Posts Tagged ‘Tokoh Islam’

Dakwah apapun jika tidak tegak di atas landasan kaidah-kaidah dakwah Ahlus Sunnah wal Jama’ah, hanyalah akan menjadi fitnah (adzab) yang menyerupai awan (yang membawa adzab) kaum ‘Ad. “Maka tatkala mereka melihat adzab itu berupa awan yang menuju ke lembah-lembah mereka. Mereka berkata, ‘Inilah awan yang akan menurunkan hujan kepada kami.’ Bukan! Bahkan itulah adzab yang kamu minta supaya datang dengan segera, yaitu angin yang mengandung adzab yang pedih.” [Al-Ahqaf: 24]

Yaitu dakwah yang tidak menjadikan ilmu hadits sebagai asas dan tidak bersandar kepada pemahaman para sahabat, generasi awal yang utama, dan alim ulama, pada awalnya tampak benar, namun lambat laun akan tampak cacat dan celanya kemudian akan berbalik menjadi fitnah (musibah) bagi umat dan akan menjadi penghalang dari agama Allah Subhanahu wa Ta’ala. “Maka apakah orang yang berjalan terjungkal di atas mukanya akan mendapat banyak petunjuk ataukah orang yang berjalan tegar di atas jalan yang lurus?” [Al-Mulk : 22]

Berikut ini beberapa hakikat dakwah Ahlus Sunnah wal Jamaah :

Dakwah Ahlus Sunnah wal Jamaah adalah dakwah yang tegak di atas Al-Qur’an dan Hadits menurut manhaj para salafus shalih dari kalangan shahabat, tabi’in, dan alim ulama, serta orang-orang yang mengikuti mereka. Ahlus Sunnah wal Jama’ah menetapkan sifat-sifat dan nama-nama Allah Subhanahu wa Ta’ala sesuai dengan apa yang ditetapkan Allah Subhanahu wa Ta’ala dan Rasul-Nya Shallallahu ‘Alaihi Wa Aalihi Wasallam tanpa tahrif, tamtsil, takyif, atau ta’thil. (Tahrif adalah mengubah lafadz sifat yang disebutkan Al-Qur’an dan As-Sunnah, atau menyimpangkannya dari makna sebenarnya. Tamtsil adalah menyamakan/menyerupakan sifat-sifat Allah dengan sifat makhluk-Nya. Takyif adalah mempertanyakan bagaimana sifat Allah itu atau menggambarkannya. Ta’thil adalah meniadakan seluruh atau sebagain dari sifat-sifat Allah yang telah Dia tetapkan di dalam Al-Qur’an dan As-Sunnah)

Adapun selain Ahlus Sunnah, mereka menghukumi Al-Qur’an dan as-Sunnah dengan dengan mendahulukan akal, adat, kasyaf, perasaan, mimpi, ataupun (kepentingan) golongan. Jika Al-Qur’an dan As-Sunnah menyelisihinya, maka mereka akan menyelewengkannya dan memalingkannya. Dan jika mereka tidak mampu melakukannya, mereka akan menolaknya dengan dalih bertentangan dengan azas yang menjadi dasar mereka, atau berdalih dengan menyatakan bahwa hadits itu ahad (bukan mutawatir) atau dengan dalih bertolak belakang dengan maslahat dakwah. Menurut mereka dakwah harus menurut pemahaman mereka, bukan menurut pemahaman salafus shalih.

Ahlus Sunnah menegakkan wala’ (loyalitas) dan permusuhan berdasarkan manhaj tadi secara adil dan inshaf (tengah-tengah). Sedang-kan selain Ahlus Sunnah, menegakkan wala’ dan permusuhan berdasarkan hawa nafsu dan golongannya; siapa yang sependapat dengan mereka, akan dianggap sebagai orang/teman dekat yang diagungkan walaupun seorang penjahat. Dan siapa yang menyelisihi mereka akan diteror/diintimidasi dan dicampakkan, walaupun seorang alim yang bertakwa.

Penuntut ilmu dari kalangan Ahlus Sunnah amat peduli dengan ilmu-ilmu syar’i. Hal itu tampak pada keridhaannya terhadap ahli ilmu (ulama), (tampak pada kesukaannya) untuk mengambil faidah dari ilmu dan akhlak dari ahli ilmu, (tampak pada komitmennya untuk) bersandar pada dalil-dalil syar’i yang shahih serta beramal sesuai dengan tuntunan ilmu syar’i.

Sebaliknya Ahlul bid’ah menjauhi ilmu-ilmu sunnah dan tokoh-tokohnya serta membenci ilmu sanad dan hadits. Dan mendorong para penuntut ilmu untuk membolak-balik tabloid, majalah, koran-koran harian, mingguan, dan lain-lain. Adapun Ahlus Sunnah tidaklah melarang untuk menela’ah hal-hal tersebut, akan tetapi kepedulian mereka yang utama adalah menela’ah ilmu syar’i. Sedangkan selain mereka hanya peduli dengan ilmu syar’i sekedar untuk membantu hizb (golongan) dan dakwah hizbiyah, atau membuat keonaran dan menghasut Ahlus Sunnah yang masih pemula atau menghujat tokoh ulama ahlus sunnah. Namun Allah Subhanahu wa Ta’ala telah berfirman, “Rencana yang jahat itu tidak akan menimpa kecuali orang yang merencanakannya sendiri.” [Fathir : 43]

Sejarah dakwah salafiyah telah ada sejak dahulu, mereka mengembalikan prinsip dakwah mereka kepada apa yang ditempuh Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam, para shahabat dan orang-orang yang mengikuti petunjuk mereka. Adapun golongan selain Ahlus Sunnah, memulai dakwah mereka dengan prinsip pendirinya atau tokoh-tokohnya. Dan terkadang sebagian mereka berkata, baik dengan bahasa lisan, atau bahasa kenyataan, bahwa petunjuk Muhammad Shallallahu ‘Alaihi Wa Aalihi Wasallam tidak layak dipakai pada jaman sekarang ini. Padahal generasi akhir umat ini tidak akan menjadi baik melainkan dengan apa yang telah menjadikan baik generasi awal.

Menurut Ahlus Sunnah, Ahlul Hadits adalah golongan yang ditolong (Ath-Thaifatul Manshurah) dan Golongan yang selamat (Al-Firqatun Najiyah). Allah Subhanahu wa Ta’ala telah menolong agamanya sejak dahulu sampai sekarang mela-lui mereka. Mereka adalah orang-orang yang berada di atas aqidah dan manhaj (pedoman) Ahlul Hadits. Alim ulama rabbani adalah tokoh mereka, sedangkan masyarakat umum yang beraneka ragam adalah pengikut mereka.

Ahlus Sunnah tidak menerima hadits apapun yang disandarkan kepada Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam kecuali setelah mengetahui bahwa hadits tersebut adalah benar-benar terpercaya berasal dari beliau. Ahlus Sunnah berpendapat bahwa hadits yang munkar dan palsu sangat besar peranannya dalam menyuburkan kebid’ahan. Ahlus Sunnah tidak menjelaskan sebuah hadits atau menafsirkan suatu ayat, kecuali setelah mengetahui pendapat-pendapat alim ulama secara terperinci dalam hal itu.

Menurut Ahlus Sunnah wal Jama’ah, bid’ah lebih berbahaya bagi agama seseorang dari pada maksiat. Hal itu karena pelakunya mendekatkan diri kepada Allah dengan bid’ah tersebut dan ia mengira berada di atas hidayah, berbeda dengan pelaku maksiat. Kadangkala pelaku maksiat mengakui kesalahannya dan berdo’a meminta ampun kepada Allah atas perbuatannya. Sedangkan pada umumnya, pelaku bid’ah berasal dari golongan khusus yang dikenal dengan ilmu, ibadah, zuhudnya serta menjadi panutan orang lain. Oleh karena itu, bahayanya lebih besar dari pada pelaku maksiat yang pada umumnya berasal dari pengikut syahwat yang idak menjadi panutan.

Menurut Ahlus Sunnah wal Jama’ah, Islam melarang perpecahan kaum Muslimin menjadi jama’ah-jama’ah, kelompok-kelompok, atau golongan-golongan, bahkan Islam mengharuskan seluruh kaum Muslimin untuk bertaqwa kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala dan bersatu di atas jalan hidup salafus shalih, bukan di atas pemahaman si fulan A dan si fulan B. Dan jangan katakan (untuk berbangga diri) bahwa jamaah ini lebih dahulu berdiri daripada jamaah lainnya. Itu semua adalah perkataan yang tidak berfaidah.

Menurut Ahlus Sunnah wal Jama’ah, kelompok-kelompok dakwah hizbiyah (kelompok-kelompok sempalan) memiliki metode yang beraneka ragam, ruwet lagi kacau. Oleh karena itu wajib bagi para pencari kebenaran untuk sadar akan hal ini. Dan kesadaran tersebut hanya bisa diperoleh dengan ilmu dan kedewasaan berpikir, dan menjauhkan diri dari kebodohan, kekeliruan, sikap berlebih-lebihan, dan sikap membabi buta terhadap orang-orang yang berbeda pendapat dengannya.

Ahlus Sunnah wal Jama’ah mengajak kepada persatuan dan kepada Sunnah Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam Keduanya sangat urgen di dalam dakwah ini. Ahlus Sunnah tidak akan menyerukan persatuan di atas kesesatan dan persatuan di atas buih-buih kerusakan. Ahlus Sunnah tidak mengajak kepada sesuatu yang bisa mencerai-beraikan kaum Muslimin dan melemahkan kekuatan mereka sehingga membuat gembira musuh-musuh mereka. Tetapi Ahlus Sunnah mengajak kepada persatuan, kesatuan dan kerukunan di atas sunnah Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam dan di atas kebenaran yang nyata. Apabila bertabrakan dua hal ini, yaitu antara urgensi persatuan dan sunnah, terkadang Ahlus Sunnah mendahulukan urgensi persatuan dan terkadang mendahulukan urgensi berpegang teguh kepada sunnah Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam Hal itu disesuaikan dengan situasi dan kondisi, serta memperhitungkan maslahat dan mafsadat berdasarkan kaidah-kaidah yang telah disebutkan oleh alim ulama baik yang dahulu maupun yang sekarang, dan masing-masing kondisi punya sandaran di dalam sunnah Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wasallam.

Ahlus Sunnah, manhajnya adalah manhaj salaf dan sikap perjuangannya pun adalah sikap perjuangan salaf. Adapun selain ahlus sunnah, manhajnya bisa salafi tapi sikap perjuangannya adalah sikap perjuangan modern, yaitu menyibukkan diri dengan mengomentari penguasa dan tindakan-tindakan mereka, serta tidak menyibukkan diri dengan perkara-perkara Asma’ wa sifat kecuali hanya untuk dihafal dengan model hafalan usang yang tanpa makna. Adapun ahlus sunnah memberikan segala sesuatu sesuai dengan ukurannya sebagaimana yang dilakukan para salaf dan sesuai dengan kaidah-kaidah salaf dalam upaya meraih maslahat yang maksimal serta dalam upaya menghapus dan menekan mafsadah (kerusakan) seminimal mungkin.

Menurut Ahlus Sunnah wal Jama’ah mencela, menghujat dan melaknat para penguasa di atas mimbar bukan merupakan manhaj (pedoman) salafus shalih (dalam menghilangkan kemungkaran –pent).

Ahlus Sunnah wal Jama’ah menekankan untuk selalu bersabar terhadap kejelekan penguasa walaupun mereka bertindak sewenang-wenang. Ahlus Sunnah juga tidak mengharapkan materi dunia dari penguasa. Dan Ahlus Sunnah memandang wajib menasehati para penguasa tanpa harus menyiarkan aib, tanpa hujatan, dan tanpa merusak di atas muka bumi.

