Posts Tagged ‘Perihal’

Iman dan IslamAYAT-AYAT DAN HADITS-HADITS TENTANG SIFAT-SIFAT ALLAH

Sifat: Al-Izzah, Al-ihathoh, Al-Ilmu, Al-Hikmah, Al-Khibrah, Ar-Rizq, Al-Quwwah, As-Sam’u, Al-Bashar

[1]. Sifat Al-‘Izzah (Perkasa)

١٨٠. سُبْحَانَ رَبِّكَ رَبِّ الْعِزَّةِ عَمَّا يَصِفُونَ.  ١٨١. وَسَلَامٌ عَلَى الْمُرْسَلِينَ.  ١٨٢. وَالْحَمْدُ لِلَّهِ رَبِّ الْعَالَمِينَ

“Artinya : Maha Suci Rabbmu, Yang Memiliki Keperkasaan (lzzah), dari apa yang mereka katakan. Keselamatan semoga dilimpahkan kepada para rasul. Dan segala puji bagi Allah, Rabb seru sekalian alam.” [Ash-Shafat : 180-182]

Dalam ayat ini, Allah me-Mahasucikan diri-Nya dari apa yang disifatkan, oleh orang-orang yang menyelisihi para rasul, kepada-Nya, serta memberikan keselamatan kepada para rasul dikarenakan perkataan mereka bersih dari kekurangan dan cela.

[2]. Sifat Al-Ihathah (Meliputi)

٣. هُوَ الْأَوَّلُ وَالْآخِرُ وَالظَّاهِرُ وَالْبَاطِنُ وَهُوَ بِكُلِّ شَيْءٍ عَلِيمٌ

“Artinya : Dialah yang Awal dan Yang Akhir, Yang Zhahir dan Yang Bathin, dan Dia Mulia Mengetahui segala sesuatu.”[Al-Hadid : 3]

Firman Allah di atas ditafsirkan dengan sabda Rasulullah Sallallahu ‘alaihi wassalam :

“Artinya : Ya Allah, Engkaulah Al-Awwal, maka tidak ada sesuatu pun sebelum-Mu; Engkaulah Al-Aakhir, maka tidak ada sesuatu pun sesudah-Mu; Engkaulah Azh-Zhahir, maka tidak ada sesuatu pun di atas-Mu, dan Engkaulah Al-Bathin, maka tidak ada sesuatu pun di bawah-Mu.”[1]

Ayat dan hadits di atas menunjukkan sifat Al-Ihathah Az-Zamaniyah (meliputi waktu) yaitu pernyataan, “Dialah Al-Awwal dan Al-Akhir; serta Al-Ihathah Al-Makaniyah (meliputi tempat), yaitu pernyataan, “Dan Azh-Zhahir dan Al-Bathin.”

[3]. Sifat Al-Ilmu (Mengetahui) [4]. Sifat Al-Hikmah (Bijaksana) [5]. Sifat Al-Khibrah (Mengetahui)

١٠٠. إِنَّهُ هُوَ الْعَلِيمُ الْحَكِيمُ

“Artinya : Sesungguhnya, Dialah Yang Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana.” [Yusuf : 100].

“Artinya : Dan Dialah yang Maha Bijaksana lagi Maha Mengetahui.” [Al-An’am : 18]

Al-Ilmu merupakan salah satu sifat Dzatiyah yang tidak akan pernah lepas dari Allah Ta’ala. Ilmu Allah meliputi segala sesuatu, secara global maupun terperinci. Kebijaksanaan Allah berlaku di dunia maupun di akhirat. Apabila Allah menyempurnakan sesuatu, maka sesuatu itu tidak mengandung kerusakan. Allah telah menciptakan manusia dan Dia Maha Suci, Maha Bijaksana, lagi Maha Mengetahui. [2]

[6]. Sifat Ar-Rizq (Memberi Rezki) [7] . Al-Quwwah (Kuat) [8]. Al-Matanah (Kokoh)

٥٨. إِنَّ اللَّهَ هُوَ الرَّزَّاقُ ذُو الْقُوَّةِ الْمَتِينُ

“Artinya : Sesungguhnya Allah Maha Pemberi Rezki, Yang Mempunyai Kekuatan, dan Yang Sangat Kokoh.” [Adz-Dariat : 58]

Ar-Razzaq artinya Yang banyak memberi rezki secara luas (sebagaimana ditunjukkan oleh shighah mubalaghah bentuk kata yang menyangatkan. Apapun rezki yang ada di alam semesta ini berasal dari Allah Ta’ala. Rezki itu ada dua :

Pertama : Rezki yang manfaatnya berlanjut sejak di dunia hingga di akhirat, yaitu rezki hati. Contohnya : Ilmu, iman, dan rezki halal.

Yang kedua : Rezki yang secara umum diberikan kepada seluruh manusia, yang shalih maupun yang jahat, termasuk binatang dan lain-lain.

Allah Subhanahu wa Ta’ala memiliki sifat Al-Quwwah (Kekuatan), Al-Qawiy artinya adalah Syadidul Quwwah (Sangat Kuat). Maka, Al-Qawiy merupakan salah satu nama-Nya, yang berarti Yang Memiliki Sifat Kuat. Adapun Al-Matin berarti Yang Memiliki Puncak Kekuatan dan Kekuasaan.[3].

[9]. As-Sam’u (Mendengar) [10]. Al-Bashar (Melihat)

١١.  لَيْسَ كَمِثْلِهِ شَيْءٌ وَهُوَ السَّمِيعُ البَصِيرُ

“Artinya : Tidak ada sesuatu pun yang serupa dengan-Nya dan Dia Maha Mendengar lagi Maha Melihat.” [Asy-Sura: 11]

Di antara sifat-sifat Dzatiyah Allah adalah As-Sam’u dan Al-Bashar. Jadi, Allah memiliki sifat mendengar dan melihat, sesuai dengan keagungan-Nya, tidak sebagaimana mendengar dan melihatnya makhluk-Nya. Bahkan, pendengaran-Nya meliputi segala hal yang terdengar, dan Dia Melihat dan menyaksikan segala sesuatu, sekalipun sesuatu tersebut tersembunyi secara lahir maupun batin. [4]

Seorang penyair berkata :

Duhai Dzat Yang Melihat nyamuk, ketika mengembangkan sayapnya
Di kegelapan malam yang pekat dan kelam
Dan Melihat urat syaraf di lehernya
Juga otak yang didalam tulang-tulang nan amat mungil itu
Berikanlah kepadaku, ampunan yang menghapuskan
Dosa-dosa
yang kulakukan, sejak kali pertama


Foote Note.
[1]. Shahih Muslimâ€‌ IV/2084. Lihat juga Syarh Al-Aqidah Al-Wasithiyah‌, Al-Haras, hal. 42.
[2]. Lihat Al-Ajwibah Al-Ushuliyah‌, hal.42
[3]. Ar-Raudhah An-Nadiyah‌, hal. 74
[4]. Lihat Ar-Raudhah An-Nadiyah‌, hal. 74 dan 112

https://tausyah.wordpress.com/

ALLAH SWTKEYAKINAN ASHHABUL HADITS TENTANG SIFAT-SIFAT ALLAH

[Syaikh Abu Utsman Isma’il Ash-Shabuni berkata]: Semoga Allah melimpahkan taufiq. Sesungguhnya Ashhabul Hadits (yang berpegang teguh kepada Al-Kitab dan As-Sunnah) -semoga Allah menjaga mereka yang masih hidup dan merahmati mereka yang telah wafat- adalah orang-orang yang bersaksi atas keesaan Allah, dan bersaksi atas kerasulan dan kenabian Muhammad shallallahu `alaihi wa sallam.

Mereka mengenal Allah subhanahu wata’ala dengan sifat-sifatnya yang Allah utarakan melalui wahyu dan kitab-Nya, atau melalui persaksian Rasul-Nya shallallahu’alaihi wa sallam dalam hadits-hadits yang shahih yang dinukil dan disampaikan oleh para perawi yang terpercaya.

