Archive for the ‘Manhaj Salaf’ Category

https://tausyah.wordpress.com/Nama-ALLAH

ALLAH Ta'ala

Assalamu ‘alaikum wa rahmatullahi wa barakaatuh..

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِن جَاءكُمْ فَاسِقٌ بِنَبَأٍ فَتَبَيَّنُوا أَن تُصِيبُوا قَوْماً بِجَهَالَةٍ فَتُصْبِحُوا عَلَى مَا فَعَلْتُمْ نَادِمِينَ ﴿٦

Hai orang-orang yang beriman, jika datang kepadamu orang fasik membawa suatu berita, maka periksalah dengan teliti, agar kamu tidak menimpakan suatu musibah kepada suatu kaum tanpa mengetahui keadaannya yang menyebabkan kamu menyesal atas perbuatanmu itu. Al-hujuraat : 006.

Wahai hamba – hamba ALLAH, kiranya saya menulis artikel ini untuk memurnikan pemahaman pada ummat muslim yang menyamakan antara wahabi dengan salafi, kekurangan pengetahuan tentang sesuatu itu adalah menjadi penyebab timbulnya fitnah ditengah – tengah ummat Muslim yang berfaham salafi, sehingga banyak di antara kita baik dari golongan yang mengaku akhwat dan juga ikhwan yang menyatakan bahwa salafi adalah sama halnya dengan wahabi. Seumpama beberapa bulan yang lalu terdapat yang mengaku sebagai seorang akhwat dari sebuah jejaring social facebook yang menyindir blog ini dan berkata bahwa blog ini mengandung faham wahabi. Bahkan juga yang sangat memprihatinkan sekali, bahwa terdapat salah satu website atau situs islam yang pada judulnya mengatakan “Arab Saudi adalah Negara Wahabi” karena Arab Saudi yang dikenal bermanhaj salafi. Masha ALLAH. Sungguh..seumpama sebuah virus, wahabi telah merasuki jantung hati Islam dengan mengatasnamakan salafi padahal sesungguhnya palsu dan bertentangan dengan kaidah ajaran Islam yang sesungguhnya, menjadi noda kotor dalam secarik kain yang putih dan demikianlah kenyataan yang ada. (lebih…)

HAKIKAT BID’AH DAN KUFUR

TANYA JAWAB BERSAMA
AL-IMAM AL-MUHADDITS

MUHAMMAD NASHIRUDDIN AL-ALBANI RAHIMAHULLAHU

Penanya :

Penolakan Nabi yang lebih penting!!!

Syaikh :

Hasan (baik). Penolakan Nabi Shallallahu ‘alaihi wa Salam-lah yang lebih penting. Penolakan Nabi Shallallahu ‘alaihi wa Salam menshalati seorang muslim tadi tidak menunjukkan bahwa menshalati muslim tersebut adalah dilarang. Maka jelaslah, bahwa para ulama salaf yang meninggalkan sholat jenazah tidaklah menunjukkan larangan mensholatinya.

Selanjutnya, taruhlah seandainya sholat jenazah tadi tidak boleh dilaksanakan, apakah ini juga berarti seseorang tidak boleh memohon rahmat dan maghfirah baginya –berdasarkan pandangan kita bahwa dia masih seorang muslim-.

Singkat kata, penolakan sebagian ulama salaf dalam menshalati sebagian kaum muslimin pelaku bid’ah, tidaklah membatalkan keabsahan mensholatkan mereka. Sebenarnya mereka (ulama salaf) melakukan hal ini (tidak turut menshalati, pent.) dikarenakan termasuk dalam kategori umum tahdzir (peringatan) dari kejahatan si mayit agar orang-orang yang sepertinya mendapatkan pelajaran.

Sebagaimana yang dilakukan oleh Nabi Shallallahu ‘alaihi wa Salam terhadap seorang lelaki yang tidak disholatinya. Mengapa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Salam tidak menshalatinya? Sebabnya adalah, karena si mayit itu menyembunyikan beberapa bagian dari harta ghanimah untuk dirinya sendiri. Keengganan Nabi Shallallahu ‘alaihi wa Salam untuk mensholatinya adalah lebih penting daripada keengganan para ulama salaf yang melaksanakan hal ini, namun hal ini tidaklah meniadakan atau membatalkan keabsahan mensholati muslim pelaku bid’ah.

Dari sini, kiranya perlulah diteliti siapakah yang dimaksud dengan mubtadi’ itu dan siapakah orang kafir itu. Ada pertanyaan yang muncul dalam pembahasan kali ini, yaitu apakah setiap orang yang jatuh ke dalam amalan kafir maka dengan serta merta ia menjadi kafir?? Dan apakah setiap orang yang jatuh kepada amalan bid’ah dengan serta merta ia menjadi mubtadi’ ataukah tidak???

Jika jawabannya tidak, maka kita dapat lanjut melihat kepada subyeknya. Jika subyeknya tidak jelas maka perlu diklarifikasi. Saya akan mengulang permasalahan yang menyangkut pertanyaan ini dengan beberapa tambahan terperinci…

Apakah yang dimaksud dengan bid’ah??? Bid’ah ialah perkara baru yang menyelisihi sunnah Nabi Shallallahu ‘alaihi wa Salam dan pelakunya melakukan bid’ah ini dengan bermaksud menambah taqarub (pendekatan diri) kepada Alloh Jalla wa ‘Ala.

Lantas, apakah setiap orang yang melakukan kebid’ahan dengan serta merta menjadi mubtadi’??? Saya ingin jawaban singkat, ya atau tidak???

Penanya :

Tidak!

Syaikh :

Kalau begitu siapakah mubtadi’ itu???

Penanya :

Seseorang yang telah didatangkan padanya hujjah yang nyata dan meyakinkan, namun ia tetap bersikeras melaksanakan bid’ahnya.

Syaikh :

Ahsan (baik). Jadi, orang yang disebutkan di dalam pertanyaan tadi –yang disebutkan tidak boleh kita bertarahum kepada mereka-, apakah hujjah telah ditegakkan kepada mereka??? Allohu a’lam. Lantas apa dasar prinsip tentang mereka??? Apakah mereka muslim atau kafir???

Penanya :

Muslim…

Syaikh :

Prinsip dasarnya adalah mereka muslim! Oleh karena itu boleh bertarahum kepada mereka. Prinsip dasarnya sekali lagi adalah kita boleh memohon maghfiroh dan rahmat bagi mereka. Bukankah ini masalahnya??? Jadi –dengan demikian- masalah ini telah selesai. Kita tidak boleh mengadopsi madzhab baru ini, yaitu madzhab bahwa tarahum terhadap fulan dan polan, atau ulama ini dan itu dari kaum muslimin adalah tidak boleh, baik secara umum maupun mu’ayan (spesifik).

Mengapa??? Dengan dua alasan yang tersimpulkan dari jawabanku tadi. Alasan pertama adalah mereka muslim. Alasan kedua adalah, kalaupun seandainya kita telah tahu bahwa mereka adalah pelaku bid’ah, namun kita belum tahu apakah hujjah sudah ditegakkan atas mereka ataukah belum, dan kita tidak tahu apakah mereka masih bersikeras melakukan kebid’ahannya dan melanjutkan kesesatannya ataukah tidak.

Karena itu saya katakan : diantara kesalahan fatal pada hari ini adalah, para pemuda muslim yang multazim (komitmen) dan mutamassikin (berpegang teguh) dengan al-Qur’an dan as-Sunnah, disebabkan mengadopsi madzhab baru ini, mereka telah menyelisihi al-Qur’an dan as-Sunnah tanpa mereka sadari. Secara otomatis, berdasarkan madzhab mereka ini pula, saya berhak untuk menvonis mereka sebagai mubtadi’ dikarenakan mereka menyelisihi al-Qur’an dan as-Sunnah (karena madzhab baru yang mereka adopsi ini, pent.)[8]. Kendati demikian, saya takkan menyelisihi madzhabku sendiri [9]

Prinsip dasar yang berkenaan dengan pernyataan mereka (orang-orang yang disebutkan di dalam pertanyaan tadi, pent.) adalah, bahwa mereka masih muslim dan mereka tidak bermaksud untuk mengada-adakan suatu bid’ah serta mereka tidak menolak hujjah yang ditegakkan kepada mereka. Sesungguhnya kami berpendapat bahwa mereka melakukan kesalahan di saat mereka mencari kebenaran. Jika kita sadar dan faham akan hal ini, niscaya kita akan selamat dari masalah yang tengah merebak dewasa ini.

Serupa dengan keadaan (para pemuda ini, pent.) adalah jama’ah yang dikenal dengan jama’ah takfir wal hijrah[10] di Mesir, yang fikrahnya tersebar sampai masuk ke Suriah di saat saya masih di sana, bahkan hingga saat ini. Kami memiliki beberapa ikhwan di sana yang (manhajnya) berada di atas al-Qur’an dan as-Sunnah –atau yang kita sebut sebagai salafiy– yang turut terpengaruh oleh dakwah batil ini, sampai-sampai mereka meninggalkan sholat jama’ah, bahkan juga sholat jum’at. Mereka biasanya sholat di rumah-rumah mereka sampai pada suatu hari kami mengadakan pertemuan dan berdiskusi dengan mereka.


