Posts Tagged ‘Imam Ali’

https://tausyah.wordpress.com/Keluarga-Shakinah

Keluarga Shakinah

Tidak seperti biasanya, hari itu Ali bin Abi Thalib pulang lebih sore menjelang asar. Fatimah binti Rasulullah menyabut kedatangan suaminya yang sehari suntuk mencari rezeki dengan sukacita. Siapa tahu Ali membawa uang lebih banyak karena kebutuhan di rumah makin besar.

Sesudah melepas lelah, Ali berkata kepada Fatimah. “Maaf sayangku, kali ini aku tidak membawa uang sepeserpun.”Fatimah menyahut sambil tersenyum, “Memang yang mengatur rezeki tidak duduk di pasar, bukan? Yang memiliki kuasa itu adalah Allah Ta’ala.”

“Terima kasih,” jawab Ali.

Matanya memberat lantaran istrinya begitu tawakal. Padahal persediaan dapur sudah ludes sama sekali. Toh Fatimah tidak menunjukan sikap kecewa atau sedih. Ali lalu berangkat ke masjid untuk menjalankan salat berjama’ah. (lebih…)

https://tausyah.wordpress.com/Makam-Fatimah

Makam Fatimah

Fatima  Az-Zahra  adalah seorang wanita yang cantik jelita dilahirkan  delapan  tahun  sebelum Hijrah di Mekkah dari Khadijah, istri Nabi yang pertama. Fatimah ialah anak yang keempat, sedang yang lainnya: Zainab, Ruqaya, dan Ummi Kalsum.

Fatima   dibesarkan   di   bawah   asuhan   ayahnya,   guru   dan dermawan yang terbesar bagi umat manusia. Tidak seperti anak- anak lainnya, Fatima mempunyai pembawaan yang tenang dan perangai  yang  agak  melankolis.  Badannya  yang  lemah,  dan kesehatannya yang buruk menyebabkan ia terpisah dari kumpulan dan permainan anak-anak. Ajaran, bimbingan, dan aspirasi ayahnya yang agung itu membawanya menjadi wanita berbudi tinggi, ramah-tamah, simpatik, dan tahu mana yang benar dan yang buruk.

Fatimah, yang sangat mirip dengan ayahnya, baik roman muka maupun dalam hal kebiasaan yang saleh, adalah seorang anak perempuan yang paling disayang ayahnya dan sangat berbakti terhadap  Nabi setelah  ibunya meninggal  dunia.  Dengan demikian,  dialah  yang  sangat  besar  jasanya  mengisi kekosongan yang ditinggalkan ibunya. (lebih…)

Masjid-JumeirahSementara Imam Ali r.a. menanggulangi pemberontakan Khawarij di Nehrawan, Muawiyah meningkakan terus kekuatan­nya, mengkonsolidasi barisan serta mengokohkan kedudukannya. Mereka memperoleh waktu yang sangat cukup untuk memper­siapkan peperangan lebih lama lagi, berkat politik “tahkim” yang disusun oleh arsiteknya, Amr bin Al Ash.

Sebaliknya, dengan muslihat “tahkim” itu, kekuatan Imam Ali r.a. sekarang menjadi berkurang. Ia ditinggalkan, bahkan dilawan oleh pengikut-pengikutnya sendiri, yang sudah memisah­kan diri sebagai kaum Khawarij. Dalam menumpas gerakan Kha­warij, Imam Ali r.a. telah kehilangan beberapa anggota pasukan yang cukup merugikan, walaupun berhasil mencapai kemenangan.

Imbangan kekuatan yang sekarang sangat menguntungkan fihak Muawiyah difahami benar-benar oleh para pengikut Imam Ali r.a. Secara diam-diam banyak di antara mereka yang sudah kejangkitan penyakit putus asa. Belum lagi kita sebutkan besar­nya dana yang dihamburkan Muawiyah untuk membeli pengikut sebanyak-banyaknya. Bagaimana pun juga hal ini besar pengaruh­nya di kalangan para pengikut Imam Ali r.a. yang kurang teguh iman dan pendiriannya. Kepada para pengikut Imam Ali r.a. yang mau menyeberang, Muawiyah mengiming-imingkan hadiah berli­pat ganda.

Perlawanan terhenti

Selesai perang melawan kaum Khawarij dan sebelum mening­galkan Nehrawan untuk berangkat melanjutkan perang melawan Muawiyah, Imam Ali r.a. mengucapkan pidato di depan para peng­ikutnya. Antara lain ia berkata: “Cobaan Allah yang kalian hadapi telah berakhir dengan baik. Allah telah memenangkan kalian de­ngan pertolongan-Nya. Sekarang marilah kita berangkat untuk menghadapi Muawiyah dan para pendukungnya yang durhaka itu. Mereka yang meninggalkan Kitab Allah di belakang punggung dan telah menjual-belikannya dengan harga murah. Alangkah bu­ruknya apa yang telah mereka beli dengan Kitab Allah itu!”

Bagaimana sambutan pengikut Imam Ali r.a. Kali ini Imam Ali r.a. terbentur lagi pada ranjau yang dipasang oleh Al Asy’ats bin Qeis. Asy’ats ternyata sudah berhasil mempengaruhi banyak anggota pasukan Imam Ali r.a. supaya meninggalkan barisan, de­ngan jalan mencari tempat-tempat peristirahatan di daerah-daerah yang berdekatan. Alasan yang digunakan dalam kampanye itu ialah mereka sudah terlampau letih dan sangat perlu beristirahat, untuk memulihkan tenaga lebih dulu, sebelum bergabung dalam pasukan.

Jasa Asy’ats nampaknya tidak kecil bagi Muawiyah. Tidak keliru rasanya kalau ada sementara penulis yang mengatakan, bah­wa bukan hanya Abu Musa dan kaum Khawarij saja yang ber­berjasa kepada Muawiyah, tetapi juga Al Asy’ats bin Qeis.

Waktu Imam Ali r.a. mengajak anggota-anggota pasukannya berangkat memerangi Muawiyah, mereka menjawab sesuai dengan garis yang sudah diletakkan Al Asy’ats: “Ya Amiral Mukminin, anak panah kami sudah habis, tangan kami sudah terlalu payah, pedang kami banyak yang patah dan tombak kami sudah tumpul! Biarkanlah kami pulang dulu agar kami dapat mempersiapkan perbekalan dan perlengkapan yang lebih baik. Mungkin Amirul Mukminin akan memberi tambahan senjata kepada kami, agar kami lebih kuat dalam menghadapi musuh!”

Sulit mencari orang yang bertabiat keras seperti Imam Ali r.a. tetapi juga sangat sulit mencari orang yang sabar seperti dia. Sukar mencari orang yang waspada seperti Imam Ali r.a., tetapi juga sangat sukar mencari orang yang mempercayai sahabat se­penuh hati seperti dia. Bagaimana harus dibantah, bukankah mere­ka itu benar-benar baru saja menyelesaikan peperangan? Jadi alas­an mereka itu memang masuk akal! Imam Ali r.a. setuju mereka beristirahat, tetapi tidak pulang ke rumah masing-masing. Mereka harus diistirahatkan bersama di suatu tempat, agar setiap saat dapat dikerahkan bila dipandang perlu.

Mereka kemudian diajak oleh Imam Ali r.a. ke sebuah tempat bernama Nakhilah. Selain menjadi tempat istirahat, Nakhilah juga dijadikan tempat pemusatan pasukan. Kepada semua pa­sukan diperintahkan supaya jangan sampai ada yang mening­galkan tempat. Semua pasukan harus selalu dalam keadaan siaga untuk melanjutkan peperangan melawan pasukan Syam. Jika anak isteri tidak seberapa jauh dari Nakhilah, boleh saja menjenguk mereka, tetapi jangan terlalu sering. Masing-masing anggota pa­sukan diminta supaya selalu siap menantikan saat keberangkatan ke Shiffin.

Apa yang terjadi?

Ternyata hanya beberapa hari saja mereka tinggal bersama Imam Ali r.a. di Nakhilah. Banyak sekali yang tanpa izin menye­linap pergi ke Kufah untuk bersenang-senang dengan anak isteri mereka. Tidak sedikit yang bertebaran ke daerah-daerah sekitar Nakhilah untuk mencari hiburan dan kesenangan. Imam Ali r.a. ditinggal bersama beberapa orang sahabat terdekat dan sejumlah pengikut. Akhirnya Imam Ali r.a. dan para sahabat terdekat itu terpaksa meninggalkan Nakhilah dalam keadaan kosong.

Sejak saat itu perlawanan terhadap Muawiyah praktis terhenti. Kesetiaan pendukungnya sudah tak dapat diandalkan la­gi. Banyak di antara mereka yang mulai terpikat hatinya oleh ke­pentingan duniawi yang dinikmati oleh kaum muslimin di Syam. Selain itu banyak juga yang patah semangat dan kejangkitan penyakit putus asa.

Terhentinya perlawanan menumpas pemberontakan Muawi­yah bukan disebabkan ketidak mampuan Imam Ali r.a., melain­kan karena sikap massa yang dipimpinnya sudah goyah dan tidak mantap, terutama mereka yang berasal dari Kufah. Tanda-tanda akan terjadinya hal yang harus disayangkan itu, sudah nampak sejak Imam Ali r.a. memasuki kota tersebut. Bahkan beberapa bu­lan sebelum itu pun di Madinah Imam Ali r.a. sudah menghada­pi bermacam-macam kesulitan, yaitu sejak pembai’atannya sebagai Khalifah.

Ajakan ke medan juang

Setelah ditinggal oleh banyak pengikutnya dan hanya tingal para sahabat yang setia saja, melalui Hujur bin Addiy, Amr bin Al Humuq dan sejumlah sahabat lainnya, Imam Ali r.a. mengeluar­kan sebuah pernyataan tertulis untuk disampaikan kepada kaum muslimin Kufah, terutama bekas pendukungnya. Dalam pernyata­an tertulis itu Imam Ali r.a. membeberkan semua persoalan dan mengungkapkan latar belakang sejarahnya.

“Bahwasanya Allah s.w.t. telah mengutus Muhammad, Rasul Allah s.a.w. untuk mengingatkan ummat manusia di seluruh dunia. Beliau menerima wahyu dan mengemban amanat yang diturun­kan kepadanya, dan menjadi saksi bagi ummat ini. Hai orang-­orang Arab, kalian pada masa itu dalam keadaan tidak mempunyai agama. Satu sama lain saling memakan harta secara bathil. Kemu­dian Allah melimpahkan kurnia-Nya kepada kalian dengan mengu­tus Muhammad s.a.w. datang ke tengah-tengah kalian dan berbi­cara dengan bahasa kalian. Kalian mengenal wajah beliau dan me­ngetahui benar asal-usul keturunannya.

“Beliau telah mengajarkan hikmah, sunnah dan fara’idh ke­pada kalian. Beliau menyuruh kalian supaya selalu menjaga baik-­baik hubungan silaturrahmi, memelihara kerukunan dan saling memperbaiki keadaannya masing-masing. Kalian juga diperintah­kan supaya menunaikan amanat kepada fihak yang berhak, meme­nuhi janji, saling bercinta-kasih dan sayang menyayangi. Beliau pun memerintahkan kalian supaya berlaku jujur, dan jangan sam­pai mencatut timbangan atau takaran. Beliau datang kepada kali­an juga antara lain untuk melarang kalian jangan sampai berbuat zina dan jangan makan harta milik anak yatim secara dzalim.”

“Kebajikan akan menghindarkan kalian dari siksa neraka. Dan beliau mendorong kalian supaya senantiasa berbuat keba­jikan. Tiap perbuatan buruk dan jahat akan menjauhkan kalian dari sorga, dan beliau mencegah supaya kalian jangan sampai berbuat seperti itu. SetelahAllah s.w.t. memandang masa hidupnya sudah cukup, beliau dipanggil pulang ke sisi-Nya, dalam keadaan beliau patut menerima pujian dan memperoleh keridhoan-Nya. Beliau s.a.w. telah memperoleh pengampunan atas segala kekhilafannya dan benar-benar telah mendapat kedudukan mulia di sisi Allah s.w.t.

“Tetapi alangkah besarnya musibah yang terjadi sepeninggal beliau, terutama yang menimpa kaum kerabatnya dan kaum muk­minin pada umumnya. Setelah beliau tidak ada lagi kaum mus­limin mempertengkarkan pimpinan dan kekuasaan. Demi Allah, aku tidak pernah merasa khawatir dan tidak pernah membayang­kan bahwa orang-orang Arab akan menggeser kepemimpinan dari tanganku. Tetapi waktu itu ternyata orang-orang Arab meng­angkat Abu Bakar. Mereka datang berbondong-bondong kepa­danya. Aku diam tidak mengulurkan tangan, sebab aku yakin bahwa akulah yang sebenarnya lebih berhak meneruskan kepe­mimpinan Rasul Allah s.a.w. daripada orang lain yang akan me­mimpin aku. Beberapa waktu lamanya aku tetap bersikap seperti itu.

“Kemudian aku melihat banyak orang meninggalkan agama Islam, kembali kepada kepercayaan mereka semula, bahkan berani berseru kepada orang-orang lain supaya menghapuskan agama yang dibawakan oleh Muhammad s.a.w. dan Ibrahim as. Aku menjadi sangat khawatir, kalau aku tidak membela Islam dan kaum mus­limin, aku bakal menyaksikan kerusakan dan keruntuhan Islam. Bagiku, itu merupakan bencana yang jauh lebih besar daripada le­pasnya kepemimpinan dari tanganku. Sebab masalah kepemimpin­an hanyalah suatu hiasan hidup belaka yang tidak kekal dan tidak lama, yang akhirnya akan lenyap seperti fatamorgana.”

“Aku lalu pergi menjumpai Abu Bakar. Ia kubai’at, kemudian bersama dia aku bergerak menanggulangi kejadian tersebut di atas tadi, sampai kebathilan itu musnah dan kalimat Allah tetap unggul dan mulia walau orang-orang kafir tidak menyukai. Abu Bakar tetap memegang pimpinan pemerintahan. Ia berlaku adil, baik, benar, rendah hati dan hidup sederhana. Aku mendampingi dia sebagai penasehat. Ia kutaati sungguh-sungguh selama ia taat kepada Allah s.w.t.

“Beberapa saat menjelang wafatnya, Abu Bakar menunjuk Umar Ibnul Khattab untuk meneruskan kepemimpinannya. Itu pun kutaati. Umar kubai’at dan kepadanya kuberikan nasehat-­nasehat. Selama memegang pimpinan pemerintahan, Umar bersi­kap baik dan semasa hidupnya ia berperilaku terpuji. Menjelang wa­fatnya, aku berkata dalam hatiku: ‘Ia tentu tidak akan menyerah­kan pimpinan pemerintahan kepada orang lain. Tetapi ternyata ia minta supaya masalah kekhalifahan itu dimusyawarahkan, dan aku menjadi salah seorang calon sekaligus peserta musyawarah. Namun orang lainnya tidak suka kalau kepemimpinan jatuh ke tanganku, sebab mereka mendengar bahwa aku pernah menentang Abu Bakar’…”

“Dulu aku memang pernah mengatakan: ‘Hai orang-orang Qureisy, aku ini lebih berhak daripada kalian untuk memegang pimpinan, sebab tidak ada seorang pun di antara kalian yang ter­dini mengenal Al Qur’an dan mengerti sunnah Rasul!’ Karena aku berkata seperti itu, mereka merasa khawatir kalau sampai aku ter­bai’at menjadi pemimpin ummat, tidak akan ada kesempatan lagi bagi mereka. Akhirnya mereka membai’at Utsman bin Affan, menyingkirkan diriku dari kepemimpinan dan menyerahkannya kepada Utsman. Aku dijauhkan dari kepemimpinan karena mereka mengharap akan memperoleh giliran.”

“Aku terpaksa menyatakan bai’at. Aku menyabarkan diri sambil bertawakkal kepada Allah. Kemudian ada salah seorang berkata kepadaku: ‘Hai Ibnu Abu Thalib, mengapa engkau ngotot ingin memegang pimpinan?’ Aku menjawab: ‘Kalian lebih ngo­tot. Yang kuminta adalah hak waris putera pamanku! Waktu kali­an mencampuri urusanku dengan Utsman, kalian berbuat me­nampar mukaku dan tidak menampar mukanya!’ Aku berdoa memohon perlindungan kepada Allah s.w.t. dalam menghadapi orang-orang Qureiys itu. Mereka memutuskan silaturrahmiku de­ngan Rasul Allah s.a.w. Mereka meremehkan kedudukan dan ke­utamaanku. Mereka bersepakat merebut hak yang sebenarnya aku ini lebih berwenang dibanding mereka. Mereka telah memperkosa hakku.”

“Mereka lalu berkata lagi: ‘Sabarlah engkau menahan kepe­dihan itu! Dan sabarlah hidup dalam kekecewaan itu!’ Aku meli­hat-lihat dan ternyata tidak ada teman atau orang lain yang ber­sedia membantu selain keluargaku sendiri. Tetapi aku tidak mau menjerumus-kan keluargaku ke dalam bahaya. Kupejamkan mataku untuk menahan sakitnya kelilip, dan kutelan ludahku dengan pe­rasaan sedih. Aku sabar menahan kejengkelan, sehingga terasa olehku kepahitan yang melebihi jadam dan kesakitan yang mele­bihi tusukan pisau.”

