Posts Tagged ‘Amirul Mukminin’

https://tausyah.wordpress.com/Unta-Gurun-Pasir

Unta Gurun Pasir

Ini adalah sebuah kisah tentang kepemimpinan Ali ibn Abi Thalib dalam Khulafaurrasyidin yang sangat patut kita teladani.

Tidak ada khalifah yang paling mencintai ukhuwwah, ketika orang berusaha menghancurkannya, seperti Ali ibn Abi Thalib. Baru saja dia memegang tampuk pemerintahan, beberapa orang tokoh sahabat melakukan pemberontakan. Dua orang di antara pemimpin Muhajirin meminta izin untuk melakukan umrah. Ternyata mereka kemudian bergabung dengan pasukan pembangkang. Walaupun menurut hukum Islam pembangkang harus diperangi, Ali memilih pendekatan persuasif. Dia mengirim beberapa orang utusan untuk menyadarkan mereka. Beberapa pucuk surat dikirimkan. Namun, seluruh upaya ini gagal. Jumlah pasukan pemberontak semakin membengkak. Mereka bergerak menuju Basra.

Dengan hati yang berat, Ali menghimpun pasukan. Ketika dia sampai di perbatasan Basra, di satu tempat yang bernama Alzawiyah, dia turun dari kuda. Dia melakukan shalat empat rakaat. Usai shalat, dia merebahkan pipinya ke atas tanah dan air matanya mengalir membasahi tanah di bawahnya. (lebih…)

MadinahTeror Abdul Rahman bin Muljam

Sekelompok orang-orang Khawarij berkumpul memperbin­cangkan nasib sanak famili dan teman-teman mereka yang telah mati terbunuh dalam berbagai peperangan. Mereka berpendapat, bahwa tanggung-jawab atas terjadinya pertumpahan darah selama ini harus dipikul oleh tiga orang: Ali bin Abi Thalib, Muawiyah bin Abi Sufyan dan Amr bin Al Ash. Tiga orang itu oleh mereka disebut dengan istilah “pemimpin-pemimpin yang sesat”.

Salah seorang di antara yang sedang berkumpul itu, bernama Albarak bin Abdullah. Ia bangkit berdiri sambil berkata: “Akulah yang akan membikin beres Muawiyah bin Abi Sufyan!”

Teriakan Albarak itu diikuti oleh Amr bin Bakr dengan kata-­kata: “Aku yang membikin beres Amr bin Al Ash!”

Abdurrahman bin Muljam tak mau ketinggalan. Ia berteriak: “Akulah yang akan membikin beres Ali bin Abi Thalib!”

Tiga orang tersebut kemudian bersepakat untuk melaksana­kan pembunuhan dalam satu malam terhadap tiga orang calon korban: Imam Ali r.a., Muawiyah bin Abi Sufyan dan Amr bin Al Ash. Terdorong oleh kekacauan aqidah dan semangat balas den­dam, tiga orang Khawrij itu bertekad hendak cepat-cepat melak­sanakan rencana mereka.

Berangkatlah Abdurrahman bin Muljam meninggalkan Mak­kah menuju Kufah. Setibanya di Kufah, ia singgah di rumah salah seorang teman-lamanya. Di situ ia bertemu dengan seorang gadis bernama Qitham binti Al Akhdar. Paras gadis ini elok dan cantik. Tidak ada gadis lain di daerah itu yang mengungguli kecantikan parasnya. Ayah dan saudara lelaki Qitham adalah orang-orang Khawarij yang mati terbunuh dalam perang Nehrawan.

Waktu melihat kecantikan gadis itu, Abdurrahman bin Mul­jam sangat terpesona dan tergiur hatinya. Dengan terus terang ia bertanya kepada Qitham, bagaimana pendapat gadis jelita itu kalau ia mengajukan lamaran untuk dijadikan isteri. Qitham ketika itu menyahut: “Maskawin apa yang dapat kauberikan kepadaku?”

“Terserah kepadamu, apa yang kauinginkan,” jawab Ab­durrahman bin Muljam.

“Aku hanya minta supaya engkau sanggup memberi empat macam,” sahut gadis itu menjelaskan: “Uang sebesar 3.000 dirham, seorang budak lelaki dan seorang budak perempuan dan kesang­gupanmu membunuh Ali bin Abi Thalib!”

Mengenai permintaanmu yang berupa uang 3.000 dirham, se­orang budak lelaki dan seorang budak perempuan, aku pasti dapat memenuhinya,” jawab Abdurrahman, “tetapi tentang membunuh Ali bin Abi Thalib, bagaimana aku bisa menjamin?”

“Engkau harus bisa mengintai kelengahannya,” ujar Qitham. “Jika engkau berhasil membunuh dia, aku dan engkau akan ber­sama-sama merasa lega dan engkau akan dapat hidup disampingku selama-lamanya!”

Sebenarnya, sebelum Abdurrahman bertemu dengan Qi­tham binti Al Akhdar, ia sudah mulai bimbang melaksanakan niat membunuh Imam Ali r.a. Sebab, tidaklah mudah bagi dirinya me­laksanakan pembunuhan itu. Perbuatan itu merupakan tindakan petualangan yang berbahaya bagi keselamatan jiwanya. Tetapi su­ratan takdir rupanya mengendaki supaya Abdurrahman lebih ber­tambah berani, hilang keraguannya dan nekad berbuat dosa yang amat jahat. Tampaknya takdir membiarkan tangan Abdurrahman nyelonong bagaikan anak-panah terlepas dari busurnya. Secara kebetulan ia seolah-olah digiring singgah ke rumah teman lamanya dan dipertemukan dengan seorang gadis bernama Qitham! Setelah terjadi pembicaraan tentang maskawin, akhirnya Abdurrahman

mernberikan jawaban terakhir: “Permintaanmu tentang pembu­nuhan Ali bin Abi Thalib akan kupenuhi.”

Sebagaimana tersebut di atas tadi Al-Barak bin Abdullah, Amr bin Bakr dan Abdurrahman bin Muljam, telah sepakat hendak melasanakan pembunuhan serentak dalam satu malam, pada waktu subuh. Tetapi terjadi satu kebetulan yang agak aneh juga, karena tragedi yang ditimbulkan oleh tiga orang komplotan tersebut ter­nyata berakhir dengan akibat yang berlainan.

Amr bin Al-Ash secara kebetulan tidak mengalami nasib seperti yang dialami temannya. Cerita tentang peristiwanya itu sebagai berikut: “Pada malam terjadinya peristiwa itu, Amr bin Al-Ash me­rasa terganggu kesehatannya. Ia tidak keluar bersembahyang di masjid dan tidak juga untuk keperluan lainnya. Ia memerintahkan seorang petugas keamanan, bernama Kharijah bin Hudzafah, su­paya mengimami shalat subuh jama’ah sebagai penggantinya. Amr bin Bakr menduga, bahwa Kharijah itu adalah Amr bin Al-Ash. Amr bin Bakr segera menyelinap dan mendekat, kemudian Kharijah ditikam dengan senjata tajam. Seketika itu juga Kharijah meninggal dan Amr bin Bakr sendiri tertangkap basah. Waktu di­hadapkan kepada Amr bin Al-Ash, ia (Amr bin Al Ash) berkata kepadanya : ‘Engkau menghendaki nyawaku, tetapi Allah ter­nyata menghendaki nyawa Kharijah bin Hudzafah!’ Setelah itu ia memerintahkan supaya Amr bin Bakr segera dibunuh.”

Adapun Muawiyah yang menjadi sasaran Al-Barak bin Ab­dullah, pada saat ia sedang lengah, ditikam oleh Al-Barak. Mujur bagi Muawiyah. Ia tidak mati, sebab tikaman itu hanya mengenai samping pantatnya. Hal itu dimungkinkan karena sejak terbuka­nya permusuhan antara Imam Ali r.a. dengan dirinya, Muawiyah selalu mengenakan baju berlapis besi. Al-Barak tertangkap dan ia dihadapkan kepada Muawiyah.

Mengenai peristiwa ini terdapat penulisan sejarah yang agak berlainan. Abu Faraj Al-Ashfahaniy mengatakan: “Waktu Al-Ba­rak dihadapkan kepada Muawiyah, ia berkata: “Aku membawa berita untukmu.” Muawiyah bertanya: “Berita Apa?”

Al-Barak lalu menceritakan apa yang pada malam itu dilaku­kan oleh dua orang temannya. “Malam itu…,” katanya, “…Ali bin Abi Thalib akan mati dibunuh. Biarlah aku kau tahan du­lu. Jika benar ia mati terbunuh, terserahlah apa yang hendak kau lakukan terhadap diriku. Tetapi jika ternyata ia tidak berhasil di­bunuh, aku berjanji kepadamu, akulah yang akan membunuhnya. Lantas aku akan kembali lagi kepadamu menyerahkan diri. Selan­jutnya terserah hukuman apa yang akan kau jatuhkan atas diriku!”

Al-Barak lalu ditahan oleh Muawiyah. Setelah terdengar beri­ta tentang terbunuhnya Imam Ali r.a., Al-Barak dibebaskan.

Sumber riwayat lain mengatakan dengan pasti, bahwa waktu Al-Barak dihadapkan kepada Muawiyah, seketika itu juga Muawi­yah memerintahkan supaya Al-Barak segera dibunuh.

Wafat

Allah s.w.t. rupanya telah mentakdirkan bahwa Imam Ali r.a. harus meninggal karena pembunuhan pada waktu subuh tanggal 17 Ramadhan, tahun 40 Hijriyah. Ketika Imam Ali r.a. sedang menu­ju masjid, sesudah mengambil air sembahyang untuk melakukan shalat subuh, tiba-tiba muncul Abdurrahman bin Muljam dengan pedang terhunus. Imam Ali r.a. yang terkenal ulung itu tak sempat lagi mengelak. Pedang yang ditebaskan Abdurrahman tepat menge­nai kepalanya. Luka berat merobohkannya ke tanah. Imam Ali r.a. segera diusung kembali ke rumah.