[8]. Sungguh benar apa yang dikatakan oleh Syaikh Albani rahimahullahu. Mereka pada hakikatnya bermaksud untuk membela sunnah dan memerangi bid’ah, namun mereka melakukannya dengan menyelisihi al-Qur’an dan as-Sunnah, dan amalan yang menyelisihi al-Qur’an dan as-Sunnah ini adalah suatu kebid’ahan. Jadi, mereka berupaya memerangi bid’ah dengan bid’ah pula. Mereka menuduh kepada orang yang terjerumus kepada perbuatan bid’ah sebagai ahlul bid’ah padahal mereka sendiri juga terjerumus ke dalam kebid’ahan. Lantas, dengan demikian maka suatu hal yang konsisten dan logis apabila mereka juga digolongkan sebagai ahlul bid’ah, walaupun mereka tidak bermaksud melakukannya, bahkan mereka berupaya memeranginya. Jadi, apa bedanya mereka dengan orang-orang yang terjerumus ke dalam kebid’ahan yang mana mereka juga tidak sadar akan kebid’ahannya, mereka mencari al-Haq namun mereka terjerumus. Mudah-mudahan mereka mau berfikir…
[9]. Yakni madzhab ahlus sunnah, yang telah ditegaskan oleh syaikh bahwa “tidak setiap orang yang jatuh ke dalam kekufuran atau kebid’ahan maka dengan serta merta orang itu menjadi kafir atau mubtadi’

[10]. Jama’ah Takfir wal Hijrah pada hakikatnya adalah sempalan dari Ikhwanul Muslimin yang tidak puas melihat metode perjuangan Ikhwanul Muslimin yang keluar masuk parlemen dan bermajlis dengan kaum kuffar. Mereka ini adalah khowarij gaya baru yang mengkafirkan seluruh kaum muslimin yang tidak sepemahaman dengan mereka. Prinsip mereka sama dengan haddadiyah, yaitu mereka akan mengkafirkan siapa saja yang tidak mau mengkafirkan orang yang mereka kafirkan. Ciri khas mereka adalah takfir (pengkafiran) dan hajr (pemboikotan). Tokoh mereka adalah DR. Umar Abdurrahman yang kini sedang dipenjara di Mesir. Jama’ah ini berkaitan erat dengan gerakan-gerakan ekstrimis yang mengangkat slogan takfir dan tafjir dengan dalil jihad. Banyak sekali tokoh-tokoh yang dulunya salafiyin yang kini terpengaruh dengan dakwah ini, diantaranya adalah Abu Muhammad ‘Ashim al-Maqdisy, Abdul Mun’im Mustofa Halimah Abu Basyir, dan lain lain.

HAKIKAT BID’AH DAN KUFUR

TANYA JAWAB BERSAMA
AL-IMAM AL-MUHADDITS

MUHAMMAD NASHIRUDDIN AL-ALBANI RAHIMAHULLAHU

Penanya :

Jika dikatakan, kami tidak mensholatinya karena mereka termasuk mubtadi’, maka apa jawaban Anda???

Syaikh :

Apa dalilnya???

Penanya :

Mereka menggunakan af’alus salaf (amalan para salaf) sebagai dalil dan mereka membedakan antara pelaku kemaksiatan dengan pelaku bid’ah yang mengada-adakan kebid’ahan di dalam agama. Kaum salaf terdahulu, mereka tidak mau mensholati ahlul bid’ah ataupun bermajelis dengan mereka serta bermuamalah dengan mereka. Berdasarkan hal inilah mereka membangun dakwaannya.

Syaikh :

Pertanyaanku tadi apa?

Penanya :

Kita mensholati mereka ataukah tidak???

Syaikh :

Tidak! Anda meluaskan jawaban Anda dari pertanyaanku tadi dan Anda kehilangan maksud (melenceng ed.) dari pertanyaanku. Pertanyaanku barusan adalah, “Apakah dalilnya?” dan Anda menjawab dengan dalil “dakwaan’. Padahal “dakwaan” tidaklah sama dengan dalil. Sedangkan Anda menyatakan bahwa mereka mendakwakan sholat jenazah tidak dilakukan bagi mubtadi’.

Penanya :

Tidak ada dalilnya wahai syaikh, mereka berargumentasi dengan amalan para salaf.

Syaikh :

Apakah amalan para salaf itu dalil???

Penanya :

Itu yang mereka katakan (dakwakan).

Syaikh :

Manakah dalil dari dakwaan ini???

Penanya :

Dalilnya biasanya sangat umum pada perkara ini.

Syaikh :

Bukankah para ulama salaf ketika melakukan muqotho’ah (isolir /pemutusan hubungan) dengan individu-individu tertentu yang melakukan kemaksiatan dan kebid’ahan, lantas, apakah ini berarti mereka menghukumi mereka sebagai kafir?[6]

Penanya :

Tidak!

Syaikh :

Tidak! Sebab mereka masih menganggap mereka sebagai muslim. Kita tidak memiliki sikap pertengahan di antara muslim dan kafir. Apabila mereka ini muslim, maka harus diperlakukan sebagai muslim atau jika mereka kafir maka diperlakukan sebagai kafir. Kita tidak memiliki sikap pertengahan sebagaimana sikapnya mu’tazilah yang menyatakan adanya suatu tempat diantara dua tempat (manzilah bayna manzilatain), yaitu diantara muslim dan kafir.[7]

Selanjutnya, semoga Alloh memberkahimu, hal ini murni merupakan dakwaan belaka, yaitu para salaf tidak mensholati mubtadi’ secara umum. Ini merupakan dakwaan belaka yang diusung oleh para pemuda yang khoir (baik) –sebenarnya- namun mereka mengambil beberapa masalah dengan semangat yang meluap-luap tanpa disertai dengan ilmu yang benar berdasarkan Kitabullah dan Sunnah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Salam.

Saya telah menunjukkan pada Anda suatu hakikat yang tidak mungkin ada dua orang berbeda pendapat tentangnya, yaitu tentang apakah orang tersebut muslim atau kafir. Jika ia muslim –menurut dari apa yang ia tampakkan- maka ia disholati, bahkan –sebagai tambahan- hartanya diwarisi oleh ahli warisnya, mayatnya dimandikan dan dikafani serta ia dikuburkan di pekuburan kaum muslimin. Namun jika ia kafir, maka ia dihempaskan seperti bebijian dan dikuburkan di pekuburan kaum kafir. Kita tidak punya pendapat pertengahan dalam hal ini.

Kendati demikian, apabila ada seseorang yang tidak turut menshalati seorang muslim –atau para ulama tidak mau mensholatinya-, hal ini tidaklah menunjukkan bahwa mensholati orang ini adalah terlarang. Hal ini mengindikasikan bahwa para salaf sedang menunjukkan suatu hikmah dan beberapa hal yang tidak dapat dipenuhi (dilakukan) oleh orang selainnya.

Sebagaimana kisah dalam  sebuah hadits –yang pasti Anda ingat- di dalam beberapa riwayat dimana Nabi Shallallahu ‘alaihi wa Salam bersabda, “Sholatilah saudara kalian ini” sedangkan beliau Shallallahu ‘alaihi wa Salam tidak turut menshalatinya. Bagaimana pendapat Anda tentang hal ini? Apakah Nabi yang tidak turut menshalati seorang muslim ini lebih penting (dijadikan dalil) ataukah ulama salafi yang menolak menshalati muslim? Katakan padaku, mana yang lebih utama???


[6]. Termasuk dasar prinsip aqidah salaf adalah tidak mengkafirkan ahli kiblat yang bertauhid, sebagaimana yang dinyatakan oleh para imam salaf. Imam Ahmad rahimahullahu berkata di dalam As-Sunnah allati tufiya ‘anha Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Salam, poin ke-11 : “Dan kami tidak mengkafirkan seorangpun dari Ahli Tauhid walaupun mereka melakukan dosa besar.” (Aqo’id A`immatis Salaf, hal. 39); Beliau juga berkata di dalam Shifatul Mu’miun min Ahlis Sunnah wal Jama’ah adalah : “Tidak mengkafirkan seorangpun dari ahli kiblat karena dosanya” (Aqo`id, hal. 40); Imam Abu Bakr al-Humaidi rahimahullahu berkata di dalam Ushulus Sunnah, poin ke-14 : “Dan tidaklah mengkafirkan karena sesuatu dari dosa” (Aqo`id, hal. 156); Imam Abu Zaid al-Qirwani di dalam al-I’tiqod, poin ke-18 : “Dan tidak mengkafirkan seorangpun dari ahli kiblat dikarenakan dosa.” (Aqo`id, hal. 168).

[7]. Mu’tazilah memiliki 5 dasar keyakinan pokok, yaitu : al-‘Adl (keadilan), at-Tauhid (yang dimaksud tauhid di sini adalah nafyu shifat / menafikan sifat-sifat Alloh), Infaazhul Waa’id (melaksanakan ancaman), amar ma’ruf nahi munkar (maksudnya memberontak terhadap penguasa) dan manzilah baina manzilatain yang maksudnya adalah seorang ahli maksiat itu bukanlah muslim dan bukanlah kafir, namun dia berada di pertengahannya, yakni manzilah bayna manzilatain (suatu tempat/posisi di antara dua tempat/posisi), yaitu tempat di antara muslim dan kafir, yaitu tidak terjerumus kepada kekafiran namun keluar dari keimanan mereka kekal di dalam neraka.

Langkah-Langkah Untuk Menang

Posted: 20 Juni 2010 in Manhaj Salaf
Tag:

Oleh
Redaksi Majalah Al-Ashalah

Sejak lebih dari setengah abad yang lalu, umat Islam ditimpa bencana kekalahan bertubi-tubi. Kebanyakan orang lupa tentang sebab-sebab kekalahan dan musibah ini. padahal Allah berfirman :

“Artinya : Katakanlah : Itu dari (kesalahan) dirimu sendiri” [Ali Imran : 165]

Allah Subhanahu wa Ta’ala juga berfirman :

“Artinya : Dan apa saja musibah yang menimpa kamu maka adalah disebabkan oleh perbuatan tanganmu sendiri, dan Allah memaafkan sebagian besar (dari kesalahan-kesalahanmu)” [Asy-Syura : 30]

Seandainya umat kita -baik penguasa maupun rakyat- mau menghayati Kitab Allah kemudian mengamalkan hukum-hukum serta hikmah-hikmahnya, niscaya mereka akan melakukan upaya-upaya untuk menang melawan musuh-musuhnya. Dan niscaya pula akan mengetahui sunatullah terhadap mahluk-Nya -yang tidak pernah berubah, berganti dan bergeser- sepanjang masa.

Faktor-faktor menang melawan musuh -sebagaimana dijelaskan dalam Kitab Allah- banyak, diantaranya :

[1]. TAUHID, IMAN SHALIH.

Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman :

“Artinya : Dan Allah telah berjanji kepada orang-orang yang beriman di antara kamu dan mengerjakan amal-amal yang shaleh bahwa Dia sungguh-sungguh akan menjadikan mereka berkuasa di bumi, sebagaimana Dia telah menjadikan orang-orang yang sebelum mereka berkuasa, dan sungguh-sungguh Dia akan meneguhkan bagi mereka agama yang telah diridhai-Nya untuk mereka, dan Dia benar-benar akan menukar (keadaan) mereka, sesudah mereka berada dalam ketakutan menjadi aman sentausa. Mereka tetap menyembah-Ku dengan tiada mempersekutukan sesuatu apapun dengan Aku” [An-Nur : 55]

[2]. SIAPA YANG MENOLONG AGAMA ALLAH, NISCAYA ALLAH AKAN MENOLONGNYA.

