mengadakan pertimbangan secukupnya, hakim memutuskan bahwa barang yang dipersengketakan itu menjadi milik sah orang Nasrani yang menjadi tergugat dalam perkara itu. Oleh hakim, orang Nasrani yang bersangkutan diperkenankan pu­lang membawa barang tersebut. Dengan wajah berseri-seri mencer­minkan keikhlasan hatinya Imam Ali r.a. melihat orang Nasrani itu beranjak dari tempatnya sambil mengangkat baju besi.

Baru beberapa langkah berjalan, tiba-tiba orang Nasrani itu balik kembali menghampiri Imam Ali r.a. dan hakim yang masih duduk di tempat masing-masing. Kepada Imam Ali r.a. orang Nas­rani itu berkata: “Apa yang kusaksikan mengenai diri anda, be­nar-benar sama seperi hukum yang berlaku bagi para Nabi!” Ke­mudian dengan khidmat ia berkata lebih lanjut: “Sekarang aku bersaksi, bahwa tiada Tuhan selain Allah dan Muhammad Rasul Allah. Ya Amiral Mukminin, memang benarlah baju besi ini ke­punyaan anda. Waktu anda berangkat ke Shiffin dulu, aku meng­ikuti kafilah anda. Baju besi ini jatuh kemudian diambil oleh sa­lah seorang anggota pasukan yang sedang kekurangan bekal.”

Dengan tenang Imam Ali r.a. menjawab pernyataan orang Nasrani yang sudah mengikrarkan syahadat itu: “Karena anda se­karang sudah memeluk agama Islam, barang itu sekarang sudah menjadi kepunyaan anda!”

Percakapan antara dua orang itu disaksikan oleh hakim dan hadirin lainnya. Mereka ramai membicarakan kejadian yang sangat mengesankan itu. Benarlah bahwa hanya orang muslim yang menghayati Islam sepenuhnya sajalah, yang dapat bersikap seperti Imam Ali r.a. Tetapi tak ada orang lain yang lebih terkesan dalam hatinya selain orang Nasrani yang sekarang sudah jadi muslim itu. Kenyataan ini dibuktikan pada hari-hari selanjutnya. Sejarah ke­mudian mencatat, bahwa bekas Nasrani itu ternyata seorang mus­lim yang sangat gigih membela Imam Ali r.a. dalam perjuangan menegakkan kebenaran Islam dan menumpas pemberontakan Khawarij di Nehrawan.

Peristiwa tersebut merupakan petunjuk nyata tentang betapa tingginya tingkat ketaqwaan, kejujuran dan keadilan Imam Ali r.a. Semua ibadah jasmaniah dan rohaniyahnya bukan lagi dirasa sebagai kewajiban yang harus dilaksanakan, melainkan sudah men­jadi kenikmatan dan kebahagiaan hidupnya sehari-hari. Semua yang dilakukan semata-mata berdasarkan dorongan cinta kepada Allah ‘Azza wa Jalla dan kegairahan melaksanakan tauladan hidup yang diberikan oleh putera pamannya, Nabi Muhammad s.a.w.

Dalam hal melaksanakan keadilan, Imam Ali r.a. benar-benar tidak pandang bulu. Yang benar dinyatakan benar, yang salah di­nyatakan salah, tak peduli siapa saja yang dihadapinya. Apakah yang dihadapinya itu orang lain, keluarga sendiri, orang kaya atau miskin, orang yang berkedudukan atau pun tidak. Dalam pan­dangan Imam Ali r.a. sebagai penegak hukum Allah, semua manu­sia adalah hamba Allah yang sama derajat.

Dalam suatu kesempatan, Aqil bin Abi Thalib –kakak Imam Ali r.a.– menceritakan penyaksiannya sendiri tentang keadilan saudara kandungnya itu, sebagai berikut: “Waktu berkunjung ke rumah Imam Ali r.a., Aqil melihat Al Husein r.a. sedang keda­tangan seorang tamu. Ia meminjam uang satu dirham untuk mem­beli beberapa potong roti. Uang itu belum cukup untuk keperluan lauk. Kepada pelayan rumahnya, Qanbar, Al Husein r.a. minta supaya dibukakan kantong kulit berisi madu yang dibawa orang dari Yaman. Qanbar mengambil madu setakar.”

“Waktu Imam Ali r.a. datang dan minta supaya Qanbar meng­ambilkan kantong madu untuk dibagi-bagikan kepada orang-orang yang berhak, ia melihat madu sudah berkurang. Imam Ali r.a. bertanya: ‘Hai Qanbar, kukira sudah terjadi sesuatu dengan wa­dah madu ini!’ Sebagai jawaban Qanbar menjelaskan bahwa ia disuruh Al Husein mengambilkan madu setakar dari wadah itu. Mendengar itu bukan main marahnya Imam Ali r.a.: ‘Panggil Husein!’…”

Waktu Husein tiba di depannya, Imam Ali r.a. segera meng­ambil cambuk, tetapi Al Husein cepat-cepat berkata: “Demi hak pamanku, Ja’far!”

Biasanya bila nama Ja’far disebut-sebut, marah Imam Ali r.a. segera menjadi reda. Kepada Husein, Imam Ali r.a. bertanya: “Apa sebab engkau berani mengambil lebih dulu sebelum dibagi?” Puteranya menjawab: “Kami semua mempunyai hak atas ma­du. Kalau nanti kami menerima bagian, akan kami kembalikan.”

Dengan suara melunak Imam Ali r.a. menasehati putera­nya: “Ayahmu yang akan mengganti! Tetapi walaupun engkau mempunyai hak, engkau tidak boleh mengambil hakmu lebih dulu sebelum orang-orang muslim lain mengambil hak mereka. Seandainya aku tidak pernah melihat sendiri Rasul Allah s.a.w. mencium mulutmu, engkau sudah kusakiti dengan cambuk ini!”

Imam Ali r.a. menyerahkan uang satu dirham dan diselipkan dalam baju Qanbar sambil berkata: “Belikan dengan uang ini ma­du yang baik dan yang sama banyaknya dengan yang telah di­ambil!”

“Demi Allah…, demikian kata Aqil, “…seolah-olah seka­rang ini aku sedang melihat tangan Ali memegang mulut kantong madu itu dan Qanbar sedang menuangkan madu ke dalamnya!”

Aqil sendiri pernah mengalami suatu peristiwa pahit dengan saudaranya itu. Menurut penuturannya: “Waktu itu aku sedang mengalami kesulitan penghidupan yang amat berat. Aku minta bantuan kepadanya (Imam Ali r.a.). Semua anakku kukumpul­kan dan kuajak ke rumahnya. Anak-anakku itu benar-benar sedang menderita kekurangan makan. Waktu tiba di sana Ali ber­kata: ‘Datanglah nanti malam, engkau akan kuberi sesuatu’…”

Malam hari itu aku datang lagi bersama anak-anakku. Mereka menuntunku bergantian.[1] Setibanya di sana anak-anakku disuruh menyingkir. Kepadaku Ali berkata: “Hanya ini saja untuk­mu!”

Aku cepat-cepat mengulurkan tangan karena ingin segera menerima pemberiannya, dan kuduga itu sebuah kantong. Ter­nyata yang kupegang ialah sebatang besi panas yang baru saja di­bakar. Besi itu kulemparkan sambil berteriak meraung seperti lembu dibantai. Ali tenang-tenang saja berkata kepadaku: “Itu baru besi yang dibakar dengan api dunia. Bagaimana kalau kelak aku dan engkau dibelenggu dengan rantai neraka jahanam?!”

Setelah ia membaca ayat 71-72 S. Al Mukmin, Imam Ali r.a. berkata meneruskan: “Dariku engkau tidak akan memperoleh lebih dari hakmu yang sudah ditetapkan Allah bagimu… selain yang sudah kau rasakan sendiri itu! Pulanglah kepada keluarga­mu.”

Memang luar biasa. Muawiyah sendiri ketika mendengar ce­rita tentang peristiwa itu berkomentar: “Terlalu! Terlalu! Kaum wanita akan mandul dan tidak akan melahirkan anak seperti dia!”

Aqil bin Abi Thalib ternyata berusia lebih panjang daripada saudara-saudaranya. Di kalangan orang-orang Qureiys ia terkenal sebagai salah satu di antara empat orang ahli yang dapat dimintai keterangan tentang ilmu silsilah dan sejarah Qureiys. Empat orang itu ialah Aqil bin Abi Thalib, Makramah bin Naufal Azzuhriy, Abul Jaham bin Hudzaifah Al Adwiy, dan Huwairits bin Abdul Uzza Al Amiriy Aqil sanggup memberi keterangan terperinci mengenai soal-soal silsilah dan sejarah Qureiys. Selain itu ia pun seorang periang dan mudah tertawa keras.

Ibnul Atsir meriwayatkan pengalaman Aqil yang lain dengan Imam Ali r.a. Pada suatu hari Aqil datang kepada Imam Ali r.a. untuk meminta sesuatu. Kepada Imam Ali r.a. ia berkata: “Aku ini orang butuh, orang miskin… berilah pertolongan kepadaku.”

“Sabarlah dan tunggu sampai tiba waktunya pembagian ber­sama kaum muslimin lainnya,” jawab Imam Ali r.a.: “Engkau pasti kuberi.”

Aqil tidak puas dengan jawaban itu. Ia mendesak terus dan merajuk. Akhirnya Imam Ali r.a. memerintahkan seorang: “Ba­walah dia pergi ke toko-toko di pasar. Katakan kepadanya supaya mendobrak pintu toko-toko itu dan mengambil barang-ba­rang yang ada di dalamnya!”

Mendengar perintah Imam Ali r.a. yang seperti itu, Aqil menyahut: “Apakah engkau ingin aku menjadi pencuri?”

“Dan engkau, apakah ingin supaya aku mencuri milik kaum muslimin dan memberikannya kepadamu?” jawab Imam Ali r.a.

“Kalau begitu aku mau datang kepada Muawiyah,” kata Aqil dengan nada mengancam.

“Terserah,” jawab Imam Ali r.a. dengan kontan.

Aqil lalu pergi ke Syam untuk meminta bantuan kepada Muawiyah. Oleh Muawiyah ia diberi uang sebesar 100.000 dirham, dengan syarat Aqil harus bersedia naik ke atas mimbar dan ber­bicara dengan orang banyak tentang apa yang telah diberikan oleh Imam Ali kepadanya dan tentang apa yang telah diberikan Muawi­yah. Dari atas mimbar Aqil berkata dengan lantang: “Hai kaum muslimin, kuberitahukan kepada kalian, bahwa aku telah memin­ta kepada Ali supaya memilih: ‘aku atau agamanya’. Ternyata ia lebih suka memilih agamanya. Kepada Muawiyah aku pun minta seperti itu. Ternyata ia lebih suka memilih aku daripada agama­nya!”

Tentang kejujuran dan keadilan Imam Ali r.a. orang tidak se­gan-segan mengatakan terus terang, sekalipun di depan Muawi­yah. Beberapa waktu setelah Imam Ali r.a. wafat, Muawiyah ber­tanya kepada Khalid bin Muhammad: “Apakah sebab anda lebih menyukai Ali daripada kami?”

“Disebabkan oleh tiga hal,” jawab Khalid bin Muhammad dengan terus terang. “Ia sanggup menahan sabar bila sedang ma­rah. Jika berbicara ia selalu berkata benar. Dan jika menetapkan hukum ia selalu adil.” Demikian diriwayatkan oleh Ibnu Hajar dalam bukunya Ash Shawa’iqul Muhriqah.”

Al Haitsamiy dalam bukunya Majma, jilid IX, halaman 158 menyajikan sebuah riwayat yang berasal dari Rab’iy bin Hurasy sebagai berikut: Pada suatu hari Muawiyah dikerumuni oleh pe­muka-pemuka Qureiys, termasuk Sa’id bin Al Ash, yang waktu

itu duduk di sebelah kanannya. Tak lama kemudian datanglah ibnu Abbas. Ketika melihat Ibnu Abbas masuk, Muawiyah ber­kata kepada Sa’id: “demi Allah, aku akan mengajukan pertanyaan-­pertanyaan kepada Ibnu Abbas yang kira-kira ia tidak akan mam­pu menjawabnya.”

Menanggapi keinginan Muawiyah itu, Sa’id mengingatkan: “Hai Muawiyah, orang seperti Ibnu Abbas tak mungkin tidak mampu menjawab pertanyaan-pertanyaanmu.”

Setelah Ibnu Abbas duduk, Muawiyah bertanya: “Apakah kiranya yang dapat kaukatakan tentang Ali bin Abi Thalib?”

Dengan serta merta Ibnu Abbas menjawab: “Abul Hasan rahimahullah adalah panji hidayat; sumber taqwa; tempat kecer­dasan berfikir; puncak ketinggian akal; cahaya keutamaan manu­siawi di tengah kegelapan; orang yang mengajak manusia ke jalan lurus; mengetahui isi Kitab-kitab suci terdahulu; sanggup menaf­sirkan dan mentakwilkan dengan berpegang teguh pada hida­yat; menjauhkan diri dari perbuatan dzalim yang menyakiti hati orang; menghindari jalan yang sesat; seorang mukmin dan ber­takwa yang terbaik; orang yang paling sempurna menunaikan iba­dah haji dan ibadah-ibadah lainnya; orang yang paling mempunyai tenggang-rasa serta memperlakukan semua orang secara adil dan sama, orang yang paling pandai berkhutbah di dunia ini…” dan seterusnya sampai kepada kata-kata: “…seorang suami dari wa­nita yang paling mulia, dan seorang ayah dari dua cucu Rasul Allah s.a.w.”

Seterusnya Ibnu Abbas mengatakan: “Mataku belum pernah melihat ada orang seperti dia dan tidak akan pernah melihatnya sampai hari kiyamat. Barang siapa mengutuk dia, orang itu akan dikutuk selama-lamanya oleh Allah dan oleh seluruh ummat ma­nusia sampai hari kiyamat.”

Mendengar keterangan itu, tentu saja Muawiyah menjadi beringas, tetapi ia dapat menguasai diri di depan seorang ilmuwan seperti Ibnu Abbas. Harun bin Antarah menceritakan penyaksian ayahnya dengan mengatakan: “Pada suatu hari aku datang ke rumah Imam Ali. Ia sedang duduk di balai-balai berselimut kain kumal. Waktu itu musim dingin. Kukatakan kepadanya: “Ya Amiral Mukminin, Allah telah memberi hak kepada anda dan kepada keluarga anda untuk menerima sebagian dari harta Baitul Mal. Mengapa anda ber­buat seperti itu terhadap diri anda sendiri?”

“Demi Allah,” sahut Imam Ali r.a., “Aku tidak mau mengu­rangi hak kalian walau sedikit. Ini adalah selimut yang kubawa sewaktu keluar meninggalkan Madinah.”

‘Ashim bin Ziyad pernah bertanya kepada Imam Ali r.a.: “Ya Amiral Mukminin, pakaian anda itu terlalu kasar dan makan­an anda pun terlampau buruk! Mengapa anda berbuat seperti itu?”

“Celaka benar engkau itu,” jawab Imam Ali r.a. “Allah s.w.t. mewajibkan para pemimpin supaya menempatkan dirinya masing-masing di bawah ukuran orang lain, agar tidak sampai memperkosa penderitaan si miskin.”

Suwaid bin Ghaflah juga menyaksikan cara hidup Imam Ali r.a. Ia menceritakan penyaksiannya sendiri: “Pada suatu hari aku datang ke rumah Imam Ali. Di dalamnya tidak terdapat perkakas apapun selain selembar tikar yang sudah koyak. Ia sedang duduk di tempat itu. Aku segera bertanya setengah mengingatkan: ‘Ya Amiral Mukminin, mengapa rumah anda seperti ini? Anda adalah seorang penguasa kaum muslimin, yang memerintah mereka dan yang menguasai Baitul Mal. Banyak utusan datang menghadap anda, sedang di rumah anda ini tidak ada perkakas selain tikar’…”

“Ya Suwaid,” jawab Imam Ali r.a., “dalam rumah yang ber­sifat sementara ini tidak perlu ada perkakas, sebab di depan kita ada rumah yang kekal. Semua perkakas sudah kami pindahkan ke sana, dan tak lama lagi kami akan kembali ke sana.”

Harun bin Sa’id juga menceritakan penyaksiannya, bahwa pada suatu hari Abdullah bin Ja’far bin Abi Thalib datang kepada Imam Ali untuk meminta pertolongan. Abdullah berkata: “Ya Amiral Mukminin, suruhlah orang mengambilkan uang dari Baitul Mal bekal belanja untukku. Demi Allah, aku tidak mem­punyai uang sama sekali selain harus menjual ternakku.”

“Tidak,” jawab Imam Ali r.a., “demi Allah, aku tidak dapat memberi apa-apa kepadamu, kecuali jika engkau menyuruh pa­manmu mencuri agar bisa memberi apa yang kau minta.”

Imam Ali r.a. memperlakukan semua sanak keluarganya de­ngan perlakuan sama seperti terhadap orang lain. Ia tidak meng­istimewakan mereka dengan pemberian apa pun juga, dan tidak pula memberikan fasilitas khusus betapa pun kecilnya. Olehnya, semua sanak keluarga dilatih dan dipersiapkan mentalnya supaya membiasakan diri berakhlaq seperti dirinya. Bahkan kadang-ka­dang ia mengambil sikap keras dalam membiasakan mereka hidup menurut cara-cara yang diajarkan.

Muslim bin Shahib Al Hanna meriwayatkan, bahwa seusai perang “Jamal” Imam Ali r.a. pergi ke Kufah. Di sana ia ma­suk ke dalam Baitul Mal sambil berkata: “Hai dunia, rayulah orang selain aku!” Ia lalu membagi-bagikan semua yang ada di dalamnya kepada orang banyak. Waktu itu datang anak perem­puan Al Hasan atau Al Husein r.a. lalu turut mengambil sesuatu dari Baitul Mal. Melihat itu Imam Ali mengikuti cucunya dari belakang, kemudian genggaman anak perempuan itu dibuka dan diambillah barang yang sedang dipegang. Kami katakan kepada­nya: “Ya Amiral Mukminin, biarlah! Dia mempunyai hak atas barang itu!” Ternyata Imam Ali menjawab: “Jika ayahnya sendiri yang mengambil hak itu, barulah ia boleh memberikan kepada anak ini sesuka hatinya!”

Sejak sebelum memangku jabatan Khalifah, Imam Ali pada prinsipnya memang tidak suka melihat banyak kekayaan kaum muslimin tertimbun dalam Baitul Mal. Salah sebuah catatan se­jarah yang ditulis oleh Abu Ja’far At Thabariy mengatakan, bahwa dalam suatu musyawarah Khalifah Umar Ibnul Khattab r.a. me­minta pertimbangan tentang bagaimana sebaiknya yang perlu dilakukan terhadap harta benda yang ada di dalam Baitul Mal. Dalam musyawarah itu Imam Ali r.a. mengemukakan pendapat­nya: “Sebaiknya harta yang sudah terkumpul itu dibagikan saja tiap tahun dan tidak usah disisakan sedikitpun.”

Kejujuran dan keadilan seorang yang hidup zuhud, taqwa dan tekun beribadah seperti Imam Ali r.a. itu memang sukar se­kali dijajagi. Keistimewaan hukum yang berlaku pada masa peme­rintahannya ialah persamaan hak dan kewajiban bagi semua orang. Kebijaksanaannya tidak berat sebelah kepada fihak yang kuat dan tidak merugikan fihak yang lemah.

Tanah-tanah garapan yang pada masa pemerintahan sebelum­nya dibagi-bagikan kepada sanak famili dan orang-orang terke­muka yang dekat dengan para penguasa Bani Umayyah, dicabut dan dikembalikan kepada status semula sebagai milik umum kaum muslimin. Setelah itu barulah dibagi-bagikan lagi kepada orang-­orang yang berhak berdasarkan prinsip persamaan.[2]

Mengenai kekayaan milik umum kaum muslimin, Imam Ali r.a. sendiri dengan tegas menyatakan kebijaksanaannya: “Demi Allah, seandainya ada sebagian dari kekayaan itu yang sudah di­pergunakan orang untuk beaya pernikahan atau untuk membeli hamba sahaya perempuan, pasti aku tuntut pengembaliannya!” Dijelaskan pula olehnya: “Sesungguhnya keadilan itu sudah me­rupakan kesejahteraan. Maka barang siapa masih merasakan ke­sempitan di dalam suasana adil, ia pasti akan merasa lebih sempit lagi dalam suasana dzalim.”

Di antara beberapa pesan yang diamanatkannya kepada para penguasa daerah ialah: “Berlakulah adil terhadap semua orang. Sabarlah dalam menghadapi orang-orang yang hidup kekurangan, sebab mereka itu sesungguhnya adalah juru bicara rakyat. Jangan­lah kalian menahan-nahan kebutuhan seseorang dan jangan pula sampai menunda-nunda permintaannya. Untuk keperluan me­lunasi pajak janganlah sampai ada orang yang terpaksa menjual ternak atau hamba sahaya yang diperlukan sebagai pembantu da­lam pekerjaan. Janganlah sekali-kali kalian mencambuk seseorang hanya karena dirham!”

Salah satu dari pesan-pesan khusus yang ditujukan kepada para petugas pemungut pajak, zakat dan lain-lainnya, ialah : “Da­tangilah mereka dengan tenang dan sopan. Jika engkau sudah ber­hadapan dengan mereka, ucapkanlah salam. Hormatilah mereka itu dan katakanlah: ‘Hai para hamba Allah, penguasa Allah dan Khalifah-Nya mengutus aku datang kepada kalian untuk mengambil hak Allah yang ada pada kekayaan kalian. Apakah ada bagian yang menjadi hak Allah itu dalam harta kekayaan kalian? Jika ada, hen­daknya hak Allah itu kalian tunaikan kepada Khalifah-Nya’…”

“Jika orang yang bersangkutan menjawab ‘tidak’, jangan­lah kalian ulangi lagi. Tetapi jika orang itu menjawab ‘ya’, pergi­lah engkau bersama-sama untuk memungut hak Allah itu. Jangan­lah kalian menakut-nakuti dia, janganlah mengancam-ancam dia, dan jangan pula membentak atau bersikap kasar. Ambillah apa yang diserahkan olehnya kepada kalian, emas atau pun perak. Jika orang yang bersangkutan mempunyai ternak berupa unta atau lainnya, janganlah kalian masuk untuk memeriksa tanpa se­izin dia, walaupun orang itu benar-benar mempunyai banyak ter­nak. Jika orang itu memberi izin kepada kalian untuk memeriksa­nya, janganlah kalian masuk dengan lagak seperti orang yang ber­kuasa. Jangan berlaku kasar, jangan menakut-nakuti dan jangan sekali-kali menghardik binatang-binatang itu. Jangan kalian ber­buat sesuatu yang akan menyusahkan pemiliknya.”

“Kemudian apabila harta kekayaan diperlihatkan kepada kalian, persilakan pemiliknya memilih dan menentukan sendiri mana yang menjadi hak Allah. Jika ia sudah menentukan pilih­annya, janganlah kalian menghalang-halangi dia mengambil bagian yang menjadi haknya. Hendaknya kalian tetap bersikap seperti itu, sampai orang yang bersangkutan menetapkan mana yang menjadi hak Allah yang akan ditunaikan. Tetapi ingat, jika kalian diminta supaya meninggalkan orang itu, tinggalkanlah dia!”

Begitu jelasnya Imam Ali r.a. mengemukakan pesan dan ama­natnya secara terperinci agar jangan sampai terjadi penyalah­gunaan dan perkosaan terhadap kaum muslimin dan rakyatnya.

Sedemikian tingginya rasa keadilan yang menghiasi kehidup­an Imam Ali r.a., sampai pernah terjadi, bahwa pada waktu ia me­nerima setoran pajak dari penduduk Isfahan, ditemukan sepotong roti kering terselip dalam wadah. Roti itu oleh Imam Ali r.a. dipo­tong-potong menjadi tujuh keping, sama seperti uang setoran itu juga yang dibagi menjadi tujuh bagian. Pada tiap bagian dari uang itu ditaruh sekeping roti kering.

[1]Waktu terjadinya peristiwa yang diceritakan itu, Aqil sudah hilang penglihatannya karena usia lanjut.

[2]Kitab Ahlul-Bait hal. 221 – 223.

https://tausyah.wordpress.com

Islam SejatiSikap hidup Imam Ali

Sikap dan cara hidup Imam Ali r.a. benar-benar telah ma­nunggal dengan kezuhudan dan ketinggian tingkat taqwanya kepa­da Allah s.w.t. Pernah terjadi, ada seorang telah melakukan suatu kesalahan. Untuk menutupi kesalahannya, ia menyanjung-nyan­jung Imam Ali r.a. Sebagai orang yang sudah tahu duduk persoal­annya, Imam Ali r.a. menjawab: “Aku ini sebenarnya tidak setinggi seperti yang kaukatakan itu, tetapi aku ini sebenarnya memang lebih tinggi daripada apa yang ada pada dirimu.”

Perkataan itu diucapkannya dengan wajar, di samping me­nunjukkan bahwa ia tidak mabok sanjung-puji, sekaligus pula mengeritik orang yang bersangkutan, bahwa perbuatan buruk berakibat memerosotkan martabat.

Lain contoh lagi tentang kesederhanaan sikapnya. Dalam satu peperangan, lawan-lawan yang dihadapinya semua berseragam tem­pur, lengkap dengan baju dan topi besi. Tidak dimilikinya seragam tempur seperti itu, tidak membuat Imam Ali r.a. malu dan gentar. Ia terjun ke kancah pertempuran tanpa mengenakan baju besi atau topi pelindung. Sikap Imam Ali r.a. yang seperti itu mencer­minkan kewajaran dan kesederhanaannya, walau dalam keadaan menghadapi bahaya menantang. Prinsip kesederhanaan yang tidak dibuat-buat itulah yang melahirkan sikap polos, jujur dan terus terang, baik dalam ucapan maupun perbuatan, dalam keadaan sulit atau pun tidak.

Kepolosan dan kewajaran dalam menghadapi lawan seperti di atas tadi, sering disalah-artikan atau disalah-gunakan orang untuk mengecap Imam Ali r.a. sebagai orang yang sombong dan sok. Be­narlah apa yang pernah dikatakan salah seorang sahabatnya: “Ali bin Abi Thalib r.a. adalah orang yang mengenal perang hanya de­ngan modal keberanian. Ia tidak kenal bagaimana dalam pepe­rangan orang harus mendaya-gunakan tipu-muslihat.

