Posts Tagged ‘Pernikahan’

Pernikahan Islam

Pernikahan Islam

Hari pernikahanku. Hari yang paling bersejarah dalam hidup. Seharusnya saat itu aku menjadi  makhluk  yang  paling berbahagia.  Tapi  yang aku  rasakan  justru  rasa haru  biru. Betapa tidak. Di hari  bersejarah ini tak ada satu pun sanak saudara yang menemaniku ke tempat  mempelai wanita.  Apalagi            ibu.   Beliau   yang  paling keras menentang perkawinanku. Masih kuingat betul perkataan ibu tempo hari,

“Jadi juga kau nikah sama buntelan karung hitam’ itu ….?!?” Duh……, hatiku sempat kebat-kebit mendengar ucapan itu. Masa calon istriku disebut ‘buntelan karung hitam’.

“Kamu sudah kena pelet barangkali Yanto. Masa suka sih sama gadis hitam, gendut dengan wajah yang sama sekali tak menarik dan cacat kakinya. Lebih tua beberapa tahun lagi dibanding kamu !!” sambung ibu lagi.

“Cukup Bu! Cukup! Tak usah ibu menghina sekasar itu. Dia kan  ciptaan Allah. Bagaimana jika pencipta-Nya marah sama ibu…?” Kali ini aku terpaksa menimpali ucapan ibu dengan sedikit emosi. Rupanya ibu amat tersinggung mendengar ucapanku.

“Oh…. rupanya kau lebih memillih perempuan itu ketimbang keluargamu. baiklah Yanto. Silahkan kau menikah tapi jangan harap kau akan dapatkan seorang dari kami ada di tempatmu saat itu. Dan jangan kau bawa perempuan itu ke rumah ini !!” (lebih…)

https://tausyah.wordpress.com/Ta'aruf

Ta'aruf

Berpacaran adalah berkumpulnya seorang laki-laki dan seorang perempuan yang bukan mahromnya untuk meluapkan nafsu syahwatnya masing-masing baik perkataan maupun perbuatan mereka. Maka sedekat-dekat zinah adalah berpacaran, suatu kedekatan yang dilandaskan tanpa hukum dan syari’at Aqidah Islamiyah.

ALLAH Subahana wa Ta’ala berfirman :

وَلاَ تَقْرَبُواْ الزِّنَى إِنَّهُ كَانَ فَاحِشَةً وَسَاء سَبِيلاً ﴿٣٢

Dan janganlah kamu mendekati zina; sesungguhnya zina itu adalah suatu perbuatan yang keji dan suatu jalan yang buruk. Al-Israa’ : 32

Seorang pemuda yang terlalu lama membujang, kadangkala merasa kesulitan untuk mencari calon istri, keberanian untuk bertandang dan meminang seorang gadis menjadi gamang karena terlalu banyak pertimbangan,akhirnya … pernikahan menjadi sekedar angan-angan karena calon istri belum juga didapatkan. Sulitnya mencari calon istri, menurut anggapan para bujangan, adalah  anggapan yang keliru yang didasari  oleh kegamangan diri yang selalu bimbang  dan rasa was-was. (lebih…)

 

https://tausyah.wordpress.com/Tahap-Nikah

Nikah

Dalam ajaran Islam, tahapan di dalam merajut benang pernikahan ada 3, yaitu :

 

1. Nazhor (Melihat Calon Isteri)

Islam mensyariatkan bagi seorang pria yang hendak menikah, agar melihat wanita yang diidamkannya. Sebagaimana di dalam hadits yang diriwayatkan oleh Jabir bin Abdillah x, Rasulullah e bersabda :

‏‏إِذَا خَطَبَ أَحَدُكُمْ المَرْأَةَ فَإِنْ اسْتَطَعَ أَنْ يَنْظُرَ إِلَى مَا يَدْعُوْهُ إِلَى نِكَاحِهَا فَلْيَفْعَلْ

Apabila salah seorang diantara kamu ingin melamar wanita, maka jika bisa melihat apa-apa yang dapat mendorongnya menikahinya, maka lakukanlah.” (HR Abu Dawud)

Melihat wanita yang akan dilamar adalah suatu hal yang penting yang telah dijelaskan oleh syariat. Bahkan al-Imam al-A’masy t mengatakan :

Setiap pernikahan yang terlaksana tanpa adanya nazhor (melihat), maka pernikahan itu akan diakhiri dengan derita dan duka.” (lebih…)

https://tausyah.wordpress.com/pernikahan-Dalam_Islam

Pernikahan

Oleh : Ustadz Abu Abdirrahman

bin Thayib, Lc.

الحَمدُ لِلَّهِ الذي زَوَّجَ الأَروَاحَ بِالأَشبَاحِ , وَأَحَلَّ النِكَاحَ , وَحَرَّمَ السِفَاحَ  وَالصَلاَةُ والسَلاَمُ عَلَى مَن فَصَّلَ بَينَ المَمنُوعِ وَالمُبَاحِ , وَعَلَى آلِهِ وَأَصحَابِهِ أَربَابِ الصَلاحِ وَ الفَلاحِ. أَمَّا بَعدُ :

Ditengah era globalisasi dan modernisasi sekarang ini banyak nilai-nilai agama Islam yang sudah tidak diperhatikan lagi oleh sebagian besar kaum muslimin. Mereka lebih bangga dengan kebudayaan barat yang kafir yang jauh dari sifat manusiawi, sebagaimana yang telah Allah firmankan :

“Sesungguhnya Allah akan memasukkan orang-orang yang beriman dan yang mengerjakan amal shalih kedalam surga yang mengalir dibawahnya sungai-sungai. Dan orang-orang kafir itu bersenang-senang (di dunia) dan mereka makan seperti makanannya binatang-binatang. Dan neraka adalah tempat tinggal mereka.” (QS. Muhammad: 12) (lebih…)

B A B 03 RUMAH TANGGA. SERASI

Lahirnya Sitti Fatimah Azzahra r.a. merupakan rahmat yang dilimpahkan llahi kepada Nabi Muhammad s.a.w. Ia telah menjadi wadah suatu keturunan yang suci. Ia laksana benih yang akan menumbuhkan pohon besar pelanjut keturunan Rasul Allah s.a.w. Ia satu-satunya yang menjadi sumber keturunan paling mulia yang dikenal umat Islam di seluruh dunia. Sitti Fatimah Azzahra r.a. dilahirkan di Makkah, pada hari Jumaat, 20 Jumadil Akhir, kurang lebih lima tahun sebelum bi’tsah.

Sitti Fatimah Azzahra r.a. tumbuh dan berkembang di bawah naungan wahyu Ilahi, di tengah kancah pertarungan sengit antara Islam dan Jahiliyah, di kala sedang gencar-gencarnya perjuangan para perintis iman melawan penyembah berhala.

Dalam keadaan masih kanak-kanak Sitti Fatimah Azzahra r.a. sudah harus mengalami penderitaan, merasakan kehausan dan ke­laparan. Ia berkenalan dengan pahit getirnya perjuangan menegak­kan kebenaran dan keadilan. Lebih dari tiga tahun ia bersama ayah bundanya hidup menderita di dalam Syi’ib, akibat pemboikotan orang-orang kafir Qureiys terhadap keluarga Bani Hasyim.

Setelah bebas dari penderitaan jasmaniah selama di Syi’ib, da­tang pula pukulan batin atas diri Sitti Fatimah Azzahra r.a., be­rupa wafatnya bunda tercinta, Sitti Khadijah r.a. Kabut sedih selalu menutupi kecerahan hidup sehari-hari dengan putusnya sumber kecintaan dan kasih sayang ibu.

Puteri Kesayangan

Rasul Allah s.a.w. sangat mencintai puterinya ini. Sitti Fati­mah Azzahra r.a. adalah puteri bungsu yang paling disayang dan di­kasihani junjungan kita Rasul Allah s.a.w. Nabi Muhammad s.a.w. merasa tak ada seorang pun di dunia yang paling berkenan di hati beliau dan yang paling dekat disisinya selain puteri bungsunya itu.

Demikian besar rasa cinta Rasul Allah s.a.w. kepada puteri bungsunya itu dibuktikan dengan hadits yang diriwayatkan oleh Ibnu Abbas. Menurut hadits tersebut Rasul Allah s.a.w. berkata kepada Imam Ali r.a. demikian:

“Wahai Ali! Sesungguhnya Fatimah adalah bagian dari aku. Dia adalah cahaya mataku dan buah hatiku. Barang siapa menyusahkan dia, ia menyu­sahkan aku dan siapa yang menyenangkan dia, ia menyenangkan aku…”

Pernyataan beliau itu bukan sekedar cetusan emosi, melain­kan suatu penegasan bagi umatnya, bahwa puteri beliau itu meru­pakan lambang keagungan abadi yang ditinggalkan di tengah ummatnya.

Di kala masih kanak-kanak Sitti Fatimah Azzahra r.a. me­nyaksikan sendiri cobaan yang dialami oleh ayah-bundanya, baik berupa gangguan-gangguan, maupun penganiayaan-penganiayaan yang dilakukan orang-orang kafir Qureiys. Ia hidup di udara Makkah yang penuh dengan debu perlawanan orang-orang kafir ter­hadap keluarga Nubuwaah, keluarga yang menjadi pusat iman, hi­dayah dan keutamaan. Ia menyaksikan ketangguhan dan ke­tegasan orang-orang mukminin dalam perjuangan gagah berani menanggulangi komplotan-komplotan Qureiys. Suasana perjua­ngan itu membekas sedalam-dalamnya pada jiwa Sitti Fatimah Azzahra r.a. dan memainkan peranan penting dalam pembentukan pribadinya, serta mempersiapkan kekuatan mental guna mengha­dapi kesukaran-kesukaran di masa depan.

Setelah ibunya wafat, Sitti Fatimah Azzahra r.a. hidup ber­sama ayahandanya. Satu-satunya orang yang paling dicintai. Ialah yang meringankan penderitaan Rasul Allah s.a.w. tatkala ditinggal wafat isteri beliau, Sitti Khadijah. Pada satu hari Sitti Fatimah Azzahra r.a. menyaksikan ayahnya pulang dengan ke­pala dan tubuh penuh pasir, yang baru saja dilemparkan oleh orang-orang Qureys, di saat ayahandanya itu sedang sujud. Dengan hati remuk-redam laksana disayat sembilu, Sitti Fatimah r.a. se­gera membersihkan kepala dan tubuh ayahandanya. Kemudian diambilnya air guna mencucinya. Ia menangis tersedu-sedu me­nyaksikan kekejaman orang-orang Qureisy terhadap ayahnya.