“Akhirnya kalian dendam terhadap Utsman. Ia kalian data­ngi, lalu kalian bunuh. Setelah itu kalian datang kepadaku untuk menyatakan bai’at. Aku menolak, tetapi kalian tetap bersikeras menghendaki aku. Kalian mendesak dan mendorong-dorong da­tang kepadaku untuk mendesak terus, sampai kukira kalian akan saling bunuh-membunuh atau hendak membunuhku. Kepadaku kalian mengatakan: ‘Kami tidak menemukan orang selain engkau dan kami tidak menyukai orang lain. Kami seia-sekata dan dengan tekad bulat membai’atmu’…”

“Pembai’atan kalian kemudian kuterima. Lalu kalian meng­ajak orang-orang lain untuk membai’atku. Orang-orang yang me­nyatakan bai’at karena taat, kuterima. Sedangkan yang tidak mau menyatakan bai’at, kubiarkan. Orang yang pertama-tama menya­takan bai’at kepadaku ialah Thalhah dan Zubair. Seandainya dua orang itu tidak mau membai’atku, mereka tidak akan kupaksa, sama halnya seperti orang lain yang tidak mau membai’atku. Tidak lama kemudian aku mendengar dua orang itu berangkat ke Bashrah membawa sejumlah orang bersenjata. Tidak seorang pun dari mereka itu yang belum pernah menyatakan bai’at kepadaku. Di Bashrah mereka mengobrak-abrik pegawaiku, menggedor tem­pat-tempat penyimpanan harta kaum muslimin dan memperko­sa penduduk yang taat kepadaku. Mereka memecah belah dan me­rusak kerukunan, mencerai-beraikan persatuan dan menyerang tiap orang yang mengikuti serta mencintaiku. Beberapa kelompok dari pencintaku dibunuh secara gelap dan dianiaya. Di antara me­reka itu ada yang sanggup membela diri, ada yang hanya bersabar, dan ada pula yang dengan gigih terpaksa mengacungkan pedang. Para pencintaku itu bangkit melawan tindakan jahat mereka sam­pai banyak yang mati terbunuh dalam keadaan bertawakkal kepada Allah s.w.t.

“Demi Allah, seandainya hanya seorang saja dari para pencin­taku yang sengaja mereka bunuh, sudah halal bagiku untuk bertin­dak menumpas habis gerombolan bersenjata itu! Apalagi karena ternyata mereka itu telah membunuh banyak kaum muslimin. Tetapi, Allah s.w.t. sudah membalas perbuatan mereka, dan sekarang binasalah sudah kaum yang dzalim itu.”

“Kemudian aku melihat kepada orang-orang Syam. Mereka itu adalah orang-orang Arab yang berperangai kasar, terdiri dari macam-macam golongan yang serakah dan liar, datang dari ber­bagai pelosok. Mereka itu adalah orang-orang yang masih perlu diajar, dipimpin dan dibimbing. Mereka bukan kaum Muhajirin atau Anshar, dan bukan pula orang-orang yang memasuki agama dengan itikad baik. Mereka kudatangi, kuajak supaya mau bersatu dan bersedia taat, tetapi mereka menolak. Mereka menginginkan perpecahan, permusuhan dan kemunafikan. Mereka bergerak me­lawan kaum Muhajirin, kaum Ansor dan orang-orang yang masuk agama Islam dengan niat ikhlas dan jujur. Mereka melepaskan anak-panah dan melempar tombak. Di saat itulah aku bangkit dan bergerak melawan mereka. Mereka kuperangi.

“Setelah mereka kekurangan senjata dan merasakan sakit­nya luka, mereka kibarkan lembaran-lembaran Al-Qur’an dan ber­seru kepada kalian supaya berpegang teguh kepadanya. Waktu itu kalian sudah kuberi tahu, bahwa mereka itu bukan orang-orang yang patuh kepada ajaran agama dan Al-Qur’an. Mereka mengibarkan lembaran-lembaran Al-Qur’an hanya sekedar tipu-daya dan muslihat. Kalian sudah kuperintahkan supaya terus memerangi mereka, tetapi kalian menuduh diriku dan kalian berkata kepadaku: “Terimalah apa yang mereka usulkan. Kalau mereka benar-benar mau melaksanakan apa yang ada dalam Al-Qur’an dan sun­nah, pasti mereka akan bersatu dengan kita dalam kebenaran yang selama ini kita pertahankan. Jika mereka tidak mau, kita mem­punyai alasan kuat untuk terus berlawan terhadap mereka.”

“Keinginan kalian itu kusetujui, aku lalu mundur, tidak me­nyerang mereka lagi. Kemudian terjadilah persetujuan antara ka­lian dengan mereka untuk mengangkat dua orang perunding guna mencari penyelesaian damai berdasar Kitab Allah. Dua orang itu diharuskan patuh menjunjung tinggi perintah Al Qur’an dan men­jauhkan apa yang dilarangnya. Tetapi dua orang itu berselisih pendapat, dan hukum yang diambil ternyata berlain-lainan. Dua orang itu mengabaikan Al Qur’an dan menyalahi isinya. Dua-dua­nya tanpa hidayat Allah terjerumus mengikuti hawa nafsu sendi­ri-sendiri. Oleh Allah dua orang itu dijauhkan dari kebajikan dan diperosokkan dalam kesesatan. Dua-duanya memang pantas menjadi orang seperti itu.”

“Setelah semua itu terjadi, ada sekelompok orang meninggal­kan kami. Mereka pun kami tinggalkan. Kami bersikap sama se­perti mereka. Tetapi kemudian mereka berkeliaran di bumi mem­buat kerusakan.Orang-orang muslimin mereka bunuh tanpa dosa. Mereka kami datangi, lalu kami katakan kepada mereka: ‘Serah­kan kepada kami orang-orang yang membunuh saudara-saudara kami’. Mereka menjawab: ‘Kami semua inilah yang membunuh. Kami halal menumpahkan darah mereka dan darah kalian’…”

“Mereka lalu pergerak mengerahkan pasukan berkuda dan pe­jalan kaki untuk menyerang kami. Tetapi akhirnya mereka dihan­curkan oleh Allah, nasibnya sama seperti orang-orang dzalim lain­nya. Setelah itu kuperintahkan kalian supaya berangkat ke Shiffin untuk menghadapi musuh, tentara Syam. Sebab pendadakan seper­ti itu akan membuat hati mereka kecut dan akan menggagalkan tipu daya mereka. Waktu itu kalian ternyata menjawab: ‘Pedang kita sudah banyak yang patah, kita kehabisan anak panah, dan ujung tombak kita sudah banyak yang tumpul. Izinkanlah kita pulang dulu untuk mempersiapkan perlengkapan dan perbekalan yang lebih baik. Kiranya engkau pun akan menambah perleng­kapan kita dengan senjata-senjata yang ditinggalkan teman-teman kita yang telah tewas dan senjata-senjata bekas kepunyaan musuh. Itu akan merupakan tambahan kekuatan bagi kita dalam meng­hadapi musuh’…”

“Permintaan kalian itu kami terima. Selama beberapa waktu menunggu, kalian kuperintahkan supaya jangan meninggalkan ku­bu pertahanan, supaya lebih merapatkan barisan, siap siaga meng­hadapi peperangan, dan jangan terlalu sering menengok anak isteri, sebab itu akan melemahkan hati kalian dan dapat membelokkan fikiran kalian. Pasukan yang sedang menghadapi peperangan tidak semestinya mengeluh, meratap atau jemu bergadang di malam hari. Tidak semestinya pasukan itu mengeluh kehausan atau lapar, se­belum mencapai sasaran dan tujuan yang diinginkan.”

“Tetapi kenyataannya, ada sekelompok orang dari kalian yang meminta kelonggaran dengan bermacam-macam alasan. Ke­lompok lainnya lagi menyelinap masuk ke dalam kota lalu membe­lot. Mereka ini tidak ada yang datang kembali kepadaku. Setelah kuperiksa, ternyata pasukan yang masih tetap tinggal bersamaku hanya berjumlah 50 orang. Setelah aku melihat perbuatan kalian seperti itu, kalian kudatangi, tetapi sampai hari ini kalian masih tetap tidak sanggup keluar untuk menghadapi musuh bersama-sama kami.”

“Ya Allah, kasihan benar orang-orangtua kalian! Apalagi sebenarnya yang kalian fikirkan? Tidakkah kalian menyadari bah­wa kekuatan kalian sekarang sudah berkurang? Tidakkah kalian dapat melihat negeri kalian ini sudah diserang? Apa sebab kalian

masih berpaling muka? Bukankah musuh-musuh kalian itu sudah bersatu, bekerja keras dan bertukar-fikiran, sedang kalian sekarang bercerai-berai, bertengkar dan saling mengelabui satu sama lain? Ji­ka kalian bersatu, kalian pasti selamat.”

“Oleh karena itu bangunkanlah orang-orang yang sedang tidur nyenyak. Semoga Allah memberikan rahmat-Nya kepada kalian. Yang kalian perangi itu bukan lain adalah kaum thulaqa dan keturunan orang-orang thulaqa, yaitu orang-orang yang meme­luk Islam hanya karena terpaksa. Orang-orang yang dahulu meme­rangi Rasul Allah s.a.w., orang-orang yang memusuhi Al Qur’an dan Sunnah, orang-orang yang dahulu bergabung dan bersekutu dalam perang Ahzab melawan kaum muslimin, orang-orang ahli bid’ah yang banyak menimbulkan keonaran, orang-orang yang ditakuti karena kejahatannya, orang-orang yang menyeleweng dari agama, pemakan barang yang bathil dan budak-budak dunia!”

“Amr bin Al Ash itu sebenarnya condong kepadaku. Ia ber­fihak pada Muawiyah hanya setelah menerima janji akan diberi ke­kuasaan besar atas Mesir. Ia tidak segan-segan menjual agamanya untuk mendapatkan kepentingan dunia! Muawiyah membelinya dengan menghamburkan uang kekayaan kaum muslimin! Di an­tara orang fasik itu ada yang pernah dihukum cambuk karena meneguk minuman haram. Mereka itulah yang sekarang sedang menjadi pemimpin kaumnya. Orang-orang yang tidak kusebutkan perbuatan buruknya, banyak yang lebih jahat dan lebih berbahaya. Yaitu orang-orang yang jika sudah berpisah dari kalian, memper­lihatkan kebenciannya terhadap kalian. Mereka membangga-bang­gakan diri, menindas orang lain sewenang-wenang, congkak, deng­ki dan banyak berbuat kerusakan di bumi. Mereka mengikuti hawa nafsu dan memerintah dengan korup dan jalan suap (rasy­wah). Sedangkan kalian, walaupun tidak saling bantu dan berta­wakkal secara keliru, namun kalian masih jauh lebih benar dari­pada jalan mereka.”

“Di antara kalian terdapat orang-orang arif bijaksana (huka­ma), alim ulama, fuqaha (para ahli hukum syariat), pengajar-peng­ajar Al-Qur’an, orang-orang yang hidup zuhud di dunia, orang-­orang yang gemar mengunjungi masjid dan orang-orang ahli mem­baca Al Qur’an.”

“Apakah kalian rela dan tidak marah kalau orang-orang berperangai jahat, bengis dan kerdil seperti mereka itu hendak memaksakan kekuasaan kepada kalian? Dengarkanlah kata-kataku dan taati­lah perintahku bila kuperintahkan. Fahamilah nasihatku jika aku beri nasihat. Percayailah ketegasanku bila aku sudah bertindak. Ikutilah kebulatan tekadku bila aku sudah berniat! Bangunlah mengikuti kebangkitanku dan seranglah orang-orang yang kuse­rang! Jika kalian membangkang, kalian tidak akan mendapatkan petunjuk yang benar dan kalian tidak akan dapat bersatu. Terju­nilah peperangan dan siapkan semua perlengkapan. Perang sudah berkobar dan apinya masih menyala-nyala. Orang-orang yang dza­lim itu hendak membasmi kalian melalui peperangan dengan tuju­an untuk dapat leluasa memadamkan cahaya Allah.

“Demi Allah, seandainya aku seorang diri menjumpai mereka berada di tengah-tengah penghuni bumi ini, lantas aku menaruh perhatian kepada mereka, atau aku lantas lari menjauhi mereka karena takut, itu berarti aku sudah sama sesatnya seperti mere­ka! Jalan hidayat yang selama ini kupegang teguh, benar-benar ku­hayati dengan penuh kesadaran dan keyakinan serta berdasarkan petunjuk Allah Tuhanku. Aku sungguh-sungguh sudah sangat rindu ingin berjumpa dengan Allah, dan aku benar-benar menung­gu serta mengharap-harap keindahan pahala dan karunia-Nya.”

“Tetapi kerisauan dan kekecewaan meresahkan hatiku dan kekhawatiran menggelisah-kan fikiranku, karena aku takut kalau-kalau ummat ini akan dikuasai oleh manusia-manusia jahat dan durhaka. Kemudian mereka itu akan menggunakan kekayaan Allah sebagai alat kekuasaan, menjadikan hamba-hamba Allah se­bagai budak belian, menjadikan orang-orang saleh sebagai umpan peperangan, dan menjadikan orang-orang yang berlaku adil sebagai golongan terpencil.”

“Demi Allah, kalau bukan karena semuanya itu, aku tidak akan terus menerus mengajak kalian, mempersatukan kalian dan mendorong kalian supaya berjuang. Kalian pasti sudah kutinggal­kan. Demi Allah aku ini berada di atas jalan yang benar, dan aku sungguh-sungguh ingin mati syahid. Insyaa Allah, aku akan berang­kat ke medan juang bersama-sama kalian. Berangkatlah kalian, baik dalam keadaan merasa ringan atau pun merasa berat. Berjuanglah di jalah Allah dengan harta dan nyawa kalian. Se­sungguhnya, Allah beserta orang-orang yang sabar.”

Pernyataan tertulis Imam Ali r.a. tersebut di atas, secara ke­seluruhan menggambarkan betapa sulit dan beratnya persoalan yang dihadapinya sepeninggal Rasul Allah s.a.w., terutama setelah dibai’at oleh kaum muslimin sebagai Khalifah dan Amirul Muk­minin.

Disadur dari buku :

Sejarah Hidup Imam Ali bin Abi Thalib r.a.
Oleh H.M.H. Al Hamid Al Husaini
Penerbit: Lembaga Penyelidikan Islam


https://tausyah.wordpress.com

Masjid-e-NabvGerakan Khawarij

Imam Ali r.a. adalah seorang yang tidak pernah berbuat se­suatu yang berlainan antara ucapan dan perbuatan. Ia menolak keras hasil perundingan antara Abu Musa dengan Amr, tetapi ka­rena ia telah menyatakan kesediaan menerima “tahkim” –walau­pun hanya karena ia ditekan oleh pengikutnya— prinsip itu di­pertahankan dengan konsekuen, selama fihak lawan benar-benar hendak mencari penyelesaian berdasarkan hukum Al-Qur’an.

Hal ini dapat dibuktikan dengan penjelasan-penjelasan yang diberikan kepada beberapa orang pengikutnya yang mengaju­kan pertanyaan. Dalam penjelasannya itu Imam Ali r.a. mengata­kan:

“Kami menerima tahkim. Oleh karena itu tahkim harus di­dasarkan kepada Kitab Allah, Al-Qur’an. Al Qur’an itu tertulis pada lembaran-lembaran. Al-Qur’an tidak berbicara dengan lisan dan tidak bisa tidak memerlukan penafsiran. Penafsiran itu sudah tentu keluar dari ucapan orang. Setelah mereka minta kepada kami su­paya kami mengadakan penyelesaian berdasarkan tahkim Al-Qur’an, kami tidak mau menjadi fihak yang berdiri di luar Al-Qur’an. Sebab Allah ‘Azaa wa Jalla telah berfiman, artinya: “Jika kalian bertengkar mengenai sesuatu, maka kembalikanlah hal itu kepada Allah dan Rasul-Nya.” (S. An Nisa: 59).

“Mengembalikan persoalan kepada Allah,” kata Imam Ali r.a. seterusnya, “berarti kami harus mencari penyelesaian hukum di dalam Kitab Allah. Dan mengembalikan persoalan kepada Ra­sul-Nya, berarti kami harus mengambil sunnah Rasul Allah. Jika persoalan benar-benar hendak diselesaikan berdasar hukum yang ada dalam Kitab Allah, sesungguhnyalah kami lebih berhak ber­buat daripada orang lain. Dan kalau hendak diselesaikan ber­dasarkan sunnah Rasul Allah, pun kami jugalah yang lebih ber­hak daripada orang lain.”

Adapun ucapan mereka yang mengatakan: ‘mengapa diada­kan tenggang waktu (gencatan senjata) dalam menempuh jalan tahkim?’ Kata Imam Ali r.a. lebih lanjut, hal itu kami lakukan agar menjadi jelas bagi orang yang tidak mengerti, dan agar menjadi mantap bagi orang yang sudah mengerti. Mudah-mudahan selama gencatan senjata itu Allah akan memperbaiki keadaan ummat, agar menjadi terang, dan awal kesesatan itu dapat segera dilurus­kan.”

“Sesungguhnya yang paling afdhal di sisi Allah,” kata Imam Ali r.a. pula, “ialah orang yang lebih menyukai berbuat kebenaran walau kebenaran itu mendatangkan kesukaran dan kerugian bagi­nya. Yaitu orang yang pantang berbuat kebatilan, walau kebatil­an itu akan mendatangkan kemudahan dan keuntungan baginya. Jadi, bagaimanakah kalian sampai menjadi bingung, dan dari mana­kah keraguan yang menghinggapi fikiran kalian?”

Imam Ali r.a. Digugat

Sekarang, setelah ternyata politik tahkim itu benar-benar ha­nya tipu muslihat Muawiyah, kelompok kontra tahkim yang ter­dapat dalam pasukan Imam Ali r.a. menggugat, mengungkit dan melemparkan segala kesalahan kepada pundak Imam Ali r.a. Lebih aneh lagi karena banyak yang tadinya pro tahkim, setelah kelom­pok kontra tahkim bergerak, mereka ikut-ikutan menentang Imam Ali r.a. dan bergabung dengan kelompok kontra tahkim.