Benarnya ucapan itu tampak jelas pada kata-kata Imam Ali r.a. sendiri, yang dengan gamblang menegaskan: “Bukti keberani­an ialah engkau harus mengutamakan kejujuran dan bukannya ke­bohongan, walau kejujuran itu akan mengakibatkan kerugian, dan kebohongan akan mengakibatkan keberuntungan. Dalam berbi­cara dengan orang lain hendaknya engkau tetap selalu taqwa dan patuh kepada Allah s.w.t.”

Dibanding dengan Khalifah-khalifah sebelumnya, memang tak ada seorang pun yang sedemikian zuhudnya dalam meng­hindari nikmatnya kekuasaan dan kekayaan atau kesenangan-­kesenangan duniawi lainnya. Ia makan roti yang terigunya ber­asal dari cucuran keringat isterinya sendiri, Sitti Fatimah r.a.

Tiap kali isterinya selesai menumbuk gandum, ia sendirilah yang turun tangan menggaruki ujung antan (alu) dengan jari je­marinya guna mengumpulkan sisa-sisa tepung yang melekat. Sam­bil mengerjakan hal itu Imam Ali r.a. berkata kepada isterinya: “Aku tak ingin perutku ini dimasuki sesuatu yang aku tak tahu dari mana asalnya…”

Bagaimana lugu dan cara hidupnya yang berada di bawah tingkat sederhana itu diungkapkan oleh Uqbah bin Alqamah, yang mengisahkan pengalaman sendiri, sebagai berikut: “Pada satu hari aku berkunjung ke rumah Ali bin Abi Thalib r.a. Kulihat ia sedang memegang sebuah mangkuk berisi susu yang sudah berbau asam. Bau sengak susu itu sangat menusuk hidungku. Kutanyakan ke­padanya: “Ya Amiral Mukminin, mengapa anda sampai makan seperti itu?”

“Hai Abal Janub,” jawabnya, “Rasul Allah s.a.w. dulu mi­num susu yang jauh lebih basi dibanding dengan susu ini. Beliau juga mengenakan pakaian yang jauh lebih kasar daripada bajuku ini (sambil menunjuk kepada baju yang sedang dipakainya). Kalau aku sampai tidak dapat melakukan apa yang sudah dilakukan oleh beliau, aku khawatir tak akan dapat berjumpa dengan beliau di hari kiyamat nanti.”

Imam Ali r.a. sebagai seorang shaleh, zuhud, tahan menderita dan sanggup membebaskan diri dari kesenangan duniawi, belum pernah makan sampai merasa kenyang. Makanannya bermutu sa­ngat rendah dan pakaiannya pun hampir tak ada harganya. Abdul­lah bin Rafi’ menceritakan penyaksiannya sendiri sebagai berikut: “Pada suatu hari raya aku datang ke rumah Imam Ali r.a. Ia se­dang memegang sebuah kantong tertutup rapat berisi roti yang sudah kering dari remuk. Kulihat roti itu dimakannya. Aku ber­tanya keheran-heranan: “Ya Amiral Mukminin, bagaimana roti seperti itu sampai anda simpan rapat-rapat?”

“Aku khawatir,” sahut Imam Ali r.a., “kalau sampai dua orang anakku itu mengolesinya dengan samin atau minyak makan.”

Tidak jarang pula Imam Ali r.a. memakai baju robek yang ditambalnya sendiri. Kadang-kadang ia memakai baju katun ber­warna putih, tebal dan kasar. Jika ada bagian baju yang ukuran panjangnya lebih dari semestinya, ia potong sendiri dengan pisau dan tidak perlu dijahit lagi.

Bila makan bersama orang lain, ia tetap menahan tangan, sampai daging yang ada di hadapannya habis dimakan orang. Bila makan seorang diri dengan lauk, maka lauknya tidak lain hanyalah cuka dan garam. Selebihnya dari itu ia hanya makan seje­nis tumbuh-tumbuhan. Makan yang lebih baik dari itu ialah de­ngan sedikit susu unta. Ia tidak makan daging kecuali sedikit saja. Kepada orang lain ia sering berkata: “Janganlah perut kalian dijadikan kuburan hewan!”

Sungguh pun tingkat penghidupannya serendah itu, Imam Ali r.a. mempunyai kekuatan jasmani yang luar biasa. Lapar seolah-olah tidak mengurangi kekuatan tenaganya. Ia benar-be­nar bercerai dengan kenikmatan duniawi. Padahal jika ia mau, kekayaan bisa mengalir kepadanya dari berbagai pelosok wilayah Islam, kecuali Syam. Semuanya itu dihindarinya dan sama seka­li tidak menggiurkan seleranya.

Ibadah

Imam Ali r.a. merupakan orang yang paling tekun dan ba­nyak beribadah. Ia pun paling sering berpuasa. Kepadanya banyak orang yang minta petunjuk tentang cara-cara yang terbaik dalam menunaikan sembahyang malam, berwirid, berzikir dan beribadah lainnya. Bila sedang menghadap ke hadhirat Allah ‘Azaa wa Jalla, Imam Ali r.a. sedemikian khusyu’ dan khidmatnya, tak ada sesuatu yang dapat menggoyahkan kebulatan fikiran dan perasaannya.

Dalam situasi sedang berkobarnya pertempuran di Shiffin, habis menunaikan shalat, Imam Ali r.a. tekun berwirid, tidak ter­pengaruh oleh hiruk-pikuk orang yang sedang mengadu tenaga dan senjata. Di malam yang sangat mengerikan itu, Imam Ali r.a. ber­sembah sujud di hadapan Allah s.w.t., padahal tidak sedikit anak ­panah yang beterbangan di kanan-kirinya dan ada pula yang ber­jatuhan di depannya. Ia tidak gentar sedikit pun dan tidak.bangun meninggalkan tempat ibadah sebelum menyelesaikannya dengan tuntas. Demikian banyaknya ia bersembah sujud setiap hari, siang dan malam, sampai kulit keningnya menebal dan keras kehitam-­hitaman.

Ia selalu bermunajat kepada Allah dan mengagungkan-Nya, menyatakan ketundukan dan penyerahan hidup-matinya kepa­da Allah. Dengan patuh ia melaksanakan semua perintah dan menghindari larangan-Nya. Semuanya itu dilakukan dengan se­penuh hati, jujur dan ikhlas. Hatinya, perbuatannya dan ucap­annya sedemikian utuhnya menjadi satu perpaduan yang tak kenal garis pemisah.

Konon Ali bin Al Husein r.a. –cucu Imam Ali r.a.– pernah ditanya orang tentang “bagaimana perbandingan antara ibadah yang anda lakukan dengan ibadah yang dilakukan datuk anda?”

Ali bin Al Husein r.a. yang terkenal sebagai orang shaleh dan tekun beribadah itu menjawab: “Perbandingan antara ibadahku dengan ibadah datukku, sama seperti perbandingan antara ibadah datukku dengan ibadah Rasul Allah s.a.w.”

Tentang ibadah Imam Ali r.a. ini, ‘Urwah bin Zubair menge­mukakan sebuah riwayat yang berasal dari Abu Darda sebagai berikut:

Pada suatu hari aku menyaksikan Ali bin Abi Thalib r.a. berada di halaman rumah seorang yang penuh dengan pepohonan. Ia mengasingkan diri dari orang lain dan bersembunyi di sela-se­la batang kurma yang sangat lebat: “Aku mencari-cari dia sampai agak jauh. Kukira pasti ia sudah berada di rumahnya lagi. Tiba­tiba aku mendengar

suara ratap sedih: ‘Ya Allah, Tuhanku, beta­pa banyaknya dosa yang karena kebijaksanaan-Mu tidak Engkau balas dengan murka-Mu. Betapa pula banyaknya dosa yang karena kemurahan-Mu tidak Engkau gugat. Ya Allah, Tuhanku, bila sepanjang umur aku berbuat dosa kepada-Mu dan sangat banyak do­saku tercatat dalam shuhuf, maka aku tidak mengharap sesuatu selain pengampunan-Mu dan aku tidak mendambakan sesuatu kecuali keridhnan-Mu’…”

“Suara ratap sedih itu sangat menarik perhatianku. Jejaknya kutelusuri. Ternyata suara itu adalah suara Ali bin Abi Thalib r.a. Aku lalu bersembunyi dan menunduk agar jangan sampai diketahui olehnya. Kulihat ia sedang berruku’ beberapa kali di te­ngah kegelapan malam. Kemudian ia berdoa sambil menangis dan mengeluh sedih ke hadhirat Allah s.w.t. Di antara munajat yang diucapkannya ialah: “Ya Allah, Tuhanku, tiap kurenungkan ke­ampunan-Mu, terasa ringanlah kesalahanku. Dan tiap kuingat murka-Mu yang dahsyat, terasa sangat besarlah dosa kesalahan­ku.”

Kata Abu Darda lebih lanjut: “Ia lalu tenggelam di dalam tangis. Makin lama suaranya tidak kudengar lagi. Kufikir mungkin ia tertidur nyenyak karena terlalu banyak bergadang. Dini hari ia hendak kubangunkan untuk shalat subuh. Ia kudekati, ternyata ia tergeletak seperti sebatang kayu. Ia kugerak-gerakkan dan ku­balik-balik, tetapi sama sekali tidak berkutik. Kuduga ia wafat. Lalu aku mengucap: Innaa lillahi wa innaa ilaihi raaji’uun. Aku cepat-cepat lari ke rumahnya untuk memberi tahu keluarganya.”

Setelah mendengar keteranganku, Sitti Fatimah r.a. hanya bertanya: “Hai Abu Darda, dia kenapa dan bagaimana keadaan­nya?”

Sesudah kujelaskan keadaan Imam Ali r.a., Sitti Fatiinah r.a. memberitahu kepadaku, bahwa “…dia sedang pingsan, ka­rena sangat takut kepada Allah!”

Keluarganya lantas mendatangi Imam Ali r.a. dengan memba­wa air, kemudian mengusap-usapkan pada wajahnya. Tak lama setelah itu ia siuman dan sadarkan diri kembali. Ia memandang ke­padaku dan aku menangis. Ia bertanya: “Hai Abu Darda, mengapa engkau menangis?”

“Karena melihat sesuatu yang menimpa dirimu,” jawabku.

“Hai Abu Darda,” ujar Imam Ali r.a. lebih lanjut, “bagai­manakah kiranya kalau engkau melihat aku dipanggil untuk meng­hadapi perhitungan (hisab), melihat sendiri orang-orang yang ber­buat dosa sedang menderita siksa adzab, melihat aku dikelilingi sejumlah Malaikat yang bengis dan keras di hadapan Allah Maha Perkasa, sedang para pencintaku sudah tiada lagi dan para ahli dunia pun sudah meninggalkan diriku. Seandainya engkau melihat itu semua, engkau pasti akan lebih mengasihi diriku di hadapan Allah Yang Maha Mengetahui segala sesuatu betapa pun kecilnya.”

“Aku tidak pernah melihat hal itu terjadi pada sahabat Rasul Allah s.a.w. yang lain…,” sahut Abu Darda.

Itulah keistimewaan Imam Ali r.a. dalam menghadapkan diri kepada Allah s.w.t. dengan kekhusyu’an seluruh jiwa-raganya. Suatu hal yang sudah biasa disaksikan sendiri oleh semua Ahlul ­Bait. Mereka tidak terkejut ketika diberitahu oleh Abu Darda ten­tang keadaan Imam Ali r.a. Bahkan Sitti Fatimah r.a. mencerita­kan, bahwa apa yang disaksikan oleh Abu Darda itu sudah biasa dialami oleh Imam Ali r.a. tiap saat menghadapkan diri kepada Allah s.w.t. di tengah malam.

Mengenai banyaknya ibadah yang dilakukan Imam Ali r.a. di waktu malam, Nauf Al Bikally menceritakan penyaksiannya sebagai berikut:

“Pada satu hari aku menginap di rumah Imam Ali r.a. Sepan­jang malam ia bersembahyang. Sebentar-sebentar ia keluar, meng­arahkan pandangan ke langit, dan membaca Al-Qur’an. Di malam yang sunyi senyap itu ia bertanya kepadaku: ‘Hai Nauf, engkau tidur ataukah melek?’…”

“Aku melek dan melihatmu dengan mataku, ya Amiral Mukminin,” jawabku.

“Hai Nauf,” ujar Imam Ali r.a. meneruskan, “bahagialah orang yang hidup zuhud di dunia, orang-orang yang merindukan akhirat. Mereka itulah orang-orang yang menjadikan bumi ini sebagai hamparan, menjadikan pasirnya sebagai kasur, menjadi­kan airnya sebagai nikmat, menjadikan doa sebagai syi’ar, men­jadikan Al-Qur’an sebagai selimut, dan meninggalkan dunia ini dengan cara seperti Isa bin Maryam as.!”

Selama hidupnya Imam Ali r.a. tidak pernah putus sembah­yang malam. Tentang hal ini, Abu Ya’laa meriwayatkan, bahwa Imam Ali r.a. pernah menegaskan: “Aku tidak pernah meninggal­kan shalat malam semenjak kudengar Rasul Allah s.a.w. menga­takan, bahwa shalat malam itu adalah cahaya.”

Berdasarkan keterangan yang diterima dari ibunya, Sulaiman bin Al-Mughirah mengatakan: “Bulan Ramadhan atau pun Syawal, bagi Imam Ali r.a. adalah sama saja. Tiap malam ia bergadang un­tuk beribadah.”

Begitu agungnya kedudukkan Allah ‘Azza wa Jalla dalam jiwa Imam Ali r.a. Ia beribadah karena dorongan rasa cinta dan rin­du kepada-Nya. Ia menyadari sepenuhnya bahwa Allah sajalah yang berhak disembah. Ia bersembah sujud semata-mata hanya karena merasa keterikatan hidupnya dengan Allah. Ia hidup ber­tauladan kepada Mahagurunya, yaitu Rasul Allah s.a.w.

Suatu ibadah yang lebih besar artinya daripada hanya seke­dar berdasar keyakinan, dan lebih mulia daripada hanya sekedar dorongan iman! Dengan ucapannya yang abadi, ia pernah mene­gaskan: “Orang-orang yang beribadah kepada Allah karena pamrih, sama seperti ibadahnya kaum pedagang. Orang-orang yang ber­ibadah karna takut, sama seperti ibadahnya seorang budak. Orang yang beribadah karena syukur, itulah ibadahnya manusia mer­deka!”

Di samping Imam Ali r.a. sendiri selalu menjaga baik-baik kewajiban shalat, ia pun terus-menerus mengingatkan para peng­ikutnya supaya selalu menunaikan shalat tepat pada waktunya. Shalat itu ibarat sebuah pisau yang dapat mengupas daki dan ko­toran manusia. Hanya shalatlah yang dapat membersihkannya sama sekali. Oleh Rasul Allah s.a.w. shalat diibaratkan sebagai ma­ta air panas yang tersedia di depan pintu rumah tiap muslim. Bila tiap sehari semalam seorang muslim mandi dengan air panas itu lima kali, kotoran apakah yang tidak terbuang dari badannya?!

Sekalipun Rasul Allah s.a.w. telah menjanjikan nikmat ke­pada Imam Ali r.a., namun kewajiban shalat tetap dijaga kuat-­kuat olehnya, sesuai dengan perintah Allah s.w.t. dalam firman-Nya yang berarti: “Perintahkanlah keluargamu bersembahyang dan hendaknya bersabar dalam menunaikannya…” (S. Thaha: 132).

Tidaklah aneh kalau orang Zahid seperti Imam Ali r.a. itu pantang diperlakukan lebih daripada orang lain. Walau ia seorang anggota Ahlu Bait Rasul Allah s.a.w. dan seorang ilmuwan, namun tidak menyukai perlakuan istimewa.

Diriwayatkan, bahwa pada suatu hari ada orang mengadukan Imam Ali r.a. kepada Khalifah Umar Ibnul Khattab r.a. tentang suatu perkara. Waktu itu Imam Ali r.a. sudah siap dan duduk. Tak lama kemudian Khalifah Umar r.a. menoleh kepadanya sam­bil berkata: “Bangunlah, ya Abal Hasan, duduklah bersama lawan perkara anda!”

Imam Ali r.a. bangun, lalu duduk berhadapan dengan orang yang mengadukannya. Setelah perkaranya selesai, orang yang mengadu pergi meninggalkan tempat, Imam Ali r.a. pindah duduk di tempat semula. Ketika itu Khalifah Umar r.a. melihat wajah Imam Ali r.a. berubah, lalu bertanya: “Ya Abal Hasan, mengapa kulihat wajah anda berubah? Apakah anda tidak senang terhadap apa yang baru terjadi?”

“Ya, benar!” jawab Imam Ali r.a. “Sebab anda memanggil­ku dengan nama kehormatan di depan lawan perkara!”

Mendengar jawaban Imam Ali r.a. yang seperti itu, Khalifah Umar r.a. dengan rasa terharu merangkulnya seraya berkata: “Ya Allah, kalian itu…! Dengan kalian (Ahlul Bait) Allah mem­beri hidayat kepada kami, dan dengan kalian pula Allah menge­luarkan kami dari kegelapan ke cahaya terang…!”

Kezuhudannya, kesederhanaannya, keshalihannya serta ke­taqwaannya kepada Allah s.w.t. tidak membuat Imam Ali r.a. menjadi orang yang berwajah angker. Ia seorang yang anggun, bermuka cerah dan ramah. Bahkan tidak jarang ia bergurau untuk menyenangkan hati orang lain. Ia tidak pernah tampak angkuh, memberengut dan suram.

Sifat Imam Ali r.a. yang ramah, terbuka dan jika perlu dapat bergurau, sering dilebih-lebihkan oleh lawan-lawannya untuk men­jatuhkan nama baik dan mengurangi martabatnya. Terutama oleh Amr bin Al-Ash secara berlebih-lebihan disebar-luaskan. Lawan Imam Ali r.a. itu mengatakan kepada penduduk Syam, bahwa Ali bin Abi Thalib seorang yang “gemar bercanda”.

Disadur dari buku :

Sejarah Hidup Imam Ali bin Abi Thalib r.a.
Oleh H.M.H. Al Hamid Al Husaini
Penerbit: Lembaga Penyelidikan Islam

https://tausyah.wordpress.com

ayat Qur'anZahid

Sebagai seorang Zahid yang berpegang teguh pada perintah Allah s.w.t. dan tauladan serta ajaran ajaran Rasul-Nya, Imam Ali r.a. dengan konsekuen berani menghadapi gangguan besar yang dialami dalam kariernya sebagai pemimpin masyarakat dari kepala pemerintahan. Berkali-kali ia ditinggalkan oleh para pendukung dan pengikutnya, tetapi tidak pernah patah hati.

Seperti dikatakan oleh Ali bin Muhammad bin Abi Saif Al Madainiy bahwa tidak sedikit orang Arab yang meninggalkan Imam Ali karena sikap mereka yang terlalu mengharapkan keun­tungan-keuntungan material. Demikian juga tokoh-tokoh yang berpamrih ingin mendapat kedudukan, jangan harap mereka itu bisa bersahabat baik dan lama dengan Imam Ali. Seorang pe­mimpin besar seperti Imam Ali yang taqwanya kepada Allah sede­mikian tinggi, dan sedemikian patuhnya bertauladan serta melak­sanakan ajaran Rasul Allah s.a.w., tidak mencari teman dengan mengobral harta dan kedudukan. Ia sendiri memandang manusia bukan dari kekayaan dan kedudukan sosialnya, bukan pula dari asal-usul keturunannya, melainkan dari keimanannya kepada Allah s.w.t. dan kesetiaannya kepada ajaran Rasul-Nya.

Imam Ali tidak pernah memberikan perlakuan istimewa ke­pada seorang karena keturunan, kedudukan atau kekayaannya. Ia selalu memberikan perlakuan yang sama kepada semua orang, kaya atau miskin, orang yang berpangkat ataupun rakyat jelata. Itulah antara lain yang menjadi sebab mengapa setelah ia menjadi Kha­lifah, dijauhi oleh kepala-kepala qabilah dan tokoh-tokoh masya­rakat yang berambisi dan hendak mendahulukan kepentingan pri­badi atau golongan.

Tentang mengapa Imam Ali r.a. sampai ditinggal oleh para pengikut dan pendukungnya, Al-Madainiy dalam riwayat yang di­tulisnya, antara lain mengemukakan, bahwa Al-Asytar pernah berkata kepada Innam Ali r.a.: “…Anda bertindak adil, baik ter­hadap mereka yang mempunyai kedudukan terhormat maupun mereka yang tidak mempunyai kedudukan. Di hadapan anda orang-orang yang terhormat itu tidak memperoleh perlakuan istimewa atau lebih dari perlakuan yang anda berikan kepada orang biasa. Akhirnya ada kelompok pengikut yang ribut dan he­boh kalau keadilan dan kebenaran diterapkan atas diri mereka. Mereka sakit hati kalau pemerataan keadilan diterapkan atas diri mereka. Mereka lalu membanding-bandingkan betapa enaknya per­lakuan Muawiyah terhadap orang-orang kaya dan terkemuka… Mereka lebih senang membeli kebatilan dengan kebenaran dan tergiur oleh kesenangan duniawi.”

Setelah mendengar baik-baik ucapan Al Asytar, dengan tenang rmam Ali r.a. berkata: “Apa yang kau katakan mengenai perilaku dan keadilanku, bukankah Allah Azza wa Jalla telah berfirman (yang artinya): “Barang siapa berbuat baik, maka pahala bagi dirinya sendiri, dan barang siapa yang berbuat buruk, maka dosanya pun akan menimpa dirinya sendiri. Dan Tuhanmu tidak berlaku dzalim terhadap para hamba-Nya” (S. Fushshilat: 46).

Kemudian Imam Ali r.a. berkata pula: “Sebenarnya Allah mengetahui, bahwa mereka itu menjauhi kami bukan karena kami berlaku dzalim. Mereka menjauhi kami bukan karena hendak mencari perlindungan keadilan. Yang mereka kejar hanyalah dunia, yang akhirnya akan lenyap juga dari mereka. Pada hari kiyamat mereka itu akan ditanya: ‘apakah mereka hanya menginginkan dunia? Apakah yang telah mereka perbuat untuk Allah?’…”

Tentang pengobralan harta milik ummat untuk mendapatkan pengikut seperti yang dilakukan Muawiyah di Syam, Imam Ali r.a. berkata: “Kami tidak dapat memberikan pembagian harta ghanimah kepada seseorang melampaui ketentuan yang sudah menjadi haknya…”

Tentang banyak atau sedikitnya pengikut, Imam Ali r.a. mengemukakan contoh kehidupan Rasul Allah s.a.w.: “Allah mengutus Muhammad s.a.w. seorang diri. Kemudian Allah membuat pengikut beliau menjadi banyak, padahal mulanya sangat sedikit. Ummatnya yang pada mulanya hina kemudian diangkat menjadi ummat yang mulia. Jadi jika Allah hendak melimpahkan hal seperti itu kepadaku, semua kesulitan pasti akan dipermudah oleh-Nya, sedang segala yang berat akan di­ringankannya.”

Menurut Hasan Al Bashriy: “Imam Ali r.a. adalah orang rahbaniy (orang suci) dari ummat ini.” Orang suci dari ummat ini menghayati kehidupan yang amat sederhana. Ia bersembah sujud kepada Allah seperti para wali atau orang suci lainnya. Ia memikul tanggung jawab atas negara dan ummatnya dengan tekad seperti Nabi.

Di Kufah, Imam Ali r.a. melarang keras orang memaki-maki Muawiyah. Kepada sahabat-sahabatnya ia berkata: “Ucapkanlah: Ya Allah, hindarkanlah kami dari pertumpahan darah dengan mereka, dan perbaikilah hubungan persaudaraan kami dengan mereka!”

Padahal di Syam, Muawiyah mendorong-dorong penduduk supaya mencerca dan mencaci-maki Imam Ali r.a.

Di Kufah Imam Ali r.a. memakai baju seharga tiga dirham, menelan makanan serba kasar dan kering. Kekayaan kaum musli­min dibagi di antara mereka semua berdasarkan keadilan tanpa pilih kasih. Ia hidup taqwa dan zuhud tidak mengenal kesenangan hidup sama sekali!

Padahal di Syam Muawiyah tinggal di istana megah dan menikmati hidup serba mewah. Kekayaan datang dari mana-mana dalam jumlah yang sukar dihitung. Tetapi kekayaan itu dihambur­kan untuk tujuan mencapai kepentingan ambisinya.

Di Kufah kepada para utusan muslimin yang datang, baik yang mencari kebenaran untuk dijadikan pegangan hidup, maupun yang mencari kekayaan atau kesempatan memperoleh kedudukan, oleh Imam Ali r.a. diingatkan kepada ayat Al-Qur’an (S. Yunus: 108), yang artinya: “Barang siapa memperoleh hidayat, maka hi­dayat itu sesungguhnya untuk kebaikan dirinya sendiri. Dan ba­rang siapa yang sesat, maka kesesatan itu pun akan mencelakakan dirinya sendiri.”

Selain kalimat tersebut tidak ada harapan atau janji-janji muluk, tidak ada suap, dan tidak ada penghamburan uang milik ummat, betapa pun besarnya akibat yang akan dihadapi oleh Imam Ali r.a.

Sedang di Syam, Muawiyah memberi harapan dan janji-janji muluk serta mengobral harta dan hadiah-hadiah.

Di Kufah Imam Ali r.a. diminta oleh kaum muslimin supaya tinggal di sebuah istana besar dan megah. Waktu melihat istana itu Imam Ali ra. membuang muka sambil berkata: “Itu istana celaka! Sampai kapan pun aku tak sudi tinggal di sana!”

Penduduk Kufah tetap menghimbau dan mendesak supaya Imam Ali r.a. bersedia menempati istana itu, sebab dianggap patut dan sesuai, tetapi Imam Ali r.a. tetap menolak keras: “Aku tidak membutuhkan itu! Umar Ibnul Khattab sendiri dulu tidak menyukainya!”

Di Kufah, Imam Ali r.a. sering berjalan kaki ke pasar-pasar, padahal ia seorang Amirul Mukminin. Di sana ia menunjukan orang yang sesat jalan dan membantu orang yang lemah. Ia berjumpa dengan seorang yang sudah sangat lanjut usia. Segera ia membantu membawakan barang jinjingannya.

