Posts Tagged ‘Keutamaan’

Iblis

Iblis

Dari Anas bin Malik Radhiallahu Anhu. bahwa Rasulullah Shallallahu Alaihi Wa Sallam Bersabda :

“Iblis laknatullah telah bertanya kepada Allah Subhana wa Ta’ala diantaranya ialah :

Kata Iblis kepada Allah Subhana wa Ta’ala: “Ya Tuhanku, Engkau telah memberikan kepada anak Adam itu tempat kediaman yakni rumah untuk berzikir kepadaMu. Tunjukkanlah kepadaku tempat kediamanku.”

Firman Allah Subhana wa Ta’ala. yang bermaksud: “Wahai Iblis tempat kediamanmu ialah di dalam Water Closed  (WC).”

Iblis berkata: “Ya Tuhanku, Engkau telah memberikan kepada anak Adam itu tempat mereka berkumpul (mesjid, surau). Di manakah tempat bagiku berkumpul?”

Firman Allah Subhana wa Ta’ala. yang bermaksud: “Wahai Iblis tempat untuk kamu berkumpul ialah di pasar-pasar (di pusat-pusat membeli belah, pesta-pesta, kelab-kelab malam, majlis-majlis maksiat dan sebagainya).” (lebih…)

https://tausyah.wordpress.com/malaikat

Malaikat

Rasulullah S.A.W telah bersabda bahwa, “Malaikat Jibril, Mikail, Israfil dan Izrail A.S. telah berkata kepadaku.

Berkata Jibril A.S. : “Wahai Rasulullah, barang siapa yang membaca selawat ke atasmu tiap-tiap hari sebanyak sepuluh kali, maka akan saya bimbing tangannya dan akan saya bawa dia melintasi titian seperti kilat menyambar.”

Titian shirotol mustaqim adalah suatu jembatan Rahmad dan adzab ALLAH Ta’ala, barang siapa yang dengan selamat melewati titian tersebut niscaya ALLAH Subhana wa Ta’ala akan memasukkan seorang manusia itu kepada Rahmad-Nya menjadi ahli syurga serta kekal didalamnya. Akan tetapi barang siapa yang apabila saat melintasi titian tersebut dengan bersusah payah dan terjatuh ketika melintasinya, maka sesungguhnya ia telah terjatuh kepada lembah kebinasaan dan termasuk kepada golongan orang-orang yang merugi sedang siksa adalah suatu jalan yang ia pilih semasa menjalani hidupnya didunia, merugilah ia dengan sebenar-benar kerugian sedang ia kekal didalam neraka. Maka seorang  malaikat ALLAH yang mulia telah berjanji kepada ummat Rasulullah Muhammad Shallallahu Alaihi wa Sallam bahwa barang siapa yang bershalawat ke atas diri Nabi niscaya pada hari disaat seorang melintasi titian tersebut seorang  malaikat ALLAH Djibril Alaihissalam akan membimbingnya sehingga ia mampu melewati titian tersebut dengan selamat. (lebih…)

https://tausyah.wordpress.com/Puasa-Asyura

Puasa Hari Asyura

Sebuah hadits Abu Qatadah Radiyyallahu Anhu meriwayatkan bahwa Rasulullah Sallallahu alaihi Sallam bersabda : “Aku berdo’a pada Allah bahwa puasa pada hari Asyura dapat menebus dosa tahun yang lalu.” Riwayat Imam Muslim, Al-Jami’-Us-Sahih II/2602.

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam ditanya tentang puasa Asyura, maka beliau menjawab: “Ia menghapuskan dosa tahun yang lalu.” (HR. Muslim (1162), Ahmad 5/296, 297).

Ibnu Abbas menyatakan : “Saya tidak pernah melihat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam berpuasa pada suatu hari karena ingin mengejar keutamaannya selain hari ini (Asyura’) dan tidak pada suatu bulan selain bulan ini (maksudnya: Ramadhan).” (HR. al-Bukhari (2006), Muslim (1132)).

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda : “Puasa yang paling utama setelah Ramadhan adalah bulan Allah yang bernama Muharram. (HR. Muslim,1163).

Juga, “Abu Hurairah Radiyallahu Anhu meriwayatkan Rasulullah Sallallahu alaihi wa Sallam bersabda : ” Puasa yang paling utama setelah puasa Ramadan adalah puasa pada bulan Muharam, sedang salat yang paling utama sesudah salat fardlu adalah salat malam.” HR Muslim II/2611. (lebih…)

فَإِذَا قَضَيْتُمُ الصَّلاَةَ فَاذْكُرُواْ اللّهَ قِيَاماً وَقُعُوداً وَعَلَى جُنُوبِكُمْ فَإِذَا اطْمَأْنَنتُمْ فَأَقِيمُواْ الصَّلاَةَ إِنَّ الصَّلاَةَ كَانَتْ عَلَى الْمُؤْمِنِينَ كِتَاباً مَّوْقُوتاً ﴿

https://tausyah.wordpress.com/Muslim-Shalat

Muslim Shalat

١٠٣

fa-idzaa qadhaytumu alshshalaata faudzkuruu allaaha qiyaaman waqu’uudan wa’alaa junuubikum fa-idzaa ithma/nantum fa-aqiimuu alshshalaata inna alshshalaata kaanat ‘alaa almu/miniina kitaaban mawquutaan

Maka apabila kamu telah menyelesaikan shalat(mu), ingatlah Allah di waktu berdiri, di waktu duduk dan di waktu berbaring. Kemudian apabila kamu telah merasa aman, maka dirikanlah shalat itu (sebagaimana biasa). Sesungguhnya shalat itu adalah fardhu yang ditentukan waktunya atas orang-orang yang beriman. An – Nisa : 103

Rasulullah Shallallahu Alahi wa Sallam bersabda :

Barang siapa meninggalkan shalat dengan sengaja maka sesungguhnya dialah kafir yang nyata. (HR.Ahmad). (lebih…)

https://tausyah.wordpress.com/Al-Fatihah

Al-Fatihah

Nama-nama lain Al-Fatihah : Fatihatul-Kitab, Ummul Kitab, Ummul-Qur’an, as-Sab’ul-Matsani, al-Qur’anul-`Azhim,asy-Syifa, dan Assaul-Qur’an.

Imam Ahmad bin Hambal r.a. meriwayatkan dari Abu Hurairah r.a., dia berkata, “Rasulullah saw. Menemui Ubai bin Ka’ab, namun dia sedang shalat. Rasul berkata, `Hai Ubai.’ Maka Ubai melirik, namun tidak menyahut.