Mereka menetapkan dari sifat-sifat tersebut apa-apa yang Allah tetapkan sendiri dalam Kitab-Nya atau melalui perantaraan lisan Rasulullah shallallahu’alaihi wasallamshallallahu `alaihi wa sallam. Mereka tidak meyerupakan sifat-sifat tersebut dengan sifat-sifat makhluk. Mereka menyatakan bahwa Allah menciptakan Adam ‘alaihissalam dengan tangan-Nya, sebagaimana yang dinyatakan dalam Al-Qur’an: “Allah berfirman:

قَالَ يَا إِبْلِيسُ مَا مَنَعَكَ أَن تَسْجُدَ لِمَا خَلَقْتُ بِيَدَيَّ ….

“Hai iblis, apakah yang menghalangi kamu sujud kepada yang telah Ku-ciptakan dengan kedua tangan-Ku. (Shaad:75)

Mereka tidak menyimpangkan Kalamullah dari maksudnya-maksud sebenarnya, dengan mengartikan kedua tangan Allah sebagai dua kenikmatan atau kekuatan, seperti yang dilakukan oleh Mu’thazilah dan Jahmiyyah -semoga Allah membinasakan mereka-.

Mereka juga tidak mereka-reka bentuknya atau menyerupakan dengan tangan-tangan makhluk, seperti yang dilakukan oleh kaum Al-Musyabbihah -semoga Allah menghinakan mereka-. Allah subhanahu wa ta’ala telah memelihara Ahlus Sunnah dari menyimpangkan,  mereka-reka atau menyerupakan sifat-sifat Allah dengan makhluk-Nya. Allah telah memberi karunia atas diri mereka pemahaman dan pengertian, sehingga mereka mampu meniti jalan mentauhidkan dan mensucikan Allah ‘azza wa jalla. Mereka meninggalkan ucapan-ucapan yang bernada meniadakan, menyerupakan dengan makhluk. Mereka mengikuti firman Allah azza wa jalla:

لَيْسَ كَمِثْلِهِ شَيْءٌ وَهُوَ السَّمِيعُ البَصِيرُ

“tidak ada sesuatupun yang serupa dengan-Nya, dan Ia Maha Mendengar lagi Maha Melihat” (Asy-Syuraa:11)

Al-Qur’an juga menyebutkan tentang “Dua tangan-Nya” dalam firman-Nya:

خَلَقْتُ بِيَدَيَّ

“..yang telah Ku-ciptakan dengan kedua tangan-Ku.. ” (Shaad:75)

Dan diriwayatkan dalam banyak hadits-hadits shahih dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam yang menyebutkan tangan Allah, seperti kisah perdebatan Musa dengan Adam ‘alaihimas salam, tatkala Musa berkata:

“Allah telah menciptakan dirimu dengan tangan-Nya dan membuat para malaikat bersujud kepadamu” (HR. Muslim)

PERNYATAAN ASHHABUL HADITS TENTANG SIFAT-SIFAT ALLAH

Dan demikian juga pernyataan mereka tentang sifat-sifat Allah ‘azza wa jalla yang disebutkan dalam Al-Qur’an maupun hadits-hadits yang shahih, diantaranya: pendengaran, penglihatan, mata, wajah, ilmu, kekuatan, kekuasaan, keperkasaan, keagungan, kehendak, keinginan, perkataan, ucapan, ridha, marah, hidup, terjaga, gembira, tertawa, dll. Tanpa menyerupakannya dengan sifat makhluk, tetapi mencukupkan dengan apa yang dikatakan oleh Allah dan Rasul-Nya tanpa menambah-nambahi, mengembel-embeli, takyif, tasybih, tahrif, mengganti, merubah, serta tidak membuang lafadz khabar yang bisa dipahami untuk kemudian ditakwil dengan makna yang salah.

Mereka menafsirkan berdasarkan dzahirnya dan menyerahkan makna sesungguhnya kepada Allah, dan mengatakan bahwasanya hakikat sesungguhnya yang mengetahui hanyalah Allah. Sebagaimana diberitakan oleh Allah tentang orang-orang yang dalam ilmunya:

وَالرَّاسِخُونَ فِي الْعِلْمِ يَقُولُونَ آمَنَّا بِهِ كُلٌّ مِّنْ عِندِ رَبِّنَا وَمَا يَذَّكَّرُ إِلاَّ أُوْلُواْ الألْبَابِ

” Dan orang-orang yang mendalam ilmunya berkata: “Kami beriman kepada ayat-ayat yang mutasyabihat, semuanya itu dari sisi Rabb kami”. Dan tidak dapat mengambil pelajaran (daripadanya) melainkan orang-orang yang berakal” (Ali-Imran:7

https://tausyah.wordpress.com

Iman IslamJujur dan Adil

Bukanlah suatu hal yang mengherankan bila seseorang jujur dan adil terhadap sesama kawan. Tetapi bila ada orang yang jujur dan adil terhadap lawan, ini sungguh suatu keluar-biasaan. Justru inilah yang menjadi salah satu sifat istimewa Imam Ali r.a.

Dalam kedudukkannya sebagai Khalifah, pada satu hari Imam Ali r.a. melihat baju besi yang pernah dimilikinya berada di tangan seorang penduduk beragama Nasrani. Karena merasa yakin, bahwa barang itu memang miliknya, untuk mendapatkan kembali secara baik ia mengadu kepada hakim setempat. Dalam sidang khusus untuk menyelesaikan tuntutannya itu, di depan peradilan Imam Ali r.a. mengatakan bahwa baju besi itu benar­benar miliknya. Ia menegaskan: “Belum pernah aku menjual baju besi itu. Sepanjang ingatanku, belum pernah barang itu kuhadiah­kan kepada orang lain.”

Sungguhpun demikian, orang Nasrani yang menjadi tergugat itu tetap bertahan, bahwa baju besi itu miliknya yang sah. Tanpa ragu-ragu ia menjawab: “Baju besi ini milikku sendiri. Aku yakin Amirul Mukminin tidak akan berbuat bohong.”

Mendengar keterangan yang berlawanan itu, hakim menoleh kepada Imam Ali r.a. dan bertanya sekali lagi: “Apakah anda mempunyai keterangan tambahan?”

Beberapa saat lamanya Imam Ali r.a. diam, tidak tahu apa yang harus dikatakan. Namun ia yakin bahwa barang itu me­mang miliknya. Akhirnya pertanyaan hakim itu dijawab sam­bil tersenyum: “Apa yang anda tanyakan itu memang perlu, te­tapi aku tidak mempunyai keterangan tambahan.”

Setelah mengadakan pertimbangan secukupnya, hakim memutuskan bahwa barang yang dipersengketakan itu menjadi milik sah orang Nasrani yang menjadi tergugat dalam perkara itu. Oleh hakim, orang Nasrani yang bersangkutan diperkenankan pu­lang membawa barang tersebut. Dengan wajah berseri-seri mencer­minkan keikhlasan hatinya Imam Ali r.a. melihat orang Nasrani itu beranjak dari tempatnya sambil mengangkat baju besi.

Baru beberapa langkah berjalan, tiba-tiba orang Nasrani itu balik kembali menghampiri Imam Ali r.a. dan hakim yang masih duduk di tempat masing-masing. Kepada Imam Ali r.a. orang Nas­rani itu berkata: “Apa yang kusaksikan mengenai diri anda, be­nar-benar sama seperi hukum yang berlaku bagi para Nabi!” Ke­mudian dengan khidmat ia berkata lebih lanjut: “Sekarang aku bersaksi, bahwa tiada Tuhan selain Allah dan Muhammad Rasul Allah. Ya Amiral Mukminin, memang benarlah baju besi ini ke­punyaan anda. Waktu anda berangkat ke Shiffin dulu, aku meng­ikuti kafilah anda. Baju besi ini jatuh kemudian diambil oleh sa­lah seorang anggota pasukan yang sedang kekurangan bekal.”

Dengan tenang Imam Ali r.a. menjawab pernyataan orang Nasrani yang sudah mengikrarkan syahadat itu: “Karena anda se­karang sudah memeluk agama Islam, barang itu sekarang sudah menjadi kepunyaan anda!”