Kesedihan hati puterinya itu dirasakan benar oleh Nabi Mu­hammad s.a.w. Guna menguatkan hati puterinya dan meringankan rasa sedihnya, maka Nabi Muhammad s.a.w., sambil membelai-be­lai kepala puteri bungsunya itu, berkata: “Jangan menangis…, Allah melindungi ayahmu dan akan memenangkannya dari musuh-­musuh agama dan risalah-Nya”[1]

Dengan tutur kata penuh semangat itu, Rasul Allah s.a.w. menanamkan daya-juang tinggi ke dalam jiwa Sitti Fatimah r.a., dan sekaligus mengisinya dengan kesabaran, ketabahan serta keper­cayaan akan kemenangan akhir. Meskipun orang-orang sesat dan durhaka seperti kafir Qureiys itu senantiasa mengganggu dan melakukan penganiayaan-penganiayaan, namun Nabi Muhammad s:a.w. tetap melaksanakan tugas risalahnya.

Pada ketika lain lagi, Sitti Fatimah r.a. menyaksikan ayahan­danya pulang dengan tubuh penuh dengan kotoran kulit janin unta yang baru dilahirkan. Yang melemparkan kotoran atau najis ke punggung Rasul Allah s.a.w. itu Uqbah bin Mu’aith, Ubaiy bin Khalaf dan Umayyah bin Khalaf. Melihat ayahandanya berlu­muran najis, Sitti Fatimah r.a. segera membersihkannya dengan air sambil menangis.

Nabi Muhammad rupanya menganggap perbuatan ketiga kafir Qureiys ini sudah keterlaluan. Karena itulah maka pada wak­tu itu beliau memanjatkan doa kehadirat Allah s.w.t.: “Ya Allah celakakanlah orang-orang Qureiys itu. Ya Allah, binasakanlah ‘Uqbah bin Mu’aith. Ya Allah binasakanlah Ubay bin Khalaf dan Umayyah bin Khalaf”[2]

Masih banyak lagi pelajaran yang diperoleh Sitti Fatimah dari penderitaan ayahandanya dalam perjuangan menegakkan ke­benaran Allah. Semuanya itu menjadi bekal hidup baginya untuk menghadapi masa mendatang yang berat dan penuh cobaan. Ke­hidupan yang serba berat dan keras di kemudian hari memang memerlukan mental gemblengan.

Hijrah ke Madinah

Tepat pada saat orang-orang kafir Qureiys selesai memper­siapkan komplotan terror untuk membunuh Rasul Allah s.a.w., Madinah telah siap menerima kedatangan beliau. Nabi Muhammad meninggalkan kota Makkah secara diam-diam di tengah kegelapan malam. Beliau bersama Abu Bakar Ash Shiddiq meninggalkan kampung halaman, keluarga tercinta dan sanak famili. Beliau ber­hijrah, seperti dahulu pernah juga dilakukan Nabi Ibrahim as. dan Musa a.s.

Di antara orang-orang yang ditinggalkan Nabi Muhammad s.a.w. termasuk puteri kesayangan beliau, Sitti Fatimah r.a. dan putera paman beliau yang diasuh dengan kasih sayang sejak kecil, yaitu Imam Ali r.a. yang selama ini menjadi pembantu terpercaya beliau.

Imam Ali r.a. sengaja ditinggalkan oleh Nabi Muhammad untuk melaksanakan tugas khusus: berbaring di tempat tidur beliau, guna mengelabui mata komplotan Qureiys yang siap hen­dak membunuh beliau. Sebelum Imam Ali r.a. melaksanakan tugas tersebut, ia dipesan oleh Nabi Muhammad s.a.w. agar barang-­barang amanat yang ada pada beliau dikembalikan kepada pemilik­nya masing-masing. Setelah itu bersama semua anggota keluarga Rasul Allah s.a.w., segera menyusul berhijrah.

Imam Ali r.a. membeli seekor unta untuk kendaraan bagi wanita yang akan berangkat hijrah bersama-sama. Rombongan hijrah yang menyusul perjalanan Rasul Allah s.a.w. terdiri dari keluarga Bani Hasyim dan dipimpin sendiri oleh Imam Ali r.a. Di dalam rombongan Imam Ali r.a. ini termasuk Sitti Fatimah r.a., Fatimah binti Asad bin Hasyim (ibu Imam Ali r.a.), Fatimah binti Zubair bin Abdul Mutthalib dan Fatimah binti Hamzah bin Abdul Mutthalib. Aiman dan Abu Waqid Al Laitsiy, ikut ber­gabung dalam rombongan.

Rombongan Imam Ali r.a. berangkat dalam keadaan terburu-­buru. Perjalanan ini tidak dilakukan secara diam-diam. Abu Waqid berjalan cepat-cepat menuntun unta yang dikendarai para wanita, agar jangan terkejar oleh orang-orang kafir Qureiys. Mengetahui hal itu, Imam Ali r.a. segera memperingatkan Abu Waqid, supaya berjalan perlahan-lahan, karena semua penumpangnya wanita. Rombongan berjalan melewati padang pasir di bawah sengatan terik matahari.

Imam Ali r.a., sebagai pemimpin rombongan, berangkat de­ngan semangat yang tinggi. Beliau siap menghadapi segala ke­mungkinan yang bakal dilakukan orang-orang kafir Qureiys terhadap rombongan. Ia bertekad hendak mematahkan moril dan kecongkakan mereka. Untuk itu ia siap berlawan tiap saat.

Mendengar rombongan Imam Ali r.a. berangkat, orang-orang Qureiys sangat penasaran. Lebih-lebih karena rombongan Imam Ali r.a. berani meninggalkan Makkah secara terang-terangan di siang hari. Orang-orang Qureiys menganggap bahwa keberanian Imam Ali r.a. yang semacam itu sebagai tantangan terhadap mereka.

Orang-orang Qureiys cepat-cepat mengirim delapan orang anggota pasukan berkuda untuk mengejar Imam Ali r.a. dan rombongan. Pasukan itu ditugaskan menangkapnya hidup-hidup atau mati. Delapan orang Qureiys itu, di sebuah tempat bernama Dhajnan berhasil mendekati rombongan Imam Ali r.a.

Setelah Imam Ali r.a. mengetahui datangnya pasukan ber­kuda Qureiys, ia segera memerintahkan dua orang lelaki anggota rombongan agar menjauhkan unta dan menambatnya. Ia sendiri kemudian menghampiri para wanita guna membantu menurun­kan mereka dari punggung unta. Seterusnya ia maju seorang diri menghadapi gerombolan Qureisy dengan pedang terhunus. Rupa­nya Imam Ali r.a. hendak berbicara dengan bahasa yang dimenger­ti oleh mereka. Ia tahu benar bagaimana cara menundukkan me­reka.

Melihat Imam Ali r.a. mendekati mereka, gerombolan Qu­reiys itu berteriak-teriak menusuk perasaan: “Hai penipu, apa­kah kaukira akan dapat menyelamatkan perempuan-perempuan itu? Ayo, kembali! Engkau sudah tidak berayah lagi.”

Imam Ali r.a. dengan tenang menanggapi teriakan-teriakan gerombolan Qureiys itu. Ia bertanya: “Kalau aku tidak mau ber­buat itu…?”

“Mau tidak mau engkau harus kembali,” sahut gerombolan Qureiys dengan cepat.

Mereka lalu berusaha mendekati unta dan rombongan wa­nita. Imam Ali r.a. menghalangi usaha mereka. Jenah, seorang hamba sahaya milik Harb bin Umayyah, mencoba hendak me­mukul Imam Ali r.a. dari atas kuda. Akan tetapi belum sem­pat ayunan pedangnya sampai, hantaman pedang Imam Ali r.a. telah mendahului tiba di atas bahunya. Tubuhnya terbelah men­jadi dua, sehingga pedang Imam Ali r.a. sampai menancap pada punggung kuda. Serangan-balas secepat kilat itu sangat menggetar­kan teman-teman Jenah. Sambil menggeretakkan gigi, Imam Ali r.a. berkata: “Lepaskan orang-orang yang hendak berangkat berjuang! Aku tidak akan kembali dan aku tidak akan menyem­bah selain Allah Yang Maha Kuasa!”

Gerombolan Qureiys mundur. Mereka meminta kepada Imam Ali r.a. untuk menyarungkan kembali pedangnya. Imam Ali r.a. dengan tegas menjawab: “Aku hendak berangkat menyusul sau­daraku, putera pamanku, Rasul Allah. Siapa yang ingin kurobek-­robek dagingnya dan kutumpahkan darahnya, cobalah maju men­dekati aku!”

Tanpa memberi jawaban lagi gerombolan Qureiys itu se­gera meninggalkan tempat. Kejadian ini mencerminkan watak konfrontasi bersenjata yang bakal datang antara kaum muslimin melawan agresi kafir Qureiys.

Di Dhajnan, rombongan Imam Ali r.a. beristirahat semalam. Ketika itu tiba pula Ummu Aiman (ibu Aiman). Ia menyusul anak­nya yang telah berangkat lebih dahulu bersama Imam Ali r.a. Ber­sama Ummu Aiman turut pula sejumlah orang muslimin yang berangkat hijrah. Keesokan harinya rombongan Imam Ali r.a. be­serta rombongan Ummu Aiman melanjutkan perjalanan. Imam Ali r.a. sudah rindu sekali ingin segera bertemu dengan Rasul Allah s.a.w.

Waktu itu Rasul Allah s.a.w. bersama Abu Bakar Ash Shiddiq r.a. sudah tiba dekat kota Madinah. Untuk beberapa waktu, beliau tinggal di Quba. Beliau menantikan kedatangan rombongan Imam Ali r.a. Kepada Abu Bakar Ash Shiddiq, Rasul Allah s.a.w. mem­beritahu, bahwa beliau tidak akan memasuki kota Madinah, sebelum putera pamannya dan puterinya sendiri datang.