Melihat perbuatan Imam Ali r.a. seperti itu ada sahabatnya yang tidak rela, lalu mendekati, kemudian berkata kepadanya: “Ya Amirul Mukminin ….!”

Imam Ali r.a. tidak membiarkan sahabat itu berkata sampai selesai. Segera ia menukas dengan mengucapkan firman Allah, yang artinya: “Kampung akhirat itu kami sediakan bagi orang-­orang yang tidak menyombongkan diri di bumi dan tidak ber­buat kerusakan. Kesudahan yang baik bagi orang-orang yang bertaqwa.” (S. Al-Qishash:83).

Ia membeli kebutuhan-kebutuhan keluarganya dan membawanya sendiri. Jika ada salah seorang dari pengantarnya yang hendak membawakan jinjingannya, ia menjawab sambil tersenyum: “Kepala keluarga lebih berhak membawanya sendiri!”

Walaupun ia seorang Khalifah, ia menunggang keledai dengan dua kaki tergelantung seolah-olah tak ada bedanya lagi dengan seorang badui miskin. Para sahabatnya berusaha mengganti hewan kendaraan itu dengan seekor kuda yang pantas bagi seorang Amir­ul Mukminin. Tetapi Imam Ali r.a. malah menjawab: “Biarkan aku meremehkan dunia ini!”

Imam Ali r.a. sanggup menaklukkan rayuan kesenangan duniawi dan menundukkan megahnya kekuasaan. Di dunia ini ia hidup untuk menunggu akhirat, dan bukannya takluk kepada dunia.

Nyata benar bedanya antara Imam Ali r.a. di Kufah dengan Muawiyah di Syam. Imam Ali r.a. hidup zuhud dan suci, sedang Muawiyah hidup serba mewah meniru raja-raja Persia dan Roma­wi. Salah seorang dinasti Bani Umayyah sendiri yang terkenal jujur, Umar bin Abdul Azis, mengakui terus terang: “Ali bin Abi Thalib r.a. adalah orang yang paling zuhud di dunia.”

Imam Ali r.a. seperti diketahui pernah berselisih pendapat dengan Abu Bakar Ash Shiddiq r.a. tentang kekhalifahan. Tetapi sebagai seorang zahid tidak mau mengingkari keutamaan Abu Bakar r.a. Sewaktu menyatakan belasungkawa atas wafatnya Abu Bakar r.a sambil menyeka air mata, Imam Ali r.a. berkata:

“Hai Abu Bakar, Allah telah melimpahkan rahmat kepada­mu. Demi Allah, engkau adalah orang Islam pertama dari ummat ini. Orang yang paling ikhlas imannya dan orang yang paling lurus keyakinannya. Engkau adalah orang yang membenarkan dan mempercayai Rasul Allah s.a.w. di saat orang-orang lain mendustakannya. Engkaulah yang membantunya di saat orang-orang lain menggenggamkan tangan (kikir). Engkaulah yang tegak berdiri di sampingnya di saat orang-orang lain duduk ber­pangku tangan.”

“Demi Allah, engkaulah yang menjadi pelindung Islam di saat orang-orang kafir hendak menghancurkannya. Hujahmu (dalam membela Islam) tak pernah lemah, pandanganmu senantiasa tajam, dan engkau tidak pernah berjiwa penakut.”

“Demi Allah, engkau adalah seperti yang dikatakan Rasul Al­lah s.a.w.: badanmu lemah, tetapi agamamu kuat dan selalu ber­sikap rendah hati. Semoga Allah melimpahkan ganjaran kepada­mu, dan semoga pula Allah tidak akan membiarkan aku tersesat sepeninggalmu.”

Banyak sekali riwayat yang mengisahkan kezuhudan Imam Ali r.a. Sikapnya yang selalu menolak kekayaan dan harta benda sangat menonjol. Salah seorang tokoh pada zamannya, Asy Syi’biy misalnya, sangat terkesan oleh suatu peristiwa yang disaksikannya sendiri di masa kanak-kanak. Katanya: “Bersama anak-anak lain aku pernah masuk ke sebuah tempat yang sangat luas di Kufah. Di sana aku melihat Imam Ali sedang berdiri di depan dua onggok emas dan perak. Ia memegang sebilah pedang untuk membubarkan orang banyak yang berkerumun di tempat itu. Se­telah itu ia kembali menghampiri onggokan emas dan perak untuk menghitungnya. Kemudian memanggil orang-orang supaya mende­kat dan kulihat semua emas dan perak habis dibagi-bagikan sampai tak ada lagi sisanya.”

“Waktu aku pulang,” kata Asy Syi’biy seterusnya, “bertanya kepada ayah: ‘Yang kusaksikan hari ini orang yang paling baik ataukah orang yang paling bodoh?’ Sambil keheran-heranan ayah balik bertanya: ‘Siapa dia, anakku?’ Kujawab: ‘Amirul Muk­minin Ali bin Abi Thalib.’ Kemudian kuceritakan kepada ayah apa yang kusaksikan tadi. Mendengar ceritaku itu ayah terharu dan sambil melinangkan air mata menjawab: ‘Yang kaulihat tadi itu orang yang paling baik, anakku’…”

Riwayat yang membuktikan tentang tidak senangnya Imam Ali r.a. kepada harta kekayaan diceritakan juga oleh Muhammad bin Fudhail, Harun bin Antarah dan Zadan. Ketika itu Muham­mad bin Fudhail bepergian bersama pelayan Imam Ali r.a. yang bernama Qanbar. Di tengah jalan mereka bertemu dengan Imam Ali r.a. Kepada tuannya Qanbar memberitahu bahwa ia mempu­nyai barang simpanan yang khusus disembunyikan untuknya. Pem­beritahuan Qanbar itu menimbulkan tanda-tanya di hatinya. Ke­mudian ia minta penjelasan. Tanpa memberi jawaban apapun Qanbar terus mengajak Imam Ali r.a. pergi ke tempat tinggalnya. Setibanya di rumah, Qanbar menghampiri sebuah tempat dan mengambil sebuah kantong. Waktu kantong dibuka dan dikeluar­kan ternyata berisi beberapa piala penuh dengan kepingan-ke­pingan emas dan perak.

Dengan wajah berseri-seri Qanbar berkata: “Kulihat tuan tak pernah membiarkan barang apa pun yang tidak tuan bagikan kepa­da orang-orang lain sampai habis. Oleh karena itu semuanya ini kusembunyikan dari Baitul Mal, khusus untuk tuan.”

Dengan mata membelalak, Imam Ali membentak: “Celaka engkau, hai Qanbar! Apakah engkau ingin memasukkan kobaran api ke dalam rumahku?” Tanpa banyak bicara lagi Imam Ali segera menghunus pedang lalu dihantamkan kuat-kuat ke kantong yang berisi piala-piala penuh emas dan perak. Piala-piala itu hancur berkeping-keping dan emas serta perak tertebar berhamburan.

Habis itu Imam Ali r.a. mengumpulkan orang banyak. Ke­pada mereka ia berkata: “Bagilah semuanya itu dengan adil!”

Belum puas dengan sikap yang memukaukan orang banyak itu, Imam Ali r.a. cepat-cepat menuju Baitul Mal. Semua yang tersimpan dalam balai harta kaum muslimin itu dibagi-bagikan be­gitu saja kepada orang-orang. Setelah terbagi rata, ia masih melihat ada beberapa kerat jarum dan benda-benda kecil lain yang kurang berharga. Kepada orang-orang yang masih tinggal ia menganjur­kan supaya benda-benda kecil itu.dibagi juga. Apa jawab mereka: “… Kami tidak membutuhkan itu…!”

Imam Ali r.a. tersenyum meninggalkan Baitul Mal seraya bergumam: “Yang jelek sebenarnya harus diambil juga bersama-­sama yang baik!” Ia pergi tanpa sekeping pun melekat di tangan­nya.

[1]Abbas Al Aqad: “Abqariyyatu Ali bin Abi Thalib”.

https://tausyah.wordpress.com

Islamic ArtKeutamaan Imam Ali

Zaman kelahiran Islam dan pertumbuhannya ditandai oleh ci­ri khusus dalam suatu kurun waktu tertentu. Yaitu sepeninggal Rasul Allah s.a.w. ummat Islam dipimpin oleh 4 orang Khalifah yang sangat terkenal dan diakui serta dihormati oleh segenap kaum muslimin di dunia. Di antara empat orang Khalifah itu, terdapat seorang yang mempunyai kedudukan istimewa dalam sejarah, yaitu Imam Ali r.a.

Banyak sekali hal-hal yang memberikan keistimewaan kepa­danya. Antara lain sebagian ummat Islam di dunia sampai sekarang ini mengidentifikasikan diri sebagai pengikut Imam Ali bin Abi Thalib r.a., yaitu yang terkenal dengan sebutan kaum Syi’ah.

Selain itu, Imam Ali r.a.memang lebih masyhur disebut “I­mam”, daripada disebut Khalifah. Sedangkan Khalifah-khalifah lainnya, tak seorang pun yang disebut sebagai Imam. Sudah pasti hal itu disebabkan oleh adanya keistimewaan-keistimewaan yang melatar-belakangi kehidupan Imam Ali r.a., sehingga ia mempu­nyai identitas tersendiri dalam sejarah kehidupan ummat Islam.

Gelar Imam

Gelar “Imam” adalah khusus bagi Khalifah Ali bin Abi Thalib di samping gelar “Amirul Mukminin” yang lazim dipergu­nakan orang pada masa itu, untuk menyebut seorang pemangku jabatan sebagai pemimpin tertinggi dan Kepala Negara Islam.

Tentang ta’rif (definisi) dari perkataan “imamah” (keimam­an) oleh para ahli ilmu kalam, dirumuskan: “Imamah ialah kepe­mimpinan umum dalam segala urusan agama dan keduniaan yang ada pada seseorang…”

Jadi menurut ta’arif tersebut, maka yang dimaksud dengan “Imam” ialah seorang pemimpin atau seorang ketua yang ditaati dan memiliki kekuasaan yang menyeluruh atas semua orang mus­limin dalam segala urusan mereka, baik di bidang keagamaan maupun di bidang keduniaan.

Menurut mazhab “Imamiyah”, imamah merupakan keharus­an objektif dalam kehidupan masyarakat muslimin, yang dalam ke­adaan bagaimana pun tak dapat diabaikan. Dengan adanya ima­mah, semua yang tidak lurus dalam tata pelaksanaan agama dan tata kehidupan dunia, dapat diluruskan. Dengan imamah pula, keadilan yang dikehendaki Allah harus berlaku di muka bumi, dapat diusahakan realisasinya. Sebab terpenting perlunya diadakan imamah, ialah untuk mendorong masyarakat supaya dengan benar menjalankan ibadah kepada Allah s.w.t., untuk menyebar luas­kan ajaran agama-Nya, untuk menanamkan jiwa keimanan serta ketakwaan di kalangan anggota-anggota masyarakat.

Dengan demikian manusia akan mampu menghindarkan diri dari hal-hal yang buruk dan menghayati hal-hal yang baik, sebagai­mana yang dikehendaki Allah s.w.t. Untuk itu, ummat Islam wa­jib mentaati seseorang Imam dan melaksanakan perintah-perintahnya selama imam itu taat dan tidak menyimpang dari perintah-­perintah Allah s.w.t. Sebab hanya dengan ketaatan kaum musli­min, seorang Imam dapat membereskan keadaan yang tidak beres, mempererat persatuan dan kerukunan ummat, dan memberikan bimbingan ke jalan yang lurus dan benar.

Banyak sekali tugas dan kewajiban yang terpikul di pundak seorang Imam. Antara lain ialah menjaga dan memelihara pelaksa­naan perintah serta larangan agama; menjaga keselamatan Islam dan kemurniannya dari perbuatan orang-orang yang mengabaikan nilai-nilai susila dan moral; melaksanakan ketentuan-ketentuan hu­kum agama; menjamin pengayoman dan kesentosaan wilayah Is­lam; menjamin terlaksananya keadilan bagi orang-orang yang ter­aniaya (madzlum); memimpin ummat dalam perjuangan mene­gakkan kebenaran Allah dan lain sebagainya.

Untuk dapat menjadi Imam, orang harus memiliki syarat­syarat. Antara lain ia harus mempunyai pengetahuan yang luas; mempunyai rasa keadilan yang tinggi; berani karena benar, mampu memberikan pertolongan dan menanggulangi kesukaran, serta yang terpenting di atas segala-galanya ialah kebersihan pribadi.

Semua kaum muslimin menyadari, bahwa kebersihan pribadi ini merupakan karunia Allah yang dilimpahkan kepada hamba-Nya yang sempurna. Dengan kebersihan dan kesucian pribadi itu orang sanggup menjauhkan diri dari perbuatan-perbuatan dosa dan mak­siyat, baik yang mungkin dilakukan dengan sengaja atau tidak. Si­fat luhur seperti itu sudah tentu lebih terjamin adanya pada para Imam yang berasal dari Ahlu-Bait Rasul Allah s.aw., yaitu orang-­orang yang sanggup menjadi benteng dan pengawal agama Islam, atau orang-orang yang hidup sepenuhnya mendambakan keridhoan Allah semata-mata.

Dalam kaitannya dengan masalah tersebut, Imam Ali r.a. menegaskan: “Barang siapa yang hendak menjadikan diri sebagai Imam di kalangan masayarakat, maka ia harus mengajar dirinya sendiri lebih dulu sebelum mengajar orang lain. Ia harus mendidik dirinya dengan perilaku yang baik lebih dulu sebelum mendidik orang lain dengan ucapan. Orang yang sanggup mengajar dan mendidik diri sendiri lebih berhak dihormati daripada orang yang hanya pandai mengajar dan mendidik orang lain.”

Diantara empat orang Khalifah Rasyidun, hanya Khalifah Imam Ali bin Abi Thalib r.a. sajalah yang disandangi gelar “Imam” oleh kaum muslimin. Gelar ini tidak dikenakan kepada orang lain yang menjadi pemimpin kaum muslimin. Mengapa? Bukankah Abu Bakar Ash Shiddiq r.a. juga seorang Imam seperti Khalifah Ali? Bukankah Umar Ibnul Khattab r.a. juga seorang Imam seperti Ali? Bukankah Utsman bin Affan r.a. juga seorang Imam seperti Khalifah Ali? Bukankah Khalifah-Khalifah itu juga Khalifah Ra­syidun seperti Imam Ali? Bukankah juga Khalifah-Khalifah itu pe­nerus kepemimpinan Rasul Allah s.a.w. sepeninggal beliau?

Bila pengertian “imamah” hanya terbatas pada kekhalifahan saja, tentu tiga orang Khalifah itu semuanya adalah Imam-Imam juga seperti Imam Ali r.a. Bahkan mereka memegang “imamah” lebih dulu daripada Imam Ali r.a.

Mengenai hal itu, seorang penulis modern berkebangsaan Mesir, Abbas Al Aqqad, berpendapat, bahwa kalau yang disebut “imamah” pada masa itu hanya terbatas pengertiannya di bidang hukum, tentu persamaan antara empat orang Khalifah itu tidak perlu disangkal lagi. Tetapi, demikian kata Aqqad seterusnya, tiga orang Khalifah Rasyidun di luar Imam Ali r.a., tak ada seorang pun diantara mereka itu mengibarkan bendera imamah untuk mengha­dapi tantangan kekuasaan duniawi yang muncul di kalangan ummat. Tak ada yang menghadapi adanya dua pasukan bersenjata yang saling berlawanan di dalam satu ummat. Dan tidak ada yang menjadi lambang imamah dalam menghadapi masalah-masalah rumit, yang penuh dengan berbagai problema yang menimbulkan syak dan keraguan di kalangan ummat.

Al Aqqad menambahkan, bahwa dalam keadaan tidak adanya problema-problema seperti itu, tiga orang Khalifah sebelum Imam Ali r.a., boleh saja disebut Imam. Tentu saja pengertian “Imam” itu sangat berlainan dengan gelar “Imam” yang ada puda Imam Ali bin Abi Thalib r.a. Ia adalah seorang Imam yang menghadapi berbagai kejadian dan peristiwa yang banyak menimbulkan kera­gu-raguan berfikir di kalangan ummat. Oleh karena itulah gelar Imam diberikan kaum muslimin secara khusus kepada khalifah Ali bin Abi Thalib r.a. Begitu luasnya gelar itu dikenal orang sampai menjadi buah bibir. Hingga anak-anak pun mengenal Imam Ali lewat sanjungan-sanjungan yang dikumandangkan orang di jalan-­jalan, tanpa perlu disebut nama orang yang menyandang gelar itu sendiri.

Seterusnya Al Aqqad menjelaskan, bahwa “kekhususan ima­mah yang ada pada Ali bin Abi Thalib r.a. ialah bahwa ia seorang Imam yang tidak ada persamaannya dengan Imam-Imam lainnya. Sebab Imam Ali mempunyai kaitan langsung dengan mazhab-maz­hab yang ada di kalangan kaum muslimin, bahkan dimulai semen­jak kelahiran mazhab-mazhab itu sendiri pada masa pertumbuhan Islam. Jadi sebenarnya Imam Ali adalah pendiri mazhab-maz­hab, atau dapat juga disebut sebagai poros di sekitar mana golo­ngan mazhab itu berputar. Hampir tak ada satu golongan madzhab pun yang tidak berguru kepada Imam Ali bin Abi Thalib. Ham­pir tidak ada satu golongan madzhab pun yang tidak memandang Imam Ali sebagai pusat pembahasan ilmu agama.”[1]

Menurut kenyataannya, Imam Ali r.a. adalah Imam yang be­nar-benar memiliki semua syarat yang diperlukan. Satu keistime­waan yang paling menonjol dan tidak dipunyai oleh Khalifah-kha­lifah lainnya, ialah penguasaannya di bidang-bidang ilmu agama. Tentang hal ini akan kita bicarakan di bagian lain buku ini.

Di sini kami hanya ingin mengemukakan, bahwa Abdullah bin Abbas, seorang ulama yang terkenal luas ilmu pengetahu­annya sampai diberi sebutan “habrul ummah” (pendekar ummat) dan “juru tafsir Al Qur’an,” mengatakan dengan jujur, bahwa di­banding dengan ilmu Imam Ali, ilmunya sendiri ibarat setetes air di tengah samudera. Khalifah Umar Ibnul Khattab r.a. juga mengatakan: “Hai Abal Hasan (nama panggilan Imam Ali r.a.) mudah-mudahan Allah s.w.t. tidak membiarkan aku terus hidup di bumi tanpa engkau!”

Disadur dari buku :

Sejarah Hidup Imam Ali bin Abi Thalib r.a.
Oleh H.M.H. Al Hamid Al Husaini

https://tausyah.wordpress.com

MadinahTeror Abdul Rahman bin Muljam

Sekelompok orang-orang Khawarij berkumpul memperbin­cangkan nasib sanak famili dan teman-teman mereka yang telah mati terbunuh dalam berbagai peperangan. Mereka berpendapat, bahwa tanggung-jawab atas terjadinya pertumpahan darah selama ini harus dipikul oleh tiga orang: Ali bin Abi Thalib, Muawiyah bin Abi Sufyan dan Amr bin Al Ash. Tiga orang itu oleh mereka disebut dengan istilah “pemimpin-pemimpin yang sesat”.

Salah seorang di antara yang sedang berkumpul itu, bernama Albarak bin Abdullah. Ia bangkit berdiri sambil berkata: “Akulah yang akan membikin beres Muawiyah bin Abi Sufyan!”

Teriakan Albarak itu diikuti oleh Amr bin Bakr dengan kata-­kata: “Aku yang membikin beres Amr bin Al Ash!”

Abdurrahman bin Muljam tak mau ketinggalan. Ia berteriak: “Akulah yang akan membikin beres Ali bin Abi Thalib!”

Tiga orang tersebut kemudian bersepakat untuk melaksana­kan pembunuhan dalam satu malam terhadap tiga orang calon korban: Imam Ali r.a., Muawiyah bin Abi Sufyan dan Amr bin Al Ash. Terdorong oleh kekacauan aqidah dan semangat balas den­dam, tiga orang Khawrij itu bertekad hendak cepat-cepat melak­sanakan rencana mereka.

Berangkatlah Abdurrahman bin Muljam meninggalkan Mak­kah menuju Kufah. Setibanya di Kufah, ia singgah di rumah salah seorang teman-lamanya. Di situ ia bertemu dengan seorang gadis bernama Qitham binti Al Akhdar. Paras gadis ini elok dan cantik. Tidak ada gadis lain di daerah itu yang mengungguli kecantikan parasnya. Ayah dan saudara lelaki Qitham adalah orang-orang Khawarij yang mati terbunuh dalam perang Nehrawan.

Waktu melihat kecantikan gadis itu, Abdurrahman bin Mul­jam sangat terpesona dan tergiur hatinya. Dengan terus terang ia bertanya kepada Qitham, bagaimana pendapat gadis jelita itu kalau ia mengajukan lamaran untuk dijadikan isteri. Qitham ketika itu menyahut: “Maskawin apa yang dapat kauberikan kepadaku?”

“Terserah kepadamu, apa yang kauinginkan,” jawab Ab­durrahman bin Muljam.

“Aku hanya minta supaya engkau sanggup memberi empat macam,” sahut gadis itu menjelaskan: “Uang sebesar 3.000 dirham, seorang budak lelaki dan seorang budak perempuan dan kesang­gupanmu membunuh Ali bin Abi Thalib!”

Mengenai permintaanmu yang berupa uang 3.000 dirham, se­orang budak lelaki dan seorang budak perempuan, aku pasti dapat memenuhinya,” jawab Abdurrahman, “tetapi tentang membunuh Ali bin Abi Thalib, bagaimana aku bisa menjamin?”

“Engkau harus bisa mengintai kelengahannya,” ujar Qitham. “Jika engkau berhasil membunuh dia, aku dan engkau akan ber­sama-sama merasa lega dan engkau akan dapat hidup disampingku selama-lamanya!”

Sebenarnya, sebelum Abdurrahman bertemu dengan Qi­tham binti Al Akhdar, ia sudah mulai bimbang melaksanakan niat membunuh Imam Ali r.a. Sebab, tidaklah mudah bagi dirinya me­laksanakan pembunuhan itu. Perbuatan itu merupakan tindakan petualangan yang berbahaya bagi keselamatan jiwanya. Tetapi su­ratan takdir rupanya mengendaki supaya Abdurrahman lebih ber­tambah berani, hilang keraguannya dan nekad berbuat dosa yang amat jahat. Tampaknya takdir membiarkan tangan Abdurrahman nyelonong bagaikan anak-panah terlepas dari busurnya. Secara kebetulan ia seolah-olah digiring singgah ke rumah teman lamanya dan dipertemukan dengan seorang gadis bernama Qitham! Setelah terjadi pembicaraan tentang maskawin, akhirnya Abdurrahman

mernberikan jawaban terakhir: “Permintaanmu tentang pembu­nuhan Ali bin Abi Thalib akan kupenuhi.”

Sebagaimana tersebut di atas tadi Al-Barak bin Abdullah, Amr bin Bakr dan Abdurrahman bin Muljam, telah sepakat hendak melasanakan pembunuhan serentak dalam satu malam, pada waktu subuh. Tetapi terjadi satu kebetulan yang agak aneh juga, karena tragedi yang ditimbulkan oleh tiga orang komplotan tersebut ter­nyata berakhir dengan akibat yang berlainan.

Amr bin Al-Ash secara kebetulan tidak mengalami nasib seperti yang dialami temannya. Cerita tentang peristiwanya itu sebagai berikut: “Pada malam terjadinya peristiwa itu, Amr bin Al-Ash me­rasa terganggu kesehatannya. Ia tidak keluar bersembahyang di masjid dan tidak juga untuk keperluan lainnya. Ia memerintahkan seorang petugas keamanan, bernama Kharijah bin Hudzafah, su­paya mengimami shalat subuh jama’ah sebagai penggantinya. Amr bin Bakr menduga, bahwa Kharijah itu adalah Amr bin Al-Ash. Amr bin Bakr segera menyelinap dan mendekat, kemudian Kharijah ditikam dengan senjata tajam. Seketika itu juga Kharijah meninggal dan Amr bin Bakr sendiri tertangkap basah. Waktu di­hadapkan kepada Amr bin Al-Ash, ia (Amr bin Al Ash) berkata kepadanya : ‘Engkau menghendaki nyawaku, tetapi Allah ter­nyata menghendaki nyawa Kharijah bin Hudzafah!’ Setelah itu ia memerintahkan supaya Amr bin Bakr segera dibunuh.”

Adapun Muawiyah yang menjadi sasaran Al-Barak bin Ab­dullah, pada saat ia sedang lengah, ditikam oleh Al-Barak. Mujur bagi Muawiyah. Ia tidak mati, sebab tikaman itu hanya mengenai samping pantatnya. Hal itu dimungkinkan karena sejak terbuka­nya permusuhan antara Imam Ali r.a. dengan dirinya, Muawiyah selalu mengenakan baju berlapis besi. Al-Barak tertangkap dan ia dihadapkan kepada Muawiyah.

Mengenai peristiwa ini terdapat penulisan sejarah yang agak berlainan. Abu Faraj Al-Ashfahaniy mengatakan: “Waktu Al-Ba­rak dihadapkan kepada Muawiyah, ia berkata: “Aku membawa berita untukmu.” Muawiyah bertanya: “Berita Apa?”

Al-Barak lalu menceritakan apa yang pada malam itu dilaku­kan oleh dua orang temannya. “Malam itu…,” katanya, “…Ali bin Abi Thalib akan mati dibunuh. Biarlah aku kau tahan du­lu. Jika benar ia mati terbunuh, terserahlah apa yang hendak kau lakukan terhadap diriku. Tetapi jika ternyata ia tidak berhasil di­bunuh, aku berjanji kepadamu, akulah yang akan membunuhnya. Lantas aku akan kembali lagi kepadamu menyerahkan diri. Selan­jutnya terserah hukuman apa yang akan kau jatuhkan atas diriku!”

Al-Barak lalu ditahan oleh Muawiyah. Setelah terdengar beri­ta tentang terbunuhnya Imam Ali r.a., Al-Barak dibebaskan.

Sumber riwayat lain mengatakan dengan pasti, bahwa waktu Al-Barak dihadapkan kepada Muawiyah, seketika itu juga Muawi­yah memerintahkan supaya Al-Barak segera dibunuh.