Percakapan antara dua orang itu disaksikan oleh hakim dan hadirin lainnya. Mereka ramai membicarakan kejadian yang sangat mengesankan itu. Benarlah bahwa hanya orang muslim yang menghayati Islam sepenuhnya sajalah, yang dapat bersikap seperti Imam Ali r.a. Tetapi tak ada orang lain yang lebih terkesan dalam hatinya selain orang Nasrani yang sekarang sudah jadi muslim itu. Kenyataan ini dibuktikan pada hari-hari selanjutnya. Sejarah ke­mudian mencatat, bahwa bekas Nasrani itu ternyata seorang mus­lim yang sangat gigih membela Imam Ali r.a. dalam perjuangan menegakkan kebenaran Islam dan menumpas pemberontakan Khawarij di Nehrawan.

Peristiwa tersebut merupakan petunjuk nyata tentang betapa tingginya tingkat ketaqwaan, kejujuran dan keadilan Imam Ali r.a. Semua ibadah jasmaniah dan rohaniyahnya bukan lagi dirasa sebagai kewajiban yang harus dilaksanakan, melainkan sudah men­jadi kenikmatan dan kebahagiaan hidupnya sehari-hari. Semua yang dilakukan semata-mata berdasarkan dorongan cinta kepada Allah ‘Azza wa Jalla dan kegairahan melaksanakan tauladan hidup yang diberikan oleh putera pamannya, Nabi Muhammad s.a.w.

Dalam hal melaksanakan keadilan, Imam Ali r.a. benar-benar tidak pandang bulu. Yang benar dinyatakan benar, yang salah di­nyatakan salah, tak peduli siapa saja yang dihadapinya. Apakah yang dihadapinya itu orang lain, keluarga sendiri, orang kaya atau miskin, orang yang berkedudukan atau pun tidak. Dalam pan­dangan Imam Ali r.a. sebagai penegak hukum Allah, semua manu­sia adalah hamba Allah yang sama derajat.

Dalam suatu kesempatan, Aqil bin Abi Thalib –kakak Imam Ali r.a.– menceritakan penyaksiannya sendiri tentang keadilan saudara kandungnya itu, sebagai berikut: “Waktu berkunjung ke rumah Imam Ali r.a., Aqil melihat Al Husein r.a. sedang keda­tangan seorang tamu. Ia meminjam uang satu dirham untuk mem­beli beberapa potong roti. Uang itu belum cukup untuk keperluan lauk. Kepada pelayan rumahnya, Qanbar, Al Husein r.a. minta supaya dibukakan kantong kulit berisi madu yang dibawa orang dari Yaman. Qanbar mengambil madu setakar.”

“Waktu Imam Ali r.a. datang dan minta supaya Qanbar meng­ambilkan kantong madu untuk dibagi-bagikan kepada orang-orang yang berhak, ia melihat madu sudah berkurang. Imam Ali r.a. bertanya: ‘Hai Qanbar, kukira sudah terjadi sesuatu dengan wa­dah madu ini!’ Sebagai jawaban Qanbar menjelaskan bahwa ia disuruh Al Husein mengambilkan madu setakar dari wadah itu. Mendengar itu bukan main marahnya Imam Ali r.a.: ‘Panggil Husein!’…”

Waktu Husein tiba di depannya, Imam Ali r.a. segera meng­ambil cambuk, tetapi Al Husein cepat-cepat berkata: “Demi hak pamanku, Ja’far!”

Biasanya bila nama Ja’far disebut-sebut, marah Imam Ali r.a. segera menjadi reda. Kepada Husein, Imam Ali r.a. bertanya: “Apa sebab engkau berani mengambil lebih dulu sebelum dibagi?” Puteranya menjawab: “Kami semua mempunyai hak atas ma­du. Kalau nanti kami menerima bagian, akan kami kembalikan.”

Dengan suara melunak Imam Ali r.a. menasehati putera­nya: “Ayahmu yang akan mengganti! Tetapi walaupun engkau mempunyai hak, engkau tidak boleh mengambil hakmu lebih dulu sebelum orang-orang muslim lain mengambil hak mereka. Seandainya aku tidak pernah melihat sendiri Rasul Allah s.a.w. mencium mulutmu, engkau sudah kusakiti dengan cambuk ini!”

Imam Ali r.a. menyerahkan uang satu dirham dan diselipkan dalam baju Qanbar sambil berkata: “Belikan dengan uang ini ma­du yang baik dan yang sama banyaknya dengan yang telah di­ambil!”

“Demi Allah…, demikian kata Aqil, “…seolah-olah seka­rang ini aku sedang melihat tangan Ali memegang mulut kantong madu itu dan Qanbar sedang menuangkan madu ke dalamnya!”

Aqil sendiri pernah mengalami suatu peristiwa pahit dengan saudaranya itu. Menurut penuturannya: “Waktu itu aku sedang mengalami kesulitan penghidupan yang amat berat. Aku minta bantuan kepadanya (Imam Ali r.a.). Semua anakku kukumpul­kan dan kuajak ke rumahnya. Anak-anakku itu benar-benar sedang menderita kekurangan makan. Waktu tiba di sana Ali ber­kata: ‘Datanglah nanti malam, engkau akan kuberi sesuatu’…”

Malam hari itu aku datang lagi bersama anak-anakku. Mereka menuntunku bergantian.[1] Setibanya di sana anak-anakku disuruh menyingkir. Kepadaku Ali berkata: “Hanya ini saja untuk­mu!”

Aku cepat-cepat mengulurkan tangan karena ingin segera menerima pemberiannya, dan kuduga itu sebuah kantong. Ter­nyata yang kupegang ialah sebatang besi panas yang baru saja di­bakar. Besi itu kulemparkan sambil berteriak meraung seperti lembu dibantai. Ali tenang-tenang saja berkata kepadaku: “Itu baru besi yang dibakar dengan api dunia. Bagaimana kalau kelak aku dan engkau dibelenggu dengan rantai neraka jahanam?!”

Setelah ia membaca ayat 71-72 S. Al Mukmin, Imam Ali r.a. berkata meneruskan: “Dariku engkau tidak akan memperoleh lebih dari hakmu yang sudah ditetapkan Allah bagimu… selain yang sudah kau rasakan sendiri itu! Pulanglah kepada keluarga­mu.”

Memang luar biasa. Muawiyah sendiri ketika mendengar ce­rita tentang peristiwa itu berkomentar: “Terlalu! Terlalu! Kaum wanita akan mandul dan tidak akan melahirkan anak seperti dia!”

Aqil bin Abi Thalib ternyata berusia lebih panjang daripada saudara-saudaranya. Di kalangan orang-orang Qureiys ia terkenal sebagai salah satu di antara empat orang ahli yang dapat dimintai keterangan tentang ilmu silsilah dan sejarah Qureiys. Empat orang itu ialah Aqil bin Abi Thalib, Makramah bin Naufal Azzuhriy, Abul Jaham bin Hudzaifah Al Adwiy, dan Huwairits bin Abdul Uzza Al Amiriy Aqil sanggup memberi keterangan terperinci mengenai soal-soal silsilah dan sejarah Qureiys. Selain itu ia pun seorang periang dan mudah tertawa keras.

Ibnul Atsir meriwayatkan pengalaman Aqil yang lain dengan Imam Ali r.a. Pada suatu hari Aqil datang kepada Imam Ali r.a. untuk meminta sesuatu. Kepada Imam Ali r.a. ia berkata: “Aku ini orang butuh, orang miskin… berilah pertolongan kepadaku.”

“Sabarlah dan tunggu sampai tiba waktunya pembagian ber­sama kaum muslimin lainnya,” jawab Imam Ali r.a.: “Engkau pasti kuberi.”

Aqil tidak puas dengan jawaban itu. Ia mendesak terus dan merajuk. Akhirnya Imam Ali r.a. memerintahkan seorang: “Ba­walah dia pergi ke toko-toko di pasar. Katakan kepadanya supaya mendobrak pintu toko-toko itu dan mengambil barang-ba­rang yang ada di dalamnya!”

Mendengar perintah Imam Ali r.a. yang seperti itu, Aqil menyahut: “Apakah engkau ingin aku menjadi pencuri?”

“Dan engkau, apakah ingin supaya aku mencuri milik kaum muslimin dan memberikannya kepadamu?” jawab Imam Ali r.a.

“Kalau begitu aku mau datang kepada Muawiyah,” kata Aqil dengan nada mengancam.

“Terserah,” jawab Imam Ali r.a. dengan kontan.

