Posts Tagged ‘Imam Ali Bin Abu Thalib’

https://tausyah.wordpress.com/Unta-Gurun-Pasir

Unta Gurun Pasir

Ini adalah sebuah kisah tentang kepemimpinan Ali ibn Abi Thalib dalam Khulafaurrasyidin yang sangat patut kita teladani.

Tidak ada khalifah yang paling mencintai ukhuwwah, ketika orang berusaha menghancurkannya, seperti Ali ibn Abi Thalib. Baru saja dia memegang tampuk pemerintahan, beberapa orang tokoh sahabat melakukan pemberontakan. Dua orang di antara pemimpin Muhajirin meminta izin untuk melakukan umrah. Ternyata mereka kemudian bergabung dengan pasukan pembangkang. Walaupun menurut hukum Islam pembangkang harus diperangi, Ali memilih pendekatan persuasif. Dia mengirim beberapa orang utusan untuk menyadarkan mereka. Beberapa pucuk surat dikirimkan. Namun, seluruh upaya ini gagal. Jumlah pasukan pemberontak semakin membengkak. Mereka bergerak menuju Basra.

Dengan hati yang berat, Ali menghimpun pasukan. Ketika dia sampai di perbatasan Basra, di satu tempat yang bernama Alzawiyah, dia turun dari kuda. Dia melakukan shalat empat rakaat. Usai shalat, dia merebahkan pipinya ke atas tanah dan air matanya mengalir membasahi tanah di bawahnya. (lebih…)

Islamic ArtKeutamaan Imam Ali

Zaman kelahiran Islam dan pertumbuhannya ditandai oleh ci­ri khusus dalam suatu kurun waktu tertentu. Yaitu sepeninggal Rasul Allah s.a.w. ummat Islam dipimpin oleh 4 orang Khalifah yang sangat terkenal dan diakui serta dihormati oleh segenap kaum muslimin di dunia. Di antara empat orang Khalifah itu, terdapat seorang yang mempunyai kedudukan istimewa dalam sejarah, yaitu Imam Ali r.a.

Banyak sekali hal-hal yang memberikan keistimewaan kepa­danya. Antara lain sebagian ummat Islam di dunia sampai sekarang ini mengidentifikasikan diri sebagai pengikut Imam Ali bin Abi Thalib r.a., yaitu yang terkenal dengan sebutan kaum Syi’ah.

Selain itu, Imam Ali r.a.memang lebih masyhur disebut “I­mam”, daripada disebut Khalifah. Sedangkan Khalifah-khalifah lainnya, tak seorang pun yang disebut sebagai Imam. Sudah pasti hal itu disebabkan oleh adanya keistimewaan-keistimewaan yang melatar-belakangi kehidupan Imam Ali r.a., sehingga ia mempu­nyai identitas tersendiri dalam sejarah kehidupan ummat Islam.

Gelar Imam

Gelar “Imam” adalah khusus bagi Khalifah Ali bin Abi Thalib di samping gelar “Amirul Mukminin” yang lazim dipergu­nakan orang pada masa itu, untuk menyebut seorang pemangku jabatan sebagai pemimpin tertinggi dan Kepala Negara Islam.

Tentang ta’rif (definisi) dari perkataan “imamah” (keimam­an) oleh para ahli ilmu kalam, dirumuskan: “Imamah ialah kepe­mimpinan umum dalam segala urusan agama dan keduniaan yang ada pada seseorang…”

Jadi menurut ta’arif tersebut, maka yang dimaksud dengan “Imam” ialah seorang pemimpin atau seorang ketua yang ditaati dan memiliki kekuasaan yang menyeluruh atas semua orang mus­limin dalam segala urusan mereka, baik di bidang keagamaan maupun di bidang keduniaan.

Menurut mazhab “Imamiyah”, imamah merupakan keharus­an objektif dalam kehidupan masyarakat muslimin, yang dalam ke­adaan bagaimana pun tak dapat diabaikan. Dengan adanya ima­mah, semua yang tidak lurus dalam tata pelaksanaan agama dan tata kehidupan dunia, dapat diluruskan. Dengan imamah pula, keadilan yang dikehendaki Allah harus berlaku di muka bumi, dapat diusahakan realisasinya. Sebab terpenting perlunya diadakan imamah, ialah untuk mendorong masyarakat supaya dengan benar menjalankan ibadah kepada Allah s.w.t., untuk menyebar luas­kan ajaran agama-Nya, untuk menanamkan jiwa keimanan serta ketakwaan di kalangan anggota-anggota masyarakat.

Dengan demikian manusia akan mampu menghindarkan diri dari hal-hal yang buruk dan menghayati hal-hal yang baik, sebagai­mana yang dikehendaki Allah s.w.t. Untuk itu, ummat Islam wa­jib mentaati seseorang Imam dan melaksanakan perintah-perintahnya selama imam itu taat dan tidak menyimpang dari perintah-­perintah Allah s.w.t. Sebab hanya dengan ketaatan kaum musli­min, seorang Imam dapat membereskan keadaan yang tidak beres, mempererat persatuan dan kerukunan ummat, dan memberikan bimbingan ke jalan yang lurus dan benar.

Banyak sekali tugas dan kewajiban yang terpikul di pundak seorang Imam. Antara lain ialah menjaga dan memelihara pelaksa­naan perintah serta larangan agama; menjaga keselamatan Islam dan kemurniannya dari perbuatan orang-orang yang mengabaikan nilai-nilai susila dan moral; melaksanakan ketentuan-ketentuan hu­kum agama; menjamin pengayoman dan kesentosaan wilayah Is­lam; menjamin terlaksananya keadilan bagi orang-orang yang ter­aniaya (madzlum); memimpin ummat dalam perjuangan mene­gakkan kebenaran Allah dan lain sebagainya.

Untuk dapat menjadi Imam, orang harus memiliki syarat­syarat. Antara lain ia harus mempunyai pengetahuan yang luas; mempunyai rasa keadilan yang tinggi; berani karena benar, mampu memberikan pertolongan dan menanggulangi kesukaran, serta yang terpenting di atas segala-galanya ialah kebersihan pribadi.

Semua kaum muslimin menyadari, bahwa kebersihan pribadi ini merupakan karunia Allah yang dilimpahkan kepada hamba-Nya yang sempurna. Dengan kebersihan dan kesucian pribadi itu orang sanggup menjauhkan diri dari perbuatan-perbuatan dosa dan mak­siyat, baik yang mungkin dilakukan dengan sengaja atau tidak. Si­fat luhur seperti itu sudah tentu lebih terjamin adanya pada para Imam yang berasal dari Ahlu-Bait Rasul Allah s.aw., yaitu orang-­orang yang sanggup menjadi benteng dan pengawal agama Islam, atau orang-orang yang hidup sepenuhnya mendambakan keridhoan Allah semata-mata.

Dalam kaitannya dengan masalah tersebut, Imam Ali r.a. menegaskan: “Barang siapa yang hendak menjadikan diri sebagai Imam di kalangan masayarakat, maka ia harus mengajar dirinya sendiri lebih dulu sebelum mengajar orang lain. Ia harus mendidik dirinya dengan perilaku yang baik lebih dulu sebelum mendidik orang lain dengan ucapan. Orang yang sanggup mengajar dan mendidik diri sendiri lebih berhak dihormati daripada orang yang hanya pandai mengajar dan mendidik orang lain.”

Diantara empat orang Khalifah Rasyidun, hanya Khalifah Imam Ali bin Abi Thalib r.a. sajalah yang disandangi gelar “Imam” oleh kaum muslimin. Gelar ini tidak dikenakan kepada orang lain yang menjadi pemimpin kaum muslimin. Mengapa? Bukankah Abu Bakar Ash Shiddiq r.a. juga seorang Imam seperti Khalifah Ali? Bukankah Umar Ibnul Khattab r.a. juga seorang Imam seperti Ali? Bukankah Utsman bin Affan r.a. juga seorang Imam seperti Khalifah Ali? Bukankah Khalifah-Khalifah itu juga Khalifah Ra­syidun seperti Imam Ali? Bukankah juga Khalifah-Khalifah itu pe­nerus kepemimpinan Rasul Allah s.a.w. sepeninggal beliau?

Bila pengertian “imamah” hanya terbatas pada kekhalifahan saja, tentu tiga orang Khalifah itu semuanya adalah Imam-Imam juga seperti Imam Ali r.a. Bahkan mereka memegang “imamah” lebih dulu daripada Imam Ali r.a.

Mengenai hal itu, seorang penulis modern berkebangsaan Mesir, Abbas Al Aqqad, berpendapat, bahwa kalau yang disebut “imamah” pada masa itu hanya terbatas pengertiannya di bidang hukum, tentu persamaan antara empat orang Khalifah itu tidak perlu disangkal lagi. Tetapi, demikian kata Aqqad seterusnya, tiga orang Khalifah Rasyidun di luar Imam Ali r.a., tak ada seorang pun diantara mereka itu mengibarkan bendera imamah untuk mengha­dapi tantangan kekuasaan duniawi yang muncul di kalangan ummat. Tak ada yang menghadapi adanya dua pasukan bersenjata yang saling berlawanan di dalam satu ummat. Dan tidak ada yang menjadi lambang imamah dalam menghadapi masalah-masalah rumit, yang penuh dengan berbagai problema yang menimbulkan syak dan keraguan di kalangan ummat.

Al Aqqad menambahkan, bahwa dalam keadaan tidak adanya problema-problema seperti itu, tiga orang Khalifah sebelum Imam Ali r.a., boleh saja disebut Imam. Tentu saja pengertian “Imam” itu sangat berlainan dengan gelar “Imam” yang ada puda Imam Ali bin Abi Thalib r.a. Ia adalah seorang Imam yang menghadapi berbagai kejadian dan peristiwa yang banyak menimbulkan kera­gu-raguan berfikir di kalangan ummat. Oleh karena itulah gelar Imam diberikan kaum muslimin secara khusus kepada khalifah Ali bin Abi Thalib r.a. Begitu luasnya gelar itu dikenal orang sampai menjadi buah bibir. Hingga anak-anak pun mengenal Imam Ali lewat sanjungan-sanjungan yang dikumandangkan orang di jalan-­jalan, tanpa perlu disebut nama orang yang menyandang gelar itu sendiri.

Seterusnya Al Aqqad menjelaskan, bahwa “kekhususan ima­mah yang ada pada Ali bin Abi Thalib r.a. ialah bahwa ia seorang Imam yang tidak ada persamaannya dengan Imam-Imam lainnya. Sebab Imam Ali mempunyai kaitan langsung dengan mazhab-maz­hab yang ada di kalangan kaum muslimin, bahkan dimulai semen­jak kelahiran mazhab-mazhab itu sendiri pada masa pertumbuhan Islam. Jadi sebenarnya Imam Ali adalah pendiri mazhab-maz­hab, atau dapat juga disebut sebagai poros di sekitar mana golo­ngan mazhab itu berputar. Hampir tak ada satu golongan madzhab pun yang tidak berguru kepada Imam Ali bin Abi Thalib. Ham­pir tidak ada satu golongan madzhab pun yang tidak memandang Imam Ali sebagai pusat pembahasan ilmu agama.”[1]

Menurut kenyataannya, Imam Ali r.a. adalah Imam yang be­nar-benar memiliki semua syarat yang diperlukan. Satu keistime­waan yang paling menonjol dan tidak dipunyai oleh Khalifah-kha­lifah lainnya, ialah penguasaannya di bidang-bidang ilmu agama. Tentang hal ini akan kita bicarakan di bagian lain buku ini.

Di sini kami hanya ingin mengemukakan, bahwa Abdullah bin Abbas, seorang ulama yang terkenal luas ilmu pengetahu­annya sampai diberi sebutan “habrul ummah” (pendekar ummat) dan “juru tafsir Al Qur’an,” mengatakan dengan jujur, bahwa di­banding dengan ilmu Imam Ali, ilmunya sendiri ibarat setetes air di tengah samudera. Khalifah Umar Ibnul Khattab r.a. juga mengatakan: “Hai Abal Hasan (nama panggilan Imam Ali r.a.) mudah-mudahan Allah s.w.t. tidak membiarkan aku terus hidup di bumi tanpa engkau!”

Disadur dari buku :

Sejarah Hidup Imam Ali bin Abi Thalib r.a.
Oleh H.M.H. Al Hamid Al Husaini

https://tausyah.wordpress.com

MadinahTeror Abdul Rahman bin Muljam

Sekelompok orang-orang Khawarij berkumpul memperbin­cangkan nasib sanak famili dan teman-teman mereka yang telah mati terbunuh dalam berbagai peperangan. Mereka berpendapat, bahwa tanggung-jawab atas terjadinya pertumpahan darah selama ini harus dipikul oleh tiga orang: Ali bin Abi Thalib, Muawiyah bin Abi Sufyan dan Amr bin Al Ash. Tiga orang itu oleh mereka disebut dengan istilah “pemimpin-pemimpin yang sesat”.

Salah seorang di antara yang sedang berkumpul itu, bernama Albarak bin Abdullah. Ia bangkit berdiri sambil berkata: “Akulah yang akan membikin beres Muawiyah bin Abi Sufyan!”

Teriakan Albarak itu diikuti oleh Amr bin Bakr dengan kata-­kata: “Aku yang membikin beres Amr bin Al Ash!”

Abdurrahman bin Muljam tak mau ketinggalan. Ia berteriak: “Akulah yang akan membikin beres Ali bin Abi Thalib!”

Tiga orang tersebut kemudian bersepakat untuk melaksana­kan pembunuhan dalam satu malam terhadap tiga orang calon korban: Imam Ali r.a., Muawiyah bin Abi Sufyan dan Amr bin Al Ash. Terdorong oleh kekacauan aqidah dan semangat balas den­dam, tiga orang Khawrij itu bertekad hendak cepat-cepat melak­sanakan rencana mereka.

Berangkatlah Abdurrahman bin Muljam meninggalkan Mak­kah menuju Kufah. Setibanya di Kufah, ia singgah di rumah salah seorang teman-lamanya. Di situ ia bertemu dengan seorang gadis bernama Qitham binti Al Akhdar. Paras gadis ini elok dan cantik. Tidak ada gadis lain di daerah itu yang mengungguli kecantikan parasnya. Ayah dan saudara lelaki Qitham adalah orang-orang Khawarij yang mati terbunuh dalam perang Nehrawan.

Waktu melihat kecantikan gadis itu, Abdurrahman bin Mul­jam sangat terpesona dan tergiur hatinya. Dengan terus terang ia bertanya kepada Qitham, bagaimana pendapat gadis jelita itu kalau ia mengajukan lamaran untuk dijadikan isteri. Qitham ketika itu menyahut: “Maskawin apa yang dapat kauberikan kepadaku?”

“Terserah kepadamu, apa yang kauinginkan,” jawab Ab­durrahman bin Muljam.

“Aku hanya minta supaya engkau sanggup memberi empat macam,” sahut gadis itu menjelaskan: “Uang sebesar 3.000 dirham, seorang budak lelaki dan seorang budak perempuan dan kesang­gupanmu membunuh Ali bin Abi Thalib!”

Mengenai permintaanmu yang berupa uang 3.000 dirham, se­orang budak lelaki dan seorang budak perempuan, aku pasti dapat memenuhinya,” jawab Abdurrahman, “tetapi tentang membunuh Ali bin Abi Thalib, bagaimana aku bisa menjamin?”

“Engkau harus bisa mengintai kelengahannya,” ujar Qitham. “Jika engkau berhasil membunuh dia, aku dan engkau akan ber­sama-sama merasa lega dan engkau akan dapat hidup disampingku selama-lamanya!”

Sebenarnya, sebelum Abdurrahman bertemu dengan Qi­tham binti Al Akhdar, ia sudah mulai bimbang melaksanakan niat membunuh Imam Ali r.a. Sebab, tidaklah mudah bagi dirinya me­laksanakan pembunuhan itu. Perbuatan itu merupakan tindakan petualangan yang berbahaya bagi keselamatan jiwanya. Tetapi su­ratan takdir rupanya mengendaki supaya Abdurrahman lebih ber­tambah berani, hilang keraguannya dan nekad berbuat dosa yang amat jahat. Tampaknya takdir membiarkan tangan Abdurrahman nyelonong bagaikan anak-panah terlepas dari busurnya. Secara kebetulan ia seolah-olah digiring singgah ke rumah teman lamanya dan dipertemukan dengan seorang gadis bernama Qitham! Setelah terjadi pembicaraan tentang maskawin, akhirnya Abdurrahman

mernberikan jawaban terakhir: “Permintaanmu tentang pembu­nuhan Ali bin Abi Thalib akan kupenuhi.”

Sebagaimana tersebut di atas tadi Al-Barak bin Abdullah, Amr bin Bakr dan Abdurrahman bin Muljam, telah sepakat hendak melasanakan pembunuhan serentak dalam satu malam, pada waktu subuh. Tetapi terjadi satu kebetulan yang agak aneh juga, karena tragedi yang ditimbulkan oleh tiga orang komplotan tersebut ter­nyata berakhir dengan akibat yang berlainan.

