Posts Tagged ‘Jihad’

https://tausyah.wordpress.com/My Palestine

My Palestine

Dibeberapa waktu yang lalu, saya sudah pernah menerbitkan artikel tentang seorang warga negara Indonesia yang pernah bekerja di Palestina yang melihat langsung keajaiban – keajaiban yang terjadi di Jalur Gaza. Ya..dia adalah Imanda Amalia yang dikabarkan tewas di Mesir di beberapa tahun yang lalu, namun berita tentang imanda amaliapun menjadi kontroversi banyak yang percaya dan banyak juga yang tidak percaya. Artikel yang dipost pada blog Tausiyah In Tilawatun Islamiyah ini, tidak luput dari pantauan ribuan  pengunjung per harinya. Bagi yang  belum membacanya, silahkan baca pada link berikut :

Keajaiban ALLAH, Kesaksian Imanda Amalia, WNI Yang Dikabarkan Tewas Di Mesir, Saat Mengunujungi Jalur Gaza Palestina, Para Pejuang Palestina Diselimuti Hijab Putih Besar Seperti Kabut Saat Ditembaki Tentara Israel

Namun, postingan kali ini bukan lagi berita tentang Imanda Amalia. Melainkan tentang peristiwa – peristiwa menakjubkan yang terjadi diseputar perang Gaza yang dirangkum oleh seorang wartawan luar bernama thariq melalui kesaksian para mujahidin, khatib shalat jum’at maupun dari kesaksian tentara zionis israel sendiri juga dari situs resmi Al-Qassam maupun dari situs zionis israel dan dari berbagai sumber lain. Berita ini sudah marak meluas didunia maya, karenanya akhi ukhti akan menjumpai banyak artikel yang sama di search engine. Namun demikian, berita ini masih akan tetap eksis melihat perjuangan saudara-saudari kita di jalur Gaza yang tampak belum berakhir walau sudah ada peningkatan status Palestina di PBB.

Kejadian – Kejadian Ajaib Dan Menakjubkan Seputar Perang Gaza

Gaza, itulah nama hamparan tanah yang luasnya tidak lebih dari 360 km persegi. Berada di Palestina Selatan, “potongan” itu “terjepit” di antara tanah yang dikuasai penjajah Zionis Israel, Mesir, dan laut Mediterania, serta dikepung dengan tembok di sepanjang daratannya. (lebih…)

https://tausyah.wordpress.com/Istri-Shalehah

Ummu Salamah

Beliau adalah Hindun binti Abi Umayyah bin Mughirah al-Makhzumiyah al-Qursyiyah. Bapaknya adalah putra dari salah seorang Quraisy yang diperhitungkan (disegani) dan terkenal dengan kedermawanannya. Ayahnya dijuluki sebagai “Zaad ar-Rakbi ” yakni seorang pengembara yang berbekal. Dijuluki demikian karena apabila dia melakukan safar (perjalanan) tidak pernah lupa mengajak teman dan juga membawa bekal bahkan ia mencukupi bekal milik temannya. Adapun ibu beliau bernama ‘Atikah binti Amir bin Rabi’ah al-Kinaniyah dari Bani Farras yang terhormat.

Disamping beliau memiliki nasab yang terhormat ini beliau juga seorang wanita yang berparas cantik, berkedudukan dan seorang wanita yang cerdas.Pada mulanya dinikahi oleh Abu Salamah Abdullah bin Abdil Asad al-Makhzumi, seorang shahabat yang agung dengan mengikuti dua kali hijrah. Baginya Ummu Salamah adalah sebaik-baik istri baik dari segi kesetiaan, keta’atan dan dalam menunaikan hak-hak suaminya. Dia telah memberikan pelayanan kepada suaminya di dalam rumah dengan pelayanan yang menggembirakan. Beliau senantiasa mendampingi suaminya dan bersama-sama memikul beban ujian dan kerasnya siksaan orang-orang Quraisy. Kemudian beliau hijrah bersama suaminya ke Habasyah untuk menyelamatkan diennya dengan meninggalkan harta, keluarga, kampung halaman dan membuang rasa ketundukan kepada orang-orang zhalim dan para thagut. Di bumi hijrah inilah Ummu Salamah melahirkan putranya yang bernama Salamah. (lebih…)

JIHAD OFENSIF
(Tafsir QS at-Taubah [9]: 123)
Oleh: Rokhmat S. Labib, M.E.I.

sejarah islam

يَا أَيُّهَا الَّذِيْنَ آمَنُوْا قَاتِلُوْا الَّذِيْنَ يَلُوْنَكُمْ مِنَ الْكُفَّارِ وَلْيَجِدُوْا فِيْكُمْ غِلْظَةً وَاعْلَمُوْا أَنَّ اللهَ مَعَ الْمُتَّقِيْنَ
Hai orang-orang yang beriman, perangilah orang-orang kafir yang ada di sekitar kalian itu, dan hendaklah mereka merasakan kekerasan dari kalian. Ketahuilah bahwa Allah beserta orang-orang yang bertakwa. (QS al-Taubah [9]: 123).