Kelompok kontra tahkim itu dalam sejarah dikenal dengan nama Khawarij (orang-orang yang keluar meninggalkan barisan Imam Ali r.a.). Pada suatu hari kelompok ini berkumpul di rumah Abdullah bin Wahb Ar Rasibiy. Di tempat pertemuan ini tampil tokoh-tokoh mereka bergantian beragitasi membakar semangat perlawanan terhadap Imam Ali r.a.

Abdullah Ar Rasibiy dalam pidatonya mengatakan: “Sauda­ra-saudara, bagi kaum yang beriman kepada Allah Ar Rahman, yang patuh kepada hukum Al-Qur’an, kehidupan dunia ini harus diisi dengan amr ma’ruf dan nahi mungkar, serta dengan perkata­an yang benar walau pahit dan berbahaya. Sekalipun pahit dan berbahaya, tetapi pada hari kiyamat kelak orang akan memperoleh keridhoan Allah dan kekal menikmati kehidupan sorga. Oleh karena itu marilah kita keluar meninggalkan negeri yang pendu­duknya sudah menjadi dzalim ini dan pergi ke daerah lain! Kita harus menolak bid’ah yang sesat ini (yakni: tahkim) dan menen­tang hukum yang durhaka!”

Sedang Hurqush bin Zuhair berkata: “Saudara-saudara, ke­senangan di dunia ini sungguh amat sedikit. Tidak ayal lagi, kita ini pasti akan berpisah dengan dunia. Oleh karena itu kalian jangan sampai merasa terikat oleh keindahan dan kegemerlapannya, atau ingin tetap hidup selama-lamanya! Janganlah kalian lengah dari kewajiban menuntut kebenaran dan menentang kebatilan.

Sesung­guhnya Allah senantiasa beserta orang yang bertawa dan orang-­orang yang berbuat kebajikan. Hai saudara-saudara, kita sudah ber­sepakat bulat mengenai kebenaran itu. Sekarang angkatlah salah seorang dari kalian sebagai pemimpin. Sebab bagaimana pun juga kalian tetap memerlukan tiang untuk bersandar, dan membutuh­kan adanya suatu lambang di mana kalian akan berhimpun di sekitarnya dan kembali kepadanya.”

Habis berkumpul di rumah Abdullah Ar Rasibiy, mereka per­gi bersama-sama ke rumah Zafr bin Hushn At Tha’iy. Di rumah ini Zafr beragitasi dengan hebatnya: “Hai saudara-saudara, sebenarnya kita ini telah berjanji setia kepada Allah s.w.t. untuk berbuat amr ma’ruf dan nahi mungkar, berkata benar dan berjuang mene­gakkan jalan yang lurus.

Allah sudah memerintahkan kepada Rasul-Nya, Daud: “Hai Daud, engkau telah kami jadikan Khalifah di bumi, maka laksanakanlah hukum dengan adil di antara sesama manusia, dan janganlah engkau menuruti hawa nafsu, sebab hal itu akan menyesatkan engkau dari jalan Allah. Orang-orang yang sesat dari jalan Allah akan memperoleh siksa amat berat (As Shad:26).

“Juga Allah telah berfirman,” kata Zafr: “Barang siapa tidak menetapkan hukum menurut apa yang telah diturunkan Allah, mereka itu adalah orang-orang kafir.” (Al-Ma’idah: 44).

“Oleh karena itu”, kata Zafr selanjutnya, “bersumpahlah kalian untuk melawan orang yang dulu kita dukung ajarannya. Orang itu sekarang sudah mengikuti hawa nafsu, mengabaikan hukum Allah, berlaku dzalim dalam menetapkan hukum dan me­laksanakannya. Oleh karena itu perjuangan melawan orang-orang seperti itu adalah wajib bagi kaum mukminin.

“Aku bersumpah, demi Allah, seandainya tak ada seorang pun yang mau berjuang menghapus kemungkaran itu, atau tidak ada orang yang mau membantu perjuangan melawan orang-­orang bathil dan durhaka itu, aku akan memerangi mereka seorang diri sampai aku berjumpa dengan Allah s.w.t. Biarlah Allah sendiri yang menjadi saksi, dengan lidah aku telah berjuang memperbaiki keadaan sesuai dengan kehendak-Nya dan menurut keridhoan-Nya.

“Saudara-saudara, hantamlah muka dan kepala mereka de­ngan pedang, sampai Allah ‘Azaa wa Jalla ditaati oleh mereka. Jika orang itu sudah mau taat kepada Allah sebagaimana yang kalian inginkan, Allah akan mengaruniakan pahala kepada kalian sebagai orang-orang yang telah membuktikan ketaatan dan te­lah melaksanakan perintah-Nya. Jika kalian mati terbunuh, apakah yang lebih penting daripada berjalan menuju keridhoan Allah dan sorga-Nya?

“Ketahuilah saudara-saudara, mereka sekarang sudah siap un­tuk mempertahankan hukum yang sesat. Marilah kita semua keluar menuju ke sebuah daerah yang telah kita sepakati dalam perte­muan kita ini. Kalian telah menjadi pembela-pembela kebenar­an di tengah-tengah ummat manusia. Sebab kalian sudah mengu­mandangkan kebenaran dan tetap bertekad hendak berkata benar.”

“Marilah kita pergi ke Madain yang telah kita sepakati itu, kita buka pintunya dan kita kerahkan penduduknya, kemudian kita kirimkan utusan kepada saudara-saudara kita di Bashrah, agar mereka mau bergabung dengan kita!”

Sesudah agitasi Zafr ini, tampil Zaid bin Hushn At Tha’iy, saudara Zafr, dengan kata-kata: “Di daerah itu nanti akan ada orang-orang yang merintangi kalian masuk, dan mereka pun akan mencegah kalian menduduki daerah itu. Oleh karena itu sebaiknya kita segera menulis surat kepada saudara-saudara kita di Bahsrah. Beritahukan mereka tentang keluarnya kalian sekarang ini. Setiba­nya di sana, berhentilah kalian di Nehrawan!”

Semua pidato itu mendapat sambutan hangat dan yang ha­dir menyatakan persetujuan bulat. Kemudian ditulislah sepu­cuk surat kepada teman-teman mereka di Bashrah. Isinya se­bagai berikut : “…Orang-orang yang dulu kami dukung seruannya (yakni Imam Ali) sekarang sudah mengangkat orang untuk menetapkan tahkim terhadap agama Allah.

Mereka membi­arkan orang-orang durhaka menguasai hamba-hamba Allah. Oleh sebab itu kami sekarang menentang mereka dan sudah meninggal­kan mereka. Dengan cara itu kami hendak mendekatkan diri kepa­da Allah, dan sekarang kami sudah berada di jembatan Nehrawan. Kami ingin memberi tahukan kalian, agar kalian dapat ikut ambil bagian untuk memperoleh pahala. Wassalaam.”

Jawaban dari teman-teman mereka di Bashrah mengatakan, bahwa mereka mendukung dan membenarkan tekad mereka, serta siap menjalankan perintah Allah dan bersedia ambil bagian dalam perjuangan melawan Imam Ali r.a. dan pendukungnya. Surat itu diakhiri dengan kata-kata: “Kami sudah bersepakat untuk segera berangkat guna bergabung dengan kalian.”

Menurut rencana, mereka hendak berangkat pada malam Kamis. Sebelum berangkat mereka berkumpul sekali lagi di rumah Hurqush bin Zuhair. Setelah mengadakan pembicaraan sejenak, akhirnya mereka sepakat mengundurkan waktu keberangkatan menjadi malam Jum’at.

Kesepakatan itu berubah lagi berdasar­kan saran Hurqush: “Malam Jum’at sebaiknya kalian tinggal di sini saja dulu untuk banyak-banyak beribadah kepada Allah, dan pergunakanlah sebagai kesempatan untuk meninggalkan wasiyat-­wasiyat. Malam Sabtu barulah kalian berangkat, seorang-seorang atau dua-dua, agar jangan sampai menyolok mata orang banyak.”

Disadur dari buku :

Sejarah Hidup Imam Ali bin Abi Thalib r.a.
Oleh H.M.H. Al Hamid Al Husaini
Penerbit: Lembaga Penyelidikan Islam

https://tausyah.wordpress.com

Masjid NabawiPerang Shiffin

Selesai menumpas pemberontakan Thalhah dalam perang “Jamal” di Bashrah, Imam Ali r.a. tidak berniat pulang ke Madi­nah. Ia hendak memanfaatkan ketinggian mental pasukannya yang baru menang perang guna menghadapi pasukan Muawiyah (Syam) yang sudah mulai memusatkan kekuatan di Shiffin, yang letaknya tak seberapa jauh dari Kufah.

Kufah pada waktu itu berada di bawah seorang penguasa daerah yang dahulu diangkat oleh Khalifah Utsman bin Affan r.a., yaitu Abu Musa Al-Asy’ariy. Untuk mengerahkan dukungan dari penduduk Kufah, diperlukan usaha-usaha meyakinkan lebih dahu­lu. Sebab, bagaimana pun juga kota itu tak mungkin dapat dijadi­kan tempat pemusatan pasukan Imam Ali r.a., selama penduduk­nya belum benar-benar meyakini benarnya perjuangan menum­pas kaum pemberontak yang digerakkan dari Syam.

Sikap Kufah

Setibanya dekat perbatasan Kufah, Imam Ali r.a. mengutus Ammar bin Yasir dan Muhammad bin Abu Bakar menemui Abu Musa Al-Asy’ariy, penguasa daerah Kufah. Perutusan itu bertugas mengajak penduduk berjuang bersama Imam Ali r.a. dan pasukan­nya dalam menumpas pemberontakan Muawiyah.

Sore harinya, setelah mengadakan pembicaraan dengan per­utusan Imam Ali r.a., Abu Musa dihujani pertanyaan oleh sejumlah penduduk yang masih bingung. Mereka bertanya-tanya tentang si­kap apa yang harus diambil. Mendukung perjuangan Imam Ali r.a. atau tidak.

Jawaban yang diberikan Abu Musa atas pertanyaan sejum­lah penduduk itu secara kebetulan didengar oleh perutusan Imam Ali r.a. Perutusan Imam Ali r.a. menegor Abu Musa karena jawab­annya yang tidak jelas kepada rakyat. Abu Musa tidak menyerah begitu saja atas tegoran perutusan Imam Ali r.a., sehingga terjadi perdebatan. Abu Musa dalam membela pendiriannya mengata­kan:

“Hai saudara-saudara, kalian adalah para sahabat Rasul Al­lah s.a.w. yang sering menemani beliau dalam berbagai kejadian. Kalian tentu lebih tahu kehendak Allah dan Rasul-Nya dibanding dengan orang-orang lain yang tidak pernah menemani Rasul Al­lah s.a.w. Aku wajib menyampaikan sabda Rasul Allah, bahwa fit­nah akan datang, orang yang tidur lebih baik dari yang melek, orang yang duduk lebih baik dari pada yang berdiri, orang yang berdiri lebih baik daripada yang berjalan, dan orang yang berjalan lebih baik daripada yang menunggang kuda! Oleh karena itu ma­sukkanlah pedang-pedang kalian ke dalam sarung, dan tunggu dulu sampai fitnah itu meletus dengan jelas!”

Karena kata-kata Abu Musa itu juga didengar oleh sejumlah penduduk Kufah, maka Ammar bin Yasir segera mengatakan: “Hai saudara-saudara. Abu Musa melarang kalian mencampuri urusan dua fihak yang sedang bertikai. Demi Allah, apa yang dika­takan olehnya itu sama sekali tidak bisa dibenarkan. Allah tidak akan ridho terhadap hamba-Nya yang mengikuti perkataan Abu Musa! Allah telah berfirman, (artinya): “Jika ada dua golongan dari kaum muslimin berperang, maka damaikanlah dua-duanya. Jika salah satu dari dua golongan itu berbuat dzalim terhadap yang lain, maka perangilah fihak yang berbuat dzalim itu sampai mereka kembali patuh kepada perintah Allah. Bila fihak itu sudah mema­tuhi perintah Allah, maka damaikanlah dua-duanya dengan adil, dan hendaknya kalian benar-benar berlaku adil. Sesungguhnya­lah bahwa Allah menyukai orang-orang yang berlaku adil.” (S. Al-Hujurat:9).

Seterusnya Ammar bin Yasir berkata pula: “Juga Allah telah berfirman, (artinya) “Dan perangilah mereka agar jangan sampai terjadi suatu bencana, dan supaya agama itu semata-mata hanya untuk Allah. Jika mereka telah berhenti, maka sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang mereka perbuat.” (S. Al Anfal:39).

“Jelaslah,” kata Ammar bin Yasir, “bahwa Allah tidak akan meridhoi para hamba-Nya tetap duduk berpangku tangan di ru­mah, memencilkan diri dan membiarkan kaum muslimin saling menumpahkan darah. Oleh karena itu hai saudara-saudara, keluar­lah mendatangi orang-orang yang sedang bertikai, dan dengarkan sendiri apa yang menjadi alasan mereka masing-masing. Lalu per­timbangkanlah baik-baik fihak mana yang harus dibela dan diikuti. Jika mereka sudah berdamai, kalian dapat pulang ke rumah ma­sing-masing membawa pahala, sebab kalian sudah memenuhi kewa­jiban Allah. Tetapi jika ada fihak yang berlaku dzalim terhadap fihak lain, perangilah fihak yang dzalim itu, sampai mereka patuh kembali kepada Allah. Itulah yang diperintahkan Allah kepada ka­lian.”

Setelah perdebatan itu selesai Ammar bin Yasir dan Muham­mad bin Abu Bakar pergi menghadap Imam Ali r.a. untuk me­nyampaikan laporan tentang apa yang telah dikatakan Abu Musa. Seterimanya laporan itu Imam Ali r.a. menulis surat panjang lebar ditujukan kepada penduduk Kufah. Surat itu akan dibawa lang­sung oleh 4 orang utusan yang terdiri dari Al Hasan bin Ali r.a., Abdullah bin Abbas, Ammar bin Yasir dan Qies bin Sa’ad. Surat itu antara lain berbunyi:

“…kuberitahukan kepada kalian tentang persoalan Uts­man bin Affan, agar orang yang mendengar dapat berfikir seperti orang menyaksikan sendiri terjadinya peristiwa itu. Aku adalah seorang muhajir yang paling jarang menyalahkan Utsman dan bah­kan paling banyak memberi nasehat kepadanya.”

Selanjutnya dalam surat tersebut dijelaskan tentang proses terjadinya pemberontakan terhadap Khalifah Utsman, proses pem­bai’atan dirinya sebagai Khalifah, dan kegiatan-kegiatan yang di­lakukan Thalhah dan Zubair yang pergi ke Makkah lalu mengajak Ummul Mukminin Sitti Aisyah r.a. untuk dijadikan alat pengobar fitnah dan bencana.

Empat orang utusan Imam Ali r.a. itu kemudian menemui Abu Musa Al Asy’ariy. Kepadanya surat Imam Ali r.a. itu diserahkan dan Abu Musa sendiri diminta membai’at Imam Ali r.a. dan mem­berikan dukungan. Setelah membaca surat Imam Ali r.a. dan me­ngadakan pertukaran fikiran beberapa saat lamanya, akhirnya Abu Musa menyatakan bai’atnya kepada Imam Ali r.a. di depan para utusan. Setelah itu ia berseru kepada penduduk Kufah supaya memberikan dukungan dan berjuang bersama-sama Imam Ali r.a. Untuk lebih memantapkan keyakinan penduduk Kufah, Al Hasan r.a., Ammar bin Yasir dan Qeis bin Sa’ad berbicara sesudah Abu Musa.

Sebagai sambutan atas pembicaraan-pembicaraan di atas, maka Syarih bin Hani, atas nama kaum muslimin kota Kufah me­nyatakan: “Kami sebenarnya sudah berniat hendak berangkat ke Madinah untuk dapat mengetahui bagaimana sebenarnya persoalan terbunuhnya Utsman bin Affan. Tetapi sekarang kita telah mene­rima berita langsung dari Imam Ali, dan kami percaya berita itu benar. Oleh karena itu, hai saudara-saudara, janganlah kalian menolak seruan dan ajakannya. Demi Allah, seandainya ia tidak minta dukungan pun kami akan membela dan taat kepadanya.”

Sikap penduduk Kufah yang pada mulanya ragu-ragu men­dukung perjuangan Imam Ali r.a., dan baru bersedia setelah me­nerima penjelasan yang meyakinkan, hal itu mudah dimengerti, mengingat:

1. Mereka berada di daerah yang jauh dari pusat pemerin­tahan, Madinah. Dengan begitu ada kemungkinan beri­ta-berita yang mereka dengar tentang tragedi yang menimpa Khalifah Utsman r.a. agak bersimpang siur.

2. Mereka tidak menyaksikan sendiri proses pembai’atan kaum muslimin Madinah kepada Imam Ali r.a. Dengan demikian mereka mudah dikacaukan fikirannya oleh berita-berita yang sengaja dilancarkan dari Damsyik.

3. Mereka adalah penduduk satu daerah kaya dan subur. Mempunyai syarat-syarat penghidupan yang jauh le­bih baik dibanding dengan kaum Muslimin yang bertempat tinggal di Madinah, Makkah atau daerah-daerah Hi­jaz lainnya. Mau tidak mau, kebiasaan hidup senang dan berkecukupan bisa mengakibatkan orang lamban dalam memenuhi panggilan perjuangan.

