Posts Tagged ‘Sejarah’

keluarga shakinah

shakinah, mawaddah dan wa rahmah

Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam adalah tauladan bagi seluruh mukminin dan mukminah di dunia, sedang para isteri-isteri beliau para ummul mukminin Radhiallahu Anhu adalah ibu bagi  seluruh mukmin.

Firman ALLAH Ta’ala :

النَّبِيُّ أَوْلَى بِالْمُؤْمِنِينَ مِنْ أَنفُسِهِمْ وَأَزْوَاجُهُ أُمَّهَاتُهُمْ

Nabi itu (hendaknya) lebih utama bagi orang-orang mukmin dari diri mereka sendiri dan isteri-isterinya adalah ibu-ibu mereka. Al-Ahzab:006.

Karenanya, segala kisah kehidupan rumah tangga Rasulullah adalah menjadi ibrah dan pengajaran bagi kita dalam menggapai rumah tangga yang berbahagia dan lagi di rahmati ALLAH Tabaraka wa Ta’ala. Biar bagaimanapun, tentu tidak ada rumah tangga yang berjalan mulus tanpa perselisihan, demikian pula dalam kehidupan rumah tangga Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam.

Sebagai  contoh,  Rasulullah  Muhammad  SAW manusia  yang  paling  dicintai  Allah  pernah  berkata   kepada  Aisyah r.a,  istri   yang   paling   dicintainya (lebih…)

Ilmuwan Islam

Ilmuwan-Islam

Dengan menukir ke masa keemasan islam pada masa yang silam, sejenak tentu kita bangga mengetahui bahwa segala macam ilmu yang ada pada kita saat sekarang ini adalah berkat jasa-jasa ilmuwan muslim dunia yang sudah hampir seribu tahun yang lalu, ketika umat muslim adalah pembawa obor pengetahuan pada zaman kegelapan. Mereka menciptakan peradaban Islam, didorong oleh penelitian dan penemuan ilmiah, yang membuat bagian dunia lainnya iri selama berabad-abad.

Dalam kata-kata Carli Fiorina, seorang CEO Hewlett Packard yang visioner dan berbakat tinggi, “Adalah para arsitek yang mendesign bangunan-bangunan yang mampu melawan gravitasi. Adalah para matematikawan yang menciptakan aljabar dan algoritma yang dengannya komputer dan enkripsi data dapat tercipta. Adalah para dokter yang memeriksa tubuh manusia, dan menemukan obat baru untuk penyakit. Adalah para astronom yang melihat ke langit, memberi nama bintang-bintang, dan membuka jalan bagi perjalanan dan eksplorasi antariksa. Adalah para sastrawan yang menciptakan ribuan kisah; kisah-kisah perjuangan, percintaan dan keajaiban. Ketika negeri lain takut akan gagasan-gagasan, peradaban ini berkembang pesat dengannya dan membuat mereka penuh energi. Ketika ilmu pengetahuan terancam dihapus akibat penyensoran oleh peradaban sebelumnya, peradaban ini menjaga ilmu pengetahuan tetap hidup, dan menyebarkannya kepada peradaban lain. Tatkala peradaban barat modern sedang (lebih…)

https://tausyah.wordpress.com/Islam

Islam

Dari Abu Said al-Khudri r.a. dari Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam  sabdanya:

“Dajjal keluar lalu ada seseorang dari golongan kaum mu’minin, ia ditemui oleh beberapa orang penyelidik (mata-mata) yakni para penyelidik dari Dajjal. Mereka berkata kepada orang itu:

“Ke manakah engkau hendak bersengaja pergi?”

la menjawab: “Saya sengaja akan pergi ke tempat orang yang keluar – yakni yang baru muncul dan yang dimaksudkan ialah Dajjal.”

Mereka berkata: “Adakah engkau tidak beriman dengan Tuhan kita.”

la menjawab: “Tuhan kita tidak samar-samar lagi sifat-sifat keagungannya – sedangkan Dajjal itu tampaknya saja menunjukkan kedustaannya.”

Orang-orang itu sama berkata: “Bunuhlah ia.”

Sebahagian orang berkata kepada yang lainnya: “Bukankah engkau semua telah dilarang oleh Tuhanmu kalau membunuh seseorang tanpa memperoleh persetujuannya.”

Mereka pun pergilah dengan membawa orang itu ke Dajjal.

Setelah Dajjal dilihat oleh orang mu’min itu, lalu orang mu’min tadi berkata: (lebih…)

https://tausyah.wordpress.com/sejarah-oerjuangan-islam-menaklukkan-spanyol-dan-eropa

Tentara Islam

Mendung   hitam   menggelayut  di  atas  bumi  Spanyol.  Eropa  sedang dikangkangi  oleh  penjajah,  Raja  Gotik  yang  kejam.  Wanita merasa terancam  kesuciannya,  petani  dikenakan pajak tanah yang tinggi, dan banyak lagi penindasan yang tak berperikemanausiaan.Raja  dan  anteknya  bersukaria dalam kemewahan sedang rakyat merintih dalam  kesengsaraan.

Sebagian besar penduduk yang beragama Kristen danYahudi,  mengungsi  ke Afrika, berharap mendapat ketenangan yang lebih menjanjikan. Dan saat itu Afrika, adalah sebuah daerah yang makmur dan mempunyai  toleransi yang  tinggi  karena  berada  di  bawah naungan pemerintahan Islam.

Satu  dari  jutaan  pengungsi  itu  adalah Julian, Gubernur Ceuta yang putrinya  Florinda  telah  dinodai Roderick, raja bangsa Gotik. Mereka memohon  pada  Musa  bin  Nusair,  raja  muda  Islam  di  Afrika untuk memerdekakan negeri mereka dari penindasan raja yang lalim itu. (lebih…)

JIHAD OFENSIF
(Tafsir QS at-Taubah [9]: 123)
Oleh: Rokhmat S. Labib, M.E.I.

sejarah islam

يَا أَيُّهَا الَّذِيْنَ آمَنُوْا قَاتِلُوْا الَّذِيْنَ يَلُوْنَكُمْ مِنَ الْكُفَّارِ وَلْيَجِدُوْا فِيْكُمْ غِلْظَةً وَاعْلَمُوْا أَنَّ اللهَ مَعَ الْمُتَّقِيْنَ
Hai orang-orang yang beriman, perangilah orang-orang kafir yang ada di sekitar kalian itu, dan hendaklah mereka merasakan kekerasan dari kalian. Ketahuilah bahwa Allah beserta orang-orang yang bertakwa. (QS al-Taubah [9]: 123).

Ayat ini terdapat dalam surat at-Taubah. Dalam surat ini, dalam beberapa ayatnya, kaum Muslim diperintahkan untuk memerangi seluruh kaum musyrik. Ayat ini termasuk di antaranya.

Ketika ayat ini diturunkan, perintah memerangi kaum musyrik langsung bisa dijalankan. Pasalnya, saat itu Daulah Islamiyah sudah berdiri kokoh. Surat ini termasuk yang terakhir diturunkan kepada Rasulullah saw. 1

Tafsir Ayat

Allah Swt. berfirman: Yâ ayyuhâ alladzîna âmanu qâtilû al-ladzîna yalûnakum min al-kuffâr (Hai orang-orang yang beriman, perangilah orang-orang kafir yang ada di sekitar kalian itu). Kata qâtilû merupakan fi’l al-amr dari mashdar kata al-qitâl atau al-muqâtalah. Secara bahasa, kata al-muqâtalah berarti al-muhârabah (peperangan).2 Pengertian peperangan yang dimaksud tentulah perang fisik.3

Adapun kata yalûna merupakan bentuk mudhâri dari al-waly yang berarti al-qurb wa al-dunuw (dekat).4 Kata yalûnakum pun dapat dimaknai dengan yaqrubûna minkum (yang dekat dari kalian).5 Bertolak dari makna-makna tersebut, ayat ini dapat dipahami sebagai perintah terhadap kaum Mukmin untuk memerangi kaum kafir yang dekat dengan mereka.6

Beberapa ayat dalam QS at-Taubah di atas (yakni ayat 5, 29, dan 36) memang memerintahkan kaum Muslim memerangi kaum kafir secara keseluruhan. Akan tetapi, untuk bisa memerangi mereka dalam waktu bersamaan tentu tidak mungkin. Yang mungkin bisa dilakukan adalah memerangi sekelompok di antara mereka terlebih dulu. Karena harus dipilih, maka kaum yang paling dekat dengan merekalah harus didahulukan.7 Inilah skala prioritas yang ditetapkan ayat ini.

Ar-Razi, az-Zuhayli, dan ash-Shabuni menuturkan, ketika Allah Swt. memerintahkan kaum Mukmin untuk memerangi kaum kafir secara keseluruhan. Dia pun mengajarkan metode yang paling tepat dan cocok untuk ditempuh, yakni mereka harus memulai dari yang dekat-dekat, lalu beralih kepada yang jauh-jauh.8 Dengan metode ini, kewajiban untuk memerangi kaum kafir secara keseluruhan dapat tercapai.9

Metode inilah yang ditempuh Rasulullah saw. dan para Sahabat ra. Pada awalnya beliau memerangi kaumnya, lalu bangsa Arab di Hijaz, kemudian Syam.10 Dari Madinah, Syam memang lebih dekat dibandingkan dengan Irak, Persia, atau Mesir. Setelah Syam dapat dikuasai pada masa Sahabat, kaum Muslim baru beralih ke Irak, berikutnya ke wilayah-wilayah lain.11

Selanjutnya Allah Swt. berfirman: Walyajidû fîkum ghilzhah (dan hendaklah mereka merasakan kekerasan dari kalian). Makna ghilzhah adalah dhidd ar-riqqah (lawan dari halus);12 bisa juga berarti syiddah (keras), quwwah (kuat), dan hamiyyah (gagah berani).13 Menurut al-Andalusi dan al-Baqa’i, dalam ayat ini, kata ghildhah digunakan untuk menunjukkan syiddah li al-harb (kerasnya peperangan).14

Menurut lahiriah ayat ini, yang diperintah untuk merasakan sifat ghilzhah adalah kaum kafir. Akan tetapi, perintah itu sebenarnya ditujukan kepada kaum Mukmin. Mereka diperintahkan memiliki sifat-sifat yang disebutkan itu, yakni sifat ghilzhah dengan segala makna yang tercakup di dalamnya.15 Dengan demikian, ayat ini menggunakan musabab untuk menyatakan sebab. Artinya, jika kaum kafir bisa merasakan kerasnya perjuangan kaum Muslim, hal itu disebabkan oleh kerasnya kaum Muslim terhadap mereka.16

Perintah untuk memiliki segala sifat yang tercakup dalam kata ghilzhah itu amat tepat. Sebab, demikianlah tabiat dan kemaslahatan dalam peperangan.17 Untuk bisa memenangkan peperangan, sifat tersebut harus dimiliki kaum Muslim (Lihat juga: QS at-Taubah [9]: 73).

Ayat ini ditutup dengan firman-Nya: Wa’lamû anna Allâh ma’a al-muttaqîn (Ketahuilah bahwa Allah beserta orang-orang yang bertakwa). Di akhir ayat ini Allah Swt. mengingatkan bahwa Dialah Penolong hamba-hamba-Nya yang bertakwa.18

Beberapa Pelajaran

Ada banyak pelajaran yang dapat dipetik dari ayat ini. Di antaranya:

1. Jihad ofensif.
Menurut ayat ini, jihad yang diwajibkan terhadap kaum Muslim tidak hanya bersifat difâ’î (defensif, membela diri), namun juga ibtidâ’i (ofensif, memulai perang terlebih dulu). Ayat ini jelas memberikan kesimpulan demikian.

Patut dicatat, jihad ibtidâ’i ini harus dilakukan di bawah komando Daulah Islamiyah. Pasalnya, jihad ini dilancarkan dalam kerangka futûhât, yakni upaya memperluas wilayah kekuasaan Daulah Islamiyah dengan cara menaklukkan wilayah-wilayah lain yang sebelumnya dikuasai penguasa kafir dan sistem kufur. Selanjutnya, wilayah yang telah ditaklukkan tersebut diintegrasikan dengan Daulah Islamiyah. Bertolak dari fakta ini, jihad futûhât tidak bisa dilakukan jika tidak ada Daulah Islamiyah.

Inilah yang dikerjakan Rasulullah saw. dulu. Ketika Rasulullah saw. berhasil mendirikan negara di Madinah, beliau pun mengirim banyak detasemen dan pasukan perang ke wilayah-wilayah lain. Tidak jarang, beliau memimpin langsung pasukan tersebut. Selama Rasulullah saw. hidup, beliau telah memimpin 27 kali peperangan. Adapun jumlah utusan dan ekspedisi militer yang tidak beliau pimpin langsung mencapai 60 kali.19

Dengan jihad ibtidâ’i inilah wilayah kekuasaan Islam terus mengalami perluasan. Jika di awal berdirinya, luas wilayah Daulah Islamiyah sekitar 274 mil persegi (kota Madinah), maka sepuluh tahun kemudian-ketika Rasulullah saw. menghadap Tuhannya-luas wilayah Daulah mencapai lebih dari 1.000.000 mil persegi.20

Kewajiban jihad ibtidâ’i ini juga tidak terlepas dari konteks dakwah. Disebutkan bahwa tatkala Rasulullah saw. memberangkatkan pasukan perang, beliau menyampaikan beberapa pesan kepada panglimanya. Di antara pesan beliau:

«وَإِذَا لَقِيْتَ عَدُوَّكَ مِنَ الْمُشْرِكِيْنَ فَادْعُهُمْ إِلَى ثَلاَثِ حِصَالٍ أَوْ خِلاَلٍ, فَأَيَّتَهُ مَا أَجَابُوْكَ فَاقْبَلْ مِنْهُمْ وَكُفَّ عَنْهُمْ, اُدْعُهُمْ إِلىَ اْلإِسْلاَمِ فَإِنْ أَجَابُوْكَ فَاقْبَلْ مِنْهُمْ وَكُفَّ عَنْهُمْ … فَإِنْ هُمْ أَبَوْا فَسَلْهُمُ الْجِزْيَةَ, فَإِنْ هُمْ أَجَابُوْكَ فَاقْبَلْ مِنْهُمْ وَكُفَّ عَنْهُمْ, فَإِنْ أَبَوْا فَاسْتَعِنْ بِاللهِ وَقَاتِلْهُمْ»
Jika kalian bertemu dengan musuh kalian dari kalangan kaum musyrik maka serulah mereka pada tiga pilihan, mana saja di antara ketiganya, selama mereka bersedia memenuhi seruanmu, maka terimalah dan tahanlah dirimu dari menyerang mereka. Ajaklah mereka memeluk Islam. Jika mereka memenuhi seruan kalian, terimalah dan tahanlah dirimu untuk menyerang mereka….Jika mereka enggan (memenuhi seruan kalian), mintalah mereka membayar jizyah. Jika mereka memenuhi seruan kalian, terimalah dan tahanlah diri kalian untuk menyerang mereka. Jika mereka enggan juga, mintalah perlindungan kepada Allah, kemudian perangilah mereka. (HR Muslim).

