Posts Tagged ‘kehidupan’

keluarga shakinah

shakinah, mawaddah dan wa rahmah

Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam adalah tauladan bagi seluruh mukminin dan mukminah di dunia, sedang para isteri-isteri beliau para ummul mukminin Radhiallahu Anhu adalah ibu bagi  seluruh mukmin.

Firman ALLAH Ta’ala :

النَّبِيُّ أَوْلَى بِالْمُؤْمِنِينَ مِنْ أَنفُسِهِمْ وَأَزْوَاجُهُ أُمَّهَاتُهُمْ

Nabi itu (hendaknya) lebih utama bagi orang-orang mukmin dari diri mereka sendiri dan isteri-isterinya adalah ibu-ibu mereka. Al-Ahzab:006.

Karenanya, segala kisah kehidupan rumah tangga Rasulullah adalah menjadi ibrah dan pengajaran bagi kita dalam menggapai rumah tangga yang berbahagia dan lagi di rahmati ALLAH Tabaraka wa Ta’ala. Biar bagaimanapun, tentu tidak ada rumah tangga yang berjalan mulus tanpa perselisihan, demikian pula dalam kehidupan rumah tangga Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam.

Sebagai  contoh,  Rasulullah  Muhammad  SAW manusia  yang  paling  dicintai  Allah  pernah  berkata   kepada  Aisyah r.a,  istri   yang   paling   dicintainya (lebih…)

https://tausyah.wordpress.com/Renungan Hidup

Renungan Hidup

Adalah Ini suatu perkara yang sebahagian kamu mengetahui, sedang arti hidup telah melampaui kamu tentang mengingat akan dia. Namun demikian, marilah benamkan wajahmu ke alam diri yang tiada berhujjah melainkan dengan sebenarnya. Inilah suatu kaji kehidupan secara terperinci untuk membuka akal dan hati kita melalui firman ALLAH Subhana wa Ta’ala yang berbunyi :

Dan segala sesuatu Kami ciptakan berpasang-pasangan supaya kamu mengingat akan kebesaran Allah.

Adz-Zaariyat : 049.

Pada hakikatnya mereka (perkara yang berpasang-pasangan) itu adalah segolongan walaupun berbeda hikmah lagi faedahnya, namun apabila mereka dipadu antara yang satu dengan yang lain niscaya sungguh..tiadalah mereka dapat dipisahkan dan jangan pula engkau pisahkan, melainkan demikianlah Fitrah lagi ketetapan ALLAH bagi makhluknya. Dan inilah beberapa perkara yang berpasang-pasangan, berbeda namun berhubungan dan tiada terpisahkan: (lebih…)

https://tausyah.wordpress.com/ikhtilat

Ikhtilat

Bercampurnya kaum laki-laki dengan kaum perempuan adalah sebagian dari hal-hal yang sangat berbahaya, dan dalam hal ini Syaikh Muhammad bin Ibrahim telah mengeluarkan suatu fatwa yang bunyinya sebagai berikut :

Pertama : bercampurnya kaum perempuan dengan muhrimnya dari kaum laki-laki ( orang-orang yang tidak boleh ia nikahkan selama-lamanya, seperti ayah, saudara seibu, atau seibu-sebapak dll. pent ) adalah hal yang tidak ada perselisihan dalam kebolehannya.

Kedua : bercampurnya kaum perempuan dengan kaum laki-laki asing ( kaum laki-laki yang boleh dia menikah dengannya. Pent. ) untuk maksud yang diharamkan syari’at adalah tidak ada perbedaan dalam keharamannya.

Ketiga : bercampurnya kaum wanita dengan kaum laki-laki di tempat-tempat menuntut ilmu, toko-toko, kantor-kantor, rumah sakit, tempat-tempat pesta dan lain sebagainya, maka orang-orang beranggapan pertama kali bahwa hal yang sedemikian itu tidak akan menimbulkan fitnah dari dua jenis manusia itu, oleh karena itu untuk menjelaskan hakekat permasalahan ini, mari kita bahas secara global dan terperinci :  (lebih…)

https://tausyah.wordpress.com/Pakaian-Nabi-Muhammad

Pakaian Nabi Muhammad

Pertempuran  demi pertempuranpun terjadi,   perang  demi    perang terjadi  antara   Rasulullah  beserta pengikut-pengikut  beliau dengan musuh- musuh  mereka   yang   terdiri   dari berbagai-bagai    golongan   Musyrikin Quraisy,  golongan  Yahudi  dan golongan Munafikin.   Dalam   pada   itu   penyebaran Agama  Islam  diteruskan dengan giatnya. Setiap    orang    Islam  lelaki   atau perempuan,   anak-anak   sekalipun diwajibkan    menyebarkan    ajaran   yang dibawa    Rasulullah    ini    di    mana   saja mereka  berada,   di  pasar,   di   medan perang  dan lain-lain.