Amr bin Al-Ash secara kebetulan tidak mengalami nasib seperti yang dialami temannya. Cerita tentang peristiwanya itu sebagai berikut: “Pada malam terjadinya peristiwa itu, Amr bin Al-Ash me­rasa terganggu kesehatannya. Ia tidak keluar bersembahyang di masjid dan tidak juga untuk keperluan lainnya. Ia memerintahkan seorang petugas keamanan, bernama Kharijah bin Hudzafah, su­paya mengimami shalat subuh jama’ah sebagai penggantinya. Amr bin Bakr menduga, bahwa Kharijah itu adalah Amr bin Al-Ash. Amr bin Bakr segera menyelinap dan mendekat, kemudian Kharijah ditikam dengan senjata tajam. Seketika itu juga Kharijah meninggal dan Amr bin Bakr sendiri tertangkap basah. Waktu di­hadapkan kepada Amr bin Al-Ash, ia (Amr bin Al Ash) berkata kepadanya : ‘Engkau menghendaki nyawaku, tetapi Allah ter­nyata menghendaki nyawa Kharijah bin Hudzafah!’ Setelah itu ia memerintahkan supaya Amr bin Bakr segera dibunuh.”

Adapun Muawiyah yang menjadi sasaran Al-Barak bin Ab­dullah, pada saat ia sedang lengah, ditikam oleh Al-Barak. Mujur bagi Muawiyah. Ia tidak mati, sebab tikaman itu hanya mengenai samping pantatnya. Hal itu dimungkinkan karena sejak terbuka­nya permusuhan antara Imam Ali r.a. dengan dirinya, Muawiyah selalu mengenakan baju berlapis besi. Al-Barak tertangkap dan ia dihadapkan kepada Muawiyah.

Mengenai peristiwa ini terdapat penulisan sejarah yang agak berlainan. Abu Faraj Al-Ashfahaniy mengatakan: “Waktu Al-Ba­rak dihadapkan kepada Muawiyah, ia berkata: “Aku membawa berita untukmu.” Muawiyah bertanya: “Berita Apa?”

Al-Barak lalu menceritakan apa yang pada malam itu dilaku­kan oleh dua orang temannya. “Malam itu…,” katanya, “…Ali bin Abi Thalib akan mati dibunuh. Biarlah aku kau tahan du­lu. Jika benar ia mati terbunuh, terserahlah apa yang hendak kau lakukan terhadap diriku. Tetapi jika ternyata ia tidak berhasil di­bunuh, aku berjanji kepadamu, akulah yang akan membunuhnya. Lantas aku akan kembali lagi kepadamu menyerahkan diri. Selan­jutnya terserah hukuman apa yang akan kau jatuhkan atas diriku!”

Al-Barak lalu ditahan oleh Muawiyah. Setelah terdengar beri­ta tentang terbunuhnya Imam Ali r.a., Al-Barak dibebaskan.

Sumber riwayat lain mengatakan dengan pasti, bahwa waktu Al-Barak dihadapkan kepada Muawiyah, seketika itu juga Muawi­yah memerintahkan supaya Al-Barak segera dibunuh.

Wafat

Allah s.w.t. rupanya telah mentakdirkan bahwa Imam Ali r.a. harus meninggal karena pembunuhan pada waktu subuh tanggal 17 Ramadhan, tahun 40 Hijriyah. Ketika Imam Ali r.a. sedang menu­ju masjid, sesudah mengambil air sembahyang untuk melakukan shalat subuh, tiba-tiba muncul Abdurrahman bin Muljam dengan pedang terhunus. Imam Ali r.a. yang terkenal ulung itu tak sempat lagi mengelak. Pedang yang ditebaskan Abdurrahman tepat menge­nai kepalanya. Luka berat merobohkannya ke tanah. Imam Ali r.a. segera diusung kembali ke rumah.

Saat itu semua orang geram sekali hendak melancarkan tinda­kan balas dendam terhadap Ibnu Muljam. Tetapi Imam Ali r.a. sendiri tetap lapang dada dan ikhlas, tidak berbicara sepatahpun tentang balas dendam. Tak ada isyarat apa pun yang diberikan ke arah itu. Semua orang yang berkerumun di pintu rumahnya merasa sedih. Mereka berdoa agar Imam Ali r.a. dilimpahi rahmat Allah yang sebesar-besarnya dan dipulihkan kembali kesehatannya. Semua mengharap semoga ia dapat melanjutkan perjuangan meng­hapus penderitaan manusia.

Beberapa orang sahabat Imam Ali r.a. mendatangkan tabib terbaik di Kufah. Seorang tabib yang berpengalaman mengobati luka, bernama Atsir Ibnu Amr bin Hani. Setelah memeriksa luka-luka di kening, dengan hati cemas dan suara putus asa, Atsir memberi tahu: “Ya Amiral Mukminin, berikan sajalah apa yang hendak anda wasiyatkan. Pukulan orang terkutuk itu mengenai se­laput otak anda.”

Imam Ali r.a. tidak mengeluh. Ia menyerahkan nasib se­penuhnya kepada Allah s.w.t. Ia memanggil dua orang puteranya: Al Hasan r.a. dan Al Husein r.a. Dari seluruh hidupnya yang pe­nuh dengan pengalaman-pengalaman pahit dalam perjuangan me­negakkan kebenaran Allah dan Rasul-Nya, Imam Ali r.a. menarik pelajaran-pelajaran yang sangat tinggi nilainya. Hal itu dituangkan ­dalam wasiyat yang diberikan kepada putera-puteranya beberapa saat sebelum meninggalkan dunia yang fana ini.

Abu Ja’far Muhammad bin Jarir At Thabariy dalam Ta­rikh-nya dan Abu Faraj Al Ashfahaniy dalam Maqatilut Thali­biyyin masing-masing mengetengahkan wasiyat Imam Ali r.a. sebagai berikut:

“Aku bersaksi bahwa tiada Tuhan selain Allah Yang Maha Esa tanpa sekutu apapun bagi-Nya, dan bahwa Muhammad adalah hamba Allah dan Rasul-Nya, diutus membawa hidayat dan agama yang benar, untuk dimenangkan atas agama-agama lain, walau ka­um musyrikin tidak menyukainya. Kemudian shalatku, ibadahku, hidup dan matiku, semuanya kupersembahkan kepada Allah, Tuhan penguasa alam semesta, tanpa sekutu apa pun bagi-Nya. Itu­lah yang diperintahkan kepadaku, dan aku ini adalah orang muslim pertama.

“Kuwasiyatkan kepada kalian berdua supaya tetap bertaqwa kepada Allah. Janganlah kalian mengejar-ngejar dunia walau dunia mengejar kalian, dan janganlah menyesal jika ada sebagian dunia itu lepas meninggalkan kalian. Katakanlah hal-hal yang benar dan

berbuatlah untuk memperoleh pahala akhirat. Jadilah kalian pe­nentang orang dzalim dan pembela orang madzlum.”

“Kuwasiyatkan kepada kalian berdua, kepada semua anak-­anakku, para ahlu-baitku, dan kepada siapa saja yang mendengar wasiyatku ini, supaya senantiasa bertaqwa kepada Allah. Hendak­nya kalian mengatur baik-baik urusan kalian dan jagalah hubungan persaudaraan di antara kalian. Sebab aku mendengar sendiri Ra­sul Allah s.a.w. mengatakan: Memperbaiki dan menjaga baik-ba­ik hubungan persaudaraan antara sesama kaum muslimin lebih afdhal daripada sembahyang dan puasa umum.[5] Ketahuilah, bahwa pertengkaran itu merusak agama, dan ingatlah bahwa tak ada kekuatan apa pun selain atas perkenaan Allah. Perhatikanlah keadaan sanak famili kalian dan eratkan hubungan dengan mereka, Allah akan melimpahkan kemudahan kepada kalian di hari per­hitungan kelak.”

“Allah…, Allah, perhatikanlah anak-anak yatim. Janganlah mereka itu sampai kelaparan dan jangan sampai kehilangan hak. Aku mendengar sendiri Rasul Allah s.a.w. berpesan: Barang sia­pa mengasuh anak yatim sampai ia menjadi kecukupan, orang itu pasti akan dikaruniai sorga oleh Allah. Sama halnya seperti siksa neraka yang pasti akan ditimpakan Allah kepada orang yang me­makan harta anak yatim.”

“Allah…, Allah, perhatikanlah Al-Qur’an, jangan sampai ka­lian kedahuluan orang lain dalam mengamalkannya. Allah…, Allah…, perhatikanlah tetangga-tetangga kalian, sebab mereka itu adalah wasiyat Nabi kalian. Sedemikian sungguhnya beliau mewasyiat­kan, sampai kami menduga bahwa beliau akan menetapkan hak waris bagi mereka. Allah…, Allah…, perhatikanlah rumah Allah, mas­jid Al-Haram, janganlah kalian tinggalkan selama kalian masih hi­dup. Sebab jika sampai kalian tinggalkan, kalian tidak akan dipan­dang orang. Barang siapa selalu dekat kepadanya, Allah akan mengampuni dosa-dosanya yang telah lalu. Allah…, Allah…, pelihara­lah shalat baik-baik, sebab shalat itu amal perbuatan yang paling mulia dan merupakan tiang agama kalian. Allah…, Allah…, tunaikan­lah zakat sebagaimana mestinya, sebab zakat itu meniadakan murka Allah. Allah…, Allah…, laksanakanlah puasa bulan Rama­dhan, sebab puasa itu merupakan penutup jalan ke neraka.”

“Allah…, Allah…, berjuanglah di jalan Allah dengan harta dan jiwa kalian. Hanya ada dua macam saja orang yang berjuang di jalan Allah, yaitu seorang pemimpin yang memberikan bimbingan dan orang yang patuh kepada pemimpin serta mengikuti kebena­ran pimpinannya. Allah…, Allah…, jagalah baik-baik keturunan Nabi kalian, jangan sampai mereka dianiaya orang di depan mata kalian. Jagalah baik-baik para sahabat Nabi yang tidak meng­ada-adakan bid’ah mungkar, dan yang tidak melindungi orang yang mengada-adakan bid’ah mungkar. Sebab Rasul Allah s.a.w. telah memberi wasiyat tentang mereka itu, dan mengutuk orang dari mereka atau orang yang bukan mereka, yang mengada-adakan bid’ah mungkar dan mengutuk pula orang-orang yang memberi perlindungan kepada mereka.”

“Allah…, Allah…, perhatikanlah para fakir miskin. Ikut serta­kan mereka dalam kehidupan kalian. Allah…, Allah…, jagalah baik-baik wanita kalian dan para hamba sahaya kalian, sebab Rasul Allah s.a.w. mewasiyatkan supaya kalian menaruh perhatian kepada dua golongan lemah itu, yaitu kaum wanita dan para hamba sahaya.”

Setelah berhenti sebentar untuk memulihkan tenaga yang semakin melemah, Imam Ali r.a. melanjutkan:

“Dalam menjalankan kewajiban terhadap Allah, janganlah ka­lian takut dicela orang lain. Allah akan melindungi dan menyela­matkan kalian dari orang-orang yang hendak berbuat jahat terha­dap kalian. Berkatalah baik-baik kepada semua orang sebagaimana telah diperintahkan Allah kepada kalian. Janganlah kalian lengah meninggalkan amr ma’ruf dan nahi mungkar, agar Allah tidak me­limpahkan kekuasaan kepada orang-orang yang berperangai jahat. Sebab dalam keadaan seperti itu doa kalian tidak akan dikabulkan lagi.”

“Hendaknya kalian saling berhubungan erat, saling tolong­-menolong dan saling bercinta-kasih. Janganlah kalian saling memu­tuskan hubungan, saling bertolak belakang atau bercerai-berai. Hendaknya kalian saling bantu-membantu dalam kebajikan dan taqwa, dan janganlah saling-bantu dalam berbuat dosa dan permu­suhan.”

“Bertaqwalah kalian kepada Allah, karena sesungguhnya siksa Allah itu sangat berat. Semoga Allah senantiasa menjaga dan me­melihara kalian, hai para ahlul-bait. Allah melestarikan Nabi s.a.w. melalui kalian. Kuucapkan selamat tinggal sebaik-baiknya ke­pada kalian dan kuucapkan pula Assalaamu’alaikum wa rahma­tullahi wabarakaatuh…”

Ibnul Atsir meriwayatkan, bahwa sesudah Imam Ali r.a. menyampaikan wasiyat tersebut kepada Al Hasan r.a. dan Al Hu­sin r.a., ia menoleh kepada puteranya yang lain, Muhammad Ibnul Hanafiyah, lalu bertanya: “Apakah engkau sudah mema­hami benar-benar apa yang kuwasiyatkan kepada kedua orang sau­daramu?”

“Ya,” jawab Muhammad Ibnul Hanafiyah.

“Kepadamu juga kuwasiyatkan,” kata Imam Ali r.a. meneruskan: “hal yang sama seperti itu. Kuwasiyatkan juga supaya engkau selalu menghormati dua orang saudaramu yang besar itu. Janganlah mereka kautinggalkan dalam urusan apa pun.”

Selesai menekankan hal itu kepada Muhammad Ibnul Hanafi­yah, Imam Ali r.a. menambahkan wasiyatnya kepada Al Hasan r.a. dan Al Husein r.a. “Kuwasiyatkan kepada kalian berdua supaya menjaga dia (Muhammad Ibnul Hanafiyah) dengan baik. Sebab dia itu saudara kalian sendiri dan putera ayah kalian. Kalian tahu benar, bahwa ayah kalian juga mencintai dia…”

Imam Ali r.a. mengulangi ucapannya tentang Abdurrahman bin Muljam. Kepada Al Hasan r.a. Imam Ali r.a. berkata: “Per­hatikanlah orang yang memukulku. Berilah ia makan seperti ma­kananku dan minuman seperti minumanku!”

Ibnu Abil Hadid menambahkan catatan wasiyat Imam Ali r.a. yang disampaikan kepada dua orang puteranya, Al Hasan r.a. dan Al Husein r.a.:

“Anakku…, camkanlah baik-baik empat perkara yang hendak kukatakan. Selama engkau berpegang teguh pada empat perkara itu, apa pun yang kaulakukan tidak akan mendatangkan mudharat kepadamu:

1. Sesungguhnya kekayaan yang paling tinggi nilainya ialah akal fikiran;

2. Kemelaratan yang paling berat ialah kebodohan;

3. Kesepian yang paling menakutkan ialah bangga pada diri sendiri;

4. Dan keturunan yang paling mulia ialah budi pekerti luhur.

“Anakku…, hati-hatilah engkau berteman dengan orang pan­dir. Sebab jika ia hendak menguntungkan dirimu, justru ia berbuat yang merugikan dirimu. Hati-hatilah engkau berteman dengan orang kikir. Sebab ia akan menjauhkan engkau dari sesuatu yang paling kau butuhkan. Hati-hatilah engkau berteman dengan orang durhaka, sebab ia akan menjual dirimu dengan harga murah. Hati-hatilah engkau berteman dengan seorang pembohong, sebab ia seperti fatamorgana, yang jauh didekatkan kepadamu dan yang dekat dijauhkan darimu…”

Mengenai wasiatnya tentang Abdurrahman bin Muljam; me­nurut Ibnu Abil Hadid, Imam Ali r.a. menambahkan sebagai ber­ikut:

“Hai Bani Abdul Mutthalib, aku tidak ingin kalian mengam­bil tindakan pembalasan sampai menumpahkan darah kaum muslimin dengan alasan Amirul Mukminin mati terbunuh! Amirul Mukminin mati terbunuh! Janganlah kalian membunuh orang, selain orang yang membunuhku. Ingatlah, kalau aku mati karena tikaman ini, tikamlah orang yang menikamku dengan ti­kaman yang sama. Janganlah kalian sampai mencincang orang itu, sebab aku mendengar sendiri Rasul Allah s.a.w. pernah mewanti-­wanti: ‘Hati-hatilah kalian jangan sampai melakukan pencincang­an, walau terhadap anjing galak sekalipun’…”

Ketika itu ada orang bertanya kepada Imam Ali r.a.: “Apakah kami harus membai’at Al Hasan sepeninggal anda?”

“Aku tidak menyuruh dan tidak melarang,” sahut Imam Ali r.a. Ia tidak mau memaksakan kepada kaum muslimin siapa yang akan menggantikannya sebagai Amirul Mukminin. Terserahlan ke­pada kaum muslimin sendiri siapa yang akan mereka angkat se­bagai Khalifah. Ini merupakan pengakuan sedalam-dalamnya bah­wa setiap orang mempunyai kebebasan untuk memilih pimpinan yang disukainya.

Tidak lama kemudian Imam Ali r.a. menoleh kepada orang-­orang di sekitarnya…, lalu berkata: “Kemarin aku adalah sahabat kalian. Hari ini aku menjadi contoh yang selalu mengingatkan ka­lian. Dan, esok hari aku berpisah meninggalkan kalian. Semo­ga Allah memberi pengampunan kepadaku dan kepada kalian.”

Selama dua hari sejak terjadinya peristiwa itu, Imam Ali r.a. menderita, kesakitan yang beliau tahan sedemikian rupa kuatnya tanpa mengeluh. Dengan hati mantap ia berserah diri pada Allah s.w.t., mewasiatkan kebajikan kepada orang lain, dan, berpesan supaya berkasih-sayang kepada kaum yang lemah.

