Posts Tagged ‘Ummat Muslim’

https://tausyah.wordpress.com/Nashiruddin Al-AlBani

Nashiruddin Al-AlBani

Ini merupakan bantahan ditengah banyaknya isu yang beredar ditengah-tengah ummat muslim, yang mana banyak yang berkata bahwa Syaikh Nashruddin Al-AlBani adalah seorang tukang reparasi jam dan bukan ahli hadist, yah.. memang benar beliau adalah seorang tukang reparasi jam..namun walau demikian bukan berarti seorang tukang reparasi jam tidak bisa menjadi seorang ahli hadist. Apalagi beliau juga menimba ilmu disekolah agama dari kecil sampai beliau dewasa,  Bahkan ada juga yang berpendapat bahwa beliau sanadnya lemah dengan alasan karena beliau tidak berguru kepada siapapun. Padahal, dilihat dari sejarah kehidupan beliau..jangankan berguru..bahkan beliau menjadi guru pengajar Al Hadist di Universitas Islam Madinah pada masanya.

Jika buku-buku beliau tidak layak dijadikan rujukan bagi ummat Islam, tentu ulama-ulama pada masa beliau juga tidak bodoh sehingga membiarkan karya-karya beliau beredar didunia Islam seperti saat ini bahkan beliau juga menentang para aliran sesat. Selain itu, Beliau juga berkumpul dengan para ulama, yang membahas kajian al hadist dan berbagai syari’at ajaran agama. Jika disari dari kitab-kitab dan buku-buku karangan beliau, insha ALLAH..tidak ada yang bertentangan dengan ajaran Islam bahkan sejalan dengan hukum Islam itu sendiri. Selayaknya manusia janganlah melihat suatu bingkisan atau kado dari sampulnya, melainkan lihatlah segala apa yang menjadi isinya. (lebih…)

Menurut perhitungan Tarikh Masehi saat ini adalah tahun 2010, tepatnya bulan september 2010 dan terhitung hanya bersisa beberapa bulan lagi akan diakhiri dengan hadirnya tahun 2011. Akan tetapi sayangnya, banyak di antara kita ummat Muslim yang mengikuti serta merayakannya.

Sedang Tarikh Masehi adalah tarikh yang dipakai secara internasional, dan oleh kalangan gereja dinamakan Anno Domini (AD) terhitung sejak kelahiran nabi Isa. as (yesus). semula biarawan Katolik, Dionisius Exoguus pd thn 527 M ditugaskan pimpinan Gereja untuk membuat perhitungan tahun dengan titik tolak tahun kelahiran Nabi Isa as (Yesus).

Sistim penanggalan dan perhitungan hari, lahir dari rahim astrologi yakni ilmu tentang pergerakan benda-benda langit seperti matahari, bulan dan rasi bintang. astrologi berasal dari Mesopotamia, daratan diantara sungai tigris dan Eufrat, daerah asal orang Babel kuno (kini Irak TEnggara). ilmu ini berkembang sejak jaman pemerintahan Babel kuni, kira-kira tahun. 2000 SM.Semula di Mesir kira-kira 1000SM, para ahli perbintangan mempelajari benda-benda langit hanya untuk ramalan umum mengenai masa depan. pengetahuan astrologi ini diambil alih suku bangsa Babel. (lebih…)

lafal Nabi Muhammad Robert Morey, seorang orientalis barat, memuntahkan ekspresi antiislamnya dalam buku The Islamic Invasion: Confronting the World?s Fastest Growing Religion. Buku 221 halaman ini sarat dengan tuduhan, hujatan, adu-domba, fitnah, dan sumpah serapah terhadap islam, Allah SWT, Nabi Muhammad SAW, Al-Qur’an, dan hadits Nabi. Drs. H Amidhan, Ketua majelis ulama Indonesia (MUI) menyebutkan The Islamic Invasion sebagai buku yang lebih kejam dari buku Ayat-ayat setan tulisan Salman Rushdie.

Ironisnya, buku yang sangat berbahaya ini menjadi lahan bisnis oleh oknum penerbit Muslim. The Islamic Invasion diterjemahkan utuh lalu diterbitkan dengan tambahan ?catatan pinggir? (142 halaman) tentang teologi Kristen. Catatan pinggir ini sama sekali tidak membantah berbagai hujatan Robert terhadap Islam. Seharusnya, jika penerbit berorientasi dakwah, seharusnya mereka menerbitkan catatan pinggir itu saja, tanpa menerbitkan terjemahan utuh The Islamic Invasion karya orientalis.

Seandainya terjemah buku The Islamic Invasion ini diterbitkan oleh pihak Kristen, maka bisa dipastikan akan muncul reaksi keras dari ormas islam. Tetapi, karena terjemah The Islamic Invasion ini diterbitkan oleh penerbit muslim, maka tidak ada reaksi protes dari ormas islam. Terlebih, buku ini diberi kata pengantar oleh Rektor IAIN Jakarta.

Nazri Adlani, Ketua MUI Pusat, turut prihatin dengan beredarnya buku terjemah ini. Dengan arif, ia berkomentar ?beredarnya terjemah buku The Islamic Invasion tulisannya Robert Morey di Indonesia adalah ciri-ciri keteledoran kita semua. Karena, buku yang isinya menjelek-jelekkan islam, Nabi Muhammad SAW dan Al-Qur’an, jika dibaca oleh umat islam yang jauh dari kegiatan pengajian, mereka akan terpengaruh oleh berbagai fitnah dan image yang keliru tentang islam.?

Walhasil, pihak walan tandho bertepuk tangan kegirangan. Mereka tidak usah repot-repot mengeluarkan dana untuik melancarkan hujatan kepada Al-Qur’an. Untuk mengedarkan buku hujatan terhadap islam, mereka tidak usah pusing kepala berhadapan dengan pendemo FPI, atau berurusan dengan polisi karena pasal ?Penodaan Agama.?

Sekarang, siapapun bisa belajar merancukan islam dengan membeli buku terjemahan The Islamic Invasion ini di toko buku islam.

Untungnya, masih ada mujahid islam yang peduli. Salah satunya adalah Abujamin Roham. Untuk menetralisir buku berbahaya tersebut, pakar kristologi yang juga pengurus Majelis Tabligh PP Muhammadiyah ini menulis buku Abujamin Rohan Menggugat Islamic Invasion (382 halaman).

Salah satu senjata Robert Morey untuk mendangkalkan akidah umat adalah tuduhan bahwa Al-Qur’an kehilangan 73 ayat dalam proses pembukuannya. Robert menulis:

?Some verses missing. According to Professor Guillamume in his book, Islam, (p.191 ff), some of the original verses of the Quran were lost. For example, one Sura originally had 200 verses in the days of Ayesha. But by the time Utsman standardized the text of the Quran, it had only 73 verses! A total of 127 verses had been lost, and they have never been recovered.? (The Islamic Invasion: Confronting the World?s Fastest Growing Religion, Harvest House Publisher, Eugene Oregon, p.121).

(Beberapa ayat hlang, menurut Professor Guillamume dalam bukunya yang berjudul, Islam, pada halaman 191 ff disebutkan bahwa beberapa ayat Al-Qur’an yang asli telah hilang. Contohnya adalah salah satu surat yang aslinya terdiri dari 200 ayat pada zaman Aisyah. Akan tetapi anehnya sesaat sebelum Utsman membukukan teks Al-Qur?an, jumlah ayatnya tersisa hingga 73 ayat! Sedangkan 127 ayat lainnya telah hilang begitu saja dan tidak pernah ditemukan lagi hingga sekarang).

Umat islam tidak akan pernah terpengaruh oleh gugatan orientalis terhadap otentitas Al-Qur’an. Karena Allah sudah menjamin akan melakukan penjagaan terhadap Al-Qur’an. Allah berfirman: ?sesungguhnya Kami lah yang menurunkan Al-Qur’an, dan sesungguhnya Kami benar-benar memeliharanya? (Qs. Al-Hijr 9).

Dalam sejarah pembukuan Al-Qur’an, tidak pernah terjadi ayat yang yang hilang, karena sejak zaman Nabi, Al-Qur’an sudah dihafal oleh para sahabat. Ketika hendak dibukukan, pernah terselip ayat (ingat: bukan ayat hilang). Misalnya, surat Al-Ahzab 33 belum ditemukan catatannya, sementara ayat tersebut sudah dihafal di luar kepala oleh para sahabat. Maka ayat yang dimaksud dicari-cari terus, hingga akhirnya diketemukan pada catatan sahabat Abu Khuzaimah bin Aus Al-Anshary. Demikian pula yang diketemukan di kediaman sahabat Khuzaimah bin Tsabit.

Tidak pernah ada perbedaan naskah Al-Qur’an milik Aisyah dengan naskah Al-Qur’an yang dibukukan oleh panitia Zaid bin Tsabit. Tudingan Robert bahwa ada perbedaan naskah milik Aisyah dengan Al-Qur’an yang beredar sekarang ini adalah isapan jempol. Terbukti, dia tidak bisa menunjukkan ayat yang dikatakan telah hilang.

Tidak ada ayat Al-Qur’an yang hilang, karena ayat-ayat itu langsung dihafal oleh para sahabat setelah diwahyukan kepada Nabi SAW. Selain itu, ayat-ayat tersebut juga ditulis oleh para sahabat di atas kulit binatang, batu tulis yang tipis, pelepah korma, tulang binatang, dsb.

Umat islam sedunia tidak akan guncang imannya terhadap otentisitas Al-Qur’an. Karena sejak zaman Nabi sampai kapan pun, Al-Qur’an sedunia tetap serupa dan sama tak ada beda satu titik-koma pun. Dimanapun berada, Al-Qur’an tetap satu, dalam bahasa Arab yang sudah dihafal oleh jutaan huffadz.

Hal inilah yang membedakan otentisitas Al-Qur?an dengan Alkitab (bibel). Keaslian Alkitab tidak bisa terjaga karena di samping naskahnya telah hilang, bahasa yang digunakan juga bukan bahasa asli ketika ayat tersebut diwahyukan. Selain itu, Bibel tidak pernah dihafal oleh satu orang pun sepanjang sejarah. Akibatnya, berbagai penyisipan dan pengurangan ayat tidak bias dihindari oleh Bibel.

Alkitab Reader Digest terbit lebih tipis dan ringkas dari Alkitab standar umum. Dalam Alkitab ini, kitab perjanjian Baru diringkas 50 persen, sedangkan dan perjanjian Lama diringkas 25 persen.

Bahkan dalam Alkitab terbitan Jerman ?Die Gute Nachricht Altes und Neues Testament?, jumlah ayatnya berkurang belasan ribu ayat dibanding Alkitab standar Protestan (Revised Standard Version, King James Version, New International Version, Tyndale Bible, Zonderfan Bible) maupun standar Katolik (Revised Standard Version Catholic Edition, New American Bible, dan New Jerusalem Bible).

Dalam Alkitab yang diterbitkan oleh Deutsche Biblestifung Stuttgart, Germany tahun 1978 ini, terdapat lebih kurang 18.666 ayat dari ratusan pasal yang hilang. Jumlah ini cukup mencengangkan, karena berarti tiga kali lipat jumlah ayat kitab suci Al-Qur’an.