Menolong agama Allah ialah :

[a]. Dengan menegakkan syari’at-Nya dan dengan mengikuti petunjuk Nabi-Nya Shallallahu ‘alaihi wa sallam, untuk mewujudkan peribadatan hanya kepada Allah, menghidupkan sunnah dan mematikan serta memberantas bid’ah.
[b]. Dengan memberikan loyalitas kepada Ahlus Sunnah wal Jama’ah serta memberikan permusuhan kepada pengikut hawa nafsu dan ahli bid’ah.
[c]. Dengan melaksanakan amar ma’ruf-nahi mungkar serta jihad melawan musuh-musuh Allah dimanapun mereka berada.
[d]. Menolong agama Allah ialah dengan mentaati Allah dan Rasul-Nya ; menjalankan perintah Allah dan Rasul-Nya serta meninggalkan apa yang dilarang oleh Allah dan Rasul-Nya. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman :

“Artinya : Sesungguhnya Allah pasti menolong orang yang menolong (agama) Nya. Sesungguhnya Allah benar-benar Maha Kuat lagi Maha Perkasa” [Al-Hajj : 160]

Orang yang demikian keadaannya, niscaya tidak akan dapat dikalahkan. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman :

“Artinya : Jika Allah menolong kamu, maka tak ada-lah orang yang dapat mengalahkan kamu (tidak memberi pertolongan), maka siapakah gerangan yang dapat menolong kamu (selain) dari Allah sesudah itu ?” [Ali Imran : 160]

[3]. SABAR DAN TAQWA ADALAH SEBAB DATANGNYA PERTOLONGAN DAN BANTUAN ALLAH.

Sesungguhnya Allah telah menjanjikan orang yang bersabar dan bertaqwa untuk memberikan pertolongan, kemenangan, bantuan, keberuntungan dan punahnya tipu daya musuh. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman.

“Artinya : Ya (cukup), jika kamu bersabar dan bertaqwa, dan mereka datang menyerang kamu dengan seketika itu juga, niscaya Allah menolong kamu dengan lima ribu Malaikat yang memakai tanda. Dan Allah tidak menjadikan pemberian bala-bantuan itu melainkan sebagai kabar gembira bagi (kemenangan)mu” [Ali-Imran : 125-126]

“Artinya : Jika kamu bersabar dan bertaqwa, niscaya tipu daya mereka tidak sedikitpun mendatangkan kemudharatan kepadamu. Sesungguhnya Allah mengetahui segala apa yang mereka kerjakan” [Ali-Imran : 120]

Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda.

“Artinya : Ketahuilah bahwa jalan keluar disertai kesulitan, bahwa kemenangan disertai kesabaran dan sesungguhnya bersama kesukaran terdapat kemudahan” [Hadits shahih seperti dikatakan oleh Syaikh Salim Al-Hilali dalam Iqazh Al-Hinam Muntaqa Jami’al-Ulum wa Hikam, hal.280, diriwayatkan oleh Ahmad, Abd bin Humaid dll]

[4]. SETIAP ORANG YANG TERANIAYA [DIZALIMI] MENJADAPAT JANJI PERTOLONGAN DARI ALLAH, APALAGI JIKA IA SEORANG MUKMIN YANG BERTAQWA.

Itu karena kezaliman adalah kegelapan. Allah telah mengharamkan kezaliman pada diri-Nya, dan Dia telah menjadikan kezaliman itu haram bagi mahluk-Nya. Allah memerintahkan supaya memberi pertolongan kepada orang yang dizalimi. Allah menjadikan do’anya orang yang terzalimi (teraniya) makbul dan tidak ada penghalang yang menutupi do’a itu dari Allah. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman.

“Artinya : Telah diizinkan (berperang) bagi orang-orang yang diperangi, karena sesunguhnya mereka telah dianiaya. Dan sesungguhnya Allah benar-benar Maha Kuasa menolong mereka itu” [Al-Hajj : 39]

“Artinya : Demikianlah, dan barangsiapa membalas seimbang dengan penganiyayaan yang pernah ia derita kemudian ia dianiaya (lagi), pasti Allah akan menolongnya” [Al-Hajj : 60]

Terdapat pula riwayat bahwa Allah pada hari kiamat akan mengqishas kambing yang bertanduk karena menganiaya kambing yang tidak bertanduk.[Hadits Riwayat Tirmidzi. Ini merupakan sempurnanya keadilan Allah Subhanahu wa Ta’ala. Terhadap binatang saja demikian, apalagi terhadap suatu masyarakat yang dikucilkan, diusir dari negerinya sendiri, dilarang menggunakan senjata untuk melakukan perlawanan terhadap musuhnya dan tempat tinggalnya di pencar-pencar].

[5]. MENGIKUTI AGAMA SECARA BENAR DIJANJIKAN MENDAPAT PERTOLONGAN.

Allah subhanahu wa Ta’ala berfirman.

“Artinya : Dialah (Allah) yang telah mengutus Rasul-Nya (dengan membawa) petunjuk (Al-Qur’an/ilmu yang bermanfaat) dan agama yang benar untuk dimenangkan-Nya atas segala agama, walaupun orang-orang musyrik tidak menyukai” [At-Taubah : 33]

Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda.

“Artinya : Sungguh-sungguh perkara (Islam) ini akan mencapai apa yang dicapai oleh malam dan siang. Dan tidak akan tersisa sebuah rumah tembokpun, tidak pula rumah ilalangpun kecuali Allah akan masukkan agama ini ke dalamnya ; dengan kemulian orang mulia atau dengan kehinaan orang hina. Kemuliaan yang Allah muliakan Islam dengannya (orang mulia tersebut), dan kehinaan yang Allah hinakan kekafiran dengan orang hina tersebut” [Hadits Shahih yang diriwayatkan oleh Ahmad, Ibnu Bisran, Thabrani, Ibnu Mandah, Al-Hafidz Abdul Ghani Al-Naqdisi, Al-Hakim dan lain-lainnya. Lihat Silsilah Shahihah No. 3]

Ini adalah janji yang termuat dalam Kitab Allah dan tertuangkan melalui lisan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Janji Allah tidak mungkin diingkari, sebab Allah tidak mengingkari janji.

[6]. PERSELISIHAN ADALAH SEBAB KEGENTARAN DAN KEKALAHAN.

Umat Islam tidak mengalami kekahan kecuali karena pertentangan dan perpecahan mereka. Seandainya mereka bersatu padu dalam kalimat tauhid, bersatu bahasanya, sama-sama berpegang teguh pada tali Allah, berjihad melawan musuh-musuhnya untuk menjunjung tinggi kalimat Allah dan menegakkan tauhidullah serta memberantas habis kemusyrikan, niscaya Allah menolongnya.

Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman.

“Artinya : Dan janganlah kamu saling bertentangan (berbantah-bantahan), yang menyebabkan kamu menjadi gentar dan hilang kekuatanmu dan bersabarlah. Sesungguhnya Allah menyertai orang-orang yang sabar” [Al-Anfal : 46]

[7]. MELAKUKAN PERSIAPAN UNTUK BEPERANG ; MORIL MAUPUN MATERIIL.

Yaitu dengan melakukan upaya-upaya sesuai dengan Sunnah Nabawiyah yang telah ditempuh oleh para nabi, padahal para nabi adalah orang-orang yang sangat jujur dan tawakkal kepada Allah. Sesungguhnya Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah muncul dengan mengenakan dua buah baju zirah dalam salah satu pertempuran, beliau juga memakai pelindung kepala dalam peperangan.

Demikian pula para sahabatnya-pun mengenakan baju zirah yang menyelimuti seluruh tubuh. Dan ini semua tidak menghilangkan tawakkal kepada Allah Subahanhu wa Ta’ala. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman.

“Artinya : Dan siapkanlah untuk menghadapi mereka kekuatan apa saja yang kamu sangggupi dan kuda-kuda yang ditambat untuk berperang” [Al-Anfal : 60]

Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah menafsirkan ayat di atas dengan sabdanya.

“Artinya : Ketahuilah, sesungguhnya kekuatan itu adalah melepaskan anak panah (menepatkan sasaran -pen). Ketahuilah bahwa kekuatan adalah melepaskan anak panah (menepatkan sasaran-pen” [Hadits Riwayat Muslim]

(Demikianlah) kita memohon kepada Allah Subahanahu wa Ta’ala agar Dia memberikan taufiq kepada kita untuk melakukan usaha-usaha ke arah kemenangan melawan kaum Yahudi dan melawan semua musuh Islam lainnya. Pada hari kemenangan itulah kaum Mukminin bergembira ria mendapat pertolongan Allah. Dan itu tidaklah sulit bagi Allah Subhanahu wa Ta’ala.

[Disalin dari Majalah Al-Ashalah Edisi 30/Th. V/15 Syawal 1421H. Sebuah tulisan yang merupakan kata penutup redaksi Al-Ashalah, Disalin ulang dari Majalah As-Sunnah Edisi 08/Tahun V/1422H/2001M hal. 26-28, PenerjemahAhmas Faiz Asifuddin]


Sumber : http://almanhaj.or.id/index.php?action=mo re&article_id=830&bagian=0

 

Oleh
Syaikh Muhammad bin Ibrahim Al-Hamd

Karakteristik Pengikut Ahlus Sunnah Wal Jama’ah.

[16] Mereka memadukan antara akal dengan perasaan. Akal mereka jernih, perasaan mereka jujur dan ukuran yang mereka gunakan tepat. Mereka tidak mengalahkan akal atas perasaan atau sebaliknya, tetapi mereka memadukan antara keduanya dengan sesempurna mungkin. Perasaan mereka kuat, tetapi dikendalikan oleh akal, dan akal dikendalikan oleh syari’at : “Cahaya di atas cahaya (berlapis-lapis). Allah membimbing kepada cahaya-Nya siapa yang Dia kehendaki”. [An-Nur : 35]

[17] Keadilan merupakan keistimewaan Ahlus Sunnah wal Jama’ah yang paling agung. Mereka adalah orang yang paling adil, dan orang-orang yang paling berhak menta’ati firman Allah : “Wahai orang-orang yang beriman, jadilah kamu orang yang benar-benar penegak keadilan, menjadi saksi karena Allah”. [An-Nisaa’ : 135]. Bahkan jika kelompok-kelompok lain bertikai maka mereka akan meminta keputusan hukum kepada Ahlus Sunnah wal Jama’ah.