Akhirnya   Semenanjung   Arab   yang   luas itu  seluruhnya  dapat  dikuasai    oleh Rasulullah,  sehingga  penyebaran agama semakin meluas, dan sebelum  Rasulullah meninggal    dunia   dalam   umur   enam puluh tiga  tahun,  hampir  seluruh  bangsa Arab   sudah   memeluk   Agama  Islam, selain beberapa orang dan  golongan  saja yang   tetap   beragama    Yahudi   atau Nasrani.   Lebih-lebih   lagi  sesudah  kota Makkah    dapat   direbut    kembali    pada tahun   6  H.,  musuh-musuh  besar Rasulullah    berubah   menjadi    sahabat- sahabat   kental    dan pejuang-pejuang Islam yang terkenal sampai hari  ini. (lebih…)

https://tausyah.wordpress.com/Bismillah

Bissmillah

sambungan dari kisah Masa Kecil Nabi Muhammad sebelumnya..

Pada suatu  kali, Muhammad  kecil turut  berdagang  bersama  pamannya,   Abu  Talib,  ke Syam. Muhammad  mulai  mengenal  pasar- pasar, berjalan  bahumembahu  dengan  pedagang-pedagang lainnya. Di suatu  dataran  tinggi di Syam, tinggallah  seorang   pendita  bernama Buhaira. Ia memperhatikan   setiap orang yang  lalu dan pergi  ke  daerahnya  itu.  Ia seorang yang amat  tekun beribadat menyembah  ALLAH sebagai pengikut nabi Isa Al – Masih yang  masih lurus ajarannya,  serta membaca  kitab- kitab lama.   Di  antaranya  ia   membaca Injil  Barnaba,   dimana   tertulis   bahawa  Nabi Isa  al-Masih  pernah   berkata, bahawa akan  datang  seorang Rasul   sesudahku  bernama  Ahmad,  dan apabila  Rasul  yang bernama Ahmad ini berjalan akan dilindungi oleh awan.

Pada suatu hari  Pendita  Buhaira  melihat serombongan kafilah  Arab datang  menuju   Syam   yang  selalu   diikuti   oleh awan  di  atasnya. Kafilah  ini didatanginya,  dipersilakannya  mampir  di rumah   kediamannya.   Kafilah  ini  adalah kafilah   yang   dipimpin  oleh   Abu  Talib, dimana  Muhammad    turut serta  di dalamnya. Pendita   Buhaira   memperhatikan   gerak- gerik   anak  yang  bernama   Muhammad  itu, akhirnya  ia  yakin  bahawa anak itulah yang akan diutus  Allah menjadi  Nabi dan Rasul  sesudah Isa al-Masih  a.s.  memberi nasihat  kepada Abu  Talib  agar  anak  ini dijaga   baik   baik,  jangan  terlengah  dari penjagaan,  sebab ia  kelak  akan menjadi seorang maha penting. Dengan  nasihat  dan  keyakinan   Pendita Buhaira   ini, Abu  Talib    semakin  cinta terhadap  anak  saudaranya   yang bernama   Muhammad  ini.   Bukan    saja cinta,  melainkan ditambah    dengan  perasaan harap  dan hormat. (lebih…)

https://tausyah.wordpress.com/Islam

Islam

Dari Abu Said al-Khudri r.a. dari Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam  sabdanya:

“Dajjal keluar lalu ada seseorang dari golongan kaum mu’minin, ia ditemui oleh beberapa orang penyelidik (mata-mata) yakni para penyelidik dari Dajjal. Mereka berkata kepada orang itu:

“Ke manakah engkau hendak bersengaja pergi?”

la menjawab: “Saya sengaja akan pergi ke tempat orang yang keluar – yakni yang baru muncul dan yang dimaksudkan ialah Dajjal.”

Mereka berkata: “Adakah engkau tidak beriman dengan Tuhan kita.”

la menjawab: “Tuhan kita tidak samar-samar lagi sifat-sifat keagungannya – sedangkan Dajjal itu tampaknya saja menunjukkan kedustaannya.”

Orang-orang itu sama berkata: “Bunuhlah ia.”

Sebahagian orang berkata kepada yang lainnya: “Bukankah engkau semua telah dilarang oleh Tuhanmu kalau membunuh seseorang tanpa memperoleh persetujuannya.”

Mereka pun pergilah dengan membawa orang itu ke Dajjal.

Setelah Dajjal dilihat oleh orang mu’min itu, lalu orang mu’min tadi berkata: (lebih…)

Name of Allah Almighty on stoneBibel artinya kumpulan kitab-kitab. Kata Bibel berasal dari bahasa Yunani ?Biblia? (jamak, buku-buku). Istilah Bible di Indonesia diganti dengan Alkitab yang diartikan ?tulisan-tulisan?. Bibel yang diakui namanya ?kanonik?, sedang yang tidak diakui atau tidak boleh dibaca oleh orang Kristen disebut ?apokripa?. Ada Bibel yang tidak diakui oleh Protestan tetapi diakui oleh Katolik namanya ?deuterokanonika?.

Kata orang Kristen, Bibel adalah wahyu Allah kepada manusia yang terdiri dari 66 buku yang disatukan dan membentuk satu buku. 22 buku dari Bibel itu adalah sebagaian besar berisi sejarah, 21 buku sebagian besar nubuatan, 21 dalam bentuk surat, dan 2 kebanyakan mengenai syair.