Nabi berkata, `Hai Ubai!’ Lalu Ubai mempercepat shalatnya, kemudian beranjak menemui Rasulullah saw. Sambil berkata, `Asalamu’alaika, ya Rasulullah.’ Rasul menjawab, `Wa’alaikassalam. Hai Ubai, mengapa kamu tidak menjawab ketika kupanggil?’ Ubai menjawab, `Wahai Rasulullah, sesungguhnya aku sedang shalat.’

Nabi bersabda, `Apakah kamu tidak menemukan dalam ayat yang diwahyukan Allah Ta’ala kepadaku yang menyatakan, `Penuhilah seruan Allah dan seruan Rasul apabila menyeru kamu kepada sesuatu yang memberi kehidupan kepadamu.’ (al-Anfal:24)

Ubai menjawab, `Ya Rasulullah, saya menemukan dan saya tidak akan mengulangi hal itu.’ Rasul bersabda, `Sukakah kamu bila kuajari sebuah surat yang tidak diturunkan surat lain yang serupa dengannya di dalam Taurat, Injil, Zabur dan al-Furqan?’ Ubai menjawab, `Saya suka, wahai Rasulullah.’ (lebih…)

 

shalat

shalat sunnah

Dua raka’at shalat sunnah fajar adalah amalan yang selayaknya kita jaga dan jangan di tinggalkan. Karena Rasulullah shallallahu’alaihi wasallam sangat menjaga pelaksanaan shalat sunnah fajar di banding shalat shalat lainnya. ‘Aisyah radhiallahu’anha berkata,” Rasulullah tidak pernah demikian ulet melaksanakan shalat sunnah sebagaimana keuletan beliau melaksanakan dua rakaat fajar sebelum Shubuh.”

 

Rasulullah shallallahu’alaihi wasallam bersabda :
“Dua rakaat sunnah fajar lebih baik daripada dunia dan seisinya.”
(Hadist riwayat muslim(725))

Dalam riwayat lain Rasulullah shallallahu’alaihi wasallam bersabda :
“Dua rakaat sunnah fajar lebih aku sukai daripada dunia seluruhnya.”
(Sunanul Kubra An-Nasaa’I (I/175,nomor 458))

Jika di bandingkan keutamaan dua rakaat sunnah fajar dengan dunia seisinya bahkan dengan dunia seluruhnya niscaya lebih baik, lebih besar dan lebih banyak pahalanya.

Shalat sunnah fajar ini di lakukan secara ringkas. ‘Aisyah radhiallahu’anha berkata,”Rasulullah shallallahu’alaihi wasallam biasa mengerjakan shalat ringkas dua rakaat antara adzan dan iqamat saat shalat subuh.”
(Hadist Riwayat Al-Bukhari dan Muslim) (lebih…)

Islam SejatiSikap hidup Imam Ali

Sikap dan cara hidup Imam Ali r.a. benar-benar telah ma­nunggal dengan kezuhudan dan ketinggian tingkat taqwanya kepa­da Allah s.w.t. Pernah terjadi, ada seorang telah melakukan suatu kesalahan. Untuk menutupi kesalahannya, ia menyanjung-nyan­jung Imam Ali r.a. Sebagai orang yang sudah tahu duduk persoal­annya, Imam Ali r.a. menjawab: “Aku ini sebenarnya tidak setinggi seperti yang kaukatakan itu, tetapi aku ini sebenarnya memang lebih tinggi daripada apa yang ada pada dirimu.”

Perkataan itu diucapkannya dengan wajar, di samping me­nunjukkan bahwa ia tidak mabok sanjung-puji, sekaligus pula mengeritik orang yang bersangkutan, bahwa perbuatan buruk berakibat memerosotkan martabat.

Lain contoh lagi tentang kesederhanaan sikapnya. Dalam satu peperangan, lawan-lawan yang dihadapinya semua berseragam tem­pur, lengkap dengan baju dan topi besi. Tidak dimilikinya seragam tempur seperti itu, tidak membuat Imam Ali r.a. malu dan gentar. Ia terjun ke kancah pertempuran tanpa mengenakan baju besi atau topi pelindung. Sikap Imam Ali r.a. yang seperti itu mencer­minkan kewajaran dan kesederhanaannya, walau dalam keadaan menghadapi bahaya menantang. Prinsip kesederhanaan yang tidak dibuat-buat itulah yang melahirkan sikap polos, jujur dan terus terang, baik dalam ucapan maupun perbuatan, dalam keadaan sulit atau pun tidak.

Kepolosan dan kewajaran dalam menghadapi lawan seperti di atas tadi, sering disalah-artikan atau disalah-gunakan orang untuk mengecap Imam Ali r.a. sebagai orang yang sombong dan sok. Be­narlah apa yang pernah dikatakan salah seorang sahabatnya: “Ali bin Abi Thalib r.a. adalah orang yang mengenal perang hanya de­ngan modal keberanian. Ia tidak kenal bagaimana dalam pepe­rangan orang harus mendaya-gunakan tipu-muslihat.

Benarnya ucapan itu tampak jelas pada kata-kata Imam Ali r.a. sendiri, yang dengan gamblang menegaskan: “Bukti keberani­an ialah engkau harus mengutamakan kejujuran dan bukannya ke­bohongan, walau kejujuran itu akan mengakibatkan kerugian, dan kebohongan akan mengakibatkan keberuntungan. Dalam berbi­cara dengan orang lain hendaknya engkau tetap selalu taqwa dan patuh kepada Allah s.w.t.”

Dibanding dengan Khalifah-khalifah sebelumnya, memang tak ada seorang pun yang sedemikian zuhudnya dalam meng­hindari nikmatnya kekuasaan dan kekayaan atau kesenangan-­kesenangan duniawi lainnya. Ia makan roti yang terigunya ber­asal dari cucuran keringat isterinya sendiri, Sitti Fatimah r.a.