[18] Amanah ilmiah. Di antara bentuk amanah ilmiah yaitu ketika menukil sesuatu, mereka tidak memalsukan atau memutarbalikkan fakta. Jika mereka menukil dari orang yang berbeda pendapat dengan mereka, maka mereka menukilnya dengan sempurna, tidak mengambil apa yang sesui dengan pendapatnya dan meninggalkan yang lain. Dan mereka tidak berfatwa atau memutuskan hukum kecuali berdasarkan apa yang mereka ketahui.

[19] Mereka adalah kelompok moderat dan pilihan. Allah berfirman : “Dan demikian (pula) kami menjadikan kamu, umat yang moderat dan pilihan”. [Al-Baqarah : 143]. Sikap moderat Ahlus Sunnah wal Jama’ah tampak dalam banyak hal, baik dalam hal aqidah, hukum, perilaku, akhlak maupun lainnya. Mereka adalah kelompok pertengahan, antara yang berlebih-lebihan dan yang meremehkan.

[20] Tidak berselisih dalam masalah-masalah prinsip aqidah. Para As-Salafush Shalih tidak berselisih dalam suatu persoalan prinsip-pun dalam agama, juga tidak dalam prinsip-prinsip aqidah. Dalam masalah Asma’ dan Sifat-sifat Allah misalnya, pendapat mereka adalah satu. Pendapat mereka juga sama dalam masalah iman, defenisi dan berbagai persoalannya, dalam masalah takdir juga dalam masalah-masalah prinsip lainnya.

[21] Mereka meninggalkan perseteruan dalam masalah agama, serta menjauhi orang-orang yang suka berseteru. Sebab perseteruan akan mengakibatkan fitnah, perpecahan, fanatisme buta dan hawa nafsu.

[22] Perhatian untuk menyatukan kalimat umat Islam pada kebenaran. Mereka sangat peduli bagi kesatuan umat Islam, menghilangkan sebab-sebab pertikaian dan perpecahan. Sebab mereka mengetahui, persatuan adalah rahmat dan perpecahan adalah adzab. Dan karena Allah memerintahkan persatuan dan melarang perselisihan. Allah berfirman : “Dan berpegang lah kamu semua kepada tali (agama) Allah, dan janganlah kamu bercerai-berai”. [Ali-Imran : 103].

[23] Mereka adalah orang-orang yang memiliki wawasan yang luas, pandangan yang jauh ke depan, paling lapang dada dalam soal perselisihan dan paling teguh memegang berbagai peringatan. Mereka tidak risih menerima kebenaran dari siapapun, juga tidak malu untuk kembali kepadanya. Selanjutnya, mereka tidak memaksakan orang lain mengikuti ijtihad mereka, tidak mengatakan sesat orang-orang yang menyelisihinya, dan tidak menjadi sesak dada mereka karena persoalan ijtihadiyah, yang di situ banyak orang berbeda paham. Termasuk tanda keluasan wawasan mereka yaitu mereka jauh dari fanatik, taklid buta dan hizbiyah.

[24] Mereka adalah orang-orang yang memiliki akhlak terpuji, rendah hati, penuh kasih sayang dan toleran. Dan mereka selalu mengajak kepada akhlak baik dan perbuatan terpuji.

[25] Mereka senantiasa berdakwah kepada Allah dengan hikmah, pelajaran yang baik dan perbedaan dengan cara yang baik pula.

[26] Mereka adalah ghuraba, orang-orang yang memperbaiki apa yang dirusak menusia dan selalu berbuat baik saat manusia lain rusak.

[27] Mereka adalah Firqatun Najiyah, yang selamat dari berbagai bid’ah dan kesesatan di dunia ini dan selamat pula dari siksa Allah kelak di akhirat.

[28] Mereka adalah Thaifah Manshurah (kelompok yang menang), karena Allah senantiasa bersama mereka menolong dan meneguhkan mereka.

[29] Mereka tidak setia atau memusuhi kecuali berdasarkan agama. Mereka tidak memenangkan hawa nafsunya, juga tidak marah karenanya. Semua kesetiaan dan kebenciannya hanyalah semata-mata karena Allah.

[30] Selamat dari sikap saling mengkafirkan satu sama lain. Ahlus Sunnah hanya membantah dan menjelaskan kebenaran kepada orang yang berselisih dengan mereka. Ini berbeda dengan kelompok lain seperti Khawarij yang senang berselisih, menyesatkan dan mengkafirkan.

[31] Hati dan lisan mereka selamat dari mencerca shahabat Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Sebaliknya, hati mereka dipenuhi kecintaan kepada para sahabat, lisan mereka senantiasa basah memuji, karena Ahlus Sunnah berpendapat bahwa para shahabat adalah sebaik-baik generasi sebagaimana dinyatakan Allah dan Rasul-Nya.

[32] Mereka selamat dari keragu-raguan, keguncangan dan kontradiksi. Ahlus Sunnah wal Jama’ah adalah orang-orang awam di antara mereka. Berbeda dengan ahli kalam atau kelompok lainnya. Ar Razi, misalnya, salah seorang pembesar ilmu kalam yang karena kebingungan dan keguncangannya, dalam salah satu syairnya mengatakan : ” Dan akhir dari usaha para ilmuwan adalah kesesatan”. Bandingkanlah hal itu dengan ucapan Umar bin Abdul Aziz : “Di pagi hari aku tidak merasakan kegembiraan kecuali dalam qadha’ dan qadar”.

[33] Selalu mengecek ulang berita-berita yang datang dan tidak gampang men-genalisir hukum. Mereka tidak mudah menghukumi fasik, kafir atau tuduhan-tuduhan lain tanpa bukti dan asalan-alasan nyata.

[34] Mereka mendapatkan berita gembira saat datangnya kematian, karena keimanan dan istiqamah mereka dalam keimanan tersebut. [Fush Shilat : 30].

[35] Kebaikan mereka di lipat gandakan dan derajat mereka ditingkatkan, hal itu karena aqidah mereka benar dan iman mereka kuat.

Karena semua hal di atas tidak berarti Ahlus Sunnah adalah orang-orang maksum. Tetapi manhaj (jalan) dan jama’ah mereka adalah yang maksum. Jika Ahlus Sunnah memiliki kesalahan kelompok lain lebih banyak, dan jika kelompok lain memiliki keutamaan dan ilmu maka keutamaan dan ilmu Ahlus Sunnah lebih sempurna dan lengkap.

Karena itulah, menjadi sesuatu yang niscaya agar kita meniti manhaj Ahlus Sunnah wal Jama’ah.

[Saduran dari Mukhtashar Aqidah Ahlus Sunnah wal Jama’ah oleh Syaikh Muhammad bin Ibrahim Al-Hamd, Buletin Dakwah An Nur Thn IV/No.140/Jum’at II/R.Awal 1419H]

Sumber : http://almanhaj.or.id/index.php?action=mo re&article_id=900&bagian=0

 

Oleh
Syaikh Shalih bin Fauzan Al-Fauzan

Pertanyaan.
Syaikh Shalih bin Fauzan Al-Fauzan ditanya : Apakah kaum muslimin dewasa ini terbelakang ? Kenapa ? Dan bagaimana dapat membuat mereka bangkit ?

Jawaban
Tidak dapat diragukan lagi bahwa tidak seorang mukmin pun yang rela terhadap kondisi kaum muslimin dewasa ini. Mereka benar-benar terkebelakang akibat keteledoran mereka mengemban tanggung jawab yang telah diwajibkan Allah diatas pundak mereka. Mereka telah teledor dari sisi penyampaian dien ini kepada seluruh dunia dan berdakwah kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala, mereka juga telah teledor di dalam mempersiapkan kekuatan yang telah Allah perintahkan melalui firman-firmanNya.

“Artinya : Dan siapkanlah untuk menghadapi mereka kekuatan apa saja yang kamu sanggupi dan dari kuda-kuda yang ditambat untuk berperang (yang dengan persiapan itu) kamu menggetarkan musuh Allah, musuhmu” [Al-Anfal : 60]

“Artinya : Dan siap siagalah kamu” [An-Nisa : 102]

“Artinya : Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu ambil mejadi teman kepercayaan orang-orang yang di luar kalanganmu (karena) mereka tidak henti-hentinya (menimbulkan) kemudharatan bagimu. Mereka menyukai apa yang menyusahkan kamu” [Ali-Imran : 118]

“Artinya : Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengambil orang-orang Yahudi dan Nasrani menjadi pemimpin-pemimpin (mu) ; sebahagian mereka adalah pemimpin bagi sebahagian yang lain” [Al-Maidah : 51]

Hal-hal yang mereka teledor terhadapnya inilah yang menyebabkan mereka mengalami ketertinggalan yang kita berharap kepada Allah agar dapat menghilangkannya dari mereka. Yaitu, dengan jalan kembalinya mereka ke jalan yang benar sebagaimana yang telah digariskan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam.

“Artinya : Aku telah meninggalkan kalian dalam kondisi putih bersih, yang malamnya seperti siangnya” [Hadits Riwayat Ibnu Majah, Al-Muqaddimah 43, Ahmad Jilid IV. No. 1374]

Dan dalam sabdanya yang lain.

“Artinya : Aku telah meninggalkan pada kalian dua hal, yang kalian tidak akan sesat selama berpegang teguh kepada keduanya ; Kitabullah dan Sunnah NabiNya” [Hadits Riwayat Malik di dalam Al-Muwaththa’, Al-Qadar, hal 899]

Jadi sebab ketertinggalan kaum muslimin adalah bahwa mereka belum mengamalkan wasiat Allah kepada mereka, demikian pula wasiat Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam agar berpegang teguh kepada dien mereka, Kitab Rabb dan Sunnah Nabi mereka. Juga karena mereka tidak mengambil sikap hati-hati agar aman dari makar musuh mereka akan tetapi sekalipun demikian, kita tidak hendak mengatakan bahwa kebaikan sudah tidak ada dan kesempatan sudah habis. Kebaikan masih ada pada umat ini selemah apapun kondisinya, sebab Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda.