Menurut Ahlus Sunnah wal Jama’ah, umat Islam itu bagaikan burung dengan kedua sayapnya. Sayap yang satu adalah alim ulama (bukan ulama su’ –yang buruk- yaitu ulama yang dengan ilmunya ingin mendapatkan kenikmatan di dunia dan mendapatkan kedudukan terpandang di kelompoknya) dan sayap yang lain adalah para penguasa. Burung tersebut tidak akan sampai ke tujuannya dengan selamat, kecuali dengan kedua sayap tersebut. Tugas alim ulama adalah menjelaskan perintah-perintah Allah Subhanahu wa Ta’ala dan tugas para penguasa adalah memerintahkan umat untuk melaksanakannya. Jika terdapat kekurangan pada mereka (ulama dan pemerintah), segeralah dimusyawarahkan untuk mencari solusi terbaik bagi kaum Muslimin. Bukan dengan cara demonstrasi atau unjuk rasa, dan bukan pula dengan berburuk sangka kepada alim ulama (ulama Akhirat –pen.)

Menurut Ahlus Sunnah, kelompok-kelompok yang berseberangan dengan mereka juga memiliki kebaikan-kebaikan dan pendapat-pendapat yang benar. Ahlus Sunnah wal Jama’ah tidak akan menafikan hal itu hanya karena perselisihan yang terjadi dengan mereka. Namun hal itu bukan halangan untuk menasehati kelompok-kelompok tersebut dan memperingatkan umat dari kesalahannya dengan syarat:

[1]. Akibat buruk dari perbuatan mereka akan menyebar kepada umat, tidak terbatas kepada mereka saja, dan

[2]. Peringatan tersebut tidak mengakibatkan kemungkaran yang lebih besar.

Ahlus Sunnah wal Jama’ah memandang bahwa kebodohan dan perpecahan adalah penyebab lemahnya umat ini. Oleh karena itu Ahlus Sunnah wal Jama’ah bertekad untuk menyebarkan ilmu yang bermanfaat di tengah-tengah umat dan Ahlus Sunnah mencegah sifat bergolong-golongan dan fanatik yang tercela.

Ahlus Sunnah tidak mengharamkan ilmu pengetahuan umum yang bermanfaat bahkan memandangnya sebagai amalan yang dibolehkan atau sunnah, atau bahkan wajib bagi sebagian orang pada waktu-waktu tertentu. Karena urusan dunia telah dibuka seluas-seluasnya bagi kita dengan syarat tidak bertentangan dengan syari’at. Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam bersabda, “Kamu lebih mengetahui urusan duniamu.”

Ahlus Sunnah tidak setuju dengan metode dakwah melalui pentas-pentas sandiwara sebab hal tersebut minimal mengandung kedustaan. Dan tidak pula melalui nasyid-nasyid sebab mudharatnya lebih banyak daripada manfaatnya. Juga karena hal itu adalah bentuk tasyabbuh (meniru orang kafir) dan dapat mengabaikan perkara yang lebih penting.

Ahlus Sunnah tidak membenarkan taqlid buta kepada seorang pun, karena semua orang dapat diambil atau ditolak ucapannya, kecuali Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam dan apa-apa yang benar-benar telah disepakati oleh umat. Karena sesungguhnya umat ini tidak akan bersepakat di atas kesesatan. Ahlus Sunnah mencintai seluruh imam Ahlus Sunnah dan mengikuti mereka jika dalil yang kuat ada pada mereka, tidak mengkhususkan salah satu di antara mereka untuk diikuti, dan Ahlus Sunnah selalu berusaha untuk memberantas fanatik madzhab atau fanatik golongan.

Inilah sebagian dari kaidah-kaidah dakwah Ahlus Sunnah dan perbedaannya dengan manhaj dakwah lainnya. Kepada sebagian kaum Muslimin yang sementara teracuni dengan berbagai pemikiran dan syubhat, kami ajak untuk kembali menggunakan akal sehat dan nurani yang jernih. Sudah lewat masanya kita menganggap hidup sebagai sebuah eksperimen dimana kita merasa bebas untuk mencoba-coba apa saja, termasuk agama kita. Wallahu Ta’alaa A’lam

[Dikutip dengan perubahan seperlunya dari Fatwa-fatwa Syaikh Abul Hasan Musthafa bin Ismail As Sulaimani Al Mishri dari terjemahan kitab Silsilah Al-Fatawa Asy-Syar’iyah dan Majalah As-Sunnah Edisi 07/Th. III/1419-1998]

Sumber : http://almanhaj.or.id/index.php?action=mo re&article_id=103&bagian=0

Beliau dilahirkan pada bulan syawal tahun 194 H di negeri bukhara, yang sekarang di kenal sebagai bagian dari negeri soviet. Beliau adalah seorang yang sangat alim di bidang hadits. Beliau menyusun sebuah kitab yang kesahihannya telah disepakati oleh umat islam dari jaman dahulu hingga sekarang.

Imam bukhari pernah ditanya oleh seseorang:’ Bagaimana mulanya engkau berkecimpung dalam bidang hadits ini? Maka beliau mengatakan : saya diilhami untuk menghafal hadits ketika saya bersama dengan para penulis hadits. Berapa usiamu pada waktu itu? Dia menjawab 10 tahun, atau kurang. Saya lalu keluar dari kelompok para penulis itu dan selanjutnya saya selau menemani ad dakhili dan ulama lainnya. Ketika saya telah berkecimpung di bidang ini saya telah hafal ibnul mubarak dan waqi’. Saya lalu pergi ke Mekkah bersama ibu dan saudaraku , sesudah selesai berhaji , saudaraku lalu mengantarkan ibuku pulang, sedangkan saya memperdalam dan mematangkan diri dalam bidang hadits.

Imam bukahari selanjutnya berkelana ke berbagai daerah seperit nisabur, baghdad, bashrah, kufah, mekkah, madinah, syam dan mesir untuk mendapatkan hadits dari sejumlah ulama.

Beliau menulis kitabnya yang bernama tarikh di masjid nabawi, sejumlah buku yang memuat nama-nama rijal ( Orang).

Imam bukhari pada waktu kecil pernah mendatangi para ulama yang sedang bersama para muridnya, karena beliau masih kecil beliau malu memberi salam pada mereka. Suatu ketika beliau ditanya oleh seorang alim: berapa hadits yang sudah kau tulis hari ini? Imam bukhari menjawab: Dua” orang-orang yang ada di sekitarnya mentertawakannya. Alim itu pun berkata” kalian jangan mentertawakannya, boleh jadi suatu hari kalian akan ditertawakannya.

Beliau berkata: suatu kali saya bersama ishak ibnu rahawaih, lalu ada sejumlah temanku yang berkata kepadaku ” alangkah baiknya kalau sekiranya engkau kumpulkan sunnah nabi sholallohu alaihi wasalam dalam sebuh kitab yang singkat. Hal tersebut mengena dalam hatiku , maka saya mulai mengumpulkannya dalam kitab ini (Kitab sahih Bukhari).

Beliau berkata : kitab ini saya pilihkan dari 600 ribu hadits. beliau juga berkata : tidaklah aku tulis satu hadits dalam kitab ini kecuali saya wudlu/mandi dan sholat dua rekaat.

Imam bukari berkata: saya menulis hadits dari 1000 orang alim atau lebih. Tidak ada satu pun hadits yang ada padaku kecuali kusebutkan isnadnya.

Imam bukhari meninggal pada tahun 256 H pada malam hari raya idhul fitri pada usia 62 tahun. Kubur beliau terletak di bikharnatk dekat dengan samarkand.

https://tausyah.wordpress.com

Imam al-Layts bin Sa’d adalah seorang ulama fiqih yang memiliki kapasitas keilmuan setingkat imam-imam madzhab yang empat, bahkan ada para ulama yang mengunggulkannya atas imam Malik dari segi keilmuan. Sayang, tidak ada murid atau pengikut yang menyebarkan madzhab fiqihnya sehingga tidak berkembang seperti para imam madzhab yang empat.

Dari Lu’luah, pelayan khalifah Harun ar-Rasyid, ia berkata, “Terjadi silang pendapat antara Harun ar-Rasyid dan anak perempuan pamannya (sepupunya), Zubaidah yang telah menjadi isterinya. Harun berkata, ‘Kamu ditalak bila aku bukan termasuk ahli surga.’ Kemudian beliau menyesal atas ucapannya itu, lalu mengundang para ahli fiqih agar berkumpul guna memecahkan masalahnya. Setelah berkumpul dan berdiskusi, mereka pun berbeda pendapat bagaimana sebenarnya status sumpahnya tersebut.

Khalifah Harun menulis surat kepada seluruh negeri agar menghadirkan para ulama terkemuka mereka ke istana. Tatkala mereka sudah berkumpul, ia menanyai mereka mengenai sumpahnya tersebut, yaitu “Kamu ditalak jika aku tidak masuk surga”. Mereka kembali berselisih pendapat, lalu tinggallah seorang ulama (syaikh) lagi yang belum berbicara dan berada di deretan paling akhir dari majlis tersebut.

Beliau lah Imam al-Layts bin Sa’d. Ia berkata, ‘Bila Amirul Mukminin mengosongkan majlsnya ini, aku bersedia berbicara dengannya.’ Lalu sang khalifah pun menyuruh para ulama yang ada disitu untuk meninggalkan majlis tersebut. Ia berkata lagi, ‘Saya mohon Amirul Mukminin didekatkan kepadaku.’ Maka ia pun mendekatinya. Syaikh yang ‘Alim ini berkata, ‘Apakah aku mendapatkan jaminan keamanan kalau berbicara.?” Amirul Mukminin menjawab, ‘Ya.’ Maka al-Layts memerintahkan agar dibawa kepadanya sebuah mushaf.

Ketika mushaf itu sudah dihadirkan, ia berkata, ‘Tolong dibuka wahai Amirul Mukminin hingga surat ar-Rahman. Lalu bacalah.’ Sang khalifah membacanya dan tatkala ia sampai pada ayat, “Dan bagi orang yang takut akan saat menghadap Tuhannya ada dua surga” (QS.ar-Rahman:46) maka, al-Layts memerintahkan, ‘Tahan dulu, wahai Amirul Mukminin! Katakanlah, Wallaahi (Demi Allah).’ Ucapan syaikh ini membuat berat hati khalifah.

Syaikh itu kembali berkata, ‘Wahai Amirul Mukminin, persyaratanku tadi adalah jaminan keamanan bukan.? (maksudnya, agar khalifah tidak murka kepadanya atas permintaannya tersebut-red) Maka khalifah pun mengucapkan, ‘Wallaahi (Demi Allah),’ setelah itu berkatalah al-Layts, ‘Katakanlah, ‘Aku takut akan saat menghadap Tuhanku’ Maka khalifah menuruti perintah ulama langka itu dan mengulangi seperti apa yang diucapkannya. Al-Layts berkata lagi, ‘Wahai Amirul Mukminin, pahalanya dua surga bukan hanya satu surga.’!”

Periwayat mengatakan, “Lalu kami mendengar suara tepuk tangan dan luapan gembira di balik tirai. Maka berkatalah Harun ar-Rasyid, ‘Bagus apa yang kau putuskan itu.’ Lalu ia menghadiahi al-Layts dengan beberapa hadiah dan mengalokasikan honor untuknya.”

Ini merupakan sikap mulia yang menunjukkan indahnya ilmu di mana kebenaran dan etika sama-sama dijunjung tinggi.

Anda melihat bahwa Imam al-Layts mengetahui kemana arah fatwa, yaitu thalaq tersebut tidak jatuh bila ar-Rasyid adalah termasuk orang yang takut akan saat menghadap Tuhannya. Ia juga melihat dirinya tidak boleh mengeluarkan fatwa begitu saja hingga syaratnya sudah kuat, yaitu takut kepada Allah Ta’ala. Dan ini dilakukan dengan cara meminta ar-Rasyid bersumpah hingga diri al-Layts merasa tenang bahwa fatwanya sudah benar.