Dalam rangka persiapan menghadapi perlawanan pasukan Syam di Shiffin, Imam Ali r.a. berseru kepada penduduk Kufah agar siap-siaga untuk tiap waktu berangkat ke Shiffin. Dalam salah satu khutbahnya Imam Ali r.a. antara lain menyerukan: “Saudara-­saudara, siap-siaplah untuk berangkat melanjutkan perjuangan me­lawan musuh, sebagai ibadah mendekatkan diri kepada Allah s.w.t. dan sebagai wasilah untuk dapat diterima di sisi-Nya. Siapkanlah kekuatan sebatas kesanggupan kalian seperti kuda-kuda perang dan lain sebagainya. Kemudian bertawakkallah kalian kepada Allah dan serahkan segera sesuatu kepada-Nya.”

Mesir Sebagai Imbalan

Sehabis pasukan “Jamal” terkalahkan, kini komplotan anti Imam Ali r.a. memusat ke Syam. Gembong Bani Umayyah, Mua­wiyah bin Abi Sufyan, lebih meningkatkan kegiatannya dalam usa­ha mencari dukungan dan mengerahkan orang-orang dalam rangka rencana perlawanan bersenjata yang hendak dilancarkan terhadap Imam Ali r.a. di Kufah. Tidak sedikit dana dan tenaga yang dike­luarkan untuk kepentingan itu.

Semangat mengejar kekayaan dan kedudukan yang sedang menguasai fikiran orang banyak, oleh Muawiyah dimanfaatkan sebaik-baiknya. Tanpa menghitung-hitung berapa banyaknya har­ta Baitul Mal yang harus dikeluarkan, dan tanpa memandang ca­kap atau tidaknya seseorang yang akan diangkat sebagai pejabat bawahan, Muawiyah menggunakan terus kekuasaannya sebagai penguasa daerah Syam, untuk menghimpun pengikut sebanyak mungkin. Ia sangat menginginkan rencana perlawanannya terhadap Imam Ali r.a. segera berhasil.

Kepada Amr bin Al-Ash, Muawiyah menulis surat mengajak bekerjasama merebut kekuasaan dari tangan Imam Ali r.a. Setelah Amr bin Al Ash membaca surat Muawiyah itu, ia tampak berfikir-­fikir menghitung untung rugi. Ia memanggil dua orang anak le­lakinya yang bernama Abdullah dan Muhammad untuk diminta pendapatnya.

Terhadap persoalan yang diajukan ayahnya, Abdullah menya­rankan: “Ayah, Rasul Allah s.a.w. wafat dalam keadaan ridho terhadap ayah. Begitu juga Abu Bakar dan Umar, dua-duanya wafat dalam keadaan ridho terhadap ayah. Jika hanya karena ingin mendapat sedikit keutungan duniawi lalu ayah hendak merusak agama ayah sendiri, kelak ayah akan berbaring bersama Muawiyah dalam neraka!”

Dengan hati kecut, Amr menoleh kepada Muhammad sambil bertanya: “Bagaimana pendapatmu?”

“Ayah jangan sampai ketinggalan dalam urusan itu. Jadilah kepala lebih dulu sebelum menjadi ekor!” jawab Muhammad.

Amr tampak belum puas mendengar pendapat dua orang anaknya yang saling bertentangan itu. Ia masih bingung. Keesok­an harinya ia memanggil maulanya yang bernama Wardan, dan diperintahkan supaya mempersiapkan bekal perjalanan dan me­muatkannya ke punggung unta. Tetapi baru saja selesai disiapkan, Wardan diperintahkan menurunkannya kembali. Ini terjadi ber­ulang kali. Akhirnya Wardan memberanikan diri untuk berbicara: “Hai Abu Abdullah, anda tampak bingung sekali! Jika anda mem­bolehkan, aku bisa menebak apa yang sedang anda fikirkan.”

“Baik, cobalah!” sahut Amr.

“Dunia dan akhirat sekarang dua-duanya sedang dihadapkan di depan hati anda,” kata Wardan. “Tetapi rupanya hati anda me­nyatakan: Ali mendapat akhirat tanpa dunia, sedangkan Muawi­yah mendapat dunia tanpa akhirat. Pendapat yang tepat ialah se­baiknya anda tinggal saja di rumah. Jika para pembela agama yang menang, anda akan hidup di bawah naungan mereka. Tetapi jika para pembela dunia yang menang, anda akan tetap dibutuhkan!”

Akan tetapi karena janji-janji yang telah diberikan Muawiyah untuk mengangkatnya kembali menjadi Gubernur Mesir, apabila kemenangan dapat diraih dalam perjuangan melawan Imam Ali r.a. sangat menggiurkan hati Amr bin Al Ash, maka akhirnya ia ber­tekad memenuhi ajakan Muawiyah dan orang-orang Bani Umay­yah lainnya.

Amr bin Al Ash sebenarnya lebih cerdik, lebih tangkas serta lebih cermat berfikir dibanding dengan Muawiyah. Ia bekas panglima di masa Khalifah Umar Ibnul Khattab r.a. Ia juga bekas penguasa daerah Mesir dan ia sendirilah yang memimpin perlawan­an pasukan muslimin mengusir kekuasaan Byzantium dari negeri itu. Ia seorang ahli strategi dan taktik menurut ukuran zamannya. Dengan sendirinya ia seorang politikus dan diplomat. Jadi tidaklah aneh, kalau bagi Imam Ali r.a., Amr bin Al Ash, sebenarnya lebih berbahaya dibanding dengan Muawiyah.

Menjadi pertanyaan: apakah ada faktor lain yang mendorong Amr bin Al Ash mau bekerjasama dengan Muawiyah?

Dilihat dari kecenderungannya sejak dulu, ia memang dekat sekali hubungannya dengan para penguasa. Bani Umayyah, teruta­ma pada masa kekhalifahan Utsman bin Affan r.a. Benar, bahwa ia digeser dari kedudukannya sebagai penguasa Mesir oleh Khalifah Utsman r.a. dan digantikan dengan Abdullah bin Abi Sarah, tetapi Khalifah Utsman r.a. masih bertindak bijaksana terha­dap Amr. Ia diberi kedudukan sebagai salah seorang penasehat dan memperoleh fasilitas-fasilitas tertentu.

Ketika itu memang ia agak jengkel terhadap Khalifah, tetapi ia tahu benar, bahwa tetap dekat dengan para penguasa Bani Umayyah akan lebih menguntungkan daripada menjauhi mereka. Harapan untuk bisa menjadi orang penting masih bisa digantung­kan kepada orang-orang Bani Umayyah.

Itulah pamrih keduniaan yang menyelinap di dalam benak Amr bin Al Ash, dan yang mendorongnya giat membantu Muawi­yah melawan Imam Ali r.a. Tetapi selain itu, masih ada hal lagi yang membuat Amr dekat kepada Muawiyah khususnya dan to­koh-tokoh Bani Umayyah pada umumnya. Yaitu adanya hubung­an kekeluargaan yang misterius. Siapa sebenarnya Amr bin Al Ash itu?

Tentang siapa sebenarnya Amr bin Al Ash, Zamakhsya­riy dalam bukunya Rabi’ul Abrar memberikan keterangan ter­perinci sebagai berikut:

Ibu Amr yang bernama Nabighah[1] dahulunya adalah seorang hamba sahaya milik seorang dari qabilah Anazah. Dalam suatu peperangan perempuan itu dirampas, dan tetap budak, Kemudian dibeli oleh Abdullah bin Jud’an di Makkah. Karena ia seorang pe­rempuan yang diragukan kejujurannya, akhirnya dimerdekakan oleh tuannya. Setelah merdeka ia mempunyai hubungan “gelap” dengan Abu Lahab bin Abdul Mutthalib, Umayyah bin Khalaf Al Jamhiy, Hisyam bin Mughirah Al Makhzumiy, Abu Sufyan bin Harb dan Ash bin Wail. Lama-lama ia hamil dan melahirkan Amr.

Lelaki-lelaki yang mengadakan hubungan dengan Nabighah itu semuanya mengaku, bahwa Amr adalah anaknya. Tetapi Nabighah sendiri memutuskan, bahwa Amr adalah anak hasil hubungan­nya dengan Ash bin Wail. Nabighah mengambil keputusan seperti itu, karena Ash bin Wail merupakan lelaki yang paling banyak memberi nafkah kepadanya untuk penghidupan sehari-hari. Walau­pun begitu, semua lelaki itu mengatakan bahwa Amr sangat mirip dengan Abu Sufyan bin Harb. Abu Sufyan sendiri dalam salah satu bait dari syair-syairnya mengatakan:

“Tak diragukan, ayahmu ialah Abu Sufyan

banyak tanda yang jelas tampak pada dirimu!”

Itulah keterangan yang diberikan oleh Zamakhsyariy. Akan tetapi Abu Umar dalam bukunya Al Isti’ab mengemukakan versi yang sama dengan sedikit perbedaan variasi. Abu Umar mengata­kan, bahwa pada satu peristiwa ada seorang dijanjikan hadiah sebesar 1.000 dirham jika ia berani menanyakan kepada Amr bin Al Ash di saat ia sedang berada di atas mimbar, tentang siapa se­benarnya ibu Amr itu.

Untuk memperoleh hadiah sebesar itu, orang yang bersang­kutan memberanikan diri bertanya kepada Amr. Dari atas mimbar pertanyaan itu dijawab oleh Amr: “Ibuku ialah Salma binti Har­malah, mempunyai nama julukan Nabighah, berasal dari Bani Ana­zah dan dari seorang Bani Jillan. Dalam satu peperangan ia diram­pas, dijadikan budak, dibawa pergi oleh orang-orang Arab, lantas dijual di pasar ‘Ukadz (di Makkah). Yang membeli Fakih bin Al Mughirah. Kemudian oleh Fakih dijual lagi kepada Abdullah bin Jud’an. Selanjutnya ia jatuh ke tangan Ash bin Wail. Lalu mela­hirkan aku.”

Setelah menjelaskan seperti itu, kepada orang yang bertanya Amr mengatakan: “Jika engkau dijanjikan sesuatu, ambillah!” Tampaknya Amr sudah tahu tentang maksud dan tujuan orang yang bertanya.

Abu Ubaidh Muamamar bin Al Mutsanna dalam bukunya Al Ansab mengemukakan, bahwa pada waktu Amr lahir terjadi per­tengkaran antara Ash bin Wail dengan Abu Sufyan bin Harb. Akhirnya ada orang yang memberi nasehat biarlah ibunya saja yang memutuskan. Akhirnya ibu Amr mengatakan: “Dia dari Ash bin Wail!”

Setelah ada penegasan dari ibunya Abu Sufyan berkata: “Tidak diragukan lagi, aku inilah yang menempatkan dia dalam rahim ibunya, tetapi ibunya menolak selain Ash bin Wail.”

Pernah ada yang berkata kepada Nabighah, bahwa silsilah Abu Sufyan sebenarnya lebih terhormat. Tetapi perkataan orang itu ditanggapi Nabighah dengan penjelasan: “Ash bin Wail banyak memberi nafkah kepadaku, sedang Abi Sufyan, kikir!”

Dari beberapa catatan riwayat di atas dapat diambil kesimpul­an pokok sebagai berikut: Menurut pengakuan Abu Sufyan bin Harb, Amr adalah anak lelakinya sendiri hasil hubungan “ge­lap” dengan Nabighah. Menurut Nabighah, Amr adalah anak le­laki Ash bin Wail, dengan keterangan, ia mengambil keputusan itu karena Ash bin Wail banyak memberi nafkah. Berdasarkan nada pengakuan Nabighah, seandainya Abu Sufyan, tidak kikir tentu akan disebut sebagai ayah Amr yang sebenarnya. Memang Amr sendiri tidak pernah menyebut Abu Sufyan sebagai ayah­nya. Yang disebut sebagai ayahnya ialah Ash bin Wail. Ini sesuai dengan keputusan yang diambil oleh ibunya pada waktu Amr lahir.

Jadi kalau Abu Sufyan sendiri ngotot dalam pengakuan bah­wa Amr itu anak lelakinya sendiri, bukankah berarti ia mengata­kan bahwa Amr itu saudara seayah dengan Muawiyah? Kalau memang benar demikian, apakah masih perlu diherankan bila Amr sangat dekat hubungannya dengan orang-orang Bani Umay­yah, terutama Muawiyah bin Abu Sufyan?

bersambung..

Disadur dari buku :

Sejarah Hidup Imam Ali bin Abi Thalib r.a.
Oleh H.M.H. Al Hamid Al Husaini
Penerbit: Lembaga Penyelidikan Islam

https://tausyah.wordpress.com

night kaligrafiPerang Unta

Sekalipun sebenarnya peperangan sudah tak dapat dihindar­kan lagi, namun Imam Ali r.a. masih tetap berusaha untuk dapat mencegah berkobarnya peperangan sesama muslimin. Ia teringat kenangan lama yang indah, ketika bersama Thalhah dan Zubair berjuang bahu membahu menegakkan Islam di bawah pimpinan Rasul Allah s.a.w.

Imam Ali r.a. berusaha bertemu muka dengan dua tokoh bekas sahabatnya, yang saat itu telah mengangkat senjata untuk menentangnya. Pada pertemuan muka dengan Thalhah, Imam Ali r.a. berkata: “Sahabatku Thalhah! Engkau menyimpan isteri­mu sendiri di rumahmu, tetapi engkau datang ke tempat ini mem­bawa isteri Rasul Allah s.a.w. Dengan mempergunakan diakah engkau berperang?”

Pertanyaan Imam Ali r.a. ini nampaknya sangat mengenai hati Thalhah. Ia tak bisa menjawabnya sama sekali dan hanya da­pat menundukkan kepala untuk kemudian pelan-pelan menarik diri dari barisan yang dipimpinnya.

Ketika Marwan bin Al-Hakam melihat Thalhah memisahkan diri dari pasukan dan meninggalkan medan pertempuran (ia ter­gabung dalam pasukan Thalhah), segera mengikuti sambil berka­ta: “Demi Allah, aku tak akan melepaskan tekadku untuk menebus darah Utsman. Aku tidak akan membiarkan dia (Thalhah) lolos. Akan kubunuh dia, karena dia juga turut membunuh Utsman!”

Beberapa saat kemudian ia membidikkan anak panahnya ke arah Thalhah. Ketika anak panah itu lepas dari busurnya, lambung Thalhah menjadi sasaran. Gugurlah salah seorang sahabat Rasul Allah s.a.w. tertembus panah yang dilepaskan oleh anggota pa­sukannya sendiri.

Sementara itu ketika Imam Ali r.a. berhasil bertemu muka dengan Zubair, ia bertanya: “Hai Abdullah, apakah yang mendo­rongmu sampai datang ke tempat ini?”

“Untuk menuntut balas atas kematian Utsman,” jawab Zu­bair dengan terus terang.

“Engkau menuntut balas atas kematian Utsman?” tanya Imam Ali r.a. menanggapi jawaban Zubair tadi. “Allah mengutuk orang yang membunuhnya! Hai Zubair, engkau kuingatkan. Ingat­kah dahulu ketika engkau berjalan bersama Rasul Allah s.a.w. ­waktu itu beliau bertopang pada tanganmu, melewati aku, ke­mudian beliau tersenyum padaku, lalu menoleh kepadamu sambil berkata: “Hai Zubair, engkau kelak akan memerangi Ali secara dzalim!”

“Oh, ya,” jawab Zubair, setelah beberapa saat mengingat-­ingat.

“Mengapa engkau sekarang memerangi aku?” tanya Imam Ali r.a. pula.

“Demi Allah,” sahut Zubair, “aku lupa. Seandainya aku ingat aku tidak akan keluar untuk memerangimu.”

Selesai mengucapkan kata-kata itu, Zubair cepat-cepat ke­luar meninggalkan pasukan dengan air mata membasahi pipi. Tetapi malang bagi Zubair. Salah seorang anggota pasukan Imam Ali yang bernama Ammar bin Jarmuz ketika melihat Zubair ter­pisah dari pasukannya, segera diikuti dan kemudian dibunuh.

Perang Unta, atau Waq’atul Jamal, antara sesama kaum mus­limin, sudah tak dapat dihindarkan lagi. Dalam tulisannya tentang Waq’atul Jamal, Al-Madainiy dan Al-Waqidiy antara lain mengata­kan, bahwa dua pasukan saling berhadapan, pasukan Thalhah dan penduduk Bashrah, terus menerus dibakar semangatnya dengan syair-syair agitasi. Mereka dikerahkan untuk mengarungi pertem­puran sengit melawan Imam Ali r.a. dan pasukannya.

Di tengah-tengah pertempuran sedang berlangsung sengit, muncul Auf bin Qhatan Adh Dhabiy. Ia berteriak: “Tidak ada fihak yang harus dituntut atas kematian Utsman selain Ali bin Abi Thalib dan anak-anaknya!” Sejalan dengan itu ia menarik tali kekang unta yang dikendarai Sitti Aisyah r.a. sambil bersyair:

Hai ibu…, hai ibu, tanah air telah lepas dariku

Aku tak ingin kuburan dan tak ingin kain kafan

Disinilah medan laga bagi Auf bin Qhatan

Jika Ali lepas dari tangan, matilah aku

Atau jika dua anaknya, Hasan dan Husein, lepas…

Baiklah aku mati merintih bagaikan pahlawan!