Bagian 2
Dalam Alkitab terbitan Jerman ?Die Gute Nachricht Altes und Neues Testament? terbitan deutsche Bibelstifung Stuttgart, Germany tahun 1978, jumlah ayat dalam Perjanjian Lama (PL) berkurang 18.666 ayat. Jumlah ini diperoleh dari perbandingan dengan Alkitab standar Protestan maupun standar Katolik.

Menurut Ev Jansen Litik, Alkitab Perjanjian Lama terdiri dari 22.465 ayat. (Tanya jawab Dogmatika Kristologi, hlm.18). Dengan demikian berarti Alkitab PL kehilangan sekitas 83 persen. Bila dibuka dengan cermat, dari lembaran pertama sudah terlihat mencolok adanya ayat-ayat yang raib itu. Bermula dari kitab Kejadian (Das Erste Buch Mose), terdapat 8 pasal 5, pasal 10, pasal 20, pasal 23, pasal 26, pasal 31, pasal 34, dan pasal 36.

Dari seluruh kitab Perjanjian Lama (PL), yang paling banyak kehilangan ayat adalah kitab Mazmur (Das Buch Psalmen). Umumnya, kiotab ini terdiri dari 150 pasal. Tetapi dalam Alkitab terbitan Jerman ini hanya terdapat 41 pasal saja. Sedangkan 109 pasal lainnya tidak dimuat sama seklai. Di samping itu, bebrapa bagian di antaranya kehilangan searoh pasal. Jika dihitung, jumlah seluruh ayat yang hilang dari kitabMazmur berjumlah 1.830 ayat.

Nasib yang sama juga dialami oleh kitab Tawarikh yang terdiri dari Tawarikh I dan Tawarikh II. Kitab Tawarikh I umumnya terdiri dari 29 pasal dan 891 ayat, sedangkan kitab Tawarikh II terdiri dari 36 pasal dan 822 ayat. Kedua kitab ini sama sekali disunat dari Alkitab. Jika dikalkulasi, terdapat 1.713 ayat yang tidak dimuat dalam kitab Tawarikh.

Selain Tawarikh, kitab lain yang dipangkas habis tanpa menyisakan satu ayat pun adalah Kitab Ester, Ratapan(nudub Yeremia), Obaja, Nahum, Habakuk, Zefanya, Tobit, Tambahan Ester, Kebijakan Alomo, Sirakh, Barukh, dan Tambahan Kitab Daniel. Total jumlah ayat dari kitab-kitab yang hilang ini adalah 3.006 ayat.

Kitab Yehezkiel (Der Prophet Ezechiel) hilang 30 pasal, antara lain: pasal 6-7, pasal 12-15, pasal 17, pasal 19-30, pasal 32, pasal 35, pasal 38-42, pasal 44-46, dan pasal 48. Selain itu, ada bebrapa bagian yang hilang separoh pasal, sehingga total ayat yang hilang berjumlah 871 ayat.

Kitab Yesaya (das Buch Jesaya) yang seyogianya berjumlah 66pasal, kini tinggal 37 pasal saja,lantaran kehilangan 29 pasal. Dari 37 pasal yang tersisa itu pun sebagian hilang separoh pasal. Jumlah seluruh ayat yang hilang dari kitabYesaya adalah 687 ayat.

Kitab Bilangan (Das vierte Buch Mose) hanya ada 10 pasal, setelah kehilangan 26 pasal, antara lain: pasal 1-2, pasal 4-5, pasal 7-9, pasal 11-12, pasal 15-19, dan pasal 25-36. Jumlah ayat yang hilang dalam kitab Bilangan adalah 1.057 ayat.

Demikian pula yang dialami oleh Kitab Yeremia (Der Prophet Jeremia). Kitab ini hanya memiliki 25 pasal setelah kehilangan 27 pasal. Jumlah ayat yang hilang dalam kitab Bilangan adalah 869 ayat.

Dalam Dua Halaman raib Ribuan Ayat:
Menurut urutan yang baku, seharusnya setelah kitab Tibit adalah kitab Yudit (339 ayat), Tambahan Ester (91 ayat), Kebijakan Salomo (435 ayat), Sirakh (1.401 ayat), barukh (213 ayat), dan Tambahan KItab Daniel (196 ayat). Tetapi, enam kitab yang terdiri dari 2.675 ayat ini hilang semua. Setelah kitab Tobit, langsung loncat ke kitab Makabe.

DAFTAR AYAT-AYAT YANG HILANG DARI ALKITAB
No Nama Kitab Jumlah
01. Kitab Kejadian (Das Erste Buch Mose) 391
02. Kitab Keluaran (Das Zweite Buch Mose) 539
03. Kitab Imamat (Das Dritte Buch Mose) 764
04. Kitab Bilangan (Das Vierte Buch Mose) 1,057
05. Kitab Ulangan (Das Funfte Buch Mose) 698
06. Kitab Yosua (Das Buch Josua) 528
07. Kitab Hakim-hakim (Das Buch Von Den Richtern) 386
08. Kitab l Samuel (Das Erste Buch Samuel) 304
09. Kitab ll Samuel (Das Zweite Buch Samuel) 363
10. I Raja-raja (Das Ersste Buch von den Konigen) 375
11. II Raja-raja (Das Zweite Buch von den Konigen) 343
12. Kitab Tawarikh I 891
13. Kitab Tawarikh II 822
14. Kitab Ezra (Das Buch Esra) 125
15. Kitab Nehemia (Das Buch Nehemia) 289
16. Kitab Ester 167
17. Kitab Ayub (Das Buch Ijob) 672
18. Kitab Mazmur (Das Buch Psalmen) 1,830
19. Kitab Amsal (Das Buch Sprichworter) 704
20 Kitab Pengkhotbah (Das Buch Koholet) 100
21. Kitab Kidung Agung (Das Hohelied) 31
22. Kitab Yesaya (Das Buch Yesaya) 687
23. Kitab Yeremia (Der Prophet Jeremia) 869
24. Kitab Ratapan 154
25. Kitab Yehezkiel (Der Prophet Ezechiel) 871
26. Kitab Daniel (Das Buch Daniel) 219
27. Kitab Hosea (Der Prophet Hosea) 128
28. Kitab Yoel (Der Prophet Joel) 16
29. Kitab Amos (Der Prophet amos) 14
30. Kitab Obaja 21
31. Kitab Mikha (Der Prophet Micha) 46
32. Kitab Nahum 47
33. Kitab Habakuk 56
34. Kitab Zefanya 53
35. Kitab Hagai (Der Prophet Haggai) 14
36. Kitab Zakharia (Der Prophet Sacharja) 115
37. Kitab Maleakhi (Der Prophet Maliachi) 36
38. Kitab Tobit (Das Buch Tobit) 85
39. Kitab Yudit 339
40. Tambahan Ester 91
41. Kebijakan Salomo 435
42. Kitab Sirakh 1,401
43. Barukh 213
44. Tambahan Kitab Daniel 196
45. I Makabe (Das Erste Buch von Den Makkabaer) 757
46. II Makabe (Das Zweite Buch von Den Makkabaer) 424
Jumlah ayat yang hilang 18,666 ayat

Kitab Imamat (Das Dritte Buch Mose) dalam Alkitab Jerman hanya memuat pasal 9,16 dan 19 yang semuanya terdiri dari 95 ayta saja. Padahal, standarnya kitab Imamat terdiri dari 27 pasal (859 ayat). Selebihnya, 24 pasal (764 ayat) disapu bersih. Jadi,kitab Imamat ini kehilangan ayat sebanyak 89 persen.

Kitab-kitab PL lainnya yang banyak kehilangan ayat antara lain: kitab Amsal (Das Buch Sprichworter) hilang 23 pasal (704 ayat); kitab Ayub (Das Buch Ijob) hilang 23 pasal (672 ayat); kitab Mazmur (Das Buch Psalmen) hilang 109 pasal (1.830 ayat); kitabYosua (Das Buch Josua) hilang 17 pasal (528 ayat); kitab Ulangan (Das Funfte Buch Mose/Deuteronomium) hilang 16 pasal (698 ayat); kitabYesaya (Das Buch Jesaya) hilang 29 pasal (687 ayat), dll.

Data-data pengurangan dan perubahan tata letak ayat-ayat di atas, secara otomatis menggugurkan doktrin otoritas Alkitab (Bibel) sebagai murni firman Tuhan. Sebab Bibel telah dikotori oleh tangan-tangan manusia. Umat Islam tidak heran terhadap fenomena ini, karena Allah SWT telah mengabarkan dalam Al-Qur?an:

?Mereka (Ahli Kitab) suka mengubah kalimat-kalimat Allah daripada tempat-tempatnya??(Qs. Al-Ma?idah 13).

Dengan demkian, tuduhanRobert Morey dalam buku The Islamic Invasion bahwa Al-Qur?an kehilangan 73 ayat dalamproses pembukuannya, sangat keliru dan tidak berdasar sama sekali. Sebab fakta sejarah telah menyanggah tuduhan ini (lihat Majalah tabligh edisi sebelumnya).

Selain itu,tuduhan kehilangan ayat dalam kitab suci itu, jelas salah alamat bila ditujukan unutk Al-Qur?an. Sebaiknya, Morey mengalamatkan tudingan ini kepada Alkitab (Bibel), yang terbukti telah kehilangan 18.666 ayat (sekitar 83 persen).

Molyadi Samuel am

sumber : majalah tabligh
edisi : Mei/Juni 2007

https://tausyah.wordpress.com

Iman IslamJujur dan Adil

Bukanlah suatu hal yang mengherankan bila seseorang jujur dan adil terhadap sesama kawan. Tetapi bila ada orang yang jujur dan adil terhadap lawan, ini sungguh suatu keluar-biasaan. Justru inilah yang menjadi salah satu sifat istimewa Imam Ali r.a.

Dalam kedudukkannya sebagai Khalifah, pada satu hari Imam Ali r.a. melihat baju besi yang pernah dimilikinya berada di tangan seorang penduduk beragama Nasrani. Karena merasa yakin, bahwa barang itu memang miliknya, untuk mendapatkan kembali secara baik ia mengadu kepada hakim setempat. Dalam sidang khusus untuk menyelesaikan tuntutannya itu, di depan peradilan Imam Ali r.a. mengatakan bahwa baju besi itu benar­benar miliknya. Ia menegaskan: “Belum pernah aku menjual baju besi itu. Sepanjang ingatanku, belum pernah barang itu kuhadiah­kan kepada orang lain.”

Sungguhpun demikian, orang Nasrani yang menjadi tergugat itu tetap bertahan, bahwa baju besi itu miliknya yang sah. Tanpa ragu-ragu ia menjawab: “Baju besi ini milikku sendiri. Aku yakin Amirul Mukminin tidak akan berbuat bohong.”

Mendengar keterangan yang berlawanan itu, hakim menoleh kepada Imam Ali r.a. dan bertanya sekali lagi: “Apakah anda mempunyai keterangan tambahan?”

Beberapa saat lamanya Imam Ali r.a. diam, tidak tahu apa yang harus dikatakan. Namun ia yakin bahwa barang itu me­mang miliknya. Akhirnya pertanyaan hakim itu dijawab sam­bil tersenyum: “Apa yang anda tanyakan itu memang perlu, te­tapi aku tidak mempunyai keterangan tambahan.”