Saat itu semua orang geram sekali hendak melancarkan tinda­kan balas dendam terhadap Ibnu Muljam. Tetapi Imam Ali r.a. sendiri tetap lapang dada dan ikhlas, tidak berbicara sepatahpun tentang balas dendam. Tak ada isyarat apa pun yang diberikan ke arah itu. Semua orang yang berkerumun di pintu rumahnya merasa sedih. Mereka berdoa agar Imam Ali r.a. dilimpahi rahmat Allah yang sebesar-besarnya dan dipulihkan kembali kesehatannya. Semua mengharap semoga ia dapat melanjutkan perjuangan meng­hapus penderitaan manusia.

Beberapa orang sahabat Imam Ali r.a. mendatangkan tabib terbaik di Kufah. Seorang tabib yang berpengalaman mengobati luka, bernama Atsir Ibnu Amr bin Hani. Setelah memeriksa luka-luka di kening, dengan hati cemas dan suara putus asa, Atsir memberi tahu: “Ya Amiral Mukminin, berikan sajalah apa yang hendak anda wasiyatkan. Pukulan orang terkutuk itu mengenai se­laput otak anda.”

Imam Ali r.a. tidak mengeluh. Ia menyerahkan nasib se­penuhnya kepada Allah s.w.t. Ia memanggil dua orang puteranya: Al Hasan r.a. dan Al Husein r.a. Dari seluruh hidupnya yang pe­nuh dengan pengalaman-pengalaman pahit dalam perjuangan me­negakkan kebenaran Allah dan Rasul-Nya, Imam Ali r.a. menarik pelajaran-pelajaran yang sangat tinggi nilainya. Hal itu dituangkan ­dalam wasiyat yang diberikan kepada putera-puteranya beberapa saat sebelum meninggalkan dunia yang fana ini.

Abu Ja’far Muhammad bin Jarir At Thabariy dalam Ta­rikh-nya dan Abu Faraj Al Ashfahaniy dalam Maqatilut Thali­biyyin masing-masing mengetengahkan wasiyat Imam Ali r.a. sebagai berikut:

“Aku bersaksi bahwa tiada Tuhan selain Allah Yang Maha Esa tanpa sekutu apapun bagi-Nya, dan bahwa Muhammad adalah hamba Allah dan Rasul-Nya, diutus membawa hidayat dan agama yang benar, untuk dimenangkan atas agama-agama lain, walau ka­um musyrikin tidak menyukainya. Kemudian shalatku, ibadahku, hidup dan matiku, semuanya kupersembahkan kepada Allah, Tuhan penguasa alam semesta, tanpa sekutu apa pun bagi-Nya. Itu­lah yang diperintahkan kepadaku, dan aku ini adalah orang muslim pertama.

“Kuwasiyatkan kepada kalian berdua supaya tetap bertaqwa kepada Allah. Janganlah kalian mengejar-ngejar dunia walau dunia mengejar kalian, dan janganlah menyesal jika ada sebagian dunia itu lepas meninggalkan kalian. Katakanlah hal-hal yang benar dan

berbuatlah untuk memperoleh pahala akhirat. Jadilah kalian pe­nentang orang dzalim dan pembela orang madzlum.”

“Kuwasiyatkan kepada kalian berdua, kepada semua anak-­anakku, para ahlu-baitku, dan kepada siapa saja yang mendengar wasiyatku ini, supaya senantiasa bertaqwa kepada Allah. Hendak­nya kalian mengatur baik-baik urusan kalian dan jagalah hubungan persaudaraan di antara kalian. Sebab aku mendengar sendiri Ra­sul Allah s.a.w. mengatakan: Memperbaiki dan menjaga baik-ba­ik hubungan persaudaraan antara sesama kaum muslimin lebih afdhal daripada sembahyang dan puasa umum.[5] Ketahuilah, bahwa pertengkaran itu merusak agama, dan ingatlah bahwa tak ada kekuatan apa pun selain atas perkenaan Allah. Perhatikanlah keadaan sanak famili kalian dan eratkan hubungan dengan mereka, Allah akan melimpahkan kemudahan kepada kalian di hari per­hitungan kelak.”

“Allah…, Allah, perhatikanlah anak-anak yatim. Janganlah mereka itu sampai kelaparan dan jangan sampai kehilangan hak. Aku mendengar sendiri Rasul Allah s.a.w. berpesan: Barang sia­pa mengasuh anak yatim sampai ia menjadi kecukupan, orang itu pasti akan dikaruniai sorga oleh Allah. Sama halnya seperti siksa neraka yang pasti akan ditimpakan Allah kepada orang yang me­makan harta anak yatim.”

“Allah…, Allah, perhatikanlah Al-Qur’an, jangan sampai ka­lian kedahuluan orang lain dalam mengamalkannya. Allah…, Allah…, perhatikanlah tetangga-tetangga kalian, sebab mereka itu adalah wasiyat Nabi kalian. Sedemikian sungguhnya beliau mewasyiat­kan, sampai kami menduga bahwa beliau akan menetapkan hak waris bagi mereka. Allah…, Allah…, perhatikanlah rumah Allah, mas­jid Al-Haram, janganlah kalian tinggalkan selama kalian masih hi­dup. Sebab jika sampai kalian tinggalkan, kalian tidak akan dipan­dang orang. Barang siapa selalu dekat kepadanya, Allah akan mengampuni dosa-dosanya yang telah lalu. Allah…, Allah…, pelihara­lah shalat baik-baik, sebab shalat itu amal perbuatan yang paling mulia dan merupakan tiang agama kalian. Allah…, Allah…, tunaikan­lah zakat sebagaimana mestinya, sebab zakat itu meniadakan murka Allah. Allah…, Allah…, laksanakanlah puasa bulan Rama­dhan, sebab puasa itu merupakan penutup jalan ke neraka.”

“Allah…, Allah…, berjuanglah di jalan Allah dengan harta dan jiwa kalian. Hanya ada dua macam saja orang yang berjuang di jalan Allah, yaitu seorang pemimpin yang memberikan bimbingan dan orang yang patuh kepada pemimpin serta mengikuti kebena­ran pimpinannya. Allah…, Allah…, jagalah baik-baik keturunan Nabi kalian, jangan sampai mereka dianiaya orang di depan mata kalian. Jagalah baik-baik para sahabat Nabi yang tidak meng­ada-adakan bid’ah mungkar, dan yang tidak melindungi orang yang mengada-adakan bid’ah mungkar. Sebab Rasul Allah s.a.w. telah memberi wasiyat tentang mereka itu, dan mengutuk orang dari mereka atau orang yang bukan mereka, yang mengada-adakan bid’ah mungkar dan mengutuk pula orang-orang yang memberi perlindungan kepada mereka.”

“Allah…, Allah…, perhatikanlah para fakir miskin. Ikut serta­kan mereka dalam kehidupan kalian. Allah…, Allah…, jagalah baik-baik wanita kalian dan para hamba sahaya kalian, sebab Rasul Allah s.a.w. mewasiyatkan supaya kalian menaruh perhatian kepada dua golongan lemah itu, yaitu kaum wanita dan para hamba sahaya.”

Setelah berhenti sebentar untuk memulihkan tenaga yang semakin melemah, Imam Ali r.a. melanjutkan:

“Dalam menjalankan kewajiban terhadap Allah, janganlah ka­lian takut dicela orang lain. Allah akan melindungi dan menyela­matkan kalian dari orang-orang yang hendak berbuat jahat terha­dap kalian. Berkatalah baik-baik kepada semua orang sebagaimana telah diperintahkan Allah kepada kalian. Janganlah kalian lengah meninggalkan amr ma’ruf dan nahi mungkar, agar Allah tidak me­limpahkan kekuasaan kepada orang-orang yang berperangai jahat. Sebab dalam keadaan seperti itu doa kalian tidak akan dikabulkan lagi.”

“Hendaknya kalian saling berhubungan erat, saling tolong­-menolong dan saling bercinta-kasih. Janganlah kalian saling memu­tuskan hubungan, saling bertolak belakang atau bercerai-berai. Hendaknya kalian saling bantu-membantu dalam kebajikan dan taqwa, dan janganlah saling-bantu dalam berbuat dosa dan permu­suhan.”

“Bertaqwalah kalian kepada Allah, karena sesungguhnya siksa Allah itu sangat berat. Semoga Allah senantiasa menjaga dan me­melihara kalian, hai para ahlul-bait. Allah melestarikan Nabi s.a.w. melalui kalian. Kuucapkan selamat tinggal sebaik-baiknya ke­pada kalian dan kuucapkan pula Assalaamu’alaikum wa rahma­tullahi wabarakaatuh…”

Ibnul Atsir meriwayatkan, bahwa sesudah Imam Ali r.a. menyampaikan wasiyat tersebut kepada Al Hasan r.a. dan Al Hu­sin r.a., ia menoleh kepada puteranya yang lain, Muhammad Ibnul Hanafiyah, lalu bertanya: “Apakah engkau sudah mema­hami benar-benar apa yang kuwasiyatkan kepada kedua orang sau­daramu?”

“Ya,” jawab Muhammad Ibnul Hanafiyah.

“Kepadamu juga kuwasiyatkan,” kata Imam Ali r.a. meneruskan: “hal yang sama seperti itu. Kuwasiyatkan juga supaya engkau selalu menghormati dua orang saudaramu yang besar itu. Janganlah mereka kautinggalkan dalam urusan apa pun.”

Selesai menekankan hal itu kepada Muhammad Ibnul Hanafi­yah, Imam Ali r.a. menambahkan wasiyatnya kepada Al Hasan r.a. dan Al Husein r.a. “Kuwasiyatkan kepada kalian berdua supaya menjaga dia (Muhammad Ibnul Hanafiyah) dengan baik. Sebab dia itu saudara kalian sendiri dan putera ayah kalian. Kalian tahu benar, bahwa ayah kalian juga mencintai dia…”

Imam Ali r.a. mengulangi ucapannya tentang Abdurrahman bin Muljam. Kepada Al Hasan r.a. Imam Ali r.a. berkata: “Per­hatikanlah orang yang memukulku. Berilah ia makan seperti ma­kananku dan minuman seperti minumanku!”