[1]Sebuah tempat terletak antara Hirah dan Kufah.

https://tausyah.wordpress.com

Holy QuranMenuju Nehrawan

Untuk berusaha menginsyafkan kaum Khawarij yang sudah mulai berangkat ke Nehrawan guna mempersiapkan pemberontak­an bersenjata, Imam Ali r.a. cepat-cepat menulis surat kepada mereka, dibawa oleh seorang kurir. Dalam surat tersebut Imam Ali r.a. menjelaskan seperti yang sudah pernah dikemukakan da­lam khutbah-khutbahnya. Sebelum menutup suratnya dengan kata-kata “Wassalaam”, Imam Ali r.a. menegaskan ajakannya: “Seterimanya surat ini, hendaknya kalian segera kembali ke­pada kami. Kami sudah siap untuk berangkat menghadapi musuh kami dan musuh kalian, dan kami tetap memegang pimpinan seperti semula!”

Surat Imam Ali r.a. itu cepat dijawab oleh kaum Khawa­rij dengan penuh ejekan dan tuduhan tak semena-mena: “Eng­kau marah bukan karena Allah. Engkau marah hanya karena diri­mu sendiri! Allah tidak akan menyelamatkan tipu-daya orang-­orang yang berkhianat!”

Setelah membaca surat jawaban Khawarij yang seperti itu, Imam Ali r.a. putus harapan mengajak mereka bersatu kembali. Tadinya ia berniat hendak berangkat menghadapi pasukan Muawi­yah di Shiffin, tetapi sekarang…, apa boleh buat! Daripada tertusuk dari belakang, lebih baik kaum Khawarij “dibe­nahi” lebih dahulu. Usaha memberi pengertian sudah ditempuh. Mengajak bersatu kembali telah dicoba. Ajakan untuk berjuang lagi melawan pasukan Syam sudah ditolak. Bahkan mereka seka­rang siap mengacungkan pedang. Bahaya harus ditanggulangi satu demi satu. Yang lebih ringan perlu disingkirkan lebih dulu.

Sekarang Imam Ali r.a. merobah niat semula. Menangguhkan perlawanan terhadap pasukan Syam dan menumpas kaum Khawa­rij lebih dulu. Pasukan disiapkan untuk berangkat mengejar kaum Khawarij. Lalu Imam Ali r.a. mengucapkan amanat yang berisi petunjuk dan komando:

Barang siapa meninggalkan perjuangan dan menjauhi perin­tah Allah, ia berada di tepi jurang bahaya, sampai Allah sendiri menyelamatkan dengan rahmat-Nya. Oleh karena itu, hai para ham­ba Allah, bertaqwalah kalian semua kepada-Nya. Perangilah orang­-orang yang bertindak memerangi kaum pengemban Amanat Allah. Perangilah mereka yang mengubah agama Allah, orang-­orang yang tidak mau mengerti Kitab Allah, dan tidak mau me­ngerti isyarat-isyarat Al-Qur’an, yaitu mereka yang tidak mau me­lihat persoalan dari sudut agama. Mereka itu sesungguhnya orang-­orang yang belum begitu lama memeluk agama Islam.”

“Demi Allah,” kata Imam Ali r.a. seterusnya, “seandainya mereka itu sampai dapat menguasai kalian, mereka pasti akan ber­buat seperti Kisra dan Kaisar (raja-raja Persia dan Romawi). Be­rangkatlah sekarang dan siap bertempur. Aku sudah mengirim utusan ke Bashrah agar saudara-saudara yang ada di sana berga­bung dengan kalian. Insya Allah, mereka akan segera datang!”

Waktu Imam Ali r.a. bersama sejumlah pasukan pengejar berangkat, kaum Khawarij sudah sampai di sebuah pedusunan yang bernama Harura. Walaupun segalanya telah siap untuk me­numpas pemberontakan bersenjata, tetapi Imam Ali r.a. masih tetap ingin supaya orang-orang Khawarij itu dapat diajak bersatu kembali dan berjuang bersama-sama melawan pasukan Syam.

Orang-orang yang tergabung dalam kelompok Khawarij itu banyak berasal dari prajurit-prajurit berpengalaman. Mereka mempunyai keyakinan yang sangat teguh dan keras sekali terhadap lawan. Lebih-lebih karena mereka semua adalah bekas pengikut

Imam Ali r.a. sendiri. Dengan ketangguhan luar biasa mereka telah menyumbangkan andil besar dalam perjuangan mematahkan pem­berontakan Thalhah dan Zubair. Dalam menghadapi pemberontak­an Muawiyah mereka pun telah memberikan jasanya, walau be­lum sepenuhnya.

Sudah menjadi kepribadian Imam Ali r.a., bahwa ia tidak melihat orang hanya dari segi kekurangan dan kesalahannya saja, tetapi juga tidak melupakan kebaikan dan kebenarannya. Selain itu, walau kelompok Khawarij sekarang berbalik menentang Imam Ali r.a., namun mereka itu tidak menyeberang atau berfi­hak kepada Muawiyah. Harus disayangkan, dalam keadaan sedang genting-gentingnya menghadapi lawan yang kuat, Syam, kelompok yang sangat ekstrim itu hendak menusuk dari belakang atau meng­gunting dalam lipatan.

Dengan berbagai perasaan yang serba resah seperti itu, Imam Ali r.a. masih ingin mencoba sekali lagi mengembalikan mereka tanpa kekerasan. Mereka hendak diajak bertukar-fikiran menge­nai masalah gawat yang sedang mencekam perhatian mereka, yaitu “tahkim”. Lewat seorang kurir Imam Ali r.a. minta supaya kaum Khawarij mengirimkan seorang wakil untuk diajak bertukar-fikir­an, dengan jaminan bahwa wakil itu akan dilindungi keamanan dan keselamatannya.

Dalam permintaannya itu Imam Ali r.a. menyatakan janji, jika hujjah (argumentasi) yang dikemukakan oleh wakil mereka itu kuat dan benar, Imam Ali r.a. bersedia mohon pengampun­an kepada Allah dan bertaubat atas kesalahannya menerima “tahkim”. Sebaliknya, jika ternyata hujjah Imam Ali r.a. yang kuat dan benar, mereka pun harus bersedia mohon pengampunan dan bertaubat kepada Allah s.w.t.

Permintaan Imam Ali r.a. dapat disetujui kaum Khawarij. Mereka mengirim Ibnul Kawwa sebagai wakil. Berlangsunglah dis­kusi panjang lebar. Masing-masing mengemukakan alasan dan hujjah untuk memperkuat dan membenarkan pendiriannya sen­diri-sendiri. Tetapi akhirnya dengan mengadu hujjah berdasar Kitab Allah dan sunnah Rasul-Nya, Ibnul Kawwa tergiring ke su­dut sampai tidak dapat lagi menemukan alasan untuk menyanggah hujjah-hujjah yang dikemukakan Imam Ali r.a. secara terperinci.

Selesai diskussi, Ibnul Kawwa kembali kepada kaumnya. De­ngan jujur Ibnul Kawwa mengatakan, bahwa berdasar hujjah-huj­jah yang dikemukakan, Imam Ali r.a. berada di fihak yang benar menurut hukum Allah dan sunnah Rasul-Nya. Semua hujjah Imam Ali r.a. wajib diterima oleh mereka. Demikian kata Ibnul Kawwa kepada kaumnya.

Kaum Khawarij tak dapat menerima hasil diskusi yang telah berlangsung antara Imam Ali r.a. dengan Ibnul Kawwa. Ibnul Kaw­wa dikatakan bukan imbangannya untuk berdiskusi dengan Imam Ali r.a. Ibnul Kawwa tidak boleh diberi kesempatan lagi untuk menghadapi diskusi dengan Imam Ali r.a., karena ia tidak akan mampu menghadapi hujjah, logika dan kesanggupan ber­fikir Imam Ali r.a. Mereka menuntut pertukaran-fikiran seperti itu dihentikan saja.

Kaum Khawarij bersikeras untuk tetap melancarkan pembe­rontakan bersenjata dan tidak mau menerima apa yang datang dari Imam Ali r.a. Mereka tetap memandang Imam Ali r.a. sebagai orang yang sudah murtad dan menjadi kafir karena menerima “tahkim”. Oleh karena itu mereka memandang Imam Ali sebagai orang yang telah keluar dari rel agama dan harus diperlakukan sebagai musuh Allah! Begitulah pendirian kaum Khawarij yang sudah tidak dapat berubah lagi.

Betapa pilu hati Imam Ali r.a. menghadapi pendirian orang-­orang yang kemarin masih menjadi pendukung dan pembelanya, tetapi hari ini sudah berbalik menjadi lawan yang sangat keras kepala. Ia sangat menyesal karena mereka sekarang sudah dikuasai oleh fikiran kacau, sampai mereka buta melihat kebenaran.

Jalan Kekerasan

Akhirnya Imam Ali r.a. yakin tak ada jalan lain lagi yang bisa ditempuh, selain terpaksa harus menghadapi kekerasan de­ngan kekerasan. Lebih-lebih setelah ada kenyataan bahwa mereka ketika meninggalkan Kufah telah banyak merenggut nyawa kaum muslimin yang tidak berdosa. Tiap orang yang tidak sependapat dengan mereka dicap “kafir”. Setiap orang yang sudah terkena cap itu, oleh mereka dihalalkan darahnya, harta bendanya dan keluarganya.

Abdullah bin Khabbab bersama isterinya yang sedang hamil tua mereka bantai di tepi sungai bersama seekor babi, hanya karena waktu ditanya tentang sebuah hadits menjawab: “Ayah­ku menyampaikan sebuah hadits berasal dari Rasul Allah s.a.w.: ‘Sepeninggalku akan terjadi suatu fitnah (bencana). Dalam fitnah itu hati orang akan menjadi mati, sama seperti tubuhnya yang juga mati. Sore hari ia menjadi orang yang beriman dan di pagi hari ia menjadi orang kafir’…”

Sebelum membantai dua orang suami isteri itu mereka sudah membantai lebih dulu 3 orang wanita, hanya karena tidak sepen­dapat dengan mereka. Salah seorang di antara tiga wanita itu ialah: Ummu Saman, yang pada masa hidupnya Rasul Allah s.a.w. per­nah menjadi sahabat setia.

Sekalipun sudah sejauh itu tindakan kaum Khawarij, Imam Ali r.a. tidak meninggalkan kebiasaannya, yaitu lebih suka bersi­kap baik sebelum diserang. Kepada para sahabat dan pasukannya ia berpesan: “Janganlah kalian menyerang lebih dulu sebelum kalian diserang!”

Kini Imam Ali r.a. dan pasukannya telah tiba di Nehrawan. Sebelum pasukan Imam Ali r.a. datang, kaum Khawarij sudah tiba lebih dahulu dan terus siaga untuk mengangkat senjata. Jumlah anggota pasukan Khawarij lebih kurang 1.500 orang, termasuk anggota-anggota pasukan penunggang kuda. Orang-orang yang sekarang menjadi komandan mereka sejak dulu terkenal cekatan, pemberani, gigih dan pantang mundur dalam pertempuran.

Imam Ali r.a. telah mengatur pasukannya. Pimpinan sayap kanan diserahkan kepada Hujur bin Addiy, sedang pimpinan sayap kiri diserahkan kepada Syabatah bin Rab’iy. Pimpinan pasukan berkuda diserahkan kepada Ayyub Al Anshariy, sedang pasukan infantri (pejalan kaki) pimpinannya diserahkan kepada Abu Qa­tadah. Pengikut lainnya pimpinannya diserahkan kepada Qeis bin Sa’ad bin Ubadah. Imam Ali r.a. sendiri berada di bagian te­ngah memimpin pasukan Bani Mudhar.

Bendera tanda-aman kemudian ditancapkan tiangnya oleh Ayyub Al Anshariy sambil berseru kepada pasukan Khawarij yang sudah berada di hadapan pasukan Imam Ali r.a.: “Barang siapa dari kalian yang mendekati bendera ini, dijamin keselamat­annya. Barang siapa pergi masuk kota atau berangkat ke Iraq (Kufah) dan keluar dari gerombolan, akan dijamin keselamatan­nya! Kami dilarang menumpahkan darah kalian, selama kalian tidak menumpahkan darah kami!”

Pasukan berkuda Imam Ali r.a. kemudian maju menjadi baris­an terdepan. Sedang pasukan pejalan kaki memecah diri menjadi dua barisan, berjalan di belakang pasukan berkuda. Pasukan pa­nah mengatur barisannya sendiri secara berlapis. Imam Ali r.a. masih tetap mengingatkan perintahnya: “Jangan menyerang sebelum kalian diserang!”

Pasukan Khawarij mulai bergerak maju. Setelah agak dekat dengan pasukan Imam Ali r.a., pasukan Khawarij berteriak-teri­ak: “Tidak ada hukum selain Allah.” Sahut menyahut, silih berganti sampai sedemikian hiruk pikuk dan gaduh.

Mendengar teriakan-teriakan itu Imam Ali r.a. berkata ke­pada beberapa orang sahabat: “Kata-kata benar diartikan secara bathil. Yang mereka maksud sebenarnya tidak perlu ada imarah. Imarah (pemerintahan) tidak bisa tidak harus ada. Soalnya apakah imarah itu baik atau tidak!”

Pasukan Khawarij berganti teriakan. Sekarang yang satu ber­teriak kepada yang lain: “Mari berangkat ke sorga! Mari berangkat ke sorga!”

Di tengah-tengah gemuruhnya teriakan itu mereka serentak bergerak menyerang pasukan Imam Ali r.a. Mereka juga menem­patkan pasukan berkuda di barisan depan dan di belakangnya pa­sukan pejalan kaki. Serangan serempak mereka itu disambut de­ngan hujan anak panah yang dilepaskan pasukan pemanah Imam Ali r.a. yang diatur secara berlapis. Pasukan Khawarij terpaksa mundur meninggalkan banyak korban.

Menurut Ats Tsa’labiy, ketika ia menceritakan pengalaman­nya sendiri mengatakan: “Waktu kulihat Khawarij dihujani anak panah, mereka kelihatan seperti iring-iringan kambing yang ber­usaha menghalangi hujan dengan tanduk. Pasukan berkuda Imam Ali kemudian menikung dari arah kanan ke kiri. Imam Ali sendiri bersama sejumlah pasukan yang dipimpinnya melancarkan serang­an menerobos ke jantung pasukan Khawarij dengan pedang dan tombak. Demi Allah, kulihat belum sempat kaum Khawarij me­nyelesaikan serangan serentaknya, banyak sekali dari mereka yang sudah jatuh bergelimpangan.”

Masing-masing fihak bertempur mati-matian. Ketangguhan mental kaum Khawarij ternyata memang tinggi. Sungguhpun de­mikian tidak sanggup menangkis serangan pasukan Imam Ali r.a. Peperangan ini berakhir dengan kemenangan di fihak pasukan Imam Ali r.a. Kurang lebih pasukan Khawarij yang masih hidup se­banyak 400 orang. Semuanya dalam keadaan luka parah. Mereka itu orang-orang yang sangat keras dan berpendirian teguh. Sem­boyan “Menang atau Mati” sudah menjadi perhiasan mereka sehari-hari.

Imam Ali r.a. tidak sampai hati membiarkan mereka dalam keadaan luka parah dan tidak berdaya. Ia memerintahkan anggo­ta-anggota pasukannya, supaya semua mereka itu diserahkan ke­pada sanak famili atau handai tolannya, agar cepat memperoleh pengobatan dan perawatan. Semua yang ditinggalkan oleh kaum Khawarij diambil oleh pasukan Imam Ali r.a. Senjata-senjata dan hewan tunggangan dibagi-bagi, sedang barang-barang lain yang jelas dirampas oleh kaum Khawarij pada waktu lari dari Kufah, dikembalikan kepada para pemiliknya semula.

https://tausyah.wordpress.com

Sementara Imam Ali r.a. menanggulangi pemberontakan Khawarij di Nehrawan, Muawiyah meningkakan terus kekuatan­nya, mengkonsolidasi barisan serta mengokohkan kedudukannya. Mereka memperoleh waktu yang sangat cukup untuk memper­siapkan peperangan lebih lama lagi, berkat politik “tahkim” yang disusun oleh arsiteknya, Amr bin Al Ash.Sebaliknya, dengan muslihat “tahkim” itu, kekuatan Imam Ali r.a. sekarang menjadi berkurang. Ia ditinggalkan, bahkan dilawan oleh pengikut-pengikutnya sendiri, yang sudah memisah­kan diri sebagai kaum Khawarij. Dalam menumpas gerakan Kha­warij, Imam Ali r.a. telah kehilangan beberapa anggota pasukan yang cukup merugikan, walaupun berhasil mencapai kemenangan.

Crying-kidKe Bashrah

Untuk melaksanakan rencana kelompok Makkah, yaitu me­nuntut balas atas kematian Khalifah Utsman r.a. dan mengguling­kan Imam Ali r.a. dari kedudukannya sebagai Khalifah, Thal­hah, Zubair dan Sitti Aisyah r.a. berangkat ke Bashrah. Pada saat Sitti Aisyah r.a. hendak berangkat, orang-orang mencarikan seekor unta yang kuat guna mengangkut haudaj-nya[3] Ya’laa bin Ummayyah menyerahkan unta kepunyaannya yang sa­ngat besar, bernama “Askar”. Sitti Aisyah r.a. kagum sekali melihat unta itu. Akan tetapi ketika serati memanggil-manggil untanya dengan berulang-ulang menyebut “Askar”, ia mundur dan berkata kepada serati unta itu: “Kembalikan dia. Aku tidak membutuhkan unta itu!” Sewaktu ditanya apakah sebabnya Ummul Mukminin me­nyuruh unta “Askar” dikembalikan, Sitti Aisyah r.a. menja­wab, bahwa Rasul Allah s.a.w. pernah menyebut-nyebut na­ma unta itu dan ia dilarang mengendarainya.