Dengan pedang teracung di tangan ia maju menerjang. Belum sempat pedangnya menjatuhkan korban di fihak lawan, ia sen­diri sudah tersungkur terbelah setengah badan dan menggelepar bergumul dengan pasir. Tali kekang yang lepas dari tangannya, segera diambil oleh Abdullah bin Abza. Ketika itu barang siapa yang benar-benar berani bertempur sampai mati, ia pasti maju mendekati unta Sitti Aisyah r.a. dan memegang tali kekangnya. Sambil mendendangkan syair Abdullah bin Abza tampil meng­hunus pedang dan mulai menyerang pasukan Imam Ali r.a. Dengan syair juga ia menantang Imam Ali r.a. :

Mereka kuserang, tetapi tak kulihat ayah si Hasan

Aduhai….itu merupakan kesedihan di atas kesedihan

Mendengar tantangan Abdullah bin Abza, Imam Ali r.a. segera keluar dari barisan untuk melakukan serangan dengan tom­bak. Beberapa saat perang tanding berlangsung. Setelah beberapa kali ayunan pedang Abdullah bin Abza gagal menyentuh tubuh Imam Ali r.a., tiba-tiba ujung tombak yang runcing mengkilat sudah menancap di tengah-tengah dada Abdullah bin Abza. Ia jatuh tersungkur. Beberapa detik sebelum Abdullah menarik nafas terakhir, Imam Ali r.a. menghampirinya sambil bertanya: “Sudah­kah engkau melihat ayah si Hasan? Bagaimana engkau lihat dia?” Habis mengucapkan pertanyaan itu Imam Ali r.a. kembali ke pasukan.

Sementara pasukan kedua belah fihak sedang bergulat meng­adu senjata, banyak kepala dan tangan berjatuhan terpisah dari batang tubuhnya, Sitti Aisyah r.a. turun dari unta. Ia mengambil segenggam kerikil, lalu dicampakkan kepada pengikut-pengikut Imam Ali r.a. seraya berteriak: “Hancurlah muka kalian!” Hal semacam itu dilakukan Sitti Aisyah r.a., meniru perbuatan Rasul Allah s.a.w. dalam perang Hunain.[1]

Melihat peperangan semakin dahsyat, bersama regu pasukan yang mengenakan serban hijau, terdiri dari kaum Muhajirin dan Anshar, Imam Ali r.a. maju memimpin serangan. Ia diapit oleh tiga orang puteranya: Al Hasan, Al Husein dan Muhammad Al Ha­nafiyah. Sebelum tampil sendiri memimpin serangan, Imam Ali r.a. bermaksud hendak menguji ketangguhan puteranya yang ber­nama Muhammad Al Hanafiyah. Sambil menyerahkan panji pasu­kan, Imam Ali r.a. berkata kepada puteranya itu: “Majulah dengan panji ini dan pancangkanlah di depan mata unta itu! Jangan ber­henti di tempat lain!”

Baru saja Muhammad mengayunkan kaki beberapa langkah, ia sudah dihujani anak-panah yang beterbangan dari arah lawan. Melihat itu, ia memerintahkan regunya supaya berhenti sejenak: “Tunggu dulu, sampai mereka kehabisan anak-panah!”

Mengetahui hal itu, Imam Ali r.a. segera menyuruh orang lain guna mendekati puteranya. Kepada orang yang disuruhnya itu, dipesan agar mendorong Muhammad Al Hanafiyah maju terus melancarkan serangan terbuka dan besar-besaran. Karena gerak Muhammad lamban, Imam Ali menghampirinya sendiri dari be­lakang. Sambil menepukkan tangan kiri ke bahu puteranya, Ia membentak: “Hayo maju!”

Meskipun sudah dibentak ayahnya agar maju terus, namun Muhammad Al Hanafiyah masih juga lamban bergerak. Sebagai seorang ayah, Imam Ali r.a. merasa kasihan. Kemudian panji yang di tangan puteranya diambil kembali dengan tangan kiri, sedang pedang yang terkenal dengan nama “Dzul Fiqar” terhunus di tangan kanannya. Tanpa membuang-buang waktu Imam Ali r.a. memimpin serbuan ke tengah pasukan “Jamal”. Setelah melaku­kan serangan beberapa saat lamanya, menangkis dan memukul musuh, Imam Ali r.a. kembali ke induk pasukan. Sahabat-sahabat dan putera-puteranya berkerumun.

“Ya Amirul Mukminin,” desak Al Asytar, “cukuplah kami saja yang melaksanakan tugas itu!”

Desakan Al Asytar itu tak ditanggapi oleh Imam Ali r.a. Me­noleh saja pun tidak, darahnya masih mendidih. Sedemikian me­luapnya sampai semua orang yang ada di sekitarnya ketakutan. Pandangan matanya yang berapi-api tetap mengarah ke pasukan musuh. Tak lama kemudian ia menyerahkan kembali panji pa­sukan kepada puteranya, Muhammad A1 Hanafiyah.

Segera ia maju lagi menyerang musuh untuk kedua kalinya. Dengan gagah berani Imam Ali r.a. menerjang pasukan lawan sam­bil memainkan pedang dengan gesit dan cekatan. Anggota-ang­gota pasukan Thalhah yang menjadi sasaran serangannya lari ter­birit-birit menyelamatkan diri. Banyak yang mati terbunuh di ujung pedangnya. Tanah menjadi merah dibasahi darah. Selesai melancarkan serangan kedua, Imam Ali r.a. kembali lagi ke induk pasukan.

“Kalau anda sampai gugur,” puji sahabatnya, setelah Imam Ali r.a. berada di tengah barisannya, “barangkali akan lenyap agama Islam. Berhentilah, cukup kami saja yang menyerang dan bertempur!”

“Demi Allah,” jawab Imam Ali r.a. atas pujian sahabat-­sahabatnya itu. “Aku sangat tidak setuju dengan fikiran kalian.

Yang kuinginkan bukan lain hanyalah keridhoan Allah dan kam­pung akhirat!

Selanjutnya kepada Muhammad Al Hanafiyah ia berkata: “Seperti akulah seharusnya engkau berbuat!”

Muhammad Al Hanfiyah tidak menjawab sepatah kata pun ucapan ayahnya itu. Dari orang-orang yang berkerumun di sekitar Imam Ali r.a. terdengar sura bergumam: “Siapa orangnya yang sanggup berbuat seperti Amirul Mukminin!”

Ketika sedang sengit-sengitnya pertempuran, unta yang di kendarai Sitti Aisyah r.a. terputar-putar sedemikian rupa seperti penggilingan gandum. Pasukan kedua belah fihak berjubel dan saling mendesak beradu senjata di sekitarnya. Unta sampai me­ringkik-ringkik keras sekali karena tali kekangnya ditarik ke sana ke mari.

Pasukan Imam Ali r.a. makin maju menerjang untuk lebih mendekat kepada unta. Gerakan pasukan Imam Ali r.a. terham­bat tumpukan manusia yang berada di sekelilingnya. Setiap ang­gota pasukan yang mati, penggantinya datang berlipat ganda.

Melihat situasi itu Imam Ali r.a. berteriak memberi perintah: “Celakalah kalian! Tembak saja unta itu dengan panah! Bantailah unta celaka itu!”

Unta yang dikendarai Sitti Aisyah r.a. itu segera dihujani anak-panah. Tetapi tak sebuah pun anak-panah yang menembus, karena di sekujur badannya dipasang tijfaf. Semua anak panah menancap pada tijfaf sampai unta itu kelihatan seperti seekor lan­dak raksasa.

Terdengar lagi suara orang berteriak: “Hai penuntut balas darah Utsman!” Yang berteriak ialah Al Azd dan Dhabbah. Kalimat itu diulang-ulang dan akhirnya menjadi semboyan yang diteriakkan pasukan Thalhah.

Semboyan pasukan Thalhah itu dijawab Imam Ali r.a. dengan semboyan: “Hai Muhammad!” Nama putera Imam Ali r.a. yang memegang panji pasukan. Pasukan Imam Ali r.a. segera meng­ikuti semboyan yang diserukan Imam Ali r.a.

Pasukan kedua belah fihak sekarang makin tambah bergumul mengadu senjata.

Peristiwa tersebut terjadi pada hari kedua perang Unta. Semboyan yang diserukan Imam Ali r.a. ternyata besar sekali pengaruhnya di kalangan pasukannya, sehingga mereka berhasil menggoyahkan sendi-sendi kekuatan lawan.

Pasukan Thalhah makin payah menghadapi tekanan-tekanan berat yang terus-menerus dilancarkan pasukan Imam Ali r.a. Namun demikian mereka samasekali tidak berusaha melarikan diri atau meletakkan senjata. Pasukan yang makin lama makin mengecil itu kemudian bergerak memusat di sekitar unta yang ditunggangi Sitti Aisyah r.a. Mereka telah bertekad, pasukan Imam Ali r.a. baru akan berhasil merebut Sitti Aisyah r.a. sesudah me­lewati mayat-mayat mereka.

Perlawanan yang diberikan oleh pasukan Makkah dan Bash­rah itu sungguh dahsyat sekali. Nyawa, sudah tidak mereka peduli­kan. Dengan semangat berkobar-kobar penuh fanatisme mereka rela menghadapi maut. Demikian banyaknya korban sehingga di sekitar unta yang besar itu bergelimpangan tumpuk-menumpuk manusia yang luka dan mati. Padang pasir yang kering menjadi basah oleh darah dan bau anyir menyengat hidung.

Melihat keadaan yang mengerikan itu, Imam Ali r.a. meng­ambil suatu keputusan cepat untuk merobohkan unta tersebut. Pelaksanaan keputusan dipercayakan kepada Al Asytar dan Am­mar. Kepada kedua orang sahabatnya itu, Imam Ali r.a. memerin­tahkan: “Cepat bantai unta itu! Peperangan belum selesai, api­nya masih berkobar. Unta itulah yang dijadikan semacam kiblat oleh mereka!”

Dua orang yang diperintah itu segera maju bersama bebe­rapa orang lainnya dari Bani Murad. Seorang di antaranya ber­nama Umar bin Abdullah. Bersama Umar binAbdullah Al Muradiy mereka mendekati unta, lalu ponok dekat lehernya dipukul de­ngan pedang oleh Al Muradiy. Unta itu meronta-ronta, mering­kik keras-keras, dan akhirnya rebah.

Pendukung-pendukung Sitti Aisyah r.a. melihat gelagat itu cepat lari menjauhkan diri. Imam Ali r.a. berteriak memberi perin­tah: “Potong tali pengikat Haudaj!”

Setelah itu Imam Ali r.a. menyuruh Muhammad bin Abu Bakar Ash Shiddiq (saudara Sitti Aisyah r.a.): “Ambillah sau­dara perempuanmu!” Sitti Aisyah kemudian dibawa oleh Muham­mad bin Abu Bakar dan dimasukkan ke dalam sebuah rumah milik Abdullah bin Khalaf Al Khuza’iy.

Selanjutnya Imam Ali r.a. memerintahkan Abdullah bin Ab­bas supaya menemui Sitti Aisyah dan memintanya agar bersedia pulang ke Madinah. Mengenai hal ini Abdullah bin Abbas menceritakan pengalamannya sebagai berikut:

Aku datang menemui Sitti Aisyah. Aku tidak diberi sesuatu untuk duduk. Kuambil saja sebuah bantal yang dibawa olehnya selama perjalanan, lalu duduk di atasnya. Kepadaku ia berkata: “Hai Ibnu Abbas, engkau sudah menyalahi peraturan. Engkau berani duduk di atas bantalku dan dalam rumahku tanpa seizin aku?!”

“Ini bukan rumah bunda,” jawabku, “bukan rumah yang oleh Allah bunda diperintahkan supaya tetap tinggal di dalamnya. Jika ini rumah bunda, aku tidak berani duduk di atas bantal bunda tanpa seizin bunda!”

“Melalui aku,” kataku meneruskan, “Amirul Mukminin minta supaya bunda berangkat pulang ke Madinah.”

Tiba-tiba ia menyahut: “Mana ada Amirul Mukminin?”

“Dulu memang Abu Bakar,” jawabku dengan sabar dan hormat, “kemudian Umar lalu Utsman dan sekarang Ali!”

“Tidak, aku tidak mau!” sahut Sitti Aisyah.

“Bunda sekarang bukan lagi orang yang dapat memerintah atau melarang,” kataku terpaksa menegaskan, “Tidak bisa meng­ambil dan tidak bisa memberi.”

Sitti Aisyah kemudian menangis, sampai suaranya kedengar­an dari luar rumah. Lalu ia berkata: “Aku akan segera pulang ke tempat kediamanku, insyaa Allah Ta’aalaa. Demi Allah, tidak ada suatu negeri yang kubenci seperti negeri di mana kalian berada sekarang ini.”

“Mengapa begitu?” tanyaku. “Demi Allah, kami tetap me­mandang bunda sebagai Ummul Mukminin. Kami tetap meman­dang ayahnya bunda, Abu Bakar, sebagai seorang shiddiq.”

Sehabis pertemuan dengan Ummul mukminin aku segera menghadap Amirul Mukminin. Kepadanya kulaporkan semua yang kukatakan kepada Sitti Aisyah dan apa yang dikatakannya kepadaku. Mendengar laporanku itu, Amirul Mukminin merasa le­ga. Menanggapi laporanku ia berucap: “Waktu aku menyuruhmu sudah kuduga ia akan memberi jawaban jawaban seperti itu.”

Sudah lazim terjadi, tiap kelompok masyarakat atau pasukan, ssusai menghadapi peperangan muncul anasir-anasir ekstrim. Demikian juga pasukan Imam Ali r.a. Ada yang menuntut agar semua orang yang terlibat dalam pasukan lawan yang sudah kalah itu dijadikan tawanan, diperlakukan sebagai budak dan dibagi-­bagikan.

Menjawab tuntutan ekstrim itu dengan tegas Imam Ali r.a. mengatakan: “Tidak!”

“Mengapa anda melarang kami?” tanya fihak ekstrim itu, “untuk menjadikan mereka sebagai hamba-hamba sahaya, pada­hal anda dalam peperangan menghalalkan darah mereka?!”

“Bagaimana kalian boleh berbuat seperti itu,” ujar Imam Ali r.a. menjelaskan. “Mereka itu dalam keadaan tidak berdaya, lagi pula mereka itu berada di dalam daerah hijrah dan daerah Islam. Bukankah mereka itu juga kaum muslimin seperti kalian? Adapun tentang apa saja yang dipergunakan pasukan musuh untuk melawan kalian, boleh kalian rampas sebagai barang ghanimah. Tetapi semua yang berada di dalam rumah penduduk Bahsrah, apalagi yang pintunya tertutup rapat, semua itu adalah milik mereka sendiri. Kalian tidak mempunyai hak apa pun atas kesemuanya itu!”

Anasir-anasir ekstrim tidak puas dengan penjelasan itu. Me­reka tetap bersitegang leher dalam mendesakkan tuntutannya.

Malahan berani mengucapkan kata-kata yang bernada menggertak. Tetapi Imam Ali r.a. tidak mau tunduk kepada hukum yang batil. Dengan muka merah padam dan mata membelalak, Imam Ali r.a. menjawab dengan tantangan: “Coba, siapa dari kalian yang berani merampas Sitti Aisyah…? Coba, siapa yang berani merampas dia dan berani menjadikannya hamba sahaya?! Ayoh, jawab… Dia akan kuserahkan!”

Mendengar tantangan Imam Ali r.a. yang sekeras itu mereka mundur sambil minta maaf dan beristighfar kepada Allah s.w.t.

Di saat Abdullah Ibnu Abbas sedang melaksanakan perintah menghubungi Sitti Aisyah r.a., Imam Ali r.a. menerima laporan dari salah seorang anggota pasukan yang baru saja melihat jenazah Thalhah bin Ubaidillah tergeletak di tempat terjadinya pertempu­ran. Bersama beberapa orang sahabat Imam Ali r.a. keluar untuk membuktikannya sendiri dengan hati tersayat-sayat sedih.

Benar, bahwa pada akhir masa hidupnya Thalhah mengambil sikap permusuhan, tetapi bagaimana pun juga ia adalah sahabat Rasul Allah s.a.w. dan termasuk pejuang yang gigih menegakkan Islam bersama para sahabat Nabi yang lain. Tidak jarang di masa lalu Imam Ali r.a. berjuang bahu-membahu dalam berbagai pe­perangan melawan kaum musyrikin.

Imam Ali r.a. bukan seorang pembalas dendam dan bukan pula orang yang tidak mengenal peri-kemanusiaan. Ia mempunyai rasa keadilan yang sangat tinggi. Oleh karena itu tidak sukar bagi­nya menilai seseorang dengan ukuran yang obyektif. Thalhah me­mang dipandang telah berbuat salah, tetapi kesalahannya tidak menghilangkan kebajikan-kebajikan dan jasa-jasanya bagi Islam dan kaum muslimin. Fikiran-fikiran seperti itu layak dimiliki oleh seorang pemimpin ummat yang hidup penuh taqwa dan zuhud. Sekelumit pun Imam Ali r.a. tidak mempunyai kepentingan pribadi dalam menghadapi perlawanan Thalhah. Hanya kebenaran dan keridhoan Allah sajalah yang didambakan sepanjang hidupnya.

Setibanya di depan jenazah Thalhah bin Ubaidillah, ia menun­dukkan kepala. Kemudian jongkok untuk membersihkan jenazah dari lumuran debu bercampur darah. Imam Ali r.a. tidak sanggup membendung derasnya linangan airmata dan menangislah ia ter­sedu-sedu. Ia berdiri menengadah ke langit sambil mengangkat ke­dua belah tangan, memohonkan pengampunan kepada Allah s.w.t. bagi Thalhah, bagi dirinya sendiri dan bagi segenap kaum muslimin. Selesai berdoa, Imam Ali r.a. memerintahkan beberapa orang sahabat supaya membenahi jenazah Thalhah dengan se­baik-baiknya

Disadur dari buku :

Sejarah Hidup Imam Ali bin Abi Thalib r.a.
Oleh H.M.H. Al Hamid Al Husaini
Penerbit: Lembaga Penyelidikan Islam

https://tausyah.wordpress.com

Dalam peperangan yang kedua ini, Rasul Allah s.a.w. me­nyerahkan panji kaum muhajirin kepada Imam Ali r.a. Sedangkan panji kum Anshar diserahkan kepada salah seorang di antara mereka sendiri. Peperangan Uhud terkenal dalam sejarah sebagai peperangan yang amat gawat. 700 pasukan muslimin harus berhadapan dengan 3.000 pasukan kafir Qureiys yang dipersiapkan dengan perbekalan dan persenjataan serba lengkap. Kecuali itu di­perkuat pula dengan pasukan wanita di bawah pimpinan Hindun binti ‘Utbah, isteri Abu Sufyan bin Harb, guna memberikan doro­ngan moril, agar orang-orang kafir Qureiys jangan sampai lari meninggalkan medan tempur.