Aqil lalu pergi ke Syam untuk meminta bantuan kepada Muawiyah. Oleh Muawiyah ia diberi uang sebesar 100.000 dirham, dengan syarat Aqil harus bersedia naik ke atas mimbar dan ber­bicara dengan orang banyak tentang apa yang telah diberikan oleh Imam Ali kepadanya dan tentang apa yang telah diberikan Muawi­yah. Dari atas mimbar Aqil berkata dengan lantang: “Hai kaum muslimin, kuberitahukan kepada kalian, bahwa aku telah memin­ta kepada Ali supaya memilih: ‘aku atau agamanya’. Ternyata ia lebih suka memilih agamanya. Kepada Muawiyah aku pun minta seperti itu. Ternyata ia lebih suka memilih aku daripada agama­nya!”

Tentang kejujuran dan keadilan Imam Ali r.a. orang tidak se­gan-segan mengatakan terus terang, sekalipun di depan Muawi­yah. Beberapa waktu setelah Imam Ali r.a. wafat, Muawiyah ber­tanya kepada Khalid bin Muhammad: “Apakah sebab anda lebih menyukai Ali daripada kami?”

“Disebabkan oleh tiga hal,” jawab Khalid bin Muhammad dengan terus terang. “Ia sanggup menahan sabar bila sedang ma­rah. Jika berbicara ia selalu berkata benar. Dan jika menetapkan hukum ia selalu adil.” Demikian diriwayatkan oleh Ibnu Hajar dalam bukunya Ash Shawa’iqul Muhriqah.”

Al Haitsamiy dalam bukunya Majma, jilid IX, halaman 158 menyajikan sebuah riwayat yang berasal dari Rab’iy bin Hurasy sebagai berikut: Pada suatu hari Muawiyah dikerumuni oleh pe­muka-pemuka Qureiys, termasuk Sa’id bin Al Ash, yang waktu

itu duduk di sebelah kanannya. Tak lama kemudian datanglah ibnu Abbas. Ketika melihat Ibnu Abbas masuk, Muawiyah ber­kata kepada Sa’id: “demi Allah, aku akan mengajukan pertanyaan-­pertanyaan kepada Ibnu Abbas yang kira-kira ia tidak akan mam­pu menjawabnya.”

Menanggapi keinginan Muawiyah itu, Sa’id mengingatkan: “Hai Muawiyah, orang seperti Ibnu Abbas tak mungkin tidak mampu menjawab pertanyaan-pertanyaanmu.”

Setelah Ibnu Abbas duduk, Muawiyah bertanya: “Apakah kiranya yang dapat kaukatakan tentang Ali bin Abi Thalib?”

Dengan serta merta Ibnu Abbas menjawab: “Abul Hasan rahimahullah adalah panji hidayat; sumber taqwa; tempat kecer­dasan berfikir; puncak ketinggian akal; cahaya keutamaan manu­siawi di tengah kegelapan; orang yang mengajak manusia ke jalan lurus; mengetahui isi Kitab-kitab suci terdahulu; sanggup menaf­sirkan dan mentakwilkan dengan berpegang teguh pada hida­yat; menjauhkan diri dari perbuatan dzalim yang menyakiti hati orang; menghindari jalan yang sesat; seorang mukmin dan ber­takwa yang terbaik; orang yang paling sempurna menunaikan iba­dah haji dan ibadah-ibadah lainnya; orang yang paling mempunyai tenggang-rasa serta memperlakukan semua orang secara adil dan sama, orang yang paling pandai berkhutbah di dunia ini…” dan seterusnya sampai kepada kata-kata: “…seorang suami dari wa­nita yang paling mulia, dan seorang ayah dari dua cucu Rasul Allah s.a.w.”

Seterusnya Ibnu Abbas mengatakan: “Mataku belum pernah melihat ada orang seperti dia dan tidak akan pernah melihatnya sampai hari kiyamat. Barang siapa mengutuk dia, orang itu akan dikutuk selama-lamanya oleh Allah dan oleh seluruh ummat ma­nusia sampai hari kiyamat.”

Mendengar keterangan itu, tentu saja Muawiyah menjadi beringas, tetapi ia dapat menguasai diri di depan seorang ilmuwan seperti Ibnu Abbas. Harun bin Antarah menceritakan penyaksian ayahnya dengan mengatakan: “Pada suatu hari aku datang ke rumah Imam Ali. Ia sedang duduk di balai-balai berselimut kain kumal. Waktu itu musim dingin. Kukatakan kepadanya: “Ya Amiral Mukminin, Allah telah memberi hak kepada anda dan kepada keluarga anda untuk menerima sebagian dari harta Baitul Mal. Mengapa anda ber­buat seperti itu terhadap diri anda sendiri?”

“Demi Allah,” sahut Imam Ali r.a., “Aku tidak mau mengu­rangi hak kalian walau sedikit. Ini adalah selimut yang kubawa sewaktu keluar meninggalkan Madinah.”

‘Ashim bin Ziyad pernah bertanya kepada Imam Ali r.a.: “Ya Amiral Mukminin, pakaian anda itu terlalu kasar dan makan­an anda pun terlampau buruk! Mengapa anda berbuat seperti itu?”

“Celaka benar engkau itu,” jawab Imam Ali r.a. “Allah s.w.t. mewajibkan para pemimpin supaya menempatkan dirinya masing-masing di bawah ukuran orang lain, agar tidak sampai memperkosa penderitaan si miskin.”

Suwaid bin Ghaflah juga menyaksikan cara hidup Imam Ali r.a. Ia menceritakan penyaksiannya sendiri: “Pada suatu hari aku datang ke rumah Imam Ali. Di dalamnya tidak terdapat perkakas apapun selain selembar tikar yang sudah koyak. Ia sedang duduk di tempat itu. Aku segera bertanya setengah mengingatkan: ‘Ya Amiral Mukminin, mengapa rumah anda seperti ini? Anda adalah seorang penguasa kaum muslimin, yang memerintah mereka dan yang menguasai Baitul Mal. Banyak utusan datang menghadap anda, sedang di rumah anda ini tidak ada perkakas selain tikar’…”

“Ya Suwaid,” jawab Imam Ali r.a., “dalam rumah yang ber­sifat sementara ini tidak perlu ada perkakas, sebab di depan kita ada rumah yang kekal. Semua perkakas sudah kami pindahkan ke sana, dan tak lama lagi kami akan kembali ke sana.”

Harun bin Sa’id juga menceritakan penyaksiannya, bahwa pada suatu hari Abdullah bin Ja’far bin Abi Thalib datang kepada Imam Ali untuk meminta pertolongan. Abdullah berkata: “Ya Amiral Mukminin, suruhlah orang mengambilkan uang dari Baitul Mal bekal belanja untukku. Demi Allah, aku tidak mem­punyai uang sama sekali selain harus menjual ternakku.”

“Tidak,” jawab Imam Ali r.a., “demi Allah, aku tidak dapat memberi apa-apa kepadamu, kecuali jika engkau menyuruh pa­manmu mencuri agar bisa memberi apa yang kau minta.”

Imam Ali r.a. memperlakukan semua sanak keluarganya de­ngan perlakuan sama seperti terhadap orang lain. Ia tidak meng­istimewakan mereka dengan pemberian apa pun juga, dan tidak pula memberikan fasilitas khusus betapa pun kecilnya. Olehnya, semua sanak keluarga dilatih dan dipersiapkan mentalnya supaya membiasakan diri berakhlaq seperti dirinya. Bahkan kadang-ka­dang ia mengambil sikap keras dalam membiasakan mereka hidup menurut cara-cara yang diajarkan.

Muslim bin Shahib Al Hanna meriwayatkan, bahwa seusai perang “Jamal” Imam Ali r.a. pergi ke Kufah. Di sana ia ma­suk ke dalam Baitul Mal sambil berkata: “Hai dunia, rayulah orang selain aku!” Ia lalu membagi-bagikan semua yang ada di dalamnya kepada orang banyak. Waktu itu datang anak perem­puan Al Hasan atau Al Husein r.a. lalu turut mengambil sesuatu dari Baitul Mal. Melihat itu Imam Ali mengikuti cucunya dari belakang, kemudian genggaman anak perempuan itu dibuka dan diambillah barang yang sedang dipegang. Kami katakan kepada­nya: “Ya Amiral Mukminin, biarlah! Dia mempunyai hak atas barang itu!” Ternyata Imam Ali menjawab: “Jika ayahnya sendiri yang mengambil hak itu, barulah ia boleh memberikan kepada anak ini sesuka hatinya!”