Wafat

Allah s.w.t. rupanya telah mentakdirkan bahwa Imam Ali r.a. harus meninggal karena pembunuhan pada waktu subuh tanggal 17 Ramadhan, tahun 40 Hijriyah. Ketika Imam Ali r.a. sedang menu­ju masjid, sesudah mengambil air sembahyang untuk melakukan shalat subuh, tiba-tiba muncul Abdurrahman bin Muljam dengan pedang terhunus. Imam Ali r.a. yang terkenal ulung itu tak sempat lagi mengelak. Pedang yang ditebaskan Abdurrahman tepat menge­nai kepalanya. Luka berat merobohkannya ke tanah. Imam Ali r.a. segera diusung kembali ke rumah.

Saat itu semua orang geram sekali hendak melancarkan tinda­kan balas dendam terhadap Ibnu Muljam. Tetapi Imam Ali r.a. sendiri tetap lapang dada dan ikhlas, tidak berbicara sepatahpun tentang balas dendam. Tak ada isyarat apa pun yang diberikan ke arah itu. Semua orang yang berkerumun di pintu rumahnya merasa sedih. Mereka berdoa agar Imam Ali r.a. dilimpahi rahmat Allah yang sebesar-besarnya dan dipulihkan kembali kesehatannya. Semua mengharap semoga ia dapat melanjutkan perjuangan meng­hapus penderitaan manusia.

Beberapa orang sahabat Imam Ali r.a. mendatangkan tabib terbaik di Kufah. Seorang tabib yang berpengalaman mengobati luka, bernama Atsir Ibnu Amr bin Hani. Setelah memeriksa luka-luka di kening, dengan hati cemas dan suara putus asa, Atsir memberi tahu: “Ya Amiral Mukminin, berikan sajalah apa yang hendak anda wasiyatkan. Pukulan orang terkutuk itu mengenai se­laput otak anda.”

Imam Ali r.a. tidak mengeluh. Ia menyerahkan nasib se­penuhnya kepada Allah s.w.t. Ia memanggil dua orang puteranya: Al Hasan r.a. dan Al Husein r.a. Dari seluruh hidupnya yang pe­nuh dengan pengalaman-pengalaman pahit dalam perjuangan me­negakkan kebenaran Allah dan Rasul-Nya, Imam Ali r.a. menarik pelajaran-pelajaran yang sangat tinggi nilainya. Hal itu dituangkan ­dalam wasiyat yang diberikan kepada putera-puteranya beberapa saat sebelum meninggalkan dunia yang fana ini.

Abu Ja’far Muhammad bin Jarir At Thabariy dalam Ta­rikh-nya dan Abu Faraj Al Ashfahaniy dalam Maqatilut Thali­biyyin masing-masing mengetengahkan wasiyat Imam Ali r.a. sebagai berikut:

“Aku bersaksi bahwa tiada Tuhan selain Allah Yang Maha Esa tanpa sekutu apapun bagi-Nya, dan bahwa Muhammad adalah hamba Allah dan Rasul-Nya, diutus membawa hidayat dan agama yang benar, untuk dimenangkan atas agama-agama lain, walau ka­um musyrikin tidak menyukainya. Kemudian shalatku, ibadahku, hidup dan matiku, semuanya kupersembahkan kepada Allah, Tuhan penguasa alam semesta, tanpa sekutu apa pun bagi-Nya. Itu­lah yang diperintahkan kepadaku, dan aku ini adalah orang muslim pertama.

“Kuwasiyatkan kepada kalian berdua supaya tetap bertaqwa kepada Allah. Janganlah kalian mengejar-ngejar dunia walau dunia mengejar kalian, dan janganlah menyesal jika ada sebagian dunia itu lepas meninggalkan kalian. Katakanlah hal-hal yang benar dan

berbuatlah untuk memperoleh pahala akhirat. Jadilah kalian pe­nentang orang dzalim dan pembela orang madzlum.”

“Kuwasiyatkan kepada kalian berdua, kepada semua anak-­anakku, para ahlu-baitku, dan kepada siapa saja yang mendengar wasiyatku ini, supaya senantiasa bertaqwa kepada Allah. Hendak­nya kalian mengatur baik-baik urusan kalian dan jagalah hubungan persaudaraan di antara kalian. Sebab aku mendengar sendiri Ra­sul Allah s.a.w. mengatakan: Memperbaiki dan menjaga baik-ba­ik hubungan persaudaraan antara sesama kaum muslimin lebih afdhal daripada sembahyang dan puasa umum.[5] Ketahuilah, bahwa pertengkaran itu merusak agama, dan ingatlah bahwa tak ada kekuatan apa pun selain atas perkenaan Allah. Perhatikanlah keadaan sanak famili kalian dan eratkan hubungan dengan mereka, Allah akan melimpahkan kemudahan kepada kalian di hari per­hitungan kelak.”

“Allah…, Allah, perhatikanlah anak-anak yatim. Janganlah mereka itu sampai kelaparan dan jangan sampai kehilangan hak. Aku mendengar sendiri Rasul Allah s.a.w. berpesan: Barang sia­pa mengasuh anak yatim sampai ia menjadi kecukupan, orang itu pasti akan dikaruniai sorga oleh Allah. Sama halnya seperti siksa neraka yang pasti akan ditimpakan Allah kepada orang yang me­makan harta anak yatim.”

“Allah…, Allah, perhatikanlah Al-Qur’an, jangan sampai ka­lian kedahuluan orang lain dalam mengamalkannya. Allah…, Allah…, perhatikanlah tetangga-tetangga kalian, sebab mereka itu adalah wasiyat Nabi kalian. Sedemikian sungguhnya beliau mewasyiat­kan, sampai kami menduga bahwa beliau akan menetapkan hak waris bagi mereka. Allah…, Allah…, perhatikanlah rumah Allah, mas­jid Al-Haram, janganlah kalian tinggalkan selama kalian masih hi­dup. Sebab jika sampai kalian tinggalkan, kalian tidak akan dipan­dang orang. Barang siapa selalu dekat kepadanya, Allah akan mengampuni dosa-dosanya yang telah lalu. Allah…, Allah…, pelihara­lah shalat baik-baik, sebab shalat itu amal perbuatan yang paling mulia dan merupakan tiang agama kalian. Allah…, Allah…, tunaikan­lah zakat sebagaimana mestinya, sebab zakat itu meniadakan murka Allah. Allah…, Allah…, laksanakanlah puasa bulan Rama­dhan, sebab puasa itu merupakan penutup jalan ke neraka.”

“Allah…, Allah…, berjuanglah di jalan Allah dengan harta dan jiwa kalian. Hanya ada dua macam saja orang yang berjuang di jalan Allah, yaitu seorang pemimpin yang memberikan bimbingan dan orang yang patuh kepada pemimpin serta mengikuti kebena­ran pimpinannya. Allah…, Allah…, jagalah baik-baik keturunan Nabi kalian, jangan sampai mereka dianiaya orang di depan mata kalian. Jagalah baik-baik para sahabat Nabi yang tidak meng­ada-adakan bid’ah mungkar, dan yang tidak melindungi orang yang mengada-adakan bid’ah mungkar. Sebab Rasul Allah s.a.w. telah memberi wasiyat tentang mereka itu, dan mengutuk orang dari mereka atau orang yang bukan mereka, yang mengada-adakan bid’ah mungkar dan mengutuk pula orang-orang yang memberi perlindungan kepada mereka.”

“Allah…, Allah…, perhatikanlah para fakir miskin. Ikut serta­kan mereka dalam kehidupan kalian. Allah…, Allah…, jagalah baik-baik wanita kalian dan para hamba sahaya kalian, sebab Rasul Allah s.a.w. mewasiyatkan supaya kalian menaruh perhatian kepada dua golongan lemah itu, yaitu kaum wanita dan para hamba sahaya.”

Setelah berhenti sebentar untuk memulihkan tenaga yang semakin melemah, Imam Ali r.a. melanjutkan:

“Dalam menjalankan kewajiban terhadap Allah, janganlah ka­lian takut dicela orang lain. Allah akan melindungi dan menyela­matkan kalian dari orang-orang yang hendak berbuat jahat terha­dap kalian. Berkatalah baik-baik kepada semua orang sebagaimana telah diperintahkan Allah kepada kalian. Janganlah kalian lengah meninggalkan amr ma’ruf dan nahi mungkar, agar Allah tidak me­limpahkan kekuasaan kepada orang-orang yang berperangai jahat. Sebab dalam keadaan seperti itu doa kalian tidak akan dikabulkan lagi.”

“Hendaknya kalian saling berhubungan erat, saling tolong­-menolong dan saling bercinta-kasih. Janganlah kalian saling memu­tuskan hubungan, saling bertolak belakang atau bercerai-berai. Hendaknya kalian saling bantu-membantu dalam kebajikan dan taqwa, dan janganlah saling-bantu dalam berbuat dosa dan permu­suhan.”

“Bertaqwalah kalian kepada Allah, karena sesungguhnya siksa Allah itu sangat berat. Semoga Allah senantiasa menjaga dan me­melihara kalian, hai para ahlul-bait. Allah melestarikan Nabi s.a.w. melalui kalian. Kuucapkan selamat tinggal sebaik-baiknya ke­pada kalian dan kuucapkan pula Assalaamu’alaikum wa rahma­tullahi wabarakaatuh…”

Ibnul Atsir meriwayatkan, bahwa sesudah Imam Ali r.a. menyampaikan wasiyat tersebut kepada Al Hasan r.a. dan Al Hu­sin r.a., ia menoleh kepada puteranya yang lain, Muhammad Ibnul Hanafiyah, lalu bertanya: “Apakah engkau sudah mema­hami benar-benar apa yang kuwasiyatkan kepada kedua orang sau­daramu?”

“Ya,” jawab Muhammad Ibnul Hanafiyah.

“Kepadamu juga kuwasiyatkan,” kata Imam Ali r.a. meneruskan: “hal yang sama seperti itu. Kuwasiyatkan juga supaya engkau selalu menghormati dua orang saudaramu yang besar itu. Janganlah mereka kautinggalkan dalam urusan apa pun.”

Selesai menekankan hal itu kepada Muhammad Ibnul Hanafi­yah, Imam Ali r.a. menambahkan wasiyatnya kepada Al Hasan r.a. dan Al Husein r.a. “Kuwasiyatkan kepada kalian berdua supaya menjaga dia (Muhammad Ibnul Hanafiyah) dengan baik. Sebab dia itu saudara kalian sendiri dan putera ayah kalian. Kalian tahu benar, bahwa ayah kalian juga mencintai dia…”

Imam Ali r.a. mengulangi ucapannya tentang Abdurrahman bin Muljam. Kepada Al Hasan r.a. Imam Ali r.a. berkata: “Per­hatikanlah orang yang memukulku. Berilah ia makan seperti ma­kananku dan minuman seperti minumanku!”

Ibnu Abil Hadid menambahkan catatan wasiyat Imam Ali r.a. yang disampaikan kepada dua orang puteranya, Al Hasan r.a. dan Al Husein r.a.:

“Anakku…, camkanlah baik-baik empat perkara yang hendak kukatakan. Selama engkau berpegang teguh pada empat perkara itu, apa pun yang kaulakukan tidak akan mendatangkan mudharat kepadamu:

1. Sesungguhnya kekayaan yang paling tinggi nilainya ialah akal fikiran;

2. Kemelaratan yang paling berat ialah kebodohan;

3. Kesepian yang paling menakutkan ialah bangga pada diri sendiri;

4. Dan keturunan yang paling mulia ialah budi pekerti luhur.

“Anakku…, hati-hatilah engkau berteman dengan orang pan­dir. Sebab jika ia hendak menguntungkan dirimu, justru ia berbuat yang merugikan dirimu. Hati-hatilah engkau berteman dengan orang kikir. Sebab ia akan menjauhkan engkau dari sesuatu yang paling kau butuhkan. Hati-hatilah engkau berteman dengan orang durhaka, sebab ia akan menjual dirimu dengan harga murah. Hati-hatilah engkau berteman dengan seorang pembohong, sebab ia seperti fatamorgana, yang jauh didekatkan kepadamu dan yang dekat dijauhkan darimu…”

Mengenai wasiatnya tentang Abdurrahman bin Muljam; me­nurut Ibnu Abil Hadid, Imam Ali r.a. menambahkan sebagai ber­ikut:

“Hai Bani Abdul Mutthalib, aku tidak ingin kalian mengam­bil tindakan pembalasan sampai menumpahkan darah kaum muslimin dengan alasan Amirul Mukminin mati terbunuh! Amirul Mukminin mati terbunuh! Janganlah kalian membunuh orang, selain orang yang membunuhku. Ingatlah, kalau aku mati karena tikaman ini, tikamlah orang yang menikamku dengan ti­kaman yang sama. Janganlah kalian sampai mencincang orang itu, sebab aku mendengar sendiri Rasul Allah s.a.w. pernah mewanti-­wanti: ‘Hati-hatilah kalian jangan sampai melakukan pencincang­an, walau terhadap anjing galak sekalipun’…”

Ketika itu ada orang bertanya kepada Imam Ali r.a.: “Apakah kami harus membai’at Al Hasan sepeninggal anda?”

“Aku tidak menyuruh dan tidak melarang,” sahut Imam Ali r.a. Ia tidak mau memaksakan kepada kaum muslimin siapa yang akan menggantikannya sebagai Amirul Mukminin. Terserahlan ke­pada kaum muslimin sendiri siapa yang akan mereka angkat se­bagai Khalifah. Ini merupakan pengakuan sedalam-dalamnya bah­wa setiap orang mempunyai kebebasan untuk memilih pimpinan yang disukainya.

Tidak lama kemudian Imam Ali r.a. menoleh kepada orang-­orang di sekitarnya…, lalu berkata: “Kemarin aku adalah sahabat kalian. Hari ini aku menjadi contoh yang selalu mengingatkan ka­lian. Dan, esok hari aku berpisah meninggalkan kalian. Semo­ga Allah memberi pengampunan kepadaku dan kepada kalian.”

Selama dua hari sejak terjadinya peristiwa itu, Imam Ali r.a. menderita, kesakitan yang beliau tahan sedemikian rupa kuatnya tanpa mengeluh. Dengan hati mantap ia berserah diri pada Allah s.w.t., mewasiatkan kebajikan kepada orang lain, dan, berpesan supaya berkasih-sayang kepada kaum yang lemah.

[1]Sebuah tempat terletak antara Hirah dan Kufah.

https://tausyah.wordpress.com

JihadSerbuan Muawiyah ke Mesir

Setelah perang Shiffin berhenti dan Muawiyah bin Abi Suf­yan melihat tidak ada lagi serangan yang dilancarkan Imam Ali r.a., ia mengumpulkan para penasehatnya untuk dimintai pendapat tentang rencana merebut wilayah Mesir dari kekuasaan Imam Ali.

Kepada para penasehatnya itu Muawiyah antara lain berkata: “Kalian telah menyaksikan sendiri kemenangan yang telah dilim­pahkan Allah kepada kita. Pada mulanya mereka tidak ragu-ragu hendak menghancurkan kalian, menduduki negeri kalian dan me­nguasai kalian. Akan tetapi Allah telah menggagalkan niat jahat mereka. Dengan pertolongan Allah kalian telah berhasil mengalah­kan mereka. Kalian mohon keadilan (tahkim) kepada Allah, dan Allah sekarang telah menjatuhkan hukum-Nya atas mereka. Allah telah memperkokohkan persatuan kita, mempererat persaudaraan kita, membuat musuh kita berpecah-belah, saling kafir meng­kafirkan dan saling bunuh membunuh. Demi Allah aku mengharap mudah-mudahan Allah akan lebih menyem-purnakan lagi keme­nangan kita. Sekarang aku sedang berfikir untuk menyerbu Mesir. Bagaimana pendapat kalian…?”

Menanggapi pertanyaan Muawiyah itu, para penasehatnya menjawab, bahwa mengenai hal itu mereka mendukung apa yang menjadi pendapat Amr Ibnul Ash.

Berdasarkan pernyataan para penasehatnya itu, Muawiyah menjelaskan: “Amr memang sudah mempunyai pendapat tegas dan bertekad hendak menyerbu Mesir, tetapi ia belum menjelas­kan langkah-langkah apa yang harus kita lakukan!”

Untuk menjelaskan langkah-langkah apa yang harus di­lakukan itu, Amr bin Al Ash berkata: “Aku sekarang hendak menjelaskan apa yang sebaiknya harus engkau lakukan. Aku ber­pendapat, sebaiknya engkau mengirim pasukan yang besar di bawah pimpinan seorang kuat, tegas dan mendapat kepercayaan penuh. Bila sudah masuk ke Mesir ia pasti akan mendapat dukung­an penduduk yang sependirian dengan kita. Sedangkan terhadap orang-orang yang memusuhi kita, mereka harus kita tundukkan dengan kekerasan. Kalau pasukan dan para pengikutmu sudah bu­lat sepakat untuk memerangi musuh-musuhmu, kuharap Allah s.w.t. akan memenangkan engkau…”

“Selain itu, bagaimana pendapatmu tentang apa yang perlu kita lakukan sebelum menyerang mereka?” tanya Muawiyah ke­pada Amr bin Al-Ash.

“Aku belum tahu…,” sahut Amr.

“Aku mempunyai pendapat lain,” ujar Muawiyah melanjut­kan perkataannya. “Kufikir, sebaiknya kita menyurati dulu pen­dukung-pendukung kita dan musuh-musuh kita di Mesir. Kepada para pendukung kita anjurkan supaya mereka tetap sabar dan ta­bah menunggu kedatangan pasukan kita. Sedangkan kepada musuh-­musuh kita, sebaiknya mereka itu kita ajak berdamai lebih dulu, sambil kita gertak dengan kekuatan angkatan perang kita. Jika mereka menyambut baik ajakan kita sehingga tidak terjadi pepe­rangan, itulah yang kita inginkan. Tetapi jika mereka menolak, kita tidak menemukan cara lain kecuali harus kita perangi…”

“Kalau begitu, baiklah,” jawab Amr. “Kaulaksanakanlah pendapat itu. Demi Allah, bagaimanapun juga akhirnya pasti terjadi peperangan…”

Selesai pertemuan, Muawiyah segera menulis surat kepa­da dua orang tokoh pendukung-nya di Mesir, yaitu Maslamah bin Makhlad dan Muawiyah bin Hudaij Al-Kindiy. Dua orang tokoh tersebut adalah penentang Imam Ali r.a. Dalam surat­nya Muawiyah bin Abi Sufyan antara lain mengatakan: “Allah s.w.t. telah memikulkan tugas besar di atas pundak kalian. Dengan tugas itu kalian akan mendapat pahala sangat besar dan Allah akan mengangkat kedudukan serta martabat kalian. Kalian menuntut balas atas terbunuhnya Khalifah yang madzlum (yakni Utsman bin Affan). Ketika kalian melihat hukum Allah dibiarkan, kalian marah, kemudian kalian berjuang melawan orang dzalim yang memusuhi Utsman. Hendaknya kalian tetap teguh berpendirian seperti itu dan teruskan perjuangan melawan musuh kalian. Tarik­lah orang-orang yang masih menjauhi kalian berdua agar mereka mau mengikuti pimpinan kalian. Sebuah pasukan akan datang un­tuk memperkuat kalian, dan setelah itu akan tersingkirlah semua yang tidak kalian sukai, dan apa yang kalian inginkan akan ter­wujud. Wassalaam.”

Surat Muawiyah tersebut dibawa oleh seorang maula, berna­ma Subai, ke Mesir, untuk diterimakan kepada dua tokoh pen­dukung Muawiyah tersebut di atas tadi.

Setelah dibaca oleh Maslamah bin Makhlad, surat itu diterus­kan kepada Muawiyah bin Hudaij disertai pemberitahuan, bahwa surat itu akan dibalasnya sendiri dan juga atas nama Muawiyah bin Hudaij. Muawiyah bin Hudaij menyatakan persetujuannya agar Maslamah menulis jawaban kepada Muawiyah bin Abi Sufyan.

Dalam surat jawabannya Maslamah antara lain mengatakan: “…Perintah yang dipercayakan kepada kami berdua untuk terus melawan musuh, merupakan kewajiban yang akan kami laksana­kan, dengan harapan semoga Allah akan melimpahkan pahala ke­pada kita. Mudah-mudahan Allah akan memenangkan kita atas orang-orang yang menentang kita, dan akan mempercepat pem­balasan terhadap orang-orang yang telah berbuat jahat memusuhi pemimpin kita, dan yang hendak menginjak-injak negeri kita.

“Di negeri ini (Mesir) kami telah menyingkirkan orang-orang dzalim dan telah membangkitkan orang-orang yang bersikap adil. Engkau telah menyebut-nyebut dukungan dan bantuan kami untuk mem­pertahankan kekuasaan yang ada di tanganmu. Demi Allah, kami telah bangkit melawan musuhmu bukan dengan niat untuk mem­peroleh kekayaan. Bukan itu yang kami inginkan, meskipun Allah mungkin akan melimpahkan imbalan pahala di dunia dan akhi­rat. Kirimkanlah segera kepada kami pasukan berkuda dan peja­lan kaki. Sebab musuh sudah siap hendak menyerang kami, se­dang kekuatan kami sangat kecil dibanding dengan mereka. Pada saat bantuanmu tiba, Allah pasti akan menjamin kemenang­an bagimu…”

Surat Maslamah dan Ibnu Hudaij itu diterima Muawiyah di saat ia sedang berada di Palestina. Para penasehatnya menyaran­kan supaya Muawiyah cepat-cepat mengirimkan pasukan ke Me­sir. Mereka mengatakan: “Insyaa Allah, engkau pasti akan berhasil menaklukannya…”

Muawiyah kemudian memerintahkan Amr bin Al Ash supaya segera memobilisasi pasukan. Setelah siap segala-galanya, Amr di­perintahkan berangkat ke Mesir memimpin pasukan berkekuat­an 6.000 orang. Waktu mengantar keberangkatannya, Muawiyah bin Abi Sufyan berpesan: “Kupesankan supaya engkau tetap ber­taqwa kepada Allah. Hendaknya engkau berkasih-sayang dan ja­ngan terburu-buru. Sebab sikap seperti itu adalah dorongan setan. Hendaknya engkau mau menerima baik siapa saja yang datang ke­padamu, dan berikanlah maaf kepada orang-orang yang menjauhi dirimu. Berilah kesempatan kepada mereka untuk kembali dan bertaubat. Bila mereka sudah kembali dan bertaubat, engkau harus bersedia menerima dan memaafkan perbuatan mereka. Tetapi jika mereka tetap menolak, engkau harus bersikap keras. Sebab, kekerasan yang diambil setelah melalui peringatan lebih dulu, akan lebih baik akibatnya. Hendaknya engkau menyerukan dan mengajak orang untuk berdamai dan rukun serta bersatu. Sehingga apabila engkau menang, engkau akan mempunyai pendukung-­pendukung yang terbaik. Oleh karena itu bersikaplah baik-baik kepada semua orang…”

Setibanya dekat Mesir, Amr bin Al Ash dan pasukannya berhenti. Di tempat itu orang-orang dari penduduk Mesir yang menjadi pengikut Utsman bin Affan r.a. datang bergabung. Kemu­dian Amr mengirim surat kepada Muhammad bin Abu Bakar Ash Shiddiq. Isinya antara lain: “Hai Ibnu Abu Bakar…, serahkanlah kedudukanmu kepadaku, karena tanganmu berlumuran darah (Utsman). Aku tidak ingin melihat engkau celaka di tanganku. Di negeri ini banyak orang yang sudah bertekad hendak melawanmu, menolak perintahmu, dan menyesal pernah menjadi pengikutmu. Mereka hendak menyerahkan dirimu kepadaku di waktu keada­an sudah menjadi genting. Kunasehatkan, sebaiknya kautinggal­kan saja negeri ini…!”

Bersamaan dengan surat itu, oleh Amr juga dilampirkan surat Muawiyah yang ditujukan kepada Muhammad bin Abu Bakar Ash Shiddiq. Surat Muawiyah bin Abi Sufyan itu isinya antara lain: “Apabila kedzaliman dan kedurhakaan sudah merajalela, pasti besarlah akibat buruk yang ditimbulkan. Orang yang telah menum­pahkan darah secara tidak sah, tak akan terhindar dari pembalasan di dunia dan siksa berat di akhirat. Aku belum pernah melihat orang yang melebihi engkau dalam berbuat jahat, mencerca dan menentang Utsman bin Affan. Bersama-sama orang lain engkau berusaha dan saling bantu untuk menumpahkan darahnya. Lantas, apakah engkau mengira bahwa aku akan melupakan perbuatanmu itu?”

Seterusnya dikatakan: “Sekarang engkau tinggal di sebuah negeri dengan aman dan tenteram, padahal di negeri itu banyak sekali pengikut dan pendukungku. Mereka itu ialah orang-orang yang sependirian dengan aku, menolak semua omonganmu, dan berteriak minta tolong kepadaku. Aku telah mengerahkan sebuah pasukan untuk memerangimu, dan mereka itu adalah orang-orang yang sangat dendam terhadap dirimu. Mereka akan menumpahkan darahmu, dan akan bertaqarrub kepada Allah me­lalui perjuangan melawanmu. Mereka telah bersumpah hendak membunuhmu. Seandainya mereka tidak sampai dapat memenuhi sumpah masing-masing, Allah pasti akan mencabut nyawamu, entah melalui tangan mereka atau tangan para hamba-Nya yang lain. Engkau kuperingatkan, bahwa Allah tetap menuntut balas kepadamu atas terbunuhnya Utsman, yang disebabkan oleh kedza­limanmu, kedurhakaanmu dan tusukan tombakmu. Walaupun begitu…, aku tidak ingin membunuhmu. Aku tidak mau berbuat seperti itu terhadap dirimu. Allah tidak akan menyelamatkan dirimu dari pembalasan, di mana pun engkau berada dan sampai ka­pan pun juga. Oleh karena itu, lepaskanlah kedudukanmu dan selamatkan dirimu sendiri. Wassalaam.”

Setelah dua surat tersebut dibaca oleh Muhammad bin Abu Bakar, kemudian dilipat untuk diteruskan kepada Amirul Muk­minin Imam Ali r.a., dengan disertai pengantar sebagai berikut: “Ya Amirul Mukminin, si durhaka Ibnul Ash kini telah tiba dekat Mesir. Orang dari penduduk Mesir yang sependirian dengan dia berhimpun di sekelilingnya. Ia datang membawa sebuah pa­sukan besar. Kulihat ada tanda-tanda patah semangat di kalangan orang-orang yang menjadi pendukungku. Jika engkau masih te­tap hendak mempertahankan Mesir, harap segera mengirimkan beaya dan pasukan. Wassalamu’alaika wa rahmattullahi wabara­kaatuh.”