Ayat ini terdapat dalam surat at-Taubah. Dalam surat ini, dalam beberapa ayatnya, kaum Muslim diperintahkan untuk memerangi seluruh kaum musyrik. Ayat ini termasuk di antaranya.

Ketika ayat ini diturunkan, perintah memerangi kaum musyrik langsung bisa dijalankan. Pasalnya, saat itu Daulah Islamiyah sudah berdiri kokoh. Surat ini termasuk yang terakhir diturunkan kepada Rasulullah saw. 1

Tafsir Ayat

Allah Swt. berfirman: Yâ ayyuhâ alladzîna âmanu qâtilû al-ladzîna yalûnakum min al-kuffâr (Hai orang-orang yang beriman, perangilah orang-orang kafir yang ada di sekitar kalian itu). Kata qâtilû merupakan fi’l al-amr dari mashdar kata al-qitâl atau al-muqâtalah. Secara bahasa, kata al-muqâtalah berarti al-muhârabah (peperangan).2 Pengertian peperangan yang dimaksud tentulah perang fisik.3

Adapun kata yalûna merupakan bentuk mudhâri dari al-waly yang berarti al-qurb wa al-dunuw (dekat).4 Kata yalûnakum pun dapat dimaknai dengan yaqrubûna minkum (yang dekat dari kalian).5 Bertolak dari makna-makna tersebut, ayat ini dapat dipahami sebagai perintah terhadap kaum Mukmin untuk memerangi kaum kafir yang dekat dengan mereka.6

Beberapa ayat dalam QS at-Taubah di atas (yakni ayat 5, 29, dan 36) memang memerintahkan kaum Muslim memerangi kaum kafir secara keseluruhan. Akan tetapi, untuk bisa memerangi mereka dalam waktu bersamaan tentu tidak mungkin. Yang mungkin bisa dilakukan adalah memerangi sekelompok di antara mereka terlebih dulu. Karena harus dipilih, maka kaum yang paling dekat dengan merekalah harus didahulukan.7 Inilah skala prioritas yang ditetapkan ayat ini.

Ar-Razi, az-Zuhayli, dan ash-Shabuni menuturkan, ketika Allah Swt. memerintahkan kaum Mukmin untuk memerangi kaum kafir secara keseluruhan. Dia pun mengajarkan metode yang paling tepat dan cocok untuk ditempuh, yakni mereka harus memulai dari yang dekat-dekat, lalu beralih kepada yang jauh-jauh.8 Dengan metode ini, kewajiban untuk memerangi kaum kafir secara keseluruhan dapat tercapai.9

Metode inilah yang ditempuh Rasulullah saw. dan para Sahabat ra. Pada awalnya beliau memerangi kaumnya, lalu bangsa Arab di Hijaz, kemudian Syam.10 Dari Madinah, Syam memang lebih dekat dibandingkan dengan Irak, Persia, atau Mesir. Setelah Syam dapat dikuasai pada masa Sahabat, kaum Muslim baru beralih ke Irak, berikutnya ke wilayah-wilayah lain.11

Selanjutnya Allah Swt. berfirman: Walyajidû fîkum ghilzhah (dan hendaklah mereka merasakan kekerasan dari kalian). Makna ghilzhah adalah dhidd ar-riqqah (lawan dari halus);12 bisa juga berarti syiddah (keras), quwwah (kuat), dan hamiyyah (gagah berani).13 Menurut al-Andalusi dan al-Baqa’i, dalam ayat ini, kata ghildhah digunakan untuk menunjukkan syiddah li al-harb (kerasnya peperangan).14

Menurut lahiriah ayat ini, yang diperintah untuk merasakan sifat ghilzhah adalah kaum kafir. Akan tetapi, perintah itu sebenarnya ditujukan kepada kaum Mukmin. Mereka diperintahkan memiliki sifat-sifat yang disebutkan itu, yakni sifat ghilzhah dengan segala makna yang tercakup di dalamnya.15 Dengan demikian, ayat ini menggunakan musabab untuk menyatakan sebab. Artinya, jika kaum kafir bisa merasakan kerasnya perjuangan kaum Muslim, hal itu disebabkan oleh kerasnya kaum Muslim terhadap mereka.16

Perintah untuk memiliki segala sifat yang tercakup dalam kata ghilzhah itu amat tepat. Sebab, demikianlah tabiat dan kemaslahatan dalam peperangan.17 Untuk bisa memenangkan peperangan, sifat tersebut harus dimiliki kaum Muslim (Lihat juga: QS at-Taubah [9]: 73).

Ayat ini ditutup dengan firman-Nya: Wa’lamû anna Allâh ma’a al-muttaqîn (Ketahuilah bahwa Allah beserta orang-orang yang bertakwa). Di akhir ayat ini Allah Swt. mengingatkan bahwa Dialah Penolong hamba-hamba-Nya yang bertakwa.18

Beberapa Pelajaran

Ada banyak pelajaran yang dapat dipetik dari ayat ini. Di antaranya:

1. Jihad ofensif.
Menurut ayat ini, jihad yang diwajibkan terhadap kaum Muslim tidak hanya bersifat difâ’î (defensif, membela diri), namun juga ibtidâ’i (ofensif, memulai perang terlebih dulu). Ayat ini jelas memberikan kesimpulan demikian.