Sejak sebelum memangku jabatan Khalifah, Imam Ali pada prinsipnya memang tidak suka melihat banyak kekayaan kaum muslimin tertimbun dalam Baitul Mal. Salah sebuah catatan se­jarah yang ditulis oleh Abu Ja’far At Thabariy mengatakan, bahwa dalam suatu musyawarah Khalifah Umar Ibnul Khattab r.a. me­minta pertimbangan tentang bagaimana sebaiknya yang perlu dilakukan terhadap harta benda yang ada di dalam Baitul Mal. Dalam musyawarah itu Imam Ali r.a. mengemukakan pendapat­nya: “Sebaiknya harta yang sudah terkumpul itu dibagikan saja tiap tahun dan tidak usah disisakan sedikitpun.”

Kejujuran dan keadilan seorang yang hidup zuhud, taqwa dan tekun beribadah seperti Imam Ali r.a. itu memang sukar se­kali dijajagi. Keistimewaan hukum yang berlaku pada masa peme­rintahannya ialah persamaan hak dan kewajiban bagi semua orang. Kebijaksanaannya tidak berat sebelah kepada fihak yang kuat dan tidak merugikan fihak yang lemah.

Tanah-tanah garapan yang pada masa pemerintahan sebelum­nya dibagi-bagikan kepada sanak famili dan orang-orang terke­muka yang dekat dengan para penguasa Bani Umayyah, dicabut dan dikembalikan kepada status semula sebagai milik umum kaum muslimin. Setelah itu barulah dibagi-bagikan lagi kepada orang-­orang yang berhak berdasarkan prinsip persamaan.[2]

Mengenai kekayaan milik umum kaum muslimin, Imam Ali r.a. sendiri dengan tegas menyatakan kebijaksanaannya: “Demi Allah, seandainya ada sebagian dari kekayaan itu yang sudah di­pergunakan orang untuk beaya pernikahan atau untuk membeli hamba sahaya perempuan, pasti aku tuntut pengembaliannya!” Dijelaskan pula olehnya: “Sesungguhnya keadilan itu sudah me­rupakan kesejahteraan. Maka barang siapa masih merasakan ke­sempitan di dalam suasana adil, ia pasti akan merasa lebih sempit lagi dalam suasana dzalim.”

Di antara beberapa pesan yang diamanatkannya kepada para penguasa daerah ialah: “Berlakulah adil terhadap semua orang. Sabarlah dalam menghadapi orang-orang yang hidup kekurangan, sebab mereka itu sesungguhnya adalah juru bicara rakyat. Jangan­lah kalian menahan-nahan kebutuhan seseorang dan jangan pula sampai menunda-nunda permintaannya. Untuk keperluan me­lunasi pajak janganlah sampai ada orang yang terpaksa menjual ternak atau hamba sahaya yang diperlukan sebagai pembantu da­lam pekerjaan. Janganlah sekali-kali kalian mencambuk seseorang hanya karena dirham!”

Salah satu dari pesan-pesan khusus yang ditujukan kepada para petugas pemungut pajak, zakat dan lain-lainnya, ialah : “Da­tangilah mereka dengan tenang dan sopan. Jika engkau sudah ber­hadapan dengan mereka, ucapkanlah salam. Hormatilah mereka itu dan katakanlah: ‘Hai para hamba Allah, penguasa Allah dan Khalifah-Nya mengutus aku datang kepada kalian untuk mengambil hak Allah yang ada pada kekayaan kalian. Apakah ada bagian yang menjadi hak Allah itu dalam harta kekayaan kalian? Jika ada, hen­daknya hak Allah itu kalian tunaikan kepada Khalifah-Nya’…”

“Jika orang yang bersangkutan menjawab ‘tidak’, jangan­lah kalian ulangi lagi. Tetapi jika orang itu menjawab ‘ya’, pergi­lah engkau bersama-sama untuk memungut hak Allah itu. Jangan­lah kalian menakut-nakuti dia, janganlah mengancam-ancam dia, dan jangan pula membentak atau bersikap kasar. Ambillah apa yang diserahkan olehnya kepada kalian, emas atau pun perak. Jika orang yang bersangkutan mempunyai ternak berupa unta atau lainnya, janganlah kalian masuk untuk memeriksa tanpa se­izin dia, walaupun orang itu benar-benar mempunyai banyak ter­nak. Jika orang itu memberi izin kepada kalian untuk memeriksa­nya, janganlah kalian masuk dengan lagak seperti orang yang ber­kuasa. Jangan berlaku kasar, jangan menakut-nakuti dan jangan sekali-kali menghardik binatang-binatang itu. Jangan kalian ber­buat sesuatu yang akan menyusahkan pemiliknya.”

“Kemudian apabila harta kekayaan diperlihatkan kepada kalian, persilakan pemiliknya memilih dan menentukan sendiri mana yang menjadi hak Allah. Jika ia sudah menentukan pilih­annya, janganlah kalian menghalang-halangi dia mengambil bagian yang menjadi haknya. Hendaknya kalian tetap bersikap seperti itu, sampai orang yang bersangkutan menetapkan mana yang menjadi hak Allah yang akan ditunaikan. Tetapi ingat, jika kalian diminta supaya meninggalkan orang itu, tinggalkanlah dia!”

Begitu jelasnya Imam Ali r.a. mengemukakan pesan dan ama­natnya secara terperinci agar jangan sampai terjadi penyalah­gunaan dan perkosaan terhadap kaum muslimin dan rakyatnya.

Sedemikian tingginya rasa keadilan yang menghiasi kehidup­an Imam Ali r.a., sampai pernah terjadi, bahwa pada waktu ia me­nerima setoran pajak dari penduduk Isfahan, ditemukan sepotong roti kering terselip dalam wadah. Roti itu oleh Imam Ali r.a. dipo­tong-potong menjadi tujuh keping, sama seperti uang setoran itu juga yang dibagi menjadi tujuh bagian. Pada tiap bagian dari uang itu ditaruh sekeping roti kering.

[1]Waktu terjadinya peristiwa yang diceritakan itu, Aqil sudah hilang penglihatannya karena usia lanjut.

[2]Kitab Ahlul-Bait hal. 221 – 223.

https://tausyah.wordpress.com

Search LiveMenurut umat Kristiani Yesus adalah tuhan yang berinkarnasi / menjelma menjadi manusia, agar manusia dapat berkomunikasi secara langsung dan percaya akan firman-firman Tuhan. Tetapi anehnya Yesus tidak pernah mengatakan “Akulah tuhan yang menjelma menjadi Yesus”.

Mereka meyakini bahwa kelahiran Yesus yang ajaib, yaitu tanpa campur tangan seorang bapak adalah sebagai bukti bahwa Yesus memang tuhan, dalil ini sungguh-2 teramat dangkal dan lemah, karena nabi Adam yang lahir jauh lebih ajaib, yaitu tanpa campur tangan seorang bapak sekaligus tanpa campur tangan seorang ibu mereka tidak menjadikan nabi Adam sebagai tuhan, padahal kalau memang alasan kelahiran yg ajaib sebagai bukti Yesus adalah tuhan, maka Adamlah yang lebih patut disebut tuhan daripada Yesus.

Kemudian umat Kristiani juga meyakini bahwa lemukjizatan-2 yang dilakukan oleh Yesus antara lain menghidupkan orang mati, membuat orang buta dapat melihat dan lain-lainnya adalah sebagai bukti bahwa Yesus adalah Tuhan, dalil ini juga teramat lemah dan dangkal, karena nabi Musa yang mendapatkan mukjizat-2 lebih dasyat yaitu dapat membelah laut dan membuat ular dari seutas tali ternyata mereka tidak menjadikan nabi Musa sebagai tuhan, padahal kalau memang kemukjizatan-2 yg dilakukan oleh Yesus sebagai bukti Yesus adalah tuhan, maka Musalah yang lebih patut disebut tuhan daripada Yesus.