Sesudah Imam Ali r.a. membaca surat-surat yang dikirim­kan oleh Muhammad bin Abu Bakar, ia segera menulis jawaban: “Utusanmu telah datang membawa suratmu kepadaku. Dalam surat tersebut engkau mengatakan, bahwa Ibnul Ash sekarang telah datang di Mesir membawa sebuah pasukan besar, dan bahwa orang-­orang yang sependirian dengan dia telah bergabung kepadanya. Keluarnya orang-orang yang sependirian dengan dia dari barisan­mu itu lebih baik daripada kalau mereka tetap tinggal bersamamu. Engkau menyebutkan juga, bahwa ada orang-orang yang tampak patah semangat. Tetapi engkau sendiri jangan sampai patah sema­ngat. Pertahankanlah wilayah negerimu, himpunlah semua pen­dukungmu, perkuat pengawasan dalam pasukanmu, dan angkat­lah Kinanah bin Bisyir sebagai pimpinan pasukan. Ia seorang yang terkenal bijaksana, berpengalaman dan pemberani. Dalam keadaan sulit rakyat kupercayakan kepadamu. Oleh karena itu hendak­nya engkau tetap tabah menghadapi musuh dan senantiasa te­tap waspada. Perangilah mereka dengan keteguhan tekadmu, dan lawanlah mereka sambil bertawakkal kepada Allah s.w.t.”

Selanjutnya Imam Ali r.a. mengatakan: “Sekalipun fihakmu lebih sedikit jumlahnya, namun Allah berkuasa menolong fihak yang sedikit dan mengalahkan fihak yang berjumlah banyak. Aku sudah membaca dua pucuk surat yang dikirimkan kepadamu oleh dua orang durhaka yang berpelukan mesra dalam perbuatan mak­siyat, bergandeng-tangan dalam kesesatan, saling suap dalam pe­merintahan, dan sama-sama sombongnya terhadap para ahli agama. Janganlah engkau gentar menghadapi dua orang itu, dan jawablah mereka, engkau boleh menggunakan ‘bahasa’ apa saja menurut kehendakmu. Wassalaam.”

Selesai menulis surat, Imam Ali r.a. segera mengumpulkan para pengikutnya kemudian mengucapkan khutbah: “Muham­mad bin Abu Bakar Ash Shiddiq dan saudara-saudara kalian di Mesir sekarang menjerit minta bantuan, karena anak si Nabi­ghah (yakni Amr) sekarang sudah bergerak membawa pasukan besar hendak menyerang mereka. Anak si Nabighah itu ialah mu­suh Allah, musuh orang-orang yang hidup di bawah pimpinan Allah, dan pemimpinnya orang-orang yang memusuhi Allah. Oleh karena itu hai para saudara kita di Mesir, Mesir jauh lebih besar daripada Syam, penduduknya pun lebih baik. Janganlah kalian sampai terkalahkan di Mesir. Adalah suatu kehormatan bagi kalian jika Mesir tetap berada di tangan kalian. Itu pun sekaligus merupa­kan pukulan hebat bagi musuh kalian. Berangkatlah kalian ke Ja­ra’ah[1] dan kita semua besok akan berkumpul di sana. Insyaa Allah.”

Keesokan harinya Imam Ali r.a. berangkat ke Jara’ah. Seti­banya di sana ia berhenti menunggu sampai tengah hari. Ternyata hanya 100 orang saja yang datang hendak mengikuti. Melihat gela­gat seperti itu, Imam Ali r.a. pulang ke Kufah. Malam harinya ia mengumpulkan sejumlah pengikut terkemuka. Dalam perte­muan itu Imam Ali r.a. tampak sedih dan sangat kecewa. Ia ber­kata: “Puji syukur ke hadirat Allah yang mengatur semua urusan menurut takdir-Nya, dan yang menilai siapa-siapa berbuat kebajik­an. Dialah yang memberi cobaan kepadaku dalam menghadapi kalian. Hai saudara-saudara, kalian itu sebenarnya adalah kelompok orang-orang yang tidak mau taat bila kuperintah, dan tidak mau menyambut bila kuajak. Celaka sekali kalian itu! Kemenangan apa yang kalian tunggu jika kalian enggan berjuang membela hak­-hak kalian? Di dunia ini sesungguhnya mati lebih baik dari­pada hidup meninggalkan kebenaran!”

“Demi Allah,” kata Imam Ali r.a. seterusnya, “seandainya maut datang kepadaku –dan biarlah ia datang– kalian akan melihat aku benar-benar marah menjadi teman bagi orang-orang seperti kalian! Apakah kalian tidak mempunyai agama yang me­wajibkan kalian bersatu? Apakah kalian tidak bisa marah kalau kehormatan kalian diinjak-injak? Apakah kalian tidak mendengar bahwa musuh kalian hendak mengurangi wilayah negeri kalian dan mereka sekarang sedang melancarkan serangan terhadap kali­an? Apakah tidak aneh kalau orang-orang durhaka dan dzalim bisa menyambut baik ajakan Muawiyah dan bersedia dikerahkan kemana saja menurut kehendaknya? Sedangkan kalian sendiri, tiap kuajak pasti bertengkar, lari bercerai-berai menjauhi aku, mem-bangkang dan membantah…!”

Di Mesir, seterimanya surat yang berisi petunjuk dari Imam Ali r.a., Muhammad bin Abu Bakar segera menulis jawaban kepada Amr bin Al Ash, yang isinya: “Aku sudah memahami isi suratmu dan telah mengerti apa yang kausebutkan. Seolah-olah engkau ti­dak suka melihatku celaka di tanganmu, tetapi aku bersaksi, demi Allah, bahwa engkau itu adalah salah seorang yang hidup bergeli­mang dalam kebatilan. Seolah-olah engkau memberi nasehat ke­padaku, tetapi aku bersumpah, bahwa sesungguhnya bagiku eng­kau adalah musuh yang harus dicurigai. Engkau mengatakan bah­wa penduduk negeri ini emoh kepadaku dan menyesal pernah jadi pengikutku, tetapi orang-orang yang seperti itu sebenarnya hanyalah mereka yang bersekutu dengan setan terkutuk. Aku berserah diri kepada Allah, Tuhan semesta alam, karena hanya Dia-lah tempat orang berserah diri yang sebaik-baiknya.”

Bersamaan dengan itu, Muhammad bin Abu Bakar juga menu­lis jawaban kepada Muawiyah bin Abi Sufyan. Isinya antara lain: “Suratmu sudah kuterima. Engkau menyebut-nyebut per­soalan Utsman bin Affan, suatu persoalan yang aku tidak perlu minta maaf kepadamu. Seolah-olah engkau hendak memberi nase­hat kepadaku dengan menggertak supaya aku menyerahkan kedu­dukan kepadamu. Dengan menakut-nakuti aku, engkau sekaligus juga berpura-pura menunjukkan belas kasihan kepadaku. Padahal sebenarnya aku sendiri sangat mengharapkan bencana menimpa kalian. Mudah-mudahan Allah akan menghancurkan kalian dalam peperangan sehingga kalian akan menjadi orang-orang hina yang la­ri tunggang langgang. Kalau sampai engkau berkuasa di dunia ini, demi Allah, betapa banyaknya orang dzalim yang akan kaubela. Betapa banyaknya orang mukmin yang akan kaubunuh dan kaucincang! Hanya kepada Allah sajalah semua persoalan kembali. Sesungguhnya Dia-lah Maha Pengasih dan Penyayang…”

Seterimanya surat jawaban dari Muhammad bin Abu Bakar, Amr bin Al Ash dan pasukannya mulai bergerak memasuki Mesir. Mendengar berita tentang gerakan Amr tersebut, Muhammad bin Abu Bakar berpidato di depan umum:

“Hai orang-orang yang beriman, ketahuilah bahwa kaum yang sudah biasa melanggar kehormatan, yang tenggelam dalam kesesa­tan, dan yang terus menerus berbuat sewenang-wenang sekarang sudah terang-terangan menyatakan permusuhan terhadap kalian. Mereka sedang bergerak menuju negeri kalian ini dengan membawa pasukan bersenjata. Oleh karena itu, barang siapa yang mengingin­kan sorga dan pengampunan dari Allah s.w.t., ia harus berani keluar dan berjuang melawan mereka dengan niat semata-mata untuk memperoleh keridhoan Allah. Majulah menggempur mereka bersama-sama Kinanah bin Bisyir!”

Kinanah bin Bisyir kemudian diserahi tugas memimpin pasu­kan sebesar 2.000 orang, sedangkan Muhammad bin Abu Bakar bertahan di belakang dengan 2.000 orang pengikut. Amr bin Al Ash bergerak terus menghadapi pasukan Kinanah yang mengambil posisi di depan pasukan Muhammad. Ketika sudah mendekati

pasukan Kinanah, Amr menggerakkan pasukannya regu demi regu. Tiap regu Syam yang berani mendekat, selalu berhasil dipukul mundur oleh pasukan Kinanah. Ini terjadi sampai berulang kali.

Ketika Amr melihat pasukannya dalam keadaan meresahkan cepat-cepat ia mengirim kurir kepada Muawiyah bin Hudaij untuk minta bantuan. Permintaan Amr itu segera dipenuhi Muawi­yah bin Hudaij dengan mengerahkan pasukan besar. Melihat pasukan musuh yang berjumlah sangat banyak itu, Kinanah dan sejumlah anggota pasukannya turun dari kuda, lalu melancarkan serangan keras terhadap musuh dengan pedang. Dengan gigih ia menyerang terus-menerus, dan akhirnya gugur di medan tempur sebagai pahlawan syahid.

Setelah Kinanah mati terbunuh, Muawiyah bin Hudaij ma­ju ke depan barisan untuk mencari-cari Muhammad bin Abu Ba­kar. Waktu itu para pendukung Muhammad sudah lari bercerai-be­rai meninggalkannya. Muhammad keluar berjalan kaki pelahan-la­han sampai tiba di sebuah rumah tua yang sudah rusak. Lalu ma­suk ke dalam untuk berlindung. Saat itu Amr rnasih bergerak te­rus sampai ke Fusthat, sedangkan Ibnu Hudaij masih terus menca­ri-cari Muhammad bin Abu Bakar. Akhirnya ia berjumpa dengan orang-orang yang sedang lari untuk menyelamatkan diri. Waktu Ibnu Hudaij bertanya apakah ada orang yang mencurigakan lewat, mereka menjawab: “Tidak!”

Tetapi kemudian salah seorang di antara mereka menam­bahkan: “Aku tadi masuk ke dalam rumah tua itu, dan kulihat di dalamnya ada seorang lelaki sedang duduk.”

Seketika itu juga Muawiyah bin Hudaij berteriak: “Nah…, itu mesti dia…, demi Allah!” Bersama beberapa temannya ia masuk ke dalam, lalu Muhammad bin Abu Bakar diseret keluar dalam keadaan hampir mati kehausan, kemudian di bawa ke Fusthat.

Ketika melihat saudaranya diseret-seret oleh Ibnu Hudaij, Abdurrahman bin Abu Bakar segera lari menemui Amr, kemudian berkata: “Demi Allah, saudaraku jangan sampai dibunuh per­lahan-lahan. Perintahkan orang supaya melarang Ibnu Hudaij ber­buat seperti itu!”

Atas permintaan Abdurrahman, Amr memerintahkan supaya Muhammad bin Abu Bakar dibawa kepadanya. Akan tetapi Ibnu Hudaij menjawab: “Kalian telah membunuh anak pamanku, Kinanah bin Bisyir. Apakah aku harus membiarkan Muhammad hidup? Tidak!”

Dalam suasana sangat tegang itu Muhammad minta diberi air seteguk untuk menghilangkan dahaga. Permintaan Muhammad itu ditolak Ibnu Hudaij dengan kata-kata: “Setetespun engkau ti­dan akan kuberi air. Engkau dulu menghalang-halangi Utsman bin Affan sampai tidak bisa mendapatkan air minum, kemudian ia kau­ bunuh dalam keadaan “berpuasa” kehausan. Hai Ibnu Abu Bakar, demi Allah, engkau akan kubunuh dalam keadaan haus kekering­an. Biarlah Allah nanti memberi minum kepadamu dengan air mendidih dari neraka Jahim dan nanah!”

Muhammad bin Abu Bakar yang sudah hampir kehilangan te­naga masih menjawab dengan penuh semangat: “Hai anak perem­puan Yahudi, pada hari itu nanti tidak ada urusan denganmu atau Utsman. Itu hanya semata-mata urusan Allah. Dia-lah yang akan memberi minum kepada hamba-hamba-Nya yang shaleh, dan membuat musuh-musuh-Nya haus kekeringan! Yaitu orang-orang seperti engkau, teman-temanmu, orang yang mengangkatmu se­bagai pemimpin, dan orang yang kau pimpin! Demi Allah, sean­dainya pedang masih ada di tanganku, orang-orangmu tidak akan dapat menyentuhku!”

“Tahukah engkau,” tanya Muawiyah bin Hudaij, “apa yang akan kuperbuat atas dirimu? Engkau akan kujejalkan ke dalam perut bangkai keledai itu, lantas akan kubakar sampai hangus!”

“Kalau engkau berbuat seperti itu,” ujar Muhammad bin Abu Bakar, “perbuatan itu sesungguhnya kaulakukan terhadap se­orang hamba Allah yang shaleh. Demi Allah, mudah-mudah­an Allah akan membuat api yang kau gunakan untuk menakut-­nakuti itu menjadi sejuk dan tidak berbahaya. Sama seperti api yang digunakan membakar Nabi Ibrahim a.s. dahulu. Dan mu­dah-mudahan Allah akan membuatmu dan membuat pemimpin-­pemimpinmu sama seperti Namrud dan orang-orang kepercayaan­nya. Semoga Allah akan membakarmu, membakar pemimpin-­pemimpinmu, Muawiyyah dan orang itu (ia menunjuk dengan jari ke arah Amr bin Al Ash)…, dengan api neraka yang berkobar-­kobar. Tiap hampir padam akan lebih dikobarkan lagi oleh Allah!”

“Aku tidak membunuhmu secara dzalim,” jawab Muawiyah bin Hudaij. “Aku membunuhmu karena engkau telah membunuh Utsman!”

“Apa urusanmu dengan Utsman, orang yang telah berbuat dzalim dan mengganti hukum Allah,” sahut Muhammad bin Abu Bakar dengan tegas. “Pada hal Allah telah berfirman (yang arti­nya): “Barang siapa menetapkan hukum tidak menurut apa yang telah diturunkan Allah, mereka adalah orang-orang kafir,[2]orang-orang dzalim,[3] orang-orang durhaka.[4] Kami bertindak keras terhadapnya karena hal-hal yang telah diperbuat olehnya. Kami menuntut supaya ia melepaskan jabatan, tetapi ia menolak, dan akhirnya ia dibunuh orang!”

Mendengar jawaban Muhammad itu, Muawiyah bin Huda­ij naik pitam. Pedang diayun dan Muhammad bin Abu Bakar di­penggal lehernya. Jenazahnya dijejalkan ke dalam perut keledai, kemudian dibakar sampai hangus.

Mendengar saudaranya mengalami nasib malang, Sitti Aisyah r.a. tersayat-sayat hatinya dan sangat sedih. Tiap selesai shalat ia selalu mohon kepada Allah s.w.t. supaya menjatuhkan ad­zab kepada Muawiyah bin Abi Sufyan, Amr bin Al Ash, Muawi­yah bin Hudaij. Keluarga yang ditinggalkan Muhammad di pelihara oleh Sitti Aisyah r.a., termasuk Al-Qasim bin Muhammad.

Menurut berbagai sumber riwayat, sejak terjadinya peristiwa sangat kejam itu Sitti Aisyah r.a. tidak mau lagi makan panggang daging sampai akhir hayatnya. Tiap teringat kepada saudaranya, ia menyumpah-nyumpah: “Binasalah Muawiyah bin Abi Sufyan, Amr bin Al Ash, Muawiyah bin Hudaij!”

Sedangkan Asma binti ‘Umais, ibu Muhammad, ketika men­dengar kemalangan menimpa anak kandungnya, ia muntah darah dalam mushalla, akibat menahan marah dan dendam.

Waktu Imam Ali r.a. mendengar berita tewasnya Muhammad bin Abu Bakar, ia sangat pilu dan sedih. Tindakan buas terhadap Muhammad itu terbayang-bayang di pelupuk matanya. Dalam su­atu khutbahnya sesudah kejadian itu ia mengatakan: “Mesir seka­rang telah ditaklukkan oleh orang-orang durhaka dan pemimpin-­pemimpin dzalim lagi bathil. Mereka itu ialah orang-orang yang sela­ma ini berusaha membendung jalan menuju kebenaran Allah, dan orang-orang yang hendak menyelewengkan agama Islam. Muham­mad bin Abu Bakar telah gugur sebagai pahlawan syahid. Semoga Allah melimpahkan rahmat kepadanya. Perhitungan tentang kema­tiannya itu kita serahkan kepada Allah.”

“Demi Allah,” kata Imam Ali r.a. selanjutnya, “sebagaimana kuketahui ia memang seorang yang penuh tawakkal kepada Allah dan rela menerima takdir Ilahi. Ia telah berbuat untuk memper­oleh pahala. Ia seorang yang sangat benci kepada segala bentuk ke­durhakaan, dan sangat mencintai jalan hidup orang-orang beriman.”

“Demi Allah, aku tidak menyesali diriku karena tidak sang­gup berbuat. Aku tahu benar bagaimana beratnya resiko penderi­taan dalam peperangan. Aku sanggup dan berani menghadapi pe­rang, aku mengerti bagaimana harus bertindak tegas, dan aku pun mempunyai pendapat yang tepat. Oleh karena itu aku berseru ke­pada kalian untuk memperoleh balabantuan dan pertolongan. Te­tapi kalian tidak mau mendengarkan perkataanku, tidak mau men­taati perintahku, sehingga urusan yang kita hadapi ini berakibat sangat buruk.

“Kurang lebih 50 hari yang lalu, kalian kuajak membantu saudara-saudara kalian di Mesir, tetapi kalian maju mundur. Kalian merasa berat seperti orang-orang yang memang tidak mem­punyai niat berjuang, yaitu orang-orang yang tidak pernah berfikir ingin memperoleh imbalan pahala.”

“Akhirnya aku hanya dapat menghimpun pasukan kecil, jumlahnya sangat sedikit, lemah dan tidak kompak. Mereka ini seolah-olah hanya untuk digiring menghadapi maut yang ada di depan mereka! Alangkah buruknya kalian itu!”

Selesai mengucapkan khutbah yang pedas didengar itu, ia turun dan pergi.

Disadur dari buku :

Sejarah Hidup Imam Ali bin Abi Thalib r.a.
Oleh H.M.H. Al Hamid Al Husaini
Penerbit: Lembaga Penyelidikan Islam

https://tausyah.wordpress.com

Masjid-JumeirahSementara Imam Ali r.a. menanggulangi pemberontakan Khawarij di Nehrawan, Muawiyah meningkakan terus kekuatan­nya, mengkonsolidasi barisan serta mengokohkan kedudukannya. Mereka memperoleh waktu yang sangat cukup untuk memper­siapkan peperangan lebih lama lagi, berkat politik “tahkim” yang disusun oleh arsiteknya, Amr bin Al Ash.

Sebaliknya, dengan muslihat “tahkim” itu, kekuatan Imam Ali r.a. sekarang menjadi berkurang. Ia ditinggalkan, bahkan dilawan oleh pengikut-pengikutnya sendiri, yang sudah memisah­kan diri sebagai kaum Khawarij. Dalam menumpas gerakan Kha­warij, Imam Ali r.a. telah kehilangan beberapa anggota pasukan yang cukup merugikan, walaupun berhasil mencapai kemenangan.

Imbangan kekuatan yang sekarang sangat menguntungkan fihak Muawiyah difahami benar-benar oleh para pengikut Imam Ali r.a. Secara diam-diam banyak di antara mereka yang sudah kejangkitan penyakit putus asa. Belum lagi kita sebutkan besar­nya dana yang dihamburkan Muawiyah untuk membeli pengikut sebanyak-banyaknya. Bagaimana pun juga hal ini besar pengaruh­nya di kalangan para pengikut Imam Ali r.a. yang kurang teguh iman dan pendiriannya. Kepada para pengikut Imam Ali r.a. yang mau menyeberang, Muawiyah mengiming-imingkan hadiah berli­pat ganda.

Perlawanan terhenti

Selesai perang melawan kaum Khawarij dan sebelum mening­galkan Nehrawan untuk berangkat melanjutkan perang melawan Muawiyah, Imam Ali r.a. mengucapkan pidato di depan para peng­ikutnya. Antara lain ia berkata: “Cobaan Allah yang kalian hadapi telah berakhir dengan baik. Allah telah memenangkan kalian de­ngan pertolongan-Nya. Sekarang marilah kita berangkat untuk menghadapi Muawiyah dan para pendukungnya yang durhaka itu. Mereka yang meninggalkan Kitab Allah di belakang punggung dan telah menjual-belikannya dengan harga murah. Alangkah bu­ruknya apa yang telah mereka beli dengan Kitab Allah itu!”

Bagaimana sambutan pengikut Imam Ali r.a. Kali ini Imam Ali r.a. terbentur lagi pada ranjau yang dipasang oleh Al Asy’ats bin Qeis. Asy’ats ternyata sudah berhasil mempengaruhi banyak anggota pasukan Imam Ali r.a. supaya meninggalkan barisan, de­ngan jalan mencari tempat-tempat peristirahatan di daerah-daerah yang berdekatan. Alasan yang digunakan dalam kampanye itu ialah mereka sudah terlampau letih dan sangat perlu beristirahat, untuk memulihkan tenaga lebih dulu, sebelum bergabung dalam pasukan.

Jasa Asy’ats nampaknya tidak kecil bagi Muawiyah. Tidak keliru rasanya kalau ada sementara penulis yang mengatakan, bah­wa bukan hanya Abu Musa dan kaum Khawarij saja yang ber­berjasa kepada Muawiyah, tetapi juga Al Asy’ats bin Qeis.

Waktu Imam Ali r.a. mengajak anggota-anggota pasukannya berangkat memerangi Muawiyah, mereka menjawab sesuai dengan garis yang sudah diletakkan Al Asy’ats: “Ya Amiral Mukminin, anak panah kami sudah habis, tangan kami sudah terlalu payah, pedang kami banyak yang patah dan tombak kami sudah tumpul! Biarkanlah kami pulang dulu agar kami dapat mempersiapkan perbekalan dan perlengkapan yang lebih baik. Mungkin Amirul Mukminin akan memberi tambahan senjata kepada kami, agar kami lebih kuat dalam menghadapi musuh!”

Sulit mencari orang yang bertabiat keras seperti Imam Ali r.a. tetapi juga sangat sulit mencari orang yang sabar seperti dia. Sukar mencari orang yang waspada seperti Imam Ali r.a., tetapi juga sangat sukar mencari orang yang mempercayai sahabat se­penuh hati seperti dia. Bagaimana harus dibantah, bukankah mere­ka itu benar-benar baru saja menyelesaikan peperangan? Jadi alas­an mereka itu memang masuk akal! Imam Ali r.a. setuju mereka beristirahat, tetapi tidak pulang ke rumah masing-masing. Mereka harus diistirahatkan bersama di suatu tempat, agar setiap saat dapat dikerahkan bila dipandang perlu.

Mereka kemudian diajak oleh Imam Ali r.a. ke sebuah tempat bernama Nakhilah. Selain menjadi tempat istirahat, Nakhilah juga dijadikan tempat pemusatan pasukan. Kepada semua pa­sukan diperintahkan supaya jangan sampai ada yang mening­galkan tempat. Semua pasukan harus selalu dalam keadaan siaga untuk melanjutkan peperangan melawan pasukan Syam. Jika anak isteri tidak seberapa jauh dari Nakhilah, boleh saja menjenguk mereka, tetapi jangan terlalu sering. Masing-masing anggota pa­sukan diminta supaya selalu siap menantikan saat keberangkatan ke Shiffin.

Apa yang terjadi?

Ternyata hanya beberapa hari saja mereka tinggal bersama Imam Ali r.a. di Nakhilah. Banyak sekali yang tanpa izin menye­linap pergi ke Kufah untuk bersenang-senang dengan anak isteri mereka. Tidak sedikit yang bertebaran ke daerah-daerah sekitar Nakhilah untuk mencari hiburan dan kesenangan. Imam Ali r.a. ditinggal bersama beberapa orang sahabat terdekat dan sejumlah pengikut. Akhirnya Imam Ali r.a. dan para sahabat terdekat itu terpaksa meninggalkan Nakhilah dalam keadaan kosong.

Sejak saat itu perlawanan terhadap Muawiyah praktis terhenti. Kesetiaan pendukungnya sudah tak dapat diandalkan la­gi. Banyak di antara mereka yang mulai terpikat hatinya oleh ke­pentingan duniawi yang dinikmati oleh kaum muslimin di Syam. Selain itu banyak juga yang patah semangat dan kejangkitan penyakit putus asa.

Terhentinya perlawanan menumpas pemberontakan Muawi­yah bukan disebabkan ketidak mampuan Imam Ali r.a., melain­kan karena sikap massa yang dipimpinnya sudah goyah dan tidak mantap, terutama mereka yang berasal dari Kufah. Tanda-tanda akan terjadinya hal yang harus disayangkan itu, sudah nampak sejak Imam Ali r.a. memasuki kota tersebut. Bahkan beberapa bu­lan sebelum itu pun di Madinah Imam Ali r.a. sudah menghada­pi bermacam-macam kesulitan, yaitu sejak pembai’atannya sebagai Khalifah.

Ajakan ke medan juang

Setelah ditinggal oleh banyak pengikutnya dan hanya tingal para sahabat yang setia saja, melalui Hujur bin Addiy, Amr bin Al Humuq dan sejumlah sahabat lainnya, Imam Ali r.a. mengeluar­kan sebuah pernyataan tertulis untuk disampaikan kepada kaum muslimin Kufah, terutama bekas pendukungnya. Dalam pernyata­an tertulis itu Imam Ali r.a. membeberkan semua persoalan dan mengungkapkan latar belakang sejarahnya.

