Posts Tagged ‘Muhammad’

https://tausyah.wordpress.com/Khawarizmi

Bapak Aljabar

Seorang ilmuwan muslim yang bernama lengkap Abu ‘Abdallah Muhammad ibnu Musa al-Khwarizmi itu kerap dijuluki sebagai Bapak Aljabar, karena sumbangan ilmu pengetahuan Aljabar dan Aritmatika yang beliau tekuni. Ia merupakan seorang ahli matematika dari Persia yang dilahirkan pada tahun 194 H/780 M, tepatnya di Khwarizm, Uzbeikistan.  Karena itulah,  ia kerap kali disapa dengan panggilan Khawarizmi.

Selain terkenal sebagai seorang ahli matematika yang agung, ia juga adalah astronomer, dan geografer yang hebat. Berkat kehebatannya,  Khawarizmi  terpilih sebagai ilmuwan penting  di pusat keilmuwan yang paling bergengsi pada zamannya, yakni Bait al-Hikmah  atau House of Wisdom yang didirikan khalifah Abbasiyah  di metropolis intelektual dunia, Baghdad.

Bait al-Hikmah  merupakan lembaga yang berfungsi sebagai pusat pendidikan tinggi. Dalam kurun dua abad, Bait al-Hikmah ternyata berhasil melahirkan banyak pemikir dan intelektual Islam. Di antaranya, nama-nama ilmuwan seperti Khwarizmi.

Khawarizmi adalah seorang ilmuwan jenius pada masa keemasan Islam di kota Baghdad, pusat pemerintahan Kekhalifahan Abbasiyah. Ia  sangat berjasa besar dalam mengembangkan ilmu aljabar dan aritmetika. (lebih…)

https://tausyah.wordpress.com/Masjid-Nabawi

Masjid nabawi

Suatu ketika Rasulullah Shallallahu Alaihi Wassalam berkumpul dengan para Sahabatnya, Beliau berkata pada Umar.

“coba ceritakan kepadaku yang membuat aku tertawa dan membuat aku menangis”.

Kemudian Sahabat Umar pun bercerita. ” Dahulu sebelum aku mengenal Islam ,aku membuat patung berhala dari manisan. Lalu aku pun menyembah patung manisan itu.

“Demi lata uzza mannat engkau lah yang mulia, beri aku makanan sebagai rizki darimu” kataku. Waktu itu aku menyembah patung namun perutku sedang lapar.

Selesai menyembah berhala aku menuju dapur, tak kudapatkan makanan disana lalu aku kembali keruangan persembahyangan. Tak ada makanan selain berhala sesembahanku, akhirnya dengan rasa sesal aku memakan tuhanku sendiri yang kusembah sembah sebelumnya. Aku memakan berhala tersebut mulai dari kepalanya, terus tangannya hingga habis tak tersisa.” (lebih…)

https://tausyah.wordpress.com/Bismillah

Bissmillah

sambungan dari kisah Masa Kecil Nabi Muhammad sebelumnya..

Pada suatu  kali, Muhammad  kecil turut  berdagang  bersama  pamannya,   Abu  Talib,  ke Syam. Muhammad  mulai  mengenal  pasar- pasar, berjalan  bahumembahu  dengan  pedagang-pedagang lainnya. Di suatu  dataran  tinggi di Syam, tinggallah  seorang   pendita  bernama Buhaira. Ia memperhatikan   setiap orang yang  lalu dan pergi  ke  daerahnya  itu.  Ia seorang yang amat  tekun beribadat menyembah  ALLAH sebagai pengikut nabi Isa Al – Masih yang  masih lurus ajarannya,  serta membaca  kitab- kitab lama.   Di  antaranya  ia   membaca Injil  Barnaba,   dimana   tertulis   bahawa  Nabi Isa  al-Masih  pernah   berkata, bahawa akan  datang  seorang Rasul   sesudahku  bernama  Ahmad,  dan apabila  Rasul  yang bernama Ahmad ini berjalan akan dilindungi oleh awan.

Pada suatu hari  Pendita  Buhaira  melihat serombongan kafilah  Arab datang  menuju   Syam   yang  selalu   diikuti   oleh awan  di  atasnya. Kafilah  ini didatanginya,  dipersilakannya  mampir  di rumah   kediamannya.   Kafilah  ini  adalah kafilah   yang   dipimpin  oleh   Abu  Talib, dimana  Muhammad    turut serta  di dalamnya. Pendita   Buhaira   memperhatikan   gerak- gerik   anak  yang  bernama   Muhammad  itu, akhirnya  ia  yakin  bahawa anak itulah yang akan diutus  Allah menjadi  Nabi dan Rasul  sesudah Isa al-Masih  a.s.  memberi nasihat  kepada Abu  Talib  agar  anak  ini dijaga   baik   baik,  jangan  terlengah  dari penjagaan,  sebab ia  kelak  akan menjadi seorang maha penting. Dengan  nasihat  dan  keyakinan   Pendita Buhaira   ini, Abu  Talib    semakin  cinta terhadap  anak  saudaranya   yang bernama   Muhammad  ini.   Bukan    saja cinta,  melainkan ditambah    dengan  perasaan harap  dan hormat. (lebih…)

JihadSerbuan Muawiyah ke Mesir

Setelah perang Shiffin berhenti dan Muawiyah bin Abi Suf­yan melihat tidak ada lagi serangan yang dilancarkan Imam Ali r.a., ia mengumpulkan para penasehatnya untuk dimintai pendapat tentang rencana merebut wilayah Mesir dari kekuasaan Imam Ali.

Kepada para penasehatnya itu Muawiyah antara lain berkata: “Kalian telah menyaksikan sendiri kemenangan yang telah dilim­pahkan Allah kepada kita. Pada mulanya mereka tidak ragu-ragu hendak menghancurkan kalian, menduduki negeri kalian dan me­nguasai kalian. Akan tetapi Allah telah menggagalkan niat jahat mereka. Dengan pertolongan Allah kalian telah berhasil mengalah­kan mereka. Kalian mohon keadilan (tahkim) kepada Allah, dan Allah sekarang telah menjatuhkan hukum-Nya atas mereka. Allah telah memperkokohkan persatuan kita, mempererat persaudaraan kita, membuat musuh kita berpecah-belah, saling kafir meng­kafirkan dan saling bunuh membunuh. Demi Allah aku mengharap mudah-mudahan Allah akan lebih menyem-purnakan lagi keme­nangan kita. Sekarang aku sedang berfikir untuk menyerbu Mesir. Bagaimana pendapat kalian…?”

Menanggapi pertanyaan Muawiyah itu, para penasehatnya menjawab, bahwa mengenai hal itu mereka mendukung apa yang menjadi pendapat Amr Ibnul Ash.