Setelah mengadakan pertimbangan secukupnya, hakim memutuskan bahwa barang yang dipersengketakan itu menjadi milik sah orang Nasrani yang menjadi tergugat dalam perkara itu. Oleh hakim, orang Nasrani yang bersangkutan diperkenankan pu­lang membawa barang tersebut. Dengan wajah berseri-seri mencer­minkan keikhlasan hatinya Imam Ali r.a. melihat orang Nasrani itu beranjak dari tempatnya sambil mengangkat baju besi.

Baru beberapa langkah berjalan, tiba-tiba orang Nasrani itu balik kembali menghampiri Imam Ali r.a. dan hakim yang masih duduk di tempat masing-masing. Kepada Imam Ali r.a. orang Nas­rani itu berkata: “Apa yang kusaksikan mengenai diri anda, be­nar-benar sama seperi hukum yang berlaku bagi para Nabi!” Ke­mudian dengan khidmat ia berkata lebih lanjut: “Sekarang aku bersaksi, bahwa tiada Tuhan selain Allah dan Muhammad Rasul Allah. Ya Amiral Mukminin, memang benarlah baju besi ini ke­punyaan anda. Waktu anda berangkat ke Shiffin dulu, aku meng­ikuti kafilah anda. Baju besi ini jatuh kemudian diambil oleh sa­lah seorang anggota pasukan yang sedang kekurangan bekal.”

Dengan tenang Imam Ali r.a. menjawab pernyataan orang Nasrani yang sudah mengikrarkan syahadat itu: “Karena anda se­karang sudah memeluk agama Islam, barang itu sekarang sudah menjadi kepunyaan anda!”

Percakapan antara dua orang itu disaksikan oleh hakim dan hadirin lainnya. Mereka ramai membicarakan kejadian yang sangat mengesankan itu. Benarlah bahwa hanya orang muslim yang menghayati Islam sepenuhnya sajalah, yang dapat bersikap seperti Imam Ali r.a. Tetapi tak ada orang lain yang lebih terkesan dalam hatinya selain orang Nasrani yang sekarang sudah jadi muslim itu. Kenyataan ini dibuktikan pada hari-hari selanjutnya. Sejarah ke­mudian mencatat, bahwa bekas Nasrani itu ternyata seorang mus­lim yang sangat gigih membela Imam Ali r.a. dalam perjuangan menegakkan kebenaran Islam dan menumpas pemberontakan Khawarij di Nehrawan.

Peristiwa tersebut merupakan petunjuk nyata tentang betapa tingginya tingkat ketaqwaan, kejujuran dan keadilan Imam Ali r.a. Semua ibadah jasmaniah dan rohaniyahnya bukan lagi dirasa sebagai kewajiban yang harus dilaksanakan, melainkan sudah men­jadi kenikmatan dan kebahagiaan hidupnya sehari-hari. Semua yang dilakukan semata-mata berdasarkan dorongan cinta kepada Allah ‘Azza wa Jalla dan kegairahan melaksanakan tauladan hidup yang diberikan oleh putera pamannya, Nabi Muhammad s.a.w.

Dalam hal melaksanakan keadilan, Imam Ali r.a. benar-benar tidak pandang bulu. Yang benar dinyatakan benar, yang salah di­nyatakan salah, tak peduli siapa saja yang dihadapinya. Apakah yang dihadapinya itu orang lain, keluarga sendiri, orang kaya atau miskin, orang yang berkedudukan atau pun tidak. Dalam pan­dangan Imam Ali r.a. sebagai penegak hukum Allah, semua manu­sia adalah hamba Allah yang sama derajat.

Dalam suatu kesempatan, Aqil bin Abi Thalib –kakak Imam Ali r.a.– menceritakan penyaksiannya sendiri tentang keadilan saudara kandungnya itu, sebagai berikut: “Waktu berkunjung ke rumah Imam Ali r.a., Aqil melihat Al Husein r.a. sedang keda­tangan seorang tamu. Ia meminjam uang satu dirham untuk mem­beli beberapa potong roti. Uang itu belum cukup untuk keperluan lauk. Kepada pelayan rumahnya, Qanbar, Al Husein r.a. minta supaya dibukakan kantong kulit berisi madu yang dibawa orang dari Yaman. Qanbar mengambil madu setakar.”

“Waktu Imam Ali r.a. datang dan minta supaya Qanbar meng­ambilkan kantong madu untuk dibagi-bagikan kepada orang-orang yang berhak, ia melihat madu sudah berkurang. Imam Ali r.a. bertanya: ‘Hai Qanbar, kukira sudah terjadi sesuatu dengan wa­dah madu ini!’ Sebagai jawaban Qanbar menjelaskan bahwa ia disuruh Al Husein mengambilkan madu setakar dari wadah itu. Mendengar itu bukan main marahnya Imam Ali r.a.: ‘Panggil Husein!’…”

Waktu Husein tiba di depannya, Imam Ali r.a. segera meng­ambil cambuk, tetapi Al Husein cepat-cepat berkata: “Demi hak pamanku, Ja’far!”

Biasanya bila nama Ja’far disebut-sebut, marah Imam Ali r.a. segera menjadi reda. Kepada Husein, Imam Ali r.a. bertanya: “Apa sebab engkau berani mengambil lebih dulu sebelum dibagi?” Puteranya menjawab: “Kami semua mempunyai hak atas ma­du. Kalau nanti kami menerima bagian, akan kami kembalikan.”

Dengan suara melunak Imam Ali r.a. menasehati putera­nya: “Ayahmu yang akan mengganti! Tetapi walaupun engkau mempunyai hak, engkau tidak boleh mengambil hakmu lebih dulu sebelum orang-orang muslim lain mengambil hak mereka. Seandainya aku tidak pernah melihat sendiri Rasul Allah s.a.w. mencium mulutmu, engkau sudah kusakiti dengan cambuk ini!”

Imam Ali r.a. menyerahkan uang satu dirham dan diselipkan dalam baju Qanbar sambil berkata: “Belikan dengan uang ini ma­du yang baik dan yang sama banyaknya dengan yang telah di­ambil!”

“Demi Allah…, demikian kata Aqil, “…seolah-olah seka­rang ini aku sedang melihat tangan Ali memegang mulut kantong madu itu dan Qanbar sedang menuangkan madu ke dalamnya!”

Aqil sendiri pernah mengalami suatu peristiwa pahit dengan saudaranya itu. Menurut penuturannya: “Waktu itu aku sedang mengalami kesulitan penghidupan yang amat berat. Aku minta bantuan kepadanya (Imam Ali r.a.). Semua anakku kukumpul­kan dan kuajak ke rumahnya. Anak-anakku itu benar-benar sedang menderita kekurangan makan. Waktu tiba di sana Ali ber­kata: ‘Datanglah nanti malam, engkau akan kuberi sesuatu’…”

Malam hari itu aku datang lagi bersama anak-anakku. Mereka menuntunku bergantian.[1] Setibanya di sana anak-anakku disuruh menyingkir. Kepadaku Ali berkata: “Hanya ini saja untuk­mu!”

Aku cepat-cepat mengulurkan tangan karena ingin segera menerima pemberiannya, dan kuduga itu sebuah kantong. Ter­nyata yang kupegang ialah sebatang besi panas yang baru saja di­bakar. Besi itu kulemparkan sambil berteriak meraung seperti lembu dibantai. Ali tenang-tenang saja berkata kepadaku: “Itu baru besi yang dibakar dengan api dunia. Bagaimana kalau kelak aku dan engkau dibelenggu dengan rantai neraka jahanam?!”

Setelah ia membaca ayat 71-72 S. Al Mukmin, Imam Ali r.a. berkata meneruskan: “Dariku engkau tidak akan memperoleh lebih dari hakmu yang sudah ditetapkan Allah bagimu… selain yang sudah kau rasakan sendiri itu! Pulanglah kepada keluarga­mu.”

Memang luar biasa. Muawiyah sendiri ketika mendengar ce­rita tentang peristiwa itu berkomentar: “Terlalu! Terlalu! Kaum wanita akan mandul dan tidak akan melahirkan anak seperti dia!”

Aqil bin Abi Thalib ternyata berusia lebih panjang daripada saudara-saudaranya. Di kalangan orang-orang Qureiys ia terkenal sebagai salah satu di antara empat orang ahli yang dapat dimintai keterangan tentang ilmu silsilah dan sejarah Qureiys. Empat orang itu ialah Aqil bin Abi Thalib, Makramah bin Naufal Azzuhriy, Abul Jaham bin Hudzaifah Al Adwiy, dan Huwairits bin Abdul Uzza Al Amiriy Aqil sanggup memberi keterangan terperinci mengenai soal-soal silsilah dan sejarah Qureiys. Selain itu ia pun seorang periang dan mudah tertawa keras.

Ibnul Atsir meriwayatkan pengalaman Aqil yang lain dengan Imam Ali r.a. Pada suatu hari Aqil datang kepada Imam Ali r.a. untuk meminta sesuatu. Kepada Imam Ali r.a. ia berkata: “Aku ini orang butuh, orang miskin… berilah pertolongan kepadaku.”

“Sabarlah dan tunggu sampai tiba waktunya pembagian ber­sama kaum muslimin lainnya,” jawab Imam Ali r.a.: “Engkau pasti kuberi.”

Aqil tidak puas dengan jawaban itu. Ia mendesak terus dan merajuk. Akhirnya Imam Ali r.a. memerintahkan seorang: “Ba­walah dia pergi ke toko-toko di pasar. Katakan kepadanya supaya mendobrak pintu toko-toko itu dan mengambil barang-ba­rang yang ada di dalamnya!”

Mendengar perintah Imam Ali r.a. yang seperti itu, Aqil menyahut: “Apakah engkau ingin aku menjadi pencuri?”

“Dan engkau, apakah ingin supaya aku mencuri milik kaum muslimin dan memberikannya kepadamu?” jawab Imam Ali r.a.

“Kalau begitu aku mau datang kepada Muawiyah,” kata Aqil dengan nada mengancam.

“Terserah,” jawab Imam Ali r.a. dengan kontan.

Aqil lalu pergi ke Syam untuk meminta bantuan kepada Muawiyah. Oleh Muawiyah ia diberi uang sebesar 100.000 dirham, dengan syarat Aqil harus bersedia naik ke atas mimbar dan ber­bicara dengan orang banyak tentang apa yang telah diberikan oleh Imam Ali kepadanya dan tentang apa yang telah diberikan Muawi­yah. Dari atas mimbar Aqil berkata dengan lantang: “Hai kaum muslimin, kuberitahukan kepada kalian, bahwa aku telah memin­ta kepada Ali supaya memilih: ‘aku atau agamanya’. Ternyata ia lebih suka memilih agamanya. Kepada Muawiyah aku pun minta seperti itu. Ternyata ia lebih suka memilih aku daripada agama­nya!”

Tentang kejujuran dan keadilan Imam Ali r.a. orang tidak se­gan-segan mengatakan terus terang, sekalipun di depan Muawi­yah. Beberapa waktu setelah Imam Ali r.a. wafat, Muawiyah ber­tanya kepada Khalid bin Muhammad: “Apakah sebab anda lebih menyukai Ali daripada kami?”