Patut dicatat, jihad ibtidâ’i ini harus dilakukan di bawah komando Daulah Islamiyah. Pasalnya, jihad ini dilancarkan dalam kerangka futûhât, yakni upaya memperluas wilayah kekuasaan Daulah Islamiyah dengan cara menaklukkan wilayah-wilayah lain yang sebelumnya dikuasai penguasa kafir dan sistem kufur. Selanjutnya, wilayah yang telah ditaklukkan tersebut diintegrasikan dengan Daulah Islamiyah. Bertolak dari fakta ini, jihad futûhât tidak bisa dilakukan jika tidak ada Daulah Islamiyah.

Inilah yang dikerjakan Rasulullah saw. dulu. Ketika Rasulullah saw. berhasil mendirikan negara di Madinah, beliau pun mengirim banyak detasemen dan pasukan perang ke wilayah-wilayah lain. Tidak jarang, beliau memimpin langsung pasukan tersebut. Selama Rasulullah saw. hidup, beliau telah memimpin 27 kali peperangan. Adapun jumlah utusan dan ekspedisi militer yang tidak beliau pimpin langsung mencapai 60 kali.19

Dengan jihad ibtidâ’i inilah wilayah kekuasaan Islam terus mengalami perluasan. Jika di awal berdirinya, luas wilayah Daulah Islamiyah sekitar 274 mil persegi (kota Madinah), maka sepuluh tahun kemudian-ketika Rasulullah saw. menghadap Tuhannya-luas wilayah Daulah mencapai lebih dari 1.000.000 mil persegi.20

Kewajiban jihad ibtidâ’i ini juga tidak terlepas dari konteks dakwah. Disebutkan bahwa tatkala Rasulullah saw. memberangkatkan pasukan perang, beliau menyampaikan beberapa pesan kepada panglimanya. Di antara pesan beliau:

«وَإِذَا لَقِيْتَ عَدُوَّكَ مِنَ الْمُشْرِكِيْنَ فَادْعُهُمْ إِلَى ثَلاَثِ حِصَالٍ أَوْ خِلاَلٍ, فَأَيَّتَهُ مَا أَجَابُوْكَ فَاقْبَلْ مِنْهُمْ وَكُفَّ عَنْهُمْ, اُدْعُهُمْ إِلىَ اْلإِسْلاَمِ فَإِنْ أَجَابُوْكَ فَاقْبَلْ مِنْهُمْ وَكُفَّ عَنْهُمْ … فَإِنْ هُمْ أَبَوْا فَسَلْهُمُ الْجِزْيَةَ, فَإِنْ هُمْ أَجَابُوْكَ فَاقْبَلْ مِنْهُمْ وَكُفَّ عَنْهُمْ, فَإِنْ أَبَوْا فَاسْتَعِنْ بِاللهِ وَقَاتِلْهُمْ»
Jika kalian bertemu dengan musuh kalian dari kalangan kaum musyrik maka serulah mereka pada tiga pilihan, mana saja di antara ketiganya, selama mereka bersedia memenuhi seruanmu, maka terimalah dan tahanlah dirimu dari menyerang mereka. Ajaklah mereka memeluk Islam. Jika mereka memenuhi seruan kalian, terimalah dan tahanlah dirimu untuk menyerang mereka….Jika mereka enggan (memenuhi seruan kalian), mintalah mereka membayar jizyah. Jika mereka memenuhi seruan kalian, terimalah dan tahanlah diri kalian untuk menyerang mereka. Jika mereka enggan juga, mintalah perlindungan kepada Allah, kemudian perangilah mereka. (HR Muslim).

2. Keharusan bersungguh-sungguh dalam menjalankan kewajiban jihad.

Dalam ayat ini, kaum Muslim diperintahkan agar memiliki sifat ghilzhah dalam perang menghadapi kaum kafir. Ini berarti, mereka harus menyiapkannya secara sungguh-sungguh sehingga kaum kafir bisa merasakan kerasnya pasukan kaum Muslim dalam pertempuran.

Prinsip ini patut dicamkan dalam diri kaum Muslim. Kendati jihad terkategori tindakan menolong agama-Nya, dan bagi siapapun yang menolong agama-Nya dijanjikan memperoleh pertolongan-Nya (QS Muhammad [47]: 7), kaum Muslim tidak boleh meninggalkan faktor-faktor sababiyyah yang bisa mengantarkan kemenangan. Mereka harus mengerahkan segala kemampuan sehingga menjadi pasukan yang kuat dan handal. (Lihat juga: QS al-Anfal [8]: 60).