Apapun keistimewaan-2 yang ada pada diri Yesus tidaklah membuktikan bahwa Yesus adalah tuhan, leistimewaan-2 tersebut semata-mata ada-lah atas kehendak dan izin Allah semata.

Dalam kitab Taurat, Injil dan Al-Qur’an Allah SWT telah memperkenalkan diri-Nya bahwa Dia adalah Tuhan, sehingga manusia mempunyai dalil secara pasti siapakah Tuhan yang harus diimani dan disembah.

Beginilah firman TUHAN, Raja dan Penebus Israel, TUHAN semesta alam: “Akulah yang terdahulu dan Akulah yang terkemudian; tidak ada Allah selain dari pada-Ku. Taurat : Yesaya 44:6

“…bahwa Dia esa, dan bahwa tidak ada yang lain kecuali Dia.” Injil : Markus 12:31

“Katakanlah:”Dialah Allah, Yang Maha Esa”. QS. 112:1

Kalau Yesus tuhan, seharusnya ada dalil yg menunjukkan bahwa Yesus pernah mengaku dirinya sebagai tuhan dan juga harus ada dalil yg me-nunjukkan bahwa Yesus pernah memerintahkan untuk disembah. Ternyata, tidak ada satu ayatpun bahwa Yesus pernah menyatakan “Akulah tuhan Yesus” atau “Sembahlah Yesus”. Bila demikian, maka sudah cukup untuk mengatakan bah-wa Yesus bukan tuhan.

Bahkan banyak sekali ayat-2 yg menunjukkan sebaliknya, yaitu Yesus mengaku dirinya hanyalah seorang nabi utusan Allah,

“Inilah hidup yang kekal itu, yaitu bahwa mereka mengenal Engkau, satu-satunya Allah yang benar, dan mengenal Yesus Kristus yang telah Engkau utus.” Yohanes 17:3

Lebih lanjut Yesus justru memerintahkan umatnya untuk menyembah dan berbakti hanya kepada Allah saja,

“Yesus berkata kepadanya: “Ada tertulis: Engkau harus menyembah Tuhan, Allahmu, dan hanya kepada Dia sajalah engkau berbakti!“ Lukas 4:8

Dalam Al-Qur’an juga menegaskan bahwa nabi Isa as bukanlah tuhan :

“Sesungguhnya telah kafirlah orang-2 yang berkata:”Sesungguhnya Allah ialah Al-Masih putera Maryam”, padahal Al-Masih (sendiri) berkata:”Hai Bani Israil, sembahlah Allah Rabbku dan Rabb-mu”. Sesungguhnya orang yang mempersekutukan (sesuatu dengan) Allah, maka pasti Allah mengha-ramkan kepadanya surga, dan tempatnya ialah neraka, tidaklah ada bagi orang-orang zalim itu seorang penolongpun.” QS. 5:72

Sekian ulasan “Yesus bukan tuhan” yang cukup teramat singkat, semoga menambah keimanan kita, amin. (al-islahonline)

https://tausyah.wordpress.com

Nama ALLAH pada kelopak BungaOleh: Qosim Nursheha Dzulhadi

Dalam sebuah makalah yang berjudul ‘SALIB KRISTUS DALAM PERSPEKTIF PENULIS ARAB-MUSLIM KONTEMPORER’ Bambang Noorsena menyatakan bahwa Salib Kristus dan Thariq al-Alam (Jalan Sengsara)-Nya adalah salah satu “batu sandungan” dalam dialog teologis Kristen-Islam hingga sekarang. Salah satu alasan penolakan Islam atas historisitas penyaliban Yesus, didasarkan atas sebuah ayat dalam al-Qur’an; Wa maaqataluhu wa maa shalabuhu wa lakin syubiha lahum. (Mereka tidak membunuhnya dan tidak pula mereka menyalibkannya, melainkan yang disamarkan bagi mereka” (Q.s. An-Nisa’/4:157).

Makalah yang disampaikan dalam “Pengajian Injil” yang diselenggarakan Institute for Syriac Christian Studies (ISCS) Surabaya, di Gedung Keuskupan, Jl.W.R.Supratman No.4, Surabaya, 2 Juli 2004 itu penting untuk dikritisi. Meski sudah lewat, makalah yang dimuat di http://www.iscs.or.id/ sangat mendasar bagi “akidah”.

Penyaliban Yesus

(Al-Masih) dan ‘penderitaannya’ (the passion of Christ) dalam akidah Islam, bukan saja tidak mendapat tempat, namun juga ditolak oleh Bibel. Apa yang dikatakan oleh Bambang Noorsena bahwa salah satu alasan penolakan Islam adalah Qs. An-Nisa’ [4]: 157 sama sekali tidak tepat. Dalam tulisan ini, penulis mencoba memberikan beberapa catatan penting.

Pertama, kisah penyaliban Kristus dan penderitaannya (Âlâm al-Masîh) yang diklaim oleh umat Kristen sebagai bagian dogma yang harus diterima, meskipun irasional dan sama sekali tidak berdasar. Bangunan dogma ini laksana ‘sarang laba-laba’: tidak kokoh dan sudah runtuh.

Yang meruntuhkan dogma yang ‘membingungankan’ ini bukan hanya Al-Qur’an, tapi juga Bibel. Namun sayang, karena dogma –percaya tidak percaya, masuk akal atau tidak—wajib diterima. Benar, bahwa Qs. An-Nisa [4]: 157 menolak penyaliban Kristus. Penolakan Al-Qur’an bukan tanpa dasar dan tanpa alasan yang kuat.

Kisah penyaliban Kristus merupakan ‘sandiwara’ yang dibuat oleh Yahudi. Kemudian sandiwara ini mendapat sambutan yang sangat besar sekali dari umat Kristen. Umat Yahudi yang paling banyak mencerca ibunda Mariam (Maria) –wanita suci dan terhormat—dan menuduhnya berbuat “serong” lebih dicintai oleh umat Kristen, meskipun umat Islam membela habis-habisan.

Pada akhirnya, penyaliban ini menjadi dogma yang taken for granted, tanpa proses olah nalar yang cerdas.

Umat Yahudi adalah umat yang memiliki budaya “ingkar janji”, mengingkari ayat-ayat Allah, membunuh para nabi tanpa alasan yang benar, mengaku hatinya tertutup.

Mereka juga mencerca Mariam, ibu Kristus. Dan yang paling besar, mereka mengaku telah ‘membunuh’ –menyalib—Kristus utusan Allah (Qs. An-Nisa’ [4]: 156-157). Padahal, mereka tidak membunuhnya dan tidak menyalibnya, hanya orang yang diserupakan –bukan disamarkan seperti yang diklaim Bambang Noorsena.

Dan ternyata, orang-orang Yahudi sendiri ragu terhadap yang mereka salib itu. Mereka tidak memiliki pengetahuan yang valid, akhirnya mereka hanya mengikuti perkiraan (prasangka) saja (ittibâ` az-zhann).

Dan mereka memang benar-benar tidak yakin bahwa mereka telah membunuh Kristus (Qs. An-Nisa’ [4]: 157). Al-Qur’an menyatakan bahwa Kristus tidak hanya tidak disalib, bahkan diangkat oleh Allah (Qs. An-Nisa [4]: 158).

Kalau seandainya benar Kristus disalib, demi menebus dosa bapaknya Adam. Berarti Allah tidak adil. Kalau Tuhan mengorbankan ‘Anak Tunggal-Nya’, berarti Tuhan tidak memiliki kasih sayang. Bukankah dalam agama Kristen Tuhan itu bersifat ‘adil’ dan ‘pengasih’.

Jika demikian, kisah penyaliban Kristus tertolak melalui dua sifat Tuhan yang kontradiktif ini. Adalah benar apa yang termaktub di dalam Kitab Yehezkiel 18: 2-4, “Mengapa peribahasa ini terus disebut-sebut di negeri Israel? ‘Orang tua makan buah anggur yang asam rasanya, tetapi anak-anaklah yang ngilu giginya.’ Demi Aku, Allah yang hidup, TUHAN Yang Mahatinggi, peribahasa ini tidak akan lagi diucapkan di Israel. Nyawa setiap orang adalah milik-Ku, baik nyawa orang tua maupun nyawa anaknya. Orang yang berdosa, dialah yang akan mati.”