Ummul Mukmi­nin minta dicarikan unta lain. Orang tak berhasil mencarikan unta seperti “Askar”. Agar jangan diketahui oleh Ummul Muk­minin, bahwa unta yang akan dikendarainya adalah tetap unta “Askar”, maka jilal-nya[4] “Askar” diganti dengan jilal lain, tanpa sepengetahuan Sitti Aisyah r.a.

Ummul Mukminin merasa puas dengan unta yang dikatakan bukan “Askar” itu. Sementara itu Al-Asytar dari Madinah mengirim sepucuk surat kepada Sitti A.isyah r.a. Tulis Al-Asytar: “Ibu adalah isteri Rasul A.llah s.a.w. Beliau telah memerintahkan Ibu supaya tetap tinggal di rumah. Jika Ibu menuruti perintah beliau, bagi Ibu itu lebih baik. Tetapi jika Ibu tetap tidak mau selain hendak meme­gang pentung, menanggalkan baju kerudung dan menampakkan ke­sucian diri di depan mata orang banyak, Ibu akan kami perangi, sampai kami dapat memulangkan Ibu kembali ke rumah, tempat yang sudah diridhoi Allah bagi Ibu.”

Sebagai jawaban atas surat Al-Asytar itu, Sitti Aisyah r.a. menulis: “Engkau adalah orang Arab pertama yang melancar­kan fitnah, menganjurkan perpecahan dan membelakangi para Imam, yakni para Khalifah. Engkau mengerti bahwa dirimu tidak akan dapat melemahkan Allah. Engkau akan menerima pem­balasan dari Allah atas perbuatanmu yang dzalim terhadap seorang Khalifah, yakni Utsman bin Affan. Suratmu sudah kuterima dan aku sudah memahami apa yang ada di dalamnya. Allah sajalah yang akan melindungi diriku dari perbuatanmu. Akan lumpuhlah semua orang yang sesat dan durhaka seperti engkau itu, insyaa Allah!”

Waktu perjalanan Sitti Aisyah r.a. sampai di Hau’ab, yaitu tempat sumber air kepunyaan Bani Amir Sha’sha’ah, ia digonggong banyak anjing, sampai unta yang dikendarainya lari kencang sukar dikendalikan. Waktu itu terdengarlah suara orang berteriak: “Hai, tahukah kalian, betapa banyaknya anjing di Hau’ab ini dan alang­kah keras gonggongannya!” Mendengar teriakan itu, Sitti Aisyah r.a. menarik tali kekang sekeras-kerasnya sambil berteriak kuat: “Itu anjing-anjing Hau’ab! Kembalikan aku! Aku mendengar sendiri Rasul Allah pernah me­ngatakan…,” ia menyebut apa yang pernah dikatakan oleh Ra­sul Allah s.a.w. kepadanya.

Saat itu Sitti Aisyah mendengar suara orang lain mengatakan: “Pelan-pelan! Kita sudah melewati Hau’ab!” “Apakah ada saksi yang membenarkan perkataanmu?” tanya Sitti Aisyah r.a. mengejar suara tadi. Kemudian beberapa orang Badui yang menjadi pengawal me­neriakkan sumpah, bahwa benar-benar tempat itu sudah bukan Hau’ab lagi. Oleh karena itu Sitti Aisyah r.a. lalu melanjutkan perjalanan. Ketika Sitti Aisyah r.a. tiba di Harf Abi Musa, dekat Bash­rah, penguasa daerah Bashrah yang diangkat oleh Khalifah Imam Ali r.a., bernama Utsman bin Hanif, mengirim Abul Aswad Ad Du­aliy guna menemui rombongan.

Abul Aswad bertemu dengan Sitti Aisyah r.a. dan menanyakan maksud perjalanannya. Kepada Abul Aswad, Sitti Aisyah r.a. menjelaskan, bahwa ia datang untuk menuntut balas atas kematian Khalifah Utsman bin Affan. Menanggapi keterangan Sitti Aisyah r.a. itu, Abul Aswad mengatakan, bahwa di Bashrah tidak ada seorang pun yang ikut ambil bagian dalam peristiwa pembunuhan Utsman bin Affan.

Engkau benar, kata Sitti Aisyah r.a. menukas. Tetapi ada orang-orang yang bersama-sama Ali bin Abi Thalib di Madinah. Aku datang untuk mengerahkan penduduk Bashrah supaya bang­kit memerangi dia. Kalau kami bisa marah karena kalian dicambuk oleh Utsman, mengapa kami tak bisa marah terhadap mereka yang mengangkat pedang terhadap Utsman? Menjawab pernyataan Sitti Aisyah r.a. tadi, Abul Aswad berkata: Ibu adalah wanita pingitan Rasul Allah s.a.w. Beliau memerintahkan Ibu supaya tetap tinggal di rumah dan mem­baca Kitab Allah. Tidak ada kewajiban perang bagi wanita. Wanita juga tidak layak menuntut balas atas terbunuhnya seseorang. Bagi Utsman, Ali sebenarnya lebih baik dari pada Ibu. Ia lebih dekat hubungan silaturahminya, karena dua-duanya sama-sama putera keturunan Abdi Manaf. Sitti Aisyah r.a. tak memperdulikan kata-kata Abul Aswad itu.

Ia tetap menyatakan kebulatan tekadnya: Aku tidak akan pergi sebelum melaksanakan maksudku. Hai Abul Aswad, tanya Sitti Aisyah r.a., apakah engkau mengira akan ada orang di Bash­rah ini yang hendak memerangi aku? Demi Allah, kata Abul Aswad, perang yang hendak Ibu ce­tuskan itu akan sangat hebat. Waktu Abul Aswad beranjak hendak meninggalkan tempat, datanglah Zubair bin Al-‘Awwam. Kepadanya Abul Aswad berkata: “Hai Abu Abdullah –nama panggilan Zubair– banyak orang yang menyaksikan, waktu Abu Bakar dahulu dibai’at sebagai Khalifah engkau mengangkat pedangmu sambil berkata: “Tidak ada orang yang lebih afdhal untuk memegang kepempimpinan ummat selain Ali bin Abi Thalib. Bagaimana keadaanmu sekarang dengan pernyataanmu itu?” “Datanglah engkau menemui Thalhah dan dengarkan sendiri apa yang dikatakan olehnya!” kata Zubair, menanggapi perta­nyaan Abul Aswad tadi. Abul Aswad terus pergi menemui Thalhah.

Dari dialog yang berlangsung antara dia dengan Thalhah, Abul Aswad mengetahui, bahwa Thalhah sudah bertekad bulat melancarkan pemberontakan bersenjata. Waktu Sitti Aisyah r.a. mendengar, bahwa pasukan Imam Ali r.a. sudah tiba dekat Bashrah, dari jurusan lain, ia segera menulis surat kepada Zaid bin Shuhan Al-Abdiy: “Dari Aisyah binti Abu Bakar Ash Shiddiq, isteri Nabi s.a.w., kepada ananda yang setia Zaid bin Shuhan. Hendaknya engkau tetap tinggal di rumah. Ce­gahlah orang-orang jangan sampai membantu Ali. Kuharap dapat segera menerima kabar tentang yang kuinginkan darimu. Bagiku, engkau adalah seorang kerabat yang paling dapat dipercaya. Wassalam.”

Menjawab surat Sitti Aisyah r.a. di atas, Zaid bin Shuhan menulis: “Dari Zaid bin Shuhan kepada Aisyah binti Abu Bakar. Sesungguhnya Allah telah memberi perintah kepada Ibu dan kepa­daku. Ibu diperintahkan supaya tetap tinggal di rumah, dan aku diperintahkan supaya berjuang. Surat Ibu sudah kuterima. Ibu me­merintahkan supaya aku menjalankan sesuatu yang berlainan dari pada apa yang diperintahkan Allah kepadaku. Aku akan berbuat se­perti apa yang diperintahkan Allah kepadaku dan hendaknya Ibu pun berbuat seperti yang diperintahkan Allah kepada Ibu. Perintah Ibu tidak dapat kupatuhi, dan surat Ibu tidak akan terja­wab lagi. Wassalam.”

Menurut Abu Bikrah, ketika Asy Syi’biy menceritakan pengalamannya dalam perang “Jamal” (Unta) mengatakan, bahwa waktu Thalhah dan Zubair datang menjumpai Sitti Aisyah, ku­lihat semua perintah dan larangan berada di tangannya. Waktu itu aku segera teringat kepada sebuah hadits yang kudengar berasal dari Rasul Allah s.a.w. yang mengatakan: “Sesuatu kaum tidak akan berhasil jika urusannya dipimpin oleh seorang wanita.”[5] Teringat itu aku cepat-cepat menjauhkan diri. Dalam pepe­rangan tersebut, unta yang bernama “Askar” (yang dikendarai Siti Aisyah r.a.) merupakan lambang satu-satunya bagi pasukan Thal­hah.

Waktu pasukan Thalhah dan pasukan Imam Ali r.a. masing-­masing telah siaga untuk bertempur, Sitti Aisyah r.a. mengucapkan pidato. Pidatonya juga ditujukan kepada pengikut-pengikut Imam Ali r.a.: “…Kita telah bertekad hendak menuntut balas atas kematian Utsman melalui jalan kekerasan. Ia adalah seorang Ami­rul Mukminin, tempat bernaung dan tempat berlindung yang terbaik. Bukankah dulu kalian minta kepadanya supaya ia berse­dia memenuhi keinginan kalian? Hal itu sudah ia penuhi. Tetapi setelah kalian memandangnya sebagai orang yang suci bersih seperti baju yang baru dicuci, kemudian kalian memusuhinya. Lantas kalian berdosa dengan menumpahkan darahnya secara ha­ram. Demi Allah, ia adalah orang yang jauh lebih bersih dan lebih bertaqwa kepada Allah dibanding kalian…!”

Hampir dalam waktu yang bersamaan, Imam Ali r.a. selaku Amirul Mukminin, juga mengucapkan pidato, sambil memberi instruksi-instruksi: “…Janganlah kalian memerangi mereka sebelum mereka menyerang lebih dulu. Alhamdulillah, kalian ber­ada di atas hujjah (alasan) yang benar. Kalian harus berhenti me­merangi mereka jika mereka mengajukan hujjah lain kepada ka­lian. Tetapi jika kalian terpaksa harus berperang, janganlah kalian menganiaya orang-orang yang luka parah.

“Jika kalian berhasil mengalahkan mereka, janganlah kalian mengejar mereka dengan cara-cara yang licik. Janganlah membuka hal-hal yang memalukan mereka dan janganlah sampai mencin­cang orang yang sudah tewas.” “Jika kalian tiba di tempat pemukiman mereka, janganlah kalian melanggar kesopanan, janganlah kalian memasuki rumah, janganlah kalian mengambil hak milik mereka walau sedikit, jangan sekali-sekali menggelisahkan dan mengganggu wanita, wa­lau mereka itu mencaci-maki kalian atau mencerca pemimpin-­pemimpin dan orang-orang shaleh yang ada di tengah-tengah ka­lian. Sebab mereka itu adalah manusia-manusia yang lemah jas­mani, jiwa dan fikiran.

Kita semua telah diperintahkan Allah dan Rasul-Nya supaya membiarkan kaum wanita, sekalipun mereka itu orang-orang musyrik. Jika sampai ada lelaki yang memukul mereka dengan tongkat atau dengan pelepah kurma, lelaki itu sungguh amat tercela dan akan menerima hukuman di kemudian hari…” Sebelum salah satu fihak menyulut api peperangan, Ali bin Abi Thalib r.a. menulis sepucuk surat kepada Thalhah dan Zubair. Isinya sebagai berikut: “Kalian maklum bahwa aku tidak pernah minta dibai’at oleh mereka, tetapi mereka sendirilah yang membai’at diriku. Kalian berdua termasuk orang-orang yang memilih dan membai’a’t diriku. Orang tidak membai’at diriku untuk suatu kekuasaan is­timewa.

Jika kalian membai’atku karena terpaksa, aku mempu­nyai alasan untuk bertindak terhadap kalian, sebab kalian berpura-pura taat, tetapi sebenarnya menyembunyikan rasa per­musuhan. Namun jika kalian membai’atku benar-benar karena taat, hendaklah kalian segera kembali ke jalan Allah.” “Hai Zubair, engkau dahulu adalah seorang pasukan berkuda Rasul Allah s.a.w. dan pembela beliau. Dan engkau hai Thalhah, engkau adalah salah seorang kami-tua kaum Muhajirin. Seandai­nya dulu kalian tidak mau membai’atku, itu akan lebih mudah bagi kalian untuk keluar dari bai’at yang sudah kalian ikrarkan sendiri. “Kalian menuduh aku telah membunuh Utsman.

Padahal aku, kalian dan penduduk Madinah semua mengetahui apa yang sebenarnya telah terjadi. Kalian menuduh aku melindungi para pembunuh Utsman. Padahal anak-anak Utsman sendiri semua­nya menyatakan taat kepadaku dan mengadukan orang-orang yang membunuh ayah mereka kepadaku. Tetapi kalau ternyata Utsman memang mati terbunuh karena madzlum atau dzalim, misalnya, lantas kalian berdua mau apa?! Kalian berdua telah mengikrarkan bai’at kepadaku, tetapi sekarang kalian melakukan dua perbuatan yang amat tercela: menciderai bai’at kalian sendiri dan menghasut Ummul Mukminin hingga meninggalkan rumah.”

Sedang kepada Ummul Mukminin, Sitti Aisyah r.a., Imam Ali r.a. mengirim sepucuk surat. Isinya antara lain: “Bunda telah keluar meninggalkan rumah dengan perasaan marah demi Allah dan Rasul-Nya.

Bunda menuntut suatu perso­alan yang bukan menjadi urusan Bunda. Apa urusan kaum wanita dengan peperangan atau pertempuran? Bunda menuntut balas atas kematian Utsman, demi Allah, orang-orang yang menghadap­kan Bunda kepada marabahaya serta menghasut Bunda supaya berbuat pelanggaran, jauh lebih besar dosanya terhadap diri Bun­da dibanding dengan pembunuh-pembunuh Utsman bin Affan. Aku tidak marah jika Bunda tidak marah, dan aku tidak mem­buat kegoncangan jika Bunda tidak membuat kegoncangan. Ku­harap supaya Bunda tetap bertaqwa kepada Allah dan pulang kembali ke rumah Bunda.”

Sebagai jawaban terhadap surat Imam Ali r.a., Thalhah dan Zubair menulis: “Engkau telah menempuh jalan seperti yang kau tempuh sepeninggal Utsman sekarang ini; dan engkau tidak akan kembali lagi selama engkau merasa perlu menempuh jalan yang sedang kautempuh. Jalankanlah apa yang menjadi kemauanmu. Engkau tidak akan merasa puas selama kami belum taat, dan kami tidak akan taat kepadamu untuk selama-lamanya. Lakukanlah apa saja yang hendak kau perbuat.”

Sedangkan Ummul Mukminin, Sitti Aisyah r.a. hanya me­nulis jawaban singkat: “Persoalannya sudah jelas. Engkau tidak per­lu menyalahkan lagi. Wassalam.”

bersambung..

[1]Peristiwa fitnahan terhadap Sitti Aisyah r.a.

[2]Surah An-Nur: 11-19.

[3]Haudaj – semacam rumah-rumahan untuk berteduh yang dipasang di atas punggung unta.

[4]Jilal sama artinya dengan tijfaf. Yaitu perisai berupa pakaian unta da­lam peperangan, guna melindungi tubuhnya dari panah, tombak dsb.

[5]Menurut sumber lain, hadits itu berbunyi: “Sepeninggalku akan ada suatu kaum yang muncul dalam bentuk golongan dikepalai oleh se­orang wanita. Mereka tidak akan berhasil selama-lamanya.

https://tausyah.wordpress.com

TITI-islamic-scienceKampanye Keji Muawiyah

Menyadari kekuatannya sendiri, Muawiyah tidak gugup menerima surat perintah Amirul Mukminin. Selesai dibaca, de­ngan sengaja surat itu dibiarkan begitu saja. Utusan Imam Ali r.a. dibiarkan menunggu sampai tidak tentu batas waktunya. Tiga bulan kemudian barulah Muawiyah membalas surat Imam Ali r.a.

Seorang dari Bani ‘Absy diperintahkan berangkat membawa surat jawaban untuk Imam Ali r.a. di Madinah. Untuk memperli­hatkan sikapnya yang tidak mengakui Imam Ali r.a. sebagai Kha­lifah dan Amirul Mukminin, pada sampul surat jawaban itu ditu­lis: “Dari Muawiyah bin Abi Sufyan kepada Ali bin Abi Thalib.”

Sebelum utusan itu berangkat ke Madinah, Muawiyah ber­pesan agar setibanya di kota tujuan, sampul surat itu diperlihat­kan dulu kepada orang banyak, sebagai pemberitahuan bahwa ia tidak mengakui Imam Ali r.a. sebagai Amirul Mukminin.