Berdasarkan pernyataan para penasehatnya itu, Muawiyah menjelaskan: “Amr memang sudah mempunyai pendapat tegas dan bertekad hendak menyerbu Mesir, tetapi ia belum menjelas­kan langkah-langkah apa yang harus kita lakukan!”

Untuk menjelaskan langkah-langkah apa yang harus di­lakukan itu, Amr bin Al Ash berkata: “Aku sekarang hendak menjelaskan apa yang sebaiknya harus engkau lakukan. Aku ber­pendapat, sebaiknya engkau mengirim pasukan yang besar di bawah pimpinan seorang kuat, tegas dan mendapat kepercayaan penuh. Bila sudah masuk ke Mesir ia pasti akan mendapat dukung­an penduduk yang sependirian dengan kita. Sedangkan terhadap orang-orang yang memusuhi kita, mereka harus kita tundukkan dengan kekerasan. Kalau pasukan dan para pengikutmu sudah bu­lat sepakat untuk memerangi musuh-musuhmu, kuharap Allah s.w.t. akan memenangkan engkau…”

“Selain itu, bagaimana pendapatmu tentang apa yang perlu kita lakukan sebelum menyerang mereka?” tanya Muawiyah ke­pada Amr bin Al-Ash.

“Aku belum tahu…,” sahut Amr.

“Aku mempunyai pendapat lain,” ujar Muawiyah melanjut­kan perkataannya. “Kufikir, sebaiknya kita menyurati dulu pen­dukung-pendukung kita dan musuh-musuh kita di Mesir. Kepada para pendukung kita anjurkan supaya mereka tetap sabar dan ta­bah menunggu kedatangan pasukan kita. Sedangkan kepada musuh-­musuh kita, sebaiknya mereka itu kita ajak berdamai lebih dulu, sambil kita gertak dengan kekuatan angkatan perang kita. Jika mereka menyambut baik ajakan kita sehingga tidak terjadi pepe­rangan, itulah yang kita inginkan. Tetapi jika mereka menolak, kita tidak menemukan cara lain kecuali harus kita perangi…”

“Kalau begitu, baiklah,” jawab Amr. “Kaulaksanakanlah pendapat itu. Demi Allah, bagaimanapun juga akhirnya pasti terjadi peperangan…”

Selesai pertemuan, Muawiyah segera menulis surat kepa­da dua orang tokoh pendukung-nya di Mesir, yaitu Maslamah bin Makhlad dan Muawiyah bin Hudaij Al-Kindiy. Dua orang tokoh tersebut adalah penentang Imam Ali r.a. Dalam surat­nya Muawiyah bin Abi Sufyan antara lain mengatakan: “Allah s.w.t. telah memikulkan tugas besar di atas pundak kalian. Dengan tugas itu kalian akan mendapat pahala sangat besar dan Allah akan mengangkat kedudukan serta martabat kalian. Kalian menuntut balas atas terbunuhnya Khalifah yang madzlum (yakni Utsman bin Affan). Ketika kalian melihat hukum Allah dibiarkan, kalian marah, kemudian kalian berjuang melawan orang dzalim yang memusuhi Utsman. Hendaknya kalian tetap teguh berpendirian seperti itu dan teruskan perjuangan melawan musuh kalian. Tarik­lah orang-orang yang masih menjauhi kalian berdua agar mereka mau mengikuti pimpinan kalian. Sebuah pasukan akan datang un­tuk memperkuat kalian, dan setelah itu akan tersingkirlah semua yang tidak kalian sukai, dan apa yang kalian inginkan akan ter­wujud. Wassalaam.”

Surat Muawiyah tersebut dibawa oleh seorang maula, berna­ma Subai, ke Mesir, untuk diterimakan kepada dua tokoh pen­dukung Muawiyah tersebut di atas tadi.

Setelah dibaca oleh Maslamah bin Makhlad, surat itu diterus­kan kepada Muawiyah bin Hudaij disertai pemberitahuan, bahwa surat itu akan dibalasnya sendiri dan juga atas nama Muawiyah bin Hudaij. Muawiyah bin Hudaij menyatakan persetujuannya agar Maslamah menulis jawaban kepada Muawiyah bin Abi Sufyan.

Dalam surat jawabannya Maslamah antara lain mengatakan: “…Perintah yang dipercayakan kepada kami berdua untuk terus melawan musuh, merupakan kewajiban yang akan kami laksana­kan, dengan harapan semoga Allah akan melimpahkan pahala ke­pada kita. Mudah-mudahan Allah akan memenangkan kita atas orang-orang yang menentang kita, dan akan mempercepat pem­balasan terhadap orang-orang yang telah berbuat jahat memusuhi pemimpin kita, dan yang hendak menginjak-injak negeri kita.

“Di negeri ini (Mesir) kami telah menyingkirkan orang-orang dzalim dan telah membangkitkan orang-orang yang bersikap adil. Engkau telah menyebut-nyebut dukungan dan bantuan kami untuk mem­pertahankan kekuasaan yang ada di tanganmu. Demi Allah, kami telah bangkit melawan musuhmu bukan dengan niat untuk mem­peroleh kekayaan. Bukan itu yang kami inginkan, meskipun Allah mungkin akan melimpahkan imbalan pahala di dunia dan akhi­rat. Kirimkanlah segera kepada kami pasukan berkuda dan peja­lan kaki. Sebab musuh sudah siap hendak menyerang kami, se­dang kekuatan kami sangat kecil dibanding dengan mereka. Pada saat bantuanmu tiba, Allah pasti akan menjamin kemenang­an bagimu…”

Surat Maslamah dan Ibnu Hudaij itu diterima Muawiyah di saat ia sedang berada di Palestina. Para penasehatnya menyaran­kan supaya Muawiyah cepat-cepat mengirimkan pasukan ke Me­sir. Mereka mengatakan: “Insyaa Allah, engkau pasti akan berhasil menaklukannya…”

Muawiyah kemudian memerintahkan Amr bin Al Ash supaya segera memobilisasi pasukan. Setelah siap segala-galanya, Amr di­perintahkan berangkat ke Mesir memimpin pasukan berkekuat­an 6.000 orang. Waktu mengantar keberangkatannya, Muawiyah bin Abi Sufyan berpesan: “Kupesankan supaya engkau tetap ber­taqwa kepada Allah. Hendaknya engkau berkasih-sayang dan ja­ngan terburu-buru. Sebab sikap seperti itu adalah dorongan setan. Hendaknya engkau mau menerima baik siapa saja yang datang ke­padamu, dan berikanlah maaf kepada orang-orang yang menjauhi dirimu. Berilah kesempatan kepada mereka untuk kembali dan bertaubat. Bila mereka sudah kembali dan bertaubat, engkau harus bersedia menerima dan memaafkan perbuatan mereka. Tetapi jika mereka tetap menolak, engkau harus bersikap keras. Sebab, kekerasan yang diambil setelah melalui peringatan lebih dulu, akan lebih baik akibatnya. Hendaknya engkau menyerukan dan mengajak orang untuk berdamai dan rukun serta bersatu. Sehingga apabila engkau menang, engkau akan mempunyai pendukung-­pendukung yang terbaik. Oleh karena itu bersikaplah baik-baik kepada semua orang…”