Lebih tegas lagi dijelaskan, “Orang yang berbuat dosa, dialah yang akan mati. Anak tidak harus menanggung akibat dari kesalahan ayahnya; sebaliknya, ayah pun tidak harus menanggung akibat dari dosa-dosa anaknya. Orang yang baik akan mendapat ganjaran yang baik karena perbuatannya yang baik. Dan orang yang jahat akan menderita akibat dari kejahatannya.” (Yehezkiel 18: 20).

Dengan demikian, tidak ada alasan bahwa Kristus harus menebus dosa Adam. Rentang waktu yang begitu lama – ribuan tahun—sejak Adam dan Hawa makan buah dari pohon kehidupan dan keabadian, menjadi tanda tanya besar yang tidak terpecahkan.

Bukan hanya tidak masuk akal, juga menodai ke-Mahaagungan Allah SWT. Apakah Allah Yang Mahakuasa tidak mampu mengampuni dosa para hamba-Nya? Karena dia Mahakuasa. Lalu kenapa harus menunggu Kristus dilahirkan? Paralogisme yang menggelikan!

Kedua, benarkah Kristus disalib? Bambang Noorsena dalam makalahnya juga menyatakan, ” Secara gramatikal, Q.s. An-Nisa’ 157 memang tidak menyangkal secara gamblang historisitas penyaliban Yesus.

Ungkapan lakin syubiha lahum (melainkan yang disamarkan bagi mereka), menggunakan bentuk fi’il mabni lil-majhul yang tidak menunjuk secara jelas subyek, yaitu siapa yang menggantikan Yesus dalam penyaliban.

Nama Yudas Iskariot sebagai pengganti Yesus baru muncul belakangan, dan dalam sejumlah tafsir kuno dikemukakan nama-nama lain (Simon Petrus, Simon dari Kirene, dan sebagainya).

Artinya, nama-nama inipun tidak muncul dalam teks al-Qur’an, melainkan dalam sejumlah kitab Tafsir al-Qur’an.

Keliru besar jika Bambang Noorsena menyatakan bahwa kata kerja (fi`il) syubbiha lahum fi`il al-mabni li al-majhuul. Kemudian, dengan spontan menyimpulkan bahwa ayat tersebut tidak secara gamblang menolak historisitas penyaliban Kristus.

Ini sangat penting untuk dicermati. Pertama, dalam gramatikal Arab, tidak semua fi`il al-mabnî li al-majhuul tidak jelas pelakunya. Kesimpulan dini anti-klimaks ini merupakan akibat dari ilmu bahasa Arab yang matang dipaksakan. Yang menggantikan Kristus adalah Allah. Itu adalah logika. Kesimpulan yang ‘sembrono’ dan ‘serampangan’ itu adalah akibat dari kutipan ayat yang tidak sempurna.

Jika saudara Bambang benar-benar mengutip ayat secara sempurna, dari ayat 156-158, maka kesimpulannya akan berbeda jauh. Syeikh Mutawalli Sya`rawi dalam bukunya Maryam wa Al-Masih menyatakan, bahwa kata ‘syubbiha lahum’ merupakan ‘satu bukti’ danya “kecerobohan” dalam usaha pembunuhan itu. Maka, orang lain diserupakan dengan Kristus. Hal itu mengindikasikan bahwa masalah penyaliban (pembunuhan Kristus) tidak alami. Tidak ada kepastian dari orang-orang yang ingin membunuhnya.”

Penulis kira, tidak ada bedanya kata syubbiha lahum dengan ayat yang berbunyi zuyyina li an-nassi dalam Qs. Ali `Imran [3]: 14,”Zuyyina li an-naasi hubb asy-syahawaati min an-nisaa’i wa’l-baniin a’l-qanaathiir’l-muqantharah min adz-dzahabi wa’l-fidhdhati wa’l-khili’l-musawwati wa’l-an`aami wa’l-harts….”

Apakah ayat ini juga harus dipertanyakan, “Siapa yang memberikan rasa cinta dalam diri manusia terhadap wanita, anak-anak, dst…? Apakah ayat ini juga akan disebut ‘tidak jelas’?

Jawabannya yang tepat penulis kira; kembali kepada penguasan bahasa Arab yang lebih sempurna. Bukan penguasaan yang tendesnsius. Kedua, tidak benar bahwa nama Yudas Iskariot baru muncul belakangan.

Kemudian, Bambang menyebutkan nama-nama Simon Petrus, Simon dari Kirena, dan sebagainya. Setelah itu beliau menyimpulkan, “Nama-nama inipun tidak muncul dalam teks al-Qur’an, melainkan dalam sejumlah tafsir al-Qur’an.

Benar bahwa, nama-nama Simon Petrus dan Simon dari Kirena, dan sebagainya tidak tercantum di dalam Al-Qur’an. Karena nama-nama itu tidak penting. Yang penting adalah, wa maa qataluuhu wa maa shalabuuhu, wa laakin syubbiha lahum. Itulah inti ayat Al-Qur’an dalam masalah ini. Karena aktor dalam penyaliban itu ada tiga: Yahudi, Kristus dan Yudas Iskariot. Inilah yang harus dicantumkan dalam Al-Qur’an. Sementara Simon Petrus dan Simon dari Kirena, dalam istilah bahasa Arab, laa yanfa` wa laa yadhurr.

Sejatinya, nama Yudas sudah hilang ketika –menurut keyakinan Kristen—setelah penangkapan Kristus dan diserahkan kepada para pemuka agama dan tentara Romawi, ia menghilang. Ia tidak kedengaran lagi perannya dalam panggung peristiwa.

Ke mana dia? Ini akan dijawab pada poin ketiga di bawah ini.
Ketiga, Kristus benar-benar tidak disalib menurut kesaksian Bibel. Buktinya; “Angkatlah seorang jahat untuk mengadili dia, biarlah ia didakwa oleh lawannya. Biarlah ia diadili dan dinyatakan bersalah, dan biarlah doanya dianggap dosa. Biarlah hidupnya lekas berakhir, dan jabatannya diambil oleh orang lain. Biarlah anak-anaknya menjadi yatim, dan istrinya menjadi janda.

Biarlah anak-anaknya menjadi pengemis yang mengembara, dan diusir dari reruntuhan rumahnya. Biarlah segala miliknya disita oleh penagih hutang, dan hasil jerih payahnya dirampas orang. Jangan ada yang baik hati kepadanya, atau menyayangi anak-anak yang ditinggalkannya. Biarlah seluruh keturunannya dibinasakan, dan namanya dilupakan oleh angkatan yang kemudian. Biarlah kejahatan leluhurnya tetap diingat Tuhan, dan dosa ibunya tidak diampunkan.

Biarlah dosa mereka selalu diingat Tuhan, dan tak ada yang mengenang mereka di bumi. Sebab orang itu tak pernah ingat untuk menunjukkan kasih sayang. Ia menganiaya orang miskin dan sengsara, dan membunuh orang yang tak berdaya. Ia suka mengutuk; biarlah ia sendiri terkutuk!

Ia tidak suka memberi berkat, biarlah tak ada berkat untuk dia! Baginya mengutuk itu perbuatan
biasa, sama seperti mengenakan pakaiannya. Biarlah kutuk itu merembes seperti air ke badannya, dan seperti minyak ke tulang-tulangnya.

[clor=red]Biarlah kutuk itu menutupi dia seperti pakaian, dan selalu melingkari dia seperti ikat pinggang. Tuhan, jatuhkan hukuman itu atas penuduhku, atas orang yang bicara jahat tentang aku. Tetapi tolonglah aku sesuai dengan janji-Mu, ya Tuhan Allahku, selamatkanlah aku karena kebaikan dan kasih-Mu… (Mazmur 109: 6-21).[/color]

Apa yang muncul dari Mazmur di atas? Pertama, Yudas adalah orang yang akan dihakimi, bukan
Kristus. Kedua, ditetapkan atasnya dosa. Ketiga, ia pasti akan disalib. Anaknya akan menjadi yatim, dan istirinya menjadi janda. Keempat, dialah yang mengkhianati Kristus dan berusaha untuk menghindar darinya. Kelima, Allah benar-benar akan menyelamatkan Kristus. Khsusus poin ketiga, Kristus tidak punya anak, karena dia tidak menikah.