Selama dalam perjalanan itu Imam Ali r.a. tidak berkendara­an sama sekali. Ia berjalan kaki-telanjang menempuh jarak kl 450 km sehingga kakinya pecah-pecah dan membengkak. Akhirnya ti­balah semua anggota rombongan dengan selamat di Quba. Betapa gembiranya Rasul Allah s.a.w. menyambut kedatangan orang-o­rang yang disayanginya itu.

Ketika Nabi Muhammad s.a.w. melihat Imam Ali r.a. tidak sanggup berjalan lagi karena kakinya membengkak, beliau me­rangkul dan memeluknya seraya menangis karena sangat terharu. Beliau kemudian meludah di atas telapak tangan, lalu diusapkan pada kaki Imam Ali r.a. Konon sejak saat itu sampai wafatnya, Imam Ali r.a. tidak pernah mengeluh karena sakit kaki.[3]

Peristiwa yang sangat mengharukan itu berkesan sekali dalam hati Rasul Allah s.a.w. dan tak terlupakan selama-lamanya. Ber­hubung dengan peristiwa itu, turunlah wahyu Ilahi yang memberi penilaian tinggi kepada kaum Muhajirin, seperti terdapat dalam Surah Ali ‘Imran:195.

Ijab-Kabul Pernikahan

Sitti Fatimah Azzahra r.a. mencapai puncak keremajaannya dan kecantikannya pada saat risalah yang dibawakan Nabi Muha­mmad s.a.w. sudah maju dengan pesat di Madinah dan sekitarnya. Ketika itu Sitti Fatimah Azzahra r.a. benar-benar telah menjadi remaja puteri.

Keelokan parasnya banyak menarik perhatian. Tidak sedikit pria terhormat yang menggantungkan harapan ingin mempersun­ting puteri Rasul Allah s.a.w. itu. Beberapa orang terkemuka dari kaum Muhajirin dan Anshar telah berusaha melamarnya. Menanggapi lamaran itu, Nabi Muhammad s.a.w. mengemukakan, bahwa beliau sedang menantikan datangnya petunjuk dari Allah s.w.t. mengenai puterinya itu.

Pada suatu hari Abu Bakar Ash Shiddiq r.a., Umar Ibnul Kha­tab r.a. dan Sa’ad bin Mu’adz bersama-sama Rasul Allah s.a.w. duduk dalam mesjid beliau. Pada kesempatan itu diperbincangkan antara lain persoalan puteri Rasul Allah s.a.w. Saat itu beliau ber­tanya kepada Abu Bakar Ash Shiddiq r.a.: “Apakah engkau bersedia menyampaikan persoalan Fatimah itu kepada Ali bin Abi Thalib?”

Abu Bakar Ash Shiddiq menyatakan kesediaanya. Ia beranjak untuk menghubungi Imam Ali r.a. Sewaktu Imam Ali r.a. melihat datangnya Abu Bakar Ash Shiddiq r.a. dengan tergopoh-­gopoh dan terperanjat ia menyambutnya, kemudian bertanya: “Anda datang membawa berita apa?”

Setelah duduk beristirahat sejenak, Abu Bakar Ash Shiddiq r.a. segera menjelaskan persoalannya: “Hai Ali, engkau ada­lah orang pertama yang beriman kepada Allah dan Rasul-Nya serta mempunyai keutamaan lebih dibanding dengan orang lain. Semua sifat utama ada pada dirimu. Demikian pula engkau ada­lah kerabat Rasul Allah s.a.w. Beberapa orang sahabat terkemuka telah menyampaikan lamaran kepada beliau untuk dapat mem­persunting puteri beliau. Lamaran itu oleh beliau semuanya di­tolak. Beliau mengemukakan, bahwa persoalan puterinya diserah­kan kepada Allah s.w.t. Akan tetapi, hai Ali, apa sebab hingga se­karang engkau belum pernah menyebut-nyebut puteri beliau itu dan mengapa engkau tidak melamar untuk dirimu sendiri? Ku­harap semoga Allah dan Rasul-Nya akan menahan puteri itu un­tukmu.”

Mendengar perkataan Abu Bakar r.a. mata Imam Ali r.a. ber­linang-linang. Menanggapi kata-kata itu, Imam Ali r.a. berkata: “Hai Abu Bakar, anda telah membuat hatiku goncang yang se­mulanya tenang. Anda telah mengingatkan sesuatu yang sudah kulupakan. Demi Allah, aku memang menghendaki Fatimah, tetapi yang menjadi penghalang satu-satunya bagiku ialah ka­rena aku tidak mempunyai apa-apa.”

Abu Bakar r.a. terharu mendengar jawaban Imam Ali yang memelas itu. Untuk membesarkan dan menguatkan hati Imam Ali r.a., Abu Bakar r.a. berkata: “Hai Ali, janganlah engkau ber­kata seperti itu. Bagi Allah dan Rasul-Nya dunia dan seisinya ini hanyalah ibarat debu bertaburan belaka!”

Setelah berlangsung dialog seperlunya, Abu Bakar r.a. ber­hasil mendorong keberanian Imam Ali r.a. untuk melamar puteri Rasul Allah s.a.w.

Beberapa waktu kemudian, Imam Ali r.a. datang menghadap Rasul Allah s.a.w. yang ketika itu sedang berada di tempat ke­diaman Ummu Salmah. Mendengar pintu diketuk orang, Ummu Salmah bertanya kepada Rasul Allah s.a.w.: “Siapakah yang me­ngetuk pintu?” Rasul Allah s.a.w. menjawab: “Bangunlah dan bu­kakan pintu baginya. Dia orang yang dicintai Allah dan Rasul-­Nya, dan ia pun mencintai Allah dan Rasul-Nya!”

Jawaban Nabi Muhammad s.a.w. itu belum memuaskan Ummu Salmah r.a. Ia bertanya lagi: “Ya, tetapi siapakah dia itu?”

“Dia saudaraku, orang kesayanganku!” jawab Nabi Mu­hammad s.a.w.

Tercantum dalam banyak riwayat, bahwa Ummu Salmah di kemudian hari mengisahkan pengalamannya sendiri mengenai kunjungan Imam Ali r.a. kepada Nabi Muhammad s.a.w. itu: “Aku berdiri cepat-cepat menuju ke pintu, sampai kakiku ter­antuk-antuk. Setelah pintu kubuka, ternyata orang yang datang itu ialah Ali bin Abi Thalib. Aku lalu kembali ke tempat semula. Ia masuk, kemudian mengucapkan salam dan dijawab oleh Rasul Allah s.a.w. Ia dipersilakan duduk di depan beliau. Ali bin Abi Thalib menundukkan kepala, seolah-olah mempunyai maksud, tetapi malu hendak mengutarakannya.

Rasul Allah mendahului berkata: “Hai Ali nampaknya eng­kau mempunyai suatu keperluan. Katakanlah apa yang ada dalam fikiranmu. Apa saja yang engkau perlukan, akan kauperoleh dariku!”

Mendengar kata-kata Rasul Allah s.a.w. yang demikian itu, lahirlah keberanian Ali bin Abi Thalib untuk berkata: “Maafkan­lah, ya Rasul Allah. Anda tentu ingat bahwa anda telah mengambil aku dari paman anda, Abu Thalib dan bibi anda, Fatimah binti Asad, di kala aku masih kanak-kanak dan belum mengerti apa-apa.

Sesungguhnya Allah telah memberi hidayat kepadaku melalui anda juga. Dan anda, ya Rasul Allah, adalah tempat aku bernaung dan anda jugalah yang menjadi wasilahku di dunia dan akhirat. Setelah Allah membesarkan diriku dan sekarang menjadi dewasa, aku ingin berumah tangga; hidup bersama seorang isteri. Sekarang aku datang menghadap untuk melamar puteri anda, Fatimah. Ya Rasul Allah, apakah anda berkenan menyetujui dan menikahkan diriku dengan dia?”

Ummu Salmah melanjutkan kisahnya: “Saat itu kulihat wajah Rasul Allah nampak berseri-seri. Sambil tersenyum beliau berkata kepada Ali bin Abi Thalib: “Hai Ali, apakah engkau mem­punyai suatu bekal maskawin?” .

“Demi Allah”, jawab Ali bin Abi Thalib dengan terus terang, “Anda sendiri mengetahui bagaimana keadaanku, tak ada sesuatu tentang diriku yang tidak anda ketahui. Aku tidak mempunyai apa-apa selain sebuah baju besi, sebilah pedang dan seekor unta.”

“Tentang pedangmu itu,” kata Rasul Allah s.a.w. menanggapi jawaban Ali bin Abi Thalib, “engkau tetap membutuhkannya untuk melanjutkan perjuangan di jalan Allah. Dan untamu itu engkau juga butuh untuk keperluan mengambil air bagi keluargamu dan juga engkau memerlukannya dalam perjalanan jauh. Oleh ka­rena itu aku hendak menikahkan engkau hanya atas dasar maska­win sebuah baju besi saja. Aku puas menerima barang itu dari ta­nganmu. Hai Ali engkau wajib bergembira, sebab Allah ‘Azza wa­jalla sebenarnya sudah lebih dahulu menikahkan engkau di langit sebelum aku menikahkan engkau di bumi!” Demikian versi riwa­yat yang diceritakan Ummu Salmah r.a.

Setelah segala-galanya siap, dengan perasaan puas dan hati gembira, dengan disaksikan oleh para sahabat, Rasul Allah s.a.w. mengucapkan kata-kata ijab kabul pernikahan puterinya: “Bahwa­sanya Allah s.w.t. memerintahkan aku supaya menikahkan engkau Fatimah atas dasar maskawin 400 dirham (nilai sebuah baju besi). Mudah-mudahan engkau dapat menerima hal itu.”

“Ya, Rasul Allah, itu kuterima dengan baik”, jawab Ali bin Abi Thalib r.a. dalam pernikahan itu.

Rumah Tangga Sederhana

Maskawin sebesar 400 dirham itu diserahkan kepada Abu Bakar r.a. untuk diatur penggunaannya. Dengan persetujuan Ra­sul Allah s.a.w., Abu Bakar r.a. menyerahkan 66 dirham kepada Ummu Salmah untuk “biaya pesta” perkawinan. Sisa uang itu dipergunakan untuk membeli perkakas dan peralatan rumah tangga.

-sehelai baju kasar perempuan;

-sehelai kudung;

-selembar kain Qathifah buatan khaibar berwarna hitam;

-sebuah balai-balai;.