Pesan Muawiyah itu dilaksanakan sebagaimana mestinya oleh orang dari Bani ‘Absy. Secara demonstratif sampul surat Muawiyah diperlihatkan kepada orang banyak. Semua orang ingin tahu apa yang terjadi akibat pembangkangan Muawiyah. Orang beramai-ramai mengikuti perjalanan kurir itu menuju ke tempat kediaman Imam Ali r.a. Mereka juga ingin tahu apa sesung­guhnya isi surat tersebut. Kedatangan kurir Muawiyah disambut dengan tenang oleh Imam Ali r.a. Setelah dibuka, ternyata dalam sampul itu hanya terdapat secarik kertas yang bertuliskan “Bis­millaahhir Rahamanir Rahim”.

“Apa maksud ini?” tanya Amirul Mukminin kepada kurir dengan heran. “Selain ini apakah ada berita lain?”

Setelah didesak beberapa kali, akhirnya kurir mengatakan, bahwa ia ingin memperoleh jaminan atas keamanan dan keselamatannya lebih dulu, sebelum memberikan keterangan. Permintaan itu dikabulkan oleh Amirul Mukminin.

Setelah itu barulah kurir menceritakan apa yang sedang terjadi di Syam. Katanya: “Penduduk Syam telah bersepakat hen­dak menuntut balas atas kematian Utsman bin Affan… Mereka te­lah mengeluarkan jubah Khalifah Utsman yang berlumuran darah dan jari isterinya, Na’ilah, yang terpotong pada saat berusaha me­nahan ayunan pedang. Semuanya itu dipertontonkan kepada penduduk Syam. Melihat kenyataan ini penduduk di sana menangisi kematian Khalifah Utsman sambil mengelilingi jubahnya.”

Dari keterangan kurir itu dapatlah ditarik kesimpulan, bahwa atas usaha Muawiyah, penduduk Syam sekarang telah menuduh Imam Ali r.a. sebagai pelaku makar terhadap Khalifah Utsman r.a. dan mereka tidak akan membiarkan peristiwa ter­bunuhnya Khalifah Utsman r.a.

Apa yang dikatakan kurir Muawiyah benar-benar membang­kitkan kemarahan semua orang yang hadir. Hanya karena ke­bijaksanaan Imam Ali r.a. saja kurir itu terjamin keselamatan­nya. Orang-orang Madinah sangat gusar mendengar fitnah yang dilancarkan Muawiyah terhadap Amirul Mukminin. Lebih-lebih mereka yang dulu memberontak terhadap Khalifah Utsman r.a.

Semua yang dilakukan Muawiyah di Damsyik merupakan muslihat politik yang dirajut bersama seorang penasehatnya yang terkenal kaya dengan tipu-daya: Amr bin Al-Ash. Sejak Imam Ali r.a. terbai’at sebagai Khalifah, dua sejoli itu telah bertekad hendak menempuh segala cara guna menggagalkan usaha Imam Ali r.a. memantapkan kedudukannya sebagai Amirul Mukminin. Sebab Muawiyah yakin benar, bahwa Imam Ali r.a. tidak akan memberi kesempatan sedikit pun kepadanya untuk terus berkuasa di daerah. Untuk mencapai tujuan itu diperlukan satu dalih yang dapat menjatuhkan martabat Imam Ali r.a.

Guna keperluan itu Muawiyah dengan sengaja menda­tangkan jubah Khalifah Utsman r.a. dan kepingan-kepingan jari Na’ilah dari Madinah ke Damsyik. Hanya sekedar untuk diperton­tonkan kepada khalayak ramai. Jubah Khalifah yang berlumuran darah itu digantungkan dalam masjid Damsyik, sebagai bukti kematian Khalifah yang sangat mengerikan. Sedangkan kepingan-ke­pingan jari Na’ilah, isteri Khalifah Utsman r.a., diletakkan de­kat jubah sebagai saksi bisu.

Bersamaan dengan itu dikampanyekan secara besar-besaran kepada penduduk, bahwa orang yang membunuh Khalifah Utsman r.a. bukan lain hanyalah Imam Ali r.a. sendiri! Muslihat politik yang dijalankan oleh Muawiyah dan Amr bin Al-Ash itu ternyata berhasil mengelabui fikiran penduduk yang tidak memahami seluk ­beluk politik. Dengan cepat Syam dilanda suasana anti Imam Ali r.a. Ini merupakan awal persiapan pemberontakan bersenjata yang tak lama lagi akan dicetuskan Muawiyah.

Untuk menanggulangi fitnah sekeji itu, Imam Ali r.a. segera mengambil langkah-langkah seperlunya. Ia segera mengumpulkan kaum Muhajirin dan Anshar. Diantara mereka itu hadir dua orang tokoh terkemuka yang sedang beroposisi, yaitu Thalhah bin Ubai­dillah dan Zubair bin Al-‘Awwam. Setelah menjelaskan kegiatan fitnah yang dilakukan Muawiyah di Syam, Imam Ali r.a. menge­mukakan gagasan untuk mencegah meluasnya fitnah yang berba­haya itu.

Gagasan yang dikemukakan Imam Ali r.a. ternyata mendapat sambutan dingin. Bahkan Thalhah dan Zubair, yang merupakan tokoh-tokoh terdini membai’at Imam Ali r.a., dengan alasan hendak berangkat umrah ke Makkah, menyatakan tak dapat memenuhi ajakan Imam Ali r.a.

Persiapan Thalhah & Zubair

Penolakan terselubung yang dikemukakan Thalhah dan Zu­bair ternyata mempunyai ekor yang panjang dan tambah merawan­kan kedudukan Imam Ali r.a. sebagai Amirul Mukminin.

Sejak terbai’atnya Imam Ali r.a. kini kota Makkah menjadi tempat berkumpulnya tokoh-tokoh yang terkena tindakan pe­nertiban Amirul Mukminin, terutama mereka yang berasal dari kalangan Bani Umayyah. Di antara mereka termasuk Marwan bin Al-Hakam yang cepat-cepat meninggalkan Madinah. Kini Thalhah dan Zubair berangkat pula ke Makkah.

Ketika itu, Sitti Aisyah r.a. juga berada di Makkah setelah menunaikan ibadah haji. Beberapa waktu sesudah terbunuhnya Khalifah Utsman ia mendengar desas-desus, bahwa Thalhah bin Ubaidillah terbai’at sebagai Khalifah pengganti Utsman r.a. Mendengar selentingan itu ia segera mengambil putusan untuk ce­pat-cepat kembali ke Madinah.Tetapi di tengah perjalanan, ia me­nerima kabar pasti, bahwa yang terbai’at sebagai Khalifah bukan­nya Thalhah, melainkan Ali bin Abi Thalib r.a. Begitu mendengar kepastian demikian; ia membatalkan rencana pulang ke Madinah. Ia kembali ke Makkah. Hatinya sangat masgul mendengar berita itu.

Sudah menjadi rahasia umum, bahwa sejak terjadinya peris­tiwa yang dalam sejarah dikenal dengan nama Haditsul ifk,[1] Sitti Aisyah sukar berbaik-baik kembali dengan Imam Ali r.a. Pe­ristiwa itu terjadi ketika Rasul Allah s.a.w. melancarkan ekspedisi terhadap kaum kafir dari Banu Musthaliq. Dalam ekspedisi itu beliau mengajak isterinya, Sitti Aisyah. Dalam perjalanan pulang ke Madinah, Sitti Aisyah ketinggalan dari rombongan, gara-gara mencari barang perhiasannya yang hilang di perjalanan.

Untunglah ketika itu ia dijumpai oleh Shafwan bin Mu’at­thal, yang berangkat pulang lebih belakangan. Bukan main terke­jutnya Shafwan melihat Ummul Mukminin seorang diri di tengah-tengah padang pasir. Isteri Rasul Allah s.a.w. itu dipersilakan naik ke atas unta, sedangkan Shafwan sendiri berjalan kaki sambil menuntun. Siang hari mereka berdua baru memasuki kota Madi­nah dengan disaksikan oleh orang banyak. Semuanya heran menga­pa Ummul Mukminin mengendarai unta seorang pemuda yang tampan itu.

Mengenai kejadian itu Rasul Allah s.a.w. pada mulanya tidak pernah berfikir lebih jauh. Akan tetapi secara diam-diam peristi­wa itu menjadi pembicaraan orang ramai dan menjadi buah bibir yang dibisik-bisikkan orang dalam tiap kesempatan. Sumber utama yang menyiarkan desas-desus tuduhan Sitti Aisyah berbuat serong ialah seorang munafik bernama Abdullah bin Ubaiy. Desas-desus itu akhirnya sampai ke telinga Rasul Allah s.a.w. Berita santer ten­tang hal itu sangat menggelisahkan hati beliau. Kemudian beliau minta pendapat para sahabat mengenai hal itu.

Konon Usamah bin Zaid sama sekali tidak dapat memperca­yai benarnya desas-desus itu. Sedang Imam Ali r.a. waktu itu me­ngatakan: Ya Rasul Allah, masih banyak wanita lain! Imam Ali r.a. mengucapkan kata-kata itu hanya sekedar untuk berusaha menenangkan perasaan Rasul Allah s.a.w. yang tampak gelisah.

Ucapan itulah yang kemudian menjadi sebab retaknya hu­bungan baik antara Sitti Aisyah dengan Imam Ali r.a. Ucapan tersebut oleh Sitti Aisyah r.a. dirasakan sangat menusuk hati, sedang Imam Ali r.a. sendiri selama itu tidak pernah berubah sikap terhadap Sitti Aisyah r.a. Ia senantiasa hormat kepada Ummul Mukminin. Lebih-lebih setelah peristiwa Ifk itu terselesaikan dengan tuntas berdasarkan turunnya firman Allah s.w.t. yang me­negaskan, bahwa Sitti Aisyah bersih dari perbuatan nista seperti yang dituduhkan orang.[2]

Gara-gara Haditsul Ifk itulah, Sitti Aisyah r.a. sangat kecewa mendengar Ali bin Abi Thalib r.a. dibai’at sebagai Khali­fah oleh penduduk Madinah. Setibanya di Makkah ia berniat hen­dak menentang pembai’atan Ali bin Abi Thalib r.a. Ia berkata: “Utsman mati terbunuh secara madzlum. Oleh karena itu adalah kewajiban kaum muslimin untuk menuntut balas atas kematian­nya.”

Menurut Ummul Mukminin itu, Khalifah pengganti Utsman r.a. harus dilakukan pembai’atannya dalam suasana tertib dan damai. Ini sama artinya dengan mengatakan, bahwa Imam Ali r.a. dipilih hanya oleh kaum pemberontak yang telah membunuh Khalifah.

Pendirian Sitti Aisyah ini lebih diperkuat lagi oleh keda­tangan Thalhah dan Zubair. Dua orang itu di Makkah mengadakan kampanye menentang pembai’atan Imam Ali r.a. Pada mulanya banyak orang bertanya-tanya tentang pendirian aneh kedua orang itu. Bukankah mereka telah menyatakan bai’atnya kepada Imam Ali r.a.? Tanda-tanya di hati orang-orang itu mereka jawab dengan mengatakan, bahwa bai’atnya dilakukan karena terpaksa. Dipaksa oleh kekuatan bersenjata kaum pemberontak.

Bagaimana pun juga kini di Makkah telah tersusun kekuatan penentang Imam Ali r.a. Kekuatan ini makin hari makin bertam­bah. Mereka bertekad hendak memaksa Imam Ali r.a. melepas­kan kekhalifahannya. Dengan bantuan bekas-bekas pejabat yang terkena penggeseran dan penertiban; dengan dukungan orang-­orang Qureiys yang masih menyimpan rasa sakit hati; di perkuat la­gi oleh kehadiran Ummul Mukminin, sekarang Thalhah dan Zubair berhasil mengorganisasi pasukan bersenjata kurang lebih berke­kuatan 3.000 orang.

Kekuatan anti Imam Ali r.a. ini mempunyai tujuan ganda: menuntut balas atas kematian Khalifah Utsman r.a. dan menggu­lingkan Imam Ali r.a. dari kedudukannya sebagai Amirul Muk­minin. Mereka berpendirian, setelah dua tujuan itu tercapai baru­lah diadakan pemilihan Khalifah baru dalam suasana bebas dari tekanan dan paksaan.

Dua tantangan besar yang sedang dihadapi Imam Ali r.a. mewarnai kehidupan kaum muslimin pada tahun empat-puluhan Hijriyah. Damsyik dan Makkah menuduh Imam Ali r.a. sebagai orang yang setidak-tidaknya ikut bertanggungjawab atas terbu­nuhnya Khalifah Utsman r.a. Dalam periode itu praktis ummat Islam terpecah dalam tiga kelompok besar:

1. Kelompok Madinah di bawah pimpinan Imam Ali r.a.

2. Kelompok Damsyik di bawah pimpinan Muawiyah bin Abi Sufyan.

3. Kelompok Makkah di bawah pimpinan trio Thalhah, Zubair dan Sitti Aisyah r.a.

Masing-masing kelompok ditunjang oleh kekuatan bersen­jata yang cukup tangguh dan berpengalaman.

Untuk pertama kalinya dalam sejarah Islam, terjadi satu krisis politik sangat gawat yang mengarah kepada peperangan besar antara sesama kaum muslimin. Inilah gejala nyata dari apa yang pernah dikemukakan Rasul Allah s.a.w. semasa hidupnya, bahwa pada satu ketika akan terjadi fitnah besar di kalangan um­matnya, laksana datangnya malam gelap-gulita yang berlangsung dari awal sampai akhir.

Dalam menghadapi kelompok Madinah, tampaknya seakan-­akan kelompok Damsyik berdiri di belakang kelompok Makkah. Mengenai hal ini kitab Ali wa’Ashruhu, halaman 970-971, mengemukakan sebuah fakta sejarah. Fakta itu berupa sepucuk surat Muawiyah yang dikirimkan kepada Zubair melalui seorang dari Bani ‘Amir. Dalam surat itu Muawiyah antara lain menulis:

“Bismillaahir Rahmanir Rahim. Kepada hamba Allah Zubair Amirul Mukminin, dari Muawiyah bin Abi Sufyan. Salamun’ alaika, ammaa ba’ du: penduduk Syam telah kuajak bersama-sama membait’at anda. Mereka menyambut baik dan semuanya taat. Begitu taatnya seperti ternak. Sekarang hanya tinggal Kufah dan Bashrah saja yang belum anda dapatkan. Hendaknya anda jangan sampai kedahuluan Ali bin Abi Thalib. Sesudah kedua kota itu berada di tangan anda, Ali tidak akan mempunyai apa-apa lagi. Aku juga sudah membai’at Thalhah bin Ubaidillah sebagai peng­ganti anda di kemudian hari. Oleh karena itu hendaknya kalian supaya terang-terangan menuntut balas atas kematian Khalifah Utsman, dan kerahkanlah semua orang ke arah itu. Kalian supaya sungguh-sungguh giat dan cepat bergerak. Allah akan memenang­kan kalian dan tidak akan membantu musuh-musuh kalian.”

Surat tersebut oleh Zubair diperlihatkan kepada Thalhah, bahkan dengan dibacakan sekaligus. Tanpa disadari dua orang itu sudah masuk perangkap Muawiyah. Dengan siasat itu Muawiyah hendak melemahkan posisi Imam Ali r.a. dan menghabiskan ke­kuatan orang-orang lain yang mengincar kursi kekhalifahan.

bersambung..

Disadur dari buku :

Sejarah Hidup Imam Ali bin Abi Thalib r.a.
Oleh H.M.H. Al Hamid Al Husaini
Penerbit: Lembaga Penyelidikan Islam

https://tausyah.wordpress.com

Tausiyah In Tilawatun Islamiyah - Islamic LightBenih Perang Saudara

Tidak berapa lama sesudah Imam Ali r.a. mengucapkan amanatnya yang pertama, muncullah persoalan baru. Waktu itu hanyak orang sedang berkerumun untuk menerima pembagian harta ghanimah dari Baitul Mal.

Kepada seorang jurutulis, Ubaidillah bin Abi Rafi’, Amirul Mukminin memerintahkan supaya pembagian dimulai dari kaum Muhajirin, dengan masing-masing diberi 3 dinar. Kemudian menyusul kaum Anshar. Semuanya mendapat jumlah yang sama, yaitu 3 dinar.

Waktu itu, seorang bernama Sahl bin Hanif bertanya: apakah dua budaknya yang baru dimerdekakan hari itu, juga akan menerima jumlah yang sama? Dengan tegas Imam Ali r.a. mengatakan, bahwa semua orang menerima hak yang sama yaitu 3 dinar.

Ketika pembagian ghanimah berlangsung, beberapa orang tokoh penting tidak hadir. Di antara yang tidak hadir itu ialah Thalhah bin Ubaidillah, Zubair bin Al-‘Awwam, Abdullah bin Umar, Said bin Al-Ash.

Perobahan Drastis

Beberapa waktu setelah pembagian ghanimah dilaksanakan, timbullah ketegangan antara Imam Ali r.a. dengan sekelompok orang-orang Qureiys. Peristiwanya terjadi di masjid Madinah, sehabis shalat subuh. Selesai mengimami shalat, Amirul Mukminin duduk seorang diri. Kemudian ia didekati oleh Al-Walid bin Uqbah bin Abi Mu’aith.