Ibnu Abil Hadid menambahkan catatan wasiyat Imam Ali r.a. yang disampaikan kepada dua orang puteranya, Al Hasan r.a. dan Al Husein r.a.:

“Anakku…, camkanlah baik-baik empat perkara yang hendak kukatakan. Selama engkau berpegang teguh pada empat perkara itu, apa pun yang kaulakukan tidak akan mendatangkan mudharat kepadamu:

1. Sesungguhnya kekayaan yang paling tinggi nilainya ialah akal fikiran;

2. Kemelaratan yang paling berat ialah kebodohan;

3. Kesepian yang paling menakutkan ialah bangga pada diri sendiri;

4. Dan keturunan yang paling mulia ialah budi pekerti luhur.

“Anakku…, hati-hatilah engkau berteman dengan orang pan­dir. Sebab jika ia hendak menguntungkan dirimu, justru ia berbuat yang merugikan dirimu. Hati-hatilah engkau berteman dengan orang kikir. Sebab ia akan menjauhkan engkau dari sesuatu yang paling kau butuhkan. Hati-hatilah engkau berteman dengan orang durhaka, sebab ia akan menjual dirimu dengan harga murah. Hati-hatilah engkau berteman dengan seorang pembohong, sebab ia seperti fatamorgana, yang jauh didekatkan kepadamu dan yang dekat dijauhkan darimu…”

Mengenai wasiatnya tentang Abdurrahman bin Muljam; me­nurut Ibnu Abil Hadid, Imam Ali r.a. menambahkan sebagai ber­ikut:

“Hai Bani Abdul Mutthalib, aku tidak ingin kalian mengam­bil tindakan pembalasan sampai menumpahkan darah kaum muslimin dengan alasan Amirul Mukminin mati terbunuh! Amirul Mukminin mati terbunuh! Janganlah kalian membunuh orang, selain orang yang membunuhku. Ingatlah, kalau aku mati karena tikaman ini, tikamlah orang yang menikamku dengan ti­kaman yang sama. Janganlah kalian sampai mencincang orang itu, sebab aku mendengar sendiri Rasul Allah s.a.w. pernah mewanti-­wanti: ‘Hati-hatilah kalian jangan sampai melakukan pencincang­an, walau terhadap anjing galak sekalipun’…”

Ketika itu ada orang bertanya kepada Imam Ali r.a.: “Apakah kami harus membai’at Al Hasan sepeninggal anda?”

“Aku tidak menyuruh dan tidak melarang,” sahut Imam Ali r.a. Ia tidak mau memaksakan kepada kaum muslimin siapa yang akan menggantikannya sebagai Amirul Mukminin. Terserahlan ke­pada kaum muslimin sendiri siapa yang akan mereka angkat se­bagai Khalifah. Ini merupakan pengakuan sedalam-dalamnya bah­wa setiap orang mempunyai kebebasan untuk memilih pimpinan yang disukainya.

Tidak lama kemudian Imam Ali r.a. menoleh kepada orang-­orang di sekitarnya…, lalu berkata: “Kemarin aku adalah sahabat kalian. Hari ini aku menjadi contoh yang selalu mengingatkan ka­lian. Dan, esok hari aku berpisah meninggalkan kalian. Semo­ga Allah memberi pengampunan kepadaku dan kepada kalian.”

Selama dua hari sejak terjadinya peristiwa itu, Imam Ali r.a. menderita, kesakitan yang beliau tahan sedemikian rupa kuatnya tanpa mengeluh. Dengan hati mantap ia berserah diri pada Allah s.w.t., mewasiatkan kebajikan kepada orang lain, dan, berpesan supaya berkasih-sayang kepada kaum yang lemah.

[1]Sebuah tempat terletak antara Hirah dan Kufah.

https://tausyah.wordpress.com

Masjid-e-NabvGerakan Khawarij

Imam Ali r.a. adalah seorang yang tidak pernah berbuat se­suatu yang berlainan antara ucapan dan perbuatan. Ia menolak keras hasil perundingan antara Abu Musa dengan Amr, tetapi ka­rena ia telah menyatakan kesediaan menerima “tahkim” –walau­pun hanya karena ia ditekan oleh pengikutnya— prinsip itu di­pertahankan dengan konsekuen, selama fihak lawan benar-benar hendak mencari penyelesaian berdasarkan hukum Al-Qur’an.

Hal ini dapat dibuktikan dengan penjelasan-penjelasan yang diberikan kepada beberapa orang pengikutnya yang mengaju­kan pertanyaan. Dalam penjelasannya itu Imam Ali r.a. mengata­kan:

“Kami menerima tahkim. Oleh karena itu tahkim harus di­dasarkan kepada Kitab Allah, Al-Qur’an. Al Qur’an itu tertulis pada lembaran-lembaran. Al-Qur’an tidak berbicara dengan lisan dan tidak bisa tidak memerlukan penafsiran. Penafsiran itu sudah tentu keluar dari ucapan orang. Setelah mereka minta kepada kami su­paya kami mengadakan penyelesaian berdasarkan tahkim Al-Qur’an, kami tidak mau menjadi fihak yang berdiri di luar Al-Qur’an. Sebab Allah ‘Azaa wa Jalla telah berfiman, artinya: “Jika kalian bertengkar mengenai sesuatu, maka kembalikanlah hal itu kepada Allah dan Rasul-Nya.” (S. An Nisa: 59).

“Mengembalikan persoalan kepada Allah,” kata Imam Ali r.a. seterusnya, “berarti kami harus mencari penyelesaian hukum di dalam Kitab Allah. Dan mengembalikan persoalan kepada Ra­sul-Nya, berarti kami harus mengambil sunnah Rasul Allah. Jika persoalan benar-benar hendak diselesaikan berdasar hukum yang ada dalam Kitab Allah, sesungguhnyalah kami lebih berhak ber­buat daripada orang lain. Dan kalau hendak diselesaikan ber­dasarkan sunnah Rasul Allah, pun kami jugalah yang lebih ber­hak daripada orang lain.”

Adapun ucapan mereka yang mengatakan: ‘mengapa diada­kan tenggang waktu (gencatan senjata) dalam menempuh jalan tahkim?’ Kata Imam Ali r.a. lebih lanjut, hal itu kami lakukan agar menjadi jelas bagi orang yang tidak mengerti, dan agar menjadi mantap bagi orang yang sudah mengerti. Mudah-mudahan selama gencatan senjata itu Allah akan memperbaiki keadaan ummat, agar menjadi terang, dan awal kesesatan itu dapat segera dilurus­kan.”

“Sesungguhnya yang paling afdhal di sisi Allah,” kata Imam Ali r.a. pula, “ialah orang yang lebih menyukai berbuat kebenaran walau kebenaran itu mendatangkan kesukaran dan kerugian bagi­nya. Yaitu orang yang pantang berbuat kebatilan, walau kebatil­an itu akan mendatangkan kemudahan dan keuntungan baginya. Jadi, bagaimanakah kalian sampai menjadi bingung, dan dari mana­kah keraguan yang menghinggapi fikiran kalian?”

Imam Ali r.a. Digugat

Sekarang, setelah ternyata politik tahkim itu benar-benar ha­nya tipu muslihat Muawiyah, kelompok kontra tahkim yang ter­dapat dalam pasukan Imam Ali r.a. menggugat, mengungkit dan melemparkan segala kesalahan kepada pundak Imam Ali r.a. Lebih aneh lagi karena banyak yang tadinya pro tahkim, setelah kelom­pok kontra tahkim bergerak, mereka ikut-ikutan menentang Imam Ali r.a. dan bergabung dengan kelompok kontra tahkim.

Kelompok kontra tahkim itu dalam sejarah dikenal dengan nama Khawarij (orang-orang yang keluar meninggalkan barisan Imam Ali r.a.). Pada suatu hari kelompok ini berkumpul di rumah Abdullah bin Wahb Ar Rasibiy. Di tempat pertemuan ini tampil tokoh-tokoh mereka bergantian beragitasi membakar semangat perlawanan terhadap Imam Ali r.a.

Abdullah Ar Rasibiy dalam pidatonya mengatakan: “Sauda­ra-saudara, bagi kaum yang beriman kepada Allah Ar Rahman, yang patuh kepada hukum Al-Qur’an, kehidupan dunia ini harus diisi dengan amr ma’ruf dan nahi mungkar, serta dengan perkata­an yang benar walau pahit dan berbahaya. Sekalipun pahit dan berbahaya, tetapi pada hari kiyamat kelak orang akan memperoleh keridhoan Allah dan kekal menikmati kehidupan sorga. Oleh karena itu marilah kita keluar meninggalkan negeri yang pendu­duknya sudah menjadi dzalim ini dan pergi ke daerah lain! Kita harus menolak bid’ah yang sesat ini (yakni: tahkim) dan menen­tang hukum yang durhaka!”

Sedang Hurqush bin Zuhair berkata: “Saudara-saudara, ke­senangan di dunia ini sungguh amat sedikit. Tidak ayal lagi, kita ini pasti akan berpisah dengan dunia. Oleh karena itu kalian jangan sampai merasa terikat oleh keindahan dan kegemerlapannya, atau ingin tetap hidup selama-lamanya! Janganlah kalian lengah dari kewajiban menuntut kebenaran dan menentang kebatilan.

Sesung­guhnya Allah senantiasa beserta orang yang bertawa dan orang-­orang yang berbuat kebajikan. Hai saudara-saudara, kita sudah ber­sepakat bulat mengenai kebenaran itu. Sekarang angkatlah salah seorang dari kalian sebagai pemimpin. Sebab bagaimana pun juga kalian tetap memerlukan tiang untuk bersandar, dan membutuh­kan adanya suatu lambang di mana kalian akan berhimpun di sekitarnya dan kembali kepadanya.”

Habis berkumpul di rumah Abdullah Ar Rasibiy, mereka per­gi bersama-sama ke rumah Zafr bin Hushn At Tha’iy. Di rumah ini Zafr beragitasi dengan hebatnya: “Hai saudara-saudara, sebenarnya kita ini telah berjanji setia kepada Allah s.w.t. untuk berbuat amr ma’ruf dan nahi mungkar, berkata benar dan berjuang mene­gakkan jalan yang lurus.

Allah sudah memerintahkan kepada Rasul-Nya, Daud: “Hai Daud, engkau telah kami jadikan Khalifah di bumi, maka laksanakanlah hukum dengan adil di antara sesama manusia, dan janganlah engkau menuruti hawa nafsu, sebab hal itu akan menyesatkan engkau dari jalan Allah. Orang-orang yang sesat dari jalan Allah akan memperoleh siksa amat berat (As Shad:26).