Jika kaum Muslim bisa menunjukkan keperkasaan kekuatan militernya, jelas setiap musuh akan merasa gentar menghadapi kaum Muslim. Rasa gentar ini akan menyebar luas kepada musuh-musuh yang nyata maupun yang potensial, sehingga dapat menjadi sarana yang efektif untuk mencegah kemunculan pihak-pihak yang hendak melakukan makar. Pasukan Islam pun tidak perlu menemui banyak perlawanan. Dengan begitu, pertumpahan darah pun dapat dihindari. Inilah yang terjadi pada masa Rasulullah saw. Amat sering pasukan Islam memperoleh kemenangan tanpa mendapatkan perlawanan yang berarti dan tertumpahnya darah. Di antaranya adalah peristiwa dibebaskannya Makkah. Makkah dapat dikuasai pasukan kaum Muslim tanpa harus menumpahkan darah. Demikian juga pada saat Perang Tabuk. Ketika pasukan Islam yang berjumlah 30.000 personel sampai di Tabuk, pasukan Romawi-negara adidaya saat itu-sudah pergi meninggalkan daerah itu. Dalam hal ini Rasulullah saw bersabda:

«نُصِرْتُ بِالرَّعْبِ شَهْرًا يَرْعَبُ مِنِّي الْعَدُوَّ مَسِيْرَةَ شَهْرٍ»
Aku dimenangkan dengan rasa takut (yang dialami pasukan musuh) sepanjang satu bulan perjalanan. (HR al-Bukhari).

3. Resep memperoleh pertolongan.

Dalam ayat ini ditegaskan, Allah Swt. bersama orang-orang yang bertakwa. Sebagaimana dijelaskan para mufassir, ma’iyyah dalam ayat ini bermakna pertolongan dan perlindungan Allah Swt. Itu berarti, siapapun yang ingin mendapatkan pertolongan Allah Swt., dia harus mengikatkan dirinya dengan semua perintah dan larangan-Nya, termasuk kewajiban jihad dengan segala ketentuannya.

Bertolak dari prinsip tersebut, kaum Muslim tidak perlu takut, cemas, ragu, dan khawatir terhadap kekuatan musuh-musuhnya dalam menjalankan jihad, karena Allah Swt. bersama mereka. Jika Allah Swt. telah menjadi Penolong mereka, tentu tidak ada seorang pun yang dapat mengalahkan mereka.

Wallâh a’lam bi ash-shawâb. []

Catatan Kaki :

  1. Ash-Shabuni, Shofwat al-Tafâsîr, vol. 1 (Beirut: Dar al-Fikr, 1996), 421.
  2. Ar-Raghib al-Ashfahani, Mu’jam Mufradât Alfâzh al-Qur’ân (Beirut: Dar al-Fikr, tt), 407.
  3. Zahid Ivan Salam, Jihad dan Kabijakan Luar Negeri (terj. Abu Faiz, dkk) (Bogor: Pustaka Thariqul Izzah, 2003), 58.
  4. Abd al-Qadir al-Razi, Tartîb Mukhtâr al-Shihah (Beirut: Dar al-Fikr, 1993), 879.
  5. Az-Zamakhsyari, al-Kasysyâf, vol. 2 (Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, 1994), 312; al-Nasafi, Madârik al-Tanzîl wa Haqâiq al-Ta’wîl, vol. 1 (Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, 2001), 525; al-Baqa’i, Nazhm Durar fî Tanâsub al-Ayât wa al-Suwar, vol. 3 (Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, 1995), 403; al-Qasimi, Mahâsin al-Ta’wîl, vol. 5 (Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, 1997), 530.
  6. Ath-Thabari, Jâmi’ al-Bayân fî Ta’wîl al-Qur’ân, vol. 6 (Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, 1992), 517; Abu Ali al-Fadhl, Majmû’ al-Bayân fî Tafsîr al-Qurân, vol. 5 (Beirut: Dar al-Ma’rifah, tt), 127; al-Alusi, Rûh al-Ma’ânî, vol. 9 (Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, 1994), 47.
  7. Al-Jashash, Ahkâm al-Qur’ân, vol. 3 (Beirut: Dar al-Fikr, 1993), 230.
  8. Fakhruddin al-Razi, al-Tafsîr al-Kabîr Aw Mafâtîh al-Ghayb, vol. 15 (Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, 1990), 181; al-Qinuji, Fath al-Bayan, vol. 5, 427; al-Zuhayli, al-Tafsîr al-Munîr, vol. 11, 80; al-Shabuni, Shafwat al-Tafâsîr, vol. 1, 529.
  9. Al-Khazin, Lubâb al-Ta’wîl fî Ma’ânî al-Tanzîl, vol. 2 (Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, 1995), 423; Sulaiman al-‘Ajili, al-Futuhât al-Ilâhiyyah, vol. 3 (Beirut: Dar al-Fikr, 2003), 239.
  10. Al-Zamakhsyari, al-Kasyâf, vol. 2 (Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, 1994), 312.
  11. Sulaiman al-‘Ajili, al-Futûhât al-Ilâhiyyah, vol. 3, 240.
  12. Al-Qasimi, Mahâsin al-Ta’wîl, vol. 5, 531; Fakhruddin al-Razi, al-Tafsîr al-Kabîr, vol. 15, 182; al-Khazin, Lubâb al-Ta’wîl fî Ma’ânî al-Tanzîl, vol. 2 (Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, 1995), 423.
  13. Al-Quthubi, al-Jâmi’ li Ahkâm al-Qur’ân, vol. 5 (Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, 1993), 189; al-Shabuni, Shofwat al-Tafâsîr, vol. 1, 529.
  14. Abu Hayyan al-Andalusi, Tafsîr al-Bahr al-Muhith, vol. 5 (Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, 1993), 118; al-Baqa’i, Nazham Durar, vol. 3, 403.
  15. Al-Qinuji, Fath al-Bayan, vol. 5, 426- 427
  16. Sulaiman al-‘Ajili, al-Futuhât al-Ilâhiyyah, vol. 3, 240.
  17. Al-Zuhayli, al-Tafsîr al-Munîr, vol. 11, 80
  18. Abu Ali al-Fadhl, Majmû’ al-Bayân, vol. 5, 127; al-Alusi, Rûh al-Ma’ânî, vol. 9, 47.
  19. Abu al-Hasan Ali al-Nadwi, Sirah Nabaiyyah, terj. Muhammad Halabi dkk. (Yogyakarta: Mardiyah Press, 2005), 454.
  20. Abu al-Hasan Ali al-Nadwi, Sirah Nabaiyyah, 456.