Atas nama teman-temannya (termasuk yang tidak hadir pada saat pembagian ghanimah) ia mengatakan kepada Imam Ali: “Ya Abal Hasan (nama panggilan Imam Ali ra.), hati kami semua sudah pernah anda sakiti. Tentang aku sendiri, ayahku telah anda tewaskan dalam perang Badr, tetapi aku tetap dapat bersabar. Lalu dalam peristiwa lain, anda tidak mau menolong saudaraku. Tentaug Sa’id, dalam perang Badr juga ayahnya telah anda tewaskan. Sedang mengenai Marwan, anda juga pernah menghina ayahnya di depan Khalifah Utsman bin Affan, yaitu ketika Marwan diangkat sebagai pembantunya.”

Setelah berhenti sejenak untuk mengubah gaya duduknya, Al-Walid melanjutkan: “Mereka itu semuanya adalah kaum kerabat anda sendiri dan di antara mereka itu bahkan terdapat beberapa orang terkemuka dari Bani Abdi Manaf. Sekarang kami telah membai’at anda, tetapi kami mengajukan syarat. Yaitu agar anda tetap memberikan kepada kami jumlah pembagian ghanimah yang selama ini sudah diberikan oleh Khalifah Utsman kepada kami.”

Setelah berfikir sejenak, Al-Walid meneruskan: “Selain itu, anda harus dapat menjatuhkan hukuman mati kepada orang yang telah membunuh Utsman bin Affan. Ketahuilah, jika kami ini merasa takut kepada anda, tentu anda sudah kami tinggalkan dan kami bergabung dengan Muawiyah di Syam.”

Kalimat yang terakhir ini jelas merupakan intimidasi politik yang dapat dikaitkan dengan rencana gelap Muawiyah bin Abi Sofyan di Syam.

Tanpa ragu-ragu Imam Ali r.a. secara terus terang menjawab intimidasi politik Al-Walid itu. Ia berkata: “Tentang tindakan-tindakan yang kalian sebut sebagai menyakiti hati kalian, sebenarnya kebenaran Allah-lah yang menyakiti hati kalian. Tentang jumlah pembagian harta yang selama ini kalian terima dari Khalifah Utsman, kutegaskan, bahwa aku tidak akan mengurangi atau menambah hak yang telah ditetapkan Allah bagi kalian dan bagi orang-orang lain. Adapun mengenai keinginan kalian supaya aku menjatuhkan hukuman mati kepada orang yang membunuh Utsman, jika aku memang wajib membunuhnya, tentu sudah kubunuh sejak kemarin-kemarin. Jika kalian takut kepadaku, akulah yang akan menjamin keselamatan kalian. Tetapi jika aku yang takut kepada kalian, kalian akan kusuruh pergi!”

Mendengar jawaban Imam Ali r.a. yang begitu tegas, Al-Walid beranjak meninggalkan tempat, kemudian mendekati teman-temannya yang sedang bergerombol di sudut lain dalam masjid. Kepada mereka Al-Walid menyampaikan apa yang baru didengarnya sendiri dari Amirul Mukminin. Tampaknya mereka tidak mempunyai persamaan pendapat tentang bagaimana cara menunjukkan sikap menentang Imam Ali r.a. dan bagaimana cara menyebarkan rasa permusuhan terhadapnya.

Perbedaan pendapat di antara kelompok Al-Walid itu didengar oleh Ammar bin Yasir, yang kemudian segera menyampaikannya kepada teman-temannya. Ammar mengajak beberapa orang temannya untuk menentukan tindakan sendiri terhadap kelompok Al-Wa¬lid, guna membuktikan kesetiaannya kepada Imam Ali r.a. Akan tetapi setelah dipertimbangkan masak-masak, akhirnya mereka berpendapat lebih baik melaporkan kejadian itu kepada Amirul Mukminin.

Bersama-sama dengan Abul Haitsam, Abu Ayub bin Hanif dan beberapa orang lainnya lagi, Ammar bin Yasir mendatangi Imam Ali r.a. Setelah melaporkan apa yang didengarnya, ia mendorong agar Imam Ali r.a. cepat bertindak untuk memperkokoh kepemimpinannya. Kata Ammar kepada Imam Ali r.a.

“Marahilah kaum anda itu. Mereka itu ialah orang-orang Qureiys yang telah menciderai janji setia kepada anda. Secara diam-diam mereka membisikkan supaya kami melawan anda. Mereka tidak menyukai anda, hanya karena anda menjalankan kebijaksanaan sesuai dengan tauladan yang telah diberikan Rasul Allah s.a.w. Mereka merasa kehilangan sesuatu yang selama ini dirasakan enak dan menguntungkan mereka. Pada saat anda memperlakukan mereka sama dengan orang-orang lain, mereka menentang. Kemudian mereka mengadakan hubungan-hubungan dengan musuh-musuhmu dan memuji-mujinya. Secara terang-terangan mereka telah mengambil sikap yang berlainan dengan orang banyak. Mereka ikut-ikut menuntut balas atas kematian Utsman bin Affan. Mereka bersekongkol dengan orang-orang sesat. Sekarang bagaimana sikap anda?”

Mendengar apa yang dikatakan Ammar dan kawan-kawannya, Imam Ali r.a. langsung keluar menuju masjid. Dengan menyandang pedang dan bertongkat busur, ia naik ke mimbar menghadapi orang banyak yang sedang berkumpul. Setelah mengucap syukur atas nikmat yang dilimpahkan Allah s.w.t., Amirul Mukminin memperingatkan kepada semua yang hadir, bahwa nikmat yang diterima oleh manusia dari Al Khalik sekaligus juga merupakan ujian: apakah kita bersyukur atau berkufur.

Barang siapa bersyukur, kata Imam Ali r.a., akan memperoleh tambahan nikmat lebih banyak lagi. Sedang siapa yang berkufur, ia pasti akan mendapat siksa berat. Orang yang paling mulia di sisi Allah dan yang terdekat hubungannya dengan Dia, ialah orang yang paling taqwa dan patuh kepada perintah dan larangan-Nya, yang paling setia kepada-Nya, yang paling ikhlas mengikuti Sunnah Rasul-Nya dan yang paling teguh melaksanakan Kitab-Nya.

Di antara kita, kata Imam Ali r.a. seterusnya, tidak ada orang yang memperoleh kelebihan dan keutamaan, kecuali mereka yang paling taat kepada Allah dan Rasul-Nya.

Untuk memperkuat kata-katanya itu Imam Ali r.a. memperingatkan hadirin kepada bunyi Surah Al-Hujurat ayat 13, yang artinya: “Hai manusia, sesungguhnya kami menciptakan kamu dari seorang pria dan seorang wanita, kemudian menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku agar kamu saling kenal mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah, ialah orang yang paling bertaqwa di antara kamu.”

Selanjutnya dengan nada keras Amirul Mukminin memperingatkan kelompok-kelompok kaum Muhajirin dan Anshar yang sudah tergiur oleh harta kekayaan dan kesenangan-kesenangan duniawi lainnya. Ia menegaskan, bahwa masalah pembagian harta ghanimah, kepada seorang tidak akan diberikan lebih banyak dari yang lain. Dikatakannya juga: “Allah telah mengizinkan harta tersebut dibagi-bagi. Harta itu adalah milik Allah, sedang kalian adalah hamba-hamba-Nya yang berserah diri kepada-Nya.”

Seusai menjelaskan prinsip kebijaksanaannya, Amirul Mukminin memerintahkan Ammar bin Yasir dan Abdurrahrnan bin Hazal Al-Qureysiy supaya memanggil Thalhah dan Zubair yang waktu itu duduk agak jauh. Sambil memandang tajam kepada kedua orang tersebut, setelah berada dekatnya, Imam Ali r.a. berkata: “Katakan terus terang, bukankah kalian telah membai’atku dan berjanji setia kepadaku? Bukankah kalian telah minta kepadaku agar aku bersedia dibai’at, padahal waktu itu aku sen¬diri tidak berminat?

“Ya, benar,” jawab kedua orang itu.

“Benarkah waktu itu kalian tidak dipaksa oleh siapa pun? Bukankah dengan pernyataan bai’at kalian itu, kalian telah menyatakan janji setia dan taat kepadaku?” tanya Imam Ali r.a. lagi.

“Ya, benar,” jawab kedua orang itu pula.

“Lantas, sesudah semuanya itu apakah yang membuat kalian sampai bersikap seperti yang kuketahui itu?” tanya Imam Ali r.a. lagi untuk mendapat jawaban pasti.

“Kami membai’atmu dengan syarat,” jawab kedua orang itu. “Bahwa anda tidak akan mengambil keputusan atau tindakan tanpa persetujuan kami, dan anda akan selalu mengajak kami bermusyawarah, serta tidak akan memaksakan sesuatu kepada kami. Sebab sebagaimana anda ketahui, kami ini mempunyai kelebihan dibanding dengan orang lain. Tetapi anda melaksanakan pembagian harta ghanimah berdasarkan keputusan sendiri tanpa bermusyawarah dan tanpa sepengetahuan kami.”

“Kalian sebenarnya dendam karena soal yang amat kecil dan mengharapkan sesuatu yang sangat besar,” kata Amirul Mukminin sambil menekan perasaan, menanggapi jawaban Thalhah dan Zubair tadi. “Mohonlah pengampunan kepada Allah, Dia akan mengam¬puni kalian! Bukankah dengan ucapan itu kalian bermaksud hendak mengatakan, bahwa aku ini telah menghapus hak kalian dan aku berlaku dzalim terhadap kalian mengenai hal itu? Apakah aku meremehkan atau menutup muka terhadap hukum atau terhadap sesuatu yang sudah menjadi hak kaum muslimin?”

“Na’udzubillah,” sela Thalhah dan Zubair.

“Lantas, apa sebab kalian tidak menyukai perintahku dan mempunyai pendirian lain?” tanya Imam Ali r.a. pula sebelum meneruskan penjelasannya.

“Kami tidak sependapat dengan anda,” ujar kedua orang itu, “karena anda tidak melaksanakan pembagian seperti yang telah dilakukan oleh Utsman bin Affan.Hak kami anda samakan saja dengan hak orang lain. Kami ini anda sama-ratakan dengan orang¬orang yang tidak seperti kami, sedang kami ini adalah orang-orang yang sudah berjuang dengan pedang, tombak dan senjata-senjata lainnya. Kami telah berjuang sampai da’wah risalah berhasil ditegakkan dan dimenangkan. Kami telah berhasil pula menundukkan mereka yang tidak menyukai Islam…”

Demikian tangkisan dua orang itu, terhadap desakan pertanyaan bertubi-tubi yang diajukan Imam Ali r.a. Dengan tidak menanggapi secara langsung pembicaraan tentang jasa-jasa mereka, Imam Ali r.a. berkata lebih jauh:

“Setelah kepemimpinan itu kuterima, aku selalu berpegang dan tidak pernah berpaling dari Kitab Allah dan Sunnah Rasul-Nya. Kujalankan dan kuikuti apa saja yang ditunjukkan oleh kedua-duanya. Apa yang sudah ditunjukkan oleh Allah dan Rasul-Nya, aku tidak memerlukan pendapat kalian. Jika ada masalah hukum yang tidak kutemui penjelasannya, baik di dalam Kitab Allah maupun dalam Sunnah Rasul-Nya, dan hal itu memang perlu dimusyawarahkan, kalian tentu kuajak bermusyawarah.

“Tentang pembagian harta ghanimah secara merata, bukan aku yang mula-mula menetapkan hukumnya. Aku dan kalian berdua sama-sama menyaksikan bahwa Rasul Allah s.a.w. sendirilah yang menetapkannya. Kitab Allah juga menyebutkan hal itu, yaitu Kitab Suci yang tidak mengandung kebatilan sedikitpun, baik secara terang maupun samar.

“Adapun pernyataan kalian yang mengatakan kalian berhak menerima pembagian lebih banyak dari orang lain, karena kalian telah berjuang dengan pedang dan tombak, ketahuilah…, bahwa se¬belum kalian sudah ada orang-orang yang memeluk Islam lebih dahulu. Mereka pun berjuang membela Islam dengan pedang dan tombak. Walaupun demikian, Rasul Allah s.a.w. tidak memberi kepada mereka jumlah yang lebih banyak daripada orang lain. Rasul Allah s.a.w. tidak memberi keistimewaan kepada mereka hanya karena memeluk Islam lebih dini. Allah sendirilah pada hari kiyamat kelak akan melimpahkan pahala kepada mereka.”

Penjelasan Imam Ali r.a. yang dramatis itu didengarkan oleh semua yang berada di dalam masjid. Mengakhiri penjelasannya, Imam Ali r.a. berkata: “Kalian berdua dan juga orang lain, dari aku tidak akan memperoleh lebih dari yang sudah menjadi hak masing-masing. Semoga Allah s.w.t. berkenan membuka hatiku dan hati kalian untuk dapat menerima kebenaran. Semoga pula Ia melimpahkan kesabaran kepadaku dan kepada kalian. Allah akan memberikan rahmat-Nya kepada setiap orang yang setelah mengetahui kebenaran lalu bersedia membelanya, dan yang setelah mengetahui kedzaliman lalu bersedia menolaknya…”

Dialog tersebut kami kutip dari tulisan salah seorang tokoh kaum Mu’tazilah, Abu Ja’far Al-Iskafiy, yang berasal dari Bagdad. Dalam tanggapannya, Al-Iskafiy mengungkapkan, bahwa pembagian harta ghanimah yang dilakukan oleh Imam Ali r.a. itu sama seperti yang dahulu dilakukan oleh Khalifah Abu Bakar r.a. Al-Iskafiy bertanya: Mengapa Thalhah dan kawan-kawannya itu dulu tidak pernah menolak? Perbedaan apakah yang mereka tentang sekarang ini? Al-Iskafiy kemudian menjawab pertanyaan sendiri:

“Apa yang dulu dilakukan oleh Abu Bakar r.a. sepenuhnya sesuai dengan kebijaksanaan yang telah ditempuh oleh Rasul Allah s.a.w. semasa hidupnya. Tetapi pada masa Khalifah Umar Ibnul Khattab, ia melaksanakan pembagian yang berbeda. Yaitu memberi kepada segolongan orang lebih banyak daripada yang diberikan kepada golongan lain. Dengan demikian mereka yang menerima lebih banyak itu menjadi terbiasa dimanjakan, sampai lupa kepada cara pembagian sebelumnya.

“Masa pemerintahan Umar r.a. relatif lama, sehingga fikiran orang-orang itu cukup terpengaruh oleh kesenangan akan harta yang mendatangkan kenikmatan duniawi. Sementara itu orang lain yang menerima lebih sedikit, menjadi terbiasa pula menerima apa adanya. Tidak ada di antara dua golongan itu yang menduga bakal dikembalikannya sistim pembagian seperti yang dulu dilakukan oleh Rasul Allah s.a.w. dan Abu Bakar r.a. Pada masa pemerintahan Khalifah Utsman bin Affan, ia melaksanakan sistim pembagian sama seperti yang dilaksanakan Khalifah Umar. Oleh karena itu kaum muslimin bertambah yakin tentang benarnya sistim pembagian yang dilaksanakan oleh Umar dan Utsman r.a.

“Dengan mengembalikan sistim pembagian seperti yang berlaku pada masa Rasul Allah s.a.w. dan Abu Bakar, sama artinya Imam Ali telah menghapuskan sistim pembagian yang dilakukan Khalifah Umar dan Khalifah Utsman. Sebagaimanan diketahui, kurun waktu yang memisahkan antara kekhalifahan Abu Bakar dan kekhalifahan Ali bin Abi Thalib ialah 22 tahun. Jadi hampir satu generasi! Itulah sebabnya mengapa perubahan drastis yang dilakukan oleh Imam Ali r.a. sangat menyentak hati mereka yang sudah terbiasa menerima pembagian lebih banyak selama 22 tahun.”

Masalah pembagian harta ghanimah tersebut, ternyata telah mencuramkan jurang pertentangan antara Imam Ali r.a. di satu fihak dengan Thalhah Zubair dan kawan-kawannya di fihak lain. Perselisihan mengenai hal itu kemudian berkembang menjadi pertentangan politik, sehingga meningkat sedemikian rupa tajamnya, sampai membahayakan keutuhan persatuan ummat Islam. Terutama setelah perselisihan itu ditunggangi oleh Muawiyah bin Abu Sufvan dari Syam, yang berhasil mengalihkan persoalan dari masalah sistim pembagian harta ghanimah, menjadi menuntut balas atas kematian Khalifah Utsman r.a.

Pertentangan terbuka

Kehidupan kenegaraan dan tata kemasyarakatan yang ditingalkan Khalifah Utsman bin Affan r.a. memang berada dalam situasi dan kondisi yang tidak menguntungkan Imam Ali r.a. sebagai Khalifah. Sejak sebelum dibai’at Imam Ali r.a. sudah membayangkan adanya kesulitan-kesulitan besar yang bakal dihadapi. Berbagai macam problema sosial, politik dan ekonomi ternyata muncul dalam waktu yang bersamaan.

Langkah pertama untuk membenahi keadaan yang serba tak mantap, tentu saja memulihkan ketertiban, khususnya di ibukota, Madinah. Ribuan kaum pemberontak yang bertebaran di ibukota berhasil dihimbau dan dijinakkan sampai mereka berhasil dipulihkan kembali ke dalam kehidupan normal. Bagi Imam Ali r.a. tidak ada kemungkinan untuk bertindak terhadap ribuan kaum pemberontak yang telah mengakibatkan terbunuhnya Khalifah Utsman r.a. Bertindak terhadap mereka, berarti menyulut api perang saudara.