Untuk menghadapi kaum musyrikin yang sudah memusat­kan kekuatan di Uhud, pasukan muslimin di bawah pimpinan Rasul Allah s.a.w. menuju ke tempat itu, dengan memotong jalan sedemikian rupa, sehingga gunung Uhud berada di belakang me­reka. Kemudian Rasul Allah s.a.w. mulai mengatur barisan. 50 orang pasukan pemanah ditempatkan pada sebuah lembah di an­tara dua bukit. Kepada mereka diperintahkan supaya menjaga pasukan yang ada di belakang mereka. Ditekankan jangan sampai meninggalkan tempat, walau dalam keadaan bagaimanapun juga. Sebab hanya dengan senjata panah sajalah serbuan pasukan ber­kuda musuh dari belakang dapat ditahan.

Perang Uhud mulai berkobar dengan tampilnya Imam Ali r.a. ke depan melayani tantangan Thalhah bin Abi Thalhah yang ber­koar menantang-nantang: “Siapakah yang akan maju berduel?”

Seperti api disiram minyak semangat Imam Ali r.a. membara. Dengan ayunan langkah tegap dan tenang, serta sambil menge­retakkan gigi, ia maju dengan pedang terhunus. Baru saja Thalhah bin Abi Thalhah menggerakan tangan hendak mengayun pedang, secepat kilat pedang Imam Ali r.a. “Dzul Fikar” menyambarnya hingga terbelah dua. Betapa bangga Rasul Allah s.a.w. me­nyaksikan ketangkasan putera pamannya itu. Ketika itu kaum muslimin yang menyaksikan kesigapan Imam Ali r.a., menguman­dangkan takbir berulang-ulang.

Dengan tewasnya Thalhah bin Ahi Thalhah, pertarungan se­ngit berkecamuk antara dua pasukan. Sekarang Abu Dujanah tampil dengan memakai pita maut di kepala dan pedang terhunus di tangan kanan yang baru saja diserahkan oleh Rasul Allah s.a.w. kepadanya. Ia seorang yang sangat berani. Laksana harimau ke­luar dari semak belukar ia maju menyerang musuh dan mem­bunuh siapa saja dari kaum musyrikin yang berani mendekatinya. Bersama Abu Dujanah, Imam Ali r.a. mengobrak-abrik baris­an musuh.

Dalam pertempuran ini Hamzah bin Abdul Mutthalib tidak kalah semangat dibanding dengan putera saudaranya sendiri, Imam Ali r.a., dan Abu Dujanah. Hamzah demikian lincah dan tangkas melabrak pasukan musyrikin dan menewaskan tiap orang yang berani mendekat. Ia terkenal sebagai pahlawan besar da­lam menghadapi musuh. Sama seperti dalam perang Badr, da­lam perang Uhud ini Hamzah benar-benar menjadi singa dan merupakan pedang Allah yang sangat ampuh. Banyak musuh yang mati di ujung pedangnya.

Dalam pertempuran antara 700 pasukan muslimin melawan 3000 pastikan musyrikin itu, kita saksikan kejantanan trio Imam Ali r.a., Hamzah dan Abu Dujanah. Mereka merupakan tauladan dan wujud dari kekuatan moril yang sangat tinggi. Suatu kekuatan yang membuat pasukan Qureiys menderita kehancuran mental, mundur dan surut.

Tiap panji mereka lepas dari tangan pemegangnya dan digan­ti oleh pemegang panji yang lain, tiap kali itu juga dipangkas habis oleh tiga sejoli pahlawan Islam itu. Thalhah bin Abi Thal­hah kepalanya dibelah dua oleh Imam Ali r.a. Utsman bin Abi Thalhah dipotong gembungnya oleh Hamzah, Abu Saad lolos dari ujung pedang Abu Dujanah dan berusaha merebut panji musyrikin Qureiys yang sudah dirobek-robek oleh Abu Dujanah, tetapi keburu dipisahkan kepalanya dari batang tubuhnya oleh Imam Ali r.a. Sembilan orang pemegang panji musyrikin Qureiys tewas berturut-turut di ujung pedang Imam Ali r.a., Hamzah dan Abu Dujanah.

Mental pasukan Qureiys sudah patah sama sekali. Pasukan wanita mereka lari terbirit-birit. Berhala-berhala yang mereka bawa untuk dimintai restu dalam peperangan, sekarang sudah jatuh terpelanting dari punggung unta. Dalam keadaan masing-ma­sing lari untuk menyelamatkan diri, semua perbekalan yang mereka bawa dari Makkah ditinggalkan dan senjata-senjata di ­buang di kiri-kanan jalan.

Alangkah banyaknya barang-barang itu. Hal ini membuat pasukan muslimin lengah dan lupa daratan. Fikiran mereka sudah teralih kepada kekayaan duniawi. Pasukan pemanah yang di wanti-wanti supaya jangan sampai meninggalkan tempat, walau dalam keadaan bagaimanapun juga, sekarang mulai mengarah­kan pandangan-mata kepada teman-teman yang sedang sibuk mengangkuti barang-barang rampasan. Melihat barang-barang se­demikian banyaknya, mereka tak dapat lagi menahan air liur. Bahkan khawatir kalau-kalau tak akan mendapat bagian!

Sebagian besar pasukan pemanah itu turun meninggalkan lereng gunung untuk ikut ambil bagian dalam kesibukan mengum­pulkan barang-barang peninggalan musuh. Pesan Rasul Allah s.a.w. mereka lupakan. Apalagi yang harus dikerjakan, tokoh pe­perangan sudah kita menangkan? Begitulah fikir mereka. Pada saat itulah Khalid bin Al Walid, seorang komandan pasukan ber­kuda Qureiys, mengambil kesempatan untuk menyerbu dari be­lakang kaum muslimin yang sedang memperebutkan barang rampasan.

Khalid bin Al Walid melancarkan serangan sengit. Bencana berbalik menimpa kaum muslimin. Setelah melihat situasi be­rubah, orang-orang kafir Qureiys yang lari kembali lagi dan me­lakukan serangan dahsyat, hingga pasukan muslimin terpaksa melemparkan barang-barang dan senjata rampasan yang baru di­kumpulkan. Mau tidak mau kaum muslimin sekarang harus meng­hunus pedang guna menangkis.

Sayang seribu sayang. Mereka hanya berjuang untuk menye­lamatkan diri dari ancaman maut. Iman mereka menjadi kendor, barisan tercerai-berai, terpisah dari pimpinan Rasul Allah s.a.w. Keadaan mereka sudah sedemikian kacau dirangsek oleh serangan musuh, sehingga tak aneh kalau sampai terjadi pedang seorang muslim tanpa disengaja mengenai saudaranya sendiri.

Di saat-saat yang genting seperti itu, Imam Ali r.a. dan para sahabat lainnya segera melindungi Rasul Allah s.a.w. Dengan se­genap kekuatan yang ada mereka menangkis tiap serangan yang datang, guna menyelamatkan Rasul Allah s.a.w. Semua sudah bertekad hendak mati syahid, lebih-lebih setelah melihat Rasul Allah s.a.w. terkena lemparan batu besar yang dicampakkan oleh ‘Utbah bin Abi Waqqash. Akibat lemparan batu itu geraham Ra­sul Allah s.a.w. patah, wajahnya pecah-pecah, bibirnya luka ­parah, dan dua buah kepingan rantai topi besi yang melindungi wajah beliau menembus pipinya.

Setelah dapat menguasai diri kembali, Rasul Allah s.a.w. berjalan perlahan-lahan dikelilingi oleh sejumlah sahabat. Tiba-­tiba beliau terperosok ke dalam sebuah liang yang sengaja digali oleh Abu ‘Amir untuk menjebak pasukan muslimin. Imam Ali r.a. bersama beberapa orang sahabat lainnya cepat-cepat mengangkat beliau. Kemudian dibawa naik ke gunung Uhud untuk disela­matkan dari pengejaran musuh. Di celah-celah bukit, Imam Ali r.a. mengambil air untuk membasuh wajah Rasul Allah s.a.w. dan menyirami kepala beliau. Dua buah kepingan rantai besi yang me­nancap dan menembus pipi beliau dicabut oleh Abu Ubaidah bin Al Jarrah dengan giginya, sampai dua buah gigi-serinya tanggal.

Kaum musyrikin Qureiys dengan kemenangan itu merasa sudah sungguh-sungguh berhasil menebus kekalahan dalam pe­rang Badr. Seperti yang dikatakan oleh Abu Sufyan: “Yang se­karang ini untuk menebus peristiwa perang Badr. Sampai jumpa lagi tahun depan!”

Akan tetapi isterinya yang bernama Hindun binti ‘Utbah belum merasa cukup dengan kemenangan itu. Dan belum puas kalau hanya mendengar berita tentang tewasnya Hamzah bin Ab­dul Mutthalib, yang telah membunuh seorang saudaranya da­lam perang Badr. Bersama beberapa orang wanita lain ia mencari-­cari mayat kaum muslimin. Mereka memotongi telinga dan hidung mayat-mayat itu dan dijadikan barang mainan. Tidak itu saja, mayat Hamzah dibedah perutnya, dikeluarkan jantungnya (hati­nya), lalu dikunyah-kunyah, tetapi ia tak sampai dapat menelan­nya. Demikian kejam dan sadisnya Hindun itu, yang kemudian ditiru oleh teman-temannya, bahkan tidak sedikit pula orang le­laki musyrikin Qureiys meniru sadisme Hindun.

Dari sangat kejinya perbuatan mereka itu, sampai pemimpin mereka, yakni suaminya Hindun, yaitu Abu Sufyan tidak mau bertanggung-jawab dan berusaha mencuci-tangan. Meskipun Abu Sufyan telah mencuci-tangan, namun kekotoran dirinya tak da­pat disembunyikan. Inilah kata-kata Abu Sufyan: “Mayat-mayat kalian mengalami penganiayaan. Aku sungguh tidak senang, te­tapi juga tidak benci. Aku tidak memerintahkan, tetapi juga ti­dak melarang.”

Perang Uhud benar-benar memberi pelajaran berharga kepada kaum muslimin. Daya tarik keduniaan hampir saja menghancur­kan kaum muslimin yang masih pada awal pertumbuhannya.

Disadur dari buku :

Sejarah Hidup Imam Ali bin Abi Thalib r.a.
Oleh H.M.H. Al Hamid Al Husaini
Penerbit: Lembaga Penyelidikan Islam

https://tausyah.wordpress.com

B A B 03 RUMAH TANGGA. SERASI

Lahirnya Sitti Fatimah Azzahra r.a. merupakan rahmat yang dilimpahkan llahi kepada Nabi Muhammad s.a.w. Ia telah menjadi wadah suatu keturunan yang suci. Ia laksana benih yang akan menumbuhkan pohon besar pelanjut keturunan Rasul Allah s.a.w. Ia satu-satunya yang menjadi sumber keturunan paling mulia yang dikenal umat Islam di seluruh dunia. Sitti Fatimah Azzahra r.a. dilahirkan di Makkah, pada hari Jumaat, 20 Jumadil Akhir, kurang lebih lima tahun sebelum bi’tsah.

Sitti Fatimah Azzahra r.a. tumbuh dan berkembang di bawah naungan wahyu Ilahi, di tengah kancah pertarungan sengit antara Islam dan Jahiliyah, di kala sedang gencar-gencarnya perjuangan para perintis iman melawan penyembah berhala.

Dalam keadaan masih kanak-kanak Sitti Fatimah Azzahra r.a. sudah harus mengalami penderitaan, merasakan kehausan dan ke­laparan. Ia berkenalan dengan pahit getirnya perjuangan menegak­kan kebenaran dan keadilan. Lebih dari tiga tahun ia bersama ayah bundanya hidup menderita di dalam Syi’ib, akibat pemboikotan orang-orang kafir Qureiys terhadap keluarga Bani Hasyim.

Setelah bebas dari penderitaan jasmaniah selama di Syi’ib, da­tang pula pukulan batin atas diri Sitti Fatimah Azzahra r.a., be­rupa wafatnya bunda tercinta, Sitti Khadijah r.a. Kabut sedih selalu menutupi kecerahan hidup sehari-hari dengan putusnya sumber kecintaan dan kasih sayang ibu.

Puteri Kesayangan

Rasul Allah s.a.w. sangat mencintai puterinya ini. Sitti Fati­mah Azzahra r.a. adalah puteri bungsu yang paling disayang dan di­kasihani junjungan kita Rasul Allah s.a.w. Nabi Muhammad s.a.w. merasa tak ada seorang pun di dunia yang paling berkenan di hati beliau dan yang paling dekat disisinya selain puteri bungsunya itu.

Demikian besar rasa cinta Rasul Allah s.a.w. kepada puteri bungsunya itu dibuktikan dengan hadits yang diriwayatkan oleh Ibnu Abbas. Menurut hadits tersebut Rasul Allah s.a.w. berkata kepada Imam Ali r.a. demikian:

“Wahai Ali! Sesungguhnya Fatimah adalah bagian dari aku. Dia adalah cahaya mataku dan buah hatiku. Barang siapa menyusahkan dia, ia menyu­sahkan aku dan siapa yang menyenangkan dia, ia menyenangkan aku…”

Pernyataan beliau itu bukan sekedar cetusan emosi, melain­kan suatu penegasan bagi umatnya, bahwa puteri beliau itu meru­pakan lambang keagungan abadi yang ditinggalkan di tengah ummatnya.

Di kala masih kanak-kanak Sitti Fatimah Azzahra r.a. me­nyaksikan sendiri cobaan yang dialami oleh ayah-bundanya, baik berupa gangguan-gangguan, maupun penganiayaan-penganiayaan yang dilakukan orang-orang kafir Qureiys. Ia hidup di udara Makkah yang penuh dengan debu perlawanan orang-orang kafir ter­hadap keluarga Nubuwaah, keluarga yang menjadi pusat iman, hi­dayah dan keutamaan. Ia menyaksikan ketangguhan dan ke­tegasan orang-orang mukminin dalam perjuangan gagah berani menanggulangi komplotan-komplotan Qureiys. Suasana perjua­ngan itu membekas sedalam-dalamnya pada jiwa Sitti Fatimah Azzahra r.a. dan memainkan peranan penting dalam pembentukan pribadinya, serta mempersiapkan kekuatan mental guna mengha­dapi kesukaran-kesukaran di masa depan.

Setelah ibunya wafat, Sitti Fatimah Azzahra r.a. hidup ber­sama ayahandanya. Satu-satunya orang yang paling dicintai. Ialah yang meringankan penderitaan Rasul Allah s.a.w. tatkala ditinggal wafat isteri beliau, Sitti Khadijah. Pada satu hari Sitti Fatimah Azzahra r.a. menyaksikan ayahnya pulang dengan ke­pala dan tubuh penuh pasir, yang baru saja dilemparkan oleh orang-orang Qureys, di saat ayahandanya itu sedang sujud. Dengan hati remuk-redam laksana disayat sembilu, Sitti Fatimah r.a. se­gera membersihkan kepala dan tubuh ayahandanya. Kemudian diambilnya air guna mencucinya. Ia menangis tersedu-sedu me­nyaksikan kekejaman orang-orang Qureisy terhadap ayahnya.

Kesedihan hati puterinya itu dirasakan benar oleh Nabi Mu­hammad s.a.w. Guna menguatkan hati puterinya dan meringankan rasa sedihnya, maka Nabi Muhammad s.a.w., sambil membelai-be­lai kepala puteri bungsunya itu, berkata: “Jangan menangis…, Allah melindungi ayahmu dan akan memenangkannya dari musuh-­musuh agama dan risalah-Nya”[1]

Dengan tutur kata penuh semangat itu, Rasul Allah s.a.w. menanamkan daya-juang tinggi ke dalam jiwa Sitti Fatimah r.a., dan sekaligus mengisinya dengan kesabaran, ketabahan serta keper­cayaan akan kemenangan akhir. Meskipun orang-orang sesat dan durhaka seperti kafir Qureiys itu senantiasa mengganggu dan melakukan penganiayaan-penganiayaan, namun Nabi Muhammad s:a.w. tetap melaksanakan tugas risalahnya.

Pada ketika lain lagi, Sitti Fatimah r.a. menyaksikan ayahan­danya pulang dengan tubuh penuh dengan kotoran kulit janin unta yang baru dilahirkan. Yang melemparkan kotoran atau najis ke punggung Rasul Allah s.a.w. itu Uqbah bin Mu’aith, Ubaiy bin Khalaf dan Umayyah bin Khalaf. Melihat ayahandanya berlu­muran najis, Sitti Fatimah r.a. segera membersihkannya dengan air sambil menangis.

Nabi Muhammad rupanya menganggap perbuatan ketiga kafir Qureiys ini sudah keterlaluan. Karena itulah maka pada wak­tu itu beliau memanjatkan doa kehadirat Allah s.w.t.: “Ya Allah celakakanlah orang-orang Qureiys itu. Ya Allah, binasakanlah ‘Uqbah bin Mu’aith. Ya Allah binasakanlah Ubay bin Khalaf dan Umayyah bin Khalaf”[2]

Masih banyak lagi pelajaran yang diperoleh Sitti Fatimah dari penderitaan ayahandanya dalam perjuangan menegakkan ke­benaran Allah. Semuanya itu menjadi bekal hidup baginya untuk menghadapi masa mendatang yang berat dan penuh cobaan. Ke­hidupan yang serba berat dan keras di kemudian hari memang memerlukan mental gemblengan.