Tiap kali isterinya selesai menumbuk gandum, ia sendirilah yang turun tangan menggaruki ujung antan (alu) dengan jari je­marinya guna mengumpulkan sisa-sisa tepung yang melekat. Sam­bil mengerjakan hal itu Imam Ali r.a. berkata kepada isterinya: “Aku tak ingin perutku ini dimasuki sesuatu yang aku tak tahu dari mana asalnya…”

Bagaimana lugu dan cara hidupnya yang berada di bawah tingkat sederhana itu diungkapkan oleh Uqbah bin Alqamah, yang mengisahkan pengalaman sendiri, sebagai berikut: “Pada satu hari aku berkunjung ke rumah Ali bin Abi Thalib r.a. Kulihat ia sedang memegang sebuah mangkuk berisi susu yang sudah berbau asam. Bau sengak susu itu sangat menusuk hidungku. Kutanyakan ke­padanya: “Ya Amiral Mukminin, mengapa anda sampai makan seperti itu?”

“Hai Abal Janub,” jawabnya, “Rasul Allah s.a.w. dulu mi­num susu yang jauh lebih basi dibanding dengan susu ini. Beliau juga mengenakan pakaian yang jauh lebih kasar daripada bajuku ini (sambil menunjuk kepada baju yang sedang dipakainya). Kalau aku sampai tidak dapat melakukan apa yang sudah dilakukan oleh beliau, aku khawatir tak akan dapat berjumpa dengan beliau di hari kiyamat nanti.”

Imam Ali r.a. sebagai seorang shaleh, zuhud, tahan menderita dan sanggup membebaskan diri dari kesenangan duniawi, belum pernah makan sampai merasa kenyang. Makanannya bermutu sa­ngat rendah dan pakaiannya pun hampir tak ada harganya. Abdul­lah bin Rafi’ menceritakan penyaksiannya sendiri sebagai berikut: “Pada suatu hari raya aku datang ke rumah Imam Ali r.a. Ia se­dang memegang sebuah kantong tertutup rapat berisi roti yang sudah kering dari remuk. Kulihat roti itu dimakannya. Aku ber­tanya keheran-heranan: “Ya Amiral Mukminin, bagaimana roti seperti itu sampai anda simpan rapat-rapat?”

“Aku khawatir,” sahut Imam Ali r.a., “kalau sampai dua orang anakku itu mengolesinya dengan samin atau minyak makan.”

Tidak jarang pula Imam Ali r.a. memakai baju robek yang ditambalnya sendiri. Kadang-kadang ia memakai baju katun ber­warna putih, tebal dan kasar. Jika ada bagian baju yang ukuran panjangnya lebih dari semestinya, ia potong sendiri dengan pisau dan tidak perlu dijahit lagi.

Bila makan bersama orang lain, ia tetap menahan tangan, sampai daging yang ada di hadapannya habis dimakan orang. Bila makan seorang diri dengan lauk, maka lauknya tidak lain hanyalah cuka dan garam. Selebihnya dari itu ia hanya makan seje­nis tumbuh-tumbuhan. Makan yang lebih baik dari itu ialah de­ngan sedikit susu unta. Ia tidak makan daging kecuali sedikit saja. Kepada orang lain ia sering berkata: “Janganlah perut kalian dijadikan kuburan hewan!”

Sungguh pun tingkat penghidupannya serendah itu, Imam Ali r.a. mempunyai kekuatan jasmani yang luar biasa. Lapar seolah-olah tidak mengurangi kekuatan tenaganya. Ia benar-be­nar bercerai dengan kenikmatan duniawi. Padahal jika ia mau, kekayaan bisa mengalir kepadanya dari berbagai pelosok wilayah Islam, kecuali Syam. Semuanya itu dihindarinya dan sama seka­li tidak menggiurkan seleranya.

Ibadah

Imam Ali r.a. merupakan orang yang paling tekun dan ba­nyak beribadah. Ia pun paling sering berpuasa. Kepadanya banyak orang yang minta petunjuk tentang cara-cara yang terbaik dalam menunaikan sembahyang malam, berwirid, berzikir dan beribadah lainnya. Bila sedang menghadap ke hadhirat Allah ‘Azaa wa Jalla, Imam Ali r.a. sedemikian khusyu’ dan khidmatnya, tak ada sesuatu yang dapat menggoyahkan kebulatan fikiran dan perasaannya.

Dalam situasi sedang berkobarnya pertempuran di Shiffin, habis menunaikan shalat, Imam Ali r.a. tekun berwirid, tidak ter­pengaruh oleh hiruk-pikuk orang yang sedang mengadu tenaga dan senjata. Di malam yang sangat mengerikan itu, Imam Ali r.a. ber­sembah sujud di hadapan Allah s.w.t., padahal tidak sedikit anak ­panah yang beterbangan di kanan-kirinya dan ada pula yang ber­jatuhan di depannya. Ia tidak gentar sedikit pun dan tidak.bangun meninggalkan tempat ibadah sebelum menyelesaikannya dengan tuntas. Demikian banyaknya ia bersembah sujud setiap hari, siang dan malam, sampai kulit keningnya menebal dan keras kehitam-­hitaman.

Ia selalu bermunajat kepada Allah dan mengagungkan-Nya, menyatakan ketundukan dan penyerahan hidup-matinya kepa­da Allah. Dengan patuh ia melaksanakan semua perintah dan menghindari larangan-Nya. Semuanya itu dilakukan dengan se­penuh hati, jujur dan ikhlas. Hatinya, perbuatannya dan ucap­annya sedemikian utuhnya menjadi satu perpaduan yang tak kenal garis pemisah.

Konon Ali bin Al Husein r.a. –cucu Imam Ali r.a.– pernah ditanya orang tentang “bagaimana perbandingan antara ibadah yang anda lakukan dengan ibadah yang dilakukan datuk anda?”

Ali bin Al Husein r.a. yang terkenal sebagai orang shaleh dan tekun beribadah itu menjawab: “Perbandingan antara ibadahku dengan ibadah datukku, sama seperti perbandingan antara ibadah datukku dengan ibadah Rasul Allah s.a.w.”