Bagi Imam Ali r.a. memang tidak ada pilihan lain yang lebih baik. Daripada bermusuhan dengan kaum muslimin yang menuntut terlaksananya kebenaran dan keadilan, lebih baik berhadap hadapan dengan tokoh-tokoh Bani Umayyah, betapa pun besarnya resiko yang akan dipikul.

Dan ternyata, tidak bertindaknya Imam Ali r.a. terhadap kaum mulimin yang memberontak terhadap Khalifah Utsman r.a., dijadikan alasan dan dalih oleh lawan-lawan politiknya untuk menggerakan kekuatan oposisi dan perlawanan. Kemungkinan itu pun telah diperhitungkan oleh Imam Ali r.a.

Ada lagi tindakan dan langkah Imam Ali r.a: yang sangat menjengkelkan lawan-lawan politiknya. Yaitu tindakan menertibkan aparatur pemerintahan. Penguasa-penguasa daerah yang selama 6 tahun terakhir masa pemerintahan Khalifah Utsman r.a. terbukti telah menyalah-gunakan wewenang untuk kepentingan pribadi dan golongan, digeser seorang demi seorang. Banyak pejabat tinggi yang tidak dipakai lagi. Di antara mereka ialah Marwan bin Al Hakam, seorang pembantu Khalifah Utsman r.a. yang sangat dominan kekuasaannya, yang kemudian lari meninggalkan Madinah. Juga Abdullah bin Abi Sarah digeser dari kedudukkannya sebagai penguasa daerah Mesir. Imam Ali r.a. juga berniat hendak mengganti penguasa daerah Syam yang berpengaruh itu, Muawiyah bin Abi Sufyan.

Sebelum bertindak melaksanakan penertiban, Imam Ali r.a. telah mengadakan pertukaran pendapat dengan para pemuka kaum Muhajirin dan Anshar. Ia yakin, bahwa hanya dengan aparatur yang bersih dan sepenuhnya mengabdi kepentingan agama dan ummat saja, pemerintahnya akan dapat berjalan dengan lancar dan kebenaran serta keadilan dapat ditegakkan. Imam Ali r.a. tidak tanggung-tanggung dalam bertindak menjalankan penertiban. Siapa saja yang terbukti tidak mengabdikan amalnya kepada agama Allah dan ummat Islam, digeser tanpa tawar-menawar. Satu persatu tokoh-tokoh yang tidak atau kurang jujur tersingkir tanpa diberi kesempatan sedikit pun untuk membela diri.

Tetapi ada seorang tokoh dan pejabat teras yang pantang menyerah. Ia adalah Muawiyah bin Abi Sufyan, yang dalam waktu relatif panjang menjadi seorang penguasa di daerah Syam. Ia bukan hanya membangkang, bahkan menentang kekhalifahan Imam Ali r.a. secara terang-terangan.

Sejak mendengar Imam Ali r.a. terbai’at sebagai Amirul Mukminin, Muawiyah telah memasang kuda-kuda untuk menjegal kepemimpinan Imam Ali r.a. Apa yang disiapkan oleh Muawiyah bukannya tidak dimengerti oleh Amirul Mukminin, dan justru itulah motivasinya hendak menggeser Muawiyah.

Banyak sahabat Imam Ali r.a. yang mengemukakan kekhawatiran bila Imam Ali r.a. melaksanakan niatnya. Mereka menasehatkan agar Imam Ali r.a. tidak cepat-cepat mengambil tindakan terhadap Muawiyah. Mereka mengatakan: “Kami yakin Muawiyah tidak akan tinggal diam bila dia disingkirkan dari kedudukannya. Sebaliknya, ada kemungkinan ia merasa cukup puas jika sementara dibiarkan memegang jabatan itu.”

Tetapi Imam Ali r.a. sebagai seorang pemimpin yang selalu bersikap prinsipal, tak mau mundur sejengkal pun. Ia menegaskan pendiriannya: “Aku tidak dapat lagi memakai Muawiyah, sekalipun hanya untuk dua hari! Aku tidak akan mempergunakannya dalam tugas apa pun juga. Bahkan ia tidak akan kuperbolehkan menghadiri peristiwa upacara penting. Ia juga tidak akan mendapat kedudukan dalam pasukan muslimin!”

Pendirian Imam Ali r.a. sudah tidak dapat ditawar lagi, Keputusan diambil: mengganti Muawiyah dengan Sahl bin Hunaif, seorang dari kaum Anshar.

Tindakan yang diambil Imam Ali r.a. ini mengawali pertentangan terbuka dengan Muawiyah bin Abi Sufyan. Pada waktu Sahl bin Hunaif tiba di Damsyik, Muawiyah secara terang-terangan menolaknya. Malahan ia berani memerintahkan agar Sahl cepat kembali ke Madinah. Peristiwa ini membuat para sahabat Imam Ali r.a. bertambah khawatir.

Penolakan dan pembangkangan Muawiyah ternyata sama sekali tidak menggetarkan fikiran Imam Ali r.a. Ia berpegang teguh pada firman Allah yang menegaskan, bahwa tiap muslim wajib taat kepada Waliyyul Amri (pemegang kekuasaan) selama Waliyyul Amri tidak berlaku durhaka terhadap Allah dan Rasul-Nya. Bagi Imam Ali r.a., perintah Allah dan ajaran Rasul-Nya adalah di atas segala-galanya.

Untuk melaksanakan dan membela perintah Allah dan ajaran Rasul-Nya ia tidak menghitung untung rugi. Di saat banyak sekali orang yang merasa gelisah, ia tetap tenang menghadapi pembangkangan Muawiyah. Ia mengirim utusan ke Damsyik, membawa surat perintah, agar seterimanya surat itu Muawiyah datang ke Madinah untuk menyatakan bai’atnya kepada Amirul Mukminin.

bersambung..

Disadur dari buku :

Sejarah Hidup Imam Ali bin Abi Thalib r.a.
Oleh H.M.H. Al Hamid Al Husaini
Penerbit: Lembaga Penyelidikan Islam

https://tausyah.wordpress.com

Perang Ahzab (Kandhaq)

Perang ini menjadi abadi dan masyhur dalam sejarah Islam, antara lain karena diikuti dengan turunnya firman Allah s.w.t. sebagaimana tercantum dalam Al-Qur’an (Surah Al-Ahzab). Untuk pertama kalinya dalam usia yang masih muda, kaum mus­limin di Madinah dikepung oleh kurang lebih 10.000 orang pa­sukan musyrikin, yang terdiri dari berbagai suku dan qabilah. Pasukan itu diperkuat lagi oleh kaum Yahudi Banu Quraidhah, yang mengkhianati perjanjian perdamaian dengan Rasul Allah s.a.w. Mereka ini bergabung dengan pasukan musyrikin Qureiys yang membeludak dari Makkah guna mengepung kota Madinah.

Peperangan tersebut dinamakan juga perang Khandaq (Parit), karena untuk menanggulangi penyerbuan kaum musyrikin Qureiys atas usul dan prakarsa Salman Al Farisi, dengan persetujuan Rasul Allah s.a.w., kaum muslimin menggali parit-parit yang cukup lebar dan dalam di sekitar pinggiran kota Madinah

Di perang Khandaq ini keampuhan dan ketangkasan Imam Ali r.a. juga teruji dalam perang tanding melawan seorang pende­kar Qureiys yang terkenal ulung, yaitu ‘Amr bin Abdu Wudd Al’Amiri. ‘Amr seorang prajurit berkuda yang gesit dan lincah bermain pedang atau tombak. Dengan congkak dan sombong ‘Amr bin Abdu Wudd berani maju ke depan menyeberangi parit pertahanan kaum muslimin, lewat bagian yang agak dangkal dan sempit. Sambil membanggakan kebolehannya mengendalikan kuda, ia berteriak menantang: “Hai . . . Apakah tak seorang pun yang berani keluar untuk bertanding?”

Tantangan dari seorang jagoan yang garang itu tidak ditang­gapi oleh pasukan muslimin. Kaum muslimin banyak yang menge­nal siapa ‘Amr bin Abdu Wudd itu dan betapa tenar namanya se­bagai pendekar yang mahir berperang tanding.

Setelah melihat kenyataan tak ada seorang pun yang me­nanggapi tantangan ‘Amr, Imam Ali r.a. tidak tahan lagi menahan perasaan geramnya. Ia segera berdiri dan berkata kepada Rasul Allah s.a.w.: “Ya Rasul Allah, biarlah saya yang menandingi dia!”

Rasul Allah s.a.w. yang mengetahui benar ‘ Amr itu seorang pendekar yang kenyang makan “garam” perang tanding, ber­anggapan, bahwa ‘Amr bukanlah tandingan bagi saudara misannya yang baru berusia kurang dari 30 tahun. Karena itu maka beliau menyahut: “Duduk sajalah engkau, dia adalah ‘Amr!”

Karena tidak ada juga jawaban dari fihak muslimin, mak ‘Amr yang beringas itu berkoar lagi: “Mana itu sorga yang akan kalian masuki bila kalian mati terbunuh, hah?!”

Ejekan itu terasa seperti sembilu yang sangat mengiris-­iris hati kaum muslimin, tetapi mereka tetap diam. Dengan darah muda yang mendidih laksana lahar yang menyembur dari kepun­dan, Imam Ali r.a. tidak dapat lagi menahan gejolak hatinya men­dengar penghinaan yang sangat menyakitkan itu. Ia mendesak lagi kepada Rasul Allah s.a.w.: “Biarlah saya yang menghadapinya; ya Rasul Allah!”

Tetapi Rasul Allah s.a.w. kembali memerintahkan supaya Imam Ali r.a. duduk dan tenang, sebab yang akan dihadapinya bukan sembarang orang. Dengan perasaan yang sudah terbakar dan dengan nada gemas, Imam Ali r.a. berusaha meyakinkan Rasul Allah s.a.w. bahwa ia sanggup melawan dedengkot kaum musy­rikin itu: “Biar ‘Amr sekalipun ya Rasul Allah!”

Mengingat tekad Imam Ali r.a. yang begitu bulat, dan mengi­ngat pula perlu membangkitkan keberanian kaum muslimin, akhirnya Rasul Allah s.a.w. memberi izin dan restu kepada Imam Ali r.a. untuk tampil ke depan. Imam Ali r.a. dengan hangat menyambut persetujuan dan idzin Rasul Allah s.a.w. Ia segera me­loncat ke depan menyongsong tantangan seorang lawan yang bu­kan sembarangan. Dengan mengenakan baju besi dan menghunus pedangnya yang tersohor dengan nama “Dzul Fiqar”, Imam Ali r.a. maju dengan ayunan langkah yang tegap dan diiringi doa Ra­sul Allah s.a.w.: “Ya Allah, dia adalah saudaraku dan putera pamanku. Janganlah Kaubiarkan aku seorang diri tanpa dia. Se­sungguhnya Engkau tempat aku berserah diri yang sebaik-baiknya.”

Setelah berhadap-hadapan dengan ‘Amr, tanpa perasaan gen­tar sedikit pun Imam Ali r.a. bertanya kepada ‘Amr: “Hai ‘Amr, bukankah engkau pernah berjanji, bahwa engkau akan menerima ajakan seorang dari Qureiys untuk menempuh salah satu di an­tara dua jalan hidup?”

“Ya!” jawab ‘Amr dengan singkat dan angkuh.

“Engkau kuajak. ke jalan Allah dan Rasul-Nya, ke jalan Is­lam”, kata Imam Ali r.a. melanjutkan. Kata-kata Imam Ali r.a. ini diucapkan dengan suara lantang yang memecahkan kesunyian garis pertempuran. Hampir semua mata dua pasukan yang siap tempur tertuju kepada dua sosok tubuh yang sedang berhadap-­hadapan.

‘Amr bin Abdu Wudd yang sudah cukup usia, garang dan ba­nyak pengalaman menghadapi perang tanding kini bertatap muka dengan seorang anak muda yang berdiri tegak di hadapannya. Pe­muda pemberani, jantan dan perkasa, berbaju besi dengan pedang terhunus di tangan. Sungguh anggun kelihatannya. Konfrontasi an­tara dua orang itu melambangkan konfrontasi dari dua kekuatan yang berlawanan. Kekuatan lama yang sudah lapuk dan kekuatan baru yang sedang tumbuh, yaitu kekuatan jahiliyah dan kekuatan lslam.

Mendengar pertanyaan yang bernada desakan itu, dengan ce­pat ‘Amr menyahut: “Aku tidak membutuhkan itu!”

“Kalau begitu, mari kita mulai bertanding!” tantang Imam Ali r.a. sambil siaga menghadapi gerakan ‘Amr. Akan tetapi tan­tangan Imam Ali r.a. yang serius itu diremehkan saja oleh ‘Amr: “Aku tak suka menumpahkan darahmu. Ayahmu kan teman ka­ribku!”

Tanpa memperdulikan ucapan ‘Amr, Imam Ali r.a. dengan perasaan tak sabar lagi berucap: “Tetapi, demi Allah, aku justru ingin membunuhmu!”

Ucapan seorang muda yang dianggap ketus oleh ‘Amr itu, ternyata membangkitkan amarah dan meluapkan emosinya. Cepat saja darah perang yang mengalir dalam tubuh ‘Amr mendi­dih. Naluri keprajuritannya secara cepat menyentakkan gerak refleksi dan langsung seketika itu juga Imam Ali r.a. diserang. Demikian gesit dan tangkasnya ‘Amr mengayunkan pedang de­ngan dorongan tenaga yang luar biasa. Tetapi Imam Ali r.a. tidak kalah tinggi nalurinya dan gerak refleksinya.

‘Amr yang sejak semula meremehkan lawan, ternyata sia-­sia belaka dalam mengerahkan segala kekuatan ototnya untuk menebas leher Imam Ali r.a. Kesempatan yang meleset itu di­pergunakan sebaik-baiknya oleh Imam Ali r.a. Ia mengelak, me­nangkis dan menyerang dalam gerak beruntun secara kilat. Pada saat ‘Amr kehilangan keseimbangan badan, Pedang Dzul Fiqar yang diayun kuat-kuat oleh Imam Ali r.a. menyambar bahu kanan ‘Amr sampai terbelah dua. Pendekar kebanggaan Qureiys itu jatuh dari atas kuda menggelepar di tanah mandi darah dan debu.

Perang tanding berlangsung demikian cepat dan selesai jauh lebih cepat dari yang diperkirakan orang. Pada mulanya ba­nyak yang menduga bahwa Imam Ali r.a. yang “masih hijau” itu akan “dibelah dua” oleh pedang ‘Amr. Oleh karena itu ketika jagoan Qureiys itu tersungkur tidak bangkit kembali, banyak orang dari kedua pasukan terkesima. Hampir saja mereka, tidak mempercayai apa yang sudah terjadi. Baru setelah Imam Ali r.a. menyerukan takbir, kaum muslimin menyambutnya dengan me­ngumandangkan kebesaran Allah: Allaahu Akbar …Allaahu Akbar…. !

Tanpa perasaan sombong dan tinggi hati Imam Ali r.a. ke­mudian menuju ke tempat Rasul Allah s.a.w. Dengan perasaan haru dan syukur ke hadirat Allah s.w.t., Rasul Allah s.a.w. menge­luarkan pernyataan singkat: “Perang tanding yang dilaksanakan oleh Ali bin Abi Thalib melawan ‘Amr bin Abdu Wudd itu meru­pakan perbuatan paling mulia yang dilakukan umatku sampai hari kiyamat.”

Akan tetapi terbunuhnya jagoan Qureiys belum menyelesai­kan jalannya perang Khandaq. Namun terbunuhnya tokoh Qureiys itu menimbulkan kegoncangan yang hebat di kalangan pasukan penyerbu. Semangat pasukan penyerbu makin merosot, setelah harapan mereka untuk dapat menerobos parit makin tipis.

Dalam keadaan seperti itu terjadilah angin ribut dan hujan de­ras diiringi suara petir sambar-menyambar. Kemah-kemah dan per­kakas-perkakas masak kaum musyrikin beterbangan dilanda a­ngin kencang. Kubu pertahanan mereka menjadi porak poranda dan banyak sekali diantara mereka yang tak tahan menghadapi tekanan udara dingin.

Di tengah-tengah hembusan angin puyuh seribut itu, Abu Sufyan yang dalam perang Khandaq ini bertindak selaku pimpinan pasukan penyerbu, berkata kepada anak buahnya: “Saudara-­saudara, kita tak perlu lama lagi tinggal di tempat ini. Banyak kuda dan unta kita yang sudah binasa. Bani Quraidah sudah tak mene­pati janjinya lagi dengan kita. Bahkan kita mendengar hal-hal dari mereka yang tidak menyenangkan hati. Tambah lagi kita meng­hadapi angin kencang begini ributnya. Maka itu lebih baik kita pulang saja. Aku sendiri akan berangkat pulang!”

Di tengah-tengah angin puyuh yang begitu kencangnya, Abu Sufyan dan rombongan secara bergelombang meninggal­kan tempat dan kembali ke Makkah. Keesokan harinya sudah tak ada lagi seorang Qureiys atau Yahudi yang masih tinggal. Semuanya sudah jauh meninggalkan parit. Rasul Allah bersama kaum muslimin lainnya dengan tenang kembali ke tempat kedi­aman masing-masing. Semuanya memanjatkan syukur sedalam-da­lamnya kepada Allah s.w.t. yang telah menghindarkan mereka dari marabahaya.

https://tausyah.wordpress.com

BAB IV PERANAN KEPAHLAWANAN

Masih ada sementara penulis sejarah yang dengan berbagai da­lih dan alasan mengatakan, bahwa Imam Ali r.a. bukan orang yang pertama-tama beriman kepada Allah dan Rasul-Nya. Se­bagai alasan dikatakan, bahwa hukum belum berlaku baginya, karena ketika ia memeluk Islam usianya masih sangat muda, malahan dikatakan “masih kanak-kanak”.