“Juga Allah telah berfirman,” kata Zafr: “Barang siapa tidak menetapkan hukum menurut apa yang telah diturunkan Allah, mereka itu adalah orang-orang kafir.” (Al-Ma’idah: 44).

“Oleh karena itu”, kata Zafr selanjutnya, “bersumpahlah kalian untuk melawan orang yang dulu kita dukung ajarannya. Orang itu sekarang sudah mengikuti hawa nafsu, mengabaikan hukum Allah, berlaku dzalim dalam menetapkan hukum dan me­laksanakannya. Oleh karena itu perjuangan melawan orang-orang seperti itu adalah wajib bagi kaum mukminin.

“Aku bersumpah, demi Allah, seandainya tak ada seorang pun yang mau berjuang menghapus kemungkaran itu, atau tidak ada orang yang mau membantu perjuangan melawan orang-­orang bathil dan durhaka itu, aku akan memerangi mereka seorang diri sampai aku berjumpa dengan Allah s.w.t. Biarlah Allah sendiri yang menjadi saksi, dengan lidah aku telah berjuang memperbaiki keadaan sesuai dengan kehendak-Nya dan menurut keridhoan-Nya.

“Saudara-saudara, hantamlah muka dan kepala mereka de­ngan pedang, sampai Allah ‘Azaa wa Jalla ditaati oleh mereka. Jika orang itu sudah mau taat kepada Allah sebagaimana yang kalian inginkan, Allah akan mengaruniakan pahala kepada kalian sebagai orang-orang yang telah membuktikan ketaatan dan te­lah melaksanakan perintah-Nya. Jika kalian mati terbunuh, apakah yang lebih penting daripada berjalan menuju keridhoan Allah dan sorga-Nya?

“Ketahuilah saudara-saudara, mereka sekarang sudah siap un­tuk mempertahankan hukum yang sesat. Marilah kita semua keluar menuju ke sebuah daerah yang telah kita sepakati dalam perte­muan kita ini. Kalian telah menjadi pembela-pembela kebenar­an di tengah-tengah ummat manusia. Sebab kalian sudah mengu­mandangkan kebenaran dan tetap bertekad hendak berkata benar.”

“Marilah kita pergi ke Madain yang telah kita sepakati itu, kita buka pintunya dan kita kerahkan penduduknya, kemudian kita kirimkan utusan kepada saudara-saudara kita di Bashrah, agar mereka mau bergabung dengan kita!”

Sesudah agitasi Zafr ini, tampil Zaid bin Hushn At Tha’iy, saudara Zafr, dengan kata-kata: “Di daerah itu nanti akan ada orang-orang yang merintangi kalian masuk, dan mereka pun akan mencegah kalian menduduki daerah itu. Oleh karena itu sebaiknya kita segera menulis surat kepada saudara-saudara kita di Bahsrah. Beritahukan mereka tentang keluarnya kalian sekarang ini. Setiba­nya di sana, berhentilah kalian di Nehrawan!”

Semua pidato itu mendapat sambutan hangat dan yang ha­dir menyatakan persetujuan bulat. Kemudian ditulislah sepu­cuk surat kepada teman-teman mereka di Bashrah. Isinya se­bagai berikut : “…Orang-orang yang dulu kami dukung seruannya (yakni Imam Ali) sekarang sudah mengangkat orang untuk menetapkan tahkim terhadap agama Allah.

Mereka membi­arkan orang-orang durhaka menguasai hamba-hamba Allah. Oleh sebab itu kami sekarang menentang mereka dan sudah meninggal­kan mereka. Dengan cara itu kami hendak mendekatkan diri kepa­da Allah, dan sekarang kami sudah berada di jembatan Nehrawan. Kami ingin memberi tahukan kalian, agar kalian dapat ikut ambil bagian untuk memperoleh pahala. Wassalaam.”

Jawaban dari teman-teman mereka di Bashrah mengatakan, bahwa mereka mendukung dan membenarkan tekad mereka, serta siap menjalankan perintah Allah dan bersedia ambil bagian dalam perjuangan melawan Imam Ali r.a. dan pendukungnya. Surat itu diakhiri dengan kata-kata: “Kami sudah bersepakat untuk segera berangkat guna bergabung dengan kalian.”

Menurut rencana, mereka hendak berangkat pada malam Kamis. Sebelum berangkat mereka berkumpul sekali lagi di rumah Hurqush bin Zuhair. Setelah mengadakan pembicaraan sejenak, akhirnya mereka sepakat mengundurkan waktu keberangkatan menjadi malam Jum’at.

Kesepakatan itu berubah lagi berdasar­kan saran Hurqush: “Malam Jum’at sebaiknya kalian tinggal di sini saja dulu untuk banyak-banyak beribadah kepada Allah, dan pergunakanlah sebagai kesempatan untuk meninggalkan wasiyat-­wasiyat. Malam Sabtu barulah kalian berangkat, seorang-seorang atau dua-dua, agar jangan sampai menyolok mata orang banyak.”

Disadur dari buku :

Sejarah Hidup Imam Ali bin Abi Thalib r.a.
Oleh H.M.H. Al Hamid Al Husaini
Penerbit: Lembaga Penyelidikan Islam

https://tausyah.wordpress.com

Masjid NabawiPerang Shiffin

Selesai menumpas pemberontakan Thalhah dalam perang “Jamal” di Bashrah, Imam Ali r.a. tidak berniat pulang ke Madi­nah. Ia hendak memanfaatkan ketinggian mental pasukannya yang baru menang perang guna menghadapi pasukan Muawiyah (Syam) yang sudah mulai memusatkan kekuatan di Shiffin, yang letaknya tak seberapa jauh dari Kufah.

Kufah pada waktu itu berada di bawah seorang penguasa daerah yang dahulu diangkat oleh Khalifah Utsman bin Affan r.a., yaitu Abu Musa Al-Asy’ariy. Untuk mengerahkan dukungan dari penduduk Kufah, diperlukan usaha-usaha meyakinkan lebih dahu­lu. Sebab, bagaimana pun juga kota itu tak mungkin dapat dijadi­kan tempat pemusatan pasukan Imam Ali r.a., selama penduduk­nya belum benar-benar meyakini benarnya perjuangan menum­pas kaum pemberontak yang digerakkan dari Syam.

Sikap Kufah

Setibanya dekat perbatasan Kufah, Imam Ali r.a. mengutus Ammar bin Yasir dan Muhammad bin Abu Bakar menemui Abu Musa Al-Asy’ariy, penguasa daerah Kufah. Perutusan itu bertugas mengajak penduduk berjuang bersama Imam Ali r.a. dan pasukan­nya dalam menumpas pemberontakan Muawiyah.

Sore harinya, setelah mengadakan pembicaraan dengan per­utusan Imam Ali r.a., Abu Musa dihujani pertanyaan oleh sejumlah penduduk yang masih bingung. Mereka bertanya-tanya tentang si­kap apa yang harus diambil. Mendukung perjuangan Imam Ali r.a. atau tidak.

Jawaban yang diberikan Abu Musa atas pertanyaan sejum­lah penduduk itu secara kebetulan didengar oleh perutusan Imam Ali r.a. Perutusan Imam Ali r.a. menegor Abu Musa karena jawab­annya yang tidak jelas kepada rakyat. Abu Musa tidak menyerah begitu saja atas tegoran perutusan Imam Ali r.a., sehingga terjadi perdebatan. Abu Musa dalam membela pendiriannya mengata­kan:

“Hai saudara-saudara, kalian adalah para sahabat Rasul Al­lah s.a.w. yang sering menemani beliau dalam berbagai kejadian. Kalian tentu lebih tahu kehendak Allah dan Rasul-Nya dibanding dengan orang-orang lain yang tidak pernah menemani Rasul Al­lah s.a.w. Aku wajib menyampaikan sabda Rasul Allah, bahwa fit­nah akan datang, orang yang tidur lebih baik dari yang melek, orang yang duduk lebih baik dari pada yang berdiri, orang yang berdiri lebih baik daripada yang berjalan, dan orang yang berjalan lebih baik daripada yang menunggang kuda! Oleh karena itu ma­sukkanlah pedang-pedang kalian ke dalam sarung, dan tunggu dulu sampai fitnah itu meletus dengan jelas!”

Karena kata-kata Abu Musa itu juga didengar oleh sejumlah penduduk Kufah, maka Ammar bin Yasir segera mengatakan: “Hai saudara-saudara. Abu Musa melarang kalian mencampuri urusan dua fihak yang sedang bertikai. Demi Allah, apa yang dika­takan olehnya itu sama sekali tidak bisa dibenarkan. Allah tidak akan ridho terhadap hamba-Nya yang mengikuti perkataan Abu Musa! Allah telah berfirman, (artinya): “Jika ada dua golongan dari kaum muslimin berperang, maka damaikanlah dua-duanya. Jika salah satu dari dua golongan itu berbuat dzalim terhadap yang lain, maka perangilah fihak yang berbuat dzalim itu sampai mereka kembali patuh kepada perintah Allah. Bila fihak itu sudah mema­tuhi perintah Allah, maka damaikanlah dua-duanya dengan adil, dan hendaknya kalian benar-benar berlaku adil. Sesungguhnya­lah bahwa Allah menyukai orang-orang yang berlaku adil.” (S. Al-Hujurat:9).

Seterusnya Ammar bin Yasir berkata pula: “Juga Allah telah berfirman, (artinya) “Dan perangilah mereka agar jangan sampai terjadi suatu bencana, dan supaya agama itu semata-mata hanya untuk Allah. Jika mereka telah berhenti, maka sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang mereka perbuat.” (S. Al Anfal:39).

“Jelaslah,” kata Ammar bin Yasir, “bahwa Allah tidak akan meridhoi para hamba-Nya tetap duduk berpangku tangan di ru­mah, memencilkan diri dan membiarkan kaum muslimin saling menumpahkan darah. Oleh karena itu hai saudara-saudara, keluar­lah mendatangi orang-orang yang sedang bertikai, dan dengarkan sendiri apa yang menjadi alasan mereka masing-masing. Lalu per­timbangkanlah baik-baik fihak mana yang harus dibela dan diikuti. Jika mereka sudah berdamai, kalian dapat pulang ke rumah ma­sing-masing membawa pahala, sebab kalian sudah memenuhi kewa­jiban Allah. Tetapi jika ada fihak yang berlaku dzalim terhadap fihak lain, perangilah fihak yang dzalim itu, sampai mereka patuh kembali kepada Allah. Itulah yang diperintahkan Allah kepada ka­lian.”