https://tausyah.wordpress.com

Pergi ke Medan Jihad Tanpa Izin Orang Tua, Tidak Boleh

Demi perhatian Islam terhadap kerelaan dua orang tua, maka Islam tidak membenarkan seorang anak pergi ke medan jihad tanpa mendapat izin dua orang tua, padahal fisabilillah mempunyai kedudukan yang sangat tinggi dalam Islam yang tidak dapat dibandingkan dengan sekadar sembahyang malam dan puasa di siang hari.

Abdullah bin ‘Amr bin ‘Ash meriwayatkan: “Ada seorang laki-laki datang kepada Nabi minta izin pergi berperang, kemudian Nabi bertanya: Apakah kedua orang tuamu masih hidup? Ia menjawab: Masih. Maka sabda Nabi: Berjuanglah untuk kedua orang tuamu itu.” (Riwayat Bukhari dan Muslim) – Yakni jadikanlah medan jihadmu itu dengan jalan berbuat baik dan melindungi kedua orang tuamu.

Dalam satu riwayat dikatakan: “Ada seorang laki-laki datang kepada Nabi s.a.w., kemudian berkata: aku telah berbai’at kepadamu untuk pergi hijrah dan berperang demi mencari pahala dari Allah. Lantas Nabi bertanya: Apakah salah satu dari kedua orang tuamu itu masih hidup? Ia menjawab: Betul, bahkan kedua-duanya masih hidup. Kemudian Nabi bertanya lagi: Apa betul kamu mencari pahala Allah? Ia menjawab: Betul! Maka jawab Nabi: Pulanglah, temui kedua orang tuamu itu, kemudian berbuat baiklah dalam bergaul dengan keduanya.” (Riwayat Muslim)

Dan diriwayatkan dari Abdullah bin ‘Amr bin ‘Ash juga, ia berkata: “Ada seorang laki-laki datang kepada Nabi, kemudian berkata: saya datang berbai’at kepadamu untuk berhijrah, tetapi saya tinggalkan kedua orang tuaku dengan menangis Maka jawab Nabi: Pulanglah dan perbuatlah kedua orang tuamu itu ketawa, sebagaimana kamu perbuat mereka menangis.” (Riwayat Bukhari dan lain-lain)

Abu Said meriwayatkan: “Ada seorang laki-laki dari Yaman pergi ke tempat Nabi s.a.w. Lantas Nabi bertanya: Apakah kamu masih mempunyai salah seorang keluarga di Yaman? Ia menjawab: Ya, dua orang tua saya. Nabi bertanya lagi: Apakah keduanya itu telah memberi izin kepadamu? Ia menjawab: Tidak! Kemudian Nabi bersabda: Pulanglah, dan minta izinlah kepada keduanya, kalau mereka itu memberi izin maka pergilah berperang, dan jika tidak, maka berbuat baiklah kepada keduanya.” (Riwayat Abu Daud)

Abu Ishaw As-Ayabi’i meriwayatkan, ketika Rasulullah SAW berhasil menaklukkan kota Makkah, maka Ikrimah berkata: Aku tidak akan tinggal di tempat ini!” Setelah berkata demikian, dia pun pergi berlayar dan memerintahkan supaya isterinya membantunya. Akan tetapi isterinya berkata: “Hendak kemana kamu wahai pemimpin pemuda Quraisy?” Apakah kamu akan pergi kesuatu tempat yang tidak kamu ketahui?” Ikrimah pun melangkahkan kakinya tanpa sedikitpun memperhatikan perkataan isterinya.