“Artinya : Masih akan tetap ada sebuah golongan dari umatku yang membela Al-Haq, mereka tidak akan dapat dicelakai oleh orang-orang yang menghinakan mereka hingga datangnya urusan Allah (Kiamat)” [Hadits Riwayat Muslim, Al-Imarah 1920 dari hadits yang diriwayatkan Tsauban. Demikian pula terdapat riwayat semisalnya dari lebih dari seorang sahabat]

Maka, selemah apapun kondisi yang tengah dihadapi umat namun kebaikan tidaklah hilang padanya dan pasti akan ada orang yang menegakkan Dienullah sekalipun dalam lingkup yang sempit. Kebaikan akan tetap ada pada umat ini manakala para pemeluknya telah kembali kepadaNya.

[Kitab Ad-Da’wah, No. 7, Dari Fatwa Syaikh Al-Fauzan, Jilid II, hal.166-167]

[Disalin dari buku Al-Fatawa Asy-Syar’iyyah Fi Al-Masa’il Al-Ashriyyah Min Fatawa Ulama Al-Balad Al-Haram, edisi Indonesia Fatwa-Fatwa Terkini-2, hal 179-181 Darul Haq]


Sumber : http://almanhaj.or.id/index.php?action=mo re&article_id=752&bagian=0

 

Oleh
Syaikh Muhammad bin Ibrahim Al-Hamd

Karakteristik Pengikut Ahlus Sunnah Wal Jama’ah.

[1] Hanya bersumber kepada Al-Qur’an dan As-Sunnah. Mereka senantiasa menjadikan Al-Qur’an dan As-Sunnah sebagai sumber pengambilan, baik dalam ibadah, akidah, mu’amalah, sikap maupun akhlak. Setiap yang sesuai dengan Al-Qur’an dan As-Sunnah mereka menerima dan menetapkannya. Sebaliknya, setiap yang bertentangan dengan Al-Qur’an dan As-Sunnah mereka menolaknya, tak peduli siapa pun yang berpendapat dengannya.

[2] Menyerah kepada nash-nash syara’, serta memahaminya sesuai dengan pemahaman As-Salafus Shalih. Mereka menyerah kepada nash-nash syara, baik mereka memahami hikmahnya maupun tidak. Mereka tidak menghakimi nash-nash tersebut dengan akal mereka, tetapi mereka menghakimi akal mereka dengan nash-nash syara’.

[3] Itiba’ dan meningglakan ibtida’. Mereka tidak mendahului perkataan Allah dan Rasul-Nya, tidak meninggikan suara di atas suara Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, dan mereka juga tida rela jika seseorang meninggikan suara di atas suara Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam.

[4] Mereka memperhatikan Al-Qur’an, baik dalam hal hafalan, bacaan maupun penafsiran. Juga perhatian dengan Al-Hadits, baik dalam hal dirayah (matan, isi hadits) maupun riwayah (pembawa hadits).

[5] Mereka senantiasa berdalil dengan sunnah shahihah dan meninggalkan pembedaan antara hadits mutawatir dengan ahad, baik dalam hukum maupun aqidah.

[6] Mereka tidak memiliki imam yang diagungkan, yang mereka ambil seluruh ucapannya kecuali Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Adapun selain Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam maka mereka menimbangnya dengan Al-Qur’an dan As-Sunnah, jika ia sesuai dengan keduanya maka diterima, dan jika tida maka di tolak.

[7] Mereka adalah orang yang paling mengerti Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Mereka mengetahui petunjuk, amal, ucapan dan ketetapan-ketetapannya. Karena itu, mereka adalah orang yang paling mencintai beliau dan paling setia mengikuti sunnahnya.

[8] Mereka masuk ke dalam Islam secara keseluruhan dan beriman kepada Al-Qur’an secara keseluruhan pula [Al-Baqarah : 208].

[9] Para pengikut Ahlus Sunnah mengagungkan para As-Salafush Shalih, meneladani dan menjadikan mereka sebagai teladan. Mereka melihat bahwa jalan para As-Salafus Shalih adalah jalan yang paling selamat, paling mengetahui dan paling bijaksana.

[10] Mereka memadukan antara nash-nash tentang suatu persoalan dan mengembalikan al-mustasyabih (nash yang belum jelas) kepada al-muhkam (yang telah jelas ketentuannya), yang dengan demikian mereka bisa mencapai kebenaran dalam masalah tersebut.

[11] Mereka memadukan antara ilmu dan ibadah. Ini berbeda dengan selain mereka yang terkadang sibuk beribadah dengan meninggalkan ilmu, atau sebaliknya.

[12] Mereka memadukan antara tawwakal kepada Allah dengan ikhtiar, mereka tidak mengingkari perlunya ikhtiar, sehingga tetap berusaha, tapi pada saat yang sama mereka tidak menggantungkan kepadanya. Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda : ” Bersungguh-sungguhlah dalam menuntut apa yang bermanfaat bagimu dan mohonlah pertolongan kepada Allah (dalam segala urusanmu) serta janganlah sekali-kali kamu bersikap lemah. Apabila kamu tertimpa suatu kegagalan, maka janganlah kamu berkata, ‘Seandainya aku berbuat demikian, tentu tidak akan begini atau begitu’, tetapi katakanlah, ‘Ini telah ditakdirkan Allah, dan Allah berbuat apa yang Dia kehendaki’. Karena ucapan ‘seandainya’ akan membuka (pintu) perbuatan setan”. [Hadits Riwayat Muslim 8/56 No. 2664 dari Abu Hurairah Radhiyallahu ‘anhu].

[13] Memadukan antara kekayaan harta dengan sikap zuhud terhadapnya. Para pengikut Ahlus Sunnah wal Jama’ah tidak mengingkari orang yang memiliki kekayaan harta yang melimpah. Sebaliknya mereka memandang, setiap orang harus memenuhi kebutuhan dirinya dan orang yang ada di bawah tanggung jawabnya, dan tidak menggantungkan kepada orang lain. Tetapi, hendaknya tidak menjadikan dunia sebagai puncak harapan dan keinginannya. Mereka juga tidak boleh membenci orang yang lebih menerima dan rela terhadap yang sedikit dari kesenangan dunia. Sebab mereka berpendapat, zuhud letaknya di hati, yakni meninggalkan apa yang tidak bermanfaat bagi akhiratnya. Sedangkan orang yang lapang kekayaannya, tetapi ia meletakkannya di tangan dan tidak di hati, dan menyedekahkannya kepada fakir miskin, maka itu adalah karunia Allah yang diberikan kepada hamba yang dikehendaki-Nya. Dan itulah keadaan Abu Bakar, Umar, Utsman, Ali, Abdurrahman bin Auf dan para sahabat lainnya dari kalangan Muhajirin dan Anshar radiyallahu ‘anhum.

[14] Mereka memadukan antara khauf (takut), raja’ (harap) dan hubb (cinta), bahkan mereka berpendapat bahwa antara ketiganya tidaklah bertentangan. [As-Sajdah : 16]. Dalam hal ini terdapat ucapan yang mashur dari para salaf : “Siapa yang menyembah Allah hanya dengan cinta maka dia adalah zindiq, dan siapa yang menyembah Allah hanya dengan perasaan takut maka dia adalah haruri (Khawarij), dan siapa yang menyembah Allah hanya dengan harapan dia adalah Murji’. Sedang yang menyembah Allah dengan takut, cinta daan harapan maka dia adalah mukmin sejati”.

[15] Mereka memadukan antara kasih sayang dan lemah lembut dengan sikap keras dan kasar. Ini berbeda dengan selain golongan mereka yang berlaku keras atau lemah lembut dalam setiap kesempatan. Ahlus Sunnah wal Jama’ah senantiasa menempatkan sesuatu pada tempatnya, menurut maslahat dan tuntutan kondisi.

[Saduran dari Mukhtashar Aqidah Ahlus Sunnah wal Jama’ah oleh Syaikh Muhammad bin Ibrahim Al-Hamd, Buletin Dakwah An Nur Thn IV/No.140/Jum’at II/R.Awal 1419H]

tausiyah,tausyah,tausiyah islamiyah,islamiyah,hatih,Qur’an,Ahlussunnah,nabi,baqarah,Muslim,Muslimah,Islamic,Islam,Wanita,Rasulullah,hukum

Sumber : http://almanhaj.or.id/index.php?action=mo re&article_id=899&bagian=0

 

Prioritas Dalam Dakwah

Posted: 20 Juni 2010 in Manhaj Salaf
Tag:,

Oleh
Syaikh Abdul Aziz bin Baz

Pertanyaan.
Syaikh Abdul Aziz bin Baz ditanya : Mana yang seharusnya diprioritaskan dalam lingkup dakwah Islamiyah ; berupa kegiatan sosial semacam pembangunan masjid dan pemberian bantuan bagi kum lemah, ataukah mendakwahi pemerintah untuk menerapkan syariat Islam dan memerangi berbagai kerusakan ?

Jawaban.
Yang wajib atas para ulama adalah memulai dengan apa yang para Rasul Shallallahu ‘alaihi wa sallam mulai, yang berkaitan dengan masyarakat kuffar dan negara-negara non Islam, yaitu mengajak kepada Tauhidullah (beribadah hanya kepada Allah) dan meninggalkan penyembahan kepada selain Allah, beriman kepada Allah sesuai dengan kemuliaan dan keagunganNya, beriman kepada RasulNya Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan mencintainya berikut para pengikutnya.

Disamping itu, hendaknya mereka mengajak kaum muslimin di setiap tempat untuk senantiasa berpegang teguh dengan syariat Islam dan selalu konsisten, menasehati para penguasa, membantu dan membimbing orang-orang yang perlu dibantu dan dibimbing.

Kemudian dari itu, hendaknya para ulama senantiasa eksis dalam berdakwah, antusias terhadap kegiatan-kegiatan sosial, mengunjungi para penguasa dan memotivasi mereka untuk berbuat kebaikan serta menganjurkan mereka untuk memberlakukan syari’at dan menerapkannya pada masyarakat. Hal ini sebagai pengamalan firman Allah Azza wa Jalla.

“Artinya : Maka demi Rabbmu, mereka pada (hakikatnya) tidak beriman hingga mereka menjadikan kamu hakim dalam perkara yang mereka perselisihkan, kemudian mereka tidak merasa keberatan dalam hati mereka terhadap putusan yang kamu berikan, dan mereka menerima dengan sepenuhnya” [An-Nisa : 65]

Dan firmanNya.