Bibel paling sedikit ditulis 30 orang pengarang yakni para raja, petani, ahli hukum, jendral, nelayan, pendeta, para imam, pemingut cukai, dokter, beberapa orang kaya dan beberapa orang miskin, dalam kurun waktu lebih dari 1600 tahun. ( Penuntun Dasar Untuk Pemahaman Alkitab, oleh Harold E. Metcalf, Evangelis, Pendeta, Pengarang. Atlanta, Georgia, hal 7) Istilah Bibel untuk dinegara-negara yang penduduknya Islam sering diganti dengan kata ?Alkitab?. Mereka mengadopsi istilah ini mengambil dari Qs 2:159, 174.

Apa perjanjian Lama ? Perjanjian Lama adalah bagian dari Bibel yang terdiri dari buku-buku Taurat, sejarah bangsa Israel pertama, sejarah bangsa Israel kedua, sastra, kisah nabi-nabi Israel. Perjanjian Lama yang pertama berbahasa Ibrani. Apa perjanjian Baru ? Perjanjian Baru adalah bagian dari Bibel yang sebagian besar ditulis dalam bahasa Yunani, kecuali Injil Matius dalam bahasa Ibrani, yang terdiri dari Injil, Kisah rasul, surat-surat Paulus, surat-surat murid Yesus dan wahyu.

Perjanjian Baru ( New Testament ) sering disebut Injil. Tetapi kata Injil ini sebetulnya tidak terdapat dalam Bibel awal, kata Injil mengambil dari kata Injil dalam Al-Qur?an.

Dalam bahasa aslinya Yunani, EVAYYEYLOV, dalam bahasa Inggris, GOOD NEWS, GOSPELS. Penulisan Perjanjian Baru yang ada sekarang ini dilakukan tiga ratus tahun kemudian sepeninggal Yesus, yaitu pada waktu orang-orang Kristen dibawah kekuasaan Kaisar Romawi Konstantin. Konstantin mengambil keuntungan dari pengaruh dan arti penting Kristus yang besar.

Dan dalam melakukan itu, dia telah membentuk wajah Kristus seperti yang kita kenal sekarang. Karena Konstantin meningkatkan status Yesus hampir empat abad setelah kematian Yesus, ribuan dokumen yang mencacat kehidupannya sebagai manusia biasa sudah terlanjur ada. Untuk menulis ulang buku-buku sejarah, Konstantin tahu bahwa ia perlu mengambil sebuah langkah berani. Dari sinilah timbul sebuah momen paling menentukan dalam sejarah Kristen.

Konstantin menitahkan dan membiayai penyusunan sebuah Bibel baru, yang meniadakan semua kitab Injil yang berbicara tentang segala perilaku “manusiawi Yesus”, serta memasukkan kitab-kitab Injil yang membuatnya seakan ” Tuhan “. Kitab-kitab Injil terdahulu dianggap ” melanggar hukum “, lalu dikumpulkan dan ” dibakar “.

Siapapun yang memilih kitab-kitab Injil yang terlarang ( apokripa ) dan bukannya versi Konstantin akan dianggap sebagai kaum ” bidah ” , heretic. Dalam buku Introduksi Perjanjian Baru, oleh Pdt. Ola Tulluan Ph.D. YPPII Malang, hal 21 mengatakan : Dari semua penulis kitab Injil tidak ada yang mencatat namanya sendiri dalam judul kitab-kitabnya. Judul itu ditambahkan kemudian.

Bagaimana bagian-bagian dari Bibel ?
PERJANJIAN LAMA I. TAURAT Kejadian (Genesis), Keluaran (Exodus), Imamat (Leviticus), Bilangan (Numbers), Ulangan (Deuteronomy) II. KITAB-KITAB SEJARAH Sejarah pertama Yosua (Joshua), Hakim-hakim (Judges), Rut (Ruth), 1Samuel (1Samuel), 2Samuel (2Samuel), 1Raja-raja (1Kings), 2Raja-raja (2Kings) Sejarah kedua 1Tawarikh (1Chronicles), 2Tawarikh (2Chronicles), Ezra (Ezra), Nehemia (Nehemiah), Ester (Esther) III. SASTRA Ayub (Job), Mazmur (Pasalms), Amzal (Provebs), Pengkhotbah (Ecclesiastes), Kidung Agung (Song of Song) IV. KITAB-KITAB NUBUAT Nubuat nabi-nabi besar Yesaya (Isaiah), Yeremia (Jeremiah), Ratapan (Lementations), Yehezkiel (Ezekiel), Daniel (Daniel) Nubuat nabi-nabi kecil Hosea (Hosea), Yoel (Joel), Amos (Amos), Obaja (Obadiah), Yunus (Jonah), Mikha(Micah), Nahum (Nahum), Habakuk (Habakuk), Zefanya (Zephaniah), Hagai (Haggai), Zakharia (Zechariah), Maleakhi (Malachi) DEUTEROKANONIKA (Khusus Bibel Katolik Tobit, Yud, Yudit, Tambahan kitab Ester, Kebijaksanaan Salomo, Yesus bin Sirakh, Barukh, Tambahan Kitab Daniel, 1Makabe, 2Makabe PERJANJIAN BARU INJIL Matius (Mattew), Markus (Mark), Lukas (Luke), Yohanes (John) KISAH RASUL Kisah rasul (Acts) SURAT-SURAT PAULUS Surat-surat Paulus kepada jemaat dikota-kota Roma (Romas), 1Korintus (1Chorinthians), 2Korintus (2Chorinthians), Galatia (Gaalatians), Efesus (Ephisians), Filipi (Philippians), Kolose (Colossians), 1Tesalonika (1Thessalonians), 2Tesalonika (2Thessalonians) Surat-surat Paulus kepada pribadi 1Timotius (1Timothy), 2Timotius (2Timothy), Titus (Titus), Filemon (Philemon), Ibrani (Hebrews) SURAT MURID-MURID YESUS Yakobus (James), 1Petrus (1Peter), 2Petrus (2Peter), 1Yohanes (1John), 2Yohanes (2John), 3Yohanes (3John), Yudas (Jude) WAHYU Wahyu (Revelation)