Berarti tepat, itu adalah Yudas. Kemudian, menurut syariat Yahudi, yang disalib adalah terlaknat (terkutuk) (Ulangan 21: 22-23).

Penulis kira, tidak ada satu orang Kristenpun yang menerima jika Kristus dilaknat (dikutuk); raja
penyelamat harus tetap hidup. Bagaimana mungkin Kristus mati disalib (Yohanes 12: 34); dalam Matius 16: 21 Kristus menyatakan bahwa ‘ia akan dibunuh’.

Namun ini kontradiksi dengan injil Markus dan Lukas, karena kedua injil itu menggunakan kata ganti orang ketiga, ‘Anak Manusia’, bukan Kristus (Markus 8: 31 dan Lukas 18: 31-33).

Dengan demikian, Markus dan Lukas sepakat menggunakan kata ‘Anak Manusia’. Para murid Kristus sendiri –ketika ia berbicara tentang ‘Anak Manusia’ yang akan mati disalib—tidak memahami kata-katanya (Lukas 18: 34 dan Yohanes 20: 9).

Tidak ada satu ayatpun dalam Bibel, ketika Yesus berbicara tentang penyaliban dengan menggunakan ‘Anak Allah’. Dengan demikian, umat Kristen tidak ada alasan untuk mengakui penyalibannya. Silahkan dicermati dalil yang satu ini, “Memang Anak Manusia akan mati (perhatikan dia tidak mengatakan dibunuh) seperti yang tertulis dalam Alkitab. Tetapi celakalah (artinya siksa dan sakit) orang itu yang melalui tanggannya diserahkan anak manusia. Lebih baik bagi dia kalau tidak pernah dilahirkan (Matius 26: 24). Apakah Kristus lebih baik untuk tidak dilahirkan ke dunia ini?

Inilah kata Yudas di atas kayu salib, [“Eli, Eli, lama sabakhtani?” yang berarti, “Ya Allahku, ya Allahku mengapakah Engkau meninggalkan aku? (Matius 27: 46). Karena jika yang disalib itu Kristus, maka ia harus; ridha dengan ketentuan Allah dan takdir-Nya (secara nâsût dan lâhût, secara kemanusiaan dan keilahian) . Selain itu ia seyogyanya bergembira, bukan malah gelisah, karena ia telah menebus dosa manusia, dan itu merupakan misinya.

Bagaimana mungkin misinya tersebut menyebabkan dia merasa gelisah, khususnya jika ia seorang nabi, atau tuhan atau anak tuhan sebagaimana yang diklaim oleh umat Kristen.

Perhatikanlah ayat Injil ini, ” Tinggal sesaat saja kalian tak akan melihat aku lagi, dan setelah itu sesaat lagi kalian akan melihat aku (Yohanes 16: 16).

Bagaimana mungkin para murid Kristus tidak melihatnya, padahal ia berada di atas kayu salib. Karena ternyata, para murid juga tidak mampu memahami perkataan Kristus ketika berbicara tentang itu. ” Beberapa murid mulai bertanya satu sama lain: “Apa maksud dari perkataannya: “Tinggal sesaat saja, kalian tidak akan melihat aku lagi, dan setelah itu sesaat lagi kalian tidak akan melihat aku.”

Juga apa maksudnya: “Aku pergi kepada Bapa?” Mereka terus bertanya, “Apa artinya sesaat? Kita tidak mengerti ia bicara apa.” (Yohanes 16: 17-18). Itu adalah gaya bahasa Kristus, penuh metafora dan majaz. Itulah usaha Kristus untuk mem-filter iman mereka. Juga agar mereka tidak gusar, tenang: karena Kristus tidak akan mati di tiang salib.

Kristus hanya pergi sebentar, meninggalkan para muridnya. Setelah itu, ia kembali menemui mereka. Kalian tidak akan aku tinggalkan sendirian sebagai yatim piatu.

Tinggal sebentar saja dunia tak akan melihat aku lagi. Tetapi kalian akan melihat aku. Dan karena aku hidup, kalian pun akan hidup. (Yohanes 14: 18-19).

Perhatikan, Kristus tidak menyatakan ‘akan hidup’, tapi ‘hidup’. Kenapa? Karena dia memang tidak mati. Kalau memang Kristus akan hidup (bangkit) lagi, maka tidak ada gunanya Maria Magdalena membawa ramu-ramuan (Markus 16: 1). Karena ramuan untuk orang mati, bukan untuk Kristus yang tidak (belum) mati.

Bahkan ketika bertemu Maria Magdalena, Kristus enggan untuk disentuh. Ia berkata, [coor=red”Jangan pegang aku, kata Yesus, karena aku belum naik kepada Bapa.” (Yohanes 20: 16-17). [/color]

Kalau benar Kristus disalib, ia akan berkata, “Aku telah bangkit dari kematian (dari antara orang-orang mati). Tapi ia malah mengatakan, “Aku belum naik kepada Bapa.” Apa artinya? Artinya ia belum mati, karena memang tidak disalib.

Maria sendiri menyatakan bahwa dia telah melihat Tuhan, bukan menyatakan bahwa Tuhan telah bangkit dari kematian (Yohanes 20: 18). Bukankah pada pertemuan kedua dengan murid-muridnya, ia memperlihatkan tangan dan lambungnya? Artinya, di tangannya tidak ada bekas paku salib.

Wajah Kristus sebenarnya sudah lebih dari cukup untuk menyatakan bahwa dia benar-benar Kristus, tanpa harus memperlihatkan bekas paku segala. Tapi ini benar-benar bukti bahwa ia ingin meyakinan para muridnya, bahwa ia tidak disalib, dan belum mati.

Untuk mempersingkat, ini satu dalil lagi bahwa Kristus (sebagaimana diyakini kalangan Kristen) tidak sedang disalib. “Yesus berkata kepada mereka, “Aku akan pergi, dan kalian akan mencari Aku, namun kalian tidak akan mampu datang ke tempat Aku berada. Namun kalian akan mati dalam dosa-dosa kalian (Yohanes 8: 21).

Konklusi dari ayat Injil ini adalah: pertama, orang-orang Yahudi akan berusaha untuk menangkap Yesus, namun mereka tidak mampu melakukannya. Kedua, mereka akan menanggung dosa atas usaha pembunuhannya, ketika mereka membunuh Yudas yang tersirat dalam ungkapan Yesus: “Kalian akan mati dalam dosa kalian”.

Ini adalah dalil yang menyatakan bahwa Kristus benar-benar selamat dari usah penyaliban. Maka wajar jika nama Yudas langsung menghilang dari panggung sandiwara.

Dengan demikian, Kristus benar-benar tidak disalib. Karena kalau dia disalib, berarti ayat ini harus dicopot dari Injil, Padahal kami berharap bahwa dialah yang akan membebaskan Israel…(Lukas 24: 21).

Argumen Bambang Noorsena, yang beliau kutip dari Tharif Khalidi, dikisahkan bahwa seorang bernama Al-Urits telah bermimpi bertemu Yesus, dan bertanya kepada Yesus: “Apakah penyaliban benar-benar terjadi?”

“Ya, Benar! Saya memang disalibkan”, jawab Yesus. Lalu si penerima mimpi melaporkan mimpinya kepada seorang ulama. “Tidak Yesus tidak disalib!”, ulama itu marah sambil mengutip Q.s. An-Nisa’ 157-158. “Yang bermimpi disalib itulah yang akan disalibkan!”, demikian kata sang ulama.

Menurut Khalidi, sosok al-Urits itu memang sosok historis yang hidup zaman Sultan Saladin. Ini adalah kisah yang tidak populer hingga hari ini dan tidak dapat dipertanggungjawabkan validitasnya. Apalagi jika ia diklaim sebagai “sosok historis” yang hidup di zaman Sultan Saladin. Tentu saja kisah besar ini akan tersebar, tapi buktinya tidak []. Wallahua`lamu bi as-shawab!

*) Penulis adalah Mahasiswa Universitas Al-Azhar-Mesir, Fakultas Uhuluddin, jurusan Tafsir. Dimuat di http://www.hidayatullah.com/

https://tausyah.wordpress.com