Hijrah ke Madinah

Tepat pada saat orang-orang kafir Qureiys selesai memper­siapkan komplotan terror untuk membunuh Rasul Allah s.a.w., Madinah telah siap menerima kedatangan beliau. Nabi Muhammad meninggalkan kota Makkah secara diam-diam di tengah kegelapan malam. Beliau bersama Abu Bakar Ash Shiddiq meninggalkan kampung halaman, keluarga tercinta dan sanak famili. Beliau ber­hijrah, seperti dahulu pernah juga dilakukan Nabi Ibrahim as. dan Musa a.s.

Di antara orang-orang yang ditinggalkan Nabi Muhammad s.a.w. termasuk puteri kesayangan beliau, Sitti Fatimah r.a. dan putera paman beliau yang diasuh dengan kasih sayang sejak kecil, yaitu Imam Ali r.a. yang selama ini menjadi pembantu terpercaya beliau.

Imam Ali r.a. sengaja ditinggalkan oleh Nabi Muhammad untuk melaksanakan tugas khusus: berbaring di tempat tidur beliau, guna mengelabui mata komplotan Qureiys yang siap hen­dak membunuh beliau. Sebelum Imam Ali r.a. melaksanakan tugas tersebut, ia dipesan oleh Nabi Muhammad s.a.w. agar barang-­barang amanat yang ada pada beliau dikembalikan kepada pemilik­nya masing-masing. Setelah itu bersama semua anggota keluarga Rasul Allah s.a.w., segera menyusul berhijrah.

Imam Ali r.a. membeli seekor unta untuk kendaraan bagi wanita yang akan berangkat hijrah bersama-sama. Rombongan hijrah yang menyusul perjalanan Rasul Allah s.a.w. terdiri dari keluarga Bani Hasyim dan dipimpin sendiri oleh Imam Ali r.a. Di dalam rombongan Imam Ali r.a. ini termasuk Sitti Fatimah r.a., Fatimah binti Asad bin Hasyim (ibu Imam Ali r.a.), Fatimah binti Zubair bin Abdul Mutthalib dan Fatimah binti Hamzah bin Abdul Mutthalib. Aiman dan Abu Waqid Al Laitsiy, ikut ber­gabung dalam rombongan.

Rombongan Imam Ali r.a. berangkat dalam keadaan terburu-­buru. Perjalanan ini tidak dilakukan secara diam-diam. Abu Waqid berjalan cepat-cepat menuntun unta yang dikendarai para wanita, agar jangan terkejar oleh orang-orang kafir Qureiys. Mengetahui hal itu, Imam Ali r.a. segera memperingatkan Abu Waqid, supaya berjalan perlahan-lahan, karena semua penumpangnya wanita. Rombongan berjalan melewati padang pasir di bawah sengatan terik matahari.

Imam Ali r.a., sebagai pemimpin rombongan, berangkat de­ngan semangat yang tinggi. Beliau siap menghadapi segala ke­mungkinan yang bakal dilakukan orang-orang kafir Qureiys terhadap rombongan. Ia bertekad hendak mematahkan moril dan kecongkakan mereka. Untuk itu ia siap berlawan tiap saat.

Mendengar rombongan Imam Ali r.a. berangkat, orang-orang Qureiys sangat penasaran. Lebih-lebih karena rombongan Imam Ali r.a. berani meninggalkan Makkah secara terang-terangan di siang hari. Orang-orang Qureiys menganggap bahwa keberanian Imam Ali r.a. yang semacam itu sebagai tantangan terhadap mereka.

Orang-orang Qureiys cepat-cepat mengirim delapan orang anggota pasukan berkuda untuk mengejar Imam Ali r.a. dan rombongan. Pasukan itu ditugaskan menangkapnya hidup-hidup atau mati. Delapan orang Qureiys itu, di sebuah tempat bernama Dhajnan berhasil mendekati rombongan Imam Ali r.a.

Setelah Imam Ali r.a. mengetahui datangnya pasukan ber­kuda Qureiys, ia segera memerintahkan dua orang lelaki anggota rombongan agar menjauhkan unta dan menambatnya. Ia sendiri kemudian menghampiri para wanita guna membantu menurun­kan mereka dari punggung unta. Seterusnya ia maju seorang diri menghadapi gerombolan Qureisy dengan pedang terhunus. Rupa­nya Imam Ali r.a. hendak berbicara dengan bahasa yang dimenger­ti oleh mereka. Ia tahu benar bagaimana cara menundukkan me­reka.

Melihat Imam Ali r.a. mendekati mereka, gerombolan Qu­reiys itu berteriak-teriak menusuk perasaan: “Hai penipu, apa­kah kaukira akan dapat menyelamatkan perempuan-perempuan itu? Ayo, kembali! Engkau sudah tidak berayah lagi.”

Imam Ali r.a. dengan tenang menanggapi teriakan-teriakan gerombolan Qureiys itu. Ia bertanya: “Kalau aku tidak mau ber­buat itu…?”

“Mau tidak mau engkau harus kembali,” sahut gerombolan Qureiys dengan cepat.

Mereka lalu berusaha mendekati unta dan rombongan wa­nita. Imam Ali r.a. menghalangi usaha mereka. Jenah, seorang hamba sahaya milik Harb bin Umayyah, mencoba hendak me­mukul Imam Ali r.a. dari atas kuda. Akan tetapi belum sem­pat ayunan pedangnya sampai, hantaman pedang Imam Ali r.a. telah mendahului tiba di atas bahunya. Tubuhnya terbelah men­jadi dua, sehingga pedang Imam Ali r.a. sampai menancap pada punggung kuda. Serangan-balas secepat kilat itu sangat menggetar­kan teman-teman Jenah. Sambil menggeretakkan gigi, Imam Ali r.a. berkata: “Lepaskan orang-orang yang hendak berangkat berjuang! Aku tidak akan kembali dan aku tidak akan menyem­bah selain Allah Yang Maha Kuasa!”

Gerombolan Qureiys mundur. Mereka meminta kepada Imam Ali r.a. untuk menyarungkan kembali pedangnya. Imam Ali r.a. dengan tegas menjawab: “Aku hendak berangkat menyusul sau­daraku, putera pamanku, Rasul Allah. Siapa yang ingin kurobek-­robek dagingnya dan kutumpahkan darahnya, cobalah maju men­dekati aku!”

Tanpa memberi jawaban lagi gerombolan Qureiys itu se­gera meninggalkan tempat. Kejadian ini mencerminkan watak konfrontasi bersenjata yang bakal datang antara kaum muslimin melawan agresi kafir Qureiys.

Di Dhajnan, rombongan Imam Ali r.a. beristirahat semalam. Ketika itu tiba pula Ummu Aiman (ibu Aiman). Ia menyusul anak­nya yang telah berangkat lebih dahulu bersama Imam Ali r.a. Ber­sama Ummu Aiman turut pula sejumlah orang muslimin yang berangkat hijrah. Keesokan harinya rombongan Imam Ali r.a. be­serta rombongan Ummu Aiman melanjutkan perjalanan. Imam Ali r.a. sudah rindu sekali ingin segera bertemu dengan Rasul Allah s.a.w.

Waktu itu Rasul Allah s.a.w. bersama Abu Bakar Ash Shiddiq r.a. sudah tiba dekat kota Madinah. Untuk beberapa waktu, beliau tinggal di Quba. Beliau menantikan kedatangan rombongan Imam Ali r.a. Kepada Abu Bakar Ash Shiddiq, Rasul Allah s.a.w. mem­beritahu, bahwa beliau tidak akan memasuki kota Madinah, sebelum putera pamannya dan puterinya sendiri datang.

Selama dalam perjalanan itu Imam Ali r.a. tidak berkendara­an sama sekali. Ia berjalan kaki-telanjang menempuh jarak kl 450 km sehingga kakinya pecah-pecah dan membengkak. Akhirnya ti­balah semua anggota rombongan dengan selamat di Quba. Betapa gembiranya Rasul Allah s.a.w. menyambut kedatangan orang-o­rang yang disayanginya itu.

Ketika Nabi Muhammad s.a.w. melihat Imam Ali r.a. tidak sanggup berjalan lagi karena kakinya membengkak, beliau me­rangkul dan memeluknya seraya menangis karena sangat terharu. Beliau kemudian meludah di atas telapak tangan, lalu diusapkan pada kaki Imam Ali r.a. Konon sejak saat itu sampai wafatnya, Imam Ali r.a. tidak pernah mengeluh karena sakit kaki.[3]

Peristiwa yang sangat mengharukan itu berkesan sekali dalam hati Rasul Allah s.a.w. dan tak terlupakan selama-lamanya. Ber­hubung dengan peristiwa itu, turunlah wahyu Ilahi yang memberi penilaian tinggi kepada kaum Muhajirin, seperti terdapat dalam Surah Ali ‘Imran:195.

Ijab-Kabul Pernikahan

Sitti Fatimah Azzahra r.a. mencapai puncak keremajaannya dan kecantikannya pada saat risalah yang dibawakan Nabi Muha­mmad s.a.w. sudah maju dengan pesat di Madinah dan sekitarnya. Ketika itu Sitti Fatimah Azzahra r.a. benar-benar telah menjadi remaja puteri.

Keelokan parasnya banyak menarik perhatian. Tidak sedikit pria terhormat yang menggantungkan harapan ingin mempersun­ting puteri Rasul Allah s.a.w. itu. Beberapa orang terkemuka dari kaum Muhajirin dan Anshar telah berusaha melamarnya. Menanggapi lamaran itu, Nabi Muhammad s.a.w. mengemukakan, bahwa beliau sedang menantikan datangnya petunjuk dari Allah s.w.t. mengenai puterinya itu.

Pada suatu hari Abu Bakar Ash Shiddiq r.a., Umar Ibnul Kha­tab r.a. dan Sa’ad bin Mu’adz bersama-sama Rasul Allah s.a.w. duduk dalam mesjid beliau. Pada kesempatan itu diperbincangkan antara lain persoalan puteri Rasul Allah s.a.w. Saat itu beliau ber­tanya kepada Abu Bakar Ash Shiddiq r.a.: “Apakah engkau bersedia menyampaikan persoalan Fatimah itu kepada Ali bin Abi Thalib?”

Abu Bakar Ash Shiddiq menyatakan kesediaanya. Ia beranjak untuk menghubungi Imam Ali r.a. Sewaktu Imam Ali r.a. melihat datangnya Abu Bakar Ash Shiddiq r.a. dengan tergopoh-­gopoh dan terperanjat ia menyambutnya, kemudian bertanya: “Anda datang membawa berita apa?”

Setelah duduk beristirahat sejenak, Abu Bakar Ash Shiddiq r.a. segera menjelaskan persoalannya: “Hai Ali, engkau ada­lah orang pertama yang beriman kepada Allah dan Rasul-Nya serta mempunyai keutamaan lebih dibanding dengan orang lain. Semua sifat utama ada pada dirimu. Demikian pula engkau ada­lah kerabat Rasul Allah s.a.w. Beberapa orang sahabat terkemuka telah menyampaikan lamaran kepada beliau untuk dapat mem­persunting puteri beliau. Lamaran itu oleh beliau semuanya di­tolak. Beliau mengemukakan, bahwa persoalan puterinya diserah­kan kepada Allah s.w.t. Akan tetapi, hai Ali, apa sebab hingga se­karang engkau belum pernah menyebut-nyebut puteri beliau itu dan mengapa engkau tidak melamar untuk dirimu sendiri? Ku­harap semoga Allah dan Rasul-Nya akan menahan puteri itu un­tukmu.”

Mendengar perkataan Abu Bakar r.a. mata Imam Ali r.a. ber­linang-linang. Menanggapi kata-kata itu, Imam Ali r.a. berkata: “Hai Abu Bakar, anda telah membuat hatiku goncang yang se­mulanya tenang. Anda telah mengingatkan sesuatu yang sudah kulupakan. Demi Allah, aku memang menghendaki Fatimah, tetapi yang menjadi penghalang satu-satunya bagiku ialah ka­rena aku tidak mempunyai apa-apa.”

Abu Bakar r.a. terharu mendengar jawaban Imam Ali yang memelas itu. Untuk membesarkan dan menguatkan hati Imam Ali r.a., Abu Bakar r.a. berkata: “Hai Ali, janganlah engkau ber­kata seperti itu. Bagi Allah dan Rasul-Nya dunia dan seisinya ini hanyalah ibarat debu bertaburan belaka!”

Setelah berlangsung dialog seperlunya, Abu Bakar r.a. ber­hasil mendorong keberanian Imam Ali r.a. untuk melamar puteri Rasul Allah s.a.w.

Beberapa waktu kemudian, Imam Ali r.a. datang menghadap Rasul Allah s.a.w. yang ketika itu sedang berada di tempat ke­diaman Ummu Salmah. Mendengar pintu diketuk orang, Ummu Salmah bertanya kepada Rasul Allah s.a.w.: “Siapakah yang me­ngetuk pintu?” Rasul Allah s.a.w. menjawab: “Bangunlah dan bu­kakan pintu baginya. Dia orang yang dicintai Allah dan Rasul-­Nya, dan ia pun mencintai Allah dan Rasul-Nya!”

Jawaban Nabi Muhammad s.a.w. itu belum memuaskan Ummu Salmah r.a. Ia bertanya lagi: “Ya, tetapi siapakah dia itu?”

“Dia saudaraku, orang kesayanganku!” jawab Nabi Mu­hammad s.a.w.

Tercantum dalam banyak riwayat, bahwa Ummu Salmah di kemudian hari mengisahkan pengalamannya sendiri mengenai kunjungan Imam Ali r.a. kepada Nabi Muhammad s.a.w. itu: “Aku berdiri cepat-cepat menuju ke pintu, sampai kakiku ter­antuk-antuk. Setelah pintu kubuka, ternyata orang yang datang itu ialah Ali bin Abi Thalib. Aku lalu kembali ke tempat semula. Ia masuk, kemudian mengucapkan salam dan dijawab oleh Rasul Allah s.a.w. Ia dipersilakan duduk di depan beliau. Ali bin Abi Thalib menundukkan kepala, seolah-olah mempunyai maksud, tetapi malu hendak mengutarakannya.

Rasul Allah mendahului berkata: “Hai Ali nampaknya eng­kau mempunyai suatu keperluan. Katakanlah apa yang ada dalam fikiranmu. Apa saja yang engkau perlukan, akan kauperoleh dariku!”

Mendengar kata-kata Rasul Allah s.a.w. yang demikian itu, lahirlah keberanian Ali bin Abi Thalib untuk berkata: “Maafkan­lah, ya Rasul Allah. Anda tentu ingat bahwa anda telah mengambil aku dari paman anda, Abu Thalib dan bibi anda, Fatimah binti Asad, di kala aku masih kanak-kanak dan belum mengerti apa-apa.

Sesungguhnya Allah telah memberi hidayat kepadaku melalui anda juga. Dan anda, ya Rasul Allah, adalah tempat aku bernaung dan anda jugalah yang menjadi wasilahku di dunia dan akhirat. Setelah Allah membesarkan diriku dan sekarang menjadi dewasa, aku ingin berumah tangga; hidup bersama seorang isteri. Sekarang aku datang menghadap untuk melamar puteri anda, Fatimah. Ya Rasul Allah, apakah anda berkenan menyetujui dan menikahkan diriku dengan dia?”

Ummu Salmah melanjutkan kisahnya: “Saat itu kulihat wajah Rasul Allah nampak berseri-seri. Sambil tersenyum beliau berkata kepada Ali bin Abi Thalib: “Hai Ali, apakah engkau mem­punyai suatu bekal maskawin?” .

“Demi Allah”, jawab Ali bin Abi Thalib dengan terus terang, “Anda sendiri mengetahui bagaimana keadaanku, tak ada sesuatu tentang diriku yang tidak anda ketahui. Aku tidak mempunyai apa-apa selain sebuah baju besi, sebilah pedang dan seekor unta.”

“Tentang pedangmu itu,” kata Rasul Allah s.a.w. menanggapi jawaban Ali bin Abi Thalib, “engkau tetap membutuhkannya untuk melanjutkan perjuangan di jalan Allah. Dan untamu itu engkau juga butuh untuk keperluan mengambil air bagi keluargamu dan juga engkau memerlukannya dalam perjalanan jauh. Oleh ka­rena itu aku hendak menikahkan engkau hanya atas dasar maska­win sebuah baju besi saja. Aku puas menerima barang itu dari ta­nganmu. Hai Ali engkau wajib bergembira, sebab Allah ‘Azza wa­jalla sebenarnya sudah lebih dahulu menikahkan engkau di langit sebelum aku menikahkan engkau di bumi!” Demikian versi riwa­yat yang diceritakan Ummu Salmah r.a.

Setelah segala-galanya siap, dengan perasaan puas dan hati gembira, dengan disaksikan oleh para sahabat, Rasul Allah s.a.w. mengucapkan kata-kata ijab kabul pernikahan puterinya: “Bahwa­sanya Allah s.w.t. memerintahkan aku supaya menikahkan engkau Fatimah atas dasar maskawin 400 dirham (nilai sebuah baju besi). Mudah-mudahan engkau dapat menerima hal itu.”

“Ya, Rasul Allah, itu kuterima dengan baik”, jawab Ali bin Abi Thalib r.a. dalam pernikahan itu.

Rumah Tangga Sederhana

Maskawin sebesar 400 dirham itu diserahkan kepada Abu Bakar r.a. untuk diatur penggunaannya. Dengan persetujuan Ra­sul Allah s.a.w., Abu Bakar r.a. menyerahkan 66 dirham kepada Ummu Salmah untuk “biaya pesta” perkawinan. Sisa uang itu dipergunakan untuk membeli perkakas dan peralatan rumah tangga.