“Bahwasanya Allah s.w.t. telah mengutus Muhammad, Rasul Allah s.a.w. untuk mengingatkan ummat manusia di seluruh dunia. Beliau menerima wahyu dan mengemban amanat yang diturun­kan kepadanya, dan menjadi saksi bagi ummat ini. Hai orang-­orang Arab, kalian pada masa itu dalam keadaan tidak mempunyai agama. Satu sama lain saling memakan harta secara bathil. Kemu­dian Allah melimpahkan kurnia-Nya kepada kalian dengan mengu­tus Muhammad s.a.w. datang ke tengah-tengah kalian dan berbi­cara dengan bahasa kalian. Kalian mengenal wajah beliau dan me­ngetahui benar asal-usul keturunannya.

“Beliau telah mengajarkan hikmah, sunnah dan fara’idh ke­pada kalian. Beliau menyuruh kalian supaya selalu menjaga baik-­baik hubungan silaturrahmi, memelihara kerukunan dan saling memperbaiki keadaannya masing-masing. Kalian juga diperintah­kan supaya menunaikan amanat kepada fihak yang berhak, meme­nuhi janji, saling bercinta-kasih dan sayang menyayangi. Beliau pun memerintahkan kalian supaya berlaku jujur, dan jangan sam­pai mencatut timbangan atau takaran. Beliau datang kepada kali­an juga antara lain untuk melarang kalian jangan sampai berbuat zina dan jangan makan harta milik anak yatim secara dzalim.”

“Kebajikan akan menghindarkan kalian dari siksa neraka. Dan beliau mendorong kalian supaya senantiasa berbuat keba­jikan. Tiap perbuatan buruk dan jahat akan menjauhkan kalian dari sorga, dan beliau mencegah supaya kalian jangan sampai berbuat seperti itu. SetelahAllah s.w.t. memandang masa hidupnya sudah cukup, beliau dipanggil pulang ke sisi-Nya, dalam keadaan beliau patut menerima pujian dan memperoleh keridhoan-Nya. Beliau s.a.w. telah memperoleh pengampunan atas segala kekhilafannya dan benar-benar telah mendapat kedudukan mulia di sisi Allah s.w.t.

“Tetapi alangkah besarnya musibah yang terjadi sepeninggal beliau, terutama yang menimpa kaum kerabatnya dan kaum muk­minin pada umumnya. Setelah beliau tidak ada lagi kaum mus­limin mempertengkarkan pimpinan dan kekuasaan. Demi Allah, aku tidak pernah merasa khawatir dan tidak pernah membayang­kan bahwa orang-orang Arab akan menggeser kepemimpinan dari tanganku. Tetapi waktu itu ternyata orang-orang Arab meng­angkat Abu Bakar. Mereka datang berbondong-bondong kepa­danya. Aku diam tidak mengulurkan tangan, sebab aku yakin bahwa akulah yang sebenarnya lebih berhak meneruskan kepe­mimpinan Rasul Allah s.a.w. daripada orang lain yang akan me­mimpin aku. Beberapa waktu lamanya aku tetap bersikap seperti itu.

“Kemudian aku melihat banyak orang meninggalkan agama Islam, kembali kepada kepercayaan mereka semula, bahkan berani berseru kepada orang-orang lain supaya menghapuskan agama yang dibawakan oleh Muhammad s.a.w. dan Ibrahim as. Aku menjadi sangat khawatir, kalau aku tidak membela Islam dan kaum mus­limin, aku bakal menyaksikan kerusakan dan keruntuhan Islam. Bagiku, itu merupakan bencana yang jauh lebih besar daripada le­pasnya kepemimpinan dari tanganku. Sebab masalah kepemimpin­an hanyalah suatu hiasan hidup belaka yang tidak kekal dan tidak lama, yang akhirnya akan lenyap seperti fatamorgana.”

“Aku lalu pergi menjumpai Abu Bakar. Ia kubai’at, kemudian bersama dia aku bergerak menanggulangi kejadian tersebut di atas tadi, sampai kebathilan itu musnah dan kalimat Allah tetap unggul dan mulia walau orang-orang kafir tidak menyukai. Abu Bakar tetap memegang pimpinan pemerintahan. Ia berlaku adil, baik, benar, rendah hati dan hidup sederhana. Aku mendampingi dia sebagai penasehat. Ia kutaati sungguh-sungguh selama ia taat kepada Allah s.w.t.

“Beberapa saat menjelang wafatnya, Abu Bakar menunjuk Umar Ibnul Khattab untuk meneruskan kepemimpinannya. Itu pun kutaati. Umar kubai’at dan kepadanya kuberikan nasehat-­nasehat. Selama memegang pimpinan pemerintahan, Umar bersi­kap baik dan semasa hidupnya ia berperilaku terpuji. Menjelang wa­fatnya, aku berkata dalam hatiku: ‘Ia tentu tidak akan menyerah­kan pimpinan pemerintahan kepada orang lain. Tetapi ternyata ia minta supaya masalah kekhalifahan itu dimusyawarahkan, dan aku menjadi salah seorang calon sekaligus peserta musyawarah. Namun orang lainnya tidak suka kalau kepemimpinan jatuh ke tanganku, sebab mereka mendengar bahwa aku pernah menentang Abu Bakar’…”

“Dulu aku memang pernah mengatakan: ‘Hai orang-orang Qureisy, aku ini lebih berhak daripada kalian untuk memegang pimpinan, sebab tidak ada seorang pun di antara kalian yang ter­dini mengenal Al Qur’an dan mengerti sunnah Rasul!’ Karena aku berkata seperti itu, mereka merasa khawatir kalau sampai aku ter­bai’at menjadi pemimpin ummat, tidak akan ada kesempatan lagi bagi mereka. Akhirnya mereka membai’at Utsman bin Affan, menyingkirkan diriku dari kepemimpinan dan menyerahkannya kepada Utsman. Aku dijauhkan dari kepemimpinan karena mereka mengharap akan memperoleh giliran.”

“Aku terpaksa menyatakan bai’at. Aku menyabarkan diri sambil bertawakkal kepada Allah. Kemudian ada salah seorang berkata kepadaku: ‘Hai Ibnu Abu Thalib, mengapa engkau ngotot ingin memegang pimpinan?’ Aku menjawab: ‘Kalian lebih ngo­tot. Yang kuminta adalah hak waris putera pamanku! Waktu kali­an mencampuri urusanku dengan Utsman, kalian berbuat me­nampar mukaku dan tidak menampar mukanya!’ Aku berdoa memohon perlindungan kepada Allah s.w.t. dalam menghadapi orang-orang Qureiys itu. Mereka memutuskan silaturrahmiku de­ngan Rasul Allah s.a.w. Mereka meremehkan kedudukan dan ke­utamaanku. Mereka bersepakat merebut hak yang sebenarnya aku ini lebih berwenang dibanding mereka. Mereka telah memperkosa hakku.”

“Mereka lalu berkata lagi: ‘Sabarlah engkau menahan kepe­dihan itu! Dan sabarlah hidup dalam kekecewaan itu!’ Aku meli­hat-lihat dan ternyata tidak ada teman atau orang lain yang ber­sedia membantu selain keluargaku sendiri. Tetapi aku tidak mau menjerumus-kan keluargaku ke dalam bahaya. Kupejamkan mataku untuk menahan sakitnya kelilip, dan kutelan ludahku dengan pe­rasaan sedih. Aku sabar menahan kejengkelan, sehingga terasa olehku kepahitan yang melebihi jadam dan kesakitan yang mele­bihi tusukan pisau.”

“Akhirnya kalian dendam terhadap Utsman. Ia kalian data­ngi, lalu kalian bunuh. Setelah itu kalian datang kepadaku untuk menyatakan bai’at. Aku menolak, tetapi kalian tetap bersikeras menghendaki aku. Kalian mendesak dan mendorong-dorong da­tang kepadaku untuk mendesak terus, sampai kukira kalian akan saling bunuh-membunuh atau hendak membunuhku. Kepadaku kalian mengatakan: ‘Kami tidak menemukan orang selain engkau dan kami tidak menyukai orang lain. Kami seia-sekata dan dengan tekad bulat membai’atmu’…”

“Pembai’atan kalian kemudian kuterima. Lalu kalian meng­ajak orang-orang lain untuk membai’atku. Orang-orang yang me­nyatakan bai’at karena taat, kuterima. Sedangkan yang tidak mau menyatakan bai’at, kubiarkan. Orang yang pertama-tama menya­takan bai’at kepadaku ialah Thalhah dan Zubair. Seandainya dua orang itu tidak mau membai’atku, mereka tidak akan kupaksa, sama halnya seperti orang lain yang tidak mau membai’atku. Tidak lama kemudian aku mendengar dua orang itu berangkat ke Bashrah membawa sejumlah orang bersenjata. Tidak seorang pun dari mereka itu yang belum pernah menyatakan bai’at kepadaku. Di Bashrah mereka mengobrak-abrik pegawaiku, menggedor tem­pat-tempat penyimpanan harta kaum muslimin dan memperko­sa penduduk yang taat kepadaku. Mereka memecah belah dan me­rusak kerukunan, mencerai-beraikan persatuan dan menyerang tiap orang yang mengikuti serta mencintaiku. Beberapa kelompok dari pencintaku dibunuh secara gelap dan dianiaya. Di antara me­reka itu ada yang sanggup membela diri, ada yang hanya bersabar, dan ada pula yang dengan gigih terpaksa mengacungkan pedang. Para pencintaku itu bangkit melawan tindakan jahat mereka sam­pai banyak yang mati terbunuh dalam keadaan bertawakkal kepada Allah s.w.t.

“Demi Allah, seandainya hanya seorang saja dari para pencin­taku yang sengaja mereka bunuh, sudah halal bagiku untuk bertin­dak menumpas habis gerombolan bersenjata itu! Apalagi karena ternyata mereka itu telah membunuh banyak kaum muslimin. Tetapi, Allah s.w.t. sudah membalas perbuatan mereka, dan sekarang binasalah sudah kaum yang dzalim itu.”

“Kemudian aku melihat kepada orang-orang Syam. Mereka itu adalah orang-orang Arab yang berperangai kasar, terdiri dari macam-macam golongan yang serakah dan liar, datang dari ber­bagai pelosok. Mereka itu adalah orang-orang yang masih perlu diajar, dipimpin dan dibimbing. Mereka bukan kaum Muhajirin atau Anshar, dan bukan pula orang-orang yang memasuki agama dengan itikad baik. Mereka kudatangi, kuajak supaya mau bersatu dan bersedia taat, tetapi mereka menolak. Mereka menginginkan perpecahan, permusuhan dan kemunafikan. Mereka bergerak me­lawan kaum Muhajirin, kaum Ansor dan orang-orang yang masuk agama Islam dengan niat ikhlas dan jujur. Mereka melepaskan anak-panah dan melempar tombak. Di saat itulah aku bangkit dan bergerak melawan mereka. Mereka kuperangi.

“Setelah mereka kekurangan senjata dan merasakan sakit­nya luka, mereka kibarkan lembaran-lembaran Al-Qur’an dan ber­seru kepada kalian supaya berpegang teguh kepadanya. Waktu itu kalian sudah kuberi tahu, bahwa mereka itu bukan orang-orang yang patuh kepada ajaran agama dan Al-Qur’an. Mereka mengibarkan lembaran-lembaran Al-Qur’an hanya sekedar tipu-daya dan muslihat. Kalian sudah kuperintahkan supaya terus memerangi mereka, tetapi kalian menuduh diriku dan kalian berkata kepadaku: “Terimalah apa yang mereka usulkan. Kalau mereka benar-benar mau melaksanakan apa yang ada dalam Al-Qur’an dan sun­nah, pasti mereka akan bersatu dengan kita dalam kebenaran yang selama ini kita pertahankan. Jika mereka tidak mau, kita mem­punyai alasan kuat untuk terus berlawan terhadap mereka.”

“Keinginan kalian itu kusetujui, aku lalu mundur, tidak me­nyerang mereka lagi. Kemudian terjadilah persetujuan antara ka­lian dengan mereka untuk mengangkat dua orang perunding guna mencari penyelesaian damai berdasar Kitab Allah. Dua orang itu diharuskan patuh menjunjung tinggi perintah Al Qur’an dan men­jauhkan apa yang dilarangnya. Tetapi dua orang itu berselisih pendapat, dan hukum yang diambil ternyata berlain-lainan. Dua orang itu mengabaikan Al Qur’an dan menyalahi isinya. Dua-dua­nya tanpa hidayat Allah terjerumus mengikuti hawa nafsu sendi­ri-sendiri. Oleh Allah dua orang itu dijauhkan dari kebajikan dan diperosokkan dalam kesesatan. Dua-duanya memang pantas menjadi orang seperti itu.”

“Setelah semua itu terjadi, ada sekelompok orang meninggal­kan kami. Mereka pun kami tinggalkan. Kami bersikap sama se­perti mereka. Tetapi kemudian mereka berkeliaran di bumi mem­buat kerusakan.Orang-orang muslimin mereka bunuh tanpa dosa. Mereka kami datangi, lalu kami katakan kepada mereka: ‘Serah­kan kepada kami orang-orang yang membunuh saudara-saudara kami’. Mereka menjawab: ‘Kami semua inilah yang membunuh. Kami halal menumpahkan darah mereka dan darah kalian’…”

“Mereka lalu pergerak mengerahkan pasukan berkuda dan pe­jalan kaki untuk menyerang kami. Tetapi akhirnya mereka dihan­curkan oleh Allah, nasibnya sama seperti orang-orang dzalim lain­nya. Setelah itu kuperintahkan kalian supaya berangkat ke Shiffin untuk menghadapi musuh, tentara Syam. Sebab pendadakan seper­ti itu akan membuat hati mereka kecut dan akan menggagalkan tipu daya mereka. Waktu itu kalian ternyata menjawab: ‘Pedang kita sudah banyak yang patah, kita kehabisan anak panah, dan ujung tombak kita sudah banyak yang tumpul. Izinkanlah kita pulang dulu untuk mempersiapkan perlengkapan dan perbekalan yang lebih baik. Kiranya engkau pun akan menambah perleng­kapan kita dengan senjata-senjata yang ditinggalkan teman-teman kita yang telah tewas dan senjata-senjata bekas kepunyaan musuh. Itu akan merupakan tambahan kekuatan bagi kita dalam meng­hadapi musuh’…”

“Permintaan kalian itu kami terima. Selama beberapa waktu menunggu, kalian kuperintahkan supaya jangan meninggalkan ku­bu pertahanan, supaya lebih merapatkan barisan, siap siaga meng­hadapi peperangan, dan jangan terlalu sering menengok anak isteri, sebab itu akan melemahkan hati kalian dan dapat membelokkan fikiran kalian. Pasukan yang sedang menghadapi peperangan tidak semestinya mengeluh, meratap atau jemu bergadang di malam hari. Tidak semestinya pasukan itu mengeluh kehausan atau lapar, se­belum mencapai sasaran dan tujuan yang diinginkan.”

“Tetapi kenyataannya, ada sekelompok orang dari kalian yang meminta kelonggaran dengan bermacam-macam alasan. Ke­lompok lainnya lagi menyelinap masuk ke dalam kota lalu membe­lot. Mereka ini tidak ada yang datang kembali kepadaku. Setelah kuperiksa, ternyata pasukan yang masih tetap tinggal bersamaku hanya berjumlah 50 orang. Setelah aku melihat perbuatan kalian seperti itu, kalian kudatangi, tetapi sampai hari ini kalian masih tetap tidak sanggup keluar untuk menghadapi musuh bersama-sama kami.”

“Ya Allah, kasihan benar orang-orangtua kalian! Apalagi sebenarnya yang kalian fikirkan? Tidakkah kalian menyadari bah­wa kekuatan kalian sekarang sudah berkurang? Tidakkah kalian dapat melihat negeri kalian ini sudah diserang? Apa sebab kalian

masih berpaling muka? Bukankah musuh-musuh kalian itu sudah bersatu, bekerja keras dan bertukar-fikiran, sedang kalian sekarang bercerai-berai, bertengkar dan saling mengelabui satu sama lain? Ji­ka kalian bersatu, kalian pasti selamat.”

“Oleh karena itu bangunkanlah orang-orang yang sedang tidur nyenyak. Semoga Allah memberikan rahmat-Nya kepada kalian. Yang kalian perangi itu bukan lain adalah kaum thulaqa dan keturunan orang-orang thulaqa, yaitu orang-orang yang meme­luk Islam hanya karena terpaksa. Orang-orang yang dahulu meme­rangi Rasul Allah s.a.w., orang-orang yang memusuhi Al Qur’an dan Sunnah, orang-orang yang dahulu bergabung dan bersekutu dalam perang Ahzab melawan kaum muslimin, orang-orang ahli bid’ah yang banyak menimbulkan keonaran, orang-orang yang ditakuti karena kejahatannya, orang-orang yang menyeleweng dari agama, pemakan barang yang bathil dan budak-budak dunia!”

“Amr bin Al Ash itu sebenarnya condong kepadaku. Ia ber­fihak pada Muawiyah hanya setelah menerima janji akan diberi ke­kuasaan besar atas Mesir. Ia tidak segan-segan menjual agamanya untuk mendapatkan kepentingan dunia! Muawiyah membelinya dengan menghamburkan uang kekayaan kaum muslimin! Di an­tara orang fasik itu ada yang pernah dihukum cambuk karena meneguk minuman haram. Mereka itulah yang sekarang sedang menjadi pemimpin kaumnya. Orang-orang yang tidak kusebutkan perbuatan buruknya, banyak yang lebih jahat dan lebih berbahaya. Yaitu orang-orang yang jika sudah berpisah dari kalian, memper­lihatkan kebenciannya terhadap kalian. Mereka membangga-bang­gakan diri, menindas orang lain sewenang-wenang, congkak, deng­ki dan banyak berbuat kerusakan di bumi. Mereka mengikuti hawa nafsu dan memerintah dengan korup dan jalan suap (rasy­wah). Sedangkan kalian, walaupun tidak saling bantu dan berta­wakkal secara keliru, namun kalian masih jauh lebih benar dari­pada jalan mereka.”

“Di antara kalian terdapat orang-orang arif bijaksana (huka­ma), alim ulama, fuqaha (para ahli hukum syariat), pengajar-peng­ajar Al-Qur’an, orang-orang yang hidup zuhud di dunia, orang-­orang yang gemar mengunjungi masjid dan orang-orang ahli mem­baca Al Qur’an.”

“Apakah kalian rela dan tidak marah kalau orang-orang berperangai jahat, bengis dan kerdil seperti mereka itu hendak memaksakan kekuasaan kepada kalian? Dengarkanlah kata-kataku dan taati­lah perintahku bila kuperintahkan. Fahamilah nasihatku jika aku beri nasihat. Percayailah ketegasanku bila aku sudah bertindak. Ikutilah kebulatan tekadku bila aku sudah berniat! Bangunlah mengikuti kebangkitanku dan seranglah orang-orang yang kuse­rang! Jika kalian membangkang, kalian tidak akan mendapatkan petunjuk yang benar dan kalian tidak akan dapat bersatu. Terju­nilah peperangan dan siapkan semua perlengkapan. Perang sudah berkobar dan apinya masih menyala-nyala. Orang-orang yang dza­lim itu hendak membasmi kalian melalui peperangan dengan tuju­an untuk dapat leluasa memadamkan cahaya Allah.

“Demi Allah, seandainya aku seorang diri menjumpai mereka berada di tengah-tengah penghuni bumi ini, lantas aku menaruh perhatian kepada mereka, atau aku lantas lari menjauhi mereka karena takut, itu berarti aku sudah sama sesatnya seperti mere­ka! Jalan hidayat yang selama ini kupegang teguh, benar-benar ku­hayati dengan penuh kesadaran dan keyakinan serta berdasarkan petunjuk Allah Tuhanku. Aku sungguh-sungguh sudah sangat rindu ingin berjumpa dengan Allah, dan aku benar-benar menung­gu serta mengharap-harap keindahan pahala dan karunia-Nya.”

“Tetapi kerisauan dan kekecewaan meresahkan hatiku dan kekhawatiran menggelisah-kan fikiranku, karena aku takut kalau-kalau ummat ini akan dikuasai oleh manusia-manusia jahat dan durhaka. Kemudian mereka itu akan menggunakan kekayaan Allah sebagai alat kekuasaan, menjadikan hamba-hamba Allah se­bagai budak belian, menjadikan orang-orang saleh sebagai umpan peperangan, dan menjadikan orang-orang yang berlaku adil sebagai golongan terpencil.”

“Demi Allah, kalau bukan karena semuanya itu, aku tidak akan terus menerus mengajak kalian, mempersatukan kalian dan mendorong kalian supaya berjuang. Kalian pasti sudah kutinggal­kan. Demi Allah aku ini berada di atas jalan yang benar, dan aku sungguh-sungguh ingin mati syahid. Insyaa Allah, aku akan berang­kat ke medan juang bersama-sama kalian. Berangkatlah kalian, baik dalam keadaan merasa ringan atau pun merasa berat. Berjuanglah di jalah Allah dengan harta dan nyawa kalian. Se­sungguhnya, Allah beserta orang-orang yang sabar.”

Pernyataan tertulis Imam Ali r.a. tersebut di atas, secara ke­seluruhan menggambarkan betapa sulit dan beratnya persoalan yang dihadapinya sepeninggal Rasul Allah s.a.w., terutama setelah dibai’at oleh kaum muslimin sebagai Khalifah dan Amirul Muk­minin.

Disadur dari buku :

Sejarah Hidup Imam Ali bin Abi Thalib r.a.
Oleh H.M.H. Al Hamid Al Husaini
Penerbit: Lembaga Penyelidikan Islam


https://tausyah.wordpress.com

Holy QuranMenuju Nehrawan

Untuk berusaha menginsyafkan kaum Khawarij yang sudah mulai berangkat ke Nehrawan guna mempersiapkan pemberontak­an bersenjata, Imam Ali r.a. cepat-cepat menulis surat kepada mereka, dibawa oleh seorang kurir. Dalam surat tersebut Imam Ali r.a. menjelaskan seperti yang sudah pernah dikemukakan da­lam khutbah-khutbahnya. Sebelum menutup suratnya dengan kata-kata “Wassalaam”, Imam Ali r.a. menegaskan ajakannya: “Seterimanya surat ini, hendaknya kalian segera kembali ke­pada kami. Kami sudah siap untuk berangkat menghadapi musuh kami dan musuh kalian, dan kami tetap memegang pimpinan seperti semula!”

Surat Imam Ali r.a. itu cepat dijawab oleh kaum Khawa­rij dengan penuh ejekan dan tuduhan tak semena-mena: “Eng­kau marah bukan karena Allah. Engkau marah hanya karena diri­mu sendiri! Allah tidak akan menyelamatkan tipu-daya orang-­orang yang berkhianat!”

Setelah membaca surat jawaban Khawarij yang seperti itu, Imam Ali r.a. putus harapan mengajak mereka bersatu kembali. Tadinya ia berniat hendak berangkat menghadapi pasukan Muawi­yah di Shiffin, tetapi sekarang…, apa boleh buat! Daripada tertusuk dari belakang, lebih baik kaum Khawarij “dibe­nahi” lebih dahulu. Usaha memberi pengertian sudah ditempuh. Mengajak bersatu kembali telah dicoba. Ajakan untuk berjuang lagi melawan pasukan Syam sudah ditolak. Bahkan mereka seka­rang siap mengacungkan pedang. Bahaya harus ditanggulangi satu demi satu. Yang lebih ringan perlu disingkirkan lebih dulu.

Sekarang Imam Ali r.a. merobah niat semula. Menangguhkan perlawanan terhadap pasukan Syam dan menumpas kaum Khawa­rij lebih dulu. Pasukan disiapkan untuk berangkat mengejar kaum Khawarij. Lalu Imam Ali r.a. mengucapkan amanat yang berisi petunjuk dan komando:

Barang siapa meninggalkan perjuangan dan menjauhi perin­tah Allah, ia berada di tepi jurang bahaya, sampai Allah sendiri menyelamatkan dengan rahmat-Nya. Oleh karena itu, hai para ham­ba Allah, bertaqwalah kalian semua kepada-Nya. Perangilah orang­-orang yang bertindak memerangi kaum pengemban Amanat Allah. Perangilah mereka yang mengubah agama Allah, orang-­orang yang tidak mau mengerti Kitab Allah, dan tidak mau me­ngerti isyarat-isyarat Al-Qur’an, yaitu mereka yang tidak mau me­lihat persoalan dari sudut agama. Mereka itu sesungguhnya orang-­orang yang belum begitu lama memeluk agama Islam.”

“Demi Allah,” kata Imam Ali r.a. seterusnya, “seandainya mereka itu sampai dapat menguasai kalian, mereka pasti akan ber­buat seperti Kisra dan Kaisar (raja-raja Persia dan Romawi). Be­rangkatlah sekarang dan siap bertempur. Aku sudah mengirim utusan ke Bashrah agar saudara-saudara yang ada di sana berga­bung dengan kalian. Insya Allah, mereka akan segera datang!”

Waktu Imam Ali r.a. bersama sejumlah pasukan pengejar berangkat, kaum Khawarij sudah sampai di sebuah pedusunan yang bernama Harura. Walaupun segalanya telah siap untuk me­numpas pemberontakan bersenjata, tetapi Imam Ali r.a. masih tetap ingin supaya orang-orang Khawarij itu dapat diajak bersatu kembali dan berjuang bersama-sama melawan pasukan Syam.

Orang-orang yang tergabung dalam kelompok Khawarij itu banyak berasal dari prajurit-prajurit berpengalaman. Mereka mempunyai keyakinan yang sangat teguh dan keras sekali terhadap lawan. Lebih-lebih karena mereka semua adalah bekas pengikut

Imam Ali r.a. sendiri. Dengan ketangguhan luar biasa mereka telah menyumbangkan andil besar dalam perjuangan mematahkan pem­berontakan Thalhah dan Zubair. Dalam menghadapi pemberontak­an Muawiyah mereka pun telah memberikan jasanya, walau be­lum sepenuhnya.

Sudah menjadi kepribadian Imam Ali r.a., bahwa ia tidak melihat orang hanya dari segi kekurangan dan kesalahannya saja, tetapi juga tidak melupakan kebaikan dan kebenarannya. Selain itu, walau kelompok Khawarij sekarang berbalik menentang Imam Ali r.a., namun mereka itu tidak menyeberang atau berfi­hak kepada Muawiyah. Harus disayangkan, dalam keadaan sedang genting-gentingnya menghadapi lawan yang kuat, Syam, kelompok yang sangat ekstrim itu hendak menusuk dari belakang atau meng­gunting dalam lipatan.