Setelah perdebatan itu selesai Ammar bin Yasir dan Muham­mad bin Abu Bakar pergi menghadap Imam Ali r.a. untuk me­nyampaikan laporan tentang apa yang telah dikatakan Abu Musa. Seterimanya laporan itu Imam Ali r.a. menulis surat panjang lebar ditujukan kepada penduduk Kufah. Surat itu akan dibawa lang­sung oleh 4 orang utusan yang terdiri dari Al Hasan bin Ali r.a., Abdullah bin Abbas, Ammar bin Yasir dan Qies bin Sa’ad. Surat itu antara lain berbunyi:

“…kuberitahukan kepada kalian tentang persoalan Uts­man bin Affan, agar orang yang mendengar dapat berfikir seperti orang menyaksikan sendiri terjadinya peristiwa itu. Aku adalah seorang muhajir yang paling jarang menyalahkan Utsman dan bah­kan paling banyak memberi nasehat kepadanya.”

Selanjutnya dalam surat tersebut dijelaskan tentang proses terjadinya pemberontakan terhadap Khalifah Utsman, proses pem­bai’atan dirinya sebagai Khalifah, dan kegiatan-kegiatan yang di­lakukan Thalhah dan Zubair yang pergi ke Makkah lalu mengajak Ummul Mukminin Sitti Aisyah r.a. untuk dijadikan alat pengobar fitnah dan bencana.

Empat orang utusan Imam Ali r.a. itu kemudian menemui Abu Musa Al Asy’ariy. Kepadanya surat Imam Ali r.a. itu diserahkan dan Abu Musa sendiri diminta membai’at Imam Ali r.a. dan mem­berikan dukungan. Setelah membaca surat Imam Ali r.a. dan me­ngadakan pertukaran fikiran beberapa saat lamanya, akhirnya Abu Musa menyatakan bai’atnya kepada Imam Ali r.a. di depan para utusan. Setelah itu ia berseru kepada penduduk Kufah supaya memberikan dukungan dan berjuang bersama-sama Imam Ali r.a. Untuk lebih memantapkan keyakinan penduduk Kufah, Al Hasan r.a., Ammar bin Yasir dan Qeis bin Sa’ad berbicara sesudah Abu Musa.

Sebagai sambutan atas pembicaraan-pembicaraan di atas, maka Syarih bin Hani, atas nama kaum muslimin kota Kufah me­nyatakan: “Kami sebenarnya sudah berniat hendak berangkat ke Madinah untuk dapat mengetahui bagaimana sebenarnya persoalan terbunuhnya Utsman bin Affan. Tetapi sekarang kita telah mene­rima berita langsung dari Imam Ali, dan kami percaya berita itu benar. Oleh karena itu, hai saudara-saudara, janganlah kalian menolak seruan dan ajakannya. Demi Allah, seandainya ia tidak minta dukungan pun kami akan membela dan taat kepadanya.”

Sikap penduduk Kufah yang pada mulanya ragu-ragu men­dukung perjuangan Imam Ali r.a., dan baru bersedia setelah me­nerima penjelasan yang meyakinkan, hal itu mudah dimengerti, mengingat:

1. Mereka berada di daerah yang jauh dari pusat pemerin­tahan, Madinah. Dengan begitu ada kemungkinan beri­ta-berita yang mereka dengar tentang tragedi yang menimpa Khalifah Utsman r.a. agak bersimpang siur.

2. Mereka tidak menyaksikan sendiri proses pembai’atan kaum muslimin Madinah kepada Imam Ali r.a. Dengan demikian mereka mudah dikacaukan fikirannya oleh berita-berita yang sengaja dilancarkan dari Damsyik.

3. Mereka adalah penduduk satu daerah kaya dan subur. Mempunyai syarat-syarat penghidupan yang jauh le­bih baik dibanding dengan kaum Muslimin yang bertempat tinggal di Madinah, Makkah atau daerah-daerah Hi­jaz lainnya. Mau tidak mau, kebiasaan hidup senang dan berkecukupan bisa mengakibatkan orang lamban dalam memenuhi panggilan perjuangan.

Dalam rangka persiapan menghadapi perlawanan pasukan Syam di Shiffin, Imam Ali r.a. berseru kepada penduduk Kufah agar siap-siaga untuk tiap waktu berangkat ke Shiffin. Dalam salah satu khutbahnya Imam Ali r.a. antara lain menyerukan: “Saudara-­saudara, siap-siaplah untuk berangkat melanjutkan perjuangan me­lawan musuh, sebagai ibadah mendekatkan diri kepada Allah s.w.t. dan sebagai wasilah untuk dapat diterima di sisi-Nya. Siapkanlah kekuatan sebatas kesanggupan kalian seperti kuda-kuda perang dan lain sebagainya. Kemudian bertawakkallah kalian kepada Allah dan serahkan segera sesuatu kepada-Nya.”

Mesir Sebagai Imbalan

Sehabis pasukan “Jamal” terkalahkan, kini komplotan anti Imam Ali r.a. memusat ke Syam. Gembong Bani Umayyah, Mua­wiyah bin Abi Sufyan, lebih meningkatkan kegiatannya dalam usa­ha mencari dukungan dan mengerahkan orang-orang dalam rangka rencana perlawanan bersenjata yang hendak dilancarkan terhadap Imam Ali r.a. di Kufah. Tidak sedikit dana dan tenaga yang dike­luarkan untuk kepentingan itu.

Semangat mengejar kekayaan dan kedudukan yang sedang menguasai fikiran orang banyak, oleh Muawiyah dimanfaatkan sebaik-baiknya. Tanpa menghitung-hitung berapa banyaknya har­ta Baitul Mal yang harus dikeluarkan, dan tanpa memandang ca­kap atau tidaknya seseorang yang akan diangkat sebagai pejabat bawahan, Muawiyah menggunakan terus kekuasaannya sebagai penguasa daerah Syam, untuk menghimpun pengikut sebanyak mungkin. Ia sangat menginginkan rencana perlawanannya terhadap Imam Ali r.a. segera berhasil.

Kepada Amr bin Al-Ash, Muawiyah menulis surat mengajak bekerjasama merebut kekuasaan dari tangan Imam Ali r.a. Setelah Amr bin Al Ash membaca surat Muawiyah itu, ia tampak berfikir-­fikir menghitung untung rugi. Ia memanggil dua orang anak le­lakinya yang bernama Abdullah dan Muhammad untuk diminta pendapatnya.

Terhadap persoalan yang diajukan ayahnya, Abdullah menya­rankan: “Ayah, Rasul Allah s.a.w. wafat dalam keadaan ridho terhadap ayah. Begitu juga Abu Bakar dan Umar, dua-duanya wafat dalam keadaan ridho terhadap ayah. Jika hanya karena ingin mendapat sedikit keutungan duniawi lalu ayah hendak merusak agama ayah sendiri, kelak ayah akan berbaring bersama Muawiyah dalam neraka!”

Dengan hati kecut, Amr menoleh kepada Muhammad sambil bertanya: “Bagaimana pendapatmu?”

“Ayah jangan sampai ketinggalan dalam urusan itu. Jadilah kepala lebih dulu sebelum menjadi ekor!” jawab Muhammad.

Amr tampak belum puas mendengar pendapat dua orang anaknya yang saling bertentangan itu. Ia masih bingung. Keesok­an harinya ia memanggil maulanya yang bernama Wardan, dan diperintahkan supaya mempersiapkan bekal perjalanan dan me­muatkannya ke punggung unta. Tetapi baru saja selesai disiapkan, Wardan diperintahkan menurunkannya kembali. Ini terjadi ber­ulang kali. Akhirnya Wardan memberanikan diri untuk berbicara: “Hai Abu Abdullah, anda tampak bingung sekali! Jika anda mem­bolehkan, aku bisa menebak apa yang sedang anda fikirkan.”

“Baik, cobalah!” sahut Amr.

“Dunia dan akhirat sekarang dua-duanya sedang dihadapkan di depan hati anda,” kata Wardan. “Tetapi rupanya hati anda me­nyatakan: Ali mendapat akhirat tanpa dunia, sedangkan Muawi­yah mendapat dunia tanpa akhirat. Pendapat yang tepat ialah se­baiknya anda tinggal saja di rumah. Jika para pembela agama yang menang, anda akan hidup di bawah naungan mereka. Tetapi jika para pembela dunia yang menang, anda akan tetap dibutuhkan!”

Akan tetapi karena janji-janji yang telah diberikan Muawiyah untuk mengangkatnya kembali menjadi Gubernur Mesir, apabila kemenangan dapat diraih dalam perjuangan melawan Imam Ali r.a. sangat menggiurkan hati Amr bin Al Ash, maka akhirnya ia ber­tekad memenuhi ajakan Muawiyah dan orang-orang Bani Umay­yah lainnya.

Amr bin Al Ash sebenarnya lebih cerdik, lebih tangkas serta lebih cermat berfikir dibanding dengan Muawiyah. Ia bekas panglima di masa Khalifah Umar Ibnul Khattab r.a. Ia juga bekas penguasa daerah Mesir dan ia sendirilah yang memimpin perlawan­an pasukan muslimin mengusir kekuasaan Byzantium dari negeri itu. Ia seorang ahli strategi dan taktik menurut ukuran zamannya. Dengan sendirinya ia seorang politikus dan diplomat. Jadi tidaklah aneh, kalau bagi Imam Ali r.a., Amr bin Al Ash, sebenarnya lebih berbahaya dibanding dengan Muawiyah.

Menjadi pertanyaan: apakah ada faktor lain yang mendorong Amr bin Al Ash mau bekerjasama dengan Muawiyah?

Dilihat dari kecenderungannya sejak dulu, ia memang dekat sekali hubungannya dengan para penguasa. Bani Umayyah, teruta­ma pada masa kekhalifahan Utsman bin Affan r.a. Benar, bahwa ia digeser dari kedudukannya sebagai penguasa Mesir oleh Khalifah Utsman r.a. dan digantikan dengan Abdullah bin Abi Sarah, tetapi Khalifah Utsman r.a. masih bertindak bijaksana terha­dap Amr. Ia diberi kedudukan sebagai salah seorang penasehat dan memperoleh fasilitas-fasilitas tertentu.