-dua buah kasur, terbuat dari kain kasar Mesir (yang se­buah berisi ijuk kurma dan yang sebuah bulu kambing);

-empat buah bantal kulit buatan Thaif (berisi daun idzkir);

-kain tabir tipis terbuat dari bulu;

-sebuah tikar buatan Hijr;

-sebuah gilingan tepung;

-sebuah ember tembaga;

-kantong kulit tempat air minum;

-sebuah mangkuk susu;

-sebuah mangkuk air;

-sebuah wadah air untuk sesuci;

-sebuah kendi berwarna hijau;

-sebuah kuali tembikar;

-beberapa lembar kulit kambing;

-sehelai ‘aba-ah (semacam jubah);

-dan sebuah kantong kulit tempat menyimpan air.

Sejalan dengan itu Imam Ali r.a. mempersiapkan tempat kediamannya dengan perkakas yang sederhana dan mudah di­dapat. Lantai rumahnya ditaburi pasir halus. Dari dinding ke din­ding lain dipancangkan sebatang kayu untuk menggantungkan pakaian. Untuk duduk-duduk disediakan beberapa lembar kulit kambing dan sebuah bantal kulit berisi ijuk kurma. Itulah rumah kediaman Imam Ali r.a. yang disiapkan guna menanti kedatangan isterinya, Sitti Fatimah Azzahra r.a.

Selama satu bulan sesudah pernikahan, Sitti Fatimah r.a. masih tetap di rumahnya yang lama. Imam Ali r.a. merasa malu untuk menyatakan keinginan kepada Rasul Allah s.a.w. supaya puterinya itu diperkenankan pindah ke rumah baru. Dengan dite­mani oleh salah seorang kerabatnya dari Bani Hasyim, Imam Ali r.a. menghadap Rasul Allah s.a.w. Lebih dulu mereka me­nemui Ummu Aiman, pembantu keluarga Nabi Muhammad s.a.w. Kepada Ummu Aiman, Imam Ali r.a. menyampaikan keinginan­nya.

Setelah itu, Ummu Aiman menemui Ummu Salmah r.a. guna menyampaikan apa yang menjadi keinginan Imam Ali r.a. Sesu­dah Ummu Salmah r.a. mendengar persoalan tersebut, ia terus pergi mendatangi isteri-isteri Nabi yang lain.

Guna membicarakan persoalan yang dibawa Ummu Salmah r.a., para isteri Nabi Muhammad s.a.w. berkumpul. Kemudian mereka bersama-sama menghadap Rasul Allah s.a.w. Ternyata beliau menyambut gembira keinginan Imam Ali r.a.[4]

Suami-Isteri Yang Serasi

Sitti Fatimah r.a. dengan perasaan bahagia pindah ke rumah suaminya yang sangat sederhana itu. Selama ini ia telah menerima pelajaran cukup dari ayahandanya tentang apa artinya kehidupan ini. Rasul Allah s.a.w. telah mendidiknya, bahwa kemanusiaan itu adalah intisari kehidupan yang paling berharga. Ia juga telah .diajar bahwa kebahagiaan rumah-tangga yang ditegakkan di atas fon­dasi akhlaq utama dan nilai-nilai Islam, jauh lebih agung dan lebih mulia dibanding dengan perkakas-perkakas rumah yang serba me­gah dan mewah.

Imam Ali r.a. bersama isterinya hidup dengan rasa penuh ke­banggaan dan kebahagiaan. Dua-duanya selalu riang dan tak per­nah mengalami ketegangan. Sitti Fatimah r.a. menyadari, bahwa dirinya tidak hanya sebagai puteri kesayangan Rasul Allah s.a.w., tetapi juga isteri seorang pahlawan Islam, yang senantiasa sang­gup berkorban, seorang pemegang panji-panji perjuangan Islam yang murni dan agung. Sitti Fatimah berpendirian, dirinya ha­rus dapat menjadi tauladan. Terhadap suami ia berusaha bersikap seperti sikap ibunya (Sitti Khadijah r.a.) terhadap ayahandanya, Nabi Muhammad s.a.w.

Dua sejoli suami isteri yang mulia dan bahagia itu selalu be­kerja sama dan saling bantu dalam mengurus keperluan-keperluan rumah tangga. Mereka sibuk dengan kerja keras. Sitti Fatimah r.a. menepung gandum dan memutar gilingan dengan tangan sen­diri. Ia membuat roti, menyapu lantai dan mencuci. Hampir tak ada pekerjaan rumah-tangga yang tidak ditangani dengan tena­ga sendiri.

Rasul Allah s.a.w. sendiri sering menyaksikan puterinya se­dang bekerja bercucuran keringat. Bahkan tidak jarang beliau ber­sama Imam Ali r.a. ikut menyingsingkan lengan baju membantu pekerjaan Sitti Fatimah r.a.

Banyak sekali buku-buku sejarah dan riwayat yang melukis­kan betapa beratnya kehidupan rumah-tangga Imam Ali r.a. Sebu­ah riwayat mengemukakan: Pada suatu hari Rasul Allah s.a.w. berkunjung ke tempat kediaman Sitti Fatimah r.a. Waktu itu puteri beliau sedang menggiling tepung sambil melinangkan air mata. Baju yang dikenakannya kain kasar. Menyaksikan puterinya menangis, Rasul Allah s.a.w. ikut melinangkan air mata. Tak lama kemudian beliau menghibur puterinya: “Fatimah, terimalah kepahitan dunia untuk memperoleh kenikmatan di akhirat ke­lak”[5]

Riwayat lain mengatakan, bahwa pada suatu hari Rasul Allah s.a.w. datang menjenguk Sitti Fatimah r.a., tepat: pada saat ia bersama suaminya sedang bekerja menggiling tepung. Beliau terus bertanya: “Siapakah di antara kalian berdua yang akan ku­gantikan?”

“Fatimah! ” Jawab Imam Ali r.a. Sitti Fatimah lalu berhenti diganti oleh ayahandanya menggiling tepung bersama Imam Ali r.a.

Masih banyak catatan sejarah yang melukiskan betapa berat­nya penghidupan dan kehidupan rumah-tangga Imam Ali r.a. Semuanya itu hanya menggambarkan betapa besarnya kesanggu­pan Sitti Fatimah r.a. dalam menunaikan tugas hidupnya yang pe­nuh bakti kepada suami, taqwa kepada Allah dan setia kepada Rasul-Nya.

Ada sebuah riwayat lain yang menuturkan betapa repotnya Sitti Fatimah r.a. sehari-hari mengurus kehidupan rumah-tangga­nya. Riwayat itu menyatakan sebagai berikut: Pada suatu hari Ra­sul Allah s.a.w. bersama sejumlah sahabat berada dalam masjid menunggu kedatangan Bilal bin Rabbah, yang akan menguman­dangkan adzan sebagaimana biasa dilakukan sehari-hari. Ketika Bilal terlambat datang, oleh Rasul Allah s.a.w. ditegor dan dita­nya apa sebabnya. Bilal menjelaskan:

“Aku baru saja datang dari rumah Fatimah. Ia sedang menggi­ling tepung. Al Hasan, puteranya yang masih bayi, diletakkan dalam keadaan menangis keras. Kukatakan kepadanya “Manakah yang lebih baik, aku menolong anakmu itu, ataukah aku saja yang menggiling tepung”. Ia menyahut: “Aku kasihan kepada anakku”. Gilingan itu segera kuambil lalu aku menggiling gan­dum. Itulah yang membuatku datang terlambat!”

Mendengar keterangan Bilal itu Rasul Allah s.a.w. berkata: “Engkau mengasihani dia dan Allah mengasihani dirimu!”[6]

Hal-hal tersebut di atas adalah sekelumit gambaran ten­tang kehidupan suatu keluarga suci di tengah-tengah masyarakat Islam. Kehidupan keluarga yang penuh dengan semangat gotong-­royong. Selain itu kita juga memperoleh gambaran betapa se­derhananya kehidupan pemimpin-pemimpin Islam pada masa itu. Itu merupakan contoh kehidupan masyarakat yang diba­ngun oleh Islam dengan prinsip ajaran keluhuran akhlaq. Itu­pun merupakan pencerminan kaidah-kaidah agama Islam, yang diletakkan untuk mengatur kehidupan rumah-tangga.

Rasul Allah s.a.w., Imam Ali r.a. dan Sitti Fatimah r.a., ke­tiganya merupakan tauladan bagi kehidupan seorang ayah, seorang suami dan seorang isteri di dalam Islam. Hubungan antar anggota keluarga memang seharusnya demikian erat dan serasi seperti mereka.

Tak ada tauladan hidup sederhana yang lebih indah dari tauladan yang diberikan oleh keluarga Nubuwwah itu. Padahal jika mereka mau, lebih-lebih jika Rasul Allah s.a.w. sendiri menge­hendaki, kekayaan dan kemewahan apakah yang tidak akan dapat diperoleh beliau?

Tetapi sebagai seorang pemimpin yang harus menjadi tau­ladan, sebagai seorang yang menyerukan prinsip-prinsip kebena­ran dan keadilan serta persamaan, sebagai orang yang hidup menolak kemewahan duniawi, beliau hanya mengehendaki supaya ajaran-ajarannya benar-benar terpadu dengan akhlaq dan cara hidup ummatnya. Beliau mengehendaki agar tiap orang, tiap pen­didik, tiap penguasa dan tiap pemimpin bekerja untuk perbaikan masyarakat. Masing-masing supaya mengajar, memimpin dan men­didik diri sendiri dengan akhlaq dan perilaku utama, sebelum mengajak orang lain. Sebab akhlaq dan perilaku yang dapat di­lihat dengan nyata, mempunyai pengaruh lebih besar, lebih ber­kesan dan lebih membekas dari pada sekedar ucapan-ucapan dan peringatan-peringatan belaka. Dengan praktek yang nyata, ajakan yang baik akan lebih terjamin keberhasilannya.