Dengan berbagai perasaan yang serba resah seperti itu, Imam Ali r.a. masih ingin mencoba sekali lagi mengembalikan mereka tanpa kekerasan. Mereka hendak diajak bertukar-fikiran menge­nai masalah gawat yang sedang mencekam perhatian mereka, yaitu “tahkim”. Lewat seorang kurir Imam Ali r.a. minta supaya kaum Khawarij mengirimkan seorang wakil untuk diajak bertukar-fikir­an, dengan jaminan bahwa wakil itu akan dilindungi keamanan dan keselamatannya.

Dalam permintaannya itu Imam Ali r.a. menyatakan janji, jika hujjah (argumentasi) yang dikemukakan oleh wakil mereka itu kuat dan benar, Imam Ali r.a. bersedia mohon pengampun­an kepada Allah dan bertaubat atas kesalahannya menerima “tahkim”. Sebaliknya, jika ternyata hujjah Imam Ali r.a. yang kuat dan benar, mereka pun harus bersedia mohon pengampunan dan bertaubat kepada Allah s.w.t.

Permintaan Imam Ali r.a. dapat disetujui kaum Khawarij. Mereka mengirim Ibnul Kawwa sebagai wakil. Berlangsunglah dis­kusi panjang lebar. Masing-masing mengemukakan alasan dan hujjah untuk memperkuat dan membenarkan pendiriannya sen­diri-sendiri. Tetapi akhirnya dengan mengadu hujjah berdasar Kitab Allah dan sunnah Rasul-Nya, Ibnul Kawwa tergiring ke su­dut sampai tidak dapat lagi menemukan alasan untuk menyanggah hujjah-hujjah yang dikemukakan Imam Ali r.a. secara terperinci.

Selesai diskussi, Ibnul Kawwa kembali kepada kaumnya. De­ngan jujur Ibnul Kawwa mengatakan, bahwa berdasar hujjah-huj­jah yang dikemukakan, Imam Ali r.a. berada di fihak yang benar menurut hukum Allah dan sunnah Rasul-Nya. Semua hujjah Imam Ali r.a. wajib diterima oleh mereka. Demikian kata Ibnul Kawwa kepada kaumnya.

Kaum Khawarij tak dapat menerima hasil diskusi yang telah berlangsung antara Imam Ali r.a. dengan Ibnul Kawwa. Ibnul Kaw­wa dikatakan bukan imbangannya untuk berdiskusi dengan Imam Ali r.a. Ibnul Kawwa tidak boleh diberi kesempatan lagi untuk menghadapi diskusi dengan Imam Ali r.a., karena ia tidak akan mampu menghadapi hujjah, logika dan kesanggupan ber­fikir Imam Ali r.a. Mereka menuntut pertukaran-fikiran seperti itu dihentikan saja.

Kaum Khawarij bersikeras untuk tetap melancarkan pembe­rontakan bersenjata dan tidak mau menerima apa yang datang dari Imam Ali r.a. Mereka tetap memandang Imam Ali r.a. sebagai orang yang sudah murtad dan menjadi kafir karena menerima “tahkim”. Oleh karena itu mereka memandang Imam Ali sebagai orang yang telah keluar dari rel agama dan harus diperlakukan sebagai musuh Allah! Begitulah pendirian kaum Khawarij yang sudah tidak dapat berubah lagi.

Betapa pilu hati Imam Ali r.a. menghadapi pendirian orang-­orang yang kemarin masih menjadi pendukung dan pembelanya, tetapi hari ini sudah berbalik menjadi lawan yang sangat keras kepala. Ia sangat menyesal karena mereka sekarang sudah dikuasai oleh fikiran kacau, sampai mereka buta melihat kebenaran.

Jalan Kekerasan

Akhirnya Imam Ali r.a. yakin tak ada jalan lain lagi yang bisa ditempuh, selain terpaksa harus menghadapi kekerasan de­ngan kekerasan. Lebih-lebih setelah ada kenyataan bahwa mereka ketika meninggalkan Kufah telah banyak merenggut nyawa kaum muslimin yang tidak berdosa. Tiap orang yang tidak sependapat dengan mereka dicap “kafir”. Setiap orang yang sudah terkena cap itu, oleh mereka dihalalkan darahnya, harta bendanya dan keluarganya.

Abdullah bin Khabbab bersama isterinya yang sedang hamil tua mereka bantai di tepi sungai bersama seekor babi, hanya karena waktu ditanya tentang sebuah hadits menjawab: “Ayah­ku menyampaikan sebuah hadits berasal dari Rasul Allah s.a.w.: ‘Sepeninggalku akan terjadi suatu fitnah (bencana). Dalam fitnah itu hati orang akan menjadi mati, sama seperti tubuhnya yang juga mati. Sore hari ia menjadi orang yang beriman dan di pagi hari ia menjadi orang kafir’…”

Sebelum membantai dua orang suami isteri itu mereka sudah membantai lebih dulu 3 orang wanita, hanya karena tidak sepen­dapat dengan mereka. Salah seorang di antara tiga wanita itu ialah: Ummu Saman, yang pada masa hidupnya Rasul Allah s.a.w. per­nah menjadi sahabat setia.

Sekalipun sudah sejauh itu tindakan kaum Khawarij, Imam Ali r.a. tidak meninggalkan kebiasaannya, yaitu lebih suka bersi­kap baik sebelum diserang. Kepada para sahabat dan pasukannya ia berpesan: “Janganlah kalian menyerang lebih dulu sebelum kalian diserang!”

Kini Imam Ali r.a. dan pasukannya telah tiba di Nehrawan. Sebelum pasukan Imam Ali r.a. datang, kaum Khawarij sudah tiba lebih dahulu dan terus siaga untuk mengangkat senjata. Jumlah anggota pasukan Khawarij lebih kurang 1.500 orang, termasuk anggota-anggota pasukan penunggang kuda. Orang-orang yang sekarang menjadi komandan mereka sejak dulu terkenal cekatan, pemberani, gigih dan pantang mundur dalam pertempuran.

Imam Ali r.a. telah mengatur pasukannya. Pimpinan sayap kanan diserahkan kepada Hujur bin Addiy, sedang pimpinan sayap kiri diserahkan kepada Syabatah bin Rab’iy. Pimpinan pasukan berkuda diserahkan kepada Ayyub Al Anshariy, sedang pasukan infantri (pejalan kaki) pimpinannya diserahkan kepada Abu Qa­tadah. Pengikut lainnya pimpinannya diserahkan kepada Qeis bin Sa’ad bin Ubadah. Imam Ali r.a. sendiri berada di bagian te­ngah memimpin pasukan Bani Mudhar.

Bendera tanda-aman kemudian ditancapkan tiangnya oleh Ayyub Al Anshariy sambil berseru kepada pasukan Khawarij yang sudah berada di hadapan pasukan Imam Ali r.a.: “Barang siapa dari kalian yang mendekati bendera ini, dijamin keselamat­annya. Barang siapa pergi masuk kota atau berangkat ke Iraq (Kufah) dan keluar dari gerombolan, akan dijamin keselamatan­nya! Kami dilarang menumpahkan darah kalian, selama kalian tidak menumpahkan darah kami!”

Pasukan berkuda Imam Ali r.a. kemudian maju menjadi baris­an terdepan. Sedang pasukan pejalan kaki memecah diri menjadi dua barisan, berjalan di belakang pasukan berkuda. Pasukan pa­nah mengatur barisannya sendiri secara berlapis. Imam Ali r.a. masih tetap mengingatkan perintahnya: “Jangan menyerang sebelum kalian diserang!”

Pasukan Khawarij mulai bergerak maju. Setelah agak dekat dengan pasukan Imam Ali r.a., pasukan Khawarij berteriak-teri­ak: “Tidak ada hukum selain Allah.” Sahut menyahut, silih berganti sampai sedemikian hiruk pikuk dan gaduh.

Mendengar teriakan-teriakan itu Imam Ali r.a. berkata ke­pada beberapa orang sahabat: “Kata-kata benar diartikan secara bathil. Yang mereka maksud sebenarnya tidak perlu ada imarah. Imarah (pemerintahan) tidak bisa tidak harus ada. Soalnya apakah imarah itu baik atau tidak!”

Pasukan Khawarij berganti teriakan. Sekarang yang satu ber­teriak kepada yang lain: “Mari berangkat ke sorga! Mari berangkat ke sorga!”

Di tengah-tengah gemuruhnya teriakan itu mereka serentak bergerak menyerang pasukan Imam Ali r.a. Mereka juga menem­patkan pasukan berkuda di barisan depan dan di belakangnya pa­sukan pejalan kaki. Serangan serempak mereka itu disambut de­ngan hujan anak panah yang dilepaskan pasukan pemanah Imam Ali r.a. yang diatur secara berlapis. Pasukan Khawarij terpaksa mundur meninggalkan banyak korban.

Menurut Ats Tsa’labiy, ketika ia menceritakan pengalaman­nya sendiri mengatakan: “Waktu kulihat Khawarij dihujani anak panah, mereka kelihatan seperti iring-iringan kambing yang ber­usaha menghalangi hujan dengan tanduk. Pasukan berkuda Imam Ali kemudian menikung dari arah kanan ke kiri. Imam Ali sendiri bersama sejumlah pasukan yang dipimpinnya melancarkan serang­an menerobos ke jantung pasukan Khawarij dengan pedang dan tombak. Demi Allah, kulihat belum sempat kaum Khawarij me­nyelesaikan serangan serentaknya, banyak sekali dari mereka yang sudah jatuh bergelimpangan.”

Masing-masing fihak bertempur mati-matian. Ketangguhan mental kaum Khawarij ternyata memang tinggi. Sungguhpun de­mikian tidak sanggup menangkis serangan pasukan Imam Ali r.a. Peperangan ini berakhir dengan kemenangan di fihak pasukan Imam Ali r.a. Kurang lebih pasukan Khawarij yang masih hidup se­banyak 400 orang. Semuanya dalam keadaan luka parah. Mereka itu orang-orang yang sangat keras dan berpendirian teguh. Sem­boyan “Menang atau Mati” sudah menjadi perhiasan mereka sehari-hari.

Imam Ali r.a. tidak sampai hati membiarkan mereka dalam keadaan luka parah dan tidak berdaya. Ia memerintahkan anggo­ta-anggota pasukannya, supaya semua mereka itu diserahkan ke­pada sanak famili atau handai tolannya, agar cepat memperoleh pengobatan dan perawatan. Semua yang ditinggalkan oleh kaum Khawarij diambil oleh pasukan Imam Ali r.a. Senjata-senjata dan hewan tunggangan dibagi-bagi, sedang barang-barang lain yang jelas dirampas oleh kaum Khawarij pada waktu lari dari Kufah, dikembalikan kepada para pemiliknya semula.

https://tausyah.wordpress.com

Sementara Imam Ali r.a. menanggulangi pemberontakan Khawarij di Nehrawan, Muawiyah meningkakan terus kekuatan­nya, mengkonsolidasi barisan serta mengokohkan kedudukannya. Mereka memperoleh waktu yang sangat cukup untuk memper­siapkan peperangan lebih lama lagi, berkat politik “tahkim” yang disusun oleh arsiteknya, Amr bin Al Ash.Sebaliknya, dengan muslihat “tahkim” itu, kekuatan Imam Ali r.a. sekarang menjadi berkurang. Ia ditinggalkan, bahkan dilawan oleh pengikut-pengikutnya sendiri, yang sudah memisah­kan diri sebagai kaum Khawarij. Dalam menumpas gerakan Kha­warij, Imam Ali r.a. telah kehilangan beberapa anggota pasukan yang cukup merugikan, walaupun berhasil mencapai kemenangan.

Masjid-e-NabvGerakan Khawarij

Imam Ali r.a. adalah seorang yang tidak pernah berbuat se­suatu yang berlainan antara ucapan dan perbuatan. Ia menolak keras hasil perundingan antara Abu Musa dengan Amr, tetapi ka­rena ia telah menyatakan kesediaan menerima “tahkim” –walau­pun hanya karena ia ditekan oleh pengikutnya— prinsip itu di­pertahankan dengan konsekuen, selama fihak lawan benar-benar hendak mencari penyelesaian berdasarkan hukum Al-Qur’an.

Hal ini dapat dibuktikan dengan penjelasan-penjelasan yang diberikan kepada beberapa orang pengikutnya yang mengaju­kan pertanyaan. Dalam penjelasannya itu Imam Ali r.a. mengata­kan:

“Kami menerima tahkim. Oleh karena itu tahkim harus di­dasarkan kepada Kitab Allah, Al-Qur’an. Al Qur’an itu tertulis pada lembaran-lembaran. Al-Qur’an tidak berbicara dengan lisan dan tidak bisa tidak memerlukan penafsiran. Penafsiran itu sudah tentu keluar dari ucapan orang. Setelah mereka minta kepada kami su­paya kami mengadakan penyelesaian berdasarkan tahkim Al-Qur’an, kami tidak mau menjadi fihak yang berdiri di luar Al-Qur’an. Sebab Allah ‘Azaa wa Jalla telah berfiman, artinya: “Jika kalian bertengkar mengenai sesuatu, maka kembalikanlah hal itu kepada Allah dan Rasul-Nya.” (S. An Nisa: 59).

“Mengembalikan persoalan kepada Allah,” kata Imam Ali r.a. seterusnya, “berarti kami harus mencari penyelesaian hukum di dalam Kitab Allah. Dan mengembalikan persoalan kepada Ra­sul-Nya, berarti kami harus mengambil sunnah Rasul Allah. Jika persoalan benar-benar hendak diselesaikan berdasar hukum yang ada dalam Kitab Allah, sesungguhnyalah kami lebih berhak ber­buat daripada orang lain. Dan kalau hendak diselesaikan ber­dasarkan sunnah Rasul Allah, pun kami jugalah yang lebih ber­hak daripada orang lain.”

Adapun ucapan mereka yang mengatakan: ‘mengapa diada­kan tenggang waktu (gencatan senjata) dalam menempuh jalan tahkim?’ Kata Imam Ali r.a. lebih lanjut, hal itu kami lakukan agar menjadi jelas bagi orang yang tidak mengerti, dan agar menjadi mantap bagi orang yang sudah mengerti. Mudah-mudahan selama gencatan senjata itu Allah akan memperbaiki keadaan ummat, agar menjadi terang, dan awal kesesatan itu dapat segera dilurus­kan.”

“Sesungguhnya yang paling afdhal di sisi Allah,” kata Imam Ali r.a. pula, “ialah orang yang lebih menyukai berbuat kebenaran walau kebenaran itu mendatangkan kesukaran dan kerugian bagi­nya. Yaitu orang yang pantang berbuat kebatilan, walau kebatil­an itu akan mendatangkan kemudahan dan keuntungan baginya. Jadi, bagaimanakah kalian sampai menjadi bingung, dan dari mana­kah keraguan yang menghinggapi fikiran kalian?”

Imam Ali r.a. Digugat

Sekarang, setelah ternyata politik tahkim itu benar-benar ha­nya tipu muslihat Muawiyah, kelompok kontra tahkim yang ter­dapat dalam pasukan Imam Ali r.a. menggugat, mengungkit dan melemparkan segala kesalahan kepada pundak Imam Ali r.a. Lebih aneh lagi karena banyak yang tadinya pro tahkim, setelah kelom­pok kontra tahkim bergerak, mereka ikut-ikutan menentang Imam Ali r.a. dan bergabung dengan kelompok kontra tahkim.

Kelompok kontra tahkim itu dalam sejarah dikenal dengan nama Khawarij (orang-orang yang keluar meninggalkan barisan Imam Ali r.a.). Pada suatu hari kelompok ini berkumpul di rumah Abdullah bin Wahb Ar Rasibiy. Di tempat pertemuan ini tampil tokoh-tokoh mereka bergantian beragitasi membakar semangat perlawanan terhadap Imam Ali r.a.

Abdullah Ar Rasibiy dalam pidatonya mengatakan: “Sauda­ra-saudara, bagi kaum yang beriman kepada Allah Ar Rahman, yang patuh kepada hukum Al-Qur’an, kehidupan dunia ini harus diisi dengan amr ma’ruf dan nahi mungkar, serta dengan perkata­an yang benar walau pahit dan berbahaya. Sekalipun pahit dan berbahaya, tetapi pada hari kiyamat kelak orang akan memperoleh keridhoan Allah dan kekal menikmati kehidupan sorga. Oleh karena itu marilah kita keluar meninggalkan negeri yang pendu­duknya sudah menjadi dzalim ini dan pergi ke daerah lain! Kita harus menolak bid’ah yang sesat ini (yakni: tahkim) dan menen­tang hukum yang durhaka!”

Sedang Hurqush bin Zuhair berkata: “Saudara-saudara, ke­senangan di dunia ini sungguh amat sedikit. Tidak ayal lagi, kita ini pasti akan berpisah dengan dunia. Oleh karena itu kalian jangan sampai merasa terikat oleh keindahan dan kegemerlapannya, atau ingin tetap hidup selama-lamanya! Janganlah kalian lengah dari kewajiban menuntut kebenaran dan menentang kebatilan.

Sesung­guhnya Allah senantiasa beserta orang yang bertawa dan orang-­orang yang berbuat kebajikan. Hai saudara-saudara, kita sudah ber­sepakat bulat mengenai kebenaran itu. Sekarang angkatlah salah seorang dari kalian sebagai pemimpin. Sebab bagaimana pun juga kalian tetap memerlukan tiang untuk bersandar, dan membutuh­kan adanya suatu lambang di mana kalian akan berhimpun di sekitarnya dan kembali kepadanya.”

Habis berkumpul di rumah Abdullah Ar Rasibiy, mereka per­gi bersama-sama ke rumah Zafr bin Hushn At Tha’iy. Di rumah ini Zafr beragitasi dengan hebatnya: “Hai saudara-saudara, sebenarnya kita ini telah berjanji setia kepada Allah s.w.t. untuk berbuat amr ma’ruf dan nahi mungkar, berkata benar dan berjuang mene­gakkan jalan yang lurus.

Allah sudah memerintahkan kepada Rasul-Nya, Daud: “Hai Daud, engkau telah kami jadikan Khalifah di bumi, maka laksanakanlah hukum dengan adil di antara sesama manusia, dan janganlah engkau menuruti hawa nafsu, sebab hal itu akan menyesatkan engkau dari jalan Allah. Orang-orang yang sesat dari jalan Allah akan memperoleh siksa amat berat (As Shad:26).

“Juga Allah telah berfirman,” kata Zafr: “Barang siapa tidak menetapkan hukum menurut apa yang telah diturunkan Allah, mereka itu adalah orang-orang kafir.” (Al-Ma’idah: 44).

“Oleh karena itu”, kata Zafr selanjutnya, “bersumpahlah kalian untuk melawan orang yang dulu kita dukung ajarannya. Orang itu sekarang sudah mengikuti hawa nafsu, mengabaikan hukum Allah, berlaku dzalim dalam menetapkan hukum dan me­laksanakannya. Oleh karena itu perjuangan melawan orang-orang seperti itu adalah wajib bagi kaum mukminin.

“Aku bersumpah, demi Allah, seandainya tak ada seorang pun yang mau berjuang menghapus kemungkaran itu, atau tidak ada orang yang mau membantu perjuangan melawan orang-­orang bathil dan durhaka itu, aku akan memerangi mereka seorang diri sampai aku berjumpa dengan Allah s.w.t. Biarlah Allah sendiri yang menjadi saksi, dengan lidah aku telah berjuang memperbaiki keadaan sesuai dengan kehendak-Nya dan menurut keridhoan-Nya.

“Saudara-saudara, hantamlah muka dan kepala mereka de­ngan pedang, sampai Allah ‘Azaa wa Jalla ditaati oleh mereka. Jika orang itu sudah mau taat kepada Allah sebagaimana yang kalian inginkan, Allah akan mengaruniakan pahala kepada kalian sebagai orang-orang yang telah membuktikan ketaatan dan te­lah melaksanakan perintah-Nya. Jika kalian mati terbunuh, apakah yang lebih penting daripada berjalan menuju keridhoan Allah dan sorga-Nya?

“Ketahuilah saudara-saudara, mereka sekarang sudah siap un­tuk mempertahankan hukum yang sesat. Marilah kita semua keluar menuju ke sebuah daerah yang telah kita sepakati dalam perte­muan kita ini. Kalian telah menjadi pembela-pembela kebenar­an di tengah-tengah ummat manusia. Sebab kalian sudah mengu­mandangkan kebenaran dan tetap bertekad hendak berkata benar.”

“Marilah kita pergi ke Madain yang telah kita sepakati itu, kita buka pintunya dan kita kerahkan penduduknya, kemudian kita kirimkan utusan kepada saudara-saudara kita di Bashrah, agar mereka mau bergabung dengan kita!”

Sesudah agitasi Zafr ini, tampil Zaid bin Hushn At Tha’iy, saudara Zafr, dengan kata-kata: “Di daerah itu nanti akan ada orang-orang yang merintangi kalian masuk, dan mereka pun akan mencegah kalian menduduki daerah itu. Oleh karena itu sebaiknya kita segera menulis surat kepada saudara-saudara kita di Bahsrah. Beritahukan mereka tentang keluarnya kalian sekarang ini. Setiba­nya di sana, berhentilah kalian di Nehrawan!”

Semua pidato itu mendapat sambutan hangat dan yang ha­dir menyatakan persetujuan bulat. Kemudian ditulislah sepu­cuk surat kepada teman-teman mereka di Bashrah. Isinya se­bagai berikut : “…Orang-orang yang dulu kami dukung seruannya (yakni Imam Ali) sekarang sudah mengangkat orang untuk menetapkan tahkim terhadap agama Allah.

Mereka membi­arkan orang-orang durhaka menguasai hamba-hamba Allah. Oleh sebab itu kami sekarang menentang mereka dan sudah meninggal­kan mereka. Dengan cara itu kami hendak mendekatkan diri kepa­da Allah, dan sekarang kami sudah berada di jembatan Nehrawan. Kami ingin memberi tahukan kalian, agar kalian dapat ikut ambil bagian untuk memperoleh pahala. Wassalaam.”

Jawaban dari teman-teman mereka di Bashrah mengatakan, bahwa mereka mendukung dan membenarkan tekad mereka, serta siap menjalankan perintah Allah dan bersedia ambil bagian dalam perjuangan melawan Imam Ali r.a. dan pendukungnya. Surat itu diakhiri dengan kata-kata: “Kami sudah bersepakat untuk segera berangkat guna bergabung dengan kalian.”

Menurut rencana, mereka hendak berangkat pada malam Kamis. Sebelum berangkat mereka berkumpul sekali lagi di rumah Hurqush bin Zuhair. Setelah mengadakan pembicaraan sejenak, akhirnya mereka sepakat mengundurkan waktu keberangkatan menjadi malam Jum’at.

Kesepakatan itu berubah lagi berdasar­kan saran Hurqush: “Malam Jum’at sebaiknya kalian tinggal di sini saja dulu untuk banyak-banyak beribadah kepada Allah, dan pergunakanlah sebagai kesempatan untuk meninggalkan wasiyat-­wasiyat. Malam Sabtu barulah kalian berangkat, seorang-seorang atau dua-dua, agar jangan sampai menyolok mata orang banyak.”

Disadur dari buku :

Sejarah Hidup Imam Ali bin Abi Thalib r.a.
Oleh H.M.H. Al Hamid Al Husaini
Penerbit: Lembaga Penyelidikan Islam

https://tausyah.wordpress.com

Masjid-e-NabviImam Ali r.a. Berada Dalam Tekanan

Melihat pasukan Syam mengacung-acungkan lembaran Al Qur’an, fikiran pasukan Imam Ali r.a. terpecah dalam berbagai pendapat. Yang tinggi kewaspadaan politiknya memperkirakan bahwa itu hanya tipu-muslihat belaka. Guna mengelabui pasukan Imam Ali r.a. sehingga situasi buruk yang mereka alami dapat diubah menjadi baik. Sedang yang dangkal pengertian politiknya menganggap, bahwa perbuatan pasukan Syam itu bukan tipu muslihat, melainkan benar-benar bermaksud jujur, mengajak kembali kepada ajaran dan perintah agama. Karena itu harus disambut dengan jujur. Ini jauh lebih baik daripada perang ber­kobar terus sesama kaum muslimin.

Selain itu ada pula kelompok yang hendak menunggangi si­tuasi itu agar peperangan cepat dihentikan. Mereka sudah jemu dengan peperangan dan sangat merindukan perdamaian.

Tidak selang berapa lama datanglah berduyun-duyun sejum­lah orang kepada Imam Ali r.a. Mereka menuntut supaya pepera­ngan segera dihentikan. Tuntutan mereka itu ditolak oleh Imam Ali r.a., karena ia yakin, bahwa apa yang diperbuat oleh orang-orang Syam itu hanya tipu-muslihat. Karena itu kepada mereka yang menuntut dihentikannya peperangan, Imam Ali r.a. menegaskan:

“Itu hanya tipu-daya dan pengelabuan! Aku ini lebih me­ngenal mereka daripada kalian! Mereka itu bukan pembela-pembe­la Al-Qur’an dan agama Islam. Aku sudah lama mengenal mereka dan me­ngetahui soal-soal mereka, mulai dari yang kecil-kecil sampai yang besar-besar. Aku tahu mereka itu meremehkan agama dan sedang meluncur ke arah kepentingan duniawi. Oleh sebab itu janganlah kalian terpengaruh oleh perbuatan mereka yang mengi­barkan lembaran-lembaran Al-Qur’an. Bulatkanlah tekad kalian untuk berperang terus sampai tuntas. Kalian sudah berhasil mema­tahkan kekuatan mereka. Mereka sekarang sudah loyo dan tidak lama lagi akan hancur!”

Mereka tetap tidak mau mengerti, bahwa itu hanya tipu-mus­lihat. Mereka mendesak terus agar perang dihentikan dan meng­ancam tidak mau mendukung Imam Ali r.a. lagi bila perang di­teruskan. Mereka bukan hanya sekedar menggertak dan meng­intimidasi, bahkan mereka sampai berani “memerintahkan” Imam Ali r.a. supaya mengeluarkan instruksi penghentian perang dan menarik semua sahabatnya yang masih berkecimpung di medan tempur.