Setibanya dekat Mesir, Amr bin Al Ash dan pasukannya berhenti. Di tempat itu orang-orang dari penduduk Mesir yang menjadi pengikut Utsman bin Affan r.a. datang bergabung. Kemu­dian Amr mengirim surat kepada Muhammad bin Abu Bakar Ash Shiddiq. Isinya antara lain: “Hai Ibnu Abu Bakar…, serahkanlah kedudukanmu kepadaku, karena tanganmu berlumuran darah (Utsman). Aku tidak ingin melihat engkau celaka di tanganku. Di negeri ini banyak orang yang sudah bertekad hendak melawanmu, menolak perintahmu, dan menyesal pernah menjadi pengikutmu. Mereka hendak menyerahkan dirimu kepadaku di waktu keada­an sudah menjadi genting. Kunasehatkan, sebaiknya kautinggal­kan saja negeri ini…!”

Bersamaan dengan surat itu, oleh Amr juga dilampirkan surat Muawiyah yang ditujukan kepada Muhammad bin Abu Bakar Ash Shiddiq. Surat Muawiyah bin Abi Sufyan itu isinya antara lain: “Apabila kedzaliman dan kedurhakaan sudah merajalela, pasti besarlah akibat buruk yang ditimbulkan. Orang yang telah menum­pahkan darah secara tidak sah, tak akan terhindar dari pembalasan di dunia dan siksa berat di akhirat. Aku belum pernah melihat orang yang melebihi engkau dalam berbuat jahat, mencerca dan menentang Utsman bin Affan. Bersama-sama orang lain engkau berusaha dan saling bantu untuk menumpahkan darahnya. Lantas, apakah engkau mengira bahwa aku akan melupakan perbuatanmu itu?”

Seterusnya dikatakan: “Sekarang engkau tinggal di sebuah negeri dengan aman dan tenteram, padahal di negeri itu banyak sekali pengikut dan pendukungku. Mereka itu ialah orang-orang yang sependirian dengan aku, menolak semua omonganmu, dan berteriak minta tolong kepadaku. Aku telah mengerahkan sebuah pasukan untuk memerangimu, dan mereka itu adalah orang-orang yang sangat dendam terhadap dirimu. Mereka akan menumpahkan darahmu, dan akan bertaqarrub kepada Allah me­lalui perjuangan melawanmu. Mereka telah bersumpah hendak membunuhmu. Seandainya mereka tidak sampai dapat memenuhi sumpah masing-masing, Allah pasti akan mencabut nyawamu, entah melalui tangan mereka atau tangan para hamba-Nya yang lain. Engkau kuperingatkan, bahwa Allah tetap menuntut balas kepadamu atas terbunuhnya Utsman, yang disebabkan oleh kedza­limanmu, kedurhakaanmu dan tusukan tombakmu. Walaupun begitu…, aku tidak ingin membunuhmu. Aku tidak mau berbuat seperti itu terhadap dirimu. Allah tidak akan menyelamatkan dirimu dari pembalasan, di mana pun engkau berada dan sampai ka­pan pun juga. Oleh karena itu, lepaskanlah kedudukanmu dan selamatkan dirimu sendiri. Wassalaam.”

Setelah dua surat tersebut dibaca oleh Muhammad bin Abu Bakar, kemudian dilipat untuk diteruskan kepada Amirul Muk­minin Imam Ali r.a., dengan disertai pengantar sebagai berikut: “Ya Amirul Mukminin, si durhaka Ibnul Ash kini telah tiba dekat Mesir. Orang dari penduduk Mesir yang sependirian dengan dia berhimpun di sekelilingnya. Ia datang membawa sebuah pa­sukan besar. Kulihat ada tanda-tanda patah semangat di kalangan orang-orang yang menjadi pendukungku. Jika engkau masih te­tap hendak mempertahankan Mesir, harap segera mengirimkan beaya dan pasukan. Wassalamu’alaika wa rahmattullahi wabara­kaatuh.”

Sesudah Imam Ali r.a. membaca surat-surat yang dikirim­kan oleh Muhammad bin Abu Bakar, ia segera menulis jawaban: “Utusanmu telah datang membawa suratmu kepadaku. Dalam surat tersebut engkau mengatakan, bahwa Ibnul Ash sekarang telah datang di Mesir membawa sebuah pasukan besar, dan bahwa orang-­orang yang sependirian dengan dia telah bergabung kepadanya. Keluarnya orang-orang yang sependirian dengan dia dari barisan­mu itu lebih baik daripada kalau mereka tetap tinggal bersamamu. Engkau menyebutkan juga, bahwa ada orang-orang yang tampak patah semangat. Tetapi engkau sendiri jangan sampai patah sema­ngat. Pertahankanlah wilayah negerimu, himpunlah semua pen­dukungmu, perkuat pengawasan dalam pasukanmu, dan angkat­lah Kinanah bin Bisyir sebagai pimpinan pasukan. Ia seorang yang terkenal bijaksana, berpengalaman dan pemberani. Dalam keadaan sulit rakyat kupercayakan kepadamu. Oleh karena itu hendak­nya engkau tetap tabah menghadapi musuh dan senantiasa te­tap waspada. Perangilah mereka dengan keteguhan tekadmu, dan lawanlah mereka sambil bertawakkal kepada Allah s.w.t.”

Selanjutnya Imam Ali r.a. mengatakan: “Sekalipun fihakmu lebih sedikit jumlahnya, namun Allah berkuasa menolong fihak yang sedikit dan mengalahkan fihak yang berjumlah banyak. Aku sudah membaca dua pucuk surat yang dikirimkan kepadamu oleh dua orang durhaka yang berpelukan mesra dalam perbuatan mak­siyat, bergandeng-tangan dalam kesesatan, saling suap dalam pe­merintahan, dan sama-sama sombongnya terhadap para ahli agama. Janganlah engkau gentar menghadapi dua orang itu, dan jawablah mereka, engkau boleh menggunakan ‘bahasa’ apa saja menurut kehendakmu. Wassalaam.”