Ketika Rasulullah SAW bersama para sahabat lainnya telah berhasil menaklukkan kota Makkah, maka kepada Rasulullah isteri Ikrimah berkata: “Ya Rasulullah, sesungguhnya Ikrimah telah melarikan diri ke negeri Yaman karena ia takut kalau-kalau kamu akan membunuhnya. Justeru itu aku memohon kepadamu supaya engkau berkenan menjamin keselamatannya.”

Rasulullah SAW menjawab: “Dia akan berada dalam keadaan aman!” Mendengar jawapan itu, maka isteri Ikrimah memohon diri dan pergi untuk mencari suaminya. Akhirnya dia berhasil menemukannya di tepi pantai yang berada di Tihamah. Ketika Ikrimah menaiki kapal, maka orang yang mengemudikan kapal tersebut berkata kepadanya: “Wahai Ikrimah, ikhlaskanlah saja!”

Ikrimah bertanya: “Apakah yang harus aku ikhlaskan?”
“Ikhlaskanlah bahwa tidak ada Tuhan melainkan Allah dan akuilah bahwa Muhammad adalah utusan Allah!” Kata pengemudi kapal itu.
Ikrimah menjawab: “Tidak, jesteru aku melarikan diri adalah karena ucapan itu.”

Selepas itu datanglah isterinya dan berkata: “Wahai Ikrimah putera bapa saudaraku, aku datang menemuimu membawa pesan dari orang yang paling utama, dari manusia yang paling mulia dan manusia yang paling baik. Aku memohon supaya engkau jangan menghancurkan dirimu sendiri. Aku telah memohonkan jaminan keselamatan untukmu kepada Rasulullah SAW.”

Kepada isterinya Ikrimah bertanya: “Benarkah apa yang telah engkau lakukan itu?”
Isterinya menjawab: “Benar, aku telah berbicara dengan baginda dan baginda pun akan memberikan jaminan keselamatan atas dirimu.” Begitu saja mendengar berita gembira dari isterinya itu, pada malam harinya Ikrimah bermaksud untuk melakukan persetubuhan dengan isterinya, akan tetapi isterinya menolaknya sambil berkata: “Engkau orang kafir, sedangkan aku orang Muslim.”

Kepada isterinya Ikrimah berkata: “Penolakan kamu itu adalah merupakan suatu masalah besar bagi diriku.”

Tidak lama selepas Ikrimah bertemu dengan isterinya itu, mereka pun pulang kembali, setelah mendengar berita bahwa Ikrimah sudah pulang, maka Rasulullah SAW segera ingin menemuinya. Karena rasa kegembiraan yang tidak terkira, sehingga membuatkan Rasulullah SAW terlupa memakai serbannya.

Setelah bertemu dengan Ikrimah, baginda pun duduk. Ketika itu Ikrimah berserta dengan isterinya berada di hadapan Rasulullah SAW Ikrimah lalu berkata: “Sesungguhnya aku bersaksi bahwa tidak ada Tuhan melainkan Allah dan aku bersaksi bahwa Muhammad adalah utusan Allah.” Mendengar ucapan Ikrimah itu, Rasulullah SAW sangat merasa gembira, selanjutnya Ikrimah kembali berkata: “Wahai Rasulullah, ajarkanlah sesuatu yang baik yang harus aku ucapkan.”

Rasulullah SAW menjawab: “Ucapkanlah bahwa sesungguhnya tidak ada Tuhan melainkan Allah dan Muhammad adalah hamba-Nya dan Rasul-Nya.
Ikrimah kembali bertanya: “Selepas itu apa lagi?” Rasulullah menjawab: “Ucapkanlah sekali lagi, aku bersaksi bahwa sesungguhnya tidak ada Tuhan melainkan Allah dan aku bersaksi bahwa sesungguhnya Muhammad adalah hamba-Nya dan Rasul-Nya.” Ikrimah pun mengucapkan apa
yang dianjurkan oleh Rasulullah SAW selepas itu baginda bersabda: “Jika sekiranya pada hari ini kamu meminta kepadaku sesuatu sebagaimana yang telah aku berikan kepada orang lain, niscaya aku akan mengabulkannya.”

Ikrimah berkata: “Aku memohon kepadamu ya Rasulullah, supaya engkau berkenan memohonkan ampunan untukku kepada Allah atas setiap
permusuhan yang pernah aku lakukan terhadap dirimu, setiap perjalanan yang aku lalui untuk menyerangmu, setiap yang aku gunakan untuk
melawanmu dan setiap perkataan kotor yang aku katakan di hadapan atau di belakangmu.”

Maka Rasulullah SAW pun berdoa: “Ya Allah, ampunilah dosanya atas setiap permusuhan yang pernah dilakukannya untuk bermusuh denganku, setiap langkah perjalanan yang dilaluinya untuk menyerangku yang tujuannya untuk memadamkan cahaya-Mu dan ampunilah dosanya atas segala sesuatu yang pernah dilakukannya baik secara langsung berhadapan denganku mahupun tidak.”