Ia juga meminta agar orang-orang yang ada di majlis dibubarkan dulu agar sumpah yang dimintanya dari ar-Rasyid tidak dilihat orang banyak, di samping agar ar-Rasyid tidak terpancing seperti yang ingin dilakukannya andaikata ia (al-Layts) tidak terlebih dahulu mengajukan persyaratan mendapatkan perlindungan darinya supaya dirinya bisa tentram. Jadi, fatwa yang dikeluarkan al-Layts tidak semata-mata spontanitas. Ia bersumber dari al-Qur’an itu sendiri, karena itu ia meminta al-Layts agar membaca ayat tersebut, “Dan bagi orang yang takut akan saat menghadap Tuhannya ada dua surga” (QS.ar-Rahman:46).

Maka tenanglah hati ar-Rasyid dengan hal itu dan tahulah ia bawha dirinya masih bisa mempertahankan isterinya secara halal dan sah berdasarkan nash yang pasti dari Kalamullah.

Ini tentunya merupakan anugerah Allah, yang dalam kebanyakan kondisi tidak terlepas dari adab yang bagus bagi orang yang mau berpikir dan memahami.

(SUMBER: Mi’ah Qishshah Wa Qishshah karya Muhammad Amin al-Jundi, Juz II, hal.40-42)

 

https://tausyah.wordpress.com

Nasab dan Kelahiran Beliau
beliau adalah Abu Abdillah Muhammad bin Ismail bin Ibrahim bin Al Mughirah bin Bardizbah Al Ja’fi Al Bukhari -rahimahullah- . Lahir pada bulan Syawwal tahun 194 H.

Guru-guru Beliau
Beliau banyak melakukan perjalanan dalam mencari hadits (ilmu) ke seluruh penjuru dunia. Beliau belajar hadits di Khurasan, Al Jibal, Iraq, Hijaz, Syam, Mesir dan lainnya. Diantara guru-gurunya adalah : Makki bin Ibrahim, Abdan bin Utsaman Al Muruzi, Abu ‘Ashim Asy Syaibani, Muhammad bin Abdulloh Al Anshori, Muhammad bin Yusuf, Abu Walid Ath Thayalisi, ABdulloh bin Maslamah Al Qa’nabi, Abu Bakar Al Humaidi, Abdullah bin Yusuf, Abul Yaman,Ismail bin abu uwais, Muhammad bin Katsir, Khalid Al Mukhalid, Ali Ibnu Al Madini, Ahmad bin Hanbal, Yahya bin Ma’in dan masih banyak lagi -rahimakumullah-
Beliau sering pergi ke baghdad dan mengajarkan hadits disana.

Ibadah dan Muamalah Beliau
Bakar Abu Said berkata,” Ada seseorang yang membawakan barang dagangan kepada Muhammad bin Ismail (Al Bukhori), dan setelah Isya’ berkumpullah beberapa pedagang untuk mengambil dagangan tersebut dengan memberi untuk 5000 dirham. Beliau menyetujui dan berkata kepada merka,” Pulanglah kalian malam ini,” Pagi harinya datang para pedagang lain yang ingin mengambil dagangan tersebut dengan memberikan keuntungan 10000 dirham, namun beliau menolaknya dan berkata,”Saya sudah meniatkan untuk memberikan barang dagangan ini kepada para pedagang yang telah datang tadi malam, dan saya tidak senang membatalkan niat saya.”

Bakar Abu Said juga berkata,” Pada suatu hari Muhammad bin Ismail merasa terganggu ketika sedang sholat. Selesai sholat dia berkata kepada para sahabatnya,” Lihatlah ini ! apa yang menggangguku di waktu sedang sholat.!”,Maka mereka melihatnya, ternyata lalat penyengat telah menyengat sebanyak 17 tempat, akan tetapi dia tidak memutuskan sholatnya. Tatkala para sahabatnya menanyakan mengapa tidak memutuskan sholat sejak awal, dia menjawab,” Karena saya sedang sholat, saya lebih suka untuk menyempurnakannya.”

Nasj bin Said berkata,” Ketika awal malam bulan ramadhan, para sahabat Al Bukhori berkumpul bersamanya. Beliau sholat bersama mereka dengan membaca 20 ayat setiap rakaat. Setiap waktu sahur beliau membaca Al Qur’an lebih dari sepertiganya, dan menghatamkannya selama 3 hari juga pada waktu sahur. Jika pda waktu tersebut beliau tidak menghatamkan, maka beliau sempurnakan/selesaikan pada waktu iftar (bebuka puasa) sambil berdoa.”

Muhammad bin Yusuf berkata,” Pada suatu malam saya bersama Muhammad bin Ismail Al Bukhori di rumahnya. Saya menghitung dia bangun untuk menyalakan lampu lalu mudzakarah (menelaah) sesuatu ampai 18 kali, dan pada waktu sahur beliau melakukan sholat lain 13 rakaat dengan witir 1 rakaat.”

Pujian Ulama kepadanya

Muhammad bin Abu Hatim mendengar Imam Al Bukhori berkata,” Tatkala masuk ke kota Bashrah, saya bermajelis dengan Muhammad bin Basyar, ketika keluar majelis, dia melihatku. Dia bertanya kepadaku,”Darimana kamu wahai pemuda?”, Maka akupun menjawab,” dari penduduk Bukhara.”. Bagaimana kamu justru meninggalkan Abu Abdillah Al Bukhori dan tidak belajar kepadanya?,” keluhnya. Maka para Sahabat Muhammad bin Basyar berkata kepadanya,”Semoga engkau merahmati engkau. Dialah Abu Abdillah (Al Bukhori ) itu.” lantas Muhammad bin Basyar memegang tanganku dan memelukku. Kemudian beliau berkata,” Selamat atas kedatangan orang yang besar lagi mulai yang telah kami tunggu sejak dua tahun lalu.”

Muhammad bin Ishaq berkata,” Saya tidak melihat dibawah kolong langit ini yang lebih alim tentang hadits daripada Muhammad bin Ismail Abu Abdillah.”
Abu Ja’far Abdullah bin Muhammad Al Ja’fi berkata,” Muhammad bin Ismail dalah seorang imam. maka barangsiapa yang tidak menjadikannya sebagai imam, maka ia pantas untuk dicurigai.”

Kedalaman Ilmu Haditsnya

Para ulama dari berbagai negeri seperti Bashrah, Syam, Hjaz, dan Kufah menaruh hormat kepada Al bukhori.

Pernah Imam Al Bukhori datang ke baghdad, dan kedatangannya didengar oleh para Ulama Ahlul Hadits, mereka berkumpul dan bersepakat untuk menguji Imam Bukhori dengan 100 hadits. Mereka membolak-balik matan (isi hadits) dan sanad (para periwayat hadits)nya. dan menyerahkan  hadits yang sudah dibolak bailk tersebut kepada 10 orang, sehingga setiap orang mendapat jatah 10 hadits. Ketika hari yang sudah ditentukan untuk bermajelis telah tiba, datanglah para Ahli hadits baik dari Maghrib, Khurasan, Baghdad dan tempat lainnya.

Tatkala suasana majelis sudah nampak tenang, mulailah salah seorang dari 10 orang tadi menyampaikan hadits yang telah dibolak balikkan itu, dan setiap selesai membacakan satu hadits dia bertanya kepada Imam Al Bukhori tentag hadits tersebut, maka Imam Al Bukhori menjawab,” Aku tidak tahu tentang hadits tersebut.” lalu dibacakanlah lagi hadits berikutnya dan ditanyakan lagi kepadanya. Dia menjawab lagi “Tidak tahu.” demikian sampai 10 hadits. para Ahli hadits yang hadir di majelis saling berpandangan satu sama lain dan berkata,” Jawaban al Bukhori itu menunjukkan dia orang yang lemah dan sedikit hafalan serta pemahamannya.”

Lalu mulailah orang kedua, ketiga, kempat sampai selesai 10 orang yang membacakan semua hadits yang dibolak balik tadi sehingga mencapai 100 hadits. dan setiap ditanya tentang hadits yang dibacakan kepadanya, Imam bukhori tetap menjawab,” Saya tidak tahu hadits tersebut.” Tidak lebih dari itu. Ketika Imam Bukhori mengetahui pembacaan hadits-hadits tersebut telah selesai, maka beliau menghadap kepada orang orang pertama yang membacakan hadits tadi dan berkata,” Adapun haditsmu yang pertama seperti itu maka yang benar begini, haditsmu yang kedua begitu, maka yang benar begini dan seterusnya sampai 10 hadits. Beliau mengembalikan matan dan sanad hadits yang telah dibolak balik sebagaimana semula. demikianlah yang diperbuat Imam Al Bukhori kepada 10 orang tersebut. Hingga manusia menetapkan kuatnya hafalan Imam Al Bukhori dan keutamaannya.

Majelis Imam Al Bukhori

Abu Ali Shalih bin Muhammad Al Bagdadi berkata bahwa ketika Muhammad bin Ismail menyampaikan hadits-haditsnya beberapa kali di baghdad, yang hadir pada setiap majelisnya lebih dari 20.000 orang. Perkataan serupa juga disampaikan Muhammad bin Yusuf.
Al Bukhori berkunjung ke Bashrah, dan berada di dalam Masjid jami’, tatkala ada orang yang mengetahuinya, maka dia umumkan kedatangannya kepada penduduk Bashrah, mereka meminta kepadanya untuk membuah sebuah majelis ilmu. maka berkumpullah para penuntut ilmu termasuk orang-orang tua, para ahli fiqih, ahli hadits para huffazh hingga berjumlah ribuan orang, sehingga keluar ungkapan,” Telah hadir pada hari ini Sayyidul fuqoha’ (penghulu para ahli fiqih).

Hikmah
Abu Sa’id Bakar bin Munir berkata bahwa Al Amir (penguasa) Khalid bin AHmad Adz Dzuhli mengirim utusan ke Bukhara kepada Muhammad bin Ismail agar mengajarkan kitab jami’, At tarikh dan seterusnya (secara privat), Maka Muhammad bin Ismail berkata kepada utusan tersebut,”Sesungguhnya kami tidak merendahkan ilmu, dan tidak mengajarkan kerumah-rumah. Jika engkau membutuhkan ilmu tersebut maka datanglah ke masjid saya atau rumah saya, jika tidak, engkau dalah penguasa, mampu melarang saya untuk bermajelis, sehingga saya memiliki udzur di hadapan Alloh Azza wa Jalla pada hari kiamat. Karena saya tidak akan menyembunyikan ilmu, sebab Rosululloh Sholallahu Alaihi Wassalam bersabda,” barangsiapa ditanya tentang suatu ilmu lantas dia menyembunyikannya maka dia akan dikekang dengan tali kekang dari neraka.”