Mengapa Bibel diganti nama Alkitab ?

Di negara-negara Barat (Kristen ) istilah Alkitab tidak dikenal, mereka hanya mengenal istilah Bible. Bibel sebagai alkitab hanya terdapat dinegara-negara yang mayoritas penduduknya beragama Islam. Perubahan istilah ini ada tujuannya yaitu untuk menyamakan kedudukan Bibel dengan Al-Qur’an yang juga sering disebut Alkitab.

Orang-orang Kristen yang telah belajar Islamologi dalam mendangkalkan aqidah umat Islam dengan rujukan ayat Al-qur?an yang berkaitan dengan istilah Alkitab untuk menakut-nakuti. Contohnya seperti dibawah ini.

Qs 2/159.Sesungguhnya orang-orang yang menyembunyikan apa yang telah Kami turunkan berupa keterangan-keterangan (yang jelas) dan petunjuk, setelah Kami menerangkannya kepada manusia dalam Al Kitab, mereka itu dilaknati Allah dan dilaknati (pula) oleh semua (makhluk) yang dapat melaknati.

Qs 2/174.Sesungguhnya orang-orang yang menyembunyikan apa yang telah diturunkan Allah, yaitu Al Kitab dan menjualnya dengan harga yang sedikit (murah), mereka itu sebenarnya tidak memakan (tidak menelan) ke dalam perutnya melainkan api, dan Allah tidak akan berbicara kepada mereka pada hari kiamat dan tidak akan menyucikan mereka dan bagi mereka siksa yang amat pedih.

Apa kata al-Qur?an tentang Bibel ?

Bibel sudah dikarang manusia Qs 2/79. Maka kecelakaan yang besarlah bagi orang-orang yang menulis Al Kitab dengan tangan mereka sendiri, lalu dikatakannya: ?Ini dari Allah?, (dengan maksud) untuk memperoleh keuntungan yang sedikit dengan perbuatan itu. Maka kecelakaan besarlah bagi mereka, akibat dari apa yang ditulis oleh tangan mereka sendiri, dan kecelakaan besarlah bagi mereka, akibat dari apa yang mereka kerjakan. (Qs 4:46 ; 6:91) Bibel sudah dirubah-rubah firmannya Qs 2/75.Apakah kamu masih mengharapkan mereka akan percaya kepadamu, padahal segolongan dari mereka mendengar firman Allah, lalu mereka mengubah-nya setelah mereka memahaminya, sedang mereka mengetahui? (Qs 5:13, 14, 41; 5:41; 9:9; Yer 8:8; Yer 35 12-19; Kej 22:2; Ul 28:15-68 ; Kel 20:11 >< Ul 5:5)

Peringatan Al-Quran cukuplah jelas bahwa Injil maupun Taurat yang terdapat dalam Bibel sekarang bukanlah Kitab Suci yang murni firman dari Allah SWT, tapi sudah banyak perubahan, tambahan dan penghilangan ayat-ayat didalamnya. Insha Allah pada edisi berikutnya kita akan membahas tentang : – Apa buktinya bahwa Bibel sudah dikarang manusia ? – Apa buktinya kalau firman Allah diubah ? – Adakah dalam Bibel ayat-ayat dengan kata-kata buruk (porno)? – Adakah dalam Bibel ayat-ayat yang bertentangan ? – Adakah ayat dalam Bibel bertentangan dengan ilmu pengetahuan ?


https://tausyah.wordpress.com/

Islam SejatiSikap hidup Imam Ali

Sikap dan cara hidup Imam Ali r.a. benar-benar telah ma­nunggal dengan kezuhudan dan ketinggian tingkat taqwanya kepa­da Allah s.w.t. Pernah terjadi, ada seorang telah melakukan suatu kesalahan. Untuk menutupi kesalahannya, ia menyanjung-nyan­jung Imam Ali r.a. Sebagai orang yang sudah tahu duduk persoal­annya, Imam Ali r.a. menjawab: “Aku ini sebenarnya tidak setinggi seperti yang kaukatakan itu, tetapi aku ini sebenarnya memang lebih tinggi daripada apa yang ada pada dirimu.”