Mendengar doa yang dimohon oleh Rasulullah SAW itu, alangkah senangnya hati Ikrimah, maka ketika itu juga ia berkata: “Ya Rasulullah! Aku bersumpah demi Allah, aku tidak akan membiarkan satu dinar pun biaya yang pernah aku gunakan untuk melawan agama Allah, melainkan akan aku ganti berlipat ganda demi membela agama-Nya. Begitu juga setiap perjuangan yang dahulu aku lakukan untuk melawan agama Allah, akan aku ganti dengan perjuangan yang berlipat ganda demi membela agama-Nya, aku akan ikut berperang dan berjuang sampai ke titisan darah yang terakhir.”

Demikianlah keadaan Ikrimah, setelah ia memeluk Islam, ia sentiasa ikut dalam peperangan hingga akhirnya ia terbunuh sebagai syahid. Semoga Allah berkenan melimpahkan kurnia dan rahmat-Nya kepada Ikrimah. Dalam riwayat yang lain pula diceritakan, bahwa ketika terjadinya Perang Yarmuk, Ikrimah juga ikut serta berperang sebagai pasukan perang yang berjalan kaki, pada waktu itu Khalid bin Walid mengatakan: “Jangan kamu lakukan hal itu, karena bahaya yang akan menimpamu adalah lebih besar!” Ikrimah menjawab: “Karena kamu wahai Khalid telah terlebih dahulu ikut berperang bersama Rasalullah SAW, maka biarlah hal ini aku lakukan!”

Ikrimah tetap meneruskan niatnya itu, hingga akhirnya ia gugur di medan perang. Pada waktu Ikrimah gugur, ternyata di tubuhnya terdapat lebih kurang tujuh puluh luka bekas tikaman pedang, tombak dan anak panah. Abdullah bin Mas’ud pula berkata: Di antara orang-orang yang termasuk dalam barisan Perang Yarmuk adalah Haris bin Hisyam, Ikrimah bin Abu Jahal dan Suhail bin Amar. Di saat-saat kematian mereka, ada seorang sahabat yang memberinya air minum, akan tetapi mereka menolaknya. Setiap kali air itu akan diberikan kepada salah seorang dari mereka yang bertiga orang itu, maka masing-masing mereka berkata: “Berikan saja air itu kepada sahabat di sebelahku.” Demikianlah keadaan mereka seterusnya, sehingga akhirnya mereka bertiga menghembuskan nafas yang terakhir dalam keadaan belum sempat meminum air itu.

Dalam riwayat yang lain pula ditambahkan: “Sebenarnya Ikrimah bermaksud untuk meminum air tersebut, akan tetapi pada waktu ia akan meminumnya, ia melihat ke arah Suhail dan Suhail pun melihat ke arahnya pula, maka Ikrimah berkata: “Berikanlah saja air minum ini kepadanya, barangkali ia lebih memerlukannya daripadaku.” Suhail pula melihat kepada Haris, begitu juga Haris melihat kepadanya. Akhirnya Suhail berkata: “Berikanlah air minum ini kepada siapa saja, barangkali sahabat-sahabatku itu lebih memerlukannya daripadaku.” Begitulah keadaan mereka, sehingga air tersebut tidak seorangpun di antara mereka yang dapat meminumnya, sehingga mati syahid semuanya. Semoga Allah melimpahkan kurnia dan rahmat-Nya kepada mereka bertiga.

Amin.”

https://tausyah.wordpress.com

Kekalahan umat Islam dalam perang Uhud menyebabkan bangkitnya kemarahan orang-orang badwi di sekitar Madinah untuk mencemuh dan mengungkit-ngungkit dendam lama yang sebelumnya sudah terpendam. Namun tanpa curiga sedikit pun Rasulullah memberikan sambutan baik atas kedatangan sekelompok pedagang Arab yang menyatakan keinginan sukunya hendak mendengar dan memeluk Islam. Untuk itu mereka meminta para jurudakwah dikirimkan ke kampung suku itu. Rasulullah s.a.w meluluskan. Enam orang sahabat yang alim diutus untuk melaksanakan tugas tersebut. Mereka berangkat bersama para pedagang Arab itu.

Di kampung Ar-Raji, dalam wilayah kekuasaan suku Huzail, para pedagang itu tiba-tiba melakukan pengurangan atas keenam sahabat Rasulullah s.a.w, sambil berseru meminta bantuan kaum Huzail. Keenam pendakwah itu dengan pantas menghunus senjata masing-masing dan siap mengadakan perlawanan, setelah insaf bahawa mereka tengah dijebak.

Para pedagang yang licik tadi berteriak, “Sabar saudara-saudara. Kami tidak bermaksud membunuh atau menganiayai kalian. Kami cuma mahu menangkap kalian untuk kami jual ke Makkah sebagai budak belian. Keenam sahabat Rasulullah s.a.w itu tahu nasib mereka bahkan lebih buruk daripada terbunuh dalam pertarungan tidak berimbang itu. Kerana mereka segera bertakbir seraya menyerang dengan tangkas.