Imam Bukhori berkata,” gerakan, suuara dan tulisan mereka adalah makhluq, adapaun Al Qur’an yang dibaca, yang tetap dalam mushaf yang tertulis dan yang terjaga (dihafal) dalam hati, maka itu adalah kalam Allah dan bukan makhluq, Alloh Azza wa Jalla berfirman,” Sebenarnya, Al Qur’an adalah ayat-ayat yang nyata di dalam dada orang-orang yang berilmu,” [QS Al Ankabut 49]
Ibrahim bin Muhammad setelah penyelenggaraan jenazah Muhammad bin ismail berkata bahwa Shahibul Qishar kemarin bertanya kepada Muhammad bin Ismail,” Wahai Abu Abdillah, apa yang engkau katakan tentang Al Qur’an?’ Beliau menjawab,” Al Quran adalah kalamulloh bukan makhluq” Kemudian aku (Ibrahim bin Muhammad ) berkata,” Manusia menyangka engkau mengatakan apa-apa yang terdapat dalam mushaf itu bukan Al Qur’an ! dan ayat-ayat yang berada di dalam dada-dada manusia juga bukan Al Qur’an.” Maka beliau menjawab,” Astaghfirrullah, engkau bersaksi terhadap sesuatu yang tidak kau dengar dariku. Maka aku katakan sebagaiman firman Alloh Azza wa Jalla ,” Demi Thur dan demi kitab yang tertulis.” [QS Ath Thur 1-2]

Wafat beliau

Abdul Wahin bin Adam berkata,” Saya melihat Rosululloh Sholallahu Alaihi Wassalam didalam mimpi bersama para sahabatnya. beliau berhenti/berdiri pada suatu tempat. Aku mengucapkan salam kepada beliau dan beliaupun menjawab salamnya. Aku bertanya,” Mengapa berhenti disini wahai Rosululloh?.” Beliau menjawab,” Aku menunggu Muhammad bin Ismail Al Bukhori.” , Setelah beberapa hari maka datanglah kabar tentang kematian Imam Al Bukhari, dan tatkala saya perhatikan waktu kematian beliau, ternyata tepat saat aku bermimpi bertemu dengan Rosululloh Sholallahu Alaihi Wassalam .

Abul Hasan bin Salim berkata,” Abu Abdillah Muhammad bin Ismail Al Bukhari meninggal pada malam sabtu malam idul fitri tahun 256 H.”

Yahya bin Ja’far berkata,” Seandainya saya mampu untuk menambah usia Muhammad bin Ismail Al Bukhori, maka akan saya lakukan. Karena kematianku adalah kematian seorang biasa, namun kematian Al Bukhori adalah hilangnya ilmu.”

maraji:
Tarikh Al Baghdad, karya Al Khatib Al baghdadi
Siyar A’lam An Nubala kaya Imam Adz Dzahabi

ditulis kembali dari Al Fatawa vol 06/thII/1425 H

https://tausyah.wordpress.com

Syeikh Abdul Qadir Al Jailani adalah seorang ‘alim di Baghdad. Biografi beliau dimuat dalam Kitab Adz Dzail ‘Ala Thabaqil Hanabilah I/301-390, nomor 134, karya Imam Ibnu Rajab Al Hambali. Buku ini belum diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia. Imam Ibnu Rajab menyatakan bahwa Syeikh Abdul Qadir Al Jailani lahir pada tahun 490/471 H di kota Jailan atau disebut juga denganKailan.

Sehingga diakhir nama beliau ditambahkan kata Al Jailani atau Al Kailani atau juga Al Jiliy. Wafat pada hari Sabtu malam, setelah maghrib, pada tanggal 9 Rabi’ul Akhir tahun 561 H di daerah Babul Azaj. Beliau meninggalkan tanah kelahiran, dan merantau ke Baghdad pada saat beliau masih muda. Di Baghdad belajar kepada beberapa orang ulama’ seperti Ibnu Aqil,
Abul Khatthat, Abul Husein Al Farra’ dan juga Abu Sa’ad Al Muharrimi. Beliau belajar sehingga mampu menguasai ilmu-ilmu ushul dan juga perbedaan-perbedaan pendapat para ulama’. Suatu ketika Abu Sa’ad Al Mukharrimi membangun sekolah kecil-kecilan di daerah yang bernama Babul Azaj.

Pengelolaan sekolah ini diserahkan sepenuhnya kepada Syeikh Abdul Qadir Al Jailani. Beliau mengelola sekolah ini dengan sungguh-sungguh. Bermukim disana sambil memberikan nasehat kepada orang-orang yang ada tersebut. Banyak sudah orang yang bertaubat demi mendengar nasehat beliau. Banyak orang yang bersimpati kepada beliau, lalu datang ke sekolah beliau.
Sehingga sekolah itu tidak kuat menampungnya. Maka, diadakan perluasan. Murid-murid beliau banyak yang menjadi ulama’ terkenal. Seperti Al Hafidz Abdul Ghani yang menyusun kitab Umdatul Ahkam Fi Kalami Khairil Anam. Juga Syeikh Qudamah penyusun kitab figh terkenal Al Mughni.

Syeikh Ibnu Qudamah rahimahullah ketika ditanya tentang Syeikh Abdul Qadir, beliau menjawab, ” kami sempat berjumpa dengan beliau di akhir masa kehidupannya. Beliau menempatkan kami di sekolahnya. Beliau sangat perhatian terhadap kami. Kadang beliau mengutus putra beliau yang bernama Yahya untuk menyalakan lampu buat kami. Beliau senantiasa menjadi imam dalam shalat fardhu.” Syeikh Ibnu Qudamah sempat tinggal bersama beliau selama satu bulan sembilan hari.

Kesempatan ini digunakan untuk belajar kepada Syeikh Abdul Qadir Al Jailani sampai beliau meninggal dunia. 1) Beliau adalah seorang ‘alim. Beraqidah Ahlu Sunnah, mengikuti jalan Salafush Shalih. Dikenal banyak memiliki karamah-karamah. Tetapi banyak (pula) orang yang membuat-buat kedustaan atas nama beliau. Kedustaan itu baik berupa kisah-kisah, perkataan-perkataan, ajaran-ajaran, “thariqah” yang berbeda dengan jalan Rasulullah, para sahabatnya, dan lainnya. Diantara perkataan Imam Ibnu Rajab ialah, ” Syeikh Abdul Qadir Al Jailani adalah seorang yang diagungkan pada masanya. Diagungkan oleh banyak para syeikh, baik ‘ulama dan
para ahli zuhud.

Beliau banyak memiliki keutamaan dan karamah. Tetapi ada seorang yang bernama Al Muqri’ Abul Hasan Asy Syathnufi Al Mishri ( orang Mesir 2)  mengumpulkan kisah-kisah dan keutamaan-keutamaan Syeikh Abdul Qadir Al Jailani dalam tiga jilid kitab. Dia telah menulis perkara-perkara yang aneh dan besar ( kebohongannya ). Cukuplah seorang itu berdusta, jika
dia menceritakan yang dia dengar. Aku telah melihat sebagian kitab ini, tetapi hatiku tidak tentram untuk beregang dengannya, sehingga aku meriwayatkan apa yang ada di dalamnya.

Kecuali kisah-kisah yang telah mansyhur dan terkenal dari selain kitab ini. Karena kitab ini banyak berisi riwayat dari orang-orang yang tidak dikenal. Juga terdapat perkara-perkara
yang jauh ( dari agama dan akal ), kesesatan-kesesatan, dakwaan-dakwaan dan perkataan yang batil tidak berbatas.3)  semua itu tidak pantas dinisbatkan kepada Syeikh Abdul Qadir Al Jailani rahimahullah. Kemudian aku dapatkan bahwa Al Kamal Ja’far Al Adfwi4)  telah menyebutkan, bahwa Asy Syath-nufi sendiri tertuduh berdusta atas kisah-kisah yang diriwayatkannya dalam kitab ini.”5)   Imam Ibnu Rajab juga berkata, ” Syeikh Abdul Qadir Al Jailani rahimahullah memiliki pendapat memiliki pendapat yang bagus dalam masalah tauhid, sifat-sifat Allah, takdir, dan ilmu-ilmu ma’rifat yang sesuai dengan sunnah. Beliau memiliki kitab Al Ghunyah Li Thalibi Thariqil Haq, kitab yang terkenal.

Beliau juga mempunyai kitab Futuhul Ghaib. Murid-muridnya mengumpulkan perkara-perkara yang berkaitan dengan nasehat dari majelis-majelis beliau. Dalam masalah-masalah sifat, takdir dan lainnya, ia berpegang dengan sunnah. Beliau membantah dengan keras terhadap orang-orang yang menyelisihi sunnah .” Syeikh Abdul Qadir Al Jailani menyatakan dalam
kitabnya, Al Ghunyah, ” Dia ( Allah ) di arah atas, berada diatas ‘arsyNya, meliputi seluruh kerajaanNya. IlmuNya meliputi segala sesuatu.” Kemudian beliau menyebutkan ayat-ayat dan hadist-hadist, lalu berkata ” Sepantasnya menetapkan sifat istiwa’ (Allah berada diatas ‘arsyNya) tanpa takwil ( menyimpangkan kepada makna lain ). Dan hal itu merupakan istiwa’ dzat Allah
diatas arsys
.”6) Ali bin Idris pernah bertanya kepada Syeikh Abdul Qadir Al Jailani, ” Wahai tuanku, apakah Allah memiliki wali ( kekasih ) yang tidak berada di atas aqidah ( Imam ) Ahmad bin Hambal?” Maka beliau menjawab, “Tidak pernah ada dan tidak akan ada.”7)

Perkataan Syeikh Abdul Qadir Al Jailani tersebut juga dinukilkan oleh Syeikhul Islam Ibnu Taimiyah dalam kitab Al Istiqamah I/86. Semua itu menunjukkan kelurusan aqidahnya dan penghormatan beliau terhadap manhaj Salaf.

Sam’ani berkata, ” Syeikh Abdul Qadir Al Jailani adalah penduduk kota Jailan. Beliau seorang Imam bermadzhab Hambali. Menjadi guru besar madzhab ini pada masa hidup beliau.”

Imam Adz Dzahabi menyebutkan biografi Syeikh Abdul Qadir Al Jailani dalam Siyar A’lamin Nubala, dan menukilkan perkataan Syeikh sebagai berikut,”Lebih dari lima ratus orang masuk Islam lewat tanganku, dan lebih dari seratus ribu orang telah bertaubat.”

Imam Adz Dzahabi menukilkan perkataan-perkataan dan perbuatan-perbuatan Syeikh Abdul Qadir yang aneh-aneh sehingga memberikan kesan seakan-akan beliau mengetahui hal-hal yang ghaib. Kemudian mengakhiri perkataan, “Intinya Syeikh Abdul Qadir memiliki kedudukan yang agung. Tetapi terdapat kritikan-kritikan terhadap sebagian perkataannya dan Allah menjanjikan (ampunan  atas kesalahan-kesalahan orang beriman ). Namun sebagian perkataannya merupakan kedustaan atas nama beliau.”( Siyar XX/451 ).

Imam Adz Dzahabi juga berkata, ” Tidak ada seorangpun para kibar masyasyeikh yang riwayat hidup dan karamahnya lebih banyak kisah hikayat, selain Syeikh Abdul Qadir Al Jailani, dan banyak diantara riwayat-riwayat itu yang tidak benar bahkan ada yang mustahil terjadi “.

Syeikh Rabi’ bin Hadi Al Madkhali berkata dalam kitabnya, Al Haddul Fashil, hal.136, ” Aku telah mendapatkan aqidah beliau  ( Syeikh Abdul Qadir Al Jailani ) didalam kitabnya yang bernama Al Ghunyah.8)  Maka aku mengetahui dia sebagai seorang Salafi. Beliau menetapkan nama-nama dan sifat-sifat Allah dan aqidah-aqidah lainnya di atas manhaj Salaf. Beliau juga membantah
kelompok-kelompok Syi’ah, Rafidhah, Jahmiyyah, Jabariyyah, Salimiyah, dan kelompok lainnya dengan manhaj Salaf.”9)

Inilah tentang beliau secara ringkas. Seorang ‘alim Salafi, Sunni, tetapi banyak orang yang menyanjung dan membuat kedustaan atas nama beliau. Sedangkan beliau berlepas diri dari semua kebohongan itu. Wallahu a’lam bishshawwab.