Selesai menulis surat, Imam Ali r.a. segera mengumpulkan para pengikutnya kemudian mengucapkan khutbah: “Muham­mad bin Abu Bakar Ash Shiddiq dan saudara-saudara kalian di Mesir sekarang menjerit minta bantuan, karena anak si Nabi­ghah (yakni Amr) sekarang sudah bergerak membawa pasukan besar hendak menyerang mereka. Anak si Nabighah itu ialah mu­suh Allah, musuh orang-orang yang hidup di bawah pimpinan Allah, dan pemimpinnya orang-orang yang memusuhi Allah. Oleh karena itu hai para saudara kita di Mesir, Mesir jauh lebih besar daripada Syam, penduduknya pun lebih baik. Janganlah kalian sampai terkalahkan di Mesir. Adalah suatu kehormatan bagi kalian jika Mesir tetap berada di tangan kalian. Itu pun sekaligus merupa­kan pukulan hebat bagi musuh kalian. Berangkatlah kalian ke Ja­ra’ah[1] dan kita semua besok akan berkumpul di sana. Insyaa Allah.”

Keesokan harinya Imam Ali r.a. berangkat ke Jara’ah. Seti­banya di sana ia berhenti menunggu sampai tengah hari. Ternyata hanya 100 orang saja yang datang hendak mengikuti. Melihat gela­gat seperti itu, Imam Ali r.a. pulang ke Kufah. Malam harinya ia mengumpulkan sejumlah pengikut terkemuka. Dalam perte­muan itu Imam Ali r.a. tampak sedih dan sangat kecewa. Ia ber­kata: “Puji syukur ke hadirat Allah yang mengatur semua urusan menurut takdir-Nya, dan yang menilai siapa-siapa berbuat kebajik­an. Dialah yang memberi cobaan kepadaku dalam menghadapi kalian. Hai saudara-saudara, kalian itu sebenarnya adalah kelompok orang-orang yang tidak mau taat bila kuperintah, dan tidak mau menyambut bila kuajak. Celaka sekali kalian itu! Kemenangan apa yang kalian tunggu jika kalian enggan berjuang membela hak­-hak kalian? Di dunia ini sesungguhnya mati lebih baik dari­pada hidup meninggalkan kebenaran!”

“Demi Allah,” kata Imam Ali r.a. seterusnya, “seandainya maut datang kepadaku –dan biarlah ia datang– kalian akan melihat aku benar-benar marah menjadi teman bagi orang-orang seperti kalian! Apakah kalian tidak mempunyai agama yang me­wajibkan kalian bersatu? Apakah kalian tidak bisa marah kalau kehormatan kalian diinjak-injak? Apakah kalian tidak mendengar bahwa musuh kalian hendak mengurangi wilayah negeri kalian dan mereka sekarang sedang melancarkan serangan terhadap kali­an? Apakah tidak aneh kalau orang-orang durhaka dan dzalim bisa menyambut baik ajakan Muawiyah dan bersedia dikerahkan kemana saja menurut kehendaknya? Sedangkan kalian sendiri, tiap kuajak pasti bertengkar, lari bercerai-berai menjauhi aku, mem-bangkang dan membantah…!”

Di Mesir, seterimanya surat yang berisi petunjuk dari Imam Ali r.a., Muhammad bin Abu Bakar segera menulis jawaban kepada Amr bin Al Ash, yang isinya: “Aku sudah memahami isi suratmu dan telah mengerti apa yang kausebutkan. Seolah-olah engkau ti­dak suka melihatku celaka di tanganmu, tetapi aku bersaksi, demi Allah, bahwa engkau itu adalah salah seorang yang hidup bergeli­mang dalam kebatilan. Seolah-olah engkau memberi nasehat ke­padaku, tetapi aku bersumpah, bahwa sesungguhnya bagiku eng­kau adalah musuh yang harus dicurigai. Engkau mengatakan bah­wa penduduk negeri ini emoh kepadaku dan menyesal pernah jadi pengikutku, tetapi orang-orang yang seperti itu sebenarnya hanyalah mereka yang bersekutu dengan setan terkutuk. Aku berserah diri kepada Allah, Tuhan semesta alam, karena hanya Dia-lah tempat orang berserah diri yang sebaik-baiknya.”

Bersamaan dengan itu, Muhammad bin Abu Bakar juga menu­lis jawaban kepada Muawiyah bin Abi Sufyan. Isinya antara lain: “Suratmu sudah kuterima. Engkau menyebut-nyebut per­soalan Utsman bin Affan, suatu persoalan yang aku tidak perlu minta maaf kepadamu. Seolah-olah engkau hendak memberi nase­hat kepadaku dengan menggertak supaya aku menyerahkan kedu­dukan kepadamu. Dengan menakut-nakuti aku, engkau sekaligus juga berpura-pura menunjukkan belas kasihan kepadaku. Padahal sebenarnya aku sendiri sangat mengharapkan bencana menimpa kalian. Mudah-mudahan Allah akan menghancurkan kalian dalam peperangan sehingga kalian akan menjadi orang-orang hina yang la­ri tunggang langgang. Kalau sampai engkau berkuasa di dunia ini, demi Allah, betapa banyaknya orang dzalim yang akan kaubela. Betapa banyaknya orang mukmin yang akan kaubunuh dan kaucincang! Hanya kepada Allah sajalah semua persoalan kembali. Sesungguhnya Dia-lah Maha Pengasih dan Penyayang…”

Seterimanya surat jawaban dari Muhammad bin Abu Bakar, Amr bin Al Ash dan pasukannya mulai bergerak memasuki Mesir. Mendengar berita tentang gerakan Amr tersebut, Muhammad bin Abu Bakar berpidato di depan umum:

“Hai orang-orang yang beriman, ketahuilah bahwa kaum yang sudah biasa melanggar kehormatan, yang tenggelam dalam kesesa­tan, dan yang terus menerus berbuat sewenang-wenang sekarang sudah terang-terangan menyatakan permusuhan terhadap kalian. Mereka sedang bergerak menuju negeri kalian ini dengan membawa pasukan bersenjata. Oleh karena itu, barang siapa yang mengingin­kan sorga dan pengampunan dari Allah s.w.t., ia harus berani keluar dan berjuang melawan mereka dengan niat semata-mata untuk memperoleh keridhoan Allah. Majulah menggempur mereka bersama-sama Kinanah bin Bisyir!”

Kinanah bin Bisyir kemudian diserahi tugas memimpin pasu­kan sebesar 2.000 orang, sedangkan Muhammad bin Abu Bakar bertahan di belakang dengan 2.000 orang pengikut. Amr bin Al Ash bergerak terus menghadapi pasukan Kinanah yang mengambil posisi di depan pasukan Muhammad. Ketika sudah mendekati

pasukan Kinanah, Amr menggerakkan pasukannya regu demi regu. Tiap regu Syam yang berani mendekat, selalu berhasil dipukul mundur oleh pasukan Kinanah. Ini terjadi sampai berulang kali.