Terjadilah pertempuran seru antara enam pendakwah berhati tulus dengan orang-orang yang beringas yang jumlanya jauh lebih besar. Pedang mereka ternyata cukup tajam. Beberapa orang lawan telah menjadi korban. Akhirnya tiga sahabat tertusuk musuh dan langsung gugur. Seorang lagi dibaling batu beramai-ramai hingga tewas. Bakinya tinggal dua orang; Zaid bin Addutsunah dan Khusaib bin Adi.

Apalah daya dua orang pejuang, betapa pun lincahnya perlawanan mereka, menghadapi begitu banyak musuh yang tangguh ? Selang beberapa saat sesudah jatuhnya empat sahabat tadi, kedua orang itu dapat dilumpuhkan dan belenggu. Lalu mereka diangkut menuju pasar budak di Makkah. Zaid dibeli oleh Shafwan bin Umayyah. Ayah Shafwan, Umayyah bin Khalaf, adalah majikan Bilal dan Amir bin Fuhairah. Umayyah terkenal sangat kejam kepada budak-budaknya. Bilal pernah disalib di atas pasir dan dijemur di tengah terik matahari dengan badan ditindihi batu. Untung Bilal ditebus oleh Saiyidina Abu Bakar Assidiq dan dimerdekakan. Orang Habsyi ini kemudian terkenal sebagai sahabat dekat Rasulullah s.a.w. dan diangkat sebagai Muazin, tukang azan.

Dalam perang Badar, Umayyah bin Khalaf berhadap-hadapan dengan bekas budaknya itu. Dan Bilal berhasil membunuhnya dalam pertempuran yang sengit satu lawan satu. Adapun Khubaib bin Adi diambil oleh Uqbah bin Al-Harits dengan tujuan yang sama seperti maksud Shafwan membeli Zaid bin Abdutsunah. Iaitu untuk membalas dendam kebencian mereka kepada umat Islam.

Maka oleh orang-orang Quraisy, Zaid diseret menuju Tan’im, salah satu tempat untuk miqat umrah. DI sanalah Zaid akan dijalani hukuman pancung, buatkan sesuatu yang ia tidak pernah melakukannya, iaitu terbunuhnya Umayyah bin Khalaf, ayahanda Shafwan. Menjelang algojo menetak parangnya, pemimpin kaum Musyrikin Abu Sufyan bertanya garang, “Zaid bedebah, apakah engkau senang seandainya di tempatmu ini ada Muhammad, sedangkan engkau hidup tenteram bersama keluargamu di rumah ?”

“Janganlah begitu,” bantah Zaid dengan keras. “Dalam keadaan begini pun aku tidak rela Rasulullah tertusuk duri kecil di rumahnya.”
Abu Sufyan menjadi marah. “Bereskan,” teriaknya kepada algojo. Dalam sekelip mata, sebilah parang berkilat di tengah terik matahari dan darah segar menyembur keluar. Zaid bin Abdutsunah gugur setelah kepalanya dipotong, menambah jumlah penghuni syurga dengan seorang syuhada’ lagi. Di hati Abu Sufyan dan orang-orang Quraisy lainnya timbul kehairanan akan kesetiaan para sahabat kepada Muhammad. Sampai tergamam di bibir Abu Sufyan ucapan kagum, “Aku tidak perna menemukan seorang yang begitu dicintai para sahabat seperti Muhammad.”

Sesudah selesai pemancungan Zaid, datang pula rombongan lain yang menyeret Khubaib bin Adi. Sesuai dengan hukum yang berlaku di seluruh Tanah Arab, kepada pesalah yang dijatuhi qisas mati diberikan hak untuk menyampaikan permintaan terakhir. Demikian juga Khubaib. Juru dakwah yang bestari ini meminta izin untuk solat sunnah dua rakaat. Permohonan tersebut dikabulkan. Dengan khusyuk dan tenang, seolah-olah dalam suasana aman tenteram tanpa ancaman kematian, Khubaib melaksanakan ibadahnya sampai selesai. Setelah salam dan mengangkat dua tangan, ia berkata, “Demi Allah. Andaikata bukan kerana takut disangka aku gentar menghadapi maut, maka solatku akan kulakukan lebih panjang.”

Khubaib disalib dahulu lalu dihabisi sepertimana dilaksanakan ke atas Zaid bin Abdutsunah. Jasadnya telah lebur sebagaimana jenazah lima sahabatnya yang lain. Namun semangat dakwah mereka yang dilandasi keikhlasan untuk menyebarkan ajaran kebenaran takkan pernah padam dari permukaan bumi. Semangat itu terus bergema sehingga makin banyak jumlah pendakwah yang dengan kekuatan sendiri, atas biaya peribadi, menyelusup keluar-masuk pedalaman berbatu-batu karang atau berhutan-hutan belantara buat menyampaikan firman Tuhan menuju keselamatan.

https://tausyah.wordpress.com