Ketika itu memang ia agak jengkel terhadap Khalifah, tetapi ia tahu benar, bahwa tetap dekat dengan para penguasa Bani Umayyah akan lebih menguntungkan daripada menjauhi mereka. Harapan untuk bisa menjadi orang penting masih bisa digantung­kan kepada orang-orang Bani Umayyah.

Itulah pamrih keduniaan yang menyelinap di dalam benak Amr bin Al Ash, dan yang mendorongnya giat membantu Muawi­yah melawan Imam Ali r.a. Tetapi selain itu, masih ada hal lagi yang membuat Amr dekat kepada Muawiyah khususnya dan to­koh-tokoh Bani Umayyah pada umumnya. Yaitu adanya hubung­an kekeluargaan yang misterius. Siapa sebenarnya Amr bin Al Ash itu?

Tentang siapa sebenarnya Amr bin Al Ash, Zamakhsya­riy dalam bukunya Rabi’ul Abrar memberikan keterangan ter­perinci sebagai berikut:

Ibu Amr yang bernama Nabighah[1] dahulunya adalah seorang hamba sahaya milik seorang dari qabilah Anazah. Dalam suatu peperangan perempuan itu dirampas, dan tetap budak, Kemudian dibeli oleh Abdullah bin Jud’an di Makkah. Karena ia seorang pe­rempuan yang diragukan kejujurannya, akhirnya dimerdekakan oleh tuannya. Setelah merdeka ia mempunyai hubungan “gelap” dengan Abu Lahab bin Abdul Mutthalib, Umayyah bin Khalaf Al Jamhiy, Hisyam bin Mughirah Al Makhzumiy, Abu Sufyan bin Harb dan Ash bin Wail. Lama-lama ia hamil dan melahirkan Amr.

Lelaki-lelaki yang mengadakan hubungan dengan Nabighah itu semuanya mengaku, bahwa Amr adalah anaknya. Tetapi Nabighah sendiri memutuskan, bahwa Amr adalah anak hasil hubungan­nya dengan Ash bin Wail. Nabighah mengambil keputusan seperti itu, karena Ash bin Wail merupakan lelaki yang paling banyak memberi nafkah kepadanya untuk penghidupan sehari-hari. Walau­pun begitu, semua lelaki itu mengatakan bahwa Amr sangat mirip dengan Abu Sufyan bin Harb. Abu Sufyan sendiri dalam salah satu bait dari syair-syairnya mengatakan:

“Tak diragukan, ayahmu ialah Abu Sufyan

banyak tanda yang jelas tampak pada dirimu!”

Itulah keterangan yang diberikan oleh Zamakhsyariy. Akan tetapi Abu Umar dalam bukunya Al Isti’ab mengemukakan versi yang sama dengan sedikit perbedaan variasi. Abu Umar mengata­kan, bahwa pada satu peristiwa ada seorang dijanjikan hadiah sebesar 1.000 dirham jika ia berani menanyakan kepada Amr bin Al Ash di saat ia sedang berada di atas mimbar, tentang siapa se­benarnya ibu Amr itu.

Untuk memperoleh hadiah sebesar itu, orang yang bersang­kutan memberanikan diri bertanya kepada Amr. Dari atas mimbar pertanyaan itu dijawab oleh Amr: “Ibuku ialah Salma binti Har­malah, mempunyai nama julukan Nabighah, berasal dari Bani Ana­zah dan dari seorang Bani Jillan. Dalam satu peperangan ia diram­pas, dijadikan budak, dibawa pergi oleh orang-orang Arab, lantas dijual di pasar ‘Ukadz (di Makkah). Yang membeli Fakih bin Al Mughirah. Kemudian oleh Fakih dijual lagi kepada Abdullah bin Jud’an. Selanjutnya ia jatuh ke tangan Ash bin Wail. Lalu mela­hirkan aku.”

Setelah menjelaskan seperti itu, kepada orang yang bertanya Amr mengatakan: “Jika engkau dijanjikan sesuatu, ambillah!” Tampaknya Amr sudah tahu tentang maksud dan tujuan orang yang bertanya.

Abu Ubaidh Muamamar bin Al Mutsanna dalam bukunya Al Ansab mengemukakan, bahwa pada waktu Amr lahir terjadi per­tengkaran antara Ash bin Wail dengan Abu Sufyan bin Harb. Akhirnya ada orang yang memberi nasehat biarlah ibunya saja yang memutuskan. Akhirnya ibu Amr mengatakan: “Dia dari Ash bin Wail!”

Setelah ada penegasan dari ibunya Abu Sufyan berkata: “Tidak diragukan lagi, aku inilah yang menempatkan dia dalam rahim ibunya, tetapi ibunya menolak selain Ash bin Wail.”

Pernah ada yang berkata kepada Nabighah, bahwa silsilah Abu Sufyan sebenarnya lebih terhormat. Tetapi perkataan orang itu ditanggapi Nabighah dengan penjelasan: “Ash bin Wail banyak memberi nafkah kepadaku, sedang Abi Sufyan, kikir!”

Dari beberapa catatan riwayat di atas dapat diambil kesimpul­an pokok sebagai berikut: Menurut pengakuan Abu Sufyan bin Harb, Amr adalah anak lelakinya sendiri hasil hubungan “ge­lap” dengan Nabighah. Menurut Nabighah, Amr adalah anak le­laki Ash bin Wail, dengan keterangan, ia mengambil keputusan itu karena Ash bin Wail banyak memberi nafkah. Berdasarkan nada pengakuan Nabighah, seandainya Abu Sufyan, tidak kikir tentu akan disebut sebagai ayah Amr yang sebenarnya. Memang Amr sendiri tidak pernah menyebut Abu Sufyan sebagai ayah­nya. Yang disebut sebagai ayahnya ialah Ash bin Wail. Ini sesuai dengan keputusan yang diambil oleh ibunya pada waktu Amr lahir.

Jadi kalau Abu Sufyan sendiri ngotot dalam pengakuan bah­wa Amr itu anak lelakinya sendiri, bukankah berarti ia mengata­kan bahwa Amr itu saudara seayah dengan Muawiyah? Kalau memang benar demikian, apakah masih perlu diherankan bila Amr sangat dekat hubungannya dengan orang-orang Bani Umay­yah, terutama Muawiyah bin Abu Sufyan?

bersambung..

Disadur dari buku :

Sejarah Hidup Imam Ali bin Abi Thalib r.a.
Oleh H.M.H. Al Hamid Al Husaini
Penerbit: Lembaga Penyelidikan Islam

https://tausyah.wordpress.com

Crying-kidKe Bashrah

Untuk melaksanakan rencana kelompok Makkah, yaitu me­nuntut balas atas kematian Khalifah Utsman r.a. dan mengguling­kan Imam Ali r.a. dari kedudukannya sebagai Khalifah, Thal­hah, Zubair dan Sitti Aisyah r.a. berangkat ke Bashrah. Pada saat Sitti Aisyah r.a. hendak berangkat, orang-orang mencarikan seekor unta yang kuat guna mengangkut haudaj-nya[3] Ya’laa bin Ummayyah menyerahkan unta kepunyaannya yang sa­ngat besar, bernama “Askar”. Sitti Aisyah r.a. kagum sekali melihat unta itu. Akan tetapi ketika serati memanggil-manggil untanya dengan berulang-ulang menyebut “Askar”, ia mundur dan berkata kepada serati unta itu: “Kembalikan dia. Aku tidak membutuhkan unta itu!” Sewaktu ditanya apakah sebabnya Ummul Mukminin me­nyuruh unta “Askar” dikembalikan, Sitti Aisyah r.a. menja­wab, bahwa Rasul Allah s.a.w. pernah menyebut-nyebut na­ma unta itu dan ia dilarang mengendarainya.

Ummul Mukmi­nin minta dicarikan unta lain. Orang tak berhasil mencarikan unta seperti “Askar”. Agar jangan diketahui oleh Ummul Muk­minin, bahwa unta yang akan dikendarainya adalah tetap unta “Askar”, maka jilal-nya[4] “Askar” diganti dengan jilal lain, tanpa sepengetahuan Sitti Aisyah r.a.

Ummul Mukminin merasa puas dengan unta yang dikatakan bukan “Askar” itu. Sementara itu Al-Asytar dari Madinah mengirim sepucuk surat kepada Sitti A.isyah r.a. Tulis Al-Asytar: “Ibu adalah isteri Rasul A.llah s.a.w. Beliau telah memerintahkan Ibu supaya tetap tinggal di rumah. Jika Ibu menuruti perintah beliau, bagi Ibu itu lebih baik. Tetapi jika Ibu tetap tidak mau selain hendak meme­gang pentung, menanggalkan baju kerudung dan menampakkan ke­sucian diri di depan mata orang banyak, Ibu akan kami perangi, sampai kami dapat memulangkan Ibu kembali ke rumah, tempat yang sudah diridhoi Allah bagi Ibu.”

Sebagai jawaban atas surat Al-Asytar itu, Sitti Aisyah r.a. menulis: “Engkau adalah orang Arab pertama yang melancar­kan fitnah, menganjurkan perpecahan dan membelakangi para Imam, yakni para Khalifah. Engkau mengerti bahwa dirimu tidak akan dapat melemahkan Allah. Engkau akan menerima pem­balasan dari Allah atas perbuatanmu yang dzalim terhadap seorang Khalifah, yakni Utsman bin Affan. Suratmu sudah kuterima dan aku sudah memahami apa yang ada di dalamnya. Allah sajalah yang akan melindungi diriku dari perbuatanmu. Akan lumpuhlah semua orang yang sesat dan durhaka seperti engkau itu, insyaa Allah!”

Waktu perjalanan Sitti Aisyah r.a. sampai di Hau’ab, yaitu tempat sumber air kepunyaan Bani Amir Sha’sha’ah, ia digonggong banyak anjing, sampai unta yang dikendarainya lari kencang sukar dikendalikan. Waktu itu terdengarlah suara orang berteriak: “Hai, tahukah kalian, betapa banyaknya anjing di Hau’ab ini dan alang­kah keras gonggongannya!” Mendengar teriakan itu, Sitti Aisyah r.a. menarik tali kekang sekeras-kerasnya sambil berteriak kuat: “Itu anjing-anjing Hau’ab! Kembalikan aku! Aku mendengar sendiri Rasul Allah pernah me­ngatakan…,” ia menyebut apa yang pernah dikatakan oleh Ra­sul Allah s.a.w. kepadanya.