“Disebabkan oleh tiga hal,” jawab Khalid bin Muhammad dengan terus terang. “Ia sanggup menahan sabar bila sedang ma­rah. Jika berbicara ia selalu berkata benar. Dan jika menetapkan hukum ia selalu adil.” Demikian diriwayatkan oleh Ibnu Hajar dalam bukunya Ash Shawa’iqul Muhriqah.”

Al Haitsamiy dalam bukunya Majma, jilid IX, halaman 158 menyajikan sebuah riwayat yang berasal dari Rab’iy bin Hurasy sebagai berikut: Pada suatu hari Muawiyah dikerumuni oleh pe­muka-pemuka Qureiys, termasuk Sa’id bin Al Ash, yang waktu

itu duduk di sebelah kanannya. Tak lama kemudian datanglah ibnu Abbas. Ketika melihat Ibnu Abbas masuk, Muawiyah ber­kata kepada Sa’id: “demi Allah, aku akan mengajukan pertanyaan-­pertanyaan kepada Ibnu Abbas yang kira-kira ia tidak akan mam­pu menjawabnya.”

Menanggapi keinginan Muawiyah itu, Sa’id mengingatkan: “Hai Muawiyah, orang seperti Ibnu Abbas tak mungkin tidak mampu menjawab pertanyaan-pertanyaanmu.”

Setelah Ibnu Abbas duduk, Muawiyah bertanya: “Apakah kiranya yang dapat kaukatakan tentang Ali bin Abi Thalib?”

Dengan serta merta Ibnu Abbas menjawab: “Abul Hasan rahimahullah adalah panji hidayat; sumber taqwa; tempat kecer­dasan berfikir; puncak ketinggian akal; cahaya keutamaan manu­siawi di tengah kegelapan; orang yang mengajak manusia ke jalan lurus; mengetahui isi Kitab-kitab suci terdahulu; sanggup menaf­sirkan dan mentakwilkan dengan berpegang teguh pada hida­yat; menjauhkan diri dari perbuatan dzalim yang menyakiti hati orang; menghindari jalan yang sesat; seorang mukmin dan ber­takwa yang terbaik; orang yang paling sempurna menunaikan iba­dah haji dan ibadah-ibadah lainnya; orang yang paling mempunyai tenggang-rasa serta memperlakukan semua orang secara adil dan sama, orang yang paling pandai berkhutbah di dunia ini…” dan seterusnya sampai kepada kata-kata: “…seorang suami dari wa­nita yang paling mulia, dan seorang ayah dari dua cucu Rasul Allah s.a.w.”

Seterusnya Ibnu Abbas mengatakan: “Mataku belum pernah melihat ada orang seperti dia dan tidak akan pernah melihatnya sampai hari kiyamat. Barang siapa mengutuk dia, orang itu akan dikutuk selama-lamanya oleh Allah dan oleh seluruh ummat ma­nusia sampai hari kiyamat.”

Mendengar keterangan itu, tentu saja Muawiyah menjadi beringas, tetapi ia dapat menguasai diri di depan seorang ilmuwan seperti Ibnu Abbas. Harun bin Antarah menceritakan penyaksian ayahnya dengan mengatakan: “Pada suatu hari aku datang ke rumah Imam Ali. Ia sedang duduk di balai-balai berselimut kain kumal. Waktu itu musim dingin. Kukatakan kepadanya: “Ya Amiral Mukminin, Allah telah memberi hak kepada anda dan kepada keluarga anda untuk menerima sebagian dari harta Baitul Mal. Mengapa anda ber­buat seperti itu terhadap diri anda sendiri?”

“Demi Allah,” sahut Imam Ali r.a., “Aku tidak mau mengu­rangi hak kalian walau sedikit. Ini adalah selimut yang kubawa sewaktu keluar meninggalkan Madinah.”

‘Ashim bin Ziyad pernah bertanya kepada Imam Ali r.a.: “Ya Amiral Mukminin, pakaian anda itu terlalu kasar dan makan­an anda pun terlampau buruk! Mengapa anda berbuat seperti itu?”

“Celaka benar engkau itu,” jawab Imam Ali r.a. “Allah s.w.t. mewajibkan para pemimpin supaya menempatkan dirinya masing-masing di bawah ukuran orang lain, agar tidak sampai memperkosa penderitaan si miskin.”

Suwaid bin Ghaflah juga menyaksikan cara hidup Imam Ali r.a. Ia menceritakan penyaksiannya sendiri: “Pada suatu hari aku datang ke rumah Imam Ali. Di dalamnya tidak terdapat perkakas apapun selain selembar tikar yang sudah koyak. Ia sedang duduk di tempat itu. Aku segera bertanya setengah mengingatkan: ‘Ya Amiral Mukminin, mengapa rumah anda seperti ini? Anda adalah seorang penguasa kaum muslimin, yang memerintah mereka dan yang menguasai Baitul Mal. Banyak utusan datang menghadap anda, sedang di rumah anda ini tidak ada perkakas selain tikar’…”

“Ya Suwaid,” jawab Imam Ali r.a., “dalam rumah yang ber­sifat sementara ini tidak perlu ada perkakas, sebab di depan kita ada rumah yang kekal. Semua perkakas sudah kami pindahkan ke sana, dan tak lama lagi kami akan kembali ke sana.”

Harun bin Sa’id juga menceritakan penyaksiannya, bahwa pada suatu hari Abdullah bin Ja’far bin Abi Thalib datang kepada Imam Ali untuk meminta pertolongan. Abdullah berkata: “Ya Amiral Mukminin, suruhlah orang mengambilkan uang dari Baitul Mal bekal belanja untukku. Demi Allah, aku tidak mem­punyai uang sama sekali selain harus menjual ternakku.”

“Tidak,” jawab Imam Ali r.a., “demi Allah, aku tidak dapat memberi apa-apa kepadamu, kecuali jika engkau menyuruh pa­manmu mencuri agar bisa memberi apa yang kau minta.”

Imam Ali r.a. memperlakukan semua sanak keluarganya de­ngan perlakuan sama seperti terhadap orang lain. Ia tidak meng­istimewakan mereka dengan pemberian apa pun juga, dan tidak pula memberikan fasilitas khusus betapa pun kecilnya. Olehnya, semua sanak keluarga dilatih dan dipersiapkan mentalnya supaya membiasakan diri berakhlaq seperti dirinya. Bahkan kadang-ka­dang ia mengambil sikap keras dalam membiasakan mereka hidup menurut cara-cara yang diajarkan.

Muslim bin Shahib Al Hanna meriwayatkan, bahwa seusai perang “Jamal” Imam Ali r.a. pergi ke Kufah. Di sana ia ma­suk ke dalam Baitul Mal sambil berkata: “Hai dunia, rayulah orang selain aku!” Ia lalu membagi-bagikan semua yang ada di dalamnya kepada orang banyak. Waktu itu datang anak perem­puan Al Hasan atau Al Husein r.a. lalu turut mengambil sesuatu dari Baitul Mal. Melihat itu Imam Ali mengikuti cucunya dari belakang, kemudian genggaman anak perempuan itu dibuka dan diambillah barang yang sedang dipegang. Kami katakan kepada­nya: “Ya Amiral Mukminin, biarlah! Dia mempunyai hak atas barang itu!” Ternyata Imam Ali menjawab: “Jika ayahnya sendiri yang mengambil hak itu, barulah ia boleh memberikan kepada anak ini sesuka hatinya!”

Sejak sebelum memangku jabatan Khalifah, Imam Ali pada prinsipnya memang tidak suka melihat banyak kekayaan kaum muslimin tertimbun dalam Baitul Mal. Salah sebuah catatan se­jarah yang ditulis oleh Abu Ja’far At Thabariy mengatakan, bahwa dalam suatu musyawarah Khalifah Umar Ibnul Khattab r.a. me­minta pertimbangan tentang bagaimana sebaiknya yang perlu dilakukan terhadap harta benda yang ada di dalam Baitul Mal. Dalam musyawarah itu Imam Ali r.a. mengemukakan pendapat­nya: “Sebaiknya harta yang sudah terkumpul itu dibagikan saja tiap tahun dan tidak usah disisakan sedikitpun.”

Kejujuran dan keadilan seorang yang hidup zuhud, taqwa dan tekun beribadah seperti Imam Ali r.a. itu memang sukar se­kali dijajagi. Keistimewaan hukum yang berlaku pada masa peme­rintahannya ialah persamaan hak dan kewajiban bagi semua orang. Kebijaksanaannya tidak berat sebelah kepada fihak yang kuat dan tidak merugikan fihak yang lemah.

Tanah-tanah garapan yang pada masa pemerintahan sebelum­nya dibagi-bagikan kepada sanak famili dan orang-orang terke­muka yang dekat dengan para penguasa Bani Umayyah, dicabut dan dikembalikan kepada status semula sebagai milik umum kaum muslimin. Setelah itu barulah dibagi-bagikan lagi kepada orang-­orang yang berhak berdasarkan prinsip persamaan.[2]

Mengenai kekayaan milik umum kaum muslimin, Imam Ali r.a. sendiri dengan tegas menyatakan kebijaksanaannya: “Demi Allah, seandainya ada sebagian dari kekayaan itu yang sudah di­pergunakan orang untuk beaya pernikahan atau untuk membeli hamba sahaya perempuan, pasti aku tuntut pengembaliannya!” Dijelaskan pula olehnya: “Sesungguhnya keadilan itu sudah me­rupakan kesejahteraan. Maka barang siapa masih merasakan ke­sempitan di dalam suasana adil, ia pasti akan merasa lebih sempit lagi dalam suasana dzalim.”

Di antara beberapa pesan yang diamanatkannya kepada para penguasa daerah ialah: “Berlakulah adil terhadap semua orang. Sabarlah dalam menghadapi orang-orang yang hidup kekurangan, sebab mereka itu sesungguhnya adalah juru bicara rakyat. Jangan­lah kalian menahan-nahan kebutuhan seseorang dan jangan pula sampai menunda-nunda permintaannya. Untuk keperluan me­lunasi pajak janganlah sampai ada orang yang terpaksa menjual ternak atau hamba sahaya yang diperlukan sebagai pembantu da­lam pekerjaan. Janganlah sekali-kali kalian mencambuk seseorang hanya karena dirham!”

Salah satu dari pesan-pesan khusus yang ditujukan kepada para petugas pemungut pajak, zakat dan lain-lainnya, ialah : “Da­tangilah mereka dengan tenang dan sopan. Jika engkau sudah ber­hadapan dengan mereka, ucapkanlah salam. Hormatilah mereka itu dan katakanlah: ‘Hai para hamba Allah, penguasa Allah dan Khalifah-Nya mengutus aku datang kepada kalian untuk mengambil hak Allah yang ada pada kekayaan kalian. Apakah ada bagian yang menjadi hak Allah itu dalam harta kekayaan kalian? Jika ada, hen­daknya hak Allah itu kalian tunaikan kepada Khalifah-Nya’…”

“Jika orang yang bersangkutan menjawab ‘tidak’, jangan­lah kalian ulangi lagi. Tetapi jika orang itu menjawab ‘ya’, pergi­lah engkau bersama-sama untuk memungut hak Allah itu. Jangan­lah kalian menakut-nakuti dia, janganlah mengancam-ancam dia, dan jangan pula membentak atau bersikap kasar. Ambillah apa yang diserahkan olehnya kepada kalian, emas atau pun perak. Jika orang yang bersangkutan mempunyai ternak berupa unta atau lainnya, janganlah kalian masuk untuk memeriksa tanpa se­izin dia, walaupun orang itu benar-benar mempunyai banyak ter­nak. Jika orang itu memberi izin kepada kalian untuk memeriksa­nya, janganlah kalian masuk dengan lagak seperti orang yang ber­kuasa. Jangan berlaku kasar, jangan menakut-nakuti dan jangan sekali-kali menghardik binatang-binatang itu. Jangan kalian ber­buat sesuatu yang akan menyusahkan pemiliknya.”