Perkataan itu diucapkannya dengan wajar, di samping me­nunjukkan bahwa ia tidak mabok sanjung-puji, sekaligus pula mengeritik orang yang bersangkutan, bahwa perbuatan buruk berakibat memerosotkan martabat.

Lain contoh lagi tentang kesederhanaan sikapnya. Dalam satu peperangan, lawan-lawan yang dihadapinya semua berseragam tem­pur, lengkap dengan baju dan topi besi. Tidak dimilikinya seragam tempur seperti itu, tidak membuat Imam Ali r.a. malu dan gentar. Ia terjun ke kancah pertempuran tanpa mengenakan baju besi atau topi pelindung. Sikap Imam Ali r.a. yang seperti itu mencer­minkan kewajaran dan kesederhanaannya, walau dalam keadaan menghadapi bahaya menantang. Prinsip kesederhanaan yang tidak dibuat-buat itulah yang melahirkan sikap polos, jujur dan terus terang, baik dalam ucapan maupun perbuatan, dalam keadaan sulit atau pun tidak.

Kepolosan dan kewajaran dalam menghadapi lawan seperti di atas tadi, sering disalah-artikan atau disalah-gunakan orang untuk mengecap Imam Ali r.a. sebagai orang yang sombong dan sok. Be­narlah apa yang pernah dikatakan salah seorang sahabatnya: “Ali bin Abi Thalib r.a. adalah orang yang mengenal perang hanya de­ngan modal keberanian. Ia tidak kenal bagaimana dalam pepe­rangan orang harus mendaya-gunakan tipu-muslihat.

Benarnya ucapan itu tampak jelas pada kata-kata Imam Ali r.a. sendiri, yang dengan gamblang menegaskan: “Bukti keberani­an ialah engkau harus mengutamakan kejujuran dan bukannya ke­bohongan, walau kejujuran itu akan mengakibatkan kerugian, dan kebohongan akan mengakibatkan keberuntungan. Dalam berbi­cara dengan orang lain hendaknya engkau tetap selalu taqwa dan patuh kepada Allah s.w.t.”

Dibanding dengan Khalifah-khalifah sebelumnya, memang tak ada seorang pun yang sedemikian zuhudnya dalam meng­hindari nikmatnya kekuasaan dan kekayaan atau kesenangan-­kesenangan duniawi lainnya. Ia makan roti yang terigunya ber­asal dari cucuran keringat isterinya sendiri, Sitti Fatimah r.a.

Tiap kali isterinya selesai menumbuk gandum, ia sendirilah yang turun tangan menggaruki ujung antan (alu) dengan jari je­marinya guna mengumpulkan sisa-sisa tepung yang melekat. Sam­bil mengerjakan hal itu Imam Ali r.a. berkata kepada isterinya: “Aku tak ingin perutku ini dimasuki sesuatu yang aku tak tahu dari mana asalnya…”

Bagaimana lugu dan cara hidupnya yang berada di bawah tingkat sederhana itu diungkapkan oleh Uqbah bin Alqamah, yang mengisahkan pengalaman sendiri, sebagai berikut: “Pada satu hari aku berkunjung ke rumah Ali bin Abi Thalib r.a. Kulihat ia sedang memegang sebuah mangkuk berisi susu yang sudah berbau asam. Bau sengak susu itu sangat menusuk hidungku. Kutanyakan ke­padanya: “Ya Amiral Mukminin, mengapa anda sampai makan seperti itu?”

“Hai Abal Janub,” jawabnya, “Rasul Allah s.a.w. dulu mi­num susu yang jauh lebih basi dibanding dengan susu ini. Beliau juga mengenakan pakaian yang jauh lebih kasar daripada bajuku ini (sambil menunjuk kepada baju yang sedang dipakainya). Kalau aku sampai tidak dapat melakukan apa yang sudah dilakukan oleh beliau, aku khawatir tak akan dapat berjumpa dengan beliau di hari kiyamat nanti.”

Imam Ali r.a. sebagai seorang shaleh, zuhud, tahan menderita dan sanggup membebaskan diri dari kesenangan duniawi, belum pernah makan sampai merasa kenyang. Makanannya bermutu sa­ngat rendah dan pakaiannya pun hampir tak ada harganya. Abdul­lah bin Rafi’ menceritakan penyaksiannya sendiri sebagai berikut: “Pada suatu hari raya aku datang ke rumah Imam Ali r.a. Ia se­dang memegang sebuah kantong tertutup rapat berisi roti yang sudah kering dari remuk. Kulihat roti itu dimakannya. Aku ber­tanya keheran-heranan: “Ya Amiral Mukminin, bagaimana roti seperti itu sampai anda simpan rapat-rapat?”

“Aku khawatir,” sahut Imam Ali r.a., “kalau sampai dua orang anakku itu mengolesinya dengan samin atau minyak makan.”