2. Keharusan bersungguh-sungguh dalam menjalankan kewajiban jihad.

Dalam ayat ini, kaum Muslim diperintahkan agar memiliki sifat ghilzhah dalam perang menghadapi kaum kafir. Ini berarti, mereka harus menyiapkannya secara sungguh-sungguh sehingga kaum kafir bisa merasakan kerasnya pasukan kaum Muslim dalam pertempuran.

Prinsip ini patut dicamkan dalam diri kaum Muslim. Kendati jihad terkategori tindakan menolong agama-Nya, dan bagi siapapun yang menolong agama-Nya dijanjikan memperoleh pertolongan-Nya (QS Muhammad [47]: 7), kaum Muslim tidak boleh meninggalkan faktor-faktor sababiyyah yang bisa mengantarkan kemenangan. Mereka harus mengerahkan segala kemampuan sehingga menjadi pasukan yang kuat dan handal. (Lihat juga: QS al-Anfal [8]: 60).

Jika kaum Muslim bisa menunjukkan keperkasaan kekuatan militernya, jelas setiap musuh akan merasa gentar menghadapi kaum Muslim. Rasa gentar ini akan menyebar luas kepada musuh-musuh yang nyata maupun yang potensial, sehingga dapat menjadi sarana yang efektif untuk mencegah kemunculan pihak-pihak yang hendak melakukan makar. Pasukan Islam pun tidak perlu menemui banyak perlawanan. Dengan begitu, pertumpahan darah pun dapat dihindari. Inilah yang terjadi pada masa Rasulullah saw. Amat sering pasukan Islam memperoleh kemenangan tanpa mendapatkan perlawanan yang berarti dan tertumpahnya darah. Di antaranya adalah peristiwa dibebaskannya Makkah. Makkah dapat dikuasai pasukan kaum Muslim tanpa harus menumpahkan darah. Demikian juga pada saat Perang Tabuk. Ketika pasukan Islam yang berjumlah 30.000 personel sampai di Tabuk, pasukan Romawi-negara adidaya saat itu-sudah pergi meninggalkan daerah itu. Dalam hal ini Rasulullah saw bersabda:

«نُصِرْتُ بِالرَّعْبِ شَهْرًا يَرْعَبُ مِنِّي الْعَدُوَّ مَسِيْرَةَ شَهْرٍ»
Aku dimenangkan dengan rasa takut (yang dialami pasukan musuh) sepanjang satu bulan perjalanan. (HR al-Bukhari).

3. Resep memperoleh pertolongan.

Dalam ayat ini ditegaskan, Allah Swt. bersama orang-orang yang bertakwa. Sebagaimana dijelaskan para mufassir, ma’iyyah dalam ayat ini bermakna pertolongan dan perlindungan Allah Swt. Itu berarti, siapapun yang ingin mendapatkan pertolongan Allah Swt., dia harus mengikatkan dirinya dengan semua perintah dan larangan-Nya, termasuk kewajiban jihad dengan segala ketentuannya.

Bertolak dari prinsip tersebut, kaum Muslim tidak perlu takut, cemas, ragu, dan khawatir terhadap kekuatan musuh-musuhnya dalam menjalankan jihad, karena Allah Swt. bersama mereka. Jika Allah Swt. telah menjadi Penolong mereka, tentu tidak ada seorang pun yang dapat mengalahkan mereka.

Wallâh a’lam bi ash-shawâb. []

Catatan Kaki :

  1. Ash-Shabuni, Shofwat al-Tafâsîr, vol. 1 (Beirut: Dar al-Fikr, 1996), 421.
  2. Ar-Raghib al-Ashfahani, Mu’jam Mufradât Alfâzh al-Qur’ân (Beirut: Dar al-Fikr, tt), 407.
  3. Zahid Ivan Salam, Jihad dan Kabijakan Luar Negeri (terj. Abu Faiz, dkk) (Bogor: Pustaka Thariqul Izzah, 2003), 58.
  4. Abd al-Qadir al-Razi, Tartîb Mukhtâr al-Shihah (Beirut: Dar al-Fikr, 1993), 879.
  5. Az-Zamakhsyari, al-Kasysyâf, vol. 2 (Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, 1994), 312; al-Nasafi, Madârik al-Tanzîl wa Haqâiq al-Ta’wîl, vol. 1 (Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, 2001), 525; al-Baqa’i, Nazhm Durar fî Tanâsub al-Ayât wa al-Suwar, vol. 3 (Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, 1995), 403; al-Qasimi, Mahâsin al-Ta’wîl, vol. 5 (Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, 1997), 530.
  6. Ath-Thabari, Jâmi’ al-Bayân fî Ta’wîl al-Qur’ân, vol. 6 (Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, 1992), 517; Abu Ali al-Fadhl, Majmû’ al-Bayân fî Tafsîr al-Qurân, vol. 5 (Beirut: Dar al-Ma’rifah, tt), 127; al-Alusi, Rûh al-Ma’ânî, vol. 9 (Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, 1994), 47.
  7. Al-Jashash, Ahkâm al-Qur’ân, vol. 3 (Beirut: Dar al-Fikr, 1993), 230.
  8. Fakhruddin al-Razi, al-Tafsîr al-Kabîr Aw Mafâtîh al-Ghayb, vol. 15 (Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, 1990), 181; al-Qinuji, Fath al-Bayan, vol. 5, 427; al-Zuhayli, al-Tafsîr al-Munîr, vol. 11, 80; al-Shabuni, Shafwat al-Tafâsîr, vol. 1, 529.
  9. Al-Khazin, Lubâb al-Ta’wîl fî Ma’ânî al-Tanzîl, vol. 2 (Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, 1995), 423; Sulaiman al-‘Ajili, al-Futuhât al-Ilâhiyyah, vol. 3 (Beirut: Dar al-Fikr, 2003), 239.
  10. Al-Zamakhsyari, al-Kasyâf, vol. 2 (Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, 1994), 312.
  11. Sulaiman al-‘Ajili, al-Futûhât al-Ilâhiyyah, vol. 3, 240.
  12. Al-Qasimi, Mahâsin al-Ta’wîl, vol. 5, 531; Fakhruddin al-Razi, al-Tafsîr al-Kabîr, vol. 15, 182; al-Khazin, Lubâb al-Ta’wîl fî Ma’ânî al-Tanzîl, vol. 2 (Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, 1995), 423.
  13. Al-Quthubi, al-Jâmi’ li Ahkâm al-Qur’ân, vol. 5 (Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, 1993), 189; al-Shabuni, Shofwat al-Tafâsîr, vol. 1, 529.
  14. Abu Hayyan al-Andalusi, Tafsîr al-Bahr al-Muhith, vol. 5 (Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, 1993), 118; al-Baqa’i, Nazham Durar, vol. 3, 403.
  15. Al-Qinuji, Fath al-Bayan, vol. 5, 426- 427
  16. Sulaiman al-‘Ajili, al-Futuhât al-Ilâhiyyah, vol. 3, 240.
  17. Al-Zuhayli, al-Tafsîr al-Munîr, vol. 11, 80
  18. Abu Ali al-Fadhl, Majmû’ al-Bayân, vol. 5, 127; al-Alusi, Rûh al-Ma’ânî, vol. 9, 47.
  19. Abu al-Hasan Ali al-Nadwi, Sirah Nabaiyyah, terj. Muhammad Halabi dkk. (Yogyakarta: Mardiyah Press, 2005), 454.
  20. Abu al-Hasan Ali al-Nadwi, Sirah Nabaiyyah, 456.


https://tausyah.wordpress.com

Name of Allah Almighty on stoneBibel artinya kumpulan kitab-kitab. Kata Bibel berasal dari bahasa Yunani ?Biblia? (jamak, buku-buku). Istilah Bible di Indonesia diganti dengan Alkitab yang diartikan ?tulisan-tulisan?. Bibel yang diakui namanya ?kanonik?, sedang yang tidak diakui atau tidak boleh dibaca oleh orang Kristen disebut ?apokripa?. Ada Bibel yang tidak diakui oleh Protestan tetapi diakui oleh Katolik namanya ?deuterokanonika?.

Kata orang Kristen, Bibel adalah wahyu Allah kepada manusia yang terdiri dari 66 buku yang disatukan dan membentuk satu buku. 22 buku dari Bibel itu adalah sebagaian besar berisi sejarah, 21 buku sebagian besar nubuatan, 21 dalam bentuk surat, dan 2 kebanyakan mengenai syair.

Bibel paling sedikit ditulis 30 orang pengarang yakni para raja, petani, ahli hukum, jendral, nelayan, pendeta, para imam, pemingut cukai, dokter, beberapa orang kaya dan beberapa orang miskin, dalam kurun waktu lebih dari 1600 tahun. ( Penuntun Dasar Untuk Pemahaman Alkitab, oleh Harold E. Metcalf, Evangelis, Pendeta, Pengarang. Atlanta, Georgia, hal 7) Istilah Bibel untuk dinegara-negara yang penduduknya Islam sering diganti dengan kata ?Alkitab?. Mereka mengadopsi istilah ini mengambil dari Qs 2:159, 174.

Apa perjanjian Lama ? Perjanjian Lama adalah bagian dari Bibel yang terdiri dari buku-buku Taurat, sejarah bangsa Israel pertama, sejarah bangsa Israel kedua, sastra, kisah nabi-nabi Israel. Perjanjian Lama yang pertama berbahasa Ibrani. Apa perjanjian Baru ? Perjanjian Baru adalah bagian dari Bibel yang sebagian besar ditulis dalam bahasa Yunani, kecuali Injil Matius dalam bahasa Ibrani, yang terdiri dari Injil, Kisah rasul, surat-surat Paulus, surat-surat murid Yesus dan wahyu.

Perjanjian Baru ( New Testament ) sering disebut Injil. Tetapi kata Injil ini sebetulnya tidak terdapat dalam Bibel awal, kata Injil mengambil dari kata Injil dalam Al-Qur?an.

Dalam bahasa aslinya Yunani, EVAYYEYLOV, dalam bahasa Inggris, GOOD NEWS, GOSPELS. Penulisan Perjanjian Baru yang ada sekarang ini dilakukan tiga ratus tahun kemudian sepeninggal Yesus, yaitu pada waktu orang-orang Kristen dibawah kekuasaan Kaisar Romawi Konstantin. Konstantin mengambil keuntungan dari pengaruh dan arti penting Kristus yang besar.

Dan dalam melakukan itu, dia telah membentuk wajah Kristus seperti yang kita kenal sekarang. Karena Konstantin meningkatkan status Yesus hampir empat abad setelah kematian Yesus, ribuan dokumen yang mencacat kehidupannya sebagai manusia biasa sudah terlanjur ada. Untuk menulis ulang buku-buku sejarah, Konstantin tahu bahwa ia perlu mengambil sebuah langkah berani. Dari sinilah timbul sebuah momen paling menentukan dalam sejarah Kristen.

Konstantin menitahkan dan membiayai penyusunan sebuah Bibel baru, yang meniadakan semua kitab Injil yang berbicara tentang segala perilaku “manusiawi Yesus”, serta memasukkan kitab-kitab Injil yang membuatnya seakan ” Tuhan “. Kitab-kitab Injil terdahulu dianggap ” melanggar hukum “, lalu dikumpulkan dan ” dibakar “.

Siapapun yang memilih kitab-kitab Injil yang terlarang ( apokripa ) dan bukannya versi Konstantin akan dianggap sebagai kaum ” bidah ” , heretic. Dalam buku Introduksi Perjanjian Baru, oleh Pdt. Ola Tulluan Ph.D. YPPII Malang, hal 21 mengatakan : Dari semua penulis kitab Injil tidak ada yang mencatat namanya sendiri dalam judul kitab-kitabnya. Judul itu ditambahkan kemudian.

Bagaimana bagian-bagian dari Bibel ?
PERJANJIAN LAMA I. TAURAT Kejadian (Genesis), Keluaran (Exodus), Imamat (Leviticus), Bilangan (Numbers), Ulangan (Deuteronomy) II. KITAB-KITAB SEJARAH Sejarah pertama Yosua (Joshua), Hakim-hakim (Judges), Rut (Ruth), 1Samuel (1Samuel), 2Samuel (2Samuel), 1Raja-raja (1Kings), 2Raja-raja (2Kings) Sejarah kedua 1Tawarikh (1Chronicles), 2Tawarikh (2Chronicles), Ezra (Ezra), Nehemia (Nehemiah), Ester (Esther) III. SASTRA Ayub (Job), Mazmur (Pasalms), Amzal (Provebs), Pengkhotbah (Ecclesiastes), Kidung Agung (Song of Song) IV. KITAB-KITAB NUBUAT Nubuat nabi-nabi besar Yesaya (Isaiah), Yeremia (Jeremiah), Ratapan (Lementations), Yehezkiel (Ezekiel), Daniel (Daniel) Nubuat nabi-nabi kecil Hosea (Hosea), Yoel (Joel), Amos (Amos), Obaja (Obadiah), Yunus (Jonah), Mikha(Micah), Nahum (Nahum), Habakuk (Habakuk), Zefanya (Zephaniah), Hagai (Haggai), Zakharia (Zechariah), Maleakhi (Malachi) DEUTEROKANONIKA (Khusus Bibel Katolik Tobit, Yud, Yudit, Tambahan kitab Ester, Kebijaksanaan Salomo, Yesus bin Sirakh, Barukh, Tambahan Kitab Daniel, 1Makabe, 2Makabe PERJANJIAN BARU INJIL Matius (Mattew), Markus (Mark), Lukas (Luke), Yohanes (John) KISAH RASUL Kisah rasul (Acts) SURAT-SURAT PAULUS Surat-surat Paulus kepada jemaat dikota-kota Roma (Romas), 1Korintus (1Chorinthians), 2Korintus (2Chorinthians), Galatia (Gaalatians), Efesus (Ephisians), Filipi (Philippians), Kolose (Colossians), 1Tesalonika (1Thessalonians), 2Tesalonika (2Thessalonians) Surat-surat Paulus kepada pribadi 1Timotius (1Timothy), 2Timotius (2Timothy), Titus (Titus), Filemon (Philemon), Ibrani (Hebrews) SURAT MURID-MURID YESUS Yakobus (James), 1Petrus (1Peter), 2Petrus (2Peter), 1Yohanes (1John), 2Yohanes (2John), 3Yohanes (3John), Yudas (Jude) WAHYU Wahyu (Revelation)

Mengapa Bibel diganti nama Alkitab ?