“Kemudian apabila harta kekayaan diperlihatkan kepada kalian, persilakan pemiliknya memilih dan menentukan sendiri mana yang menjadi hak Allah. Jika ia sudah menentukan pilih­annya, janganlah kalian menghalang-halangi dia mengambil bagian yang menjadi haknya. Hendaknya kalian tetap bersikap seperti itu, sampai orang yang bersangkutan menetapkan mana yang menjadi hak Allah yang akan ditunaikan. Tetapi ingat, jika kalian diminta supaya meninggalkan orang itu, tinggalkanlah dia!”

Begitu jelasnya Imam Ali r.a. mengemukakan pesan dan ama­natnya secara terperinci agar jangan sampai terjadi penyalah­gunaan dan perkosaan terhadap kaum muslimin dan rakyatnya.

Sedemikian tingginya rasa keadilan yang menghiasi kehidup­an Imam Ali r.a., sampai pernah terjadi, bahwa pada waktu ia me­nerima setoran pajak dari penduduk Isfahan, ditemukan sepotong roti kering terselip dalam wadah. Roti itu oleh Imam Ali r.a. dipo­tong-potong menjadi tujuh keping, sama seperti uang setoran itu juga yang dibagi menjadi tujuh bagian. Pada tiap bagian dari uang itu ditaruh sekeping roti kering.

[1]Waktu terjadinya peristiwa yang diceritakan itu, Aqil sudah hilang penglihatannya karena usia lanjut.

[2]Kitab Ahlul-Bait hal. 221 – 223.

https://tausyah.wordpress.com

TITI-islamic-scienceKampanye Keji Muawiyah

Menyadari kekuatannya sendiri, Muawiyah tidak gugup menerima surat perintah Amirul Mukminin. Selesai dibaca, de­ngan sengaja surat itu dibiarkan begitu saja. Utusan Imam Ali r.a. dibiarkan menunggu sampai tidak tentu batas waktunya. Tiga bulan kemudian barulah Muawiyah membalas surat Imam Ali r.a.

Seorang dari Bani ‘Absy diperintahkan berangkat membawa surat jawaban untuk Imam Ali r.a. di Madinah. Untuk memperli­hatkan sikapnya yang tidak mengakui Imam Ali r.a. sebagai Kha­lifah dan Amirul Mukminin, pada sampul surat jawaban itu ditu­lis: “Dari Muawiyah bin Abi Sufyan kepada Ali bin Abi Thalib.”

Sebelum utusan itu berangkat ke Madinah, Muawiyah ber­pesan agar setibanya di kota tujuan, sampul surat itu diperlihat­kan dulu kepada orang banyak, sebagai pemberitahuan bahwa ia tidak mengakui Imam Ali r.a. sebagai Amirul Mukminin.

Pesan Muawiyah itu dilaksanakan sebagaimana mestinya oleh orang dari Bani ‘Absy. Secara demonstratif sampul surat Muawiyah diperlihatkan kepada orang banyak. Semua orang ingin tahu apa yang terjadi akibat pembangkangan Muawiyah. Orang beramai-ramai mengikuti perjalanan kurir itu menuju ke tempat kediaman Imam Ali r.a. Mereka juga ingin tahu apa sesung­guhnya isi surat tersebut. Kedatangan kurir Muawiyah disambut dengan tenang oleh Imam Ali r.a. Setelah dibuka, ternyata dalam sampul itu hanya terdapat secarik kertas yang bertuliskan “Bis­millaahhir Rahamanir Rahim”.

“Apa maksud ini?” tanya Amirul Mukminin kepada kurir dengan heran. “Selain ini apakah ada berita lain?”

Setelah didesak beberapa kali, akhirnya kurir mengatakan, bahwa ia ingin memperoleh jaminan atas keamanan dan keselamatannya lebih dulu, sebelum memberikan keterangan. Permintaan itu dikabulkan oleh Amirul Mukminin.

Setelah itu barulah kurir menceritakan apa yang sedang terjadi di Syam. Katanya: “Penduduk Syam telah bersepakat hen­dak menuntut balas atas kematian Utsman bin Affan… Mereka te­lah mengeluarkan jubah Khalifah Utsman yang berlumuran darah dan jari isterinya, Na’ilah, yang terpotong pada saat berusaha me­nahan ayunan pedang. Semuanya itu dipertontonkan kepada penduduk Syam. Melihat kenyataan ini penduduk di sana menangisi kematian Khalifah Utsman sambil mengelilingi jubahnya.”

Dari keterangan kurir itu dapatlah ditarik kesimpulan, bahwa atas usaha Muawiyah, penduduk Syam sekarang telah menuduh Imam Ali r.a. sebagai pelaku makar terhadap Khalifah Utsman r.a. dan mereka tidak akan membiarkan peristiwa ter­bunuhnya Khalifah Utsman r.a.

Apa yang dikatakan kurir Muawiyah benar-benar membang­kitkan kemarahan semua orang yang hadir. Hanya karena ke­bijaksanaan Imam Ali r.a. saja kurir itu terjamin keselamatan­nya. Orang-orang Madinah sangat gusar mendengar fitnah yang dilancarkan Muawiyah terhadap Amirul Mukminin. Lebih-lebih mereka yang dulu memberontak terhadap Khalifah Utsman r.a.

Semua yang dilakukan Muawiyah di Damsyik merupakan muslihat politik yang dirajut bersama seorang penasehatnya yang terkenal kaya dengan tipu-daya: Amr bin Al-Ash. Sejak Imam Ali r.a. terbai’at sebagai Khalifah, dua sejoli itu telah bertekad hendak menempuh segala cara guna menggagalkan usaha Imam Ali r.a. memantapkan kedudukannya sebagai Amirul Mukminin. Sebab Muawiyah yakin benar, bahwa Imam Ali r.a. tidak akan memberi kesempatan sedikit pun kepadanya untuk terus berkuasa di daerah. Untuk mencapai tujuan itu diperlukan satu dalih yang dapat menjatuhkan martabat Imam Ali r.a.

Guna keperluan itu Muawiyah dengan sengaja menda­tangkan jubah Khalifah Utsman r.a. dan kepingan-kepingan jari Na’ilah dari Madinah ke Damsyik. Hanya sekedar untuk diperton­tonkan kepada khalayak ramai. Jubah Khalifah yang berlumuran darah itu digantungkan dalam masjid Damsyik, sebagai bukti kematian Khalifah yang sangat mengerikan. Sedangkan kepingan-ke­pingan jari Na’ilah, isteri Khalifah Utsman r.a., diletakkan de­kat jubah sebagai saksi bisu.

Bersamaan dengan itu dikampanyekan secara besar-besaran kepada penduduk, bahwa orang yang membunuh Khalifah Utsman r.a. bukan lain hanyalah Imam Ali r.a. sendiri! Muslihat politik yang dijalankan oleh Muawiyah dan Amr bin Al-Ash itu ternyata berhasil mengelabui fikiran penduduk yang tidak memahami seluk ­beluk politik. Dengan cepat Syam dilanda suasana anti Imam Ali r.a. Ini merupakan awal persiapan pemberontakan bersenjata yang tak lama lagi akan dicetuskan Muawiyah.

Untuk menanggulangi fitnah sekeji itu, Imam Ali r.a. segera mengambil langkah-langkah seperlunya. Ia segera mengumpulkan kaum Muhajirin dan Anshar. Diantara mereka itu hadir dua orang tokoh terkemuka yang sedang beroposisi, yaitu Thalhah bin Ubai­dillah dan Zubair bin Al-‘Awwam. Setelah menjelaskan kegiatan fitnah yang dilakukan Muawiyah di Syam, Imam Ali r.a. menge­mukakan gagasan untuk mencegah meluasnya fitnah yang berba­haya itu.

Gagasan yang dikemukakan Imam Ali r.a. ternyata mendapat sambutan dingin. Bahkan Thalhah dan Zubair, yang merupakan tokoh-tokoh terdini membai’at Imam Ali r.a., dengan alasan hendak berangkat umrah ke Makkah, menyatakan tak dapat memenuhi ajakan Imam Ali r.a.

Persiapan Thalhah & Zubair

Penolakan terselubung yang dikemukakan Thalhah dan Zu­bair ternyata mempunyai ekor yang panjang dan tambah merawan­kan kedudukan Imam Ali r.a. sebagai Amirul Mukminin.

Sejak terbai’atnya Imam Ali r.a. kini kota Makkah menjadi tempat berkumpulnya tokoh-tokoh yang terkena tindakan pe­nertiban Amirul Mukminin, terutama mereka yang berasal dari kalangan Bani Umayyah. Di antara mereka termasuk Marwan bin Al-Hakam yang cepat-cepat meninggalkan Madinah. Kini Thalhah dan Zubair berangkat pula ke Makkah.

Ketika itu, Sitti Aisyah r.a. juga berada di Makkah setelah menunaikan ibadah haji. Beberapa waktu sesudah terbunuhnya Khalifah Utsman ia mendengar desas-desus, bahwa Thalhah bin Ubaidillah terbai’at sebagai Khalifah pengganti Utsman r.a. Mendengar selentingan itu ia segera mengambil putusan untuk ce­pat-cepat kembali ke Madinah.Tetapi di tengah perjalanan, ia me­nerima kabar pasti, bahwa yang terbai’at sebagai Khalifah bukan­nya Thalhah, melainkan Ali bin Abi Thalib r.a. Begitu mendengar kepastian demikian; ia membatalkan rencana pulang ke Madinah. Ia kembali ke Makkah. Hatinya sangat masgul mendengar berita itu.

Sudah menjadi rahasia umum, bahwa sejak terjadinya peris­tiwa yang dalam sejarah dikenal dengan nama Haditsul ifk,[1] Sitti Aisyah sukar berbaik-baik kembali dengan Imam Ali r.a. Pe­ristiwa itu terjadi ketika Rasul Allah s.a.w. melancarkan ekspedisi terhadap kaum kafir dari Banu Musthaliq. Dalam ekspedisi itu beliau mengajak isterinya, Sitti Aisyah. Dalam perjalanan pulang ke Madinah, Sitti Aisyah ketinggalan dari rombongan, gara-gara mencari barang perhiasannya yang hilang di perjalanan.