Benar-benar terlalu! Imam Ali r.a. sampai “diperintah” su­paya cepat-cepat menarik .Al-Asytar yang sedang memimpin per­tempuran! Lebih dari itu. Mereka juga mengancam akan menang­kap dan menyerahkan Imam Ali r.a. kepada Muawiyah, jika ia tidak mau memenuhi tuntutan mereka! Tidak sedikit jumlah pa­sukan Imam Ali r.a. yang berbuat sejauh itu. Mereka bersumpah tidak akan meninggalkan Imam Ali r.a. dan akan terus mengepung­nya, sebelum Imam Ali r.a. melaksanakan “perintah” mereka.

Kedudukan Imam Ali r.a. benar-benar sulit, bahkan rawan dan gawat. Melanjutkan peperangan berarti membuka lubang per­pecahan. Menghentikan peperangan juga berarti membangkitkan perlawanan kelompok yang lain, yang tidak percaya kepada tipu ­muslihat musuh. Ini juga berarti perpecahan. Imam Ali r.a. benar-­benar “tergiring” ke posisi sulit akibat muslihat politik “tahkim” yang dilancarkan Muawiyah dan Amr.

Setelah kaum pembelot tak dapat diyakinkan lagi, Imam Ali r.a. terpaksa memanggil Al Asytar dan memerintahkan su­paya menghentikan peperangan. Pada mulanya Al Asytar menolak, karena ia tidak mengerti sebabnya Imam Ali r.a. sampai bertindak sejauh itu. Kepada suruhan Imam Ali r.a., Al Asytar berkata: “Bagaimana aku harus kembali dan bagaimana peperangan harus kuhentikan, sedangkan tanda-tanda kemenangan sudah tampak jelas! Katakan saja kepada Imam Ali, supaya ia memberi waktu kepadaku barang satu atau dua jam saja!”

Al Asytar membantah, sebab suruhan Imam Ali r.a. tidak menerangkan sama sekali sebab-sebabnya Imam Ali r.a. mengelu­arkan perintah seperti itu dan tidak dijelaskan juga bagaimana keadaan yang sedang dihadapi Imam Ali r.a. di markas-besarnya.

Waktu suruhan Imam Ali r.a. kembali dan melaporkan ja­waban Al Asytar, orang-orang yang sedang mengepungnya marah, gaduh, ribut dan berniat buruk terhadap Imam Ali r.a. Mereka ber­prasangka jelek. Kemudian mereka bertanya kepada Imam Ali r.a.: “Apakah engkau memberi perintah rahasia kepada Al Asytar supaya tetap meneruskan peperangan dan melarang dia berhenti? Jika engkau tidak segera dapat mengembalikan Al Asytar, engkau akan kami bunuh seperti dulu kami membunuh Utsman!”

Suruhan itu diperintahkan kembali untuk menemui Al Asytar. Agar ia cepat kembali, suruhan itu melebih-lebihkan keterangan kepada Al Asytar: “Apakah engkau mau menang dalam keduduk­anmu ini, sedang Ali sekarang lagi dikepung 50.000 pedang?”

“Apa sebab sampai terjadi seperti itu?” tanya Al Asytar yang ingin mendapat keterangan lebih jauh.

“Karena mereka melihat lembaran-lembaran Al Qur’an di­kibarkan oleh pasukan Syam,” jawab suruhan.

Sambil bersiap-siap untuk kembali menghadap Imam Ali r.a., Al Asytar berkata: “Demi Allah, aku sudah menduga akan terjadi perpecahan dan malapetaka pada waktu aku melihat lembaran-­lembaran Al Qur’an dikibarkan orang!”

Al Asytar segera pulang. Setiba di markas-besar ia melihat Imam Ali r.a. dalam keadaan bahaya. Anggota-anggota pasukan yang mengepung sedang mempertimbangkan apakah Imam Ali r.a. dibunuh saja atau diserahkan kepada Muawiyah. Saat itu ti­dak ada orang lain yang memberi perlindungan kepada Imam Ali r.a. kecuali dua orang puteranya sendiri Al Hasan r.a. dan Al Husein r.a. serta Abdullah Ibnu Abbas dan beberapa orang lain, yang jumlah kesemuanya tak lebih dari 10 orang.

Ketika melihat situasi yang sangat kritis itu, Al Asytar segera menerobos kepungan sambil memaki-maki mereka yang se­dang mengancam-ancam: “Celaka kalian! Apakah setelah mencapai kemenangan dan keberhasilan lantas kalian mau menghentikan du­kungan dan menciptakan perpecahan. Sungguh impian yang sangat kerdil. Kalian itu memang perempuan! Sungguh busuk kalian itu!”

Datanglah Al Asy’ats bin Qeis kepada Imam Ali r.a. lantas berkata : “Ya Amirul Mukminin, aku melihat orang-orang sudah menerima dan menyambut baik ajakan mereka (pasukan Syam) untuk mengadakan penyelesaian damai berdasarkan hukum Al Qur’an. Kalau engkau setuju, aku akan datang kepada Muawiyah untuk menanyakan apa sesungguhnya yang dimaksud dan apa yang diminta olehnya.”

“Pergilah, kalau engkau mau…!” jawab Imam Ali r.a.

Dalam pertemuannya dengan Muawiyah, Al Asy’ats berta­nya: “Untuk apa engkau mengangkat lembaran-lembaran Al Qur’ an pada ujung-ujung senjata pasukanmu?”

Muawiyah menerangkan: “Supaya kami dan kalian semua­nya kembali kepada apa yang diperintahkan Allah dalam Al-Qur’ an. Oleh karena itu utuslah seorang yang kalian percayai, dan dari fihak kami pun akan mengutus seorang juga. Kepada kedua orang itu kita tugaskan supaya bekerja atas dasar Kitab Allah dan jangan sampai melanggarnya. Kemudian, apa yang disepakati oleh dua orang itu kita taati bersama…”

Al Asy’ats menanggapi keterangan Muawiyah itu dengan ucapan: “Itu adalah kebenaran!”

Setelah itu Al Asy’ats dan beberapa orang ulama Al-Qur’an berkata kepada Imam Ali r.a.: “Kita telah menerima baik tahkim berdasar Kitab Allah…, dan kami sepakat untuk memilih Abu Musa Al Asy’ariy sebagai utusan!”

Imam Ali r.a. menolak: “Aku tidak setuju Abu Musa dite­tapkan sebagai utusan. Aku tidak mau mengangkat dia!”

Al Asy’ats menyanggah: “Kami tidak bisa menerima orang selain dia. Dialah yang telah mengingatkan kita mengenai kejadian yang sedang kita hadapi sekarang ini, yakni peperangan…”

Imam Ali r.a. masih tetap menolak: “Ya, tetapi aku tidak da­pat menyetujui dia. Ia dulu meninggalkan aku dan berusaha men­cegah orang supaya tidak membantuku. Kemudian ia lari, tetapi sebulan setelah itu ia kembali dan kujamin keselamatannya. Ini­lah Ibnu Abbas, orang yang akan kuangkat sebagai utusan!”

Al Asy’ats menolak sambil berdalih: “Demi Allah, kami tidak peduli. Kami menginginkan seorang yang netral, tidak condong kepadamu dan tidak condong kepada Muawiyah!”

Imam Ali r.a. mengajukan usul lain: “Kalau begitu, aku akan mengangkat Al Asytar!”

Dengan sinis Al Asy’ats bertanya: “Apakah bumi ini akan terbakar jika bukan Al Asytar yang kau angkat? Apakah kami hendak kau tempatkan di bawah kekuasaan Al Asytar?”

Imam Ali r.a. ingin mendapat penjelasan, lalu bertanya: “Kekuasaan yang bagaimana?”

Al Asy’ats menyahut: “Kekuasaan dia ialah hendak men­dorong kaum muslimin terus menerus mengadu pedang sampai ter­laksana apa yang diinginkan olehmu dan olehnya!”

Imam Ali r.a. masih berusaha menyakinkan: “Muawiyah ti­dak menyerahkan tugas itu kepada siapa pun selain orang yang di­percaya benar-benar olehnya, yaitu Amr bin Al Ash. Bagi orang Qureisy itu (Muawiyah) memang tidak ada yang paling baik bagi­nya kecuali orang seperti Amr…! Kalian akan diwakili oleh Ab­dullah bin Abbas. Biarlah dia yang menghadapi Amr. Abdullah mampu mengatasi kesulitan yang akan dihadapkan oleh Amr kepa­danya, sedangkan Amr tidak akan sanggup mengatasi kesulitan yang akan dihadapkan oleh Abdullah kepadanya. Abdullah mampu menangkis hujjah-hujjah yang diajukan oleh Amr, sedang­kan Amr tidak akan mampu menangkis hujjah-hujjah yang diaju­kan oleh Abdullah!”

Al Asy’ats tetap berkeras kepala. Ia berganti dalih: “Demi Allah, tidak…! Sampai kiyamat pun masalah tahkim itu tidak boleh dirundingkan oleh dua orang sama-sama berasal dari Bani Mudhar. Angkatlah orang yang dari Yaman (Abu Musa), sebab mereka sudah mengangkat orang dari Mesir (Amr)…!”

Imam Ali mengingatkan: “Aku khawatir kalu-kalau kalian akan terkelabui. Sebab kalau Amr sudah menuruti hawa nafsu­nya dalam urusan tahkim itu, ia sama sekali tidak takut kepada Allah!”

Dengan bersitegang leher Al Asy’ats berkata: “Demi Allah, kalau salah seorang dari dua perunding itu berasal dari Yaman, lalu mengambil beberapa keputusan yang tidak menyenangkan kita, itu lebih baik bagi kita daripada kalau dua orang perunding itu sama-sama berasal dari Bani Mudhar, walau mereka ini mengambil beberapa keputusan yang menyenangkan kita!”

Imam Ali r.a. minta ketegasan terakhir: “Jadi…, kalian tidak menghendaki selain Abu Musa?”

“Ya!” jawab Al Asy’ats.

“Kalau begitu, kerjakanlah apa yang kalian inginkan!” kata Imam Ali r.a. dengan hati masgul.

Beberapa orang pengikut Imam Ali r.a. kemudian berangkat untuk menemui Muawiyah guna mengadakan persetujuan tertulis mengenai prinsip disetujuinya tahkim oleh kedua belah fihak. Wakil fihak Kufah (Imam Ali r.a.) menuliskan dalam teks perja­njian sebuah kalimat: “Inilah yang telah disetujui oleh Amirul Mukminin…”

Baru sampai di situ Muawiyah cepat-cepat memotong: “Be­tapa jeleknya aku ini, kalau aku mengakui dia sebagai Amirul Mukminin tetapi aku memerangi dia!”

Amr bin Al Ash menyambung: “Tuliskan saja namanya dan nama ayahnya. Dia itu Amir (penguasa) kalian dan bukan Amir kami!”

Wakil-wakil fihak Kufah kembali menghadap Imam Ali r.a. untuk minta pendapat mengenai penghapusan sebutan “Amirul Mukminin”. Ternyata Imam Ali r.a. memerintahkan supaya sebut­an itu dihapus saja dari teks perjanjian. Tetapi Al Ahnaf cepat-ce­pat mengingatkan: “Sebutan Amirul Mukminin jangan sampai dihapus. Kalau sampai dihapus, aku khawatir pemerintahan (ima­rah) tak akan kembali lagi kepadamu untuk selama-lamanya. Ja­ngan…, jangan dihapus, walau peperangan akan berkecamuk te­rus!”

Setelah mendengar naselat Al Ahnaf itu untuk beberapa saat lamanya Imam Ali r.a. berfikir hendak mempertahankan sebutan “Amirul Mukminin” dalam teks perjanjian, tetapi keburu Al Asy’ats datang lagi dan mendesak supaya sebutan itu dihapuskan saja.

Dengan perasaan amat kecewa Imam Ali r.a. berucap: “Laa llaaha Illahllaah . . . Allaahu Akbar! Sunnah yang dulu sekarang disusul lagi dengan sunnah baru. Demi Allah, bukankah persoalan seperti itu dahulu pernah juga kualami? Yaitu waktu diadakan per­janjian Hudaibiyyah?!

“Waktu itu atas perintah Rasul Allah s.a.w. aku menulis da­lam teks perjanjian “Inilah perjanjian yang dibuat oleh Muhammad Rasul Allah dan Suhail bin Amr.” Ketika itu Suhail berkata: “Aku tidak mau menerima teks yang berisi tulisan ‘Rasul Allah’. Sebab kalau aku percaya bahwa engkau itu Rasul Allah, tentu aku tidak akan memerangimu! Adalah perbuatan dzalim kalau aku melarang­mu bertawaf di Baitullah, padahal engkau itu adalah Rasul Allah! Tidak, tuliskan saja ‘Muhammad bin Abdullah’, baru aku mau menerimanya…!”

“Waktu itu Rasul Allah memberi perintah kepadaku: ‘Hai Ali, aku ini adalah Rasul Allah dan aku pun Muhammad bin Ab­dullah. Teks perjanjian dengan mereka yang hanya menyebutkan Muhammad bin Abdullah tidak akan menghapuskan kerasulan­ku. Oleh karena itu tulis saja Muhammad bin Abdullah !’ Waktu itu beberapa saat lamanya aku dibuat bingung oleh kaum musyri­kin. Tetapi sekarang, di saat aku sendiri membuat perjanjian de­ngan anak-anak mereka, pun mengalami hal-hal yang sama seperti yang dahulu dialami oleh Rasul Allah s.a.w.…”

Teks perjanjian itu akhirnya ditulis juga tanpa menyebut kedudukan Imam Ali r.a. sebagai Amirul Mukminin. Al Asytar kemudian dipanggil untuk menjadi saksi. Sebagai reaksi Al Asytar berkata pada Imam Ali: “Anda akan kehilangan segala-galanya bila perjanjian ditulis seperti itu. Bukankah anda ini berdiri di atas ke­benaran Allah? Bukankah anda ini benar-benar yakin bahwa mu­suhmu itu orang yang memang sesat? Kemudian ia berkata kepa­da mereka: “Apakah kalian tidak melihat kemenangan sudah di­ambang pintu seandainya kalian tidak berteriak minta belas ka­sihan kepada musuh?!”

Al Asy’ats menyahut: “Demi Allah, aku tidak melihat ke­menangan dan tidak pula meminta belas kasihan kepada musuh. Ayohlah berjanji, bahwa engkau akan taat! Akuilah apa yang ter­tulis dalam teks perjanjian ini!”

Al Asytar menjawab: “Demi Allah, dengan pedangku ini Allah telah menumpahkan darah orang-orang yang menurut peni­laianku lebih baik daripada engkau, dan aku tidak menyesali darah mereka! Aku hanya mau mengikuti apa yang dilakukan oleh Ami­rul Mukminin. Apa yang diperintahkan, akan kulaksanakan, dan apa yang dilarang akan kuhindari, sebab perintahnya selalu benar dan tepat!

Pada saat itu datanglah Sulaiman bin Shirid menghadap Amirul Mukminin, sambil membawa seorang yang luka parah aki­bat pukulan pedang. Waktu Imam Ali r.a. menoleh kepada orang yang luka parah itu, Sulaiman berkata mengancam: “Ada orang yang sudah menjalani nasibnya dan ada pula yang sedang menung­gu nasib! Dan… engkau termasuk orang-orang yang sedang me­nunggu nasib seperti orang ini!”

Ada lagi yang datang menghadap, lalu berkata: “Ya Amirul Mukminin, seandainya engkau masih mempunyai orang-orang yang mendukungmu, tentu engkau tidak akan menulis teks perja­njian seperti itu. Demi Allah, aku sudah berkeliling ke sana dan ke mari untuk mengerahkan orang-orang supaya mau melanjutkan peperangan. Tetapi ternyata hanya tinggal beberapa gelintir saja yang masih sanggup melanjutkan peperangan!”

Ada orang lain lagi datang menghadap, lalu berkata: “Ya A­mirul Mukminin, apakah tidak ada jalan untuk membatalkan per­janjian itu? Demi Allah, aku sangat khawatir kalau-kalau perjanjian itu akan membuat kita hina dan nista!”

Imam Ali r.a. menjawab: “Apakah kita akan membatalkan perjanjian yang sudah ditulis itu? Itu tidak boleh terjadi!”

Imam Ali r.a. terpaksa menyetujui adanya perjanjian de­ngan Muawiyah mengenai prinsip penyelesaian damai berdasar­kan hukum Al Qur’an. Banyak di antara pengikutnya yang me­rasa kecewa dan menyesal, tetapi sikap tersebut sudah terlambat.

Karena sangat kecewa dan menyesal, mereka lalu berteriak kepada semua orang di mana saja: “Tiada hukum selain hukum Allah! Hukum di tangan Allah dan bukan di tanganmu, hai Ali! Kami tidak rela ada orang-orang yang akan menetapkan hukum terhadap agama Allah! Hukum Allah bagi Muawiyah dan pengikut-pengikutnya sudah jelas, yaitu mereka harus kita perangi atau harus kita tundukkan kepada pemerintahan kita! Kita telah terperosok dan tergelincir pada saat kita menyetujui tahkim! Sekarang kita telah bertaubat dan tidak mau lagi mengakui perja­njian itu! Dan engkau, hai Ali, tinggalkanlah perjanjian itu dan ber­taubatlah kepada Allah seperti yang sudah kita lakukan. Kalau tidak, kita tidak turut bertanggung jawab!”

Imam Ali r.a. bukanlah orang yang biasa menciderai perjanji­an, walau perjanjian itu akan mengakibatkan dirinya harus menanggung resiko kedzaliman orang lain. Kepada orang-orang yang menuntut supaya ia menciderai perjanjian dan segera bertau­bat, ia menjawab:

“Celakalah kalian! Apakah setelah kita sendiri mau menyetu­jui perjanjian itu lantas sekarang harus berbuat cidera? Bukankah Allah telah memerintahkan supaya kita menjaga baik-baik dan me­menuhi perjanjian? Bukankah Allah telah berfirman (yang arti­nya):

“Tepatilah perjanjian dengan Allah apabila kamu berjanji dan janganlah kamu membatalkan sumpah-sumpahmu sesudah meneguhkannya, sedang kamu telah menjadikan Allah sebagai saksimu. Sesungguhnya Allah mengetahui apa yang kamu per­buat” (S. An Nahl: 91).

Beberapa hari setelah peperangan berhenti, dalam salah satu khutbahnya Imam Ali r.a. berkata: “Perintahku masih kalian ikuti terus seperti yang kuinginkan sampai saat kalian dilanda perpecah­an fikiran. Demi Allah, kalian tahu bahwa peperangan itu sama sekali tidak menghilangkan kekhalifahanku. Itu masih tetap ada. Bahkan peperangan itu sebenarnya lebih memporak-porandakan musuh kalian. Di tengah-tengah kalian, kemarin aku masih meme­rintah, tetapi hari ini aku sudah menjadi orang yang diperintah. Kemarin aku masih menjadi orang yang bisa melarang, tetapi hari ini aku menjadi orang yang dilarang. Kalian ternyata sudah menja­di orang-orang yang lebih menyukai hidup, dan aku tidak dapat lagi mengajak kalian kepada apa yang tidak kalian sukai…”

Penyimpangan Abu Musa

Beberapa bulan kemudian, bertemulah dua orang perunding di sebuah tempat yang letaknya tidak jauh dari Shiffin. Amr bin Al Ash mewakili Muawiyah, dan Abu Musa Al Asy’ariy mewakili Imam Ali r.a. Dalam perundingan itu Amr dengan gigih bertahan membela Muawiyah, sedangkan Abu Musa berpendirian “asal da­mai” dan “asal selamat”. Dengan berbagai siasat dan muslihat, akhirnya Amr berhasil menyeret Abu Musa kepada suatu konsep­si yang meniadakan kekhalifahan Imam Ali r.a.

Berdasarkan prinsip “asal damai” dan “asal selamat”, Abu Musa mengusulkan supaya fihak Amr bersedia menerima Abdullah bin Umar Ibnul Khattab sebagai calon Khalifah yang akan meng­gantikan Imam Ali. Usul Abu Musa itu dijawab oleh Amr: “menga­pa anda tidak mengusulkan anak lelakiku yang bernama Abdul­lah? Anda kan tahu sendiri anakku itu seorang yang shaleh!”

Pembicaraan berlangsung terus. Setelah lama berunding akhir­nya dua orang itu sepakat untuk memberhentikan Imam Ali r.a. sebagai Khalifah dan memberhentikan Muawiyah sebagai pemim­pin di Syam dan menyerahkan kepada ummat Islam untuk me­milih Khalifah lain yang disukainya.

Begitu licinnya Amr mengelabui Abu Musa, sampai Abu Musa sendiri merasa adil dalam melaksanakan tugas sebagai wakil Imam Ali r.a. Selain itu Abu Musa sedikit pun tidak mempunyai ke­curigaan bahwa Amr akan menyimpang dari kesepakatan.

Selesai berunding, Amr dan Abu Musa sepakat akan meng­umumkan hasil perundingan itu di depan khalayak ramai. Untuk merealisasinya, oleh Amr diminta kepada Abu Musa supaya lebih dulu mengumumkan pemberhentian Imam Ali, kemudian barulah Amr akan mengumumkan pemberhentian Muawiyah. Seperti orang terkena sihir Abu Musa mengiakan saja apa yang diminta oleh Amr, kendatipun ia telah diperingatkan oleh Ibnu Abbas agar jangan bicara lebih dulu.

Di depan orang banyak Abu Musa mengumumkan, bahwa dua orang perunding telah bersepakat untuk memberhentikan imam Ali dan Muawiyah, demi kerukunan dan perdamaian di an­tara kaum muslimin. Setelah memberi penjelasan sedikit, dengan lantang Abu Musa berkata: “Sekarang aku menyatakan pember­hentian Ali sebagai Khalifah!”

Selesai Abu Musa, tampillah Amr bin Al Ash. Ia tidak berbi­cara seperti Abu Musa. Ia tidak mengumumkan bahwa dua orang perunding telah sepakat memberhentikan Imam Ali dan Muawi­yah. Amr hanya mengatakan: “Abu Musa tadi telah menyatakan dengan resmi pemberhentian Ali bin Abi Thalib dari kedudukan­nya sebagai Khalifah. Mulai saat ini ia tidak lagi menjadi Khali­fah! Sekarang aku mengumumkan bahwa aku mengukuhkan ke­dudukan Muawiyah sebagai Khalifah, pemimpin kaum muslimin!”

Mendengar kata-kata Amr, Abu Musa sangat marah. Ia tak mungkin lagi menjilat ludah yang suda jatuh. Abu Musa pergi meninggalkan tempat perundingan. Sejak itu namanya tidak per­nah disebut-sebut lagi dalam sejarah.

Beberapa waktu sebelum Abu Musa menghilang, ia masih menerima sepucuk surat dari Abdullah bin Umar Ibnul Khattab, sebagai reaksi terhadap usul pencalonannya, yang diucapkan Abu Musa dalam perundingan. Surat Abdullah tersebut sebagai berikut:

“Hai Abu Musa, engkau membawa-bawa diriku ke dalam per­soalan yang engkau sendiri tidak mengetahui bagaimana fikiran­ku mengenai hal itu. Apakah engkau mengira bahwa aku akan ber­sedia mencampuri urusan yang engkau mengira aku ini lebih ter­kemuka dibanding Ali bin Abi Thalib? Bukankah sudah sangat jelas bahwa ia jauh lebih baik daripada diriku? Engkau sungguh sia-sia, dengan begitu engkau sendirilah yang menderita rugi. Aku sama sekali bukan orang yang mengambil sikap permusuhan. Eng­kau benar-benar telah membuat marah Ali bin Abi Thalib dan Mu­awiyah karena ucapanmu mengenai diriku.

“Lebih-lebih Ali bin Abi Thalib, karena melihat engkau telah tertipu oleh Amr. Padahal engkau itu seorang pengajar Al Qur’an, seorang yang pernah menjadi utusan penduduk Yaman untuk menghadap Rasul Allah s.a.w., seorang yang pernah diberi keperca­yaan membagi-bagikan ghanimah pada masa Khalifah Abu Bakar dan Umar. Ternyata sekarang telah tertipu oleh ucapan-ucapan Amr bin Al Ash, sampai engkau lancang dan memecat Ali sebelum memecat Muawiyah!”

Menanggapi surat Abdullah bin Umar Ibnul Khattab terse­but, Abu Musa menulis: “Aku bukannya hendak mendekatimu dengan jalan mendudukkan dirimu atau membai’atmu sebagai Kha­lifah. Yang kuinginkan hanyalah keridhoan Allah s.w.t. Kesedia­anku memikul tugas ummat ini bukan suatu hal yang buruk atau tercela. Sebab ummat ini seolah-olah sedang berada di ujung pedang. Selama hidup sampai mati aku akan tetap mengatakan, bahwa yang kuinginkan ialah agar ummat ini selalu damai. Sebab jika tidak, ummat ini tidak akan dapat kembali kepada kebesaran semula.”

Seterusnya Abu Musa mengatakan: “Adapun mengenai ucap­anku tentang dirimu yang dapat membuat marah Ali dan Mua­wiyah, sebenarnya dua orang itu sudah lebih dulu marah kepadaku. Tentang tipu muslihat Amr terhadap diriku, demi Al­lah, tipu muslihatnya itu tidak merugikan Ali bin Abi Thalib dan juga tidak menguntungkan Muawiyah. Sebab syarat yang sudah kami tetapkan bersama ialah, bahwa kami hanya terikat oleh apa yang sudah disepakati bersama, dan bukan terikat oleh apa yang kami perselisihkan. Adapun mengenai apa yang engkau dilarang melakukannya oleh ayahmu, demi Allah, seandainya persoalan ini dapat diselesaikan, engkau akan terpaksa menerimanya!”

Dari surat jawaban Abu Musa kepada Abdullah itu jelaslah, bahwa Abu Musa benar-benar fikirannya dicekam rasa rindu per­damaian. Dan demi perdamaian ia tidak segan-segan menyimpang jauh dari tugas yang dipikulnya dan rela menjebloskan pemimpin­nya sendiri.

[1]Menurut Abu Umar bin Abdul Birr, dalam bukunya Al Isti’ab ha­laman 434, nama asli Nabighah ialah Salma. Nabighah adalah nama julukan dan ditambah dengan “binti Harmalah”. Ia berasal dari Bani Jilan bin Anazah bin Asad bin Rabi’ah bin Nazar. Sedangkan Al Mu­barrad dalam bukunya Al Kamil, mengatakan bahwa ibu Amr nama aslinya Laila.

https://tausyah.wordpress.com