Sebuah riwayat lagi yang berasal dari Imam Ali r.a. sendiri mengatakan: Sitti Fatimah pernah mengeluh karena tapak-ta­ngannya menebal akibat terus-menerus memutar gilingan tepung. Ia keluar hendak bertemu Rasul Allah s.a.w. Karena tidak ber­hasil, ia menemui Aisyah r.a. Kepadanya diceritakan maksud ke­datangannya. Ketika Rasul Allah s.a.w. datang, beliau diberi­tahu oleh Aisyah r.a. tentang maksud kedatangan Fatimah yang hendak minta diusahakan seorang pembantu rumah-tangga. Ra­sul Allah s.a.w. kemudian datang ke rumah kami. Waktu itu kami sedang siap-siap hendak tidur. Kepada kami beliau berkata: “Kuberitahukan kalian tentang sesuatu yang lebih baik daripada yang kalian minta kepadaku. Sambil berbaring ucapkanlah tasbih 33 kali, tahmid 33 kali dan takbir 34 kali. Itu lebih baik bagi kalian daripada seorang pembantu yang akan melayani kalian.”

Sambutan Nabi Muhammad s.a.w. atas permintaan puterinya agar diberi pembantu, merupakan sebuah pelajaran penting ten­tang rendah-hatinya seorang pemimpin di dalam masyarakat Islam. Kepemimpinan seperti itulah yang diajarkan Rasul Allah s.a.w. dan dipraktekan dalam kehidupan konkrit oleh keluarga Imam Ali r.a. Mereka hidup setaraf dengan lapisan rakyat yang miskin dan menderita. Pemimpin-pemimpin seperti itulah dan yang hanya seperti itulah, yang akan sanggup menjadi pelopor da­lam melaksanakan prinsip persamaan, kesederhanaan dan keber­sihan pribadi dalam kehidupan ini.

Putera-puteri

Sitti Fatimah r.a. melahirkan dua orang putera dan dua orang puteri. Putera-puteranya bernama Al Hasan r.a. dan Al Husein r.a. Sedang puteri-puterinya bernama Zainab r.a. dan Ummu Kalsum r.a. Rasul Allah s.a.w. dengan gembira sekali menyambut kelahiran cucu-cucunya.

Al Hasan r.a. dan Al Husein r.a. mempunyai kedudukan ter­sendiri di dalam hati beliau. Dua orang cucunya itu beliau asuh sendiri. Kaum muslimin pada zaman hidupnya Nabi Muhammad s.a.w. menyaksikan sendiri betapa besarnya kecintaan beliau ke­pada Al Hasan r.a. dan Al Husein r.a. Beliau menganjurkan supaya orang mencintai dua “putera” beliau itu dan berpegang teguh pada pesan itu.

Al Hasan r.a. dan Al Husein r.a. meninggalkan jejak yang jauh jangkauannya bagi umat Islam. Al Husein r.a. gugur sebagai pah­lawan syahid menghadapi penindasan dinasti Bani Umayyah. Semangatnya terus berkesinambungan, melestarikan dan mem­bangkitkan perjuangan yang tegas dan seru di kalangan ummat Islam menghadapi kedzaliman. Semangat Al Husein r.a. merupa­kan kekuatan penggerak yang luar biasa dahsyatnya sepanjang sejarah.

Puteri beliau yang bernama Zainab r.a. merupakan pahlawan wanita muslim yang sangat cemerlang dan menonjol sekali pera­nannya, dalam pertempuran di Karbala membela Al Husein r.a. Di Karbala itulah dinasti Bani Umayyah menciptakan tragedi yang menimpa A1 Husein r.a. beserta segenap anggota keluarganya. A1 Husein r.a. gugur dan kepalanya diarak sebagai pameran keliling Kufah sampai ke Syam.

Setelah hidup bersuami isteri selama kurang lebih 10 tahun Sitti Fatimah r.a. meninggal dunia dalam usia 28 tahun. Sepe­ninggal Sitti Fatimah r.a., Imam Ali r.a. beristerikan beberapa orang wanita lainnya lagi. Menurut catatan sejarah, hingga wa­fatnya Imam Ali r.a. menikah sampai 9 kali. Tentu saja menurut ketentuan-ketentuan yang tidak bertentangan dengan hukum Is­lam. Dalam satu periode, tidak pernah lebih 4 orang isteri.

Wanita pertama yang dinikahi Imam Ali r.a. sepeninggal Siti Fatimah r.a. ialah Umamah binti Abil ‘Ashiy. Ia anak perem­puan iparnya sendiri, Zainab binti Muhammad s.a.w., kakak pe­rempuan Sitti Fatimah r.a. Pernikahan dengan Umamah r.a. ini mempunyai sejarah tersendiri, yaitu untuk melaksanakan pesan Sitti Fatimah r.a. kepada suaminya sebelum ia wafat. Nampaknya pesan itu didasarkan kasih-sayang yang besar dari Umamah ra. kepada putera-puterinya.

Setelah nikah dengan Umamah r.a., Imam Ali r.a. nikah lagi dengan Khaulah binti Ja’far bin Qeis. Berturut-turut kemudian Laila binti Mas’ud bin Khalid, Ummul Banin binti Hazzan bin Khalid dan Ummu Walad. Isteri Imam Ali r.a. yang keenam patut disebut secara khusus, karena ia tidak lain adalah Asma binti Umais, sahabat terdekat Sitti Fatimah r.a. Asma inilah yang mendampingi Sitti Fatimah r.a. dengan setia dan melayani­nya dengan penuh kasih-sayang hingga detik-detik terakhir hayat­nya.

Isteri-isteri Imam Ali r.a. yang ke-7, ke-8 dan ke-9 ialah As-­Shuhba, Ummu Sa’id binti ‘Urwah bin Mas’ud dan Muhayah bin­ti Imruil Qeis. Dari 9 isteri, di luar Sitti Fatimah r.a., Imam Ali r.a. mempunyai banyak anak. Jumlahnya yang pasti masih menjadi perselisihan pendapat di kalangan para penulis sejarah.

Al Mas’udiy dalam bukunya “Murujudz Dzahab” menyebut putera-puteri Imam Ali r.a. semuanya berjumlah 25 orang. Sedang­kan dalam buku “Almufid Fil Irsyad” dikatakan 27 orang anak. Ibnu Sa’ad dalam bukunya yang terkenal, “Thabaqat”, menyebut­nya 31 orang anak, dengan perincian: 14 orang anak lelaki dan 17 orang anak perempuan. Ini termasuk putera-puteri Imam Ali r.a. dari isterinya yang pertama.

[1]Hasyim Ma’ ruf A1 Huseiniy: “Siratul Musthafa”, hlm 205, cetakan ke I.

[2]Abdullah bin Mas’ud meriwayatkan, bahwa di kemudian hari ia me­nyaksikan sendiri tiga orang itu mati terbunuh dalam perang Badr. Hasyim Ma’ruf A1 Huseiniy: Siratul Musthafa. Dikutip dari At Tha­bariy, hlm 47.

[3]Ibnul Atsir: “Al Kamil Fit Tarikh”, jilid II, hlm 206.

[4]”Ahlul Bait” Asy’-ah min Hayatis Shiddiqah Fatimah Az-Zahra.

[5]Tanbihul Khawatir wa Nuzhatun Nawadir, jilid I, hlm 230.

[6]Tanbihul Khawatir wa Nuzhatun Nawadir, jilid I, halaman 230. “Ahlul Bait” Asy’-ah min Hayatis Shiddiqah Fatimah Az-Zahra.

Disadur dari buku :

Sejarah Hidup Imam Ali bin Abi Thalib r.a.
Oleh H.M.H. Al Hamid Al Husaini
Penerbit: Lembaga Penyelidikan Islam

https://tausyah.wordpress.com

PERNIKAHAN NABI DENGAN AISYAH

Seorang teman kristen suatu kali bertanya kepada saya, “Akankah anda menikahkan saudara perempuanmu yang berumur 7 tahun dengan seorang tua berumur 50 tahun?” Saya terdiam.

Dia melanjutkan, “Jika anda tidak akan melakukannya, bagaimana bisa anda menyetujui pernikahan gadis polos berumur 7 tahun, Aisyah, dengan Nabi anda?” Saya katakan padanya, “Saya tidak punya jawaban untuk pertanyaan anda pada saat ini.” Teman saya tersenyum dan meninggalkan saya dengan guncangan dalam batin saya akan agama saya.

Kebanyakan muslim menjawab bahwa pernikahan seperti itu diterima masyarakat pada saat itu. Jika tidak, orang-orang akan merasa keberatan dengan pernikahan Nabi saw dengan Aisyah.

Bagaimanapun, penjelasan seperti ini akan mudah menipu bagi orang-orang yang naif dalam mempercayainya. Tetapi, saya tidak cukup puas dengan penjelasan seperti itu.

Nabi merupakan manusia tauladan, Semua tindakannya paling patut dicontoh sehingga kita, Muslim dapat meneladaninya. Bagaimaanpun, kebanyakan orang di Islamic Center of Toledo, termasuk saya, Tidak akan berpikir untuk menunangkan saudara perempuan kita yang berumur 7 tahun dengan seorang laki-laki berumur 50 tahun. Jika orang tua setuju dengan pernikahan seperti itu, kebanyakan orang, walaupun tidak semuanya, akan memandang rendah terhadap orang tua dan suami tua tersebut.

Tahun 1923, pencatat pernikahan di Mesir diberi intruksi untuk menolak pendaftaran dan menolak mengeluarkan surat nikah bagi calon suami berumur di bawah 18 tahun, dan calon isteri dibawah 16 tahun. Tahun 1931, Sidang dalam oraganisasi-oraganisi hukum dan syariah menetapkan untuk tidak merespon pernikahan bagi pasangan dengan umur diatas (Women in Muslim Family Law, John Esposito, 1982). Ini memperlihatkan bahwa walaupun di negara Mesir yang mayoritas Muslim pernikahan usia anak-anak adalah tidak dapat diterima.

Jadi, Saya percaya, tanpa bukti yang solidpun selain perhormatan saya terhadap Nabi, bahwa cerita pernikahan gadis brumur 7 tahun dengan Nabi berumur 50 tahun adalah mitos semata. Bagaimanapun perjalanan panjang saya dalam menyelelidiki kebenaran atas hal ini membuktikan intuisi saya benar adanya.

Nabi memang seorang yang gentleman. Dan dia tidak menikahi gadis polos berumur 7 atau 9 tahun. Umur Aisyah telah dicatat secara salah dalam literatur hadist. Lebih jauh, Saya pikir bahwa cerita yang menyebutkan hal ini sangatlah tidak bisa dipercaya.