Kesimpulannya beliau adalah seorang ‘ulama besar. Apabila sekarang ini banyak kaum muslimin menyanjung-nyanjungnya dan mencintainya, maka suatu kewajaran. Bahkan suatu keharusan. Akan tetapi kalau meninggi-ninggikan derajat beliau di atas Rasulullah , maka hal ini merupakan kekeliruan. Karena Rasulullah n adalah rasul yang paling mulia diantara para nabi dan rasul. Derajatnya tidak akan terkalahkan disisi Allah oleh manusia manapun.

Adapun sebagian kaum muslimin yang menjadikan Syeikh Abdul Qadir Al Jailani sebagai wasilah ( perantara ) dalam do’a mereka. Berkeyakinan bahwa do’a seseorang tidak akan dikabulkan oleh Allah, kecuali dengan perantaranya. Ini juga merupakan kesesatan. Menjadikan orang yang meningal sebagai perantara, maka tidak ada syari’atnya dan ini diharamkan. Apalagi kalau ada orang yang berdo’a kepada beliau. Ini adalah sebuah kesyirikan besar. Sebab do’a
merupakan salah satu bentuk ibadah yang tidak diberikan kepada selain Allah. Allah melarang mahluknya berdo’a kepada selain Allah,

Dan sesungguhnya mesjid-mesjid itu adalah kepunyaan Allah.

Maka janganlah kamu menyembah seseorang pun di dalamnya

Disamping ( menyembah ) Allah.

( QS. Al-Jin : 18 )

Jadi sudah menjadi keharusan bagi setiap muslim untuk memperlakukan para ‘ulama dengan sebaik mungkin, namun tetap dalam batas-batas yang telah ditetapkan syari’ah.

Akhirnya mudah-mudahan Allah senantiasa memberikan petunjuk kepada kita sehingga tidak tersesat dalam kehidupan yang penuh dengan fitnah ini.

Wallahu a’lam bishshawab.

1)     Siyar A’lamin Nubala XX/442

2)     Nama lengkapnya adalah Ali Ibnu Yusuf bin Jarir Al Lakh-mi Asy
Syath-Nufi. Lahir di Kairo tahun 640 H, meninggal tahun 713 H. Dia dituduh
berdusta dan tidak bertemu dengan Syeikh Abdul Qadir Al Jailani.

3)     Seperti kisah Syeikh Abdul Qadir menghidupkan ayam yang telah mati,
dan sebagainya.

4)     Nama lengkapnya ialah Ja’far bin Tsa’lab bin Ja’far bin Ali bin
Muthahhar bin Naufal Al Adfawi. Seoarang ‘ulama bermadzhab Syafi’i.
Dilahirkan pada pertengahan bulan Sya’ban tahun 685 H. Wafat tahun 748 H di
Kairo. Biografi beliau dimuat oleh Al Hafidz di dalam kitan Ad Durarul
Kaminah, biografi nomor 1452.

5)     Dinukil dari kitab At Tashawwuf Fii Mizanil Bahtsi Wat Tahqiq, hal.
509, karya Syeikh Abdul Qadir bin Habibullah As Sindi, Penerbit Darul Manar,
Cet. II, 8 Dzulqa’dah 1415 H / 8 April 1995 M.

6)     At Tashawwuf Fii Mizanil Bahtsi Wat Tahqiq, hal. 515.

7)     At Tashawwuf Fii Mizanil Bahtsi Wat Tahqiq, hal. 516.

8)     Lihat kitab Al-Ghunyah I/83-94.

9) At Tashawwuf Fii Mizanil Bahtsi Wat Tahqiq, hal. 509, karya Syeikh Abdul
Qadir bin Habibullah As Sindi, Penerbit Darul Manar, Cet. II, 8 Dzulqa’dah
1415 H / 8 April 1995 M.

—————————————————————–
Majalah Assunnah Edisi 07/Tahun VI/1423H/2002M

https://tausyah.wordpress.com

Oleh : Ust. Kholid Syamhudi, Lc.

Karya-Karyanya*

*Nama karya beliau ini diambil secara ringkas dari kitab Mauqif Ibnu Taimiyah Minal Asya’irah, karya Dr. Abdurrahman bin Shaleh Ali Mahmud 2/623-625, Thabaqat Asy Syafi’iyah 6/203-204

Beliau seorang yang produktif menulis. Karya ilmiah beliau sangat banyak sekali. Di antara karyanya yang terkenal ialah:

Pertama, dalam masalah ushuluddin dan aqidah:

  1. Arba’in Fi Ushuliddin. Merupakan juz kedua dari kitab beliau Jawahirul Qur’an.
  2. Qawa’idul Aqa’id, yang beliau satukan dengan Ihya’ Ulumuddin pada jilid pertama.
  3. Al Iqtishad Fil I’tiqad.
  4. Tahafut Al Falasifah. Berisi bantahan beliau terhadap pendapat dan pemikiran para filosof dengan menggunakan kaidah mazhab Asy’ariyah.
  5. Faishal At Tafriqah Bainal Islam Wa Zanadiqah.

Kedua, dalam ilmu ushul, fikih, filsafat, manthiq dan tasawuf, beliau memiliki karya yang sangat banyak. Secara ringkas dapat kita kutip yang terkenal, di antaranya:

(1) Al Mustashfa Min Ilmil Ushul. Merupakan kitab yang sangat terkenal dalam ushul fiqih. Yang sangat populer dari buku ini ialah pengantar manthiq dan pembahasan ilmu kalamnya. Dalam kitab ini Imam Ghazali membenarkan perbuatan ahli kalam yang mencampur adukkan pembahasan ushul fikih dengan pembahasan ilmu kalam dalam pernyataannya, “Para ahli ushul dari kalangan ahli kalam banyak sekali memasukkan pembahasan kalam ke dalamnya (ushul fiqih) lantaran kalam telah menguasainya. Sehingga kecintaannya tersebut telah membuatnya mencampur adukkannya.” Tetapi kemudian beliau berkata, “Setelah kita mengetahui sikap keterlaluan mereka mencampuradukkan permasalahan ini, maka kita memandang perlu menghilangkan dari hal tersebut dalam kumpulan ini. Karena melepaskan dari sesuatu yang sudah menjadi kebiasaan sangatlah sukar……” (Dua perkataan beliau ini dinukil dari penulis Mauqif Ibnu Taimiyah Minal Asya’irah dari Al Mustashfa hal. 17 dan 18).

Lebih jauh pernyataan beliau dalam Mukaddimah manthiqnya, “Mukadimah ini bukan termasuk dari ilmu ushul. Dan juga bukan mukadimah khusus untuknya. Tetapi merupakan mukadimah semua ilmu. Maka siapa pun yang tidak memiliki hal ini, tidak dapat dipercaya pengetahuannya.” (Mauqif Ibnu Taimiyah Minal Asya’irah dari Al Mustashfa hal. 19).

Kemudian hal ini dibantah oleh Ibnu Shalah. beliau berkata, “Ini tertolak, karena setiap orang yang akalnya sehat, maka berarti dia itu manthiqi. Lihatlah berapa banyak para imam yang sama sekali tidak mengenal ilmu manthiq!” (Adz Dzahabi dalam Siyar A’lam Nubala 19/329). Demikianlah, karena para sahabat juga tidak mengenal ilmu manthiq. Padahal pengetahuan serta pemahamannya jauh lebih baik dari para ahli manthiq.

(2) Mahakun Nadzar.
(3) Mi’yarul Ilmi. Kedua kitab ini berbicara tentang mantiq dan telah dicetak.
(4) Ma’ariful Aqliyah. Kitab ini dicetak dengan tahqiq Abdulkarim Ali Utsman.
(5) Misykatul Anwar. Dicetak berulangkali dengan tahqiq Abul Ala Afifi.
(6) Al Maqshad Al Asna Fi Syarhi Asma Allah Al Husna. Telah dicetak.
(7) Mizanul Amal. Kitab ini telah diterbitkan dengan tahqiq Sulaiman Dunya.
(8) Al Madhmun Bihi Ala Ghairi Ahlihi. Oleh para ulama, kitab ini diperselisihkan keabsahan dan keontetikannya sebagai karya Al Ghazali. Yang menolak penisbatan ini, diantaranya ialah Imam Ibnu Shalah dengan pernyataannya, “Adapun kitab Al Madhmun Bihi Ala Ghairi Ahlihi, bukanlah karya beliau.

Aku telah melihat transkipnya dengan khat Al Qadhi Kamaluddin Muhammad bin Abdillah Asy Syahruzuri yang menunjukkan, bahwa hal itu dipalsukan atas nama Al Ghazali. Beliau sendiri telah menolaknya dengan kitab Tahafut.” (Adz Dzahabi dalam Siyar A’lam Nubala 19/329).

Banyak pula ulama yang menetapkan keabsahannya. Di antaranya yaitu Syaikhul Islam, menyatakan, “Adapun mengenai kitab Al Madhmun Bihi Ala Ghairi Ahlihi, sebagian ulama mendustakan penetapan ini. Akan tetapi para pakar yang mengenalnya dan keadaannya, akan mengetahui bahwa semua ini merupakan perkataannya.” (Adz Dzahabi dalam Siyar A’lam Nubala 19/329). Kitab ini diterbitkan terakhir dengan tahqiq Riyadh Ali Abdillah.

(9) Al Ajwibah Al Ghazaliyah Fil Masail Ukhrawiyah.
(10) Ma’arijul Qudsi fi Madariji Ma’rifati An Nafsi.
(11) Qanun At Ta’wil.
(12) Fadhaih Al Bathiniyah dan Al Qisthas Al Mustaqim. Kedua kitab ini merupakan bantahan beliau terhadap sekte batiniyah. Keduanya telah terbit.
(13) Iljamul Awam An Ilmil Kalam. Kitab ini telah diterbitkan berulang kali dengan tahqiq Muhammad Al Mu’tashim Billah Al Baghdadi.
(14) Raudhatuth Thalibin Wa Umdatus Salikin, diterbitkan dengan tahqiq Muhammad Bahit.
(15) Ar Risalah Alladuniyah.
(16) Ihya’ Ulumuddin. Kitab yang cukup terkenal dan menjadi salah satu rujukan sebagian kaum muslimin di Indonesia. Para ulama terdahulu telah berkomentar banyak tentang kitab ini, di antaranya:

Abu Bakar Al Thurthusi berkata, “Abu Hamid telah memenuhi kitab Ihya’ dengan kedustaan terhadap Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Saya tidak tahu ada kitab di muka bumi ini yang lebih banyak kedustaan darinya, kemudian beliau campur dengan pemikiran-pemikiran filsafat dan kandungan isi Rasail Ikhwanush Shafa. Mereka adalah kaum yang memandang kenabian merupakan sesuatu yang dapat diusahakan.” (Dinukil Adz Dzahabi dalam Siyar A’lam Nubala 19/334).

Dalam risalahnya kepada Ibnu Mudzaffar, beliau pun menyatakan, “Adapun penjelasan Anda tentang Abu Hamid, maka saya telah melihatnya dan mengajaknya berbicara. Saya mendapatkan beliau seorang yang agung dari kalangan ulama. Memiliki kecerdasan akal dan pemahaman. Beliau telah menekuni ilmu sepanjang umurnya, bahkan hampir seluruh usianya. Dia dapat memahami jalannya para ulama dan masuk ke dalam kancah para pejabat tinggi. Kemudian beliau bertasawuf, menghijrahi ilmu dan ahlinya dan menekuni ilmu yang berkenaan dengan hati dan ahli ibadah serta was-was syaitan. Sehingga beliau rusak dengan pemikiran filsafat dan Al Hallaj (pemikiran wihdatul wujud). Mulai mencela ahli fikih dan ahli kalam. Sungguh dia hampir tergelincir keluar dari agama ini. Ketika menulis Al Ihya’ beliau mulai berbicara tentang ilmu ahwal dan rumus-rumus sufiyah, padahal belum mengenal betul dan tidak memiliki keahlian tentangnya. Sehingga dia berbuat kesalahan fatal dan memenuhi kitabnya dengan hadits-hadits palsu.” Imam Adz Dzahabi mengomentari perkataan ini dengan pernyataannya, “Adapun di dalam kitab Ihya’ terdapat sejumlah hadits-hadits yang batil dan terdapat kebaikan padanya, seandainya tidak ada adab dan tulisan serta zuhud secara jalannya ahli hikmah dan sufi yang menyimpang.” (Adz Dzahabi dalam Siyar A’lam Nubala 19/339-340).