Alasan seperti itu tampak sekali dicari-cari. Sebab, seorang remaja yang berusia 13 tahun, bukan seorang kanak-kanak lagi. Ia sudah mampu berfikir membedakan mana yang baik dan mana yang buruk. Usia 13 tahun pada umumnya bisa dipandang sebagai tahap permulaan masa akil baligh. Dalam usia akil baligh itu orang sudah dapat menerima penjelasan-penjelasan dan keterangan-ke­terangan tentang sesuatu dengan baik. Fikiran dan perasaannya pun sudah berada dalam tingkatan aktif, dapat membedakan mana hal-hal yang menyenangkan atau menyedihkan, mana yang menga­gumkan dan mana yang memuakkan, mana yang masuk akal dan mana yang tidak.

Seperti diketahui, sejak Imam Ali r.a. berusia 6 tahun lang­sung diasuh, dibimbing dan dididik oleh Nabi Muhammad s.a.w. Menurut sistem pendidikan modern, tingkat usia 6 tahun itu justru yang paling tepat bagi seseorang anak memasuki sekolah dasar, yang akan berlangsung selama 6 tahun. Dari usia 6 tahun sampai 12 tahun dapatlah dikatakan, bahwa Imam Ali r.a. telah mendapat “pendidikan dasar” dari seorang guru yang paling bi­jaksana.

Selama periode “pendidikkan dasar” itu, Imam Ali r.a. te­lah dipersiapkan oleh gurunya untuk menyongsong datangnya ma­sa pancaroba yang akan menjadi ciri perobahan zaman. Ketika Imam Ali r.a. menginjak usia 13 tahun, terjadilah bi’tsah Mu­hammad sebagai Nabi dan Rasul, yang akan menjungkir-balikkan masa jahiliyah dan menggantinya dengan kecerahan masa hidayah. Masa “pendidikkan dasar” dan persiapan yang sangat tepat waktu­nya itulah, yang kemudian mewarnai sikap hidup dan kepribadian Imam Ali r.a. sebagai orang yang teguh imannya kepada Allah dan Rasul-Nya.

Ketika berlangsung blokade ekonomi dan pemboikotan sosial yang dilancarkan orang-orang kafir Qureiys terhadap semua ke­luarga Bani Hasyim, Imam Ali r.a. ikut langsung menghayati kesengsaraan dan penderitaan yang menjadi akibatnya. Dengan mengikuti bimbingan serta tauladan Rasul Allah s.a.w. beserta Sitti Khadijah r.a., dengan tangguh, tabah dan sabar, Imam Ali r.a. ikut berjuang mempertahankan dan membela da’wah Islam.

Tidak hanya itu saja. Selama hampir empat tahun terkepung dalam Syi’ib, Imam Ali r.a. memperoleh kesempatan yang luar biasa besarnya untuk menerima pendidikan tauhid dan ilmu-­ilmu Ilahiyah, langsung dari Rasul Allah s.a.w. Satu kesempatan yang tidak pernah didapat oleh orang mukmin manapun. Dalam keadaan materiil serba kurang, Imam Ali r.a. yang masih remaja itu fikirannya terbuka seterang-terangnya guna menerima hidayah llahi, dan dengan tuntunan Rasul Allah s.a.w. ia dapat mengenal hakekat kebenaran Allah ‘Azza wa Jalla.

Tentang kedinian Imam Ali r.a. beriman kepada Allah dan Rasul-Nya, Nabi Muhammad s.a.w. sendiri pernah menegaskan­nya. Penegasan itu disaksikan oleh para sahabat dekat dan ter­kemuka, yaitu Abu Bakar Ash Shiddiq r.a., Umar Ibnul Khattab r.a. dan Abu Ubaidah r.a. Hal itu tercantum dalam Kitab “Kanzul Ummal”, jilid VI, hlm. 393. Riwayatnya berasal dari Ibnu Abbas.

Umar Ibnul Khattab berkata: “….Aku, Abu Bakar dan Abu Ubaidah bersama beberapa orang sahabat Nabi lainnya pernah da­tang ke rumah Ummu Salmah. Setiba disana aku melihat Ali bin Abi Thalib sedang berdiri di pintu. Kami katakan kepadanya, bahwa kami hendak bertemu dengan Rasul Allah s.a.w. Ia men­jawab, sebentar lagi beliau akan keluar. Waktu beliau keluar, kami segera berdiri. Kami lihat beliau bertopang pada Ali bin Abi Thalib dan menepuk-nepuk bahunya sambil berucap: “Eng­kau unggul dan akan tetap unggul, orang pertama yang beriman, seorang mukmin yang paling banyak mengetahui hari-hari Allah (hari-hari turunnya nikmat dan cobaan), paling setia menepati janji, paling adil dalam bertugas melakukan pembagian ghanimah, paling bercinta-kasih kepada rakyat, dan paling banyak menderita.”

Membela Kebenaran

Di samping perjuangannya di bidang aqidah, ilmu dan pemikiran, Imam Ali r.a. juga terkenal sebagai seorang muda yang memiliki kesanggupan berkorban yang luar biasa besarnya. Ia mempunyai susunan jasmani yang sempurna dan tenaga yang sangat kuat. Sudah tentu, itu saja belum menjadi jaminan bagi se­seorang untuk siap mempertaruhkan nyawanya membela kebenar­an Allah dan Rasul-Nya. Imannya yang teguh laksana gunung rak­sasa dan kesetiaannya yang penuh kepada Allah dan Rasul-Nya, itulah yang menjadi pendorong utama.

Imam Ali r.a. tidak pernah menghitung-hitung resiko dalam perjuangan suci menegakkan Islam. Dengan jasmani yang tegap dan kuat, serta iman yang kokoh dan mantap, Imam Ali r.a. benar­-benar mempunyai syarat fisik-materiil dan mental-spiritual untuk menghadapi tahap-tahap perjuangan yang serba berat.

Di saat-saat Islam dan kaum muslimin berada dalam situasi yang kritis dan gawat, Imam Ali r.a. selalu tampil memainkan pe­ranan menentukan. Selama hidup ia tak pernah mengalami hi­dup santai. Sejak muda remaja sampai akhir hayatnya, ia ke­luar masuk dari kesulitan ke kesulitan lain, dan dari pengor­banan ke pengorbanan yang lain. Namun demikian ia tak per­nah menyesali nasib, bahkan dengan semangat pengabdian yang tinggi kepada Allah dan Rasul-Nya, ia senantiasa siap menghadapi segala tantangan. Satu-satunya pamrih yang menjadi pemikirannya siang dan malam hanya ingin memperoleh keridhoan Allah dan Rasul-Nya. Kesenangan hidup duniawi baginya bukan apa-apa dibanding dengan kenikmatan ukhrawi yang telah dijanjikan Allah s.w.t. bagi hamba-hamba-Nya yang berani hidup di atas kebenaran dan keadilan.

berkali-kali imannya yang teguh diuji oleh Rasul Allah s.a.w. Tiap kali diuji, tiap kali itu juga lulus dengan meraih nilai yang amat tinggi. Ujian pertama yang maha berat ialah yang terjadi pada saat Rasul Allah s.a.w. menerima perintah Allah s.w.t. supaya berhijrah ke Madinah.

Seperti diketahui, di satu malam yang gelap-gulita, komplot­an kafir Qureiys mengepung kediaman Rasul Allah s.a.w. dengan tujuan hendak membunuh beliau, bilamana beliau meninggalkan rumah. Dalam peristiwa ini Imam Ali r.a. memainkan peranan besar: Ia diminta oleh Rasul Allah s.a.w. supaya tidur di atas pembaringan beliau menutup tubuhnya dengan selimut beliau guna mengelabui mata orang-orang Qureiys. Tanpa tawar-me­nawar Imam Ali r.a. menyanggupinya. Ia menangis bukan men­cemaskan nyawanya sendiri, melainkan karena ia khawatir atas keselamatan Rasul Allah s.a.w. yang saat itu berkemas-kemas hen­dak hijrah meninggalkan kampung halaman.

Melihat Imam Ali menangis, maka Rasul Allah bertanya: “Apa sebab engkau menangis, Apakah engkau takut mati?”.

Imam Ali r.a. dengan tegas menjawab: “Tidak, ya Rasul Allah! Demi Allah yang mengutusmu membawa kebenaran! Aku sangat khawatir terhadap diri anda. Apakah anda akan selamat, ya R,asul Allah?”

“Ya,” jawab Nabi Muhammad s.a.w. dengan tidak ragu-­ragu.

Mendengar kata-kata yang pasti dari Rasul Allah s.a.w., Imam Ali r.a. terus berkata: “Baiklah, aku patuh dan kutaati perintah anda. Aku rela menebus keselamatan anda dengan nyawa­ku, ya Rasul Allah!”

Imam Ali r.a. segera menghampiri pembaringan Rasul Allah s.a.w. Kemudian berselunjur mengenakan selimut beliau untuk menutupi tubuhnya. Saat itu orang-orang kafir Qureiys sudah mulai berdatangan di sekitar rumah Rasul Allah s.a.w. dan me­ngepungnya dari segala jurusan. Dengan perlindungan Allah s.w.t. dan sambil membaca ayat 9 Surah Yaa Sin, beliau keluar tanpa diketahui oleh orang-orang yang sedang mengepung dan mengin­tai. Orang-orang Qureiys itu menduga, bahwa orang yang sedang berbaring dan berselimut itu pasti Nabi Muhammad s.a.w. Mere­ka yang mengepung itu mewakili suku-suku qabilah Qureiys yang telah bersepakat hendak membunuh Nabi Muhammad s.a.w. de­ngan pedang secara serentak. Dengan cara demikian itu, tidak mungkin Bani Hasyim dapat menuntut balas.

Imam Ali r.a. mengerti benar kemungkinan apa yang akan diperbuat orang-orang kafir Qureiys terhadap dirinya karena ia tidur di pembaringan Rasul Allah s.a.w. Hal itu sama sekali tidak membuatnya sedih atau takut. Dengan kesabaran yang luar biasa, ia berserah diri pada Allah s.w.t. Ia yakin, bahwa Dia-lah yang menentukan segala-galanya.

Menjelang subuh, Imam Ali r.a. bangun. Gerombolan Qureiys terus menyerbu ke dalam rumah. Dengan suara membentak mereka bertanya: “Mana Muhammad? Mana Muhammad?”

“Aku tak tahu di mana Muhammad berada!” jawab Imam Ali r.a. dengan tenang.

Gerombolan Qureiys itu segera mencari-cari ke sudut-sudut rumah. Usaha mereka sia-sia belaka. Gerombolan itu kecewa benar. Di dalam hati mereka bertanya-tanya: “Kemana ia pergi?” Dalam suasana gaduh Imam Ali r.a. bertanya: “Apa maksud ka­lian?”

“Mana, Muhammad? Mana Muhammad?” mereka meng­ulang-ulang pertanyaan semula.

“Apakah kalian mengangkatku menjadi pengawasnya?” ujar Imam Ali r.a. dengan nada memperolok-olok. “Bukankah kalian sendiri berniat mengeluarkannya dari negeri ini? sekarang ia sudah keluar meninggalkan kalian!”

Ucapan Imam Ali r.a. sungguh-sungguh menggambarkan ke­tabahan dan keberanian hatinya. Cahaya pedang terhunus yang berkilauan, samasekali tidak dihiraukan, bahkan orang-orang Qureiys yang kalap itu dicemoohkan. Seandainya ada seorang saja dari gerombolan itu mengayunkan pedang ke arah Imam Ali r.a., entahlah apa yang terjadi. Tetapi Allah tidak menghendaki hal itu.

Keesokan harinya, Imam Ali r.a. berkemas-kemas memper­siapkan segala sesuatu untuk berangkat membawa beberapa o­rang wanita Bani Hasyim, terutama Sitti Fatimah r.a., menyusul perjalanan Nabi Muhammad s.a.w. dalam hijrahnya ke Madinah.

Seperti telah diterangkan di muka, rombongan Imam Ali r.a. berangkat secara terang-terangan di siang hari. Setibanya di Dhajnan ia membuka babak konfrontasi bersenjata antara kaum muslimin dan kaum musyrikin.

Imam Ali r.a. yang ketika itu berusia 26 tahun, merupakan orang pertama yang menghunus pedang untuk mematahkan ag­resi bersenjata orang-orang kafir Qureiys. Terbelahnya tubuh Jenah menjadi dua dan larinya 7 orang pasukan berkuda Qureiys yang semula mengejar rombongan, merupakan tonggak sejarah yang menandai akan datangnya masa cerah bagi kaum muslimin dan masa suram bagi kaum musyrikin.

Perang Badr

Perang Badr merupakan perang pertama yang terpaksa di­arungi oleh kaum muslimin menghadapi musuh yang jauh lebih besar jumlahnya. Perang ini merupakan demonstrasi pertama dari ketangguhan kaum muslimin melawan serangan kaum musyrikin Qureiys. Untuk pertama kalinya panji perang Rasul Allah s.a.w. berkibar di medan laga. Dan yang diberi kepercayaan memegang panji yang melambangkan tekad perjuangan menegakkan agama Allah s.w.t. itu, ialah Imam Ali bin Abi Thalib r.a.

Tanpa pengalaman perang sama sekali dan dengan kekuatan pasukan yang hanya sepertiga kekuatan musuh, pasukan muslimin dengan kebulatan iman yang teguh berhasil menancapkan tonggak sejarah yang sangat menentukan perkembangan Islam lebih lanjut. Perlengkapan dan persenjataan kaum muslimin waktu itu boleh dibilang nol. Pasukan berkuda dan penunggang unta, yaitu pasukan yang dipandang paling ampuh dan “modern” pada masa itu, praktis tidak dipunyai oleh kaum muslimin. Demikian langkanya kuda dan unta dibanding dengan jumlah pasukan yang ada, sam­pai-sampai seekor unta dikendarai oleh dua hingga empat orang secara bergantian. Hanya ada seekor kuda yang tersedia, yaitu yang dikendarai oleh Al Miqdad bin Al Aswad Al Kindiy. Itulah kekuatan “kavaleri” Rasul Allah s.a.w. di dalam perang Badr.

Dalam perang Badr itu pasukan muslimin tidak sedikit yang menerjang musuh hanya dengan senjata-senjata tajam yang sangat sederhana. Sedangkan musuh yang dilawan mempunyai persen­jataan lengkap dengan kuda-kuda tunggang dan unta-unta. Tetapi sebenarnya kaum muslimin mempunyai senjata yang lebih ampuh dibanding dengan lawannya, yaitu kepemimpinan Rasul Allah s.a.w. dan kepercayaan kuat bahwa Allah pasti akan memberikan pertolongan-Nya. Allahu Akbar.

Perang Badr sebenarnya terjadi di luar rencana. Pada mulanya kaum muslimin di bawah pimpinan Rasul Allah s.a.w. bermaksud hendak mencegat kafilah Abu Sufyan bin Harb yang telah me­ninggalkan Makkah berangkat menuju negeri Syam, dan akan kembali ke Makkah lewat sebuah tempat bernama ‘Usyaira. Di tempat itulah kaum muslimin siap menghadang, tetapi ternyata kafilah Abu Sufyan sudah lolos lebih dulu.

Ketika peperangan mulai berkobar, Imam Ali bersama Ham­zah bin Abdul Mutthalib dan beberapa orang lainnya, berada di barisan terdepan. Pada tangan Imam Ali r.a. berkibar panji perang Rasul Allah s.a.w. Ia terjun ke medan laga menerjang pasukan mu­suh yang jauh lebih besar dan kuat. Dalam perang ini untuk perta­ma kalinya kalimat “Allahu Akbar” berkumandang membaja­kan tekad pasukan muslimin.

Saat itu terdengar suara musuh menantang: “Hai Muhammad suruhlah orang-orang yang berwibawa dari asal Qureiys supaya tampil!”

Mendengar tantangan itu, laksana singa lapar Imam Ali r.a. meloncat maju ke depan mendekati suara yang menantang-nan­tang. Terjadilah perang tanding (duel) antara Imam Ali r.a. dengan Al Walid bin Utbah, saudara Hindun isteri Abu Sufyan. Dalam pertempuran yang seru itu, Al Walid mati di ujung pedang Imam Ali r.a.

Dalam perang Badr ini 70 orang pasukan kafir Qureiys mati terbunuh, dan hampir separonya mati di ujung pedang Imam Ali r.a. Kecuali itu lebih dari 70 orang pemuka Qureiys berhasil dita­wan dan digiring ke Madinah. Perang Badr yang berakhir dengan kemenangan kaum muslimin itu merupakan fajar pagi yang menan­dai pesatnya kemajuan agama Allah s.w.t.

Disadur dari buku :

Sejarah Hidup Imam Ali bin Abi Thalib r.a.
Oleh H.M.H. Al Hamid Al Husaini
Penerbit: Lembaga Penyelidikan Islam

https://tausyah.wordpress.com