Untunglah ketika itu ia dijumpai oleh Shafwan bin Mu’at­thal, yang berangkat pulang lebih belakangan. Bukan main terke­jutnya Shafwan melihat Ummul Mukminin seorang diri di tengah-tengah padang pasir. Isteri Rasul Allah s.a.w. itu dipersilakan naik ke atas unta, sedangkan Shafwan sendiri berjalan kaki sambil menuntun. Siang hari mereka berdua baru memasuki kota Madi­nah dengan disaksikan oleh orang banyak. Semuanya heran menga­pa Ummul Mukminin mengendarai unta seorang pemuda yang tampan itu.

Mengenai kejadian itu Rasul Allah s.a.w. pada mulanya tidak pernah berfikir lebih jauh. Akan tetapi secara diam-diam peristi­wa itu menjadi pembicaraan orang ramai dan menjadi buah bibir yang dibisik-bisikkan orang dalam tiap kesempatan. Sumber utama yang menyiarkan desas-desus tuduhan Sitti Aisyah berbuat serong ialah seorang munafik bernama Abdullah bin Ubaiy. Desas-desus itu akhirnya sampai ke telinga Rasul Allah s.a.w. Berita santer ten­tang hal itu sangat menggelisahkan hati beliau. Kemudian beliau minta pendapat para sahabat mengenai hal itu.

Konon Usamah bin Zaid sama sekali tidak dapat memperca­yai benarnya desas-desus itu. Sedang Imam Ali r.a. waktu itu me­ngatakan: Ya Rasul Allah, masih banyak wanita lain! Imam Ali r.a. mengucapkan kata-kata itu hanya sekedar untuk berusaha menenangkan perasaan Rasul Allah s.a.w. yang tampak gelisah.

Ucapan itulah yang kemudian menjadi sebab retaknya hu­bungan baik antara Sitti Aisyah dengan Imam Ali r.a. Ucapan tersebut oleh Sitti Aisyah r.a. dirasakan sangat menusuk hati, sedang Imam Ali r.a. sendiri selama itu tidak pernah berubah sikap terhadap Sitti Aisyah r.a. Ia senantiasa hormat kepada Ummul Mukminin. Lebih-lebih setelah peristiwa Ifk itu terselesaikan dengan tuntas berdasarkan turunnya firman Allah s.w.t. yang me­negaskan, bahwa Sitti Aisyah bersih dari perbuatan nista seperti yang dituduhkan orang.[2]

Gara-gara Haditsul Ifk itulah, Sitti Aisyah r.a. sangat kecewa mendengar Ali bin Abi Thalib r.a. dibai’at sebagai Khali­fah oleh penduduk Madinah. Setibanya di Makkah ia berniat hen­dak menentang pembai’atan Ali bin Abi Thalib r.a. Ia berkata: “Utsman mati terbunuh secara madzlum. Oleh karena itu adalah kewajiban kaum muslimin untuk menuntut balas atas kematian­nya.”

Menurut Ummul Mukminin itu, Khalifah pengganti Utsman r.a. harus dilakukan pembai’atannya dalam suasana tertib dan damai. Ini sama artinya dengan mengatakan, bahwa Imam Ali r.a. dipilih hanya oleh kaum pemberontak yang telah membunuh Khalifah.

Pendirian Sitti Aisyah ini lebih diperkuat lagi oleh keda­tangan Thalhah dan Zubair. Dua orang itu di Makkah mengadakan kampanye menentang pembai’atan Imam Ali r.a. Pada mulanya banyak orang bertanya-tanya tentang pendirian aneh kedua orang itu. Bukankah mereka telah menyatakan bai’atnya kepada Imam Ali r.a.? Tanda-tanya di hati orang-orang itu mereka jawab dengan mengatakan, bahwa bai’atnya dilakukan karena terpaksa. Dipaksa oleh kekuatan bersenjata kaum pemberontak.

Bagaimana pun juga kini di Makkah telah tersusun kekuatan penentang Imam Ali r.a. Kekuatan ini makin hari makin bertam­bah. Mereka bertekad hendak memaksa Imam Ali r.a. melepas­kan kekhalifahannya. Dengan bantuan bekas-bekas pejabat yang terkena penggeseran dan penertiban; dengan dukungan orang-­orang Qureiys yang masih menyimpan rasa sakit hati; di perkuat la­gi oleh kehadiran Ummul Mukminin, sekarang Thalhah dan Zubair berhasil mengorganisasi pasukan bersenjata kurang lebih berke­kuatan 3.000 orang.

Kekuatan anti Imam Ali r.a. ini mempunyai tujuan ganda: menuntut balas atas kematian Khalifah Utsman r.a. dan menggu­lingkan Imam Ali r.a. dari kedudukannya sebagai Amirul Muk­minin. Mereka berpendirian, setelah dua tujuan itu tercapai baru­lah diadakan pemilihan Khalifah baru dalam suasana bebas dari tekanan dan paksaan.

Dua tantangan besar yang sedang dihadapi Imam Ali r.a. mewarnai kehidupan kaum muslimin pada tahun empat-puluhan Hijriyah. Damsyik dan Makkah menuduh Imam Ali r.a. sebagai orang yang setidak-tidaknya ikut bertanggungjawab atas terbu­nuhnya Khalifah Utsman r.a. Dalam periode itu praktis ummat Islam terpecah dalam tiga kelompok besar:

1. Kelompok Madinah di bawah pimpinan Imam Ali r.a.

2. Kelompok Damsyik di bawah pimpinan Muawiyah bin Abi Sufyan.

3. Kelompok Makkah di bawah pimpinan trio Thalhah, Zubair dan Sitti Aisyah r.a.

Masing-masing kelompok ditunjang oleh kekuatan bersen­jata yang cukup tangguh dan berpengalaman.

Untuk pertama kalinya dalam sejarah Islam, terjadi satu krisis politik sangat gawat yang mengarah kepada peperangan besar antara sesama kaum muslimin. Inilah gejala nyata dari apa yang pernah dikemukakan Rasul Allah s.a.w. semasa hidupnya, bahwa pada satu ketika akan terjadi fitnah besar di kalangan um­matnya, laksana datangnya malam gelap-gulita yang berlangsung dari awal sampai akhir.

Dalam menghadapi kelompok Madinah, tampaknya seakan-­akan kelompok Damsyik berdiri di belakang kelompok Makkah. Mengenai hal ini kitab Ali wa’Ashruhu, halaman 970-971, mengemukakan sebuah fakta sejarah. Fakta itu berupa sepucuk surat Muawiyah yang dikirimkan kepada Zubair melalui seorang dari Bani ‘Amir. Dalam surat itu Muawiyah antara lain menulis:

“Bismillaahir Rahmanir Rahim. Kepada hamba Allah Zubair Amirul Mukminin, dari Muawiyah bin Abi Sufyan. Salamun’ alaika, ammaa ba’ du: penduduk Syam telah kuajak bersama-sama membait’at anda. Mereka menyambut baik dan semuanya taat. Begitu taatnya seperti ternak. Sekarang hanya tinggal Kufah dan Bashrah saja yang belum anda dapatkan. Hendaknya anda jangan sampai kedahuluan Ali bin Abi Thalib. Sesudah kedua kota itu berada di tangan anda, Ali tidak akan mempunyai apa-apa lagi. Aku juga sudah membai’at Thalhah bin Ubaidillah sebagai peng­ganti anda di kemudian hari. Oleh karena itu hendaknya kalian supaya terang-terangan menuntut balas atas kematian Khalifah Utsman, dan kerahkanlah semua orang ke arah itu. Kalian supaya sungguh-sungguh giat dan cepat bergerak. Allah akan memenang­kan kalian dan tidak akan membantu musuh-musuh kalian.”

Surat tersebut oleh Zubair diperlihatkan kepada Thalhah, bahkan dengan dibacakan sekaligus. Tanpa disadari dua orang itu sudah masuk perangkap Muawiyah. Dengan siasat itu Muawiyah hendak melemahkan posisi Imam Ali r.a. dan menghabiskan ke­kuatan orang-orang lain yang mengincar kursi kekhalifahan.

bersambung..

Disadur dari buku :

Sejarah Hidup Imam Ali bin Abi Thalib r.a.
Oleh H.M.H. Al Hamid Al Husaini
Penerbit: Lembaga Penyelidikan Islam

https://tausyah.wordpress.com

Sambungan dari kisah sebelumnya..

Abu Bakar r.a. di Bai’at

Ibnu Abil Hadid dalam bukunya mengemukakan lebih lanjut tentang peristiwa debat di Saqifah Bani Sa’idah itu sebagai berikut:

“Pada waktu Basyir bin Sa’ad Al-Khazrajiy melihat orang An­shar hendak bersepakat mengangkat Sa’ad bin ‘Ubadah sebagai Amirul Mukminin, ia segera berdiri. Basyir sendiri adalah orang da­ri qabilah Khazraj. Ia merasa tidak setuju jika Sa’ad bin Ubadah terpilih sebagai Khalifah. Berkatalah Basyir: “Hai orang-orang Anshar! Walaupun kita ini termasuk orang-orang yang dini me­meluk agama Islam, tetapi perjuangan menegakkan agama tidak bertujuan selain untuk memperoleh keridhoan Allah dan Ra­sul-Nya. Kita tidak boleh membuat orang banyak bertele-te­le, dan kita tidak ingin keridhoan Allah dan Rasul-Nya diganti dengan urusan duniawi. Muhammad Rasul Allah s.a.w. adalah orang dari Qureiys dan kaumnya tentu lebih berhak mewarisi ke­pemimpinannya. Demi Allah, Allah s.w.t. tidak memperlihatkan alasan kepadaku untuk menentang mereka memegang kepemim­pinan ummat. Bertaqwalah kalian kepada Allah. Janganlah ka­lian menentang atau membelakangkan mereka!”

Mendengar suara orang Anshar memberi dukungan kepada kaum Muhajirin, Abu Bakar r.a. berkata lagi: “Inilah Umar dan Abu Ubaidah! Bai’atlah salah seorang, mana yang kalian sukai!”

Tetapi dua orang yang ditunjuk oleh Abu Bakar r.a. menya­hut dengan tegas: “Demi Allah, kami berdua tidak bersedia me­megang kepemimpinan mendahuluimu. Engkaulah orang yang pa­ling afdhal di kalangan kaum Muhajirin. Engkaulah yang mendam­pingi Rasul Allah di dalam gua, dan engkau jugalah yang mewa­kili beliau mengimami shalat-shalat jama’ah selama beliau sakit. Shalat adalah sendi agama yang paling utama. Ulurkanlah ta­nganmu, engkau kubai’at.”

Tanpa berbicara lagi, Abu Bakar r.a. segera mengulurkan ta­ngan dan kedua orang itu — yakni Umar r.a. dan Abu Ubaidah— ­segera menyambut tangan Abu Bakar r.a. sebagai tanda membai’at. Kemudian menyusul Basyir bin Sa’ad mengikuti jejak Umar r.a. dan Aba Ubaidah.

Pada saat itu Hubab bin Al-Mundzir berkata kepada Basyir: “Hai Basyir, engkau memecah belah! Engkau berbuat seperti itu hanya didorong oleh rasa iri hati terhadap anak pamanmu,” yakni Sa’ad bin ‘Ubadah.