Ketika Amr melihat pasukannya dalam keadaan meresahkan cepat-cepat ia mengirim kurir kepada Muawiyah bin Hudaij untuk minta bantuan. Permintaan Amr itu segera dipenuhi Muawi­yah bin Hudaij dengan mengerahkan pasukan besar. Melihat pasukan musuh yang berjumlah sangat banyak itu, Kinanah dan sejumlah anggota pasukannya turun dari kuda, lalu melancarkan serangan keras terhadap musuh dengan pedang. Dengan gigih ia menyerang terus-menerus, dan akhirnya gugur di medan tempur sebagai pahlawan syahid.

Setelah Kinanah mati terbunuh, Muawiyah bin Hudaij ma­ju ke depan barisan untuk mencari-cari Muhammad bin Abu Ba­kar. Waktu itu para pendukung Muhammad sudah lari bercerai-be­rai meninggalkannya. Muhammad keluar berjalan kaki pelahan-la­han sampai tiba di sebuah rumah tua yang sudah rusak. Lalu ma­suk ke dalam untuk berlindung. Saat itu Amr rnasih bergerak te­rus sampai ke Fusthat, sedangkan Ibnu Hudaij masih terus menca­ri-cari Muhammad bin Abu Bakar. Akhirnya ia berjumpa dengan orang-orang yang sedang lari untuk menyelamatkan diri. Waktu Ibnu Hudaij bertanya apakah ada orang yang mencurigakan lewat, mereka menjawab: “Tidak!”

Tetapi kemudian salah seorang di antara mereka menam­bahkan: “Aku tadi masuk ke dalam rumah tua itu, dan kulihat di dalamnya ada seorang lelaki sedang duduk.”

Seketika itu juga Muawiyah bin Hudaij berteriak: “Nah…, itu mesti dia…, demi Allah!” Bersama beberapa temannya ia masuk ke dalam, lalu Muhammad bin Abu Bakar diseret keluar dalam keadaan hampir mati kehausan, kemudian di bawa ke Fusthat.

Ketika melihat saudaranya diseret-seret oleh Ibnu Hudaij, Abdurrahman bin Abu Bakar segera lari menemui Amr, kemudian berkata: “Demi Allah, saudaraku jangan sampai dibunuh per­lahan-lahan. Perintahkan orang supaya melarang Ibnu Hudaij ber­buat seperti itu!”

Atas permintaan Abdurrahman, Amr memerintahkan supaya Muhammad bin Abu Bakar dibawa kepadanya. Akan tetapi Ibnu Hudaij menjawab: “Kalian telah membunuh anak pamanku, Kinanah bin Bisyir. Apakah aku harus membiarkan Muhammad hidup? Tidak!”

Dalam suasana sangat tegang itu Muhammad minta diberi air seteguk untuk menghilangkan dahaga. Permintaan Muhammad itu ditolak Ibnu Hudaij dengan kata-kata: “Setetespun engkau ti­dan akan kuberi air. Engkau dulu menghalang-halangi Utsman bin Affan sampai tidak bisa mendapatkan air minum, kemudian ia kau­ bunuh dalam keadaan “berpuasa” kehausan. Hai Ibnu Abu Bakar, demi Allah, engkau akan kubunuh dalam keadaan haus kekering­an. Biarlah Allah nanti memberi minum kepadamu dengan air mendidih dari neraka Jahim dan nanah!”

Muhammad bin Abu Bakar yang sudah hampir kehilangan te­naga masih menjawab dengan penuh semangat: “Hai anak perem­puan Yahudi, pada hari itu nanti tidak ada urusan denganmu atau Utsman. Itu hanya semata-mata urusan Allah. Dia-lah yang akan memberi minum kepada hamba-hamba-Nya yang shaleh, dan membuat musuh-musuh-Nya haus kekeringan! Yaitu orang-orang seperti engkau, teman-temanmu, orang yang mengangkatmu se­bagai pemimpin, dan orang yang kau pimpin! Demi Allah, sean­dainya pedang masih ada di tanganku, orang-orangmu tidak akan dapat menyentuhku!”

“Tahukah engkau,” tanya Muawiyah bin Hudaij, “apa yang akan kuperbuat atas dirimu? Engkau akan kujejalkan ke dalam perut bangkai keledai itu, lantas akan kubakar sampai hangus!”

“Kalau engkau berbuat seperti itu,” ujar Muhammad bin Abu Bakar, “perbuatan itu sesungguhnya kaulakukan terhadap se­orang hamba Allah yang shaleh. Demi Allah, mudah-mudah­an Allah akan membuat api yang kau gunakan untuk menakut-­nakuti itu menjadi sejuk dan tidak berbahaya. Sama seperti api yang digunakan membakar Nabi Ibrahim a.s. dahulu. Dan mu­dah-mudahan Allah akan membuatmu dan membuat pemimpin-­pemimpinmu sama seperti Namrud dan orang-orang kepercayaan­nya. Semoga Allah akan membakarmu, membakar pemimpin-­pemimpinmu, Muawiyyah dan orang itu (ia menunjuk dengan jari ke arah Amr bin Al Ash)…, dengan api neraka yang berkobar-­kobar. Tiap hampir padam akan lebih dikobarkan lagi oleh Allah!”

“Aku tidak membunuhmu secara dzalim,” jawab Muawiyah bin Hudaij. “Aku membunuhmu karena engkau telah membunuh Utsman!”

“Apa urusanmu dengan Utsman, orang yang telah berbuat dzalim dan mengganti hukum Allah,” sahut Muhammad bin Abu Bakar dengan tegas. “Pada hal Allah telah berfirman (yang arti­nya): “Barang siapa menetapkan hukum tidak menurut apa yang telah diturunkan Allah, mereka adalah orang-orang kafir,[2]orang-orang dzalim,[3] orang-orang durhaka.[4] Kami bertindak keras terhadapnya karena hal-hal yang telah diperbuat olehnya. Kami menuntut supaya ia melepaskan jabatan, tetapi ia menolak, dan akhirnya ia dibunuh orang!”

Mendengar jawaban Muhammad itu, Muawiyah bin Huda­ij naik pitam. Pedang diayun dan Muhammad bin Abu Bakar di­penggal lehernya. Jenazahnya dijejalkan ke dalam perut keledai, kemudian dibakar sampai hangus.

Mendengar saudaranya mengalami nasib malang, Sitti Aisyah r.a. tersayat-sayat hatinya dan sangat sedih. Tiap selesai shalat ia selalu mohon kepada Allah s.w.t. supaya menjatuhkan ad­zab kepada Muawiyah bin Abi Sufyan, Amr bin Al Ash, Muawi­yah bin Hudaij. Keluarga yang ditinggalkan Muhammad di pelihara oleh Sitti Aisyah r.a., termasuk Al-Qasim bin Muhammad.