-sehelai baju kasar perempuan;

-sehelai kudung;

-selembar kain Qathifah buatan khaibar berwarna hitam;

-sebuah balai-balai;.

-dua buah kasur, terbuat dari kain kasar Mesir (yang se­buah berisi ijuk kurma dan yang sebuah bulu kambing);

-empat buah bantal kulit buatan Thaif (berisi daun idzkir);

-kain tabir tipis terbuat dari bulu;

-sebuah tikar buatan Hijr;

-sebuah gilingan tepung;

-sebuah ember tembaga;

-kantong kulit tempat air minum;

-sebuah mangkuk susu;

-sebuah mangkuk air;

-sebuah wadah air untuk sesuci;

-sebuah kendi berwarna hijau;

-sebuah kuali tembikar;

-beberapa lembar kulit kambing;

-sehelai ‘aba-ah (semacam jubah);

-dan sebuah kantong kulit tempat menyimpan air.

Sejalan dengan itu Imam Ali r.a. mempersiapkan tempat kediamannya dengan perkakas yang sederhana dan mudah di­dapat. Lantai rumahnya ditaburi pasir halus. Dari dinding ke din­ding lain dipancangkan sebatang kayu untuk menggantungkan pakaian. Untuk duduk-duduk disediakan beberapa lembar kulit kambing dan sebuah bantal kulit berisi ijuk kurma. Itulah rumah kediaman Imam Ali r.a. yang disiapkan guna menanti kedatangan isterinya, Sitti Fatimah Azzahra r.a.

Selama satu bulan sesudah pernikahan, Sitti Fatimah r.a. masih tetap di rumahnya yang lama. Imam Ali r.a. merasa malu untuk menyatakan keinginan kepada Rasul Allah s.a.w. supaya puterinya itu diperkenankan pindah ke rumah baru. Dengan dite­mani oleh salah seorang kerabatnya dari Bani Hasyim, Imam Ali r.a. menghadap Rasul Allah s.a.w. Lebih dulu mereka me­nemui Ummu Aiman, pembantu keluarga Nabi Muhammad s.a.w. Kepada Ummu Aiman, Imam Ali r.a. menyampaikan keinginan­nya.

Setelah itu, Ummu Aiman menemui Ummu Salmah r.a. guna menyampaikan apa yang menjadi keinginan Imam Ali r.a. Sesu­dah Ummu Salmah r.a. mendengar persoalan tersebut, ia terus pergi mendatangi isteri-isteri Nabi yang lain.

Guna membicarakan persoalan yang dibawa Ummu Salmah r.a., para isteri Nabi Muhammad s.a.w. berkumpul. Kemudian mereka bersama-sama menghadap Rasul Allah s.a.w. Ternyata beliau menyambut gembira keinginan Imam Ali r.a.[4]

Suami-Isteri Yang Serasi

Sitti Fatimah r.a. dengan perasaan bahagia pindah ke rumah suaminya yang sangat sederhana itu. Selama ini ia telah menerima pelajaran cukup dari ayahandanya tentang apa artinya kehidupan ini. Rasul Allah s.a.w. telah mendidiknya, bahwa kemanusiaan itu adalah intisari kehidupan yang paling berharga. Ia juga telah .diajar bahwa kebahagiaan rumah-tangga yang ditegakkan di atas fon­dasi akhlaq utama dan nilai-nilai Islam, jauh lebih agung dan lebih mulia dibanding dengan perkakas-perkakas rumah yang serba me­gah dan mewah.

Imam Ali r.a. bersama isterinya hidup dengan rasa penuh ke­banggaan dan kebahagiaan. Dua-duanya selalu riang dan tak per­nah mengalami ketegangan. Sitti Fatimah r.a. menyadari, bahwa dirinya tidak hanya sebagai puteri kesayangan Rasul Allah s.a.w., tetapi juga isteri seorang pahlawan Islam, yang senantiasa sang­gup berkorban, seorang pemegang panji-panji perjuangan Islam yang murni dan agung. Sitti Fatimah berpendirian, dirinya ha­rus dapat menjadi tauladan. Terhadap suami ia berusaha bersikap seperti sikap ibunya (Sitti Khadijah r.a.) terhadap ayahandanya, Nabi Muhammad s.a.w.

Dua sejoli suami isteri yang mulia dan bahagia itu selalu be­kerja sama dan saling bantu dalam mengurus keperluan-keperluan rumah tangga. Mereka sibuk dengan kerja keras. Sitti Fatimah r.a. menepung gandum dan memutar gilingan dengan tangan sen­diri. Ia membuat roti, menyapu lantai dan mencuci. Hampir tak ada pekerjaan rumah-tangga yang tidak ditangani dengan tena­ga sendiri.

Rasul Allah s.a.w. sendiri sering menyaksikan puterinya se­dang bekerja bercucuran keringat. Bahkan tidak jarang beliau ber­sama Imam Ali r.a. ikut menyingsingkan lengan baju membantu pekerjaan Sitti Fatimah r.a.

Banyak sekali buku-buku sejarah dan riwayat yang melukis­kan betapa beratnya kehidupan rumah-tangga Imam Ali r.a. Sebu­ah riwayat mengemukakan: Pada suatu hari Rasul Allah s.a.w. berkunjung ke tempat kediaman Sitti Fatimah r.a. Waktu itu puteri beliau sedang menggiling tepung sambil melinangkan air mata. Baju yang dikenakannya kain kasar. Menyaksikan puterinya menangis, Rasul Allah s.a.w. ikut melinangkan air mata. Tak lama kemudian beliau menghibur puterinya: “Fatimah, terimalah kepahitan dunia untuk memperoleh kenikmatan di akhirat ke­lak”[5]

Riwayat lain mengatakan, bahwa pada suatu hari Rasul Allah s.a.w. datang menjenguk Sitti Fatimah r.a., tepat: pada saat ia bersama suaminya sedang bekerja menggiling tepung. Beliau terus bertanya: “Siapakah di antara kalian berdua yang akan ku­gantikan?”

“Fatimah! ” Jawab Imam Ali r.a. Sitti Fatimah lalu berhenti diganti oleh ayahandanya menggiling tepung bersama Imam Ali r.a.

Masih banyak catatan sejarah yang melukiskan betapa berat­nya penghidupan dan kehidupan rumah-tangga Imam Ali r.a. Semuanya itu hanya menggambarkan betapa besarnya kesanggu­pan Sitti Fatimah r.a. dalam menunaikan tugas hidupnya yang pe­nuh bakti kepada suami, taqwa kepada Allah dan setia kepada Rasul-Nya.

Ada sebuah riwayat lain yang menuturkan betapa repotnya Sitti Fatimah r.a. sehari-hari mengurus kehidupan rumah-tangga­nya. Riwayat itu menyatakan sebagai berikut: Pada suatu hari Ra­sul Allah s.a.w. bersama sejumlah sahabat berada dalam masjid menunggu kedatangan Bilal bin Rabbah, yang akan menguman­dangkan adzan sebagaimana biasa dilakukan sehari-hari. Ketika Bilal terlambat datang, oleh Rasul Allah s.a.w. ditegor dan dita­nya apa sebabnya. Bilal menjelaskan:

“Aku baru saja datang dari rumah Fatimah. Ia sedang menggi­ling tepung. Al Hasan, puteranya yang masih bayi, diletakkan dalam keadaan menangis keras. Kukatakan kepadanya “Manakah yang lebih baik, aku menolong anakmu itu, ataukah aku saja yang menggiling tepung”. Ia menyahut: “Aku kasihan kepada anakku”. Gilingan itu segera kuambil lalu aku menggiling gan­dum. Itulah yang membuatku datang terlambat!”

Mendengar keterangan Bilal itu Rasul Allah s.a.w. berkata: “Engkau mengasihani dia dan Allah mengasihani dirimu!”[6]

Hal-hal tersebut di atas adalah sekelumit gambaran ten­tang kehidupan suatu keluarga suci di tengah-tengah masyarakat Islam. Kehidupan keluarga yang penuh dengan semangat gotong-­royong. Selain itu kita juga memperoleh gambaran betapa se­derhananya kehidupan pemimpin-pemimpin Islam pada masa itu. Itu merupakan contoh kehidupan masyarakat yang diba­ngun oleh Islam dengan prinsip ajaran keluhuran akhlaq. Itu­pun merupakan pencerminan kaidah-kaidah agama Islam, yang diletakkan untuk mengatur kehidupan rumah-tangga.

Rasul Allah s.a.w., Imam Ali r.a. dan Sitti Fatimah r.a., ke­tiganya merupakan tauladan bagi kehidupan seorang ayah, seorang suami dan seorang isteri di dalam Islam. Hubungan antar anggota keluarga memang seharusnya demikian erat dan serasi seperti mereka.

Tak ada tauladan hidup sederhana yang lebih indah dari tauladan yang diberikan oleh keluarga Nubuwwah itu. Padahal jika mereka mau, lebih-lebih jika Rasul Allah s.a.w. sendiri menge­hendaki, kekayaan dan kemewahan apakah yang tidak akan dapat diperoleh beliau?

Tetapi sebagai seorang pemimpin yang harus menjadi tau­ladan, sebagai seorang yang menyerukan prinsip-prinsip kebena­ran dan keadilan serta persamaan, sebagai orang yang hidup menolak kemewahan duniawi, beliau hanya mengehendaki supaya ajaran-ajarannya benar-benar terpadu dengan akhlaq dan cara hidup ummatnya. Beliau mengehendaki agar tiap orang, tiap pen­didik, tiap penguasa dan tiap pemimpin bekerja untuk perbaikan masyarakat. Masing-masing supaya mengajar, memimpin dan men­didik diri sendiri dengan akhlaq dan perilaku utama, sebelum mengajak orang lain. Sebab akhlaq dan perilaku yang dapat di­lihat dengan nyata, mempunyai pengaruh lebih besar, lebih ber­kesan dan lebih membekas dari pada sekedar ucapan-ucapan dan peringatan-peringatan belaka. Dengan praktek yang nyata, ajakan yang baik akan lebih terjamin keberhasilannya.

Sebuah riwayat lagi yang berasal dari Imam Ali r.a. sendiri mengatakan: Sitti Fatimah pernah mengeluh karena tapak-ta­ngannya menebal akibat terus-menerus memutar gilingan tepung. Ia keluar hendak bertemu Rasul Allah s.a.w. Karena tidak ber­hasil, ia menemui Aisyah r.a. Kepadanya diceritakan maksud ke­datangannya. Ketika Rasul Allah s.a.w. datang, beliau diberi­tahu oleh Aisyah r.a. tentang maksud kedatangan Fatimah yang hendak minta diusahakan seorang pembantu rumah-tangga. Ra­sul Allah s.a.w. kemudian datang ke rumah kami. Waktu itu kami sedang siap-siap hendak tidur. Kepada kami beliau berkata: “Kuberitahukan kalian tentang sesuatu yang lebih baik daripada yang kalian minta kepadaku. Sambil berbaring ucapkanlah tasbih 33 kali, tahmid 33 kali dan takbir 34 kali. Itu lebih baik bagi kalian daripada seorang pembantu yang akan melayani kalian.”

Sambutan Nabi Muhammad s.a.w. atas permintaan puterinya agar diberi pembantu, merupakan sebuah pelajaran penting ten­tang rendah-hatinya seorang pemimpin di dalam masyarakat Islam. Kepemimpinan seperti itulah yang diajarkan Rasul Allah s.a.w. dan dipraktekan dalam kehidupan konkrit oleh keluarga Imam Ali r.a. Mereka hidup setaraf dengan lapisan rakyat yang miskin dan menderita. Pemimpin-pemimpin seperti itulah dan yang hanya seperti itulah, yang akan sanggup menjadi pelopor da­lam melaksanakan prinsip persamaan, kesederhanaan dan keber­sihan pribadi dalam kehidupan ini.

Putera-puteri

Sitti Fatimah r.a. melahirkan dua orang putera dan dua orang puteri. Putera-puteranya bernama Al Hasan r.a. dan Al Husein r.a. Sedang puteri-puterinya bernama Zainab r.a. dan Ummu Kalsum r.a. Rasul Allah s.a.w. dengan gembira sekali menyambut kelahiran cucu-cucunya.

Al Hasan r.a. dan Al Husein r.a. mempunyai kedudukan ter­sendiri di dalam hati beliau. Dua orang cucunya itu beliau asuh sendiri. Kaum muslimin pada zaman hidupnya Nabi Muhammad s.a.w. menyaksikan sendiri betapa besarnya kecintaan beliau ke­pada Al Hasan r.a. dan Al Husein r.a. Beliau menganjurkan supaya orang mencintai dua “putera” beliau itu dan berpegang teguh pada pesan itu.

Al Hasan r.a. dan Al Husein r.a. meninggalkan jejak yang jauh jangkauannya bagi umat Islam. Al Husein r.a. gugur sebagai pah­lawan syahid menghadapi penindasan dinasti Bani Umayyah. Semangatnya terus berkesinambungan, melestarikan dan mem­bangkitkan perjuangan yang tegas dan seru di kalangan ummat Islam menghadapi kedzaliman. Semangat Al Husein r.a. merupa­kan kekuatan penggerak yang luar biasa dahsyatnya sepanjang sejarah.

Puteri beliau yang bernama Zainab r.a. merupakan pahlawan wanita muslim yang sangat cemerlang dan menonjol sekali pera­nannya, dalam pertempuran di Karbala membela Al Husein r.a. Di Karbala itulah dinasti Bani Umayyah menciptakan tragedi yang menimpa A1 Husein r.a. beserta segenap anggota keluarganya. A1 Husein r.a. gugur dan kepalanya diarak sebagai pameran keliling Kufah sampai ke Syam.

Setelah hidup bersuami isteri selama kurang lebih 10 tahun Sitti Fatimah r.a. meninggal dunia dalam usia 28 tahun. Sepe­ninggal Sitti Fatimah r.a., Imam Ali r.a. beristerikan beberapa orang wanita lainnya lagi. Menurut catatan sejarah, hingga wa­fatnya Imam Ali r.a. menikah sampai 9 kali. Tentu saja menurut ketentuan-ketentuan yang tidak bertentangan dengan hukum Is­lam. Dalam satu periode, tidak pernah lebih 4 orang isteri.

Wanita pertama yang dinikahi Imam Ali r.a. sepeninggal Siti Fatimah r.a. ialah Umamah binti Abil ‘Ashiy. Ia anak perem­puan iparnya sendiri, Zainab binti Muhammad s.a.w., kakak pe­rempuan Sitti Fatimah r.a. Pernikahan dengan Umamah r.a. ini mempunyai sejarah tersendiri, yaitu untuk melaksanakan pesan Sitti Fatimah r.a. kepada suaminya sebelum ia wafat. Nampaknya pesan itu didasarkan kasih-sayang yang besar dari Umamah ra. kepada putera-puterinya.

Setelah nikah dengan Umamah r.a., Imam Ali r.a. nikah lagi dengan Khaulah binti Ja’far bin Qeis. Berturut-turut kemudian Laila binti Mas’ud bin Khalid, Ummul Banin binti Hazzan bin Khalid dan Ummu Walad. Isteri Imam Ali r.a. yang keenam patut disebut secara khusus, karena ia tidak lain adalah Asma binti Umais, sahabat terdekat Sitti Fatimah r.a. Asma inilah yang mendampingi Sitti Fatimah r.a. dengan setia dan melayani­nya dengan penuh kasih-sayang hingga detik-detik terakhir hayat­nya.

Isteri-isteri Imam Ali r.a. yang ke-7, ke-8 dan ke-9 ialah As-­Shuhba, Ummu Sa’id binti ‘Urwah bin Mas’ud dan Muhayah bin­ti Imruil Qeis. Dari 9 isteri, di luar Sitti Fatimah r.a., Imam Ali r.a. mempunyai banyak anak. Jumlahnya yang pasti masih menjadi perselisihan pendapat di kalangan para penulis sejarah.

Al Mas’udiy dalam bukunya “Murujudz Dzahab” menyebut putera-puteri Imam Ali r.a. semuanya berjumlah 25 orang. Sedang­kan dalam buku “Almufid Fil Irsyad” dikatakan 27 orang anak. Ibnu Sa’ad dalam bukunya yang terkenal, “Thabaqat”, menyebut­nya 31 orang anak, dengan perincian: 14 orang anak lelaki dan 17 orang anak perempuan. Ini termasuk putera-puteri Imam Ali r.a. dari isterinya yang pertama.

[1]Hasyim Ma’ ruf A1 Huseiniy: “Siratul Musthafa”, hlm 205, cetakan ke I.

[2]Abdullah bin Mas’ud meriwayatkan, bahwa di kemudian hari ia me­nyaksikan sendiri tiga orang itu mati terbunuh dalam perang Badr. Hasyim Ma’ruf A1 Huseiniy: Siratul Musthafa. Dikutip dari At Tha­bariy, hlm 47.

[3]Ibnul Atsir: “Al Kamil Fit Tarikh”, jilid II, hlm 206.

[4]”Ahlul Bait” Asy’-ah min Hayatis Shiddiqah Fatimah Az-Zahra.

[5]Tanbihul Khawatir wa Nuzhatun Nawadir, jilid I, hlm 230.

[6]Tanbihul Khawatir wa Nuzhatun Nawadir, jilid I, halaman 230. “Ahlul Bait” Asy’-ah min Hayatis Shiddiqah Fatimah Az-Zahra.

Disadur dari buku :

Sejarah Hidup Imam Ali bin Abi Thalib r.a.
Oleh H.M.H. Al Hamid Al Husaini
Penerbit: Lembaga Penyelidikan Islam

https://tausyah.wordpress.com