“Artinya : Apakah hukum jahiliyah yang mereka kehendaki, dan (hukum) siapakah yang lebih daripada (hukum) Allah bagi orang-orang yanjg yakin ?” [Al-Maidah : 50]

Dan masih banyak lagi ayat-ayat lain yang semakna.

[Majalah Al-Buhuts Al-Islamiyah, edisi 32, hal.119, Syaikh Ibnu Baz]

[Disalin dari. Kitab Al-Fatawa Asy-Syar’iyyah Fi Al-Masa’il Al-Ashriyyah Min Fatawa Ulama Al-Balad Al-Haram, edisi Indonesia Fatwa-Fatwa Terkini-2, hal 250-251 Darul Haq]


Sumber : http://almanhaj.or.id/index.php?action=mo re&article_id=661&bagian=0

 

Masa Depan Islam

Posted: 20 Juni 2010 in Manhaj Salaf
Tag:

Oleh
Syaikh Muhammad Nashiruddin Al-Albani

Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman.

“Artinya : Dia-lah yang telah mengutus Rasul-Nya (dengan membawa) petunjuk (Al-Qur’an) dan agama yang benar untuk dimenangkan-Nya atas segala agama, walaupun orang-orang musyrik tidak menyukai”. [At-Taubah : 33].

Kita patut merasa gembira dengan janji yang telah diberikan oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala melalui firman-Nya itu, bahwa Islam dengan kearifan dan kebijkasanaannya mampu mengalahkan agama-agama lain. Namun tidak sedikit yang mengira bahwa janji tersebut telah terwujud pada masa Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, masa Khulafaur Rasyidin, dan pada masa-masa khalifah sesudahnya yang bijaksana. Padahal kenyataannya tidak demikian. Yang sudah terealisasi saat itu hanyalah sebagian kecil dari janji di atas, sebagaimana di isyaratkan oleh Rasul Shallallahu ‘alaihi wa sallam, melalui sabdanya :

“Artinya : Malam dan siang tidak akan sirna sehingga Al-Lata dan Al-Uzza telah disembah. Lalu Aisyah bertanya : ‘Wahai Rasul, sungguh aku mengira bahwa tatkala Allah menurunkan firman-Nya : “Dia-lah yang telah mengutus Rasul-Nya (dengan membawa) petunjuk (Al-Qur’an) dan agama yang benar untuk dimenangkan-Nya atas segala agama walaupun orang-orang musyrik tidak menyukai, hal ini itu telah sempurna (realisasinya)”. Beliau menjawab : “Hal itu akan terealisasi pada saat yang ditentukan oleh Allah”.

Hadits tersebut diriwayatkan oleh Imam Muslim dan Imam-Imam yang lain. Saya telah mentakhrijnya di dalam kitab saya Tahdzirus Sajid Min Ittkhadzil Qubur Masajida [Peringatan Bagi Yang Sujud Untuk Tidak Menjadikan Makam Sebagai Masjid, hal : 122].

Banyak hadits-hadits lain yang menjelaskan masa kemenangan Islam dan tersebarnya ke berbagai penjuru. Dari hadits-hadits itu tidak diragukan lagi bahwa kemenangan Islam di masa depan semata-mata atas izin pertolongan dari Allah Subhanahu wa Ta’ala, dengan catatan harus tetap kita perjuangkan, itu yang penting. Berikut ini akan saya tampilkan beberapa hadits yang saya harapkan dapat membakar semangat para pejuang Islam dan dapat dijadikan argumentasi untuk menyadarkan mereka yang fatalis tanpa mau berjuang sama sekali.

“Artinya : Allah Subhanahu wa Ta’ala telah menghimpun (mengumpulkan dan menyatukan) bumi ini untukku. Oleh karena itu, aku dapat menyaksikan belahan bumi Barat dan Timur. Sungguh kekuasaan umatku akan sampai ke daerah yang dikumpulkan (diperlihatkan) kepadaku itu”.

Hadist tersebut diriwayatkan oleh Imam Muslim (8/171), Imam Abu Daud (4252), Imam Turmudzi (2/27) yang menilainya sebagai hadits shahih. Imam Ibnu Majah (2952) dan Imam Ahmad dengan dua sanad. Pertama berasal dari Tsaubah (5/278) dan kedua dari Syaddad bin Aus (4/132), jika memang haditsnya mahfuzh (terjaga).

Ada hadits-hadits lain yang lebih jelas dan luas yaitu :

“Artinya : Sungguh agama Islam ini akan sampai ke bumi yang dilalui oleh malam dan siang. Allah tidak akan melewatkan seluruh kota dan pelosok desa, kecuali memasukkan agama ini ke daerah itu, dengan memuliakan yang mulia dan merendahkan yang hina. Yakni memuliakan dengan Islam dan merendahkannya dengan kekufuran”.

Hadits ini diriwayatkan oleh sekelompok Imam yang telah saya sebutkan di dalam kitab At-Tahdzir (hal. 121). Sementara Imam Ibnu Hibban meriwayatkannya di dalam kitab Shahih-nya (1631, 1632). Sedang Imam Abu ‘Arubah meriwayatkannya di dalam kitab Al-Muntaqa minat-Thabaqat (2/10/1).

Tidak diragukan lagi bahwa tersebarnya agama Islam kembali kepada umat Islam sendiri. Oleh karena itu mereka harus memiliki kekuatan moral, material dan persenjataan hingga mampu melawan dan mengalahkan kekuatan orang-orang kafir dan orang-orang durhaka. Inilah yang dijanjikan oleh Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam.

“Artinya : Hadits ini diriwayatkan oleh Abu Qubai. Ia menuturkan : “(Pada suatu ketika) kami bersama Abdullah Ibnu Amer Ibnu Al-Ash. Dia ditanya tentang mana yang akan terkalahkan lebih dahulu, antara dua negeri. Konstantinopel atau Rumawi. Kemudian ia meminta petinya yang sudah agak lusuh. Lalu ia mengeluarkan sebuah kitab.” Abu Qubail melanjutkan kisahnya : Lalu Abdullah menceritakan : [1] “Suatu ketika, kami sedang menulis di sisi Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Tiba-tiba beliau ditanya : “Mana yang terkalahkan lebih dahulu, Konstantinopel atau Rumawi ?. ” Beliau menjawab : “Kota Heraclius-lah yang akan terkalahkan lebih dulu”. Maksudnya adalah Konstantinopel”.

Hadit ini diriwayatkan oleh Imam Ahmad (II/176), Ad-Darimi (I/126), Ibnu Abi Syaibah dalam Al-Muhson (II/47, 153), Abu Amer Ad-Dani di dalam As-Sunanul Waridah fil-Fitan (hadits-hadits tentang fitnah), Al-Hakim (III/422 dan IV/508) dan Abdul Ghani Al-Maqdisi dalam Kitabul Ilmi (II/30). Abdul Ghani bahwa hadits ini hasan sanadnya. Sedangkan Imam Hakim menilainya sebagai hadits shahih. Penilaian Al-Hakim itu juga disetujui oleh Imam Adz-Dzahabi.

Kata Rumiyyah dalam hadits di atas maksudnya adalah Roma, ibu kota Italia sekarang ini, sebagaimana bisa kita lihat di dalam Mu’jamul Buldan (Ensiklopedi Negara).

Sebagaiman kita ketahui, bahwa kemenangan pertama ada di tangan Muhammad Al-Fatih Al-Utsmani. Hal itu terjadi lebih dari delapan ratus tahun setelah Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam menyabdakan hadits di atas. Kemenangan keduapun akan segera terwujud atas seizin Allah Subhanahu wa Ta’ala, sebagaimana firman-Nya.

“Artinya : Dan sesungguhnya kamu akan mengetahui (kebenaran) berita Al-Qur’an setelah beberapa waktu lagi”. [Shaad : 88]

Tidak diragukan lagi bahwa kemenangan kedua mendorong adanya kebutuhan terhadap Khalifah yang tangguh. Hal inilah yang telah diberitakan oleh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam melalui sabdanya.

“Artinya : Kenabian telah terwujud di antara kamu sesuai dengan kehendak Allah. Kemudian Dia akan menghilangkannya sesuai dengan kehendak-Nya, setelah itu ada Khilafah yang sesuai dengan kenabian tersebut, sesuai dengan kehendak-Nya pula. Kemudian Dia akan menghapusnya juga sesuai dengan kehendak-Nya. lalu ada Raja yang gigih (berpegang teguh dalam memperjuangkan Islam), sesuai dengan kehendak-Nya. Setelah itu ada seorang Raja diktator bertangan besi, dan semua berjalan sesuai dengan kehendak-Nya pula. Lalu Dia akan menghapusnya jika menghendaki untuk menghapusnya. Kemudian ada Khilafah yang sesuai dengan tuntunan Nabi. Lalu Dia diam”.

Hadits ini diriwayatkan oleh Imam Ahmad (IV/273). Kami mendapatkan riwayat dari Sulaiman bin Dawud Ath-Thayalisi, juga dari Dawud bin Ibrahim Al-Wasithi, Hubaib bin Salim, dan Nu’man bin Basyir yang mengisahkan, “kami sedang duduk di masjid. Basyir adalah seorang yang sering menyembunyikan haditsnya. Lalu datanglah Abu Tsa’labah Al-Khasyafi dan bertanya : Wahai Basyir bin Sa’id, apakah engkau menghafal hadits Rasul tentang Umara ? Tetapi kemudian, Khudzaifahlah yang justru menjawab : “Saya menghafal khutbahnya”.

Mendengar itu kemudian Abu Tsa’labah duduk, sementara Khudzaifah selanjutnya meriwayatkan hadits itu secara marfu’.

Hubaib mengomentarai dengan menceritakan : “Tatkala Umar bin Abdul Aziz mulai tampil dan saya mengetahui bahwa Yazid bin Nu’am bin Basyir menjadi pengikutnya, maka saya menulis surat kepadanya, berisikan tentang hadist ini. Saya memperingatkan dengan mengatakan kepadanya : Saya berharap agar beliau (Umar bin Abdul Aziz) benar-benar bisa menjadi Amirul Mu’minin setelah adanya raja yang gigih memperjuangkan agama sebelum dia naik tahta. Lalu surat saya itu disampaikan kepada Umar bin Abdul Aziz. Dia merasa gembira dan mengaguminya.