Menurut berbagai sumber riwayat, sejak terjadinya peristiwa sangat kejam itu Sitti Aisyah r.a. tidak mau lagi makan panggang daging sampai akhir hayatnya. Tiap teringat kepada saudaranya, ia menyumpah-nyumpah: “Binasalah Muawiyah bin Abi Sufyan, Amr bin Al Ash, Muawiyah bin Hudaij!”

Sedangkan Asma binti ‘Umais, ibu Muhammad, ketika men­dengar kemalangan menimpa anak kandungnya, ia muntah darah dalam mushalla, akibat menahan marah dan dendam.

Waktu Imam Ali r.a. mendengar berita tewasnya Muhammad bin Abu Bakar, ia sangat pilu dan sedih. Tindakan buas terhadap Muhammad itu terbayang-bayang di pelupuk matanya. Dalam su­atu khutbahnya sesudah kejadian itu ia mengatakan: “Mesir seka­rang telah ditaklukkan oleh orang-orang durhaka dan pemimpin-­pemimpin dzalim lagi bathil. Mereka itu ialah orang-orang yang sela­ma ini berusaha membendung jalan menuju kebenaran Allah, dan orang-orang yang hendak menyelewengkan agama Islam. Muham­mad bin Abu Bakar telah gugur sebagai pahlawan syahid. Semoga Allah melimpahkan rahmat kepadanya. Perhitungan tentang kema­tiannya itu kita serahkan kepada Allah.”

“Demi Allah,” kata Imam Ali r.a. selanjutnya, “sebagaimana kuketahui ia memang seorang yang penuh tawakkal kepada Allah dan rela menerima takdir Ilahi. Ia telah berbuat untuk memper­oleh pahala. Ia seorang yang sangat benci kepada segala bentuk ke­durhakaan, dan sangat mencintai jalan hidup orang-orang beriman.”

“Demi Allah, aku tidak menyesali diriku karena tidak sang­gup berbuat. Aku tahu benar bagaimana beratnya resiko penderi­taan dalam peperangan. Aku sanggup dan berani menghadapi pe­rang, aku mengerti bagaimana harus bertindak tegas, dan aku pun mempunyai pendapat yang tepat. Oleh karena itu aku berseru ke­pada kalian untuk memperoleh balabantuan dan pertolongan. Te­tapi kalian tidak mau mendengarkan perkataanku, tidak mau men­taati perintahku, sehingga urusan yang kita hadapi ini berakibat sangat buruk.

“Kurang lebih 50 hari yang lalu, kalian kuajak membantu saudara-saudara kalian di Mesir, tetapi kalian maju mundur. Kalian merasa berat seperti orang-orang yang memang tidak mem­punyai niat berjuang, yaitu orang-orang yang tidak pernah berfikir ingin memperoleh imbalan pahala.”

“Akhirnya aku hanya dapat menghimpun pasukan kecil, jumlahnya sangat sedikit, lemah dan tidak kompak. Mereka ini seolah-olah hanya untuk digiring menghadapi maut yang ada di depan mereka! Alangkah buruknya kalian itu!”

Selesai mengucapkan khutbah yang pedas didengar itu, ia turun dan pergi.

Disadur dari buku :

Sejarah Hidup Imam Ali bin Abi Thalib r.a.
Oleh H.M.H. Al Hamid Al Husaini
Penerbit: Lembaga Penyelidikan Islam

https://tausyah.wordpress.com

New Delhi, India

Seorang professor bahasa dari ALAHABAD UNIVERSITY INDIA dalam salah satu
buku terakhirnya berjudul “KALKY AUTAR” (Petunjuk Yang Maha Agung) yang
baru diterbitkan memuat sebuah pernyataan yang sangat mengagetkan
kalangan intelektual Hindu.

Sang professor secara terbuka dan dengan alasan-alasan ilmiah, mengajak
para penganut Hindu untuk segera memeluk agama Islam dan sekaligus
mengimani risalah yang dibawa oleh Rasulullah saw, karena menurutnnya,
sebenarnya Muhammad Rasulullah saw adalah sosok yang dinanti-nantikan
sebagai sosok pembaharu spiritual.

Prof. WAID BARKASH (penulis buku) yang masih berstatus pendeta besar
kaum Brahmana mengatakan bahwa ia telah menyerahkan hasil kajiannya
kepada delapan pendeta besar kaum Hindu dan mereka semuanya menyetujui
kesimpulan dan ajakan yang telah dinyatakan di dalam buku. semua
kriteria yang disebutkan dalam buku suci kaum Hindu (Wedha) tentang
ciri-ciri “KALKY AUTAR” sama persis dengan ciri-ciri yang dimiliki oleh
Rasulullah Saw.
(lebih…)

Bismillahirrohmanirrohim,

Selamat Rahmad dan Berkah ALLAH, Semoga Tetap Padamu..

Saudara – saudariku yang dimuliakan ALLAH, renungilah olehmu suatu perkara yang sebahgian daripada kita tidak mengetahui dan tidak pula memikirkannya. Sesungguhnya ALLAH itu Esa lagi berdiri sendiri, Ia tidak beranak dan tidak pula diperanakkan, oleh karena yang sedemikian itu adalah sifat dariapda makhluk-Nya. bermula pasal yang pertama yaitu kejadian tujuh petala langit dan tujuh petala bumi dengan segala gerangan perkara yang berada diantara keduanya.

Kemudian didalamnya terdapat beberapa pasal yang menyatakan Nur Muhammad Shalallahu Alaihi Wasallam dengan segala yang takluk daripadanya. Rasulullah Shalallahu Alaihi Wasallam bersabda:” Bahwa ALLAH Subhana Wa Ta’ala, tiadalah yang tiada beserta-Nya suatu juapun segala peristiwa.

Suatu ketika berkumpullah pengikutnya lagi berkata: “ya Rasulullah..Dimanakah Tuhan kita tat kala Ia belum menjadikan sekalian makhluk?, Rasulullah bersabda: artinya “bahwasanya tiadalah Ia dibawah dan tiada pula di atas” artinya; bahwa ALLAH berada pada ilmu-Nya, seperti Firman  ALLAH ta’ala dalam hadist qudsy, artinya; “Adalah Aku pada perbendaharaan yang tersembunyi,maka Aku kehendaki dengan dia (makhluk) perihal mengenal-Ku, maka Aku jadikan sekalian makhluk agar mengenali-Ku.