Tidak jarang pula Imam Ali r.a. memakai baju robek yang ditambalnya sendiri. Kadang-kadang ia memakai baju katun ber­warna putih, tebal dan kasar. Jika ada bagian baju yang ukuran panjangnya lebih dari semestinya, ia potong sendiri dengan pisau dan tidak perlu dijahit lagi.

Bila makan bersama orang lain, ia tetap menahan tangan, sampai daging yang ada di hadapannya habis dimakan orang. Bila makan seorang diri dengan lauk, maka lauknya tidak lain hanyalah cuka dan garam. Selebihnya dari itu ia hanya makan seje­nis tumbuh-tumbuhan. Makan yang lebih baik dari itu ialah de­ngan sedikit susu unta. Ia tidak makan daging kecuali sedikit saja. Kepada orang lain ia sering berkata: “Janganlah perut kalian dijadikan kuburan hewan!”

Sungguh pun tingkat penghidupannya serendah itu, Imam Ali r.a. mempunyai kekuatan jasmani yang luar biasa. Lapar seolah-olah tidak mengurangi kekuatan tenaganya. Ia benar-be­nar bercerai dengan kenikmatan duniawi. Padahal jika ia mau, kekayaan bisa mengalir kepadanya dari berbagai pelosok wilayah Islam, kecuali Syam. Semuanya itu dihindarinya dan sama seka­li tidak menggiurkan seleranya.

Ibadah

Imam Ali r.a. merupakan orang yang paling tekun dan ba­nyak beribadah. Ia pun paling sering berpuasa. Kepadanya banyak orang yang minta petunjuk tentang cara-cara yang terbaik dalam menunaikan sembahyang malam, berwirid, berzikir dan beribadah lainnya. Bila sedang menghadap ke hadhirat Allah ‘Azaa wa Jalla, Imam Ali r.a. sedemikian khusyu’ dan khidmatnya, tak ada sesuatu yang dapat menggoyahkan kebulatan fikiran dan perasaannya.

Dalam situasi sedang berkobarnya pertempuran di Shiffin, habis menunaikan shalat, Imam Ali r.a. tekun berwirid, tidak ter­pengaruh oleh hiruk-pikuk orang yang sedang mengadu tenaga dan senjata. Di malam yang sangat mengerikan itu, Imam Ali r.a. ber­sembah sujud di hadapan Allah s.w.t., padahal tidak sedikit anak ­panah yang beterbangan di kanan-kirinya dan ada pula yang ber­jatuhan di depannya. Ia tidak gentar sedikit pun dan tidak.bangun meninggalkan tempat ibadah sebelum menyelesaikannya dengan tuntas. Demikian banyaknya ia bersembah sujud setiap hari, siang dan malam, sampai kulit keningnya menebal dan keras kehitam-­hitaman.

Ia selalu bermunajat kepada Allah dan mengagungkan-Nya, menyatakan ketundukan dan penyerahan hidup-matinya kepa­da Allah. Dengan patuh ia melaksanakan semua perintah dan menghindari larangan-Nya. Semuanya itu dilakukan dengan se­penuh hati, jujur dan ikhlas. Hatinya, perbuatannya dan ucap­annya sedemikian utuhnya menjadi satu perpaduan yang tak kenal garis pemisah.

Konon Ali bin Al Husein r.a. –cucu Imam Ali r.a.– pernah ditanya orang tentang “bagaimana perbandingan antara ibadah yang anda lakukan dengan ibadah yang dilakukan datuk anda?”

Ali bin Al Husein r.a. yang terkenal sebagai orang shaleh dan tekun beribadah itu menjawab: “Perbandingan antara ibadahku dengan ibadah datukku, sama seperti perbandingan antara ibadah datukku dengan ibadah Rasul Allah s.a.w.”

Tentang ibadah Imam Ali r.a. ini, ‘Urwah bin Zubair menge­mukakan sebuah riwayat yang berasal dari Abu Darda sebagai berikut:

Pada suatu hari aku menyaksikan Ali bin Abi Thalib r.a. berada di halaman rumah seorang yang penuh dengan pepohonan. Ia mengasingkan diri dari orang lain dan bersembunyi di sela-se­la batang kurma yang sangat lebat: “Aku mencari-cari dia sampai agak jauh. Kukira pasti ia sudah berada di rumahnya lagi. Tiba­tiba aku mendengar

suara ratap sedih: ‘Ya Allah, Tuhanku, beta­pa banyaknya dosa yang karena kebijaksanaan-Mu tidak Engkau balas dengan murka-Mu. Betapa pula banyaknya dosa yang karena kemurahan-Mu tidak Engkau gugat. Ya Allah, Tuhanku, bila sepanjang umur aku berbuat dosa kepada-Mu dan sangat banyak do­saku tercatat dalam shuhuf, maka aku tidak mengharap sesuatu selain pengampunan-Mu dan aku tidak mendambakan sesuatu kecuali keridhnan-Mu’…”

“Suara ratap sedih itu sangat menarik perhatianku. Jejaknya kutelusuri. Ternyata suara itu adalah suara Ali bin Abi Thalib r.a. Aku lalu bersembunyi dan menunduk agar jangan sampai diketahui olehnya. Kulihat ia sedang berruku’ beberapa kali di te­ngah kegelapan malam. Kemudian ia berdoa sambil menangis dan mengeluh sedih ke hadhirat Allah s.w.t. Di antara munajat yang diucapkannya ialah: “Ya Allah, Tuhanku, tiap kurenungkan ke­ampunan-Mu, terasa ringanlah kesalahanku. Dan tiap kuingat murka-Mu yang dahsyat, terasa sangat besarlah dosa kesalahan­ku.”