Saat itu Sitti Aisyah mendengar suara orang lain mengatakan: “Pelan-pelan! Kita sudah melewati Hau’ab!” “Apakah ada saksi yang membenarkan perkataanmu?” tanya Sitti Aisyah r.a. mengejar suara tadi. Kemudian beberapa orang Badui yang menjadi pengawal me­neriakkan sumpah, bahwa benar-benar tempat itu sudah bukan Hau’ab lagi. Oleh karena itu Sitti Aisyah r.a. lalu melanjutkan perjalanan. Ketika Sitti Aisyah r.a. tiba di Harf Abi Musa, dekat Bash­rah, penguasa daerah Bashrah yang diangkat oleh Khalifah Imam Ali r.a., bernama Utsman bin Hanif, mengirim Abul Aswad Ad Du­aliy guna menemui rombongan.

Abul Aswad bertemu dengan Sitti Aisyah r.a. dan menanyakan maksud perjalanannya. Kepada Abul Aswad, Sitti Aisyah r.a. menjelaskan, bahwa ia datang untuk menuntut balas atas kematian Khalifah Utsman bin Affan. Menanggapi keterangan Sitti Aisyah r.a. itu, Abul Aswad mengatakan, bahwa di Bashrah tidak ada seorang pun yang ikut ambil bagian dalam peristiwa pembunuhan Utsman bin Affan.

Engkau benar, kata Sitti Aisyah r.a. menukas. Tetapi ada orang-orang yang bersama-sama Ali bin Abi Thalib di Madinah. Aku datang untuk mengerahkan penduduk Bashrah supaya bang­kit memerangi dia. Kalau kami bisa marah karena kalian dicambuk oleh Utsman, mengapa kami tak bisa marah terhadap mereka yang mengangkat pedang terhadap Utsman? Menjawab pernyataan Sitti Aisyah r.a. tadi, Abul Aswad berkata: Ibu adalah wanita pingitan Rasul Allah s.a.w. Beliau memerintahkan Ibu supaya tetap tinggal di rumah dan mem­baca Kitab Allah. Tidak ada kewajiban perang bagi wanita. Wanita juga tidak layak menuntut balas atas terbunuhnya seseorang. Bagi Utsman, Ali sebenarnya lebih baik dari pada Ibu. Ia lebih dekat hubungan silaturahminya, karena dua-duanya sama-sama putera keturunan Abdi Manaf. Sitti Aisyah r.a. tak memperdulikan kata-kata Abul Aswad itu.

Ia tetap menyatakan kebulatan tekadnya: Aku tidak akan pergi sebelum melaksanakan maksudku. Hai Abul Aswad, tanya Sitti Aisyah r.a., apakah engkau mengira akan ada orang di Bash­rah ini yang hendak memerangi aku? Demi Allah, kata Abul Aswad, perang yang hendak Ibu ce­tuskan itu akan sangat hebat. Waktu Abul Aswad beranjak hendak meninggalkan tempat, datanglah Zubair bin Al-‘Awwam. Kepadanya Abul Aswad berkata: “Hai Abu Abdullah –nama panggilan Zubair– banyak orang yang menyaksikan, waktu Abu Bakar dahulu dibai’at sebagai Khalifah engkau mengangkat pedangmu sambil berkata: “Tidak ada orang yang lebih afdhal untuk memegang kepempimpinan ummat selain Ali bin Abi Thalib. Bagaimana keadaanmu sekarang dengan pernyataanmu itu?” “Datanglah engkau menemui Thalhah dan dengarkan sendiri apa yang dikatakan olehnya!” kata Zubair, menanggapi perta­nyaan Abul Aswad tadi. Abul Aswad terus pergi menemui Thalhah.

Dari dialog yang berlangsung antara dia dengan Thalhah, Abul Aswad mengetahui, bahwa Thalhah sudah bertekad bulat melancarkan pemberontakan bersenjata. Waktu Sitti Aisyah r.a. mendengar, bahwa pasukan Imam Ali r.a. sudah tiba dekat Bashrah, dari jurusan lain, ia segera menulis surat kepada Zaid bin Shuhan Al-Abdiy: “Dari Aisyah binti Abu Bakar Ash Shiddiq, isteri Nabi s.a.w., kepada ananda yang setia Zaid bin Shuhan. Hendaknya engkau tetap tinggal di rumah. Ce­gahlah orang-orang jangan sampai membantu Ali. Kuharap dapat segera menerima kabar tentang yang kuinginkan darimu. Bagiku, engkau adalah seorang kerabat yang paling dapat dipercaya. Wassalam.”

Menjawab surat Sitti Aisyah r.a. di atas, Zaid bin Shuhan menulis: “Dari Zaid bin Shuhan kepada Aisyah binti Abu Bakar. Sesungguhnya Allah telah memberi perintah kepada Ibu dan kepa­daku. Ibu diperintahkan supaya tetap tinggal di rumah, dan aku diperintahkan supaya berjuang. Surat Ibu sudah kuterima. Ibu me­merintahkan supaya aku menjalankan sesuatu yang berlainan dari pada apa yang diperintahkan Allah kepadaku. Aku akan berbuat se­perti apa yang diperintahkan Allah kepadaku dan hendaknya Ibu pun berbuat seperti yang diperintahkan Allah kepada Ibu. Perintah Ibu tidak dapat kupatuhi, dan surat Ibu tidak akan terja­wab lagi. Wassalam.”

Menurut Abu Bikrah, ketika Asy Syi’biy menceritakan pengalamannya dalam perang “Jamal” (Unta) mengatakan, bahwa waktu Thalhah dan Zubair datang menjumpai Sitti Aisyah, ku­lihat semua perintah dan larangan berada di tangannya. Waktu itu aku segera teringat kepada sebuah hadits yang kudengar berasal dari Rasul Allah s.a.w. yang mengatakan: “Sesuatu kaum tidak akan berhasil jika urusannya dipimpin oleh seorang wanita.”[5] Teringat itu aku cepat-cepat menjauhkan diri. Dalam pepe­rangan tersebut, unta yang bernama “Askar” (yang dikendarai Siti Aisyah r.a.) merupakan lambang satu-satunya bagi pasukan Thal­hah.

Waktu pasukan Thalhah dan pasukan Imam Ali r.a. masing-­masing telah siaga untuk bertempur, Sitti Aisyah r.a. mengucapkan pidato. Pidatonya juga ditujukan kepada pengikut-pengikut Imam Ali r.a.: “…Kita telah bertekad hendak menuntut balas atas kematian Utsman melalui jalan kekerasan. Ia adalah seorang Ami­rul Mukminin, tempat bernaung dan tempat berlindung yang terbaik. Bukankah dulu kalian minta kepadanya supaya ia berse­dia memenuhi keinginan kalian? Hal itu sudah ia penuhi. Tetapi setelah kalian memandangnya sebagai orang yang suci bersih seperti baju yang baru dicuci, kemudian kalian memusuhinya. Lantas kalian berdosa dengan menumpahkan darahnya secara ha­ram. Demi Allah, ia adalah orang yang jauh lebih bersih dan lebih bertaqwa kepada Allah dibanding kalian…!”

Hampir dalam waktu yang bersamaan, Imam Ali r.a. selaku Amirul Mukminin, juga mengucapkan pidato, sambil memberi instruksi-instruksi: “…Janganlah kalian memerangi mereka sebelum mereka menyerang lebih dulu. Alhamdulillah, kalian ber­ada di atas hujjah (alasan) yang benar. Kalian harus berhenti me­merangi mereka jika mereka mengajukan hujjah lain kepada ka­lian. Tetapi jika kalian terpaksa harus berperang, janganlah kalian menganiaya orang-orang yang luka parah.

“Jika kalian berhasil mengalahkan mereka, janganlah kalian mengejar mereka dengan cara-cara yang licik. Janganlah membuka hal-hal yang memalukan mereka dan janganlah sampai mencin­cang orang yang sudah tewas.” “Jika kalian tiba di tempat pemukiman mereka, janganlah kalian melanggar kesopanan, janganlah kalian memasuki rumah, janganlah kalian mengambil hak milik mereka walau sedikit, jangan sekali-sekali menggelisahkan dan mengganggu wanita, wa­lau mereka itu mencaci-maki kalian atau mencerca pemimpin-­pemimpin dan orang-orang shaleh yang ada di tengah-tengah ka­lian. Sebab mereka itu adalah manusia-manusia yang lemah jas­mani, jiwa dan fikiran.

Kita semua telah diperintahkan Allah dan Rasul-Nya supaya membiarkan kaum wanita, sekalipun mereka itu orang-orang musyrik. Jika sampai ada lelaki yang memukul mereka dengan tongkat atau dengan pelepah kurma, lelaki itu sungguh amat tercela dan akan menerima hukuman di kemudian hari…” Sebelum salah satu fihak menyulut api peperangan, Ali bin Abi Thalib r.a. menulis sepucuk surat kepada Thalhah dan Zubair. Isinya sebagai berikut: “Kalian maklum bahwa aku tidak pernah minta dibai’at oleh mereka, tetapi mereka sendirilah yang membai’at diriku. Kalian berdua termasuk orang-orang yang memilih dan membai’a’t diriku. Orang tidak membai’at diriku untuk suatu kekuasaan is­timewa.

Jika kalian membai’atku karena terpaksa, aku mempu­nyai alasan untuk bertindak terhadap kalian, sebab kalian berpura-pura taat, tetapi sebenarnya menyembunyikan rasa per­musuhan. Namun jika kalian membai’atku benar-benar karena taat, hendaklah kalian segera kembali ke jalan Allah.” “Hai Zubair, engkau dahulu adalah seorang pasukan berkuda Rasul Allah s.a.w. dan pembela beliau. Dan engkau hai Thalhah, engkau adalah salah seorang kami-tua kaum Muhajirin. Seandai­nya dulu kalian tidak mau membai’atku, itu akan lebih mudah bagi kalian untuk keluar dari bai’at yang sudah kalian ikrarkan sendiri. “Kalian menuduh aku telah membunuh Utsman.