Melalui sanad Ahmad, hadist itu juga dirwayatkan oleh Al-Hafidzh Al-Iraqi di dalam Mahajjatul-Ghurab ila Mahabbatil-Arab (II/17). Selanjutnya Al-Hafidz mengatakan :

“Status hadits ini shahih. Ibrahim bin Dawud Al-Wasithi dinilai tsiqah (baik akhlaknya dan kuat ingatannya) oleh Abu Dawud, Ath-Thayalisi dan Ibnu Hibban. Sedangkan perawi-perawi yang lain bisa dibuat hujjah di dalam menetapkan hadits shahih”.

Yang dimaksud Al-Hafidzh ini adalah yang terdapat di dalam kitab Shahih Muslim, tetapi mengenai Hubaib oleh Al-Bukhari dinilainya dengan “fihi nadharun” (ungkapan yang menunjukkan masih diragukannya keabsahan seorang perawi). Sedanglan Ibnu Addi mengatakan : Dalam matan hadits yang diriwayatkannya (Hubaib) tidak terdapat hadits munkar (hadits yang ditolak), tetapi ia telah memutarbalik sanadnya (mudhtharib). Akan tetapi Abu Hatim, Abu Dawud dan Ibnu Hibban menilainya tsiqah. Oleh karena itu, setidak-tidaknya nilai haditsnya adalah hasan. Bahkan Al-Hafidzh menialinya La ba’sa bihi (Lafazh ta’dil tingkat ke empat). Perawi yang dinilai dengan lafazh pada tingkat ini haditsnya bisa dipakai, tetapi harus dilihat kesesuainya dengan perawi-perawi lain yang dhabit (kuat ingatannya), sebab lafazh itu tidak menunjukkan ke-dhabit-an seorang perawi. (penerjemah).

Hadits yang senada (Asy-Syahid) disebutkan di dalam musnad karya Ath-Thayalis (Nomor : 438) : “Saya diberi riwayat oleh Dawud Al-Wasithi -ia adalah orang yang tsiqah-, ia menceritakan : “Saya mendengar hadits itu dari Hubaib bin Salim. Tetapi dalam matan hadits tersebut ada yang tercecer matannya. Tapi kemudian ditutup (dilengkapi) dengan hadits dari Musnad Ahmad.

Al-Haitsami di dalam kitabnya Al-Majma’ (V/189) menjelaskan : “Hadits tersebut diriwayatkan oleh Imam Ahmad, sedangkan Al-Bazzar juga meriwayatkan, namun lebih sempurna lagi. Imam Ath-Thabrani juga meriwayatkan sebagian dalam kitabnya Al-Ausath dan perawi-perawinya adalah tsiqah”.

Dengan demikian menurut saya, kecil sekali kemungkinannya hadits tersebut diriwayatkan oleh Umar bin Abdul Aziz, sebab masa pemerintahannya adalah setelah masa Khulafaur Rasyidin, yang jaraknya setelah dua masa pemerintahan dua orang raja. [2].

Selanjutnya hadits yang berisi tentang berita gembira dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam mengenai kembalinya kekuasaan kepada kaum Muslimin dan tersebarnya pemeluk Islam di seluruh penjuru dunia hingga dapat membantu tercapainya tujuan Islam dan menciptakan masa depan yang prospektif dan membanggakan hingga meliputi bidang ekonomi dan pertahanan. Hadits yang dimaksud adalah sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam.

“Artinya : Hari kiamat tidak akan terjadi sebelum tanah Arab menjadi tanah lapang yang banyak menghasilkan komoditas penting dan memiliki pengairan yang memadai”.

Hadits tersebut diriwayatkan oleh Imam Muslim (3/84), Imam Ahmad (2/703, 417), dan Imam Hakim (4/477), dari hadits Abu Hurairah.

Berita-berita gembira itu mulai terealisasi di beberapa kawasan Arab yang telah diberi karunia oleh Allah berupa alat-alat untuk menggali sumber air di dalam gurun pasir. Di sana bisa kita lihat adanya inisiatif untuk mengalirkan air dari sungai Eufrat ke Jazirah Arab. Saya membaca berita ini dari beberapa surat kabar lokal. Hal itu mungkin akan menjadi kenyataan. Dan selang beberapa waktu kelak, akan benar-benar terwujud dan bisa kita buktikan.

Selanjutnya yang perlu diketahui dalam hubungannya dengan masalah ini adalah sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam.

“Artinya : Tidak akan datang kepadamu suatu masa, kecuali masa sesudahnya akan lebih buruk, sampai kalian bertemu dengan Tuhanmu, (yakni datangnya kiamat)”.

Hadits ini diriwayatkan oleh Imam Bukhari dalam Al-Fitan, dari hadits Anas, secara marfu’.

Hadits ini selayaknya dipahami dengan membandingkan hadits-hadits lain yang terdahulu dan hadits lain (yang ada hubungannya). Seperti halnya hadits-hadits tentang Al-Mahdi dan turunnya Nabi Isa ‘Alaihis sallam. Hadits-hadits itu menunjukkan bahwa hadits ini tidak mempunyai arti secara umum, tetapi mempunyai arti khusus (sempit). Oleh karena itu, kita tidak boleh memahaminya secara umum (apa adanya), sehingga menimbulkan keputusasaan yang merupakan sifat yang harus dibuang jauh dari orang mukmin. Sebagaimana firman Allah Subhanahu wa Ta’ala.

“Artinya : Hai anak-anakku, pergilah kamu, maka carilah berita tentang Yusuf dan saudaranya, dan jangan kamu berputus asa dari rahmat Allah. Sesungguhnya tiada yang berputus asa dari rahmat Allah, melainkan kaum yang kafir”. [Yusuf : 87].

Saya senantiasa memohon ke haribaan Allah Subhanahu wa Ta’ala, semoga Dia berkenan menjadikan kita sebagai orang-orang yang benar-benar mukmin.

[Disalin dari buku Silsilah Al-Ahadits Ash-Shahihah wa Syaiun Min Fiqhiha wa Fawaaidiha, edisi Indonesia Silsilah Hadits Shahih dan Sekelumit Kandungan Hukumnya, oleh Syaikh Muhammad Nashiruddin Al-Albani, hal 17-24, terbitan CV Pustaka Mantiq, penerjemah Drs.H.M.Qodirun Nur]
_________
Foote Note
[1] Perkataan Abdullah ini juga diriwayatkan oleh Abu Zur’ah di dalam bukunya Tarikhu Damsyiq (Sejarah Damaskus I/96). Di situ juga ditunjukkan bahwa hadits tersebut juga ditulis pada masa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam
[2] Sedangkan hadits yang diriwayatkan oleh Ath-Thabrani di dalam kitabnya Al-Ausath yang bersumber dari Mua’adz bin Jabal secara marfu’ adalah dha’if. Bunyinya adalah “Tiga puluh kenabian dan satu orang raja, dan tiga puluh raja dan satu Jaburut (raja bertangan besi) sedangkan setelah itu tidak ada kebaikan sama sekali”.

Sumber : http://almanhaj.or.id/index.php?action=mo re&article_id=877&bagian=0

 

Oleh

Syaikh Muhammad Nashiruddin Al-Albani
Bagian Pertama dari Tiga Tulisan [1/3]

Pertanyaan.
Syaikh Muhammad Nashiruddin Al-Albani ditanya : “Fadhilatus Syaikh al-Albani. Anda mengetahui bahwa para pemuda Islam dewasa ini, di banyak tempat sedang sibuk meniti jalan kembali menuju terwujudnya keadaan yang Islami. Padahal di sana banyak rintangan yang menghadang jalan kembali yang haq atau langkah-langkah yang benar; yang diciptakan oleh pemerintahan-pemerintahan (sistem-sistem) yang dhalim; atau akibat dari kesalahan-kesalahan para pemuda Islam sendiri, seperti berlebih-lebihan di dalam beragama atau meremehkannya. Maka menurut pendapat Syaikh, apa langkah-langkah yang benar yang anda nasihatkan kepada Kaum Muslimin, untuk melaksanakan dalam mencapai terwujudnya apa yang mereka kehendaki?.”

Jawaban.
Dengan taufiq Allah, aku katakana : Bahwa sesungguhnya keadaaan kaum Muslimin dewasa ini sedang dikelilingi oleh negara-negara kafir yang kuat materinya. Mereka (kaum Muslimin) diuji dengan (berkuasanya) pemerintah-pemerintah yang kebanyakan tidak berhukum kepada apa yang Allah turunkan hanya pada sebagian sisi tertentu, tanpa sebagian yang lainnya. Yang tidak membantu kaum Muslimin untuk melakukan tindakan secara kelompok ataupun secara politik, seandainya mereka mampu melaksanakannya.

Maka sesungguhnya aku melihat bahwa pekerjaan yang semestinya dilaksanakan oleh jamaah-jamaah Islamiyah, hendaklap dipusatkan (terbatas) pada dua point yang mendesak. Aku tidak percaya bahwa di sana (selain dua point tadi) ada metode untuk selamat dari kelemahan, kerendahan dan kehinaan yang dialami kaum Muslimin.

Aku katakan hal ini khususnya kepada kaum Muslimin yang teguh, dengan dipelopori para pemudanya yang sadar dan memahami; (pertama) kasus tragis yang menimpa kaum Muslimin, dan (kedua) sangat menaruh perhatian untuk melakukan upaya sungguh-sungguh dalam mencari alternatif pemecahan dari kasus tragis tersebut dengan segenap kekuatan yang ada.

Sedangkan terhadap jutaan kaum Muslimin yang Islamnya hanya karena kenyataan geografis atau hanya Islam ktp, maka mereka ini bukanlah yang aku maksudkan dengan pembicaraanku.

Aku ulangi, sesungguhnya penyelesaian yang harus ditangani para pemuda tadi, terangkum hanya dalam dua perkara, tidak ada lainnya, yaitu: Tashfiyah (pemurniaan kembali ajaran-ajaran Islam) dan Tarbiyah (pembinaan).