Tentang ibadah Imam Ali r.a. ini, ‘Urwah bin Zubair menge­mukakan sebuah riwayat yang berasal dari Abu Darda sebagai berikut:

Pada suatu hari aku menyaksikan Ali bin Abi Thalib r.a. berada di halaman rumah seorang yang penuh dengan pepohonan. Ia mengasingkan diri dari orang lain dan bersembunyi di sela-se­la batang kurma yang sangat lebat: “Aku mencari-cari dia sampai agak jauh. Kukira pasti ia sudah berada di rumahnya lagi. Tiba­tiba aku mendengar

suara ratap sedih: ‘Ya Allah, Tuhanku, beta­pa banyaknya dosa yang karena kebijaksanaan-Mu tidak Engkau balas dengan murka-Mu. Betapa pula banyaknya dosa yang karena kemurahan-Mu tidak Engkau gugat. Ya Allah, Tuhanku, bila sepanjang umur aku berbuat dosa kepada-Mu dan sangat banyak do­saku tercatat dalam shuhuf, maka aku tidak mengharap sesuatu selain pengampunan-Mu dan aku tidak mendambakan sesuatu kecuali keridhnan-Mu’…”

“Suara ratap sedih itu sangat menarik perhatianku. Jejaknya kutelusuri. Ternyata suara itu adalah suara Ali bin Abi Thalib r.a. Aku lalu bersembunyi dan menunduk agar jangan sampai diketahui olehnya. Kulihat ia sedang berruku’ beberapa kali di te­ngah kegelapan malam. Kemudian ia berdoa sambil menangis dan mengeluh sedih ke hadhirat Allah s.w.t. Di antara munajat yang diucapkannya ialah: “Ya Allah, Tuhanku, tiap kurenungkan ke­ampunan-Mu, terasa ringanlah kesalahanku. Dan tiap kuingat murka-Mu yang dahsyat, terasa sangat besarlah dosa kesalahan­ku.”

Kata Abu Darda lebih lanjut: “Ia lalu tenggelam di dalam tangis. Makin lama suaranya tidak kudengar lagi. Kufikir mungkin ia tertidur nyenyak karena terlalu banyak bergadang. Dini hari ia hendak kubangunkan untuk shalat subuh. Ia kudekati, ternyata ia tergeletak seperti sebatang kayu. Ia kugerak-gerakkan dan ku­balik-balik, tetapi sama sekali tidak berkutik. Kuduga ia wafat. Lalu aku mengucap: Innaa lillahi wa innaa ilaihi raaji’uun. Aku cepat-cepat lari ke rumahnya untuk memberi tahu keluarganya.”

Setelah mendengar keteranganku, Sitti Fatimah r.a. hanya bertanya: “Hai Abu Darda, dia kenapa dan bagaimana keadaan­nya?”

Sesudah kujelaskan keadaan Imam Ali r.a., Sitti Fatiinah r.a. memberitahu kepadaku, bahwa “…dia sedang pingsan, ka­rena sangat takut kepada Allah!”

Keluarganya lantas mendatangi Imam Ali r.a. dengan memba­wa air, kemudian mengusap-usapkan pada wajahnya. Tak lama setelah itu ia siuman dan sadarkan diri kembali. Ia memandang ke­padaku dan aku menangis. Ia bertanya: “Hai Abu Darda, mengapa engkau menangis?”

“Karena melihat sesuatu yang menimpa dirimu,” jawabku.

“Hai Abu Darda,” ujar Imam Ali r.a. lebih lanjut, “bagai­manakah kiranya kalau engkau melihat aku dipanggil untuk meng­hadapi perhitungan (hisab), melihat sendiri orang-orang yang ber­buat dosa sedang menderita siksa adzab, melihat aku dikelilingi sejumlah Malaikat yang bengis dan keras di hadapan Allah Maha Perkasa, sedang para pencintaku sudah tiada lagi dan para ahli dunia pun sudah meninggalkan diriku. Seandainya engkau melihat itu semua, engkau pasti akan lebih mengasihi diriku di hadapan Allah Yang Maha Mengetahui segala sesuatu betapa pun kecilnya.”

“Aku tidak pernah melihat hal itu terjadi pada sahabat Rasul Allah s.a.w. yang lain…,” sahut Abu Darda.

Itulah keistimewaan Imam Ali r.a. dalam menghadapkan diri kepada Allah s.w.t. dengan kekhusyu’an seluruh jiwa-raganya. Suatu hal yang sudah biasa disaksikan sendiri oleh semua Ahlul ­Bait. Mereka tidak terkejut ketika diberitahu oleh Abu Darda ten­tang keadaan Imam Ali r.a. Bahkan Sitti Fatimah r.a. mencerita­kan, bahwa apa yang disaksikan oleh Abu Darda itu sudah biasa dialami oleh Imam Ali r.a. tiap saat menghadapkan diri kepada Allah s.w.t. di tengah malam.

Mengenai banyaknya ibadah yang dilakukan Imam Ali r.a. di waktu malam, Nauf Al Bikally menceritakan penyaksiannya sebagai berikut:

“Pada satu hari aku menginap di rumah Imam Ali r.a. Sepan­jang malam ia bersembahyang. Sebentar-sebentar ia keluar, meng­arahkan pandangan ke langit, dan membaca Al-Qur’an. Di malam yang sunyi senyap itu ia bertanya kepadaku: ‘Hai Nauf, engkau tidur ataukah melek?’…”

“Aku melek dan melihatmu dengan mataku, ya Amiral Mukminin,” jawabku.

“Hai Nauf,” ujar Imam Ali r.a. meneruskan, “bahagialah orang yang hidup zuhud di dunia, orang-orang yang merindukan akhirat. Mereka itulah orang-orang yang menjadikan bumi ini sebagai hamparan, menjadikan pasirnya sebagai kasur, menjadi­kan airnya sebagai nikmat, menjadikan doa sebagai syi’ar, men­jadikan Al-Qur’an sebagai selimut, dan meninggalkan dunia ini dengan cara seperti Isa bin Maryam as.!”

Selama hidupnya Imam Ali r.a. tidak pernah putus sembah­yang malam. Tentang hal ini, Abu Ya’laa meriwayatkan, bahwa Imam Ali r.a. pernah menegaskan: “Aku tidak pernah meninggal­kan shalat malam semenjak kudengar Rasul Allah s.a.w. menga­takan, bahwa shalat malam itu adalah cahaya.”

Berdasarkan keterangan yang diterima dari ibunya, Sulaiman bin Al-Mughirah mengatakan: “Bulan Ramadhan atau pun Syawal, bagi Imam Ali r.a. adalah sama saja. Tiap malam ia bergadang un­tuk beribadah.”

Begitu agungnya kedudukkan Allah ‘Azza wa Jalla dalam jiwa Imam Ali r.a. Ia beribadah karena dorongan rasa cinta dan rin­du kepada-Nya. Ia menyadari sepenuhnya bahwa Allah sajalah yang berhak disembah. Ia bersembah sujud semata-mata hanya karena merasa keterikatan hidupnya dengan Allah. Ia hidup ber­tauladan kepada Mahagurunya, yaitu Rasul Allah s.a.w.