Kata Abu Darda lebih lanjut: “Ia lalu tenggelam di dalam tangis. Makin lama suaranya tidak kudengar lagi. Kufikir mungkin ia tertidur nyenyak karena terlalu banyak bergadang. Dini hari ia hendak kubangunkan untuk shalat subuh. Ia kudekati, ternyata ia tergeletak seperti sebatang kayu. Ia kugerak-gerakkan dan ku­balik-balik, tetapi sama sekali tidak berkutik. Kuduga ia wafat. Lalu aku mengucap: Innaa lillahi wa innaa ilaihi raaji’uun. Aku cepat-cepat lari ke rumahnya untuk memberi tahu keluarganya.”

Setelah mendengar keteranganku, Sitti Fatimah r.a. hanya bertanya: “Hai Abu Darda, dia kenapa dan bagaimana keadaan­nya?”

Sesudah kujelaskan keadaan Imam Ali r.a., Sitti Fatiinah r.a. memberitahu kepadaku, bahwa “…dia sedang pingsan, ka­rena sangat takut kepada Allah!”

Keluarganya lantas mendatangi Imam Ali r.a. dengan memba­wa air, kemudian mengusap-usapkan pada wajahnya. Tak lama setelah itu ia siuman dan sadarkan diri kembali. Ia memandang ke­padaku dan aku menangis. Ia bertanya: “Hai Abu Darda, mengapa engkau menangis?”

“Karena melihat sesuatu yang menimpa dirimu,” jawabku.

“Hai Abu Darda,” ujar Imam Ali r.a. lebih lanjut, “bagai­manakah kiranya kalau engkau melihat aku dipanggil untuk meng­hadapi perhitungan (hisab), melihat sendiri orang-orang yang ber­buat dosa sedang menderita siksa adzab, melihat aku dikelilingi sejumlah Malaikat yang bengis dan keras di hadapan Allah Maha Perkasa, sedang para pencintaku sudah tiada lagi dan para ahli dunia pun sudah meninggalkan diriku. Seandainya engkau melihat itu semua, engkau pasti akan lebih mengasihi diriku di hadapan Allah Yang Maha Mengetahui segala sesuatu betapa pun kecilnya.”

“Aku tidak pernah melihat hal itu terjadi pada sahabat Rasul Allah s.a.w. yang lain…,” sahut Abu Darda.

Itulah keistimewaan Imam Ali r.a. dalam menghadapkan diri kepada Allah s.w.t. dengan kekhusyu’an seluruh jiwa-raganya. Suatu hal yang sudah biasa disaksikan sendiri oleh semua Ahlul ­Bait. Mereka tidak terkejut ketika diberitahu oleh Abu Darda ten­tang keadaan Imam Ali r.a. Bahkan Sitti Fatimah r.a. mencerita­kan, bahwa apa yang disaksikan oleh Abu Darda itu sudah biasa dialami oleh Imam Ali r.a. tiap saat menghadapkan diri kepada Allah s.w.t. di tengah malam.

Mengenai banyaknya ibadah yang dilakukan Imam Ali r.a. di waktu malam, Nauf Al Bikally menceritakan penyaksiannya sebagai berikut:

“Pada satu hari aku menginap di rumah Imam Ali r.a. Sepan­jang malam ia bersembahyang. Sebentar-sebentar ia keluar, meng­arahkan pandangan ke langit, dan membaca Al-Qur’an. Di malam yang sunyi senyap itu ia bertanya kepadaku: ‘Hai Nauf, engkau tidur ataukah melek?’…”

“Aku melek dan melihatmu dengan mataku, ya Amiral Mukminin,” jawabku.

“Hai Nauf,” ujar Imam Ali r.a. meneruskan, “bahagialah orang yang hidup zuhud di dunia, orang-orang yang merindukan akhirat. Mereka itulah orang-orang yang menjadikan bumi ini sebagai hamparan, menjadikan pasirnya sebagai kasur, menjadi­kan airnya sebagai nikmat, menjadikan doa sebagai syi’ar, men­jadikan Al-Qur’an sebagai selimut, dan meninggalkan dunia ini dengan cara seperti Isa bin Maryam as.!”

Selama hidupnya Imam Ali r.a. tidak pernah putus sembah­yang malam. Tentang hal ini, Abu Ya’laa meriwayatkan, bahwa Imam Ali r.a. pernah menegaskan: “Aku tidak pernah meninggal­kan shalat malam semenjak kudengar Rasul Allah s.a.w. menga­takan, bahwa shalat malam itu adalah cahaya.”

Berdasarkan keterangan yang diterima dari ibunya, Sulaiman bin Al-Mughirah mengatakan: “Bulan Ramadhan atau pun Syawal, bagi Imam Ali r.a. adalah sama saja. Tiap malam ia bergadang un­tuk beribadah.”