Di negara-negara Barat (Kristen ) istilah Alkitab tidak dikenal, mereka hanya mengenal istilah Bible. Bibel sebagai alkitab hanya terdapat dinegara-negara yang mayoritas penduduknya beragama Islam. Perubahan istilah ini ada tujuannya yaitu untuk menyamakan kedudukan Bibel dengan Al-Qur’an yang juga sering disebut Alkitab.

Orang-orang Kristen yang telah belajar Islamologi dalam mendangkalkan aqidah umat Islam dengan rujukan ayat Al-qur?an yang berkaitan dengan istilah Alkitab untuk menakut-nakuti. Contohnya seperti dibawah ini.

Qs 2/159.Sesungguhnya orang-orang yang menyembunyikan apa yang telah Kami turunkan berupa keterangan-keterangan (yang jelas) dan petunjuk, setelah Kami menerangkannya kepada manusia dalam Al Kitab, mereka itu dilaknati Allah dan dilaknati (pula) oleh semua (makhluk) yang dapat melaknati.

Qs 2/174.Sesungguhnya orang-orang yang menyembunyikan apa yang telah diturunkan Allah, yaitu Al Kitab dan menjualnya dengan harga yang sedikit (murah), mereka itu sebenarnya tidak memakan (tidak menelan) ke dalam perutnya melainkan api, dan Allah tidak akan berbicara kepada mereka pada hari kiamat dan tidak akan menyucikan mereka dan bagi mereka siksa yang amat pedih.

Apa kata al-Qur?an tentang Bibel ?

Bibel sudah dikarang manusia Qs 2/79. Maka kecelakaan yang besarlah bagi orang-orang yang menulis Al Kitab dengan tangan mereka sendiri, lalu dikatakannya: ?Ini dari Allah?, (dengan maksud) untuk memperoleh keuntungan yang sedikit dengan perbuatan itu. Maka kecelakaan besarlah bagi mereka, akibat dari apa yang ditulis oleh tangan mereka sendiri, dan kecelakaan besarlah bagi mereka, akibat dari apa yang mereka kerjakan. (Qs 4:46 ; 6:91) Bibel sudah dirubah-rubah firmannya Qs 2/75.Apakah kamu masih mengharapkan mereka akan percaya kepadamu, padahal segolongan dari mereka mendengar firman Allah, lalu mereka mengubah-nya setelah mereka memahaminya, sedang mereka mengetahui? (Qs 5:13, 14, 41; 5:41; 9:9; Yer 8:8; Yer 35 12-19; Kej 22:2; Ul 28:15-68 ; Kel 20:11 >< Ul 5:5)

Peringatan Al-Quran cukuplah jelas bahwa Injil maupun Taurat yang terdapat dalam Bibel sekarang bukanlah Kitab Suci yang murni firman dari Allah SWT, tapi sudah banyak perubahan, tambahan dan penghilangan ayat-ayat didalamnya. Insha Allah pada edisi berikutnya kita akan membahas tentang : – Apa buktinya bahwa Bibel sudah dikarang manusia ? – Apa buktinya kalau firman Allah diubah ? – Adakah dalam Bibel ayat-ayat dengan kata-kata buruk (porno)? – Adakah dalam Bibel ayat-ayat yang bertentangan ? – Adakah ayat dalam Bibel bertentangan dengan ilmu pengetahuan ?


https://tausyah.wordpress.com/

Islamic ArtKeutamaan Imam Ali

Zaman kelahiran Islam dan pertumbuhannya ditandai oleh ci­ri khusus dalam suatu kurun waktu tertentu. Yaitu sepeninggal Rasul Allah s.a.w. ummat Islam dipimpin oleh 4 orang Khalifah yang sangat terkenal dan diakui serta dihormati oleh segenap kaum muslimin di dunia. Di antara empat orang Khalifah itu, terdapat seorang yang mempunyai kedudukan istimewa dalam sejarah, yaitu Imam Ali r.a.

Banyak sekali hal-hal yang memberikan keistimewaan kepa­danya. Antara lain sebagian ummat Islam di dunia sampai sekarang ini mengidentifikasikan diri sebagai pengikut Imam Ali bin Abi Thalib r.a., yaitu yang terkenal dengan sebutan kaum Syi’ah.

Selain itu, Imam Ali r.a.memang lebih masyhur disebut “I­mam”, daripada disebut Khalifah. Sedangkan Khalifah-khalifah lainnya, tak seorang pun yang disebut sebagai Imam. Sudah pasti hal itu disebabkan oleh adanya keistimewaan-keistimewaan yang melatar-belakangi kehidupan Imam Ali r.a., sehingga ia mempu­nyai identitas tersendiri dalam sejarah kehidupan ummat Islam.

Gelar Imam

Gelar “Imam” adalah khusus bagi Khalifah Ali bin Abi Thalib di samping gelar “Amirul Mukminin” yang lazim dipergu­nakan orang pada masa itu, untuk menyebut seorang pemangku jabatan sebagai pemimpin tertinggi dan Kepala Negara Islam.

Tentang ta’rif (definisi) dari perkataan “imamah” (keimam­an) oleh para ahli ilmu kalam, dirumuskan: “Imamah ialah kepe­mimpinan umum dalam segala urusan agama dan keduniaan yang ada pada seseorang…”

Jadi menurut ta’arif tersebut, maka yang dimaksud dengan “Imam” ialah seorang pemimpin atau seorang ketua yang ditaati dan memiliki kekuasaan yang menyeluruh atas semua orang mus­limin dalam segala urusan mereka, baik di bidang keagamaan maupun di bidang keduniaan.

Menurut mazhab “Imamiyah”, imamah merupakan keharus­an objektif dalam kehidupan masyarakat muslimin, yang dalam ke­adaan bagaimana pun tak dapat diabaikan. Dengan adanya ima­mah, semua yang tidak lurus dalam tata pelaksanaan agama dan tata kehidupan dunia, dapat diluruskan. Dengan imamah pula, keadilan yang dikehendaki Allah harus berlaku di muka bumi, dapat diusahakan realisasinya. Sebab terpenting perlunya diadakan imamah, ialah untuk mendorong masyarakat supaya dengan benar menjalankan ibadah kepada Allah s.w.t., untuk menyebar luas­kan ajaran agama-Nya, untuk menanamkan jiwa keimanan serta ketakwaan di kalangan anggota-anggota masyarakat.

Dengan demikian manusia akan mampu menghindarkan diri dari hal-hal yang buruk dan menghayati hal-hal yang baik, sebagai­mana yang dikehendaki Allah s.w.t. Untuk itu, ummat Islam wa­jib mentaati seseorang Imam dan melaksanakan perintah-perintahnya selama imam itu taat dan tidak menyimpang dari perintah-­perintah Allah s.w.t. Sebab hanya dengan ketaatan kaum musli­min, seorang Imam dapat membereskan keadaan yang tidak beres, mempererat persatuan dan kerukunan ummat, dan memberikan bimbingan ke jalan yang lurus dan benar.

Banyak sekali tugas dan kewajiban yang terpikul di pundak seorang Imam. Antara lain ialah menjaga dan memelihara pelaksa­naan perintah serta larangan agama; menjaga keselamatan Islam dan kemurniannya dari perbuatan orang-orang yang mengabaikan nilai-nilai susila dan moral; melaksanakan ketentuan-ketentuan hu­kum agama; menjamin pengayoman dan kesentosaan wilayah Is­lam; menjamin terlaksananya keadilan bagi orang-orang yang ter­aniaya (madzlum); memimpin ummat dalam perjuangan mene­gakkan kebenaran Allah dan lain sebagainya.

Untuk dapat menjadi Imam, orang harus memiliki syarat­syarat. Antara lain ia harus mempunyai pengetahuan yang luas; mempunyai rasa keadilan yang tinggi; berani karena benar, mampu memberikan pertolongan dan menanggulangi kesukaran, serta yang terpenting di atas segala-galanya ialah kebersihan pribadi.

Semua kaum muslimin menyadari, bahwa kebersihan pribadi ini merupakan karunia Allah yang dilimpahkan kepada hamba-Nya yang sempurna. Dengan kebersihan dan kesucian pribadi itu orang sanggup menjauhkan diri dari perbuatan-perbuatan dosa dan mak­siyat, baik yang mungkin dilakukan dengan sengaja atau tidak. Si­fat luhur seperti itu sudah tentu lebih terjamin adanya pada para Imam yang berasal dari Ahlu-Bait Rasul Allah s.aw., yaitu orang-­orang yang sanggup menjadi benteng dan pengawal agama Islam, atau orang-orang yang hidup sepenuhnya mendambakan keridhoan Allah semata-mata.

Dalam kaitannya dengan masalah tersebut, Imam Ali r.a. menegaskan: “Barang siapa yang hendak menjadikan diri sebagai Imam di kalangan masayarakat, maka ia harus mengajar dirinya sendiri lebih dulu sebelum mengajar orang lain. Ia harus mendidik dirinya dengan perilaku yang baik lebih dulu sebelum mendidik orang lain dengan ucapan. Orang yang sanggup mengajar dan mendidik diri sendiri lebih berhak dihormati daripada orang yang hanya pandai mengajar dan mendidik orang lain.”

Diantara empat orang Khalifah Rasyidun, hanya Khalifah Imam Ali bin Abi Thalib r.a. sajalah yang disandangi gelar “Imam” oleh kaum muslimin. Gelar ini tidak dikenakan kepada orang lain yang menjadi pemimpin kaum muslimin. Mengapa? Bukankah Abu Bakar Ash Shiddiq r.a. juga seorang Imam seperti Khalifah Ali? Bukankah Umar Ibnul Khattab r.a. juga seorang Imam seperti Ali? Bukankah Utsman bin Affan r.a. juga seorang Imam seperti Khalifah Ali? Bukankah Khalifah-Khalifah itu juga Khalifah Ra­syidun seperti Imam Ali? Bukankah juga Khalifah-Khalifah itu pe­nerus kepemimpinan Rasul Allah s.a.w. sepeninggal beliau?

Bila pengertian “imamah” hanya terbatas pada kekhalifahan saja, tentu tiga orang Khalifah itu semuanya adalah Imam-Imam juga seperti Imam Ali r.a. Bahkan mereka memegang “imamah” lebih dulu daripada Imam Ali r.a.

Mengenai hal itu, seorang penulis modern berkebangsaan Mesir, Abbas Al Aqqad, berpendapat, bahwa kalau yang disebut “imamah” pada masa itu hanya terbatas pengertiannya di bidang hukum, tentu persamaan antara empat orang Khalifah itu tidak perlu disangkal lagi. Tetapi, demikian kata Aqqad seterusnya, tiga orang Khalifah Rasyidun di luar Imam Ali r.a., tak ada seorang pun diantara mereka itu mengibarkan bendera imamah untuk mengha­dapi tantangan kekuasaan duniawi yang muncul di kalangan ummat. Tak ada yang menghadapi adanya dua pasukan bersenjata yang saling berlawanan di dalam satu ummat. Dan tidak ada yang menjadi lambang imamah dalam menghadapi masalah-masalah rumit, yang penuh dengan berbagai problema yang menimbulkan syak dan keraguan di kalangan ummat.

Al Aqqad menambahkan, bahwa dalam keadaan tidak adanya problema-problema seperti itu, tiga orang Khalifah sebelum Imam Ali r.a., boleh saja disebut Imam. Tentu saja pengertian “Imam” itu sangat berlainan dengan gelar “Imam” yang ada puda Imam Ali bin Abi Thalib r.a. Ia adalah seorang Imam yang menghadapi berbagai kejadian dan peristiwa yang banyak menimbulkan kera­gu-raguan berfikir di kalangan ummat. Oleh karena itulah gelar Imam diberikan kaum muslimin secara khusus kepada khalifah Ali bin Abi Thalib r.a. Begitu luasnya gelar itu dikenal orang sampai menjadi buah bibir. Hingga anak-anak pun mengenal Imam Ali lewat sanjungan-sanjungan yang dikumandangkan orang di jalan-­jalan, tanpa perlu disebut nama orang yang menyandang gelar itu sendiri.

Seterusnya Al Aqqad menjelaskan, bahwa “kekhususan ima­mah yang ada pada Ali bin Abi Thalib r.a. ialah bahwa ia seorang Imam yang tidak ada persamaannya dengan Imam-Imam lainnya. Sebab Imam Ali mempunyai kaitan langsung dengan mazhab-maz­hab yang ada di kalangan kaum muslimin, bahkan dimulai semen­jak kelahiran mazhab-mazhab itu sendiri pada masa pertumbuhan Islam. Jadi sebenarnya Imam Ali adalah pendiri mazhab-maz­hab, atau dapat juga disebut sebagai poros di sekitar mana golo­ngan mazhab itu berputar. Hampir tak ada satu golongan madzhab pun yang tidak berguru kepada Imam Ali bin Abi Thalib. Ham­pir tidak ada satu golongan madzhab pun yang tidak memandang Imam Ali sebagai pusat pembahasan ilmu agama.”[1]

Menurut kenyataannya, Imam Ali r.a. adalah Imam yang be­nar-benar memiliki semua syarat yang diperlukan. Satu keistime­waan yang paling menonjol dan tidak dipunyai oleh Khalifah-kha­lifah lainnya, ialah penguasaannya di bidang-bidang ilmu agama. Tentang hal ini akan kita bicarakan di bagian lain buku ini.