Firman ALLAH yang lain dalam hadist qudsy yang diriwayatkan oleh Ja’bar radhiallahu anhu, artix; bahwa “nyawa Muhammad Shalallahu Alaihi Wasallam, dijadikan ALLAH daripada zat-Nya & dijadikan ALLAH sekalian alam daripada nyawa Muhammad Shalallahu Alaihi Wasallam. Kemudian sabda Rasulullah yang lain, artinya; “Akulah yang dijadikan ALLAH yang pertama & sekalian mu’min itu ALLAH jadikan daripadaku. Dan lagi Firman ALLAH didalam hadis qudsy yang lain, artinya; Ku-jadikan segala sesuatu itu adalah karenamu.. ya Muhammad, dan Aku jadikan engkau karena-Ku.

Wahai sadara – saudariku sekaliannya, tiadalah kisah itu cukup jika dituliskan melainkan disisi ALLAH telah termaktub segala ilmu dan pengetahuan itu dalam genggaman-Nya. Ia memberi pada yang meminta dan sekali – kali tidak pada yang enggan. Ketahuilah..bahwasanya ilmu lagi pengetahuan itu, tiadalah habis dalam pencaharianmu sampai jasad tak lagi bernyawa dan jasad semesta alampun tiada jua.

Sumber : Tajul Muluk

Maka tuntutlah ilmu sejauh mata engkau memandang dan sedalam hatimu berbicara. Akan tetapi yang dituntut daripadamu hanyalah ilmu syar’i lebih baik, oleh karena ialah satu – satunya ilmu lagi pengetahuan yang kelak maupun kini membawa engkau pada jalan kebenaran yaitu “akhirat”. Sesungguhnya ilmu syar’i itu adalah satu derajat lebih tinggi daripada ilmu dunia (sosial,ekonomi,pengetahuan alam,matematika,fisika dan lain sebagainya). Sedang pengetahuan duniamu hanyalah semata untuk duniamu sedang pengetahuan akhirat (agama) engkau adalah untuk dunia lagi akhiratmu. jika engkau mengetahui.. Wallahu A’lam Bish Showab

Jika terdapat perkataan yang  kurang berkenan dalam artikel ini, maka..kepada ALLAH aku memohon ampun..sedang padamu sekaliannya..aku memohon maaf.. ^_^

https://tausyah.wordpress.com

MUHAMMAD IS THE LAST PROPHET AND MESSENGER (pbuh)

(Ibn Kathir:) God Most High says in the Qur’an 33:40 (“The Confederates”):

In the Name of Allah, the Most Gracious, the Most Merciful
“Muhammad (pbuh) is not the father of any man among you, but the Messenger of God and the Last of the Prophets. And God has knowledge of everything.”

This Qur’anic verse is an unequivocally decisive primary text establishing that there will be no prophet after him. And since there will be no prophet (nabi), it follows a fortiori that there will be no prophetic messenger (rasul). The Prophet (pbuh) said:

“Messengerhood and prophethood have ceased. There will be no messenger or prophet after me.”

“My likeness among the prophets is as a man who, having built a house and put the finishing touches on it and made it seemly, yet left one place without a brick. When anyone entered it and saw this, he would exclaim, ‘How excellent it is, but for the place of this brick.’ Now, I am the place of that brick: through me the line of the prophets (peace be upon them) has been brought to completion.”
“I have been favored above the prophets in six things: I have been endowed with consummate succinctness of speech, made triumphant through dread, war booty has been made lawful for me, the whole earth has been made a purified place of worship for me, I have been sent to all created beings, and the succession of prophets has been completed in me.”

God Most Blessed and Exalted has stated in His Book, as has His Messenger (pbuh) in hadiths of numerous channels of transmission (mutawatir) that there will be no prophet after him, so that everyone may know that whoever claims this rank thereafter is a lying pretender, misled and misleading, even if he should stage miracles and exhibit all kinds of magic, talismans, and spells (Tafsir al-Qur’an al-Azim, 3.493-4)

Now the end result of the finality of the Prophet’s (pbuh) Message is …..

Biografi & Masa Kecil NABI MUHAMMAD S.A.W.

MAULUDIL RASUL

Firman ALLAH terhadap Muhammad s.a.w.:  “Bukankah  Allah  dapati   engkau yatim,  lalu  Ia  pelihara? Bukankah  Ia dapati  engkau  bingung,  lalu Ia  tunjuki? Dan  bukankah Ia dapati  engkau miskin, lalu Ia beri kecukupan?”

Bapanya,  Abdullah  bin   Abdul   Muttalib, sudah meninggal  dunia dua bulan sebelum   ia  dilahirkan.  Tetapi   apa  yang telah dikurniakan  Allah kepadanya di dalam keadaan yatim itu, adalah lebih dari ketiadaan yang disebabkan kepergian bapanya itu.

yaitu pemeliharaan  ibunya,  lalu  neneknya dan akhirnya  pamannya.  Dengan pertumbuhan   tubuh dan jiwa  sangat wajar,  ia menjadi seorang anak yang sangat  indah.

Mula-mula menjadi pengembala kambing, meningkat menjadi pedagang, menjadi terkenal di tengah orang  banyak  kerana tingkah lakunya yang indah menarik setiap insan yang                         mengenalinya, akhirnya  kahwin   mendapatkan  seorang jodoh  yang  amat ideal, lalu berpengaruh dan berwibawa, menjadi penyantun anak yatim dan orang-orang miskin.

Keyatimannya  telah  diganti  Allah  dengan ilmu,  pengalaman  dan  budipekerti.  Allah telah   mendidiknya  dengan  pendidikan yang amat  baik,  mempersiapkan  dirinya menjadi             pembawa tugas  kenabian, kerasulan dan pengembang  syariat, sebagai   penutup   dan  semua Nabi  dan Rasul.  Bahkan ia  dijadikan  Allah  menjadi makhluk  terbaik di tengah-tengah makhluk Allah yang  banyak.

Kemelaratan  yang dideritanya  semenjak kecil  telah diganti  Allah  dengan kecukupan, Allah memberkatinya  dalam perdagangannya,  dalam  kehidupannya  di tengah  ummat   manusia  dengan  nama yang  baik,   kepercayaan   manusia   atas dirinya dan  akhirnya  dengan kesempurnaan  agama yang diajarkannya.

Setelah  ia  mencapai  usia  enam  tahun, dia dibawa ibunya dalam  perjalanan  jauh dari Makkah  ke  Madinah  untuk mengunjungi keluarganya Bani  Najjar, yaitu  Ibu  saudara  dari ayahnya, dengan  maksud  mengunjungi rumah tempat bapanya  meninggal  dunia sebelum  ia  lahir,  juga menziarahi  kubur bapanya   itu.   Muhammad  dan ibunya menetap beberapa hari lamanya di tengah tengah keluarga bapanya itu dengan mendapat penghargaan yang sangat baik dari segenap tetangga.