Yang aku maksudkan dengan Tasfiyah adalah mempersembahkan Islam kepada generasi muda Muslim secara murni, bersih dari segenap kotoran keyakinan (menyimpang), khurafat, bid’ah dan kesesatan yang menyusup masuk ke dalamnya (Islam) di sepanjang abad-abad ini. Di antaranya adalah hadits-hadits yang tidak shahih, bahkan terkadang maudhu’ (palsu).

Tash-fiyah ini haruslah direalisasikan, karena tanpa tash-fiyah tidak akan ada jalan lain selama-lamanya untuk mewujudkan cita-cita kaum Muslimin dimaksud. Padahal mereka, kita yakini merupakan umat pilihan di dunia yang luas ini.

Jadi yang dimaksud tashfiyah ini sesungguhnya adalah mempersembahkan obat (solusi). Obat atau solusi itu adalah Islam yang telah memecahkan musykilah (kesulitan) serpa ini di saat bangsa Arab, di satu sisi, dalam keadaan hina dan diperbudak oleh bangsa-bangsa yang kuat di sekitar mereka yaitu Persia, Romawi dan Habasyah, sedangkan di sisi lain mereka beribadah kepada selain Allah Ta’ala.

Islam inilah satu-satunya obat (solusi) untuk menyelamatkan bangsa Arab dahulu dari keadaan yang buruk itu. Dan ternyata (kini) sejarah berulang sebagaimana dikatakan orang. Sementara itu sebuah obat, apabila ia sama dengan obat yang dulu, maka pastilah ia akan menyembuhkan -jika digunakan oleh orang yang sakit- terhadap penyakit yang sama dengan penyakit yang dulu.

Islam adalah satu-satunya obat, dan ini tidak diperselisihkan oleh jama’ah-jama’ah Islam di bidang perbaikan; usaha mengembalikan Islam, memulai kehidupan Islam dan menegakkan daulah Islamiyah.

Jama’ah-jama’ah ini telah terlibah perselisihan keras mengenai apa titik awal yang seharusnya dilakukan untuk ishlah (memperbaiki ummat -pent). Dalam hal ini, kita berbeda dengan seluruh jama’ah Islam yang ada.

Aku berpendapat bahwa (perbaikan itu) harus dimulai dengan Tashfiyah dan Tarbiyyah secara serempak.

Adapun seandainya memulai dengan perkara-perkara politik, maka (kita melihat) orang-orang yang sibuk dengan politik terkadang aqidahnya rusak dan terkadang tingkah lakunya terlalu jauh dari syari’at ditinjau dari kaca mata Islam.

(Kita melihat) orang-orang yang sibuk membuat himpunan dan perkumpulan-perkumpulan dengan embel-embel nama “Islam”, pada umumnya massa himpunan tersebut tidak mempunyai pemahaman yang jelas (tentang kebenaran -red).

Karenanya Islam ini tidak terpengaruh apa-apa dalam sikap hidup mereka. Itulah mengapa anda jumpai kebanyakan mereka tidak menerapkan Islam pada dirinya, padahal itu termasuk perkara yang memungkinkan bagi mereka untuk mengamalkannya dengan mudah, karena tidak seorang diktator pun yang bakal sewenang-wenang menghalanginya.

Di saat yang sama mereka ini mengembar-gemborkan semboyannya bahwa : “tidak ada hukum (yang boleh diikuti) kecuali hukum Allah…”, “harus berhukum berdasarkan hukum yang diturunkan Allah…”.

Kalimat di atas memang merupakan ungkapan yang benar, akan tetapi orang yang tidak mempunyai apa-apa (tidak mempunyai kemauan untuk menerapkan ajaran Islam pada dirinya), tentu tidak akan bisa memberikan apa-apa (tidak akan bisa menerapkan ajaran Islam pada ummat).

Maka apabila kebanyakn kaum Muslimin dewasa ini tidak menegakkan hukum Allah pada diri mereka seangkan mereka menuntut orang lain untuk menegakkan hukum Allah pada negara/pemerintahan mereka, tentu mereka tidak akan mampu mewujudkannya, karena orang (yang menuntut) yang tidak mempunyai apap-apa, tentu tidak akan bisa memberi apa-apa.

Para penguasa itu sebenarnya termasuk bagian ummat ini, karenanya mereka bersama rakyat berkewajiban memahami penyebab kelemahan yang mereka alami. Mereka (rakyat dan penguasa) wajib mengetahui mengapa para penguasa kaum Muslimin dewasa ini tidak berhukum dengan Islam kecuali dalam beberapa segi. Mengapa pula para da’i Islam itu tidak menerapkan Islam pada dirinya sebelum mereka menuntut orang lain untuk menerapkannya pada negeri mereka.

Jawabannya hanya satu, yaitu kemungkinan mereka hanya mengetahui dan memahami Islam secara garis besar saja, atau kemungkinan dasar pijak mereka, hidup mereka, akhlaq mereka, dan tata pergaulan mereka terhadap sesama atau terhadap selain mereka tidak terbina melalui ajaran Islam ini….

Namun secara umum, seperti kita ketahui melalui pengalaman, adalah karena mereka hidup di dalam penyakit utama yang besar, yaitu jauhnya mereka dari pemahaman yang shahih tentang Islam. Bagaimana tidak, sedangkan di kalangan para da’inya saja sekarang ada yang menganggap bahwa para salafiyyun telah menyia-nyiakan umur mereka hanya dalam masalah tauhid. Subhanallah, betapa jauhnya orang yang mengucapkan kata-kata semacam ini, tenggelam ke dalam kebodohan, karena dia pura-pura lalai kalau tidak benar-benar lalai bahwa dakwah seluruh Nabi dan Rasul yang mulia adalah:

“Hendaklah kalian beribadah kepda Allah (saja) dan jauhilah thaghut.” [An-Nahl: 36]

Bahkan sesungguhnya Nuh ‘alaihis salam telah melaksanakan dakwah selama 950 tahun, beliau tidak mengadakan ishlah (perbaikan), tidak membuat syari’at dan tidak menegakkan politik. Yang beliau lakukan hanya seruan: “Wahai kaumku beribadahlah kepada Allah saja dan jauhilah thagut!”

Adakah di sana ada ishlah? Apakah di sana ada tasyri’ (pensyari’atan)? Apakah di sana ada politik, tidak suatu pun, kecuali seruan: “Kemarilah wahai kaumku, beribadahlah kepada Allah dan jauhilah thaghut”. Itulah dia Rasul pertama (berdasarkan hadits shahih) yang telah diutus ke bumi, beliau terus-menerus berdakwah selama 950 tahun, tidak menyeru kecuali kepada tauhid, dan inilah (tauhid) kesibukan yang menyibukkan para salafiyyun. Karenanya, betapa anehnya ketika kebanyakan da’i Islam memandang rendah bahkan sampai pada tingkat mengingkari tugas dakwah para salafiyyun.

Sesungguhnya termasuk keutamaan-keutamaan Sunnah adalah bahwa ia menjelaskan musykilah-musykilah (kesulitan-kesulitan) yang terkadang menghadang umat ini. Sunnah itu terlebih dahulu menyediakan obatnya setelah sebelumnya memperingatkan mereka akan penyakitnya.

Masing-masing-masing-masing kita mengetahui sabda Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam:

” Artinya : Umat-umat akan mengelilingi kalian sebagaimana orang-orang yang makan (dengan lahap) mengelilingi piring-piringnya. Para sahabat bertanya: “Apakah karena sedikitnya kami pada saat itu, wahai Rasulullah?. Beliau menjawab: “Tidak, bahkan kalian banyak (jumlahnya) pada saat itu, akan tetapi kalian adalah seperti buih banjir, dan Allah benar-benar akan mencabut kegentaran dari hati musuh kalian, dan Dia benar-benar akan menanamkan wahn ke dalam hati kalian. Mereka bertanya: “Wahai Rasulullah, apakah wahn itu?”. Beliau menjawab: “Cinta dunia dan benci mati”. [Hadits Riwayat. Abu Dawud dari Ibnu Umar, Ahmad, Ath-Thabrani dalam al-Kabiir, Ibnu ‘Adi dan Abu Nu’aim dalam al-Hilyah dan hadits ini shahih]

Dalam hadits ini terdapat penjelasan mengenai salah satu penyakit yang akan menimpa kaum muslimin, dan akan menjadi sebab atau menujukan sunnah kauniyah syari’ah (satu ketentuan yang pasti terjadi yang diterangkan oleh syari’at -pent) dalam satu waktu, bagi berkuasanya musuh terhadap kaum Muslimin dari segala arah, sebagaimana orang-orang yang makan bersama (dengan lahap) mengelilingi (satu) piring.

Aku katakan: “Di dalam hadits ini terdapat penjelasan mengenai adanya satu penyakit di antara sekian penyakit lainnya yang akan mengakibatkan kaum Muslimin terperosok ke dalam kenyataan yang menggenaskan ini, yaitu (penyakit) cinta dunia dan benci mati. Dan ini erat kaitannya dengan apa yang telah aku katakan di muka, yakni keharusan bagi adanya Tashfiyah dan Tarbiyah”

Penggalan kedua dari kalimat (tashfiyah dan tarbiyah) ini, (yaitu kalimat Tarbiyah), artinya harus mentarbiyah (mendidik/membina) kaum Muslimin zaman sekarang dengan suatu tarbiyah yang pada intinya dapat menghindarkan mereka agar jangan sampai terfitnah dengan dunia sebagaimana yang dialami orang-orang sebelum mereka.

Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam bersabda:

“Bukanlah kefakiran yang aku takutkan atas kalian, tetapi yang aku takutkan (justeru) apabila dibukakan kesenangan kehidupan dunia buat kalian, lantas hal itu membinasakan kalian sebagaimana telah membinasakan orang-orang sebelum kalian.”

[Diterjemahkan secara bebas oleh Muslim Abu Shalihah dari kitab “Hayaatu al-Albani wa Aatsaaruhu wa Tsanaa-u al-‘Ulamaa ‘Alaihi” oleh Muhammad bin Ibrahim asy-Syaibani, Juz I/377-391 bab “Ath-Thariq Ar-Rasyid Nahwa Binaa-i al-Kiyaani Al-Islamiy”. Penerbit: Ad-Daar as-Salafiyah, cet. I, Th. 1407 H/1987 M, As-Sunnah Edisi 08/Th. III/1419-1999]

Sumber : http://almanhaj.or.id/index.php?action=mo re&article_id=231&bagian=0