Beberapa hadist (tradisi Nabi) yang menceritakan mengenai umur Aisyah pada saat pernikahannya dengan Nabi, hadist-hadist tersebut sangat bermasalah. Saya akan menyajikan beberapa bukti melawan khayalan yang diceritakan Hisham ibnu `Urwah dan untuk membersihkan nama Nabi dari sebutan seorang tua yang tidak bertanggung jawab yang menikahi gadis polos berumur 7 tahun.

Bukti #1: Pengujian Terhadap Sumber

Sebagian besar riwayat yang menceritakan hal ini yang tercetak di hadist yang semuanya diriwayatkan hanya oleh Hisham ibn `Urwah, yang mencatat atas otoritas dari bapaknya, yang mana seharusnya minimal 2 atau 3 orang harus mencatat hadist serupa juga. Adalah aneh bahwa tak ada seorangpun yang di Medinah, dimana Hisham ibn `Urwah tinggal, sampai usia 71 tahun baru menceritakan hal ini, disamping kenyataan adanya banyak murid-murid di Medinah termasuk yang kesohor Malik ibn Anas, tidak menceritakan hal ini.
Asal dari riwayat ini adalah dari orang-orang Iraq, di mana Hisham tinggal disana dan pindah dari Medinah ke Iraq pada usia tua.

Tehzibu’l-Tehzib, salah satu buku yang cukup terkenal yang berisi catatan para periwayat hadist, menurut Yaqub ibn Shaibah mencatat : ” Hisham sangatbisa dipercaya, riwayatnya dapat diterima, kecuali apa-apa yang dia ceritakan setelah pindah ke Iraq ” (Tehzi’bu’l-tehzi’b, Ibn Hajar Al-`asqala’ni, Dar Ihya al-turath al-Islami, 15th century. Vol 11, p.50).

Dalam pernyataan lebih lanjut bahwa Malik ibn Anas menolak riwayat Hisham yang dicatat dari orang-orang Iraq: ” Saya pernah diberi tahu bahwa Malik menolak riwayat Hisham yang dicatat dari orang-orang Iraq” (Tehzi’b u’l-tehzi’b, IbnHajar Al- `asqala’ni, Dar Ihya al-turath al-Islami, Vol.11, p. 50).

Mizanu’l-ai`tidal, buku lain yang berisi uraian riwayat hidup pada periwayat hadist Nabi saw mencatat: “Ketika masa tua, ingatan Hisham mengalami kemunduran yang mencolok” (Mizanu’l-ai`tidal, Al-Zahbi, Al-Maktabatu’l-athriyyah, Sheikhupura, Pakistan, Vol. 4, p. 301).

KESIMPULAN:
berdasarkan referensi ini, Ingatan Hisham sangatlah buruk dan
riwayatnya setelah pindah ke Iraq sangat tidak bisa dipercaya, sehingga riwayatnya mengenai umur pernikahan Aisyah adalah tidak kredibel.

KRONOLOGI: Adalah vital untuk mencatat dan mengingat tanggal penting dalam sejarah Islam:

Pra-610 M: Jahiliyah (pra-Islamic era) sebelum turun wahyu
610 M: turun wahyu pertama Abu Bakr menerima Islam
613 M: Nabi Muhammad mulai mengajar ke Masyarakat
615 M: Hijrah ke Abyssinia.
616 M: Umar bin al Khattab menerima Islam.
620 M: dikatakan Nabi meminang Aisyah
622 M: Hijrah ke Yathrib, kemudian dinamai Medina
623/624 M: dikatakan Nabi saw berumah tangga dengan Aisyah

Bukti #2: Meminang

Menurut Tabari (juga menurut Hisham ibn `Urwah, Ibn Hunbal and Ibn Sad), Aisyah dipinang pada usia 7 tahun dan mulai berumah tangga pada usia 9 tahun.

Tetapi, di bagian lain, Al-Tabari mengatakan: “Semua anak Abu Bakr (4 orang) dilahirkan pada masa jahiliyahh dari 2 isterinya ” (Tarikhu’l-umam wa’l-mamlu’k, Al-Tabari (died 922), Vol. 4,p. 50, Arabic, Dara’l-fikr, Beirut, 1979).

Jika Aisyah dipinang 620M (Aisyah umur 7 tahun) dan berumah tangga tahun 623/624 M (usia 9 tahun), ini mengindikasikan bahwa Aisyah dilahirkan pada 613 M. Sehingga berdasarkan tulisan Al- Tabari, Aisyah seharusnya dilahirkan pada 613M, Yaitu 3 tahun sesudah masa Jahiliyahh usai (610 M).

Tabari juga menyatakan bahwa Aisyah dilahirkan pada saat Jahiliyah. Jika Aisyah dilahirkan pada era Jahiliyah, seharusnya minimal Aisyah berumur 14 tahun ketika dinikah. Tetapi intinya Tabari mengalami kontradiksi dalam periwayatannya.

KESIMPULAN: Al-Tabari tak reliable mengenai umur Aisyah ketika menikah.

Bukti # 3: Umur Aisyah jika dihubungkan dengan umur Fatimah

Menurut Ibn Hajar, “Fatima dilahirkan ketika Ka`bah dibangun kembali, ketika Nabi saw berusia 35 tahun… Fatimah 5 tahun lebih tua dari Aisyah” (Al-isabah fi tamyizi’l-sahabah, Ibn Hajar al-Asqalani, Vol. 4, p. 377, Maktabatu’l-Riyadh al-haditha, al-Riyadh,1978).

Jika Statement Ibn Hajar adalah factual, berarti Aisyah dilahirkan ketika Nabi berusia 40 tahun. Jika Aisyah dinikahi Nabi pada saat usia Nabi 52 tahun, maka usia Aisyah ketika menikah adalah 12 tahun.

KESIMPULAN: Ibn Hajar, Tabari, Ibn Hisham, dan Ibn Humbal kontradiksi satu sama lain. Tetapi tampak nyata bahwa riwayat Aisyah menikah usia 7 tahun adalah mitos tak berdasar.

Bukti #4: Umur Aisyah dihitung dari umur Asma’

Menurut Abda’l-Rahman ibn abi zanna’d: “Asma lebih tua 10 tahun dibanding Aisyah (Siyar A`la’ma’l-nubala’, Al-Zahabi, Vol. 2, p. 289, Arabic, Mu’assasatu’l-risalah, Beirut, 1992).

Menurut Ibn Kathir: “Asma lebih tua 10 tahun dari adiknya [Aisyah]”
(Al-Bidayah wa’l-nihayah, Ibn Kathir, Vol. 8, p. 371,Dar al-fikr al-`arabi, Al-jizah, 1933).

Menurut Ibn Kathir: “Asma melihat pembunuhan anaknya pada tahun 73 H, dan 5 hari kemudian Asma meninggal. Menurut iwayat lainya, dia meninggal 10 atau 20 hari kemudian, atau beberapa hari lebih dari 20 hari, atau 100 hari kemudian. Riwayat yang paling kuat adalah 100 hari kemudian. Pada waktu Asma Meninggal, dia berusia 100 tahun” (Al-Bidayah wa’l-nihayah, Ibn Kathir, Vol. 8, p. 372, Dar al-fikr al-`arabi, Al- jizah, 1933)

Menurut Ibn Hajar Al-Asqalani: “Asma hidup sampai 100 tahun dan meninggal pada 73 or 74 H.” (Taqribu’l-tehzib, Ibn Hajar Al-Asqalani,p. 654, Arabic, Bab fi’l-nisa’, al-harfu’l-alif, Lucknow).

Menurut sebagaian besar ahli sejarah, Asma, Saudara tertua dari Aisyah berselisih usia 10 tahun. Jika Asma wafat pada usia 100 tahun dia tahun 73 H, Asma seharusnya berusia 27 atau 28 tahun ketika hijrah 622M).

Jika Asma berusia 27 atau 28 tahun ketika hijrah (ketika Aisyah berumah tangga), Aisyah seharusnya berusia 17 atau 18 tahun. Jadi, Aisyah, berusia 17 atau 18 tahun ketika hijrah pada taun dimana Aisyah berumah tangga.

Berdasarkan Hajar, Ibn Katir, and Abda’l-Rahman ibn abi zanna’d, usia Aisyah ketika beliau berumah tangga dengan Rasulullah adalah 19 atau 20 tahun.

Dalam bukti # 3, Ibn Hajar memperkirakan usia Aisyah 12 tahun dan dalam bukti #4 Ibn Hajar mengkontradiksi dirinya sendiri dengan pernyataannya usia Aisyah 17 atau 18 tahun. Jadi mana usia yang benar ? 12 atau 18..?

KESIMPULAN: Ibn Hajar tidak valid dalam periwayatan usia Aisyah.

Bukti #5: Perang BADAR dan UHUD

Sebuah riwayat mengenai partisipasi Aisyah dalam perang Badr dijabarkan dalam hadist Muslim, (Kitabu’l-jihad wa’l-siyar, Bab karahiyati’l-isti`anah fi’l-ghazwi bikafir). Aisyah, ketika menceritakan salah satu moment penting dalam perjalanan selama perang Badar, mengatakan: “ketika kita mencapai Shajarah”. Dari pernyataan ini tampak jelas, Aisyah merupakan anggota perjalanan menuju Badar.

Sebuah riwayat mengenai pastisipasi Aisyah dalam Uhud tercatat dalam Bukhari (Kitabu’l-jihad wa’l-siyar, Bab Ghazwi’l-nisa’ wa qitalihinnama`a’lrijal): “Anas mencatat bahwa pada hari Uhud, Orang-orang tidak dapat berdiri dekat Rasulullah. [pada hari itu,] Saya melihat Aisyah dan Umm-i-Sulaim dari jauh, Mereka menyingsingkan sedikit pakaian-nya [untuk mencegah halangan gerak dalam perjalanan tsb].”

Lagi-lagi, hal ini menunjukkan bahwa Aisyah ikut berada dalam perang Uhud dan Badr.

Diriwayatkan oleh Bukhari (Kitabu’l-maghazi, Bab Ghazwati’l-khandaq wa hiya’l-ahza’b): “Ibn `Umar menyatakan bahwa Rasulullah tidak mengijinkan dirinya berpastisispasi dalam Uhud, pada ketika itu, Ibnu Umar berusia 14 tahun. Tetapi ketika perang Khandaq, ketika berusia 15 tahun, Nabi mengijinkan Ibnu Umar ikut dalam perang tsb.”