Suatu ibadah yang lebih besar artinya daripada hanya seke­dar berdasar keyakinan, dan lebih mulia daripada hanya sekedar dorongan iman! Dengan ucapannya yang abadi, ia pernah mene­gaskan: “Orang-orang yang beribadah kepada Allah karena pamrih, sama seperti ibadahnya kaum pedagang. Orang-orang yang ber­ibadah karna takut, sama seperti ibadahnya seorang budak. Orang yang beribadah karena syukur, itulah ibadahnya manusia mer­deka!”

Di samping Imam Ali r.a. sendiri selalu menjaga baik-baik kewajiban shalat, ia pun terus-menerus mengingatkan para peng­ikutnya supaya selalu menunaikan shalat tepat pada waktunya. Shalat itu ibarat sebuah pisau yang dapat mengupas daki dan ko­toran manusia. Hanya shalatlah yang dapat membersihkannya sama sekali. Oleh Rasul Allah s.a.w. shalat diibaratkan sebagai ma­ta air panas yang tersedia di depan pintu rumah tiap muslim. Bila tiap sehari semalam seorang muslim mandi dengan air panas itu lima kali, kotoran apakah yang tidak terbuang dari badannya?!

Sekalipun Rasul Allah s.a.w. telah menjanjikan nikmat ke­pada Imam Ali r.a., namun kewajiban shalat tetap dijaga kuat-­kuat olehnya, sesuai dengan perintah Allah s.w.t. dalam firman-Nya yang berarti: “Perintahkanlah keluargamu bersembahyang dan hendaknya bersabar dalam menunaikannya…” (S. Thaha: 132).

Tidaklah aneh kalau orang Zahid seperti Imam Ali r.a. itu pantang diperlakukan lebih daripada orang lain. Walau ia seorang anggota Ahlu Bait Rasul Allah s.a.w. dan seorang ilmuwan, namun tidak menyukai perlakuan istimewa.

Diriwayatkan, bahwa pada suatu hari ada orang mengadukan Imam Ali r.a. kepada Khalifah Umar Ibnul Khattab r.a. tentang suatu perkara. Waktu itu Imam Ali r.a. sudah siap dan duduk. Tak lama kemudian Khalifah Umar r.a. menoleh kepadanya sam­bil berkata: “Bangunlah, ya Abal Hasan, duduklah bersama lawan perkara anda!”

Imam Ali r.a. bangun, lalu duduk berhadapan dengan orang yang mengadukannya. Setelah perkaranya selesai, orang yang mengadu pergi meninggalkan tempat, Imam Ali r.a. pindah duduk di tempat semula. Ketika itu Khalifah Umar r.a. melihat wajah Imam Ali r.a. berubah, lalu bertanya: “Ya Abal Hasan, mengapa kulihat wajah anda berubah? Apakah anda tidak senang terhadap apa yang baru terjadi?”

“Ya, benar!” jawab Imam Ali r.a. “Sebab anda memanggil­ku dengan nama kehormatan di depan lawan perkara!”

Mendengar jawaban Imam Ali r.a. yang seperti itu, Khalifah Umar r.a. dengan rasa terharu merangkulnya seraya berkata: “Ya Allah, kalian itu…! Dengan kalian (Ahlul Bait) Allah mem­beri hidayat kepada kami, dan dengan kalian pula Allah menge­luarkan kami dari kegelapan ke cahaya terang…!”

Kezuhudannya, kesederhanaannya, keshalihannya serta ke­taqwaannya kepada Allah s.w.t. tidak membuat Imam Ali r.a. menjadi orang yang berwajah angker. Ia seorang yang anggun, bermuka cerah dan ramah. Bahkan tidak jarang ia bergurau untuk menyenangkan hati orang lain. Ia tidak pernah tampak angkuh, memberengut dan suram.

Sifat Imam Ali r.a. yang ramah, terbuka dan jika perlu dapat bergurau, sering dilebih-lebihkan oleh lawan-lawannya untuk men­jatuhkan nama baik dan mengurangi martabatnya. Terutama oleh Amr bin Al-Ash secara berlebih-lebihan disebar-luaskan. Lawan Imam Ali r.a. itu mengatakan kepada penduduk Syam, bahwa Ali bin Abi Thalib seorang yang “gemar bercanda”.

Disadur dari buku :

Sejarah Hidup Imam Ali bin Abi Thalib r.a.
Oleh H.M.H. Al Hamid Al Husaini
Penerbit: Lembaga Penyelidikan Islam

https://tausyah.wordpress.com

Islamic ArtKeutamaan Imam Ali

Zaman kelahiran Islam dan pertumbuhannya ditandai oleh ci­ri khusus dalam suatu kurun waktu tertentu. Yaitu sepeninggal Rasul Allah s.a.w. ummat Islam dipimpin oleh 4 orang Khalifah yang sangat terkenal dan diakui serta dihormati oleh segenap kaum muslimin di dunia. Di antara empat orang Khalifah itu, terdapat seorang yang mempunyai kedudukan istimewa dalam sejarah, yaitu Imam Ali r.a.

Banyak sekali hal-hal yang memberikan keistimewaan kepa­danya. Antara lain sebagian ummat Islam di dunia sampai sekarang ini mengidentifikasikan diri sebagai pengikut Imam Ali bin Abi Thalib r.a., yaitu yang terkenal dengan sebutan kaum Syi’ah.

Selain itu, Imam Ali r.a.memang lebih masyhur disebut “I­mam”, daripada disebut Khalifah. Sedangkan Khalifah-khalifah lainnya, tak seorang pun yang disebut sebagai Imam. Sudah pasti hal itu disebabkan oleh adanya keistimewaan-keistimewaan yang melatar-belakangi kehidupan Imam Ali r.a., sehingga ia mempu­nyai identitas tersendiri dalam sejarah kehidupan ummat Islam.

Gelar Imam

Gelar “Imam” adalah khusus bagi Khalifah Ali bin Abi Thalib di samping gelar “Amirul Mukminin” yang lazim dipergu­nakan orang pada masa itu, untuk menyebut seorang pemangku jabatan sebagai pemimpin tertinggi dan Kepala Negara Islam.