Imam Subuki dalam Thabaqat Asy Syafi’iyah (Lihat 6/287-288) telah mengumpulkan hadits-hadits yang terdapat dalam kitab Al Ihya’ dan menemukan 943 hadits yang tidak diketahui sanadnya. Abul Fadhl Abdurrahim Al Iraqi mentakhrij hadits-hadits Al Ihya’ dalam kitabnya, Al Mughni An Asfari Fi Takhrij Ma Fi Al Ihya Minal Akhbar. Kitab ini dicetak bersama kitab Ihya Ulumuddin. Beliau sandarkan setiap hadits kepada sumber rujukannya dan menjelaskan derajat keabsahannya. Didapatkan banyak dari hadits-hadits tersebut yang beliau hukumi dengan lemah dan palsu atau tidak ada asalnya dari perkataan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Maka berhati-hatilah para penulis, khathib, pengajar dan para penceramah dalam mengambil hal-hal yang terdapat dalam kitab Ihya Ulumuddin.

(17) Al Munqidz Minad Dhalalah. Tulisan beliau yang banyak menjelaskan sisi biografinya.
(18) Al Wasith.
(19) Al Basith.
(20) Al Wajiz.
(21) Al Khulashah. Keempat kitab ini adalah kitab rujukan fiqih Syafi’iyah yang beliau tulis. Imam As Subki menyebutkan 57 karya beliau dalam Thabaqat Asy Syafi’iyah 6/224-227.

Aqidah dan Madzhab Beliau

Dalam masalah fikih, beliau seorang yang bermazhab Syafi’i. Nampak dari karyanya Al Wasith, Al Basith dan Al Wajiz. Bahkan kitab beliau Al Wajiz termasuk buku induk dalam mazhab Syafi’i. Mendapat perhatian khusus dari para ulama Syafi’iyah. Imam Adz Dzahabi menjelaskan mazhab fikih beliau dengan pernyataannya, “Syaikh Imam, Hujjatul Islam, A’jubatuz zaman, Zainuddin Abu Hamid Muhammad bin Muhammad bin Muhammad bin Ahmad Ath Thusi Asy Syafi’i.”

Sedangkan dalam sisi akidah, beliau sudah terkenal dan masyhur sebagai seorang yang bermazhab Asy’ariyah. Banyak membela Asy’ariyah dalam membantah Bathiniyah, para filosof serta kelompok yang menyelisihi mazhabnya. Bahkan termasuk salah satu pilar dalam mazhab tersebut. Oleh karena itu beliau menamakan kitab aqidahnya yang terkenal dengan judul Al Iqtishad Fil I’tiqad. Tetapi karya beliau dalam aqidah dan cara pengambilan dalilnya, hanyalah merupakan ringkasan dari karya tokoh ulama Asy’ariyah sebelum beliau (pendahulunya). Tidak memberikan sesuatu yang baru dalam mazhab Asy’ariyah. Beliau hanya memaparkan dalam bentuk baru dan cara yang cukup mudah. Keterkenalan Imam Ghazali sebagai tokoh Asy’ariyah juga dibarengi dengan kesufiannya. Beliau menjadi patokan marhalah yang sangat penting menyatunya Sufiyah ke dalam Asy’ariyah.

Akan tetapi tasawuf apakah yang diyakini beliau? Memang agak sulit menentukan tasawuf beliau. Karena seringnya beliau membantah sesuatu, kemudian beliau jadikan sebagai aqidahnya. Beliau mengingkari filsafat dalam kitab Tahafut, tetapi beliau sendiri menekuni filsafat dan menyetujuinya.

Ketika berbicara dengan Asy’ariyah tampaklah sebagai seorang Asy’ari tulen. Ketika berbicara tasawuf, dia menjadi sufi. Menunjukkan seringnya beliau berpindah-pindah dan tidak tetap dengan satu mazhab. Oleh karena itu Ibnu Rusyd mencelanya dengan mengatakan, “Beliau tidak berpegang teguh dengan satu mazhab saja dalam buku-bukunya. Akan tetapi beliau menjadi Asy’ari bersama Asy’ariyah, sufi bersama sufiyah dan filosof bersama filsafat.” (Lihat Mukadimah kitab Bughyatul Murtad hal. 110).

Adapun orang yang menelaah kitab dan karya beliau seperti Misykatul Anwar, Al Ma’arif Aqliyah, Mizanul Amal, Ma’arijul Quds, Raudhatuthalibin, Al Maqshad Al Asna, Jawahirul Qur’an dan Al Madmun Bihi Ala Ghairi Ahlihi, akan mengetahui bahwa tasawuf beliau berbeda dengan tasawuf orang sebelumnya. Syaikh Dr. Abdurrahman bin Shalih Ali Mahmud menjelaskan tasawuf Al Ghazali dengan menyatakan, bahwa kunci mengenal kepribadian Al Ghazali ada dua perkara:

Pertama, pendapat beliau, bahwa setiap orang memiliki tiga aqidah. Yang pertama, ditampakkan di hadapan orang awam dan yang difanatikinya. Kedua, beredar dalam ta’lim dan ceramah. Ketiga, sesuatu yang dii’tiqadi seseorang dalam dirinya. Tidak ada yang mengetahui kecuali teman yang setara pengetahuannya. Bila demikian, Al Ghazali menyembunyikan sisi khusus dan rahasia dalam aqidahnya.

Kedua, mengumpulkan pendapat dan uraian singkat beliau yang selalu mengisyaratkan kerahasian akidahnya. Kemudian membandingkannya dengan pendapat para filosof  saat beliau belum cenderung kepada filsafat Isyraqi dan tasawuf, seperti Ibnu Sina dan yang lainnya. (Mauqif Ibnu Taimiyah Minal Asyariyah 2/628).

Beliau (Syeikh Dr. Abdurrahman bin Shalih Ali Mahmud) menyimpulkan hasil penelitian dan pendapat para peneliti pemikiran Al Ghazali, bahwa tasawuf Al Ghazali dilandasi filsafat Isyraqi (Madzhab Isyraqi dalam filsafat ialah mazhab yang menyatukan pemikiran dan ajaran dalam agama-agama kuno, Yunani dan Parsi. Termasuk bagian dari filsafat Yunani dan Neo-Platoisme. Lihat Al Mausu’ah Al Muyassarah Fi Al Adyan Wal Madzahibi Wal Ahzab Al Mu’ashirah, karya Dr. Mani’ bin Hamad Al Juhani 2/928-929). Sebenarnya inilah yang dikembangkan beliau akibat pengaruh karya-karya Ibnu Sina dan Ikhwanush Shafa. Demikian juga dijelaskan pentahqiq kitab Bughyatul Murtad dalam mukadimahnya. Setelah menyimpulkan bantahan Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah terhadap beliau dengan mengatakan, “Bantahan Ibnu Taimiyah terhadap Al Ghazali didasarkan kejelasannya mengikuti filsafat dan terpengaruh dengan sekte Bathiniyah dalam menta’wil nash-nash, walaupun beliau membantah habis-habisan mereka, seperti dalam kitab Al Mustadzhiri. Ketika tujuan kitab ini (Bughyatul Murtad, pen) adalah untuk membantah orang yang berusaha menyatukan agama dan filsafat, maka Syaikhul Islam menjelaskan bentuk usaha tersebut pada Al Ghazali. Yang berusaha menafsirkan nash-nash dengan tafsir filsafat Isyraqi yang didasarkan atas ta’wil batin terhadap nash, sesuai dengan pokok-pokok ajaran ahli Isyraq (pengikut filsafat neo-platonisme).” (Lihat Mukadimah kitab Bughyatul Murtad hal. 111).

Tetapi perlu diketahui, bahwa pada akhir hayatnya, beliau kembali kepada ajaran Ahlusunnah Wal Jama’ah meninggalkan filsafat dan ilmu kalam, dengan menekuni Shahih Bukhari dan Muslim. Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah berkata, “Penulis Jawahirul Qur’an (Al Ghazali, pen) karena banyak meneliti perkataan para filosof dan merujuk kepada mereka, sehingga banyak mencampur pendapatnya dengan perkataan mereka. Pun beliau menolak banyak hal yang bersesuaian dengan mereka. Beliau memastikan, bahwa perkataan filosof tidak memberikan ilmu dan keyakinan. Demikian juga halnya perkataan ahli kalam. Pada akhirnya beliau menyibukkan diri meneliti Shahih Bukhari dan Muslim hingga wafatnya dalam keadaan demikian. Wallahu a’lam.”

Sumber: Majalah As Sunnah

https://tausyah.wordpress.com

Oleh : Ustadz Muhammad Ali Ishmah Al Medani

Imam Al Ajurri :

Nama lengkap beliau adalah Muhammad bin Al Husein bin Abdillah Al Baghdadi Al Ajurri. Kunyah beliau Abu Bakr. Beliau berasal dari sebuah desa di bagian barat kota Baghdad yang bernama Darbal Ajur. Beliau lahir dan tumbuh di sana.

Para Guru Beliau

Imam Al Ajurri menimba ilmu dari segolongan ulama terkenal, di antaranya :

1. Imam Ibrahim bin Abdillah bin Muslim bin Ma’iz Abul Muslim Al Bashri Al Kajji. Beliau adalah Al Hafidh , Al Mu’ammar, Shahibus Sunan . Imam ini adalah guru terbesar Imam Al Ajurri. Syaikh Ibrahim dilahirkan sekitar tahun 190 H dan wafat tahun 292 H di Baghdad. Jenazah beliau kemudian dipindah ke Bashrah dan dimakamkan di sana.

2. Imam Abul Abbas Ahmad bin Sahl bin Al Faizuran Al Usynani. Beliau adalah Syaikhul Qurra’ di Baghdad. Beliau wafat pada tahun 307 H.

3. Imam Abu Abdillah Ahmad bin Al Hasan bin Abdil Jabbar bin Rasyid Al Baghdadi. Beliau bergelar Al Muhadits Ats Tsiqatul Mu’ammar. Beliau dilahirkan di Hudud tahun 210 H dan wafat tahun 306 H.

4. Imam Abu Bakr Ja’far bin Muhammad bin Al Hasan bin Al Mustafadl Al Firyani. Beliau adalah Al Hafidh Ats Tsabt dan Syaikh di masanya. Beliau lahir pada tahun 207 H dan wafat pada tahun 301 H.

5. Imam Abu Bakr Al Qasim bin Zakaria bin Yahya Al Baghdadi. Beliau adalah Al ‘Allamah , Al Muqri’ , Al Muhadits, Ats Tsiqah . Beliau terkenal dengan gelar Al Muthariz (penyulam). Beliau lahir di Hudud tahun 220 H dan wafat tahun 305 H.

6. Imam Abu Ja’far Ahmad bin Yahya bin Ishaq Al Bajali Al Hulwani. Beliau adalah Al Muhadits, Ats Tsiqah, Az Zahid . Beliau tinggal di Baghdad dan wafat tahun 296 H.

7. Imam Abul Abbas Ahmad bin Zanjuwiyah bin Musa Al Qathan. Beliau adalah Al Muhadits, Al Mutqin , dianggap tsiqah dan terkenal. Beliau wafat tahun 304 H.