Begitu melihat ada seorang pemimpin qabilah Khazraj mem­bai’at Abu Bakar r.a., seorang terkemuka dari qabilah Aus, berna­ma Usaid bin Udhair, segera pula berdiri dan turut menyatakan bai’atnya kepada Abu Bakar r.a. Dengan langkah Usaid ini, maka semua orang dari qabilah Aus akhirnya menyatakan bai’atnya ma­sing-masing kepada Abu Bakar r.a. dan Sa’ad bin Ubadah ter­baring tak mereka hiraukan.

Sampai hari-hari selanjutnya, Sa’ad bin ‘Ubadah tetap ti­dak mau menyatakan bai’at kepada Abu Bakar r.a. Hal itu sangat menimbulkan kemarahan Umar Ibnul Khattab r.a. Umar r.a. ber­usaha hendak menekan Sa’ad, tetapi banyak orang mencegahnya. Mereka memperingatkan Umar r.a. bahwa usahanya akan sia-sia belaka. Bagaimana pun juga Sa’ad tidak akan mau menyatakan bai’atnya. Walau sampai mati dibunuh sekalipun. Ia seorang yang mempunyai pendirian keras dan bersikap teguh. Kata mereka kepada Umar r.a.: “Kalau sampai Sa’ad mati terbunuh, anggota-­anggota keluarganya tidak akan tinggal diam sebelum semuanya mati terbunuh atau gugur. Dan kalau sampai mereka mati terbu­nuh, maka semua orang Khazraj tidak akan berpangku tangan se­belum mereka semua mati terbunuh. Dan kalau sampai orang Khazraj diperangi, maka semua orang Aus akan bangkit ikut ber­perang bersama-sama orang Khazraj.”

Pendapat Imam Ali r.a.

Ketika berlangsung proses pembai’atan Abu Bakar Ash Shid­diq r.a. sebagai Khalifah untuk meneruskan kepemimpinan Rasul Allah s.a.w. atas ummat Islam, Imam Ali r.a. tidak ikut terlibat di dalamnya. Ia masih sibuk mempersiapkan pemakaman jenazah Rasul Allah s.a.w.

Hampir tidak ada ungkapan sejarah yang mengemukakan ba­gaimana sikap Imam Ali r.a. pada waktu mendengar berita tentang terbai’atnya Abu Bakar r.a. secara mendadak sebagai Khalifah. Tetapi isteri Imam Ali r.a., puteri Rasul Allah s.a.w. yang selalu bersikap terus terang, sukar menerima kenyataan terbai’atnya Abu Bakar r.a. sebagai Khalifah. Sitti Fatimah Azzahra r.a. ber­pendirian, bahwa yang patut memikul tugas sebagai Khalifah dan penerus kepemimpinan Rasul Allah s.a.w. hanyalah suaminya.

Pendirian Sitti Fatimah r.a. didasarkan pada kenyataan bah­wa Imam Ali r.a. adalah satu-satunya kerabat terdekat beliau. Bahwa seorang anggota ahlul-bait Rasul Allah s.a.w. lebih ber­hak ketimbang orang lain untuk menduduki jabatan Khalifah. Se­lain itu Imam Ali r.a. juga sangat dekat hubungannya dengan Rasul Allah s.a.w., baik dilihat dari sudut hubungan kekeluar­gaan maupun dari sudut prestasi besar yang telah diperbuat dalam perjuangan menegakkan agama Allah. Demikian pula ilmu pengetahuannya yang sangat kaya berkat ajaran dan pendidikan yang diberikan langsung oleh Rasul Allah s.a.w. kepadanya. Itu merupakan syarat-syarat terpenting bagi seseorang untuk dapat di bai’at sebagai penerus kepemimpinan Rasul Allah s.a.w. atas um­matnya.

Dengan gigih Sitti Fatimah r.a. memperjuangkan keyakinan dan pendiriannya itu. Pada suatu malam dengan menunggang unta ia mendatangi sejumlah kaum Anshar yang telah membai’at Abu Bakar r.a. guna menuntut hak suaminya. Kaum Anshar yang didatanginya itu menanggapi tuntutan Sitti Fatimah r.a. de­ngan mengatakan: “Wahai puteri Rasul Allah s.a.w., pembai’atan Abu Bakar sudah terjadi. Kami telah memberikan suara kepada­nya. Kalau saja ia (Imam Ali r.a.) datang kepada kami sebelum terjadi pembai’atan itu, pasti kami tidak akan memilih orang lain.”

Imam Ali r.a: sendiri dalam menanggapi pembai’atan Abu Bakar r.a. hanya mengatakan: “Patutkah aku meninggalkan Rasul Allah s.a.w. sebelum jenazah beliau selesai dimakamkan…, hanya untuk mendapat kekuasaan?”

Pembicaraan dan perdebatan mengenai masalah kekhilafan banyak dilakukan orang, termasuk antara Imam Ali r.a. dan orang-orang Bani Hasyim di satu fihak, dengan Abu Bakar r.a. dan Umar r.a. di lain fihak. Semuanya itu tidak mengubah keadaan yang sudah terjadi. Sebagai akibatnya hubungan antara Sitti Fatimah r.a. dan Abu Bakar r.a. tidak lagi pernah berlangsung secara baik.

Sebagai orang yang merasa dirinya mustahak memangku jaba­tan khalifah, Imam Ali r.a. tidak meyakini tepatnya pembai’atan yang diberikan oleh kaum Muhajirin dan Anshar kepada Abu Ba­kar r.a. Selama 6 bulan ia mengasingkan diri dan menekuni ilmu­-ilmu agama yang diterimanya dari Rasul Allah s.a.w.

Dalam masa 6 bulan ini muncullah berbagai macam peristiwa berbahaya yang mengancam kelestarian dan kesentosaan ummat.

Demi untuk memelihara kesentosaan Islam dan menjaga keutuhan ummat dari bahaya perpecahan, akhirnya Imam Ali r.a. secara ikhlas menyatakan kesediaan mengadakan kerja-sama de­ngan khalifah Abu Bakar r.a. Terutama mengenai hal-hal yang olehnya dipandang menjadi kepentingan Islam dan kaum mus­limin. Sikap Imam Ali r.a. yang seperti itu tercermin dengan jelas sekali dalam sepucuk suratnya yang antara lain:

“Aku tetap berpangku-tangan sampai saat aku melihat banyak orang-orang yang meninggalkan Islam dan kembali kepada agama mereka semula. Mereka berseru untuk menghapuskan agama Mu­hammad s.a.w. Aku khawatir, jika tidak membela Islam dan pe­meluknya, akan kusaksikan terjadinya perpecahan dan kehancu­ran. Bagiku hal itu merupakan bencana yang lebih besar dibanding dengan hilangnya kekuasaan. Kekuasaan yang ada di tangan kalian, tidak lain hanyalah suatu kenikmatan sementara dan hanya selama beberapa waktu saja. Apa yang sudah ada pada kalian akan lenyap seperti lenyapnya bayangan fatamorgana atau seperti lenyapnya awan. Oleh karena itu, aku bangkit menghadagi kejadian itu, sampai semua kebatilan tersingkir musnah, dan sampai agama berada dalam suasana tenteram…”

Sejak saat itu suara Imam Ali r.a. berkumandang kembali di tengah-tengah kaum muslimin, terutama pada saat-saat ia di­mintai pendapat-pendapat oleh Khalifah Abu Bakar r.a. Kesem­patan-kesempatan semacam itu dimanfaatkan sebaik-baiknya un­tuk memberi pengarahan kepada kehidupan Islam dan kaum mus­limin, agar jangan sampai menyimpang dari ketentuan-ketentuan Allah dan Rasul-Nya, baik di bidang legislatif (tasyri’iyyah), ekse­kutif (tanfidziyyah), maupun judikatif (qadha’iyyah).

Dialog Abu Bakar r.a. dengan Abbas r.a.

Dalam buku Syarh Nahjil Balaghah, jilid I, halaman 97-­100. Ibnu Abil Hadid mengetengahkan suatu keterangan tentang situasi pada saat terbai’atnya Abu Bakar r.a. sebagai Khalifah. Keterangan itu dikutipnya dari penuturan Al-Barra’ bin Azib, se­orang yang sangat besar simpatinya kepada Bani Hasyim.

“Aku adalah orang yang tetap mencintai Bani Hasyim,” kata Al-Barra’ bin Azib. “Pada waktu Rasul Allah s.a.w. mangkat, aku sangat khawatir kalau-kalau orang Qureiys sudah punya rencana hendak menjauhkan orang-orang Bani Hasyim dari masalah itu, yakni masalah kekhalifahan. Aku bingung sekali, seperti bingungnya se­orang ibu yang kehilangan anak kecil. Padahal waktu itu aku ma­sih sedih disebabkan oleh wafatnya Rasul Allah s.a.w. Aku ragu-­ragu menemui orang-orang Bani Hasyim, yang ketika itu sedang berkumpul di kamar Rasul Allah s.a.w. Wajah mereka kuamat-­amati dengan penuh perhatian. Demikian juga air muka orang-­orang Qureiys.”

“Demikian itulah keadaanku ketika aku melihat Abu Bakar dan Umar tidak berada di tempat itu. Sementara itu ada orang mengatakan bahwa sejumlah orang sedang berkumpul di Saqifah Bani Sa’idah. Orang lain lagi mengatakan bahwa Abu Bakar telah dibai’at sebagai Khalifah.”

“Tak lama kemudian kulihat Abu Bakar bersama-sama Umar Ibnul Khattab, Abu Ubaidah bin Al-Jarrah dan sejumlah orang lain­nya. Mereka itu tampaknya habis menghadiri pertemuan yang baru saja diadakan di Saqifah Bani Sa’idah. Kulihat juga hampir semua orang yang berpapasan dengan mereka ditarik; dihadapkan dan dipegangkan tangannya kepada tangan Abu Bakar sebagai tan­da pernyataan bai’at. Saat itu hatiku benar-benar terasa berat.

“Kemudian malam harinya kulihat Al-Miqdad, Salman, Abu Dzar, Ubadah bin Shamit, Abul Haitsam bin At Taihan, Hudzaifah dan ‘Ammar bin Yasir. Mereka ini ingin supaya diada­kan musyawarah kembali di kalangan kaum Muhajirin. Berita ten­tang hal ini kemudian didengar oleh Abu Bakar dan Umar.”

“Berangkatlah Abu Bakar, Umar, Abu Ubaidah dan Al-Mughi­rah untuk menjumpai Abbas bin Abdul Mutthalib di rumahnya, Setelah mengucapkan puji dan syukur kehadirat Allah s.w.t., Abu Bakar berkata kepada Abbas:“Allah telah berkenan meng­utus Muhammad s.a.w. sebagai Nabi kepada kalian. Allah pun te­lah mengaruniakan rahmat-Nya kepada ummat dengan adanya Rasul Allah di tengah-tengah mereka, sampai Dia menetapkan sendiri apa yang menjadi kehendak-Nya.”

“Rasul Allah s.a.w. meninggalkan ummatnya supaya me­reka menyelesaikan sendiri siapa yang akan diangkat sebagai waliy (pemimpin) mereka. Kemudian kaum muslimin memilih diriku untuk melaksanakan tugas memelihara dan menjaga ke­pentingan-kepentingan mereka. Pilihan mereka itu kuterima dan aku akan bertindak sebagai waliy mereka. Dengan pertolongan Allah dan bimbingan-Nya, aku tidak akan merasa khawatir, lemah, bingung ataupun takut. Bagiku tak ada taufiq dan pertolongan se­lain dari Allah. Hanya kepada Allah sajalah aku bertawakkal, kepada-Nya jualah aku akan kembali.”