Di sini kami hanya ingin mengemukakan, bahwa Abdullah bin Abbas, seorang ulama yang terkenal luas ilmu pengetahu­annya sampai diberi sebutan “habrul ummah” (pendekar ummat) dan “juru tafsir Al Qur’an,” mengatakan dengan jujur, bahwa di­banding dengan ilmu Imam Ali, ilmunya sendiri ibarat setetes air di tengah samudera. Khalifah Umar Ibnul Khattab r.a. juga mengatakan: “Hai Abal Hasan (nama panggilan Imam Ali r.a.) mudah-mudahan Allah s.w.t. tidak membiarkan aku terus hidup di bumi tanpa engkau!”

Disadur dari buku :

Sejarah Hidup Imam Ali bin Abi Thalib r.a.
Oleh H.M.H. Al Hamid Al Husaini

https://tausyah.wordpress.com

Tausiyah In Tilawatun islamiyah-Islam_RamadanSejarah Natal

Kata natal berasal dari bahasa Latin yang berarti lahir. Secara istilah Natal berarti upacara yang dilakukan oleh orang Kristen untuk memperingati hari kelahiran Isa Al Masih – yang mereka sebut Tuhan Yesus.
Peringatan Natal baru tercetus antara tahun 325 – 354 oleh Paus Liberius, yang ditetapkan tanggal 25 Desember, sekaligus menjadi momentum penyembahan Dewa Matahari, yang kadang juga diperingati pada tanggal 6 Januari, 18 Oktober, 28 April atau 18 Mei. Oleh Kaisar Konstantin, tanggal 25 Desember tersebut akhirnya disahkan sebagai kelahiran Yesus (Natal).

Kelahiran Yesus Menurut Bibel

Untuk menyibak tabir Natal pada tanggal 25 Desember yang diyakini sebagai Hari Kelahiran Yesus, marilah kita simak apa yang diberitakan oleh Bibel tentang kelahiran Yesus sebagaimana dalam Lukas 2:1:8 dan Matius 2:1, 10, 11 (Markus dan Yohanes tidak menuliskan kisah kelahiran Yesus). (lebih…)

Tafsir kitab Yohanes (bag.2)

“Dan tatkala ‘Isa putra Maryam berkata: hai Bani Israil, sesungguhnya aku adalah Rasul Allah kepada kamu, membenarkan Taurat yang turun sebelumku dan memberikan kabar gembira mengenai seorang Rasul sesudahku yang bernama Ahmad.” (QS. ash-Shaff 61:6)

Kita semua tahu, pengutusan ‘Isa al-Masih terhadap umat Bani Israil adalah sebagai pelanjut risalah Taurat yang telah diturunkan melalui Nabi Musa as lebih kurang 1300 tahun sebelumnya. Dalam satu kalimat lain yang panjang telah diriwayatkan oleh Matius dalam Injil karangannya pada pasal ke-5 ayat 17 hingga 18 bahwa ‘Isa pernah bersabda :

“Janganlah engkau menganggap bahwa aku datang untuk menghapus hukum Musa dan ajaran para Nabi. Aku datang bukan untuk menghapuskannya melainkan untuk menggenapkannya. Karena aku berkata kepadamu, selama belum lenyap langit dan bumi ini, satu noktahpun tidak akan dihapuskan dari hukum Taurat sebelum semuanya terjadi.”

Apakah yang dimaksud oleh putra Maryam ini bahwa kedatangannya untuk menggenapkan ? Menggenapi berarti menutupi sesuatu sehingga tidak menjadi ganjil atau bisa juga kita artikan sebagai menyelesaikan sesuatu.

Jika ‘Isa bersabda bahwa beliau hadir untuk menggenapi hukum Musa maka disini berarti bahwa ‘Isa datang untuk menyelesaikan hukum Musa ditengah Bani Israil, menyelesaikan dalam makna menutupi, menuntaskan namun tidak dalam makna meniadakan atau menghapuskan.

Bahwa ‘Isa telah hadir ketengah-tengah umatnya, Bani Israil tidak dengan membawa hukum-hukum baru, beliau mengikuti syariat Nabi sebelumnya sebagaimana juga Daud, Sulaiman dan para Nabi setelah Musa yang lain, mereka berkiblat terhadap syariat Taurat.

‘Isa dengan wahyu yang beliau terima dari Allah yang disebut sebagai Injil berfungsi sebagai penggenapan hukum-hukum Taurat terhadap Bani Israil, sebab setelah masa kenabiannya ini, tiada akan ada lagi Nabi lain yang diutuskan bagi umat Israil yang berasal dari benih Ya’kub, kerajaan Allah selanjutnya akan diangkat dari mereka oleh sebab keingkaran yang senantiasa mereka perlihatkan.

Untuk hal ini Nabi ‘Isa al-Masih telah bersabda dalam salah satu hadistnya yang diriwayatkan oleh Matius pada pasal 21:43 :

“Aku berkata kepadamu, bahwa kerajaan Allah akan diambil darimu dan akan diberikan kepada suatu bangsa yang akan menghasilkan buah kerajaan itu.”

Hadist ini memiliki kaitan yang erat dengan apa yang telah disabdakan oleh Nabi Musa as sebelumnya kepada umat Bani Israil yang tercatat dalam Kitab Hadist Ulangan pasal 9:12 dan pasal 31:27-28 :

“Bahkan kamu menentang Tuhan sejak aku mengenal kamu.”
“Sebab aku mengenal kedegilan dan tegar tengkukmu. Sedang sekarang, selagi aku hidup bersama-sama dengan kamu, kamu sudah menunjukkan kedegilanmu terhadap Tuhan, terlebih lagi nanti sesudah aku wafat.”

Dalam salah satu “Hadist qudsi” yang tercatat pada Kitab Ulangan pasal 32:21, Allah berfirman :

“Mereka membangkitkan cemburu-Ku dengan yang bukan Tuhan, mereka menimbulkan murka-Ku dengan berhala mereka. Sebab itu Aku akan membangkitkan cemburu mereka dengan yang bukan kaumnya dan akan menerbitkan amarahnya dengan satu kaum yang hina.”

Perjalanan hidup Nabi ‘Isa putra Maryam didalam menyampaikan risalah Allah kepada Bani Israil telah mendapatkan tantangan yang hebat dari beberapa pihak, beliau selalu dikejar dan diburu oleh para musuhnya yang telah menganggap kehadiran ‘Isa sebagai ancaman bagi kekuasaan dan kehendak mereka.

Yang lebih menyakitkan lagi bagi diri putra Maryam ini, saudara-saudaranya pun tidak memiliki kepercayaan terhadap dirinya sebagaimana yang diriwayatkan oleh Yohanes pada pasal 7:5

“Saudara-saudaranya sendiripun tidak mempercayainya.”

Bahkan dalam riwayat Markus pasal 3:21 dinyatakan juga, para keluarga-nya sendiri sudah menganggapnya gila.

“Waktu kaum keluarganya mendengar hal tersebut, mereka datang hendak mengambil dia, sebab kata mereka, dia itu tidak waras lagi.”

Kepedihan yang ditanggung ‘Isa al-Masih ditambah pula dengan kekecewaannya terhadap para sahabat utamanya yang berjumlah dua belas orang (dalam teologi Nasrani disebut sebagai murid pilihan). Karena mereka semua sama sekali tidak ada satupun yang benar-benar mempercayainya, hingga bahkan pada saat-saat terakhir penangkapan ‘Isa al-Masih mereka semua melarikan diri, menyelamatkan dirinya masing-masing dengan meninggalkan putra Maryam seorang diri menghadapi marabahaya.

“‘Isa berkata kepada mereka, Mengapa kamu takut, kamu yang kurang percaya ?”
(Matius 8:26)

“…dan ‘Isa berkata kepada Petrus: wahai orang yang kurang percaya …”
(Matius 14:31)

“…’Isa berkata kepada para muridnya: Kamu yang kurang percaya, mengapa kamu memperbincangkannya ?” (Matius 16:8)

“Lalu kata ‘Isa kepada mereka, dimanakah kepercayaanmu ?”
(Lukas 8:25)

“Lalu semua murid itu meninggalkan dia dan melarikan diri.”
(Matius 26:56)

Bisa kita rasakan betapa kecewanya ‘Isa al-Masih, dan sebagai satu ungkapan rasa kecewanya ini, ‘Isa bersabda dalam hadist yang diriwayatkan oleh Yohanes dalam pasal 16:32 :

“Lihat, saatnya datang, bahkan sudah datang, bahwa kamu diceraiberaikan masing-masing ke tempatnya sendiri dan kamu meninggalkan aku seorang diri. Namun aku tidak seorang diri, sebab Allah menyertaiku.”

Dan ungkapan rasa kecewanya ini diadukannya kepada Allah yang telah mengutus dirinya sebagai Nabi ketengah-tengah Bani Israil yang senantiasa ingkar dan keterlaluan, tampaknya disini ‘Isa al-Masih merasa putus asa untuk memberikan pengajaran kepada umatnya dan mengharapkan Allah memberikan seorang “pembimbing” yang lain kepada mereka karena ia sudah tidak sanggup lagi menghadapi semuanya.

Diriwayatkan oleh Yohanes dalam pasal 14:16 s.d 14:17

“Dan aku akan memohon kepada Allah, dan Dia akan memberikan kepadamu seorang “Paraclete” yang lain, yang akan dapat menyertai kamu selamanya, “The Spirit of Truth”, yang tidak akan diterima oleh dunia sebab dunia tidak melihat dan tidak mengetahuinya tapi kamu mengenalnya. Karena dia akan menyertai dan bersama kamu.”

Pada pasalnya yang ke 16:7 hingga 16:9, Yohanes meriwayatkan sabda ‘Isa selanjutnya :

“Tetapi aku mengatakan ini yang benar kepadamu, bahwa berfaedahlah bagi kamu jikalau aku ini pergi, karena jikalau aku tidak pergi, tiadalah “Paraclete” itu akan datang kepadamu; tetapi jika aku pergi, aku akan memintakannya untukmu. Dan bilamana dia sudah datang, dia akan menerangkan kepada isi dunia ini mengenai dosa dan keadilan serta hukuman dari dosa, sebab mereka tidak mempercayaiku.”

Dalam pasal 16:12 s.d. 16:15 ditambahkan :

“Sebenarnya, masih banyak perkara yang hendak kukatakan kepadamu, namun kamu tidak bisa menerimanya sekarang. Tetapi apabila dia, “The Spirit of Truth” telah datang, dia akan mengajarkanmu seluruh hal tentang kebenaran, sebab dia tidak akan berkata-kata menurut kehendaknya sendiri, tetapi apasaja yang akan dia dengar itulah yang akan dikatakannya. Dia akan mengabarkan kepadamu semua perkara yang akan datang.”

“Maka ia akan memuliakan aku, karena ia akan mengambil daripada hakku, lalu mengabarkannya kepadamu, segala sesuatu yang hak Allah itu juga hakku, oleh sebab itu aku berkata, bahwa diambilnya daripada hakku, lalu dikabarkannya kepadamu.” (Paragraph terakhir ini dikutip dari dalam Bible terjemahan Lembaga Alkitab Indonesia 1963)

Pada pasal 14:26 juga diriwayatkan :

“Tetapi sang “Paraclete”, “The Holy Spirit” yang akan diutus Allah karenaku, dia akan mengajarkan kepadamu seluruh perkara dan akan mengingatkan kepadamu apa yang telah kusabdakan padamu.”

Dan juga pasal 15:25 s.d. 15:26
“Tetapi telah terpenuhilah nubuat yang tertulis dalam hukum Taurat mereka, mereka membenciku tanpa sebab. Namun ketika sang “Paraclete” yang kupintakan kepada Allah, “The Spirit of Truth”, yang akan diberikan oleh Allah telah datang, dia akan memberikan kesaksian tentang aku.”

Begitulah akhirnya, setelah tantangan demi tantangan dihadapi oleh ‘Isa putra Maryam dengan penuh ketabahan dalam menyebarkan risalah Allah, umat Bani Israil tetap tidak mempercayainya.

Dan Allah telah memerintahkan kepada ‘Isa al-Masih agar segera menyingkir dari tengah-tengah kaumnya dengan terlebih dahulu memberikan satu nubuat, memberikan satu kabar gembira, yaitu akan hadirnya seorang “Paraclete” lain setelah kepergiannya sebagaimana permintaan dari ‘Isa al-Masih sendiri.

Kata “Paraclete” diatas saya ambil dari “Douay”, yaitu kitab Bible tertua milik orang-orang Katholik Roma (dikenal juga sebagai RCV = Roman Catholic Version) yang diterbitkan di Rheims pada tahun 1582 dari terjemahan Injil berbahasa Latin Jerome dan direproduksi di Douay tahun 1609, untuk meyakinkan anda semuanya, maka anda bisa membaca kata ini pada alamat yang saya berikan berikut : http://www.cybercomm.net/~dcon/NT/john.html

(catatan : Bible “Douay” ini tidak diakui oleh kaum Protestan serta “cults” atau sekte-sekte Nasrani “Bid’ah” lainnya, sebab didalam kitab ini terdapat 7 kitab yang kebenarannya diragukan. Dan mengenai 7 kitab ini bisa anda link pada web site “Noncanonical Homepage” dengan alamat http://wesley.nnc.edu/noncanon.htm atau juga
http://www.tparents.org/Lib-Bib-Rsv.htm)

Sedangkan menurut apa yang tertulis dalam web site bertitle-kan “Adakah Muhammad diramalkan di dalam Injil?” dengan alamat http://answering-islam.org.uk/Bahasa/Risalah/risalah04.html#1 yang merupakan terjemahan dari web site Answering-Islam (http://answering-islam.org) “IS THERE A PREDICTION OF MUHAMMAD IN THE INJIL?” (http://www.debate.org.uk/topics/trtracts/t04.htm) telah diterangkan :

“Nashkhah-nashkhah Yunani Mengesahkah ‘Parakletos’.
Kalaulah ada apa-apa yang dicurigai bagaimana perkataan ini ditulis, adalah mudah sekali bagi merujuk kepada nashkhah-nashkhah yang sedia ada.