8. Imam Abul Qasim Abdullah bin Muhammad bin Abdil Aziz bin Al Marzuban. Beliau adalah Al Hafidh, Al Hujjatul Mu’ammar, dan Al Musnid di masanya. Berasal dari Bagha’ dan lahir pada tahun 214 H dan bertempat tinggal di Baghdad serta wafat tahun 317 H. Beliau dikebumikan pada hari Iedul Fithri.

9. Imam Abu Syu’aib Abdullah bin Al Hasan bin Ahmad bin Abu Syu’aib Al Harrani. Beliau adalah Al Muhadits, Al Mu’ammar, Al Mu’dab. Lahir tahun 206 H dan wafat tahun 295 H.

10. Imam Abu Muhammad Khalaf bin ‘Amr Al ‘Ukbari. Beliau adalah Al Muhadits, Ats Tsiqatul Jalil . Beliau lahir tahun 206 H dan wafat tahun 296 H.

11. Al Imam Abu Bakr Abdullah bin Sulaiman bin Al Asy’ats As Sijistani. Beliau adalah Al ‘Allamah, Al Hafidh, dan Syaikh di Baghdad. Beliau termasuk lautan ilmu. Sebagian orang ada yang menganggap bahwa beliau lebih utama daripada ayahnya. Beliau menulis Sunan, Mushaf, Syari’atul Qari’, Nasikh Mansukh, Al Ba’ts, dan lain-lain. Beliau lahir di Sijistan tahun 230 H dan wafat tahun 316 H.

Murid-Murid Beliau

Di antara murid-murid beliau yang terkenal adalah :

1. Imam Abu Nu’aim Ahmad bin Abdullah bin Ahmad Al Mihrani Al Ashbahani. Beliau adalah Al Hafidh, Ats Tsiqah, Al ‘Allamah. Beliau adalah cucu Az Zahid Muhammad bin Yusuf Al Banna’. Beliau adalah penulis kitab Al Hilyah dan banyak karya lainnya. Beliau lahir tahun 336 H dan wafat tahun 425 H.

2. Imam Abul Qasim Abdul Malik Muhammad bin Abdillah bin Bisyran. Beliau adalah Al Muhaddits, Al Musnid, Ats Tsiqah, Ats Tsabt, Ash Shalih , Pemberi Nasihat, dan Musnid Irak. Beliau lahir tahun 339 H dan wafat tahun 430 H.

3. Imam Abul Husein Ali bin Muhammad bin Abdullah bin Bisyran. Beliau adalah Asy Syaikh, Al ‘Alim, Al Mu’adil, Al Musnid. Al Khatib berkata tentang beliau : “Dia sempurna muru’ah -nya, kokoh menjalankan agama, shaduq , dan tsabit.” Beliau lahir tahun 328 H dan wafat tahun 415 H.

4. Imam Abu Muhammad Abdurrahman bin Umar At Tajibi Al Mishri Al Maliki Al Bazzaz. Beliau adalah Asy Syaikh, Al Fakih, Al Muhadits, Ash Shaduq, dan Musnid Mesir. Beliau terkenal dengan gelar Ibnu Nahhas. Beliau lahir tahun 323 H dan wafat tahun 416 H.

5. Imam Abul Hasan Ali bin Ahmad bin Umar bin Hafsh Al Hamami Al Baghdadi. Beliau adalah Al Muhadits dan Muqri’ Irak. Al Khatib mengatakan bahwa beliau sangat jujur, taat beragama, terhormat, sulit dicari tandingannya dalam sanad-sanad qira’ah dan memiliki ketinggian sanad di masanya. Lahir 328 H dan wafat 417 H.

6. Al Imam Abu Bakr bin Abu Ali Ahmad bin Abdurrahman Al Hamadani Adz Dzakwan Al Ashbahani. Beliau adalah Al ‘Alim, Al Hafidh, dan termasuk Rijal Ats Tsiqah. Abu Nu’aim mengatakan tentang beliau : “Dia mempersaksikan dan menyampaikan hadits selama 60 tahun, akhlaknya baik dan kokoh madzhabnya. Beliau lahir tahun 333 H dan wafat tahun 419 H.

7. Syaikh Abul Husein Muhammad bin Al Husein bin Muhammad bin Al Fadl Al Baghdadi Al Qahthani. Beliau adalah Al ‘Alim, Ats Tsiqat, Al Musnid . Beliau lahir tahun 335 H dan wafat tahun 415 H.

Keilmuan Beliau Dan Komentar Para Ulama Tentangnya

1. Ibnu Nadim berkata : “Dia faqih, shalih, dan ahli ibadah.”

2. Al Khatib berkata : “Dia tsiqah, shaduq (sangat jujur), taat beragama, dan memiliki banyak karya.”

3. Ibnu Jalkan berkata : “Dia faqih, bermadzhab Syafi’i, muhadits, penulis kitab Arba’in dan terkenal dengannya, shalih dan ahli ibadah.”

4. Yaqut berkata : “Dia faqih bermadzhab Syafi’i, tsiqah, dan menulis banyak karya.”

5. Ibnul Jauzi dalam kitab As Shawatus Shafwah mengatakan : “Dia tsiqah, taat beragama, alim, dan banyak menulis karya.”

6. Ibnu Subki dalam Thabaqat-nya mengatakan : “Dia faqih, muhadits, pemilik beberapa karangan.”

7. Dzahabi dalam Siyar A’lamin Nubala’ berkata : “Dia seorang imam, muhadits, panutan, Syaikh di Al Haram, shaduq, ‘abid , shahibus sunan, dan ahli ittiba’ .”

8. Suyuthi mengatakan : “Dia ‘alim dan mengamalkan ilmu ahli sunnah.”

Dari ucapan para ulama di atas diketahui bahwa beliau termasuk ulama yang beramal dengan ilmunya, seorang faqih yang ahli hadits, serta penjaga Kitabullah. Para ulama tersebut juga sepakat bahwa beliau termasuk orang yang tsiqat dan berpegang teguh dengan sunnah. Beliau juga seorang pengarang yang meninggalkan pengaruh yang jelas dalam perbendaharaan Islam.

Karya-Karya Beliau

Imam Al Ajurri mewariskan beberapa karya di antaranya :

– Yang Telah Dicetak :

1. Akhlaq Ahlil Qur’an
2. Akhlaqul Ulama
3. Akhbar Umar bin Abdil Aziz
4. Al Arba’in Haditsan
5. Al Ghuraba’
6. Tahrimun Nard was Satranji wal Malahi
7. Asy Syari’ah
8. At Tashdiq bin Nadhar Ilallah
– Yang Masih Berupa Manuskrip (Tulisan Tangan) :
9. Adabun Nufus
10. Ats Tsamainin fil Hadits
11. Juz’un min Hikayat As Syafi’i wa Ghairihi
12. Fardlu Thalabil Ilmi
13. Al Fawaid Al Muntakhabah
14. Wushulul Masyaqin wa Nuzhatul Mustami’in
– Yang Hilang :
15. Ahkamun Nisa’
16. Akhlaq Ahli Bir wat Tuqa
17. Aushafus Sab’ah
18. Taghyirul Azminah
19. At Tafarud wal ‘Uzlah
20. At Tahajud
21. At Taubah
22. Husnul Khuluq
23. Ar Ru’yah
24. Ruju’ Ibni Abbas ‘anis Sharf
25. Risalah ila Ahlil Baghdad
26. Syarah Qasidah As Sijistani
27. As Syubuhat
28. Qishatul Hajaril Aswad wa Zam-Zam wa Ba’du Sya’niha
29. Qiyamul Lail wa Fadllu Qiyamir Ramadlan
30. Fadllul Ilmi
31. Mukhtasharul Fiqh
32. Mas’alatut Tha’ifin
33. An Nasihah

Wafat Beliau

Sebagian para ulama mengatakan bahwa ketika beliau masuk ke kota Mekkah yang beliau kagumi, beliau berdo’a : “Ya Allah, berilah rezki kepadaku dengan tinggal di sana selama setahun.” Lalu beliau mendengar bisikan : “Bahkan 30 tahun !” Akhirnya beliau tinggal selama 30 tahun dan wafat di sana tahun 320 H. demikian keterangan Ibnu Khalqan.
Al Khatib berkata : “Aku membaca cerita itu di lantai kubur beliau di Mekkah.” Ibnul Jauzi berkata bahwa Abu Suhail Mahmud bin Umar Al Akbari berkata bahwa ketika Abu Bakr sampai di Mekkah dia merasa kagum dengannya dan berdo’a : “Ya Allah, hidupkan aku di negeri ini walau hanya setahun.” Tiba-tiba ia mendengar bisikan : “Hai Abu Bakr, kenapa hanya setahun ? Tiga puluh tahun !” Ketika menginjak tahun ketiga puluh, beliau mendengar bisikan lagi : “Wahai Abu Bakr, sudah kami tunaikan janji itu.” Kemudian wafatlah beliau di tahun itu.

Madzhab Beliau

Beliau bermadzhab Syafi’i menurut sebagian ulama. Namun ulama lain seperti Al Isnawi mengatakan bahwa sebagian orang membantah ke-Syafi’i-an beliau dan mengatakan bahwa beliau bermadzhab Hanbali. Al Isnawi mengatakan hal itu setelah dia mengatakan bahwa Imam Al Ajurri pengikut madzhab Syafi’i. Demikian pula keterangan Abu Ya’la dalam kitab beliau Tabaqat Al Hanabilah.

Sumber-Sumber Biografi Beliau

Riwayat hidup beliau yang penuh barakah ditulis dalam beberapa kitab para ulama. Di antaranya :

1. Al Fahrasat. Ibnu Nadim halaman 268.
2. Tarikh Baghdad. Al Khatib 2/243.
3. Tabaqatul Hanabilah. Ibnu Abi Ya’la halaman 332.
4. Al Ansab. As Sam’ani 1/94.
5. Fahrasah Ibni Khairil Isybaili. Halaman 285-286.
6. Wafiyatul A’yan. Ibnu Khukan 4/292.
7. Mu’jamul Buldan. Yaqut Al Hamawi 1/51.
8. Siyar A’lamin Nubala’. Adz Dzahabi 16/133.
9. Thabaqatus Syafi’iyah. Al Isnawi 1/50.
10. Al ‘Aqduts Tsamin. Al Fasi 2/4.
11. Thabaqatul Hufadh. As Suyuthi halaman 378.
12. Syajaratudz Dzahab. Ibnul ‘Imad 3/35.

Maraji’ :
Al Ghuraba’ minal Mukminin. Al Ajurri, tahqiq Ramadlan Ayyub.

https://tausyah.wordpress.com

Oleh
Syaikh Ali bin Hasan bin Ali bin Abdul Hamid Al-Halabi

Sesungguhnya keistimewaan terbesar yang dimiliki dakwah Salafiyah yang penuh berkah ini adalah tegaknya dakwah tersebut di atas sunnah yang shahih. Dakwah ini tidak bersandar kepada hadits-hadits lemah dan palsu. Pada keadaan seperti itu, para penuntut ilmu syar’i juga telah mengetahui secara jelas tentang pengertian hadits shahih dan syaratnya. Termasuk syarat terbesar adalah bersambungnya sanad dengan para perawi yang terpercaya. Ada juga sayarat-syarat lain, yang sekarang kami tidak membicarakannya dan menyebutkannya. Termasuk syarat hadits shahih adalah bersambungnya sanad dengan para perawi yang terpercaya.

Maka syarat orang yang menisbatkan dirinya ke dalam dakwah Salafiyah, dakwah yang berdiri tegak di atas hadits yang shahih, harus memiliki silsilah dakwah itu sendiri. Artinya dia harus mengambil manhajnya dari para masyayaikh dan ulamanya yang terpercaya. Para masayaikhnya adalah para ulama yang mengambil manhajnya dari para masyayaikhnya, dan seterusnya. Orang yang datang kemudian, mengambil dari orang yang sebelumnya. Seorang murid mengambil dari syaikhnya. Anak mengambil dari ayah, cucu mengambil dari kakek, dengan sanad yang bersambung kepada orang-orang yang terpercaya dari kalangan ulama besar dan tinggi. Meskipun bukan termasuk syarat majlis kita ini, membahas secara panjang lebar masalah ini hingga keluar dari topik pembicaraan majlis.