“Tetapi, belum lama berselang aku mendengar ada orang yang menentang dan mengucapkan kata-kata yang berlainan dari yang telah dinyatakan oleh kaum muslimin pada umum­nya. Orang itu hendak menjadikan kalian sebagai tempat berlindung dan benteng. Sekarang terserahlah kepada kalian, apakah kalian hendak mengambil sikap seperti yang telah diambil oleh orang banyak, ataukah hendak mengubah sikap mereka dari apa yang sudah menjadi kehendak mereka.”

“Kami datang kepada anda, karena kami ingin agar kalian ambil bagian dalam masalah itu. Kami tahu bahwa anda adalah paman Rasul Allah s.a.w. Demikian juga semua kaum muslimin mengetahui kedudukan anda dan keluarga anda di sisi Rasul Allah s.a.w. Oleh karena itu mereka pasti bersedia meluruskan per­soalan bersama-sama anda. Terserahlah kalian, orang-orang Bani Hasyim, sebab Rasul Allah dari kami dan dari kalian juga.”

Menurut Al-Barra’, sampai di situ Umar Ibnul Khattab me­nukas perkataan Abu Bakar r.a. dengan cara-caranya sendiri yang keras. Kemudian Umar r.a berkata kepada Abbas: “Kami datang bukan kerena butuh kepada kalian, tetapi kami tidak suka ada orang-orang muslimin dari kalian yang turut menentang. Sebab dengan cara demikian kalian akan lebih banyak menumpuk kayu bakar di atas pundak kaum muslimin. Lihatlah nanti apa yang akan kalian saksikan bersama-sama kaum muslimin.”

Menanggapi ucapan Abu Bakar r.a. serta Umar r.a. tadi, menurut catatan Al-Barra’, waktu itu Abbas menjawab:

“…Sebagaimana anda katakan tadi, benarlah bahwa Allah telah mengutus Muhammad s.a.w. sebagai Nabi dan sebagai pemimpin kaum msulimin. Dengan itu Allah telah melimpahkan karunia kepada ummat Muhammad sampai Allah menetapkan sendiri apa yang menjadi kehendak-Nya. Rasul Allah s.a.w. telah meninggal­kan ummatnya supaya mereka menyelesaikan sendiri urusan mereka dan memilih sendiri siapa yang akan diangkat menjadi pe­mimpin mereka.Mereka tetap berada di dalam kebenaran dan telah menjauhkan diri dari bujukan hawa nafsu.

“Jika atas nama Rasul Allah s.a.w. anda minta kepadaku su­paya aku turut ambil bagian, sebenarnya hak kami sudah anda ambil lebih dulu. Tetapi jika anda mengatas-namakan kaum mus­limin, kami ini pun sebenarnya adalah bagian dari mereka.”

“Dalam persoalan kalian itu, kami tidak mengemukakan hal yang berlebih-lebihan. Kami tidak mencari pemecahan melalui jalan tengah dan tidak pula hendak menambah ruwetnya per­soalan. Jika sekiranya persoalan itu sudah menjadi kewajiban anda terhadap kaum muslimin, kewajiban itu tidak ada artinya jika kami tidak menyukainya.”

“Alangkah jauhnya apa yang telah anda katakan tadi, bahwa di antara kaum muslimin ada yang menentang, di samping ada lain-lainnya lagi yang condong kepada anda. Apa yang anda kata­kan kepada kami, kalau hal itu memang benar sudah menjadi hak anda kemudian hak itu hendak anda berikan kepada kami, sebaiknya hal itu janganlah anda lakukan. Tetapi jika memang menjadi hak kaum muslimin, anda tidak mempunyai wewenang untuk menetapkan sendiri. Namun jika hal itu menjadi hak kami,kami tidak rela menyerahkan sebagian pun kepada anda. Apa yang kami katakan itu sama sekali bukan berarti bahwa kami ingin menyingkirkan anda dari urusan kekhalifahan yang sudah anda terima. Kami katakan hal itu semata-mata karena tiap hujjah me­merlukan penjelasan.”

“Adapun ucapan anda yang mengatakan ‘Rasul Allah dari kami dan dari kalian juga’, maka beliau sesungguhnya berasal dari sebuah pohon dan kami adalah cabang-cabangnya, sedangkan kalian adalah tetangga-tetangganya.”

“Mengenai yang anda katakan, hai Umar, tampaknya anda khawatir terhadap apa yang akan diperbuat oleh orang banyak terhadap kami. Sebenarnya itulah yang sejak semula hendak ka­lian katakan kepada kami. Tetapi hanya kepada Allah sajalah kami mohon pertolongan.”

Kekhalifahan Abu Bakar r.a.

Masa kekhalifahan Abu Bakar Ash Shiddiq r.a. kurang lebih hanya dua tahun. Dalam waktu yang singkat itu terjadi bebe­rapa kali krisis yang mengancam kehidupan Islam dan perkem­bangannya. Perpecahan dari dalam, maupun rongrongan dari luar cukup gawat. Di utara, pasukan Byzantium (Romawi Timur) yang menguasai wilayah Syam melancarkan berbagai macam provokasi yang serius, guna menghancurkan kaum muslimin Arab, yang baru saja kehilangan pemimpin agungnya.

Dekat menjelang wafatnya, Rasul Allah s.a.w. merencana­kan sebuah pasukan ekspedisi untuk melawan bahaya dari utara itu, dengan mengangkat Usamah bin Zaid sebagai panglima. Tetapi belum sempat pasukan itu berangkat ke medan juang, Rasul Allah wafat.

Setelah Abu Bakar r.a. menjadi Khalifah dan pemimpin ummat, amanat Rasul Allah dilanjutkan. Pada mulanya banyak orang yang meributkan dan meragukan kemampuan Usamah, dan pengangkatannya sebagai Panglima pasukan dipandang kurang tepat. Usamah dianggap masih ingusan. Lebih-lebih karena pasu­kan Byzantium jauh lebih besar, lebih kuat persenjataannya dan lebih banyak pengalaman. Apa lagi pasukan Romawi itu baru saja mengalahkan pasukan Persia dan berhasil menduduki Yerusalem. Di kota suci ini, pasukan Romawi berhasil pula merebut kembali “salib agung” kebanggaan kaum Nasrani, yang semulanya sudah jatuh ke tangan orang-orang Persia.

Dengan dukungan sahabat-sahabat utamanya, Khalifah Abu Bakar r.a. berpegang teguh pada amanat Rasul Allah s.a.w. Dalam usaha meyakinkan orang-orang tentang benar dan tepatnya kebijaksanaan Rasul Allah s.a.w., Imam Ali r.a. memainkan peranan yang tidak kecil. Akhirnya Usamah bin Zaid tetap di­serahi pucuk pimpinan atas sebuah pasukan yang bertugas ke utara. Pengangkatan Usamah sebagai Panglima ternyata tepat. Usamah berhasil dalam ekspedisinya dan kembali ke Madinah membawa kemenangan gemilang.

Bahaya desintegrasi atau perpecahan dalam tubuh kaum muslimin mengancam pula keselamatan ummat. Muncul oknum­-oknum yang mengaku dirinya sebagai “nabi-nabi“. Muncul pula kaum munafik menelanjangi diri masing-masing. Beberapa Qabilah membelot secara terang-terangan menolak wajib zakat. Selain itu ada qabilah-qabilah yang dengan serta merta berbalik haluan me­ninggalkan Islam dan kembali ke agama jahiliyah. Pada waktu Rasul Allah masih segar bubar, mereka itu ikut menjadi “muslimin”. Setelah beliau wafat, mereka memperlihatkan belang­nya masing-masing. Seolah-olah kepergian beliau untuk selama-­lamanya itu dianggap sebagai pertanda berakhirnya Islam.

Demikian pula kaum Yahudi. Mereka mencoba hendak menggunakan situasi krisis sebagai peluang untuk membangun ke­kuatan perlawanan balas dendam terhadap kaum muslimin.

Tidak kalah berbahayanya ialah gerak-gerik bekas tokoh-tokoh Qureiys, yang kehilangan kedudukan setelah jatuhnya Makkah ke tangan kaum muslimin. Mereka itu giat berusaha merebut kembali kedudukan sosial dan ekonomi yang telah le­pas dari tangan. Tentang mereka ini Khalifah Abu Bakar r.a. sendiri pernah berkata kepada para sahabat: “Hati-hatilah ka­lian terhadap sekelompok orang dari kalangan ‘sahabat’ yang perutnya sudah mengembang, matanya mengincar-incar dan sudah tidak bisa menyukai siapa pun juga selain diri mereka sendiri. Awaslah kalian jika ada salah seorang dari mereka itu yang tergelincir. Janganlah kalian sampai seperti dia. Ketahuilah, bahwa mereka akan tetap takut kepada kalian, selama kalian tetap takut kepada Allah…”

Berkat kepemimpinan Abu Bakar r.a., serta berkat bantuan para sahabat Rasul Allah s.a.w., seperti Umar Ibnul Khattab r.a., Imam Ali r.a., Ubaidah bin Al-Jarrah dan lain-lain, krisis-krisis tersebut di atas berhasil ditanggulangi dengan baik. Watak Abu Bakar r.a. yang demokratis,dan kearifannya yang selalu meminta nasehat dan pertimbangan para tokoh terkemuka, seperti Imam Ali r.a., merupakan, modal penting dalam tugas menyelamatkan ummat yang baru saja kehilangan Pemimpin Agung, Nabi Mu­hammad s.a.w.

Dengan masa jabatan yang singkat, Khalifah Abu Bakar r.a. berhasil mengkonsolidasi persatuan ummat, menciptakan stabili­tas negara dan pemerintahan yang dipimpinnya dan menjamin keamanan dan ketertiban di seluruh jazirah Arab.

Abu Bakar Ash Shiddiq r.a. memang seorang tokoh yang le­mah jasmaninya, akan tetapi ramah dan lembut perangainya, lapang dada dan sabar.Sesungguhpun demikian, jika sudah meng­hadapi masalah yang membahayakan keselamatan Islam dan kaum muslimin, ia tidak segan-segan mengambil tindakan tegas, bahkan kekerasan ditempuhnya bila dipandang perlu. Konon ia wafat akibat serangan penyakit demam tinggi yang datang secara tiba-­tiba.

Menurut buku Abqariyyatu Abu Bakar, yang di tulis Abbas Muhammad Al ‘Aqqad”, sebenarnya Abu Bakar r.a. sudah sejak lama terserang penyakit malaria. Yaitu beberapa waktu setelah hijrah ke Madinah. Penyakit yang dideritanya itu dalam waktu relatif lama tampak sembuh, tetapi tiba-tiba kambuh kem­bali dalam usianya yang sudah lanjut. Abu Bakar r.a. wafat pada usia 63 tahun.

[1]Riwayat yang dikemukakannya diambil dari Ibnu Ishak, berasal dari Ahmad bin Sayyar dan Sa’ad bin Katsir bin Afir Al-Anshariy.

https://tausyah.wordpress.com