Sesiapa pun boleh memeriksa dokumen-dokumen dan nashkhah-nashkhah (termasuk kedua-dua yang paling tua, ‘Codex Siniaticus’ dan ‘Codex Alexandrinus’ yang terdapat di British Museum di London). Terdapat lebih daripada 70 buah nashkhah-nashkhah Yunani bagi Kitab Injil yang bertarikh sebelum kedatangannya Muhammad. Tidak ada satu pun di antara mereka yang menggunakan perkataan ‘periklytos‘! Semua nashkhah-nashkhah ini menggunakan perkataan ‘Parakletos’. Pada hakikatnya perkataan ‘periklytos’ ini tidak terjumpa sama sekali di dalam Kitab Injil !”

Dan dalam alamat http://www.ridgecrest.ca.us/~immanuel/grow/jwclass/LESSON7.html didapati pengertian dari kata “Paracletos” yaitu sebagai “Helper, Comforter (Greek – parakletos – an intercessor, consoler – advocate, comforter)”.

Jadi kesimpulannya, yang dimaksudkan dengan Paraclete atau Paracletos adalah seorang Pembela perkara, pengacara, penasehat, penolong serta penghibur.

Dalam kitab hadistnya yang bernama Injil, Yohanes, salah seorang Nasrani telah meriwayatkan nubuatan ‘Isa al-Masih akan kedatangan seorang “Paraclete” yang lain, kedatangan seorang penolong yang lain atau seorang pembela yang akan datang setelah kepergian dirinya dari tengah-tengah umat Bani Israil.

Sang Paraclete yang lain ini menurut ‘Isa al-Masih adalah “The Holy Spirit” dan ini tercantum dalam Yohanes 14:26. Sebelum kita membahas lebih lanjut, ada sedikit catatan yang akan saya tuliskan disini.

Bahwa para Ahli Kitab telah sering membuat kesalahan dalam penterjemahan kalimat Yohanes 14:26 ini, dalam kebanyakan terjemahan Bible, kata “Pneuma” yaitu kata Yunani untuk “Spirit” telah diartikan sebagai “Ghost”, sehingga terjemahannya bukan sebagai “The Holy Spirit” (Jiwa atau Roh yang suci), melainkan “The Holy Ghost” (Hantu atau Bayangan Suci).

Anda bisa membuktikan langsung pada Bible yang anda miliki, umpamanya saya refer pada Software Bible Plus (King James Version) yang bisa anda download pada alamat ftp://zdftp.zdnet.com/pub/private/sWlIB/home_hobby/religion/wbib.zip telah mempergunakan kata “Holy Ghost”, begitu juga dengan Bible “Douay” alias Roman Catholic Version yang bisa anda baca dialamat http://www.cybercomm.net/~dcon/NT/john.html telah tertulis sebagai “Holy Ghost”.

Namun apabila anda memiliki Bible Revised Standard Version, yaitu Bible revisi terbaru, maka anda akan menemukan kalimat tersebut diterjemahkan sebagai “Holy Spirit”, atau bila anda tidak ingin membuka-buka kitab Bible anda secara manual anda bisa melakukan rujukan pada “The Restored Name King James Version of the Scriptures” dengan alamat http://www.eliyah.com/Scripture/, disana anda juga akan menemukan kembali terjemahan “The Holy Spirit” sebagaimana terjemahan RSV diatas.

Dalam hal ini, The Revised Standard Version serta The Restored Name King James Version of the Scriptures sudah menterjemahkan secara tepat makna dari kata Yunani Pneuma yang terdapat dalam naskah Bible (manuskrip).

Dan karena itu kita mengatakan dengan simple bahwa makna Paraclete yang disebutkan oleh ‘Isa putra Maryam sebagai The Holy Spirit adalah Nabi yang suci.
Kenapa begitu ?

Anda buka kitab 1 Yohanes 4:1 menyebutkan :
“Saudara-saudara sekalian, janganlah percaya kepada setiap “Spirit”, tetapi ujilah “The Spirits” tersebut apakah mereka berasal dari Allah. Sebab banyak “The False Prophets” yang telah muncul dan pergi keseluruh dunia.”

Kita lihat disana bahwa kata Spirit yang dipergunakan disini sama dengan Prophet, atau kata “Jiwa/Roh” = “Nabi”.

Dalam Bible C.I.Scofield’s Authorized King James Version” ketika sampai pada kata ‘Spirit atau Roh’ yang pertama pada ayat 1 Yohanes 4:1 tersebut, diarahkan agar para pembacanya membandingkan dengan yang tertera dalam Matius 7:15.

“Waspadalah terhadap “false prophets” yang datang kepadamu dengan menyamar seperti domba, tetapi sesungguhnya mereka adalah serigala yang buas.”

Dengan perbandingan ini kita semakin mengetahui bahwa “Nabi yang salah adalah Roh yang salah”, jadi kalimat “Spirit” = “Prophet” didalam Tafsir Yohanes dan Matius.

Dan Yohanes terus memberikan kepada kita petunjuk atau kriteria sebagai Nabi atau Roh mana yang benar dan Nabi atau Roh mana yang salah.

Demikianlah kita mengenal Roh Allah: setiap roh yang mengaku, bahwa ‘Isa al-Masih telah datang sebagai manusia, berasal dari Allah.” (1 Yohanes 4:2)

Berdasarkan penafsiran Yohanes sendiri pada ayat 1 sebelumnya bahwa kata Roh sama dengan kata Nabi. Jadi ayat 2 “Roh Allah” akan memiliki arti “Nabi Allah” dan “setiap Roh” sama dengan “setiap Nabi”.

Maka Paraclete atau Paracletos yang telah dimaksudkan oleh ‘Isa al-Masih adalah seorang Nabi Allah yang suci, Nabi yang benar (dalam Yohanes 14:17 juga disebut dengan nama ” the Spirit of truth”) yang akan datang setelah kepergian dirinya dan menyatakan kesaksian mengenai kemanusiaan ‘Isa al-Masih dan memuliakannya sekaligus berfungsi sebagai pembimbing, mewajibkan tegaknya supremasi hukum kepada dunia, baik perihal duniawi (yaitu keadilan) maupun rohani (yaitu perihal dosa).

Sang Paraclete ini suatu gambaran yang tepat bagi diri Nabi Muhammad Saw yang telah datang lebih kurang 600 tahun setelah kepergian ‘Isa al-Masih dari kalangan Bani Israil yang memenuhi nubuatan Nabi Musa pada Kitab Ulangan 18:15 dan 18:18 bahwa Nabi tersebut datang dari saudara Bani Israil sekaligus juga memenuhi nubuat Allah sendiri pada Hadist Qudsi-Nya di Ulangan 32:21 untuk membangkitkan kecemburuan dari satu kaum yang dianggap hina oleh Bani Israil, yaitu Bani Ismail, leluhur Nabi Muhammad Saw.

Parakletos dalam arti ‘Pembela perkara, pengacara, advokat’ menunjukkan bahwa Nabi Muhammad Saw yang membela seluruh dakwahan mengenai ‘Isa al-Masih yang kenabiannya ditolak oleh umat Bani Israil dan menuduhnya sebagai anak haram yang telah terbunuh diatas kayu salib terkutuk sekaligus membela ‘Isa al-Masih dari dakwahan sebagian umat Nasrani yang mengatakan bahwa dirinya adalah anak dari Tuhan atau Tuhan yang melakukan inkarnasi kebumi.

“Seandainya aku bersaksi akan diriku maka kesaksianku itu tidak akan diterima, akan ada orang lain yang akan memberikan kesaksian mengenaiku dan aku tahu kesaksiannya tentang diriku adalah benar.” (Yohanes 5:31-32)

Nabi Muhammad Saw telah memuliakan kedudukan Nabi ‘Isa putra Maryam dan memerintahkan umat Islam, apabila mendengar nama seorang Nabi, termasuk Nabi Isa (Jesus) disebut, harus mengiringinya dengan kata-kata “alaihis-salaam” yang berarti “semoga sejahtera atas dirinya”.

Selain itu juga salah satu bentuk kemuliaan Isa Almasih putra Maryam yang disampaikan oleh Rasulullah Saw adalah, didalam al-Qur’an telah disebut nama ‘Isa a.s, lebih dari dua puluh lima kali dan digelarinya dengan berbagai gelar dan sifat, diantaranya : ‘Isa putra Maryam’, ‘Seorang Nabi’, ‘Seorang shaleh’, ‘Kalimah Allah’, ‘Masihullah’ dan lain sebagainya.

Semuanya menunjukkan bahwa betapa Nabi Muhammad Saw sangat memuliakan ‘Isa al-Masih, putra Maryam Rasul Allah sekaligus memberikan kesaksiannya akan kemanusiaan ‘Isa sebagaimana yang dituliskan oleh 1 Yohanes 4:2.

Dalam pembahasan terdahulu kita sudah menguraikan bahwa ‘Isa al-Masih didalam Bible selalu mengatakan dirinya sebagai “Anak manusia”, dan begitu pula halnya dengan Nabi Muhammad Saw, hampir dalam setiap kali penyebutan atau penulisan nama ‘Isa selalu disertai dengan kata “putra Maryam” (son of Marry).

Allah sudah berkehendak untuk mengakhiri penderitaan yang dialami oleh ‘Isa al-Masih dari aniaya kaumnya, dan ‘Isa tidak bisa menolaknya, sebab dia hanyalah seorang hamba dan bukan khaliq. Sebagai seorang hamba, dia wajib tunduk pada apa yang sudah diperintahkan oleh sang penciptanya seperti apa yang telah disabdakannya sendiri :

“Aku tiada dapat berbuat apapun menurut kehendakku; sebab apa yang kudengar, kuputuskan dan ku hukumkan tidak atas keinginanku tetapi atas kehendak Allah yang telah mengutusku.”
(Yohanes 5:30)

Muhammad Saw disebutkan oleh ‘Isa dalam Yohanes 16:14 sd. 15 akan mengambil daripada hak ‘Isa al-Masih adalah merefer pada kenabian Muhammad Saw yang bersifat universal yang juga akan menggantikan posisi kenabian ‘Isa al-Masih ditengah umat Yahudi yang akan memberikan bimbingan kepada mereka, memberikan pengajaran, menunjukkan kebenaran.

Kalimat ini juga dikeluarkan oleh ‘Isa al-Masih sebagai konsekwensi dari ucapannya pada Yohanes pasal 16:12 bahwa kaum Bani Israel belumlah sanggup menerima beban berupa perintah Allah yang disampaikan melalui ‘Isa masa itu, karenanya dikatakan bahwa dengan kedatangan sang utusan berikutnyalah Bani Israil akan mendapati petunjuk yang seharusnya mereka terima dan mereka dengarkan serta mereka ikuti.

Dan ini tertepati, dimana Nabi Muhammad Saw sebagai Paraclete yang juga bergelar The Spirit of Truth alias al-Amin, mengabarkan kedatangannya untuk memberi pengajaran kepada seluruh manusia, termasuk Bani Israil mengenai Tauhid, hukum, keadilan, perundang-undangan, pola hidup bermasyarakat dan berketuhanan, masalah kebenaran hingga pada masalah hari kiamat yang akan datang, yang kesemuanya itu merupakan refleksi dari nubuatan ‘Isa al-Masih bahwa Roh kebenaran itu akan memberitakan segala kebenaran, menyangkut hukum dan perundang-undangan Tuhan serta mengabarkan hal-hal yang akan datang.

Hal-hal yang akan datang ini bila kita merujuk kepada al-Qur’an, adalah berupa mukjizatnya yang berisikan petunjuk-petunjuk kepada manusia dalam bidang ilmu pengetahuan seperti kedokteran, geologi, antariksa, kelautan dan sebagainya hingga pada permasalahan kiamat yang akan terjadi.

Dan seluruhnya ini disebutkan lagi oleh ‘Isa al-Masih tidak akan dikatakannya berdasarkan kehendaknya sendiri melainkan segala sesuatu yang didengarnya dari Tuhan itulah yang akan dikatakannya (lihat kembali Yohanes ayat ke-13 dari pasal 16), dan ini sesuai pula dengan pernyataan al-Qur’an mengenai pribadi Nabi Muhammad Saw :

“Wa maa yantiqu anil-hawa in huwa illa wahyun yuuhaa”
“Tidaklah ia itu berkata-kata menurut nafsunya sendiri melainkan apa yang diucapkannya itu adalah wahyu yang diberikan.” (QS. An-Najm 53:3-4)

Sang Paraclete ini juga disebutkan oleh ‘Isa al-Masih putra Maryam akan mengingatkan Bani Israil akan apa yang pernah disabdakan olehnya kepada mereka.

Hampir mayoritas dari umat Nasrani yang ada sekarang berpahamkan kepada doktrin Trinitas, yaitu suatu paham yang menyatakan keterbagian Tuhan dalam beberapa bagian kecil. Ini sama sekali tidak diajarkan oleh ‘Isa al-Masih semasa keberadaannya ditengah-tengah umat Bani Israil. Justru ‘Isa al-Masih mengajarkan akan ke-Esaan Allah bukan ketringgulan Allah. Ajaran ini berasal dari seorang musuh besarnya dari Tarsus yang bernama Saul.

Saul telah mengaku mendapatkan mandat dari ‘Isa meski tidak ada satupun bukti yang otentik yang dapat diperlihatkannya atas pengakuannya ini. Kedatangan Saul ketengah-tengah Bani Israil terutama ketengah-tengah para sahabat ‘Isa justru membuat ajaran al-Masih yang sejati menjadi kacau balau.