Berdasarkan riwayat diatas, (a) anak-anak berusia dibawah 15 tahun akan dipulangkan dan tidak diperbolehkan ikut dalam perang, dan (b) Aisyahikut dalam perang badar dan Uhud

KESIMPULAN: Aisyah ikut dalam perang Badar dan Uhud jelas mengindikasikan bahwa beliau tidak berusia 9 tahun ketika itu, tetapi minimal berusia 15 tahun. Disamping itu, wanita-wanita yang ikut menemani para pria dalam perang sudah seharusnya berfungsi untuk membantu, bukan untuk menambah beban bagi mereka. Ini merupakan bukti lain dari kontradiksi usia pernikahan Aisyah.

BUKTI #6: Surat al-Qamar (Bulan)

Menurut beberapa riwayat, Aisyah dilahirkan pada tahun ke delapan sebelum hijriyah. Tetapi menurut sumber lain dalam Bukhari, Aisyah tercatat mengatakan hal ini: “Saya seorang gadis muda(jariyah dalam bahasa arab)” ketika Surah Al-Qamar diturunkan(Sahih Bukhari, Kitabu’l-tafsir, Bab Qaulihi Bal al-sa`atu Maw`iduhum wa’l-sa`atu adha’ wa amarr).

Surat 54 dari Quran diturunkan pada tahun ke delapan sebelum hijriyah(The Bounteous Koran, M.M. Khatib, 1985), menunjukkan bahwa surat tsb diturunkan pada tahun 614 M. jika Aisyah memulai berumahtangga dengan Rasulullah pada usia 9 di tahun 623 M or 624 M, Aisyah masih bayi yang baru lahir (sibyah in Arabic) pada saat Surah Al-Qamar diturunkan. Menurut riwayat diatas, secara aktual tampak bahwa Aisyah adalah gadis muda, bukan bayi yang baru lahir
ketika pewahyuan Al-Qamar. Jariyah berarti gadis muda yang masih suka bermain (Lane’s Arabic English Lexicon).

Jadi, Aisyah, telah menjadi jariyah bukan sibyah (bayi), jadi telah berusia 6-13 tahun pada saat turunnya surah Al-Qamar, dan oleh karena itu sudah pasti berusia 14-21 tahun ketika dinikah Nabi.

KESIMPULAN: Riwayat ini juga mengkontra riwayat pernikahan Aisyah yang berusia 9 tahun.

Bukti #7: Terminologi bahasa Arab

Menurut riwayat dari Ahmad ibn Hanbal, sesudah meninggalnya isteri pertama Rasulullah, Khadijah, Khaulah datang kepada Nabi dan menasehati Nabi untuk menikah lagi, Nabi bertanya kepadanya tentang pilihan yang ada di pikiran Khaulah. Khaulah berkata: “Anda dapat menikahi seorang gadis (bikr) atau seorang wanita yang pernah menikah (thayyib)”. Ketika Nabi bertanya tentang identitas gadis tersebut (bikr), Khaulah menyebutkan nama Aisyah.

Bagi orang yang paham bahasa Arab akan segera melihat bahwa kata bikr dalam bahasa Arab tidak digunakan untuk gadis belia berusia 9 tahun.

Kata yang tepat untuk gadis belia yang masih suka bermain-main adalah, seperti dinyatakan dimuka, adalah jariyah. Bikr disisi lain, digunakan untuk seorang wanita yang belum menikah serta belum punya pertautan pengalaman dengan pernikahan, sebagaimana kita pahami dalam bahasa Inggris “virgin”. Oleh karena itu, tampak jelas bahwa gadis belia 9 tahun bukanlah “wanita” (bikr) (Musnad Ahmad ibn Hanbal, Vol. 6, p. .210,Arabic, Dar Ihya al-turath
al-`arabi, Beirut).

Kesimpulan: Arti literal dari kata, bikr (gadis), dalam hadist diatas adalah “wanita dewasa yang belum punya pengalaman sexual dalam pernikahan.” Oleh karena itu, Aisyah adalah seorang wanita dewasa pada waktu menikahnya.

Bukti #8. Text Qur’an

Seluruh muslim setuju bahwa Quran adalah buku petunjuk. Jadi, kita perlu mencari petunjuk dari Qur’an untuk membersihkan kabut kebingungan yang diciptakan oleh para periwayat pada periode klasik Islam mengenai usia Aisyah dan pernikahannya. Apakah Quran mengijinkan atau melarang pernikahan dari gadis belia berusia 7 tahun?

Tak ada ayat yang secara eksplisit mengijinkan pernikahan seperti itu. Ada sebuah ayat, yang bagaimanapun, yang menuntun muslim dalam mendidik dan memperlakukan anak yatim. Petunjuk Qur’an mengenai perlakuan anak Yatim juga valid diaplikasikan ada anak kita sendiri sendiri.

Ayat tersebut mengatakan : Dan janganlah kamu serahkan kepada orang-orang yang belum sempurna akalnya, harta (mereka yang ada dalam kekuasaanmu) yang dijadikan Allah sebagai pokok kehidupan. Berilah mereka belanja dan pakaian (dari hasil harta itu) dan ucapkanlah kepada mereka kata-kata yang baik. (Qs. 4:5) Dan
ujilah anak yatim itu sampai mereka cukup umur untuk kawin.

Kemudian jika menurut pendapatmu mereka telah cerdas (pandai memelihara harta), maka serahkanlah kepada mereka harta-hartanya. ?? (Qs. 4:6)

Dalam hal seorang anak yang ditingal orang tuanya, Seorang muslim
diperintahkan untuk (a) memberi makan mereka, (b) memberi pakaian, (c) mendidik mereka, dan (d) menguji mereka thd kedewasaan “sampai usia menikah” sebelum mempercayakan mereka dalam pengelolaan keuangan.

Disini, ayat Qur’an menyatakan tentang butuhnya bukti yang teliti terhadap tingkat kedewasaan intelektual dan fisik melalui hasil test yang objektif sebelum memasuki usia nikah dan untuk mempercayakan pengelolaan harta-harta kepada mereka.

Dalam ayat yang sangat jelas diatas, tidak ada seorangpun dari muslim yang bertanggungjawab akan melakukan pengalihan pengelolaan keuangan pada seorang gadis belia berusia 7 tahun. Jika kita tidak bisa mempercayai gadis belia berusia 7 tahun dalam pengelolaan keuangan, Gadis tersebut secara tidak memenuhi syarat secara intelektual maupun fisik untuk menikah. Ibn Hambal (Musnad Ahmad ibn Hambal, vol.6, p. 33 and 99) menyatakan bahwa Aisyah yang berusia 9 tahun lebih tertarik untuk bermain dengan mainannya daripada mengambil tugas sebagai isteri.

Oleh karena itu sangatlah sulit untuk mempercayai, bahwa Abu Bakar,seorang tokoh muslim, akan menunangkan anaknya yang masih belia berusia 7 taun dengan Nabi yang berusia 50 tahun.. Sama
sulitnya untuk membayangkan bahwa Nabi menikahi seorang gadis belia berusia 7 tahun.

Sebuah tugas penting lain dalam menjaga anak adalah mendidiknya. Marilah kita memunculkan sebuah pertanyaan,”berapa banyak di antara kita yang percaya bahwa kita dapat mendidik anak kita dengan hasil memuaskan sebelum mereka mencapai usia 7 atau 9 tahun?” Jawabannya adalah Nol besar.

Logika kita berkata, adalah tidak mungkin tugas mendidik anak kita dengan memuaskan sebelum mereka mencapai usia 7 tahun, lalu bagaimana mana mungkin kita percaya bahwa Aisyah telah dididik secara sempurna pada usia 7 tahun seperti diklaim sebagai usia pernikahannya?

Abu Bakr merupakan seorang yang jauh lebih bijaksana dari kita semua, Jadi dia akan merasa dalam hatinya bahwa Aisyah masih seorang anak-anak yang belum secara sempurna sebagaimana dinyatakan Qur’an. Abu Bakar tidak akan menikahkan Aisyah kepada seorangpun. Jika sebuah proposal pernikahan dari gadis belia dan belum terdidik secara memuaskan datang kepada Nabi, Beliau
akan menolak dengan tegas karena itu menentang hukum-hukum Quran.

KESIMPULAN: Pernikahan Aisyah pada usia 7 tahun akan menentang hukum kedewasaan yang dinyatakan Quran. Oleh karena itu, Cerita pernikahan Aisyah gadis belia berusia 7 tahun adalah mitos semata.

Bukti #9: Ijin dalam pernikahan

Seorang wanita harus ditanya dan diminta persetujuan agar pernikahan yang dia lakukan menjadi syah (Mishakat al Masabiah, translation by James Robson, Vol. I, p. 665). Secara Islami, persetujuan yang kredible dari seorang wanita merupakan syarat dasar bagi kesyahan sebuah pernikahan.

Dengan mengembangkan kondisi logis ini, persetujuan yang diberikan oleh gadis belum dewasa berusia 7 tahun tidak dapat diautorisasi sebagai validitas sebuah pernikahan.

Adalah tidak terbayangkan bahwa Abu Bakr, seorang laki-laki yang cerdas, akan berpikir dan mananggapi secara keras tentang persetujuan pernikahan gadis 7 tahun (anaknya sendiri) dengan seorang laki-laki berusia 50 tahun.

Serupa dengan ini, Nabi tidak mungkin menerima persetujuan dari seorang gadis yang menurut hadith dari Muslim, masih suka bermain-main dengan bonekanya ketika berumah tangga dengan Rasulullah.

KESIMPULAN: Rasulullah tidak menikahi gadis berusia 7 tahun karena akan tidak memenuhi syarat dasar sebuah pernikahan islami tentang klausa persetujuan dari pihak isteri. Oleh karena itu, hanya ada satu kemungkinan Nabi menikahi Aisyah seorang wanita yang dewasa secara intelektual maupun fisik.

Summary:
Tidak ada tradisi Arab untuk menikahkan anak perempuan atau laki-laki yang berusia 9 tahun, Demikian juga tidak ada pernikahan Rasulullah SAW dan Aisyah ketika berusia 9 tahun. Orang-orang arab tidak pernah keberatan dengan pernikahan seperti ini, karena ini tak pernah terjadi sebagaimana isi beberapa riwayat.