Begitu agungnya kedudukkan Allah ‘Azza wa Jalla dalam jiwa Imam Ali r.a. Ia beribadah karena dorongan rasa cinta dan rin­du kepada-Nya. Ia menyadari sepenuhnya bahwa Allah sajalah yang berhak disembah. Ia bersembah sujud semata-mata hanya karena merasa keterikatan hidupnya dengan Allah. Ia hidup ber­tauladan kepada Mahagurunya, yaitu Rasul Allah s.a.w.

Suatu ibadah yang lebih besar artinya daripada hanya seke­dar berdasar keyakinan, dan lebih mulia daripada hanya sekedar dorongan iman! Dengan ucapannya yang abadi, ia pernah mene­gaskan: “Orang-orang yang beribadah kepada Allah karena pamrih, sama seperti ibadahnya kaum pedagang. Orang-orang yang ber­ibadah karna takut, sama seperti ibadahnya seorang budak. Orang yang beribadah karena syukur, itulah ibadahnya manusia mer­deka!”

Di samping Imam Ali r.a. sendiri selalu menjaga baik-baik kewajiban shalat, ia pun terus-menerus mengingatkan para peng­ikutnya supaya selalu menunaikan shalat tepat pada waktunya. Shalat itu ibarat sebuah pisau yang dapat mengupas daki dan ko­toran manusia. Hanya shalatlah yang dapat membersihkannya sama sekali. Oleh Rasul Allah s.a.w. shalat diibaratkan sebagai ma­ta air panas yang tersedia di depan pintu rumah tiap muslim. Bila tiap sehari semalam seorang muslim mandi dengan air panas itu lima kali, kotoran apakah yang tidak terbuang dari badannya?!

Sekalipun Rasul Allah s.a.w. telah menjanjikan nikmat ke­pada Imam Ali r.a., namun kewajiban shalat tetap dijaga kuat-­kuat olehnya, sesuai dengan perintah Allah s.w.t. dalam firman-Nya yang berarti: “Perintahkanlah keluargamu bersembahyang dan hendaknya bersabar dalam menunaikannya…” (S. Thaha: 132).

Tidaklah aneh kalau orang Zahid seperti Imam Ali r.a. itu pantang diperlakukan lebih daripada orang lain. Walau ia seorang anggota Ahlu Bait Rasul Allah s.a.w. dan seorang ilmuwan, namun tidak menyukai perlakuan istimewa.

Diriwayatkan, bahwa pada suatu hari ada orang mengadukan Imam Ali r.a. kepada Khalifah Umar Ibnul Khattab r.a. tentang suatu perkara. Waktu itu Imam Ali r.a. sudah siap dan duduk. Tak lama kemudian Khalifah Umar r.a. menoleh kepadanya sam­bil berkata: “Bangunlah, ya Abal Hasan, duduklah bersama lawan perkara anda!”

Imam Ali r.a. bangun, lalu duduk berhadapan dengan orang yang mengadukannya. Setelah perkaranya selesai, orang yang mengadu pergi meninggalkan tempat, Imam Ali r.a. pindah duduk di tempat semula. Ketika itu Khalifah Umar r.a. melihat wajah Imam Ali r.a. berubah, lalu bertanya: “Ya Abal Hasan, mengapa kulihat wajah anda berubah? Apakah anda tidak senang terhadap apa yang baru terjadi?”

“Ya, benar!” jawab Imam Ali r.a. “Sebab anda memanggil­ku dengan nama kehormatan di depan lawan perkara!”

Mendengar jawaban Imam Ali r.a. yang seperti itu, Khalifah Umar r.a. dengan rasa terharu merangkulnya seraya berkata: “Ya Allah, kalian itu…! Dengan kalian (Ahlul Bait) Allah mem­beri hidayat kepada kami, dan dengan kalian pula Allah menge­luarkan kami dari kegelapan ke cahaya terang…!”

Kezuhudannya, kesederhanaannya, keshalihannya serta ke­taqwaannya kepada Allah s.w.t. tidak membuat Imam Ali r.a. menjadi orang yang berwajah angker. Ia seorang yang anggun, bermuka cerah dan ramah. Bahkan tidak jarang ia bergurau untuk menyenangkan hati orang lain. Ia tidak pernah tampak angkuh, memberengut dan suram.

Sifat Imam Ali r.a. yang ramah, terbuka dan jika perlu dapat bergurau, sering dilebih-lebihkan oleh lawan-lawannya untuk men­jatuhkan nama baik dan mengurangi martabatnya. Terutama oleh Amr bin Al-Ash secara berlebih-lebihan disebar-luaskan. Lawan Imam Ali r.a. itu mengatakan kepada penduduk Syam, bahwa Ali bin Abi Thalib seorang yang “gemar bercanda”.

Disadur dari buku :

Sejarah Hidup Imam Ali bin Abi Thalib r.a.
Oleh H.M.H. Al Hamid Al Husaini
Penerbit: Lembaga Penyelidikan Islam

https://tausyah.wordpress.com