Tentang ta’rif (definisi) dari perkataan “imamah” (keimam­an) oleh para ahli ilmu kalam, dirumuskan: “Imamah ialah kepe­mimpinan umum dalam segala urusan agama dan keduniaan yang ada pada seseorang…”

Jadi menurut ta’arif tersebut, maka yang dimaksud dengan “Imam” ialah seorang pemimpin atau seorang ketua yang ditaati dan memiliki kekuasaan yang menyeluruh atas semua orang mus­limin dalam segala urusan mereka, baik di bidang keagamaan maupun di bidang keduniaan.

Menurut mazhab “Imamiyah”, imamah merupakan keharus­an objektif dalam kehidupan masyarakat muslimin, yang dalam ke­adaan bagaimana pun tak dapat diabaikan. Dengan adanya ima­mah, semua yang tidak lurus dalam tata pelaksanaan agama dan tata kehidupan dunia, dapat diluruskan. Dengan imamah pula, keadilan yang dikehendaki Allah harus berlaku di muka bumi, dapat diusahakan realisasinya. Sebab terpenting perlunya diadakan imamah, ialah untuk mendorong masyarakat supaya dengan benar menjalankan ibadah kepada Allah s.w.t., untuk menyebar luas­kan ajaran agama-Nya, untuk menanamkan jiwa keimanan serta ketakwaan di kalangan anggota-anggota masyarakat.

Dengan demikian manusia akan mampu menghindarkan diri dari hal-hal yang buruk dan menghayati hal-hal yang baik, sebagai­mana yang dikehendaki Allah s.w.t. Untuk itu, ummat Islam wa­jib mentaati seseorang Imam dan melaksanakan perintah-perintahnya selama imam itu taat dan tidak menyimpang dari perintah-­perintah Allah s.w.t. Sebab hanya dengan ketaatan kaum musli­min, seorang Imam dapat membereskan keadaan yang tidak beres, mempererat persatuan dan kerukunan ummat, dan memberikan bimbingan ke jalan yang lurus dan benar.

Banyak sekali tugas dan kewajiban yang terpikul di pundak seorang Imam. Antara lain ialah menjaga dan memelihara pelaksa­naan perintah serta larangan agama; menjaga keselamatan Islam dan kemurniannya dari perbuatan orang-orang yang mengabaikan nilai-nilai susila dan moral; melaksanakan ketentuan-ketentuan hu­kum agama; menjamin pengayoman dan kesentosaan wilayah Is­lam; menjamin terlaksananya keadilan bagi orang-orang yang ter­aniaya (madzlum); memimpin ummat dalam perjuangan mene­gakkan kebenaran Allah dan lain sebagainya.

Untuk dapat menjadi Imam, orang harus memiliki syarat­syarat. Antara lain ia harus mempunyai pengetahuan yang luas; mempunyai rasa keadilan yang tinggi; berani karena benar, mampu memberikan pertolongan dan menanggulangi kesukaran, serta yang terpenting di atas segala-galanya ialah kebersihan pribadi.

Semua kaum muslimin menyadari, bahwa kebersihan pribadi ini merupakan karunia Allah yang dilimpahkan kepada hamba-Nya yang sempurna. Dengan kebersihan dan kesucian pribadi itu orang sanggup menjauhkan diri dari perbuatan-perbuatan dosa dan mak­siyat, baik yang mungkin dilakukan dengan sengaja atau tidak. Si­fat luhur seperti itu sudah tentu lebih terjamin adanya pada para Imam yang berasal dari Ahlu-Bait Rasul Allah s.aw., yaitu orang-­orang yang sanggup menjadi benteng dan pengawal agama Islam, atau orang-orang yang hidup sepenuhnya mendambakan keridhoan Allah semata-mata.

Dalam kaitannya dengan masalah tersebut, Imam Ali r.a. menegaskan: “Barang siapa yang hendak menjadikan diri sebagai Imam di kalangan masayarakat, maka ia harus mengajar dirinya sendiri lebih dulu sebelum mengajar orang lain. Ia harus mendidik dirinya dengan perilaku yang baik lebih dulu sebelum mendidik orang lain dengan ucapan. Orang yang sanggup mengajar dan mendidik diri sendiri lebih berhak dihormati daripada orang yang hanya pandai mengajar dan mendidik orang lain.”

Diantara empat orang Khalifah Rasyidun, hanya Khalifah Imam Ali bin Abi Thalib r.a. sajalah yang disandangi gelar “Imam” oleh kaum muslimin. Gelar ini tidak dikenakan kepada orang lain yang menjadi pemimpin kaum muslimin. Mengapa? Bukankah Abu Bakar Ash Shiddiq r.a. juga seorang Imam seperti Khalifah Ali? Bukankah Umar Ibnul Khattab r.a. juga seorang Imam seperti Ali? Bukankah Utsman bin Affan r.a. juga seorang Imam seperti Khalifah Ali? Bukankah Khalifah-Khalifah itu juga Khalifah Ra­syidun seperti Imam Ali? Bukankah juga Khalifah-Khalifah itu pe­nerus kepemimpinan Rasul Allah s.a.w. sepeninggal beliau?

Bila pengertian “imamah” hanya terbatas pada kekhalifahan saja, tentu tiga orang Khalifah itu semuanya adalah Imam-Imam juga seperti Imam Ali r.a. Bahkan mereka memegang “imamah” lebih dulu daripada Imam Ali r.a.

Mengenai hal itu, seorang penulis modern berkebangsaan Mesir, Abbas Al Aqqad, berpendapat, bahwa kalau yang disebut “imamah” pada masa itu hanya terbatas pengertiannya di bidang hukum, tentu persamaan antara empat orang Khalifah itu tidak perlu disangkal lagi. Tetapi, demikian kata Aqqad seterusnya, tiga orang Khalifah Rasyidun di luar Imam Ali r.a., tak ada seorang pun diantara mereka itu mengibarkan bendera imamah untuk mengha­dapi tantangan kekuasaan duniawi yang muncul di kalangan ummat. Tak ada yang menghadapi adanya dua pasukan bersenjata yang saling berlawanan di dalam satu ummat. Dan tidak ada yang menjadi lambang imamah dalam menghadapi masalah-masalah rumit, yang penuh dengan berbagai problema yang menimbulkan syak dan keraguan di kalangan ummat.