Ketika  dalam perjalanan kembali ke Makkah, ibunya sakit, lalu meninggal dunia  dan di kuburkan  di  suatu tempat yang  bernama Abwa. Setelah  ibunya dikuburkan,  semua orang sudah kembali ke  rumah  masing-masing,  tinggallah Muhammad  bersama  pengasuhnya di dekat   kubur   itu,   terdiam tidak keluar kata, di  bawah terik  panas  matahari padang  pasir.   Sedang di   saat  itu   ia masih  anak kecil  berumur enam tahun. Airmatanya   mengalir  membasahi   kubur ibunya,  meratapi  yang  juga  sudah bertindak   sebagai  ganti bapanya. Dengan wafatnya ibunya  ini,  tinggallah dia tanpa bapa dan ibu, yatim piatu.

Setelah lama berdiam, dia menoleh keliling,  kiranya  tidak  seorang juga lagi manusia yang   berada di tempat  itu, selain Ummu  Aiman pembantunya.

Ummu Aiman lalu menyapu airmata yang mengalir di pipi  Muhammad, sambil berkata              menghiburkan dan menenangkan kalbunya, membangkitkan keberanian  hatinya menghadapi kesedihan   dan   kehidupan.  Muhammad berkata  kepada Ummu Aiman:  “Hai, Ummu  Aiman,  saya  sudah   kehilangan ibu  dan  bapa,  kehilangan  dua naungan yang menaungi  kepalaku,   sedangkan saya masih dalam perjalanan antara  dua negeri,   maka  ke  manakah   seharusnya saya  menuju   sekarang   ini,  hai   Ummu Aiman?   Apakah   meneruskan  perjalanan ke Makkah atau kembali ke Madinah?”

Mendengar  pertanyaan  ini,  meletuslah tangis Ummu  Aiman   yang  selama itu ditahannya.  Airmatanya  menghujan jatuh  membasahi tanah yang tandus itu. Peluh dinginnya mengalir di sekujur badannya,  suaranya menjadi  serak (parau)  ketika   dia mencoba  menjawab pertanyaan  Muhammad dengan pertanyaan pula:

“Ya,  ke manakah engkau ingin tuju,  hai Muhammad? Apakah kepada bapamu Abdul                Muttalib, penghulu  (ikutan) bangsa Quraisy,  agar engkau bertempat tinggal bersama  dia di bawah naungannya?”

Muhammad  segera bertanya:  “Mengapa engkau katakan bapaku  Abdul Muttalib? Bapaku?   Jangan dikatakan bapaku, tetapi katakanlah   nenekku, sebab bapaku  sudah  meninggal   dan hari   ini sudah meninggal pula  pengganti bapaku, yaitu   ibuku.   Ya,   Abdul   Muttalib   adalah nenekku, bapa dan  bapaku. Antara  saya dan nenekku  ada antara, di antara itulah ada    paman-pamanku, anak-anak dan paman-pamanku  itu, dan  saya   adalah salah  seorang dan mereka yang banyak itu.”

Dengan perkataan itu Muhammad membayangkan  akan   kedudukannya   di bawah neneknya, kerana dia  adalah  satu di  antara yang  banyak.  Jadi   tentu  lain dengan di bawah ibu atau   bapanya sendiri.

Begitulah Muhammad dengan pembantunya,  Ummu Aiman, meneruskan perjalanan ke Makkah,  lalu Muhammad  diserahkan oleh Ummu Aiman  kepada  kakeknya Abdul  Muttalib. Abdul  Muttalib sangat  sedih hatinya ketika  menerima   cucunya yang  amat dicintainya  itu.

Kecintaan Abdul Muttalib terhadap Muhammad dan  kecintaan Muhammad terhadap Abdul  Muttalib sama  setara. Demikianlah  secara pendek bayangan kehidupan kedua  insan  itu.  Tetapi dua  tahun kemudian,  datuknya yang tercinta   ini  pun  meninggal  dunia. Tidak  kurang kesedihan  Muhammad dengan  kematian   kakeknya  ini   dengan kematian ibunya,  malah   menurut Muhammad sendiri, adalah lebih sangat sedih.

Ketika  orang  ramai  sudah  pulang  ke rumahnya  masing  masing  setelah  selesai menguburkan datuknya,  Muhammad tetap berada  di  dekat  kubur   itu menangis   dan meratap  dengan airmata yang   tak putus-putusnya menitis    ke bumi yang  kering.  Berkata  ia: “Engkaulah bapaku  sesudah bapaku, engkaulah  yang  telah  dapat meringankan  penderitaan  hidupku,  yang selalu   mengusapkan   tangan  membelai kepalaku untuk  mengurangkan kesedihan    hati     dan penderitaanku sepeninggalan ibuku. Apakah sepeninggalanmu,   hai datuk,  aku   akan kembali menderita?”

Muhammad   lalu  memalingkan  mukanya kepada Ummu Aiman yang   berada  di belakangnya, lalu  berkata: “Sekarang ke mana aku harus  pergi, ya  Ummu Aiman?”

Mendengar   kata-kata  sedih   berkabung dan  pertanyaan   Muhammad itu,   Ummu Aiman   tidak    dapat   menahan  airmata sedihnya.  Ia  menangis  sambil meletakkan tangannya di  bahu Muhammad, lalu  berkata:   “Engkau bertanya  ke  mana, bukankah masih ada bapamu,  yaitu Abu  Talib,   ya Muhammad.”   Muhammad  terdiam sejenak,   Ialu berkata: “Bapaku Abu Talib,    hai Ummu Aiman?  Bukankah bapaku  sudah   meninggal,   begitu   juga bapa  dan bapaku? Bukankah Abu  Talib itu bapa saudaraku, saudara bapaku? Katakanlah   ia adalah bapa  saudaraku, hai  Ummu Aiman.  Beliau  adalah  seorang mulia,  terkemuka,  mempunyai kehebatan  dan  kemuliaan,   terpandang dalam  masyarakatnya.  Tetapi  bukankah beliau   seorang melarat, yang  banyak anak,   hai Ummu Aiman? Kalau aku engkau serahkan  kepada beliau,   tentu saja  beban beliau akan bertambah berat. Aku tak suka menambah beratnya beban seseorang.”

Abu Talib ini adalah seorang yang  sangat cinta  terhadap Muhammad,  tidak  kurang dari  kecintaan datuknya dan ibunya. Ummu  Aiman  menyerahkan Muhammad kepada bapa saudaranya, Abu Talib.

Karena  keadaan  kehidupan Abu  Talib yang melarat  itu,  maka Muhammad terpaksa      berusaha  bagaimana dapat meringankan beban   pamannya  itu.  Sekalipun  masih  kanak-kanak,  ia berusaha mendapatkan  penghasilan sekalipun   bagaimana   juga  kecilnya.  Ia menerima  upah  menggembalakan kambing orang dan kemudian  berdagang- dagang  kecil.

https://tausyah.wordpress.com