‘Isa al-Masih telah mengatakan dirinya hanya diutus untuk kaum Israel, namun Saulus mengubahnya, Muhammad Saw datang lalu mengingatkan kembali perihal ini, ‘Isa mengatakan dirinya datang bukan sebagai penghapus hukum Taurat, tetapi Saul mengubah hukum Taurat.

Muhammad Saw juga datang untuk mengingatkan kembali kaum Bani Israil dan juga manusia lainnya, ‘Isa juga mengatakan bahwa dirinya hanyalah anak manusia dan dia adalah pesuruh Allah, Saul mengubahnya menjadi ‘Isa putra Allah dan merupakan Allah itu sendiri, Muhammad datang mengingatkan bahwa benar ‘Isa adalah anak manusia, putra Maryam yang diberkahi Allah, dan ‘Isa adalah Nabi dan Rasul Allah.

‘Isa juga menyeru kepada manusia bahwa Tuhan itu Esa, Tuhan itu satu, tidak ada Tuhan selain Allah, Saul mengubahnya, bahwa Tuhan itu Tiga, dan Tiga adalah satu, Muhammad juga mengingatkan manusia akan misi para Nabi dan Rasul sebelumnya bahwa Tuhan yang benar adalah satu bukan tiga, sama seperti apa yang dikatakan oleh ‘Isa, Musa, Ibrahim dan sebagainya.

Itulah Muhammad Saw sang Paraclete agung yang dalam menjalankan misi kenabiannya tidak pernah berkeluh kesah atau putus semangat sebagaimana yang terdapat dalam Tafsir Kitab Yesaya yang pernah kita bahas sebelumnya.

Perjuangannya didalam mensyiarkan ajaran Allah yang sejati tidak tergoyahkan meski untuk itu beliau Saw harus berhadapan dengan kaumnya, menghadapi caci maki dan aniaya, fitnah maupun seringai bahkan hingga harus terusir dari tanah kelahirannya sendiri, Mekkah al-Mukarromah menuju ketanah Madinah persis seperti Musa yang harus hijrah kebumi Median.

Dan sejarah telah mencatat sukses yang dicetak oleh Nabi besar Muhammad Saw ini didalam membangun peradaban umat manusia, ilmu pengetahuan sudah membuktikan akan kebenaran kata demi kata yang keluar dari mulutnya mengenai alam semesta, keagungannya menembus waktu dari jaman kejaman dari satu pulau kepulau yang lainnya diseantero bumi Allah ini.

“Katakanlah: “Aku bukanlah Rasul yang pertama di antara Rasul-rasul dan aku tidak mengetahui apa yang akan diperbuat terhadapku dan tidak terhadapmu. Aku tidak lain hanyalah mengikuti apa yang diwahyukan kepadaku dan aku tidak lain hanyalah seorang pemberi peringatan yang memberi penjelasan”. (QS. 46:9)

“Hai manusia ! sungguh, telah datang kepadamu bukti yang nyata dari Tuhanmu. Dan telah Kami turunkan untukmu cahaya yang terang”. (QS. An-Nisa’ 4:174)

“Sesungguhnya kafirlah orang-orang yang mengatakan:”Bahwa Allah adalah salah satu oknum dari Tritunggal”, padahal sekali-kali tiada Tuhan selain Tuhan Yang Satu. Jika mereka tidak berhenti dari apa yang mereka katakan itu, pasti orang-orang yang kafir diantara mereka akan ditimpa azab yang pedih.” (QS. Al-Ma’idah 5:73)

“Sungguh, telah kafirlah orang-orang yang berkata :”Allah itu adalah al-Masih putera Maryam”. Tanyakanlah:”Siapakah yang dapat menghalang-halangi kehendak Allah, jika Dia hendak membinasakan Al-Masih putera Maryam itu beserta ibunya dan siapa saja diatas bumi semuanya ?” Kepunyaan Allah kerajaan langit dan bumi dan apa yang diantara keduanya; Ia menciptakan apa yang Ia kendaki. Dan Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu.” (QS. Al-Ma’idah 5:17)

“Sungguh telah kafirlah orang-orang yang berkata:”Bahwa Allah ialah al-Masih putera Maryam”, padahal al-Masih sendiri berkata:”Hai Bani Israil, sembahlah Allah Tuhanku dan Tuhanmu !”. Siapapun mempersekutukan Allah, telah Allah larang kepadanya surga, dan tempat kediamannya ialah neraka, tidaklah ada bagi orang-orang zalim itu seorang penolongpun.” (QS. Al-Ma’idah 5:72)

“Maka jawab ‘Isa kepadanya. Hukum yang terutama adalah: Dengarlah wahai Israil, adapun Allah Tuhan kita, ialah Tuhan yang Esa.” (Markus 12:29)

https://tausyah.wordpress.com

MUQADIMAH

Bab 00 Profil Imam Ali Bin Abu Thalib

Usaha menyingkat sejarah kehidupan Imam Ali bin Abi Thalib r.a. dalam lembaran-lembaran buku, bukanlah pekerjaan yang mudah. Sejak semula telah terbayang kesukaran-kesukaran yang bakal dihadapi. Betapa tidak!

Kehidupan Imam Ali bin Abi Thalib r.a., terutama pada tahap-tahap terakhir, sejak terbai’atnya sebagai Khalifah sam­pai wafatnya sebagai pahlawan syahid, bukankah satu kehidu­pan biasa. Ia merupakan satu proses kehidupan yang lain dari­pada yang lain. Ia menuntut penalaran luar biasa, menuntut ke­kuatan syaraf istimewa pula.

Kehidupan Imam Ali bin Abi Thalib r.a. penuh dengan ledakan-ledakan luar biasa, keagungan dan hal-hal mempesona­kan. Tetapi bersamaan dengan itu juga penuh dengan gelombang kekecewaan dan kengerian.

Oleh karena itu penulisan tentang semua segi kehidupannya menjadi benar-benar tidak mudah. Ditambah pula dengan adanya pihak-pihak yang menilai beliau secara berlebih-lebihan. Baik dalam memujinya maupun dalam mencacinya.

Imam Ali bin Abi Thalib r.a. sendiri tidak senang pada orang-­orang yang menilai diri beliau secara berlebih-lebihan. Hal itu ter­cermin dengan jelas dari kata-kata beliau: “Ada dua fihak yang celaka karena berlebih-lebihan menilai sesuatu yang sebenarnya tidak kumiliki. Sedangkan pihak yang lain ialah yang demikian bencinya kepadaku sehingga mereka melontarkan segala kebo­hongan tentang diriku.”

Dari sini pulalah maka Imam Ali r.a. mengatakan: “Ada se­golongan orang yang demi cintanya kepadaku mereka bersedia masuk neraka. Tetapi ada segolongan lain yang demi kebencian­nya kepadaku sampai-sampai mereka itu bersedia masuk neraka.”

Ada dua faktor yang menyebabkan timbulnya pertentangan penilaian mengenai menantu dan sekaligus saudara misan Rasul Allah s.a.w. itu. Dua faktor itu ialah sifat atau watak pribadi Imam Ali r.a. sendiri dan situasi serta kondisi kehidupan Islam pada za­man hidupnya tokoh penting Islam itu.

Faktor mana yang lebih dominan, sehigga pribadi Imam Ali r.a. mempunyai kedudukan yang unik dalam sejarah Islam sulit dikatakan. Yang jelas kedua faktor itu memegang peran penting dan memberi arti khusus yang pengaruhnya hingga kini masih te­rasa. Bahkan sejak meninggalnya pada tahun 40 Hijriyah pendapat yang kontroversial mengenai dirinya itu tidak mereda, malahan makin berkembang sehingga sangat mewarnai sejarah Islam sampai abad ke-15 Hijriyah sekarang ini.

Periode kehidupan Imam Ali r.a. ditandai dengan tantangan-­tantangan yang dihadapi oleh ummat Islam, terutama setelah wafatnya Rasul Allah s.a.w. Belum lagi jenazah Rasul Allah s.a.w. dimakamkan telah muncul krisis. Dan krisis itu disusul pula oleh krisis-krisis lain. Ancaman dari dalam dan dari luar sangat membahayakan kedudukan Islam yang masih muda itu.

Pertentangan pribadi, qabilah, suku, golongan, bangsa dan antar-negara bermunculan hampir secara simultan. Keseimbang­an kehidupan rohani dan jasmani, masalah keagamaan dan ke­negaraan yang serasi dan seimbang di bawah satu pimpinan, yaitu di tangan Rasul Allah s.a.w. semasa hidupnya, tiba-tiba saja meng­alami kegoncangan, ketidak-seimbangan dan ketidak-serasian.

Proses kristalisasi dan disintegrasi yang menyusul wafatnya Rasul Allah s.a.w. dihadapkan pada tokoh-tokoh terkemuka ummat Islam, yang selama itu merupakan pembantu-pembantu terdekat Rasul Allah s.a.w. Diantaranya Imam Ali r.a. sebagai salah satu tokoh yang menonjol dan dekat sekali dengan Rasul Allah s.a.w. Dan dialah salah seorang yang paling merasa berkepentingan terhadap kemaslahatan Islam dan ummatnya. Sebab dialah yang paling dini melibatkan diri sebagai pengikut setia Nabi Mu­hammad s.a.w.

Awal tahun Hijriyah ditandai oleh peranan Imam Ali r.a. Malam sebelum Rasul Allah s.a.w. melakukan hijrah ke Madinah, yang sangat bersejarah itu, rumah kediaman beliau dikepung rapat oleh para pemuda Qureiys: Mereka bertekad hendak membunuh nabi Muhammad s.a.w. Pada saat itulah Rasul Allah s.a.w. meme­rintahkan Imam Ali r.a. supaya mengenakan mantel hijau buatan Hadramaut dan agar saudara misannya itu berbaring di tempat tidur beliau. Imam Ali r.a. dengan kebanggaan dan keberanian­nya melaksanakan tugas tersebut.

Ketika para pemuda Qureisy yang berniat jahat itu mengintip, mereka mengira Rasul Allah s.a.w. berada di dalam. Padahal se­benarnya saat itu Rasul Allah s.a.w. telah berhasil menyelinap keluar menuju ke rumah Abu Bakar r.a.

Ketaatannya kepada Rasul Allah s.a.w. dan keberaniannya pada malam hijrah itu bukan merupakan kasus tersendiri. Pada masa-masa hidupnya lebih lanjut, faktor keberanian ini sangat me­warnai kehidupan Imam Ali r.a. Dasar-dasar keberanian ini tambah diperkuat oleh keyakinannya yang makin teguh pada kebenaran ajaran Rasul Allah s.a.w. dan ketaqwaannya pada Allah s.w.t.

Ketaatannya pada Rasul Allah s.a.w. dan keberaniannya dalam membela serta menegakkan kebenaran-kebenaran agama Allah merupakan pendorong utama, sehingga kemudian ia diagungkan oleh pengikut-pengikutnya sebagai pahlawan besar ummat Islam.

Hal itulah yang antara lain telah menimbulkan perbedaan penilaian yang hasilnya melahirkan perselisihan pendapat. Yang menilai positif melambangkan Imam Ali r.a. sebagai contoh tokoh yang paling ideal, pelanjut cita-cita dan perjuangan Rasul Allah. Kemudian eksesnya menjadi berlebih-lebihan, sehingga sama sekali tidak disukai oleh yang bersangkutan sendiri.

Sebaliknya mereka yang menilai negatif, Imam Ali r.a. me­reka anggap sebagai tokoh yang amat berambisi untuk mendapat kedudukan memimpin ummat Islam. Penilaian terakhir ini meng­undang sifat-sifat kebencian dan menjurus ke permusuhan, dan akhirnya memuncak dalam bentuk peperangan melawan Imam Ali r.a.

Kepribadian dan watak Imam Ali r.a. yang unik itulah yang mengembangkan pendapat ekstrim tentang dirinya. Yang me­ngaguminya, kemudian memitoskan dan mendewakannya. Tidak jarang, karena ekses penyanjungan kepada Imam Ali r.a. akhirnya secara sadar atau tidak sadar golongan ini mengaburkan peran agung Rasul Allah s.a.w. Sebaliknya yang membenci Imam Ali r.a. melahirkan ekses mengkafirkannya.

Dua fihak yang sangat bertentangan penilaian terhadap Imam Ali r.a. tercermin pada dua kelompok yang terkenal dalam sejarah Islam.

Kaum Rawafidh bukan saja pengagum Imam Ali r.a., malahan boleh dibilang sebagai “kaum penyembah Imam Ali r.a.” Semasa hidupnya, Imam Ali r.a. sendiri sudah berulang kali me­larang tindak dan sikap mereka yang sangat keliru itu, tetapi sikap Imam Ali r.a. yang tidak mau disanjung dan disembah itu bahkan mereka nilai sebagai sikap yang agung. Imam Ali r.a. sampai-sam­pai mengingatkan mereka bahwa apa yang mereka lakukan itu syirik. Peringatan itu sama sekali tidak menyurutkan pendirian mereka.

Begitu fanatiknya mereka kepada Imam Ali r.a. sehingga me­reka bersedia mengorbankan segala-galanya demi tegaknya pen­dirian itu. Bahkan ketika mereka dijatuhi hukuman dengan di­bakar hidup-hidup, hukuman itu mereka terima dengan penuh ketaatan. Di tengah kobaran api unggun yang membakar diri mereka di depan umum, dengan penuh gairah mereka berseru: “Dia (Imam Ali) adalah tuhan. (Sebab) dialah yang menetapkan adzab neraka ini”. Mereka rela mati dibakar dengan penuh ke­ikhlasan. Mereka memandang layak hukuman demikian dijatuhkan oleh “tuhan” mereka sendiri.[1]

Sangat berlawanan dengan kaum Rawafidh ini, adalah pen­dirian golongan Nawasib dan Khawarij yang sangat benci kepada Imam Ali r.a. Ironisnya, kaum Khawarij ini sebelumnya justru me­rupakan pengikut Imam Ali r.a. yang paling setia dan taat. Mula­mula mereka sangat cinta, kagum, taat dan setia. Lalu berbalik 180 derajat menjadi muak, benci, mengutuk, bahkan mengkafirkan Imam Ali r.a. Itu terjadi ketika tokoh yang mereka kagumi itu bersedia menerima “perdamaian” dengan Muawiyah. Peristiwa yang dalam sejarah terkenal sebagai “Tahkim bi Kitabillah”.