Hanya saja, di sini saya akan menyebutkan suatu hal yang penting, berkaitan dengan sekelompok orang yang masuk dari sana-sini, mengaku-ngaku bermanhaj Salaf dan mengaku-ngaku menjalankah sunnah. Tetapi bila kamu periksa, perhatikan dan teliti, kamu tidak mendapatkan silsilah yang shahih dari ahlul ilmi, yang dari mereka diambil masalah-masalah manhaj dan perkara-perkara aqidahnyanya. Disamping sanad mereka munqathi’ (terputus), bahkan mu’dhal (terputus dua orang atau lebih secara berturut-turut), bahkan kadang-kadang mu’allaq mukhalkhal (terputus dari awal sanad seorang atau lebih)..

Mengetahui masalah ini saja, sudah cukup untuk merobohkan pengakuan-pengakuan mereka. Sudah cukup untuk menolak perbuatan mereka, serta menghancurkan persangkaan-persangkaan dan pemikiran-pemikiran mereka. Kita tidak perlu lagi banyak berdebat dan bicara. Saya berharap kepada saudara-saudaraku supaya memperhatikan masalah ini, merenungkan dengan seksama, dan memahami dengan sebaik-baiknya.

Memang dakwah kita berdiri diatas silsilah (mata rantai) para ulama terpercaya. Ulama yang datang kemudian mengambil dari ulama yang sebelumnya, dan ulama muta’akhir (belakang) mengambil dari ulama mutaqaddim (dahulu). Ini adalah bukti kebenaran sabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam hadits yang dishahihkan oleh Imam besar Ahmad bin Hanbal dan lain-lainnya, bahwa Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda.

“Artinya : Ilmu ini akan dibawa oleh orang-orang yang adil dari setiap generasi, mereka itu meniadakan perubahan orang-orang yang melampui batas, kedustaan orang-orang yang berbuat kebatilan, dan penta’wilan orang-orang bodoh”.

Sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam ‘yahmilu hadza al-ilma’ = adalah fi’il mudhari (kata kerja yang menunjukkan waktu sedang dan akan datang), memberikan faidah terus menerus dan berkesinambungan. Dan sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam ‘min kulli kholafinin’ = dari setiap generasi. Sifat keseluruhan ini sesuai dengan maknanya secara sempurna. Maka, baik di zaman ini atau sebelumnya, pada setiap generasi (sejak dahulu dan sesudahnya), tidak pernah kosong dari orang yang menegakkan hujjah untuk Allah. Orang yang menolong Allah Azza wa Jalla dengan bayyinah (keterangan), meninggikan tauhid dengan burhan (bukti). Maka tegaklah prinsip ini di atas pondasinya, tegak di atas hujjahnya, dan dikuatkan oleh sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam.

“Artinya : Senantiasa ada segolongan dari umatku yang menegakkan kebenaran tidak membahayakan mereka orang-orang yang menyelisihinya dan tidak pula orang-orang yang menghinakannya sampai terjadi Kiamat dan mereka tetap dalam keadaannya demikian”.

Sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, “ laa yazaalu “(senantiasa} juga memberi faedah terus menerus. Dan sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam “ilaa an taqumu as-saa’ah” (sampai terjadi kiamat), menguatkan kepada faidah tersebut.

Di sini ada catatan, bahwa kata tha’ifah kadang-kadang diucapkan dengan makna jama’ah (sekelompok orang). Kadang-kadang diucapkan dengan makna satu orang. Maka jumlah paling sedikit untuk tegaknya kebenaran yang agung, yaitu kebenaran yang didakwahkan oleh ulama-ulama kita dan ditegakkan oleh pembesar-pembesar kita dalam dakwahnya, adalah tidak kosongnya zaman dari satu orang ulama yang meninggikan kalimah Allah dan menegakkan kebenaran.

Wahai saudara-saudara fillah …

Sebagaimana dikatakan, ini adalah mukadimah yang harus ada, agar persoalannya dapat tercakup. Yang demikian itu seperti jalan yang sudah diratakan untuk kita masuki dengan suatu hal sedikit demi sedikit, berupa sebutan baik dan agung untuk ulama-ulama besar kita pada zaman dahulu hingga sekarang.

Andaikata kita mau menyebutkan secara tuntas, kita pasti memerlukan majlis yang panjang. Bahkan beberapa majlis, bahkan berhari-hari, berbulan-bulan, dan bertahun-tahun. Tetapi, mukaddimah di atas adalah petikan yang kami harapkan bisa memberikan penerangan. Walaupun saya tidak bisa mengatakan sudah cukup dan tidak pula mengatakan sudah terpenuhi. Hal itu agar dapat menerangi pikiran, sehingga kita terpacu membahas dan memperhatikan riwayat hidup para ulama yang akan kita pilih sebagiannya untuk dibicarakan. Sebab kalau tidak demikian (bila kita menghendaki untuk menyebutkan secara keseluruhan), pasti hal itu akan menjadi luas tidak terbatas dan menjadi banyak tidak terhitung. Kita akan membicarakan dalam waktu yang pendek ini beberapa petikan singkat yang berkaitan dengan ulama-ulama dakwah Salafiyah semenjak dahulu hingga sekarang. Beberapa ulamanya yang memiliki posisi dan pengaruh di dalam dakwah yang penuh berkah ini.

Kita tidak ingin memulai dari kalangan sahabat, karena mereka pondasi pertama dalam dakwah tersebut. Tetapi kami ingin memulai dengan ulama yang mengalami pertentangan pada masanya, dan kebenaran tidak diketahui kecuali dengan lawannya sebagaimana yang dikatakan oleh penyair.

Sesuatu itu dinampakkan kebaikannya oleh lawannya
Dengan lawan sesuatu akan menjadi jelas.

IMAM BESAR AHMAD BIN HAMBAL RAHIMAHULLAH

Dia hidup pada masa bergelombangnya aqidah yang rusak dan bergeraknya pendapat yang tidak bermanfaat. Dia menghadapi keadaan tersebut dengan kokoh, kuat dan teguh, sehingga jatuh dalam kesusahan ujian dan fitnah. Tetapi tetap sabar dan teguh, walaupun disiksa dalam fitnah khalqil Qur’an (fitnah aqidah yang menyatakan Al-Qur’an adalah makhluk). Beliau dituntut agar diam dari lawannya, bukan meninggalkan kebenaran. Dia tidak peduli, maka disiksa, dipenjara, diikat, dan diusir. Dia hadapi semua itu dengan tabah, karena di jalan Allah Subhanahu wa Ta’ala dan ringan karena di dalam ketaatan kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala. Ketika datang sebagian sahabatnya berkata kepadanya : “Wahai Abu Abdillah, andaikata engkau diam saja (maka engkau tidak disiksa)!”. Dia berkata : “Apabila saya diam dan kamu diam, maka siapakah yang akan mengajari orang yang bodoh dan kapan akan mengajari orang yang bodoh ?”.

Ini adalah salah satu alamat dan pintu dakwah. Kesabaran dan keteguhan ini menjadi contoh dan teladan bagi kita dari imam kita. Mereka berhak mendapatkannya. Semoga Allah memberi rahmat kepada mereka setelah meninggal dunia. Menjaga mereka untuk kita, ketika mereka masih hidup. Allah meninggikan nama mereka, karena kesabaran, keimanan, dan amanahnya, serta mereka menegakkan kebenaran dengan laranganNya dan perintahNya.

Pribadi Imam Ahmad juga mempengaruhi Imam Abul Hasan Al-Asy’ari. Pada zaman ini banyak orang menisbatkan kepadanya, bahkan sejak dahulu. Dia mengatakan di dalam kitabnya, “Maqalat Islamiyyin wa Ikhtilaf Mushallin”, setelah menyebut aqidah Ahlus Sunnah Ashabul Hadits : “Ini semuanya adalah aqidah Imam Ahmad bin Hambal. Saya berjalan di atas jalannya, dan mengikuti serta menyeru aqidahnya”. Atau seperti apa yang dia katakan.

Disini kami menngingatkan suatu hal, yaitu banyak orang-orang khusus maupun orang-orang umum menisbatkan dirinya kepada Abu Hasan Al-Asy’ari, tetapi penisbatannya tidak benar. Meskipun mereka menisbatkan kepada namanya, tetapi kenyataannya tidak menisbatkan kepadanya, baik dalam aqidah maupun manhajnya.

Imam Abul Hasan, dahulu penganut paham Mu’tazilah. Kemudian sebagaimana dalam kisah yang masyhur, dia berdiri di atas mimbar di hadapan banyak manusia lalu melepas bajunya dan berkata : “Aku bersaksi kepada Allah, kemudian bersaksi kepada kalian bahwasanya saya melepas paham Mu’tazilah dari diriku, sebagaimana saya melepas bajuku ini”. Ini juga merupakan tanda kejujuran kepada Allah, kejujuran kepada manusia, dan kejujuran kepada diri sendiri dalam mentaati Allah.

Tetapi suatu hal yang sudah jelas wahai saudara-saudara fillah, kembali dari sesuatu tidak cukup dalam sehari semalam. Keberhasilan sesudah kotor, tidak seperti selembar kertas yang disobek dari buku atau perkataan yang ditinggalkan. Pasti masih terdapat pengaruh-pengaruh kotorannya. Dalam meninggalkan paham Mu’tazilah atau setelah meninggalkan paham Mu’tazilah, Imam Abul Hasan Al-Asy’ari belum terlepas dari sisa-sisa yang masih melekat pada dirinya.

Setelah itu, dalam kitabnya “Al-Ibanah fi Ushulid Diyanah”, dan dalam kitabnya “Maqalat” yang sudah saya isyaratkan tadi, juga dalam kitabnya “Risalah ila Ahli Tsaghar”, nampak keadaannya secara jelas dan terang. Bahkan dia menjelaskan secara terang, tanpa ada kesamaran, bahwa dia diatas aqidah Salafiyah.

Memang banyak orang dari kalangan Asy’ariyah yang menisbatkan kepada Abul Hasan. Mereka itu tidak berada pada jalan Mu’tazilahnya yang pertama, tetapi juga tidak pada jalan Salafiyahnya yang terakhir. Mereka berada pada tingkatan kedua, bukan dari Mu’tazilah dan bukan dari Sunnah. Tetapi jalan yang bercampur di dalamnya antara amal shalih dan amal buruk. Padahal tidak boleh menisbatkan kepada Abul hasan dalam hal yang sudah ditinggalkannya. Mereka itu menyelisihi Abu Hasan dan menyelisihi aqidah Salaf, yang dia telah menyatakan untuk mengikuti dan tetap di atas aqidah tersebut.

Inilah, wahai saudaraku, Imam Ahmad dalam petikan yang sangat sedikit tentang sikap dan keteguhannya. Dia adalah ulama besar sepanjang sejarah dakwah ini pada abad-abad pertama.

[Disalin dari Majalah As-Sunnah Edisi 03/Tahun VI/1423H/2002M, Diambil dari materi ceramah Syaikh Ali bin Hasan bin Ali bin Abdul Hamid Al-Halabi Tanggal 3-6 Muharram 1423H di Ma’had Ali Al-Irsayd Surabaya dengan judul A’lam Dakwah Salafiyah Diterjemahkan oleh Azhar Rabbani dan Muslim Atsari]

https://tausyah.wordpress.com

Sumber : http://almanhaj.or.id/index.php?action=more&article_id=1762&bagian=0