Al Aqqad menambahkan, bahwa dalam keadaan tidak adanya problema-problema seperti itu, tiga orang Khalifah sebelum Imam Ali r.a., boleh saja disebut Imam. Tentu saja pengertian “Imam” itu sangat berlainan dengan gelar “Imam” yang ada puda Imam Ali bin Abi Thalib r.a. Ia adalah seorang Imam yang menghadapi berbagai kejadian dan peristiwa yang banyak menimbulkan kera­gu-raguan berfikir di kalangan ummat. Oleh karena itulah gelar Imam diberikan kaum muslimin secara khusus kepada khalifah Ali bin Abi Thalib r.a. Begitu luasnya gelar itu dikenal orang sampai menjadi buah bibir. Hingga anak-anak pun mengenal Imam Ali lewat sanjungan-sanjungan yang dikumandangkan orang di jalan-­jalan, tanpa perlu disebut nama orang yang menyandang gelar itu sendiri.

Seterusnya Al Aqqad menjelaskan, bahwa “kekhususan ima­mah yang ada pada Ali bin Abi Thalib r.a. ialah bahwa ia seorang Imam yang tidak ada persamaannya dengan Imam-Imam lainnya. Sebab Imam Ali mempunyai kaitan langsung dengan mazhab-maz­hab yang ada di kalangan kaum muslimin, bahkan dimulai semen­jak kelahiran mazhab-mazhab itu sendiri pada masa pertumbuhan Islam. Jadi sebenarnya Imam Ali adalah pendiri mazhab-maz­hab, atau dapat juga disebut sebagai poros di sekitar mana golo­ngan mazhab itu berputar. Hampir tak ada satu golongan madzhab pun yang tidak berguru kepada Imam Ali bin Abi Thalib. Ham­pir tidak ada satu golongan madzhab pun yang tidak memandang Imam Ali sebagai pusat pembahasan ilmu agama.”[1]

Menurut kenyataannya, Imam Ali r.a. adalah Imam yang be­nar-benar memiliki semua syarat yang diperlukan. Satu keistime­waan yang paling menonjol dan tidak dipunyai oleh Khalifah-kha­lifah lainnya, ialah penguasaannya di bidang-bidang ilmu agama. Tentang hal ini akan kita bicarakan di bagian lain buku ini.

Di sini kami hanya ingin mengemukakan, bahwa Abdullah bin Abbas, seorang ulama yang terkenal luas ilmu pengetahu­annya sampai diberi sebutan “habrul ummah” (pendekar ummat) dan “juru tafsir Al Qur’an,” mengatakan dengan jujur, bahwa di­banding dengan ilmu Imam Ali, ilmunya sendiri ibarat setetes air di tengah samudera. Khalifah Umar Ibnul Khattab r.a. juga mengatakan: “Hai Abal Hasan (nama panggilan Imam Ali r.a.) mudah-mudahan Allah s.w.t. tidak membiarkan aku terus hidup di bumi tanpa engkau!”

Disadur dari buku :

Sejarah Hidup Imam Ali bin Abi Thalib r.a.
Oleh H.M.H. Al Hamid Al Husaini

https://tausyah.wordpress.com

Hikam :
“Dan Tuhanmu telah memerintahkan supaya kamu jangan menyembah selain Dia. Dan hendaklah kamu berbuat baik kepada ibu bapakmu dengan sebaik-baiknya. Jika salah seorang diantara keduanya atau kedua-duanya sampai berumur lanjut dalam pemeliharaanmu, maka sekali-kali janganlah kamu mengatakan perkataan “ah”, dan janganlah kamu membentak mereka. Dan ucapkanlah kepada mereka perkataan yang mulia.” (QS. Al-Isra: 23).

Dari Abu Hurairah, dia berkata, telah dating kepada Rasulullah saw, seorang laki-laki lalu bertanya:, “Wahai Rasulullah, siapakah yang lebih berhak untuk saya pergauli dengan baik?” Beliau menjawab, “Ibumu” dia bertanya lagi, “Kemudian siapa?” Beliau menjawab, “Ibumu” dia bertanya lagi, “Kemudian siapa?” Beliau menjawab, “Ibumu” dia bertanya lagi, “Kemudian siapa?” Beliau menjawab, “Ayahmu”. (HR Muslim)

Dari isi Hadist terlihat betapa Allah melalui Rasulullah menilai besarnya pengorbanan orang tua kita terutama Ibu. Apa yang sudah ibu berikan kepada anaknya tidak dapat dibandingkan dengan apapun di dunia ini.

Orang tua, terutama ibu harus selalu kita hormati sepanjang hidup kita. Walaupun itu bukan orang tua kita sendiri. Kalau kita menghormati semua orang tua, berarti kita menghormati orang tua kita. Begitu juga bila kita memaki orang tua yang bukan orang tua kandung, maka berarti kita memaki orang tua kita sendiri.

Memuliakan orang tua kita bukan dengan memberinya harta yang berlimpah. Tetapi akhlak yang baik dari anak-anaknya sudah membuat orang tua kita damai dan senang. Harta tidak dapat dibandingkan dengan kemuliaan akhlak yang baik.

Kita sebagai anak harus memohon, berjuang sekuatnya kepada Allah bila orang tua kita belum mendapat hidayah dari Allah. Dan kita harus selalu menerima segala kekurangan orang tua kita dengan lapang dada.

Nikah mut’ah mempunyai keutamaan yang agung sekali di sisi orang Rafidhah -Al’iyaadzu billah-. Tercantum dalam kitab “Manhaj As Shodiqin” karangan Fathullah Al Kaasyaani dari As Shodiq (menerangkan) bahwasanya nikah mut’ah itu adalah dari ajaran agamaku dan agama bapak-bapakku, dan orang yang melaksanakannya berarti dia mengerjakan ajaran agama kita, dan orang yang mengingkarinya berarti dia mengingkari ajaran agama kita, bahkan ia memeluk agama lain dari agama kita. Dan anak (hasil) nikah mut’ah lebih mulia dari anak istri yang tetap/sah. Orang yang mengingkari nikah mut’ah adalah kafir murtad.”[1]

Al Qummi menukilkan di dalam kitab “Man Laa Yahduruhu Al Faqiih” dari Abdulah bin Sinan dari Abi Abdillah, ia berkata : “Sesungguhnya Allah Tabaraka wa Ta’ala telah mengharamkan atas golongan kita setiap yang memabukkan dari setiap minuman, dan telah mengganti mereka dari hal itu dengan nikah mut’ah”[2].