Kaum Khawarij itu menuntut kepada Imam Ali r.a. agar ia bertaubat kepada Allah atas perbuatan salah yang dilakukannya (mengadakan perdamaian dengan Muawiyah). Begitu mendalam­nya kebencian mereka sehingga pada kesempatan apa, kapan dan di mana saja mereka melancarkan kecaman pedas dan memaki habis. Bahkan sejarah mencatat, Imam Ali r.a. wafat akibat pem­bunuhan yang dilakukan golongan Khawarij.

Sulit untuk dicari bahan bandingan bagi seorang tokoh yang begitu hebat menimbulkan pertentangan pendapat seperti yang ada pada diri Imam Ali r.a. Lebih sulit lagi untuk menarik ke­simpulan dari kenyataan ini. Apakah karena ia orang besar, maka timbul pertentangan pendapat yang begitu hebat? Ataukah karena adanya pertentangan pendapat itu hingga ia menjadi mitos. Ke­nyataan adanya pertentangan pendapat itu sendiri sudah mengung­kapkan, bahwa Imam Ali r.a. adalah tokoh potensial sekali, khususnya bagi ummat Islam.

Juga merupakan ironi sejarah, salah seorang yang pertama-­tama berperan vital dalam membela Islam, akhirnya dijatuhkan oleh seorang yang ayahnya justru paling memusuhi Islam ketika Rasul Allah s.a.w. mulai dengan da’wahnya. Orang yang sejak masa anak-anak sudah mempertaruhkan segala-galanya demi tegak dan berkembangnya Islam, kepemimpinannya direbut oleh orang-­orang yang pada awal Islam paling gigih menentang.

Lebih menyedihkan lagi karena orang yang melawan Imam Ali r.a. menempuh segala usaha dan tipu-daya “dengan mengatas-namakan Islam”. Lebih parah lagi karena dengan “mengatas-nama­kan Islam” selama 136 tahun, kekuasaan Bani Umayyah, nama Imam Ali ditabukan, direndahkan dan dihina. Pada setiap khut­bah, pada setiap doa sehabis shalat tidak pernah ditinggalkan cacian dan kutukan terhadap Imam Ali agar ia disiksa Allah.

Bahkan nama Imam Ali digunakan oleh dinasti Bani Umay­yah untuk menegakkan kekuasaan otoriter. Tiap orang atau ke­lompok yang berani menentang, atau tidak sependapat dengan kebijaksanaan penguasa Bani Umayyah dapat ditindak dengan menggunakan dalih “pengikut Imam Ali” (Pecinta Ahlulbait).

Siapa yang mempelajari sejarah Imam Ali r.a. dengan jujur, pasti akan menemukan pada dirinya salah satu segi yang khas ada pada kehidupan tokoh legendaris itu. Nama Imam Ali r.a. identik dengan sifat-sifat manusiawi yang mendalam. Baik sejarah sendiri, maupun sejarawan tidak cukup mampu mengungkapkannya. Kait­an yang seperti itu biasanya oleh seorang penulis terpaksa dike­sampingkan saja dengan penuh kesadaran dan kebijaksanaan.

Makin berkurangnya faktor-faktor kejiwaan yang menyulit­kan pembahasan dan makin dibatasinya segi-segi sejarah yang hendak ditulis, bisa jadi lebih mendekati objektivitas. Tetapi apakah begitu jadinya?

Para sejarawan mengungkapkan bahwa pada ghalibnya makin lama seorang telah meninggal akan lebih mudah ditemukan objek­tivitas untuk pengungkapan riwayat orang yang bersangkutan. Akan tetapi kalau menyangkut Imam Ali r.a. hal itu masih diper­tanyakan.

Dalam batas-batas pengungkapan yang demikianlah, buku “Imam Ali bin Abi Thalib r.a.” ini mengetengahkan riwayat ke­hidupan Imam Ali pada masa asuhan, keluarganya, rumah-tangga­nya, peranan kepahlawanannya semasa Rasul Allah masih hidup, wafatnya Rasul Allah s.a.w., masa-masa kekhalifahan Abu Bakar r.a., Umar r.a., Utsman r.a., delapan hari tanpa khalifah, Perang Unta, Perang Shiffin, Gerakan Khawarij, keutamaan, pintu ilmu dan sebuah kenangan.

BAB 01 : MASA ASUHAN

Dengan membaca buku-buku riwayat atau sejarah, kita akan mengenal tokok-tokoh pembela kebenaran dan keadilan: yang lebih mementingkan kepentingan umum daripada kepentingan pribadi, tanpa pamrih dan bersedia mengorbankan diri untuk membela keyakinan yang dirasa benar dan adil.

Juga dengan membaca buku-buku riwayat atau sejarah, kita akan mengenal orang-orang yang senantiasa memusuhi kebe­naran dan keadilan, yang lebih mementingkan kepentingan priba­di daripada kepentingan umum dan hanya memikirkan keuntung­an saja tanpa memperdulikan halal atau haramnya sesuatu.

Dua macam sifat atau watak seperti di atas, tidak mungkin mendadak lahir setelah dewasa saja. Sifat tersebut lahir melalui proses. Hal ini juga berlaku bagi Imam Ali r.a.

Untuk mengetahui bagaimana proses Imam Ali bin Abi Thalib r.a. menjadi seorang pahlawan Islam yang tangguh, hingga dijadi­kan suri-tauladan oleh para pejuang Islam, marilah kita ikuti sejak kelahirannya, masa kanak-kanaknya, masa remajanya dan kemu­dian setelah dewasa.

Putera Ka’bah

Telah menjadi keyakinan orang yang beragama, bahwa ma­nusia dapat merencanakan sesuatu dan berusaha mewujudkan rencananya. Akan tetapi apakah rencana tersebut akan tercapai atau gagal, manusia yang merencanakan tadi tak dapat menentu­kannya. Penentuan terakhir di tangan Allah s.w.t.

Banyak orang yang ingin agar isterinya dapat melahirkan putera atau puteri di tempat tertentu dan disaksikan oleh kelu­arga yang lengkap. Apakah keinginan atau rencana orangtua itu akan tercapai, Allah s.w.t. yang menentukan.

Bagaimana halnya dengan kelahiran Imam Ali r.a.? Di mana beliau dilahirkan? Di rumah Abu Thalib atau di tempat lain?

Tentang tempat kelahiran Imam Ali r.a., A1 Hakim dalam buku “Al Mustadrak”, jilid III, halaman 483, antara lain menge­mukakan: Ketika itu hari Jum’at, 13 bulan Rajab, 12 tahun sebelum Nabi Muhammad s.a.w. mendapat risalah. Seorang wanita, meskipun perutnya nampak besar sekali, bersama suaminya me­lakukan tawaf mengelilingi Ka’bah. Wanita yang bernama Fatimah itu tiba-tiba merasakan perutnya sakit. Ketika rasa sakitnya ber­tambah, segera diberitahukan kepada suaminya, Abu Thalib. Men­dengar keluhan itu, Abu Thalib segera menggandeng isterinya masuk ke dalam Ka’bah. Menurut perkiraan, isterinya kelelahan. Diharapkan dengan beristirahat sebentar rasa sakitnya akan ber­kurang.

Kenyataannya tidak seperti yang diperkirakan Abu Thalib. Perut Fatimah bertambah sakit. Fatimah yang sudah berkali-­kali melahirkan, telah mengerti isyarat apa yang sedang dialaminya. Sebagai seorang wanita yang shaleh, ia tidak mengung­kapkan isyarat itu kepada suaminya. Dia khawatir jika suaminya tahu, tentu maksud suaminya menyelesaikan tawaf akan tergang­gu. Ia tidak ingin berbuat demikian. Suaminya tetap dianjurkan menyelesaikan tawafnya.

Dalam keheningan dan keredupan Baitullah, rumah Allah, Fatimah merasa perutnya bertambah mulas. Disaat itu yang ter­ingat di hati Fatimah ialah bahwa rasa sakitnya akan berkurang dengan datangnya pertolongan Allah. Fatimah segera mengangkat tangan, yang sebelumnya memegang perut untuk menahan rasa sakit dan dengan suara sayu tersengal-sengal berucap: “Ya Allah, Ya Tuhanku. Aku bernaung kepada-Mu, kepada utusan-utusan­-Mu dan Kitab-kitab yang datang dari-Mu. Aku percaya kepada ucapan datukku Ibrahim, pendiri rumah ini. Maka demi pendiri rumah ini dan demi jabang bayi yang ada di dalam perutku, aku mohon kepada-Mu untuk dimudahkan kelahirannya”.[1]

Beberapa saat seusai mengucapkan doa, lahirlah bayi dengan selamat. Bayi ini adalah putra ke-empat dari Fatimah. Sepan­jang ingatan orang, inilah untuk pertama kali seorang wanita me­lahirkan puteranya dalam Ka’bah. Kelahiran bayi ini hanya disak­sikan oleh ayah bundanya saja.

Kejadian yang luar biasa ini, beritanya segera tersiar ke ber­bagai penjuru. Berbondong-bondonglah mereka, terutama keluarga Bani Hasyim, datang ke Ka’bah, guna menyaksikan bayi yang baru lahir. Di antara yang datang ialah Nabi Muhammad s.a.w. Bayi ini saudara misan beliau sendiri. Beliau menggendong bayi terse­but, kemudian bersama ayah-ibunya pulang ke rumah Abu Thalib.

Meskipun bayi ini merupakan putera keempat, namun oleh ayahnya dipandang sebagai kurnia besar yang dilimpahkan Allah s.w.t. kepada keluarganya. Kegembiraan Abu Thalib ini tercermin dari perintah yang segera dikeluarkan untuk menyelenggarakan pesta walimah. Guna memeriahkan pesta itu, beberapa ekor ter­nak dipotong. Pemuka-pemuka Qureiys diundang mengunjungi pesta itu, sebagai penghormatan atas kelahiran puteranya. Pada kesempatan itulah Abu Thalib mengumumkan pemberian nama “Ali” kepada puteranya yang baru lahir. “Ali” berarti “lu­hur”.

Nama dan Gelarnya

Sesungguhnya, sebelum berlangsung pesta walimah, di mana Abu Thalib mengumumkan nama “Ali” bagi puteranya yang keempat itu, Fatimah telah memberi nama “Haidarah”, yang berarti “Singa”. Satu nama yang diambil persamaannya dari nama Asad, nama datuknya dari pihak ibu, yang juga berarti “Singa”.

Sementara orang mengatakan, bahwa yang memberi nama “Haidarah” ialah orang-orang Qureiys. Tetapi sejarah membukti­kan, bahwa nama “Haidarah” itu sesungguhnya pemberian ibu­nya sendiri.

Bukti sejarah ini dapat diketahui dari peristiwa perang-tan­ding, seorang lawan seorang, antara Imam Ali r.a. melawan Marha­ban. Dalam perang-tanding itu Marhaban mengagul-agulkan diri dengan bait syairnya: “Aku inilah yang diberi nama Marhaban oleh ibuku!” Imam Ali r.a. segera menukas dan melanjutkan bait syair itu dengan kata-katanya: “Aku inilah yang diberi nama Hai­darah oleh ibuku!”

Hanya saja nama yang diberikan ibunya menjadi tenggelam sesudah pengumuman ayahnya dalam pesta walimah, yaitu “Ali”. Ia lebih terkenal dengan nama Ali bin Abi Thalib.

Ketika di bawah asuhan Rasul Allah s.a.w., Imam Ali r.a. per­nah diberi julukan “Abu Turab”, yang artinya “Si Tanah”. Pembe­rian julukan itu erat kaitannya dengan peristiwa ditemuinya Imam Ali r.a. di satu hari sedang tidur berbaring di atas tanah. Yang menemuinya Nabi Muhammad s.a.w. sendiri. Beliau mengham­pirinya dan duduk dekat kepalanya sambil mengusap-usap pung­gungnya guna membuang debu-tanah. Kemudian Nabi Muham­mad s.a.w. membangunkannya seraya berkata: “Duduklah, engkau hai Abu Turab!”

Nama Abu Turab ini paling disukai oleh Imam Ali r.a. Ia sangat bangga bila dipanggil dengan nama itu. Menurut Al Bashri, nama Abu Turab ini di kemudian hari oleh orang-orang Bani Umayyah dijadikan bahan ejekan guna merendahkan martabat Khalifah Imam Ali r.a. Mereka mengatakan, bahwa pemberian nama Abu Turab” oleh Rasul Allah s.a.w. merupakan bukti tentang ke­kurangan dan kelemahan fitrahnya.

Disamping nama-nama tersebut di atas, Imam Ali r.a. juga ter­kenal dengan panggilan Abul Hasan. Ini terjadi, setelah kelahiran putera beliau, Al Hasan. Selain dari nama-nama tersebut di atas; Imam Ali r.a. banyak sekali mendapat gelar dan yang paling popu­ler hingga sekarang ialah “Imam”.

Di bawah Naungan Wahyu

Ketika Imam Ali r.a. menginjak usia 6 tahun, Makkah dan se­kitarnya dilanda paceklik hebat. Sebagai akibatnya, kebutuhan pangan sehari-hari sulit diperoleh. Bagi mereka yang berkeluarga besar dan ekonomi lemah, seperti keluarga Abu Thalib, pukulan paceklik terasa parah sekali.

Pada masa paceklik ini, Nabi Muhammad s.a.w. telah beru­mah tangga dengan Sitti Khadijah binti Khuwalid r.a. Beliau tak dapat melupakan budi pamannya yang telah memelihara dan mengasuh beliau sejak kecil hingga dewasa. Bertahun-tahun beliau hidup di tengah-tengah keluarga Abu Thalib, mengikuti suka-dukanya dan mengetahui sendiri bagaimana keadaan penghi­dupannya.

Dalam suasana paceklik ini, Nabi Muhammad s.a.w. menyada­ri betapa beratnya beban yang dipikul pamannya, Abu Thalib, yang sudah lanjut usia. Hati beliau terketuk dan segera mengambil langkah untuk meringankan beban pamannya.