Jelas nyata, riwayat pernikahan Aisyah pada usia 9 tahun oleh Hisham ibn `Urwah tidak bisa dianggap sebagai kebenaran, dan kontradisksi dengan riwayat-riwayat lain. Lebih jauh, tidak ada alasan yang nyata untuk menerima riwayat Hisham ibn `Urwah sebagai kebenaran ketika para pakar lain, termasuk Malik ibn Anas, melihat riwayat Hisham ibn `Urwah selama di Iraq adalah tidak reliable.

Pernyataan dari Tabari, Bukhari dan Muslim menunjukkan mereka kontradiksi satu sama lain mengenai usia menikah bagi Aisyah. Lebih jauh, beberapa pakar periwayat mengalami internal kontradiksi dengan riwayat-riwayatnya sendiri. Jadi, riwayat usia Aisyah 9 tahun ketika menikah adalah tidak reliable karena adanya kontradiksi yang nyata pada catatan klasik dari pakar sejarah Islam.

Oleh karena itu, tidak ada alasan absolut untuk menerima dan mempercayai usia Aisyah 9 tahun ketika menikah sebagai sebuah kebenaran disebabkan cukup banyak latar belakang untuk menolak riwayat tsb dan lebih layak disebut sebagai mitos semata. Lebih jauh, Qur’an menolak pernikahan gadis dan lelaki yang belum dewasa sebagaimana tidak layak membebankan kepada mereka tanggung jawab-tanggung jawab.

Note: The Ancient Myth Exposed
By T.O. Shanavas , di Michigan.
© 2001 Minaret
from The Minaret Source: http://www.iiie.net/

PERNIKAHAN DAN PERBUDAKAN


“Kawinkanlah orang-orang yang sendirian di antara kamu, dan orang-orang yang patut (kawin) dari hamba sahayamu. Jika mereka miskin maka Allah akan memampukan mereka dengan karunia-Nya. Dan Allah Maha luas (pemberian-Nya) lagi Maha Mengetahui.” (QS. An-Nuur 24:32)

“Hendaklah orang-orang yang belum mampu kawin bersabar sampai Allah memampukan mereka dengan karunia-Nya. Dan orang-orang yang mencari ketetapan (nikah) dari yang dimiliki tata hukummu hendaklah kamu buat perjanjian dengan mereka jika kamu mengetahui ada kebaikan pada mereka, dan berilah mereka dari harta yang Allah berikan padamu.

Janganlah kamu memaksa yang termasuk tata hukummu untuk melakukan pelacuran, sedang mereka sendiri mengingini kesucian hanya karena kamu hendak mencari keuntungan duniawi.

Dan barangsiapa yang memaksa mereka, maka sesungguhnya Allah sesudah pemaksaan itu adalah Pengampun dan Penyayang”. (QS. An-Nuur 24:33)

Hamba sahaya pada ayat 24:32 ialah para pekerja yang sudah memiliki
persyaratan untuk menikah secara garis hukum Islam, hamba sahaya berbeda dengan budak.
Istilah “AIMAAN” berarti “TATA HUKUM” dapat dilihat pada ayat 4/3, 4/36, 5/89, 6/109, 9/12, 16/38, 16/71, 16/92, 16/94, 24/33, 35/42, 66/2, 68/39 dan lain-lain, yaitu ketentuan hukum yang berlaku dalam kehidupan, maka ketentuan hukum yang berlaku dalam Islam disebut “AIMAN”, begitupula ketentuan hukum yang berlaku dalam keluarga karena terikat oleh pernikahan.
Oleh sebab itu MAA MALAKAT AIMAANUKUM berarti “siapa yang dimiliki tata hukummu”, karena terikat oleh pernikahan. Namun jangan memaksa siapapun yang termaktub dalam tata hukum kita tersebut untuk menikah. Tetapi apabila dia dipaksa juga maka Allah akan memberikan keampunan-Nya tentang paksaan menikah itu.
Pada ayat 24/33 tersebut dapat dilihat adanya kebebasan berpikir atau
memiliki pertimbangan bagi anggota keluarga untuk menentukan pasangan hidupnya masing-masing.
“Jika kamu khawatir tidak dapat berlaku adil pada anak-anak yatim, maka nikahilah yang baik bagimu dari perempuan (beranak yatim) dua, tiga dan empat. Namun bila kamu cemas tidak dapat berlaku adil maka satu saja atau yang dimiliki tata hukummu (yang sudah dinikahi). Yang demikian itu adalah lebih dekat kepada tidak berbuat aniaya.” (QS. An-Nisaa’ 4:3)

Masalah poligami yang di-izinkan oleh Qur’an ini seringkali disalah
kaprahkan oleh para pemeluknya, bahwa seorang Muslim boleh kawin sampai memiliki 4 orang istri.
Bukankah satu-satunya dalil hukum untuk berpoligami dalam masyarakat Islam hanya terdapat pada ayat 4/3 yang berfungsi sampai akhir jaman sebagai hukum perlindungan dan bantuan terhadap janda beranak yatim ?
Mungkin sebaiknya kita mengkaji ulang ayat tersebut dari awal, bahwa
diperbolehkannya menikah lebih dari satu orang istri adalah untuk
keselamatan hidup anak-anak yatim atau juga untuk membantu meringankan kesengsaraan janda beranak yatim.

Dalam tafsiran atau terjemahan AlQur’an, seringkali kita temui pengertian dari “AIMAAN” sebagai “BUDAK”, dan dengan berdalil pada 4/3 maka dikatakan bahwa orang hendaklah mengawini budak, padahal dalam masyarakat Islam tiada yang dinamakan budak, malah diutusnya Rasulullah Muhammad Saw salah satu fungsinya adalah untuk menghapuskan perbudakan, mengangkat harkat dan martabat manusia menjadi sama semuanya, tidak ada manusia yang lebih hina dari manusia lainnya, semuanya dikembalikan pada takwa masing-masing individu.
Dikatakan pula dalam banyak tafsir ayat 4/3 tersebut bahwa orang hendaklah memakai budaknya, yaitu mencabuli budaknya tanpa nikah yang mana perbuatan tersebut merupakan satu perbuatan perzinaan yang dikutuk oleh Allah Swt.

Dalam hal ini penterjemahan kata “AIMAAN” dengan pengertian BUDAK bukan saja keliru tetapi juga sudah menghina hukum Islam dalam pengertian susila dan peradaban manusia ramai.

Sesungguhnya ayat 4/3 mengandung penjelasan mengenai kehidupan janda
beranak yatim. Perempuan itu hendaklah dinikahi oleh lelaki yang
berkesanggupan sebagai sikap bersusila tinggi dalam sosial ekonomi
masyarakat, hingga dengan demikian janda beranak yatim terpelihara dari kekurangan kebutuhan hidup dari dari petualangan tanpa pelindung lahir batin, sekaligus mengurangi kemungkinan terjunnya mereka kedalam lembah pelacuran.

Memang menikahi janda beranak yatim sangat berat bagi seorang laki-laki, apalagi bila dia adalah seorang pemuda yang belum pernah menikah sama sekali. Hal ini juga mungkin dirasakan cukup mengganggu bagi mereka yang menganggap pernikahan sebagai jalan pelepas kehendak syahwat.

Tetapi bagi lelaki yang mencapai tingkat kepribadian dan ketakwaan tinggi terhadap Allah, maka menikahi janda yang memiliki anak yatim mendatangkan kebahagiaan bagi dirinya dan rumah tangganya.
Hal ini dulunya sudah dilakukan oleh Nabi Muhammad Saw sewaktu beliau berusia 25 tahun, menurut catatan sejarah, telah menikahi seorang janda berumur 40 tahun bernama Siti Khadijjah, dimana pada waktu itu status Muhammad belumlah diangkat selaku Nabi, namun karena kepribadian pemuda yang berjuluk Al-Amin ini yang senantiasa mengharapkan keridhoan Tuhannya maka secara tidak langsung beliau adalah aplikasi nyata dari ayat 4/3 dan 24/33.
Sangat disayangkan bila kita perhatikan betapa ayat suci yang menyangkut dengan hukum pernikahan diterjemahkan orang dengan memasukkan istilah “budak” kedalamnya, seolah-olah masyarakat Islam banyak memiliki budak dan mengizinkan perzinahan.
Istilah MIMMAA MALAKAT AIMAANUKUM mereka maksudkan “BUDAK-BUDAK” padahal yang dimaksud adalah SIAPA YANG DIMILIKI TATA HUKUMMU karena terikat oleh pernikahan. Dalam hal ini termasuk mertua, ipar, anak tiri, ibu kandung, ibu tiri, bapak kandung, bapak tiri, menantu, anak dan cucu.
Islam mengatur dengan jelas kepada siapa-siapa saja seorang Muslim boleh melakukan pernikahannya dan begitupula sebaliknya, kepada siapa-siapa saja yang tidak boleh dinikahi :
Adapun yang tidak boleh dinikahi :
*****************************************
Perempuan musryik tidak boleh dinikahi lelaki Islam, sebaliknya, lelaki
Musryik juga tidak boleh dinikahkan dengan perempuan Islam terdapat dalam ayat 2/221 dan 60/10.

Perempuan yang pernah jadi istri bapak kandung, tidak boleh dinikahi
menurut ayat 4/22.

Orang juga tidak boleh menikahi ibu kandung, anak kandung, saudari kandung, saudari bapak kandung, saudari Ibu kandung, anak saudara kandung, anak saudari kandung, mertua, anak tiri yang ibunya sudah dicampuri, yang pernah jadi istri anak kandung. Juga tidak boleh menikahi dua perempuan bersaudari kandung sekaligus. Semua ini tercantum dalam ayat 4/23.

Mereka yang boleh untuk dinikahi :
******************************************
Perempuan yang terjaga dalam pemeliharaan ibu bapaknya, buka ayat 4/24

Hamba sahaya perempuan [pembantu urusan] dengan perkenan majikan atau keluarga mereka, buka ayat 4/25
Perempuan dari Ahli Kitab yang menjaga kehormatannya, buka ayat 5/5
Perempuan beriman yang lari dari suaminya yang kafir, boleh dinikahi
setelah iddahnya habis dan setelah mas kawin yang diterimanya dikembalikan kepada bekas suaminya yang kafir itu.. Silahkan buka ayat 60/10.

Perempuan janda, buka ayat 24/32 dan juga perempuan janda beranak yatim sebagaimana pada ayat 4/3.
Demikianlah adanya sedikit penguraian singkat seputar Pernikahan dan
Perbudakan didalam Islam.