Orang Rafidhah tidak pernah mensyaratkan (membatasi) bilangan tertentu dalam nikah mut’ah. Tercantum dalam kitab “Furuu’ Al Kafi” dan At Tahdziib” dan “Al Istibshoor” dari Zaraarah, dari Abi Abdillah, ia berkata : “Saya telah menyebutkan kepadanya akan nikah mut’ah apakah nikah mut’ah itu (terjadi) dari empat (yang dibolehkan), ia berkata : nikahilah dari mereka-mereka (para wanita) seribu, sesungguhnya mereka-mereka itu adalah wanita yang disewa (dikontrak). Dan dari Muhammad bin Muslim dari Abi Ja’far sesungguhnya ia berkata tentang nikah mut’ah : “Bukan nikah mut’ah itu (dilakukan) dari empat (istri yang dibolehkan), karena ia (nikah mut’ah) tidak ada talak, tidak mendapat warisan, akan tetapi ia itu hanyalah sewaan”[3].

Bagaimana mungkin ini, padahal Allah telah berfirman :

وَالَّذِينَ هُمْ لِفُرُوجِهِمْ حَافِظُونَ (5) إِلَّا عَلَى أَزْوَاجِهِمْ أوْ مَا مَلَكَتْ أَيْمَانُهُمْ فَإِنَّهُمْ غَيْرُ مَلُومِينَ (6) فَمَنِ ابْتَغَى وَرَاء ذَلِكَ فَأُوْلَئِكَ هُمُ الْعَادُونَ (7)

Artinya : “Dan orang-orang yang menjaga kemaluannya, kecuali terhadap isteri-isteri mereka atau budak yang mereka miliki; maka sesungguhnya mereka dalam hal ini tiada tercela. Siapa mencari yang di balik itu maka mereka itulah orang-orang yang melampaui batas”. (Al Mukminun : 5-7).

Maka jelaslah dari ayat yang mulia ini bahwa sesungguhnya apa yang dihalalkan dari nikah adalah istri dan budak perempuan yang dimiliki, dan diharamkan apa yang lebih dari (selain) itu. Wanita yang dimut’ah adalah wanita sewaan, maka ia bukanlah istri (yang sah), dan ia tidak bisa mendapatkan warisan dan tidak bisa ditalak, jadi dia itu adalah pelacur / wanita pezina –wal’iyaadzubillah-.

Syaikh Abdullah bin Jibriin berkata : “Orang Rafidhah berdalih dalam menghalalkan nikah mut’ah dengan ayat di surat An Nisa’ yaitu firman Allah :

وَالْمُحْصَنَاتُ مِنَ النِّسَاء إِلاَّ مَا مَلَكَتْ أَيْمَانُكُمْ كِتَابَ اللّهِ عَلَيْكُمْ وَأُحِلَّ لَكُم مَّا وَرَاء ذَلِكُمْ أَن تَبْتَغُواْ بِأَمْوَالِكُم مُّحْصِنِينَ غَيْرَ مُسَافِحِينَ فَمَا اسْتَمْتَعْتُم بِهِ مِنْهُنَّ فَآتُوهُنَّ أُجُورَهُنَّ فَرِيضَةً

Artinya : “Dan (diharamkan juga kamu mengawini) wanita yang bersuami, kecuali budak-budak yang kamu miliki (Allah telah menetapkan hukum itu) sebagai ketetapan-Nya atas kamu. Dan dihalalkan bagi kamu selain yang demikian (yaitu) mencari istri-istri dengan hartamu untuk dikawini bukan untuk berzina. Maka istri-istri yang telah kamu nikmati (campur) di antara mereka, berikanlah kepada mereka maharnya (dengan sempurna), sebagai suatu kewajiban;”. (An Nisa : 24).

Jawab:

Sesungguhnya ayat ini semuanya dalam masalah nikah; dari firman Allah ayat 19 di surat An Nisa sampai 23, setelah Allah menyebutkan wanita-wanita yang haram dinikahi karena nasab dan sebab, kemudian Allah berfirman : Artinya : “Dan dihalalkan bagi kamu selain yang demikian.”

Maksudnya dihalalkan bagimu menikahi selain wanita-wanita (yang disebutkan tadi) bila kamu menikahi mereka untuk bersenang-senang yaitu bersetubuh yang halal, maka berikanlah mahar mereka yang telah kamu wajibkan untuk mereka, dan jika mereka mengugurkan sesuatu dari mahar-mahar itu berdasarkan dari jiwa yang baik (keridhoan hati), maka tidak mengapa atas kamu dalam hal itu. Beginilah ayat ini ditafsirkan oleh jumhur (mayoritas) sahabat dan orang-orang setelah mereka[4].

Bahkan di sisi (menurut) orang Rafidhah perkaranya telah sampai menghalalkan menyetubuhi wanita di lubang anusnya. Tercantum dalam kitab “Al Istibshoor” dari Ali bin Al Hakam ia berkata: “Saya telah mendengar Shofwan berkata: “Saya telah berkata kepada Al Ridha: Sesungguhnya seorang laki-laki dari budak-budakmu memerintahkan saya untuk menanyakan kepadamu akan suatu masalah, maka dia takut dan malu kepadamu untuk menanyakanmu, ia berkata : apa itu? Ia berkata: Apakah boleh bagi laki-laki untuk menyetubuhi wanita (istrinya) di lubang anusnya? Ia menjawab: Ya, hal itu boleh baginya”[5].

——————————————————————————–

[1] Manhaj As Shodiqiin, karangan Mulla Fathullah al Kasyaani, hal : 356

[2] “Man Laa Yahduruhu Al Faqiih”, hal : 330.

[3] Al Furuu’ min Al Kafii, (2/43), dan kitab “ At Tahdziib” (2/188).

[4] Dari perkataan Syeikh Ibnu Jibrin -semoga Allah mengangkat darajatnya-, adapun dalil dari Sunnah dalam mengharamkan nikah mut’ah adalah hadits Ar Rafi’ bin Sirah Al Juhani, sesungguhnya bapaknya menceritakan kepadanya bahwa sesungguhnya ia (bapaknya) bersama Rasulullah, maka beliau bersabda : wahai Manusia sesungguhnya saya pernah mengizinkan untuk kalian bersenang-senang dengan perempuan (nikah mut’ah), dan sesungguhnya Allah sungguh telah mengharamkan hal itu (nikah mut’ah) sampai hari Kiamat, siapa yagn memiliki seseorang wanita darinya maka hendaklah ia melepaskannya, dan janganlah kalian mengambil sedikitpun dari apa yang telah kalian berikan kepadanya.” (H.R. Muslim no: 1406).

[5] Al Istibshoor, (3/243).