Nabi Muhammad s.a.w. mengetahui, bahwa Abbas bin Abdul Mutthalib, juga paman beliau, adalah seorang terkaya di kalangan Bani Hasyim. Dibanding dengan saudara-saudaranya, Abbas mem­punyai kemampuan ekonomis yang lebih baik. Dengan tujuan untuk meringankan beban Abu Thalib, beliau temui Abbas bin Abdul Mutthalib. Kepada pamannya itu beliau kemukakan betapa berat derita yang ditanggung Abu Thalib sebagai akibat paceklik. Kemudian, dalam bentuk pertanyaan, Nabi Muhammad s.a.w berkata: “Bagaimana paman, kalau kita sekarang ini meringankan bebannya? Kusarankan agar paman mengambil salah seorang anaknya. Aku pun akan mengambil seorang.”

Abbas bin Abdul Mutthalib menyambut baik saran Nabi Mu­hammad s.a.w. Setetah melalui perundingan dengan Abu Thalib, akhirnya terdapat kesepakatan: Ja’far bin Abi Thalib diserah­kan kepada Abbas, sedang Ali bin Abi Thalib r.a. diasuh oleh Nabi Muhammad s.a.w.

Sejak itu Imam Ali r.a. diasuh oleh Nabi Muhammad s.a.w. dan isteri beliau, Sitti Khadijah binti Khuwailid r.a. Bagi Imam Ali r.a. sendiri lingkungan keluarga yang baru ini, bukan merupa­kan lingkungan asing. Sebab Nabi Muhammad sendiri dalam masa yang panjang pernah hidup di tengah-tengah keluarga Abu Thalib. Malahan yang menikahkan Nabi Muhammad s.a.w. dengan Sitti Khadijah binti Khuwalid r.a., juga Abu Thalib.

Bagi Nabi Muhammad s.a.w., Imam Ali r.a. bukan hanya sekedar saudara misan, malahan dalam pergaulan sudah merupakan saudara kandung. Lebih-lebih setelah dua orang putera lelaki beliau, Al Qasim dan Abdullah, meninggal. Betapa besar kasih sa­yang yang beliau curahkan kepada putera pamannya itu dapat diukur dari berapa besarnya kasih-sayang yang ditumpahkan Abu Thalib kepada beliau. Bahkan pada waktu dekat menjelang bi’tsah, Nabi Muhammad s.a.w. sering mengajak Imam Ali r.a. menyepi di gua Hira, yang terletak dekat kota Mekkah. Ada kalanya Imam Ali r.a. diajak mendaki bukit-bukit sekeliling Makkah guna menik­mati keindahan dan kebesaran ciptaan Allah s.w.t.

Sejak usia muda Imam Ali r.a. sudah menghayati indahnya kehidupan di bawah naungan wahyu Illahi, sampai tiba saat ke­matangannya untuk menghadapi kehidupan sebagai orang dewasa. Selama masa itu beliau mengikuti perkembangan yang dialami Rasul Allah s.a.w. dalam kehidupannya.

Sungguh merupakan saat yang sangat menguntungkan bagi pertumbuhan jiwa Imam Ali r.a. dengan berada di dalam ling­kungan keluarga termulia itu. Periode yang paling berkesan dalam kehidupan Imam Ali r.a. adalah dimulai dari usia 6 tahun sam­pai Nabi Muhammad s.a.w. menerima wahyu pertama dari Allah s.w.t. Imam Ali r.a. mendapat kesempatan yang paling baik, yang tidak pernah dialami oleh siapa pun juga, ketika Nabi Mu­hammad s.a.w. sedang dipersiapkan Allah s.w.t. untuk mendapat tugas sejarah yang maha penting itu.

Imam Ali r.a. menyaksikan dari dekat saudara misannya me­laksanakan ibadah kepada Allah s.w.t dengan cara yang berbeda sama sekali dari tradisi dan kepercayaan orang-orang Makkah ke­tika itu. Imam Ali r.a. menyaksikan juga betapa saudara misannya menjauhi kehidupan jahiliyah, menjauhi kebiasaan minum kha­mar, menjauhi perzinahan. Selain itu, dengan mata kepala sendiri Imam Ali r.a. menyaksikan dan mengikuti perkembangan jiwa dan fikiran Nabi Muhammad s.a.w.

Semua warisan yang telah diterima Imam Ali r.a. dari para orangtuanya, kini berkembang mekar di hadapan seorang maha guru yang cakap dan bijaksana, yaitu putera pamannya sendiri. Manusia terbesar di dunia itulah yang menghubungkan diri Imam Ali r.a. dengan Allah s.w.t.

Masa Kanak-kanak

Tentang usia Imam Ali r.a. ketika Rasul Allah s.a.w. mulai melakukan da’wah risalah, terdapat riwayat yang berlainan. Se­bagian riwayat mengatakan, bahwa Imam Ali r.a. pada waktu itu masih berusia 10 tahun. Sementara ahli sejarah lain mengatakan, Imam Ali r.a. ketika itu telah berusia 13 tahun. Yang terakhir ini antara lain ditegaskan oleh Syeikh Abul Qasyim Al Balakhiy.

Masalah usia Imam Ali r.a. ini banyak dipersoalkan oleh pe­nulis sejarah, karena ada kaitannya dengan penilaian: apakah Imam Ali memeluk agama Islam di masa kanak-kanak ataukah sete­lah akil baligh. Tampaknya riwayat yang lebih kuat mengatakan bahwa Imam Ali r.a. telah berusia 13 tahun pada waktu Rasul Allah s.a.w. memulai da’wahnya.

Pada waktu Nabi Muhammad s.a.w. menerima tugas da’wah Ilahiyah, Imam Ali r.a. menyambutnya tanpa bimbang dan ragu. Hal itu dimungkinkan karena lama sebelumnya ia telah langsung hidup di bawah naungan Rasul Allah s.a.w. Bila ada hal yang ke­tika itu tidak mudah difahami Imam Ali r.a. hanyalah mengenai cara-cara pelaksanaan risalah dan beban tanggung jawab yang ha­rus dipikulnya sebagai orang beriman.

Pada waktu Rasul Allah s.a.w. menerima perintah Allah s.w.t. supaya melakukan da’wah secara terbuka dan terang-terangan, Imam Ali r.a. ikut ambil bagian sebagai pembantu. Imam Ali r.a. antara lain menyampaikan seruan-seruan Rasul Allah s.a.w. kepada sejumlah orang tertentu di kalangan anggota-anggota keluarga­nya.

Tentang hal yang terakhir ini, ibnu Hisyam dalam riwayatnya mengemukakan, bahwa Imam Ali r.a. pernah mengatakan dengan jelas, bahwa Rasul Allah s.a.w. secara rahasia memberi tahu kepada siapa saja yang mau menerima dari kalangan anggota-anggota ke­luarga dan familinya, mengenai nikmat kenabian yang dilimpahkan Allah kepada beliau dan kepada umat manusia melalui beliau.

Untuk itu Rasul Allah s.a.w. menyampaikan da’wahnya le­bih dahulu kepada anggota-anggota keluarga yang paling dekat, yaitu isterinya sendiri Sitti Khadijah r.a. dan saudara misan asu­hannya, Imam Ali r.a. Setelah kepada dua orang itu, barulah ke­pada Zaid bin Haritsah, putera angkatnya.

Imam Ali r.a. sendiri sebagai orang yang paling dini mela­kukan tugas da’wah membantu Rasul Allah s.a.w. pernah mene­rangkan, bahwa pada masa itu tidak ada satu rumah pun yang menghimpun anggota-anggota keluarga dalam agama Islam, selain rumah-tangga Rasul Allah s.a.w. dan Khadijah r.a. “Dan akulah orang ketiga dalam rumah itu. Aku menyaksikan langsung cahaya wahyu dan risalah serta mencium semerbaknya bau kenabian” demikian kata Imam Ali r.a.

Ali bin Al Husein bin Ali bin Abi Thalib, cucu Imam Ali r.a., melalui sebuah riwayat memberitahukan kapan datuknya mulai memeluk agama Islam. Ia mengatakan: “Ia beriman kepada Allah dan Rasul-Nya tiga tahun lebih dulu sebelum orang lain.”

Masa Remaja

Dari sejarah hidupnya, sejak usia kanak-kanak langsung mene­rima asuhan Rasul Allah s.a.w., tidak ada keraguan lagi, bahwa I­mam Ali r.a. merupakan orang yang paling dini menerima hida­yah Ilahi, paling dulu beriman dan bersujud kepada-Nya. Para pe­neliti buku-buku riwayat akan menemukan kenyataan tersebut dan dapat mengetahuinya dengan jelas.

Dalam masa remaja, Imam Ali r.a. sudah aktif membantu da’­wah Rasul Allah s.a.w. Menurut Abdullah bin Abbas, Imam Ali r.a. sendiri pernah menceritakan tentang hal itu sebagai berikut:

“Setelah turun ayat 214 Surah Asy Syura (perintah Allah kepada Rasul-Nya supaya memperingatkan kaum kerabat yang terdekat), beliau memanggil aku. Kemudian berkata: “Hai Ali, Allah telah memerintahkan supaya aku memberi peringatan kepa­da kaum kerabatku yang terdekat. Aku merasa agak sedih, sebab aku tahu, jika aku berseru kepada mereka melaksanakan perin­tah itu, aku akan mengalami sesuatu yang tidak kusukai. Oleh ka­rena itu aku diam saja sampai datanglah Jibril yang berkata kepa­daku, “Hai Muhammad, jika engkau tidak berbuat seperti yang di­perintahkan kepadamu, Tuhan akan menjatuhkan adzab kepada­mu.” Oleh karena itu, hai Ali, buatlah makanan. Masaklah paha kambing dan sediakan untuk kita susu sewadah besar. Setelah itu kumpulkan keluarga Bani Abdul Mutthalib. Mereka hendak kuajak bicara dan akan kusampaikan apa yang diperintahkan Allah kepadaku.”

“Semua yang diperintahkan beliau kepadaku, kukerjakan segera. Kemudian anggota-anggota keluarga Bani Abdul Muttalib kuundang supaya hadir. Jumlah mereka yang hadir kurang lebih 40 orang. Di antara mereka itu terdapat para paman Rasul Allah s.a.w., seperti Abu Thalib, Hamzah, Abbas dan Abu Lahab. Se­telah semuanya berkumpul, Rasul Allah s.a.w. memanggilku dan memerintahkan supaya makanan segera dihidangkan. Hidang­an itu kusajikan. Rasul Allah s.a.w. mengambil sepotong daging, lalu diletakkan kembali pada tepi baki. Beliau mempersilakan mereka mulai menikmati hidangan: ‘Silakan kalian makan, Bismillah!’ Mereka semua makan dan minum sekenyang-kenyang­nya. Demi Allah, mereka masing-masing makan dan minum seba­nyak yang kuhidangkan.”

“Ketika Rasul Allah s.a.w. hendak mulai berbicara beliau didahului oleh Abu Lahab. Abu Lahab berkata kepada ha­dirin dengan sinis: “Kalian benar-benar sudah disihir oleh sauda­ra kalian!”

“Karena ucapan Abu Lahab semua yang hadir pergi me­ninggalkan tempat. Keesokan harinya aku diperintahkan lagi oleh Rasul Allah s.a.w. supaya mempersiapkan segala sesuatunya seperti kemarin. Setelah semua makan minum secukupnya, Nabi Muhammad s.a.w. berkata kepada mereka: “Hai Bani Abdul Mutthalib. Demi Allah, aku tidak pernah mengetahui ada seo­rang pemuda dari kalangan orang Arab, yang datang kepada ka­umnya membawa sesuatu yang lebih mulia daripada yang kuba­wa kepada kalian. Untuk kalian aku membawa kebajikan dunia dan akhirat. Allah memerintahkan aku supaya mengajak kalian ke ­arah itu. Sekarang, siapakah di antara kalian yang mau membantu­ku dalam persoalan itu dan bersedia menjadi saudaraku, penerima wasiatku dan khalifahku?”

“Semua yang hadir bungkam. Hanya aku sendiri yang menjawab: “Aku !” Waktu itu aku seorang yang paling muda usianya dan masih hijau. Kukatakan lagi: “Ya, Rasul Allah, aku­lah yang menjadi pembantumu!” Beliau mengulangi ucapannya dan aku pun mengulangi kembali pernyataanku. Rasul Allah s.a.w. kemudian memegang tengkukku, seraya berseru kepada semua yang hadir: “Inilah saudaraku, penerima wasiatku dan khalifahku atas kalian!” Semua yang hadir berdiri sambil ter­tawa terbahak-bahak. Mereka berkata hampir serentak kepada Abu Thalib: “Hai Abu Thalib! Dia (yakni Muhammad) menyuruhmu supaya taat kepada anakmu!”

Hadis yang senada dengan apa yang dikemukakan Abdullah bin Abbas, juga diriwayatkan oleh Abu Ja’far At Thabary dalam bukunya “At Tarikh”.[2]

Itulah sekelumit riwayat tentang seorang muda remaja yang kemudian hari bakal menjadi pemimpin ummat Islam. Seorang pemimpin yang dihormati tidak saja oleh kaum muslimin, tetapi juga oleh para ahludz dzimmah, yaitu kaum Nasrani dan kaum Yahudi yang bersedia hidup damai di bawah pemerintahan Islam.

Di depan Abu Lahab, orang yang selama ini selalu meng­ancam-ancam dan menuntut supaya Rasul Allah s.a.w. meng­hentikan da’wahnya, Imam Ali r.a. yang masih remaja itu berani menyatakan dukungan dan bantuannya kepada Nabi Muhammad s.a.w.

[1]”Kasyful Ghommah”, jilid I.

[2] Hadits tersebut merupakan hujjah golongan Syi’ah.

[1]Golongan ini disebut “Alkisaniyyah” yang sudah punah. Semenjak abad III hijriyah.

Sejarah Hidup Imam Ali bin Abi Thalib r.a.
Oleh H.M.H. Al Hamid Al Husaini
Penerbit: Lembaga Penyelidikan Islam
Jl. Blora 29, Jakarta
Oktober 1981

https://tausyah.wordpress.com