Padahal aku, kalian dan penduduk Madinah semua mengetahui apa yang sebenarnya telah terjadi. Kalian menuduh aku melindungi para pembunuh Utsman. Padahal anak-anak Utsman sendiri semua­nya menyatakan taat kepadaku dan mengadukan orang-orang yang membunuh ayah mereka kepadaku. Tetapi kalau ternyata Utsman memang mati terbunuh karena madzlum atau dzalim, misalnya, lantas kalian berdua mau apa?! Kalian berdua telah mengikrarkan bai’at kepadaku, tetapi sekarang kalian melakukan dua perbuatan yang amat tercela: menciderai bai’at kalian sendiri dan menghasut Ummul Mukminin hingga meninggalkan rumah.”

Sedang kepada Ummul Mukminin, Sitti Aisyah r.a., Imam Ali r.a. mengirim sepucuk surat. Isinya antara lain: “Bunda telah keluar meninggalkan rumah dengan perasaan marah demi Allah dan Rasul-Nya.

Bunda menuntut suatu perso­alan yang bukan menjadi urusan Bunda. Apa urusan kaum wanita dengan peperangan atau pertempuran? Bunda menuntut balas atas kematian Utsman, demi Allah, orang-orang yang menghadap­kan Bunda kepada marabahaya serta menghasut Bunda supaya berbuat pelanggaran, jauh lebih besar dosanya terhadap diri Bun­da dibanding dengan pembunuh-pembunuh Utsman bin Affan. Aku tidak marah jika Bunda tidak marah, dan aku tidak mem­buat kegoncangan jika Bunda tidak membuat kegoncangan. Ku­harap supaya Bunda tetap bertaqwa kepada Allah dan pulang kembali ke rumah Bunda.”

Sebagai jawaban terhadap surat Imam Ali r.a., Thalhah dan Zubair menulis: “Engkau telah menempuh jalan seperti yang kau tempuh sepeninggal Utsman sekarang ini; dan engkau tidak akan kembali lagi selama engkau merasa perlu menempuh jalan yang sedang kautempuh. Jalankanlah apa yang menjadi kemauanmu. Engkau tidak akan merasa puas selama kami belum taat, dan kami tidak akan taat kepadamu untuk selama-lamanya. Lakukanlah apa saja yang hendak kau perbuat.”

Sedangkan Ummul Mukminin, Sitti Aisyah r.a. hanya me­nulis jawaban singkat: “Persoalannya sudah jelas. Engkau tidak per­lu menyalahkan lagi. Wassalam.”

bersambung..

[1]Peristiwa fitnahan terhadap Sitti Aisyah r.a.

[2]Surah An-Nur: 11-19.

[3]Haudaj – semacam rumah-rumahan untuk berteduh yang dipasang di atas punggung unta.

[4]Jilal sama artinya dengan tijfaf. Yaitu perisai berupa pakaian unta da­lam peperangan, guna melindungi tubuhnya dari panah, tombak dsb.

[5]Menurut sumber lain, hadits itu berbunyi: “Sepeninggalku akan ada suatu kaum yang muncul dalam bentuk golongan dikepalai oleh se­orang wanita. Mereka tidak akan berhasil selama-lamanya.

https://tausyah.wordpress.com

TITI-islamic-scienceKampanye Keji Muawiyah

Menyadari kekuatannya sendiri, Muawiyah tidak gugup menerima surat perintah Amirul Mukminin. Selesai dibaca, de­ngan sengaja surat itu dibiarkan begitu saja. Utusan Imam Ali r.a. dibiarkan menunggu sampai tidak tentu batas waktunya. Tiga bulan kemudian barulah Muawiyah membalas surat Imam Ali r.a.

Seorang dari Bani ‘Absy diperintahkan berangkat membawa surat jawaban untuk Imam Ali r.a. di Madinah. Untuk memperli­hatkan sikapnya yang tidak mengakui Imam Ali r.a. sebagai Kha­lifah dan Amirul Mukminin, pada sampul surat jawaban itu ditu­lis: “Dari Muawiyah bin Abi Sufyan kepada Ali bin Abi Thalib.”

Sebelum utusan itu berangkat ke Madinah, Muawiyah ber­pesan agar setibanya di kota tujuan, sampul surat itu diperlihat­kan dulu kepada orang banyak, sebagai pemberitahuan bahwa ia tidak mengakui Imam Ali r.a. sebagai Amirul Mukminin.

Pesan Muawiyah itu dilaksanakan sebagaimana mestinya oleh orang dari Bani ‘Absy. Secara demonstratif sampul surat Muawiyah diperlihatkan kepada orang banyak. Semua orang ingin tahu apa yang terjadi akibat pembangkangan Muawiyah. Orang beramai-ramai mengikuti perjalanan kurir itu menuju ke tempat kediaman Imam Ali r.a. Mereka juga ingin tahu apa sesung­guhnya isi surat tersebut. Kedatangan kurir Muawiyah disambut dengan tenang oleh Imam Ali r.a. Setelah dibuka, ternyata dalam sampul itu hanya terdapat secarik kertas yang bertuliskan “Bis­millaahhir Rahamanir Rahim”.

“Apa maksud ini?” tanya Amirul Mukminin kepada kurir dengan heran. “Selain ini apakah ada berita lain?”

Setelah didesak beberapa kali, akhirnya kurir mengatakan, bahwa ia ingin memperoleh jaminan atas keamanan dan keselamatannya lebih dulu, sebelum memberikan keterangan. Permintaan itu dikabulkan oleh Amirul Mukminin.

Setelah itu barulah kurir menceritakan apa yang sedang terjadi di Syam. Katanya: “Penduduk Syam telah bersepakat hen­dak menuntut balas atas kematian Utsman bin Affan… Mereka te­lah mengeluarkan jubah Khalifah Utsman yang berlumuran darah dan jari isterinya, Na’ilah, yang terpotong pada saat berusaha me­nahan ayunan pedang. Semuanya itu dipertontonkan kepada penduduk Syam. Melihat kenyataan ini penduduk di sana menangisi kematian Khalifah Utsman sambil mengelilingi jubahnya.”

Dari keterangan kurir itu dapatlah ditarik kesimpulan, bahwa atas usaha Muawiyah, penduduk Syam sekarang telah menuduh Imam Ali r.a. sebagai pelaku makar terhadap Khalifah Utsman r.a. dan mereka tidak akan membiarkan peristiwa ter­bunuhnya Khalifah Utsman r.a.

Apa yang dikatakan kurir Muawiyah benar-benar membang­kitkan kemarahan semua orang yang hadir. Hanya karena ke­bijaksanaan Imam Ali r.a. saja kurir itu terjamin keselamatan­nya. Orang-orang Madinah sangat gusar mendengar fitnah yang dilancarkan Muawiyah terhadap Amirul Mukminin. Lebih-lebih mereka yang dulu memberontak terhadap Khalifah Utsman r.a.

Semua yang dilakukan Muawiyah di Damsyik merupakan muslihat politik yang dirajut bersama seorang penasehatnya yang terkenal kaya dengan tipu-daya: Amr bin Al-Ash. Sejak Imam Ali r.a. terbai’at sebagai Khalifah, dua sejoli itu telah bertekad hendak menempuh segala cara guna menggagalkan usaha Imam Ali r.a. memantapkan kedudukannya sebagai Amirul Mukminin. Sebab Muawiyah yakin benar, bahwa Imam Ali r.a. tidak akan memberi kesempatan sedikit pun kepadanya untuk terus berkuasa di daerah. Untuk mencapai tujuan itu diperlukan satu dalih yang dapat menjatuhkan martabat Imam Ali r.a.

Guna keperluan itu Muawiyah dengan sengaja menda­tangkan jubah Khalifah Utsman r.a. dan kepingan-kepingan jari Na’ilah dari Madinah ke Damsyik. Hanya sekedar untuk diperton­tonkan kepada khalayak ramai. Jubah Khalifah yang berlumuran darah itu digantungkan dalam masjid Damsyik, sebagai bukti kematian Khalifah yang sangat mengerikan. Sedangkan kepingan-ke­pingan jari Na’ilah, isteri Khalifah Utsman r.a., diletakkan de­kat jubah sebagai saksi bisu.

Bersamaan dengan itu dikampanyekan secara besar-besaran kepada penduduk, bahwa orang yang membunuh Khalifah Utsman r.a. bukan lain hanyalah Imam Ali r.a. sendiri! Muslihat politik yang dijalankan oleh Muawiyah dan Amr bin Al-Ash itu ternyata berhasil mengelabui fikiran penduduk yang tidak memahami seluk ­beluk politik. Dengan cepat Syam dilanda suasana anti Imam Ali r.a. Ini merupakan awal persiapan pemberontakan bersenjata yang tak lama lagi akan dicetuskan Muawiyah.

Untuk menanggulangi fitnah sekeji itu, Imam Ali r.a. segera mengambil langkah-langkah seperlunya. Ia segera mengumpulkan kaum Muhajirin dan Anshar. Diantara mereka itu hadir dua orang tokoh terkemuka yang sedang beroposisi, yaitu Thalhah bin Ubai­dillah dan Zubair bin Al-‘Awwam. Setelah menjelaskan kegiatan fitnah yang dilakukan Muawiyah di Syam, Imam Ali r.a. menge­mukakan gagasan untuk mencegah meluasnya fitnah yang berba­haya itu.

Gagasan yang dikemukakan Imam Ali r.a. ternyata mendapat sambutan dingin. Bahkan Thalhah dan Zubair, yang merupakan tokoh-tokoh terdini membai’at Imam Ali r.a., dengan alasan hendak berangkat umrah ke Makkah, menyatakan tak dapat memenuhi ajakan Imam Ali r.a.

Persiapan Thalhah & Zubair

Penolakan terselubung yang dikemukakan Thalhah dan Zu­bair ternyata mempunyai ekor yang panjang dan tambah merawan­kan kedudukan Imam Ali r.a. sebagai Amirul Mukminin.

Sejak terbai’atnya Imam Ali r.a. kini kota Makkah menjadi tempat berkumpulnya tokoh-tokoh yang terkena tindakan pe­nertiban Amirul Mukminin, terutama mereka yang berasal dari kalangan Bani Umayyah. Di antara mereka termasuk Marwan bin Al-Hakam yang cepat-cepat meninggalkan Madinah. Kini Thalhah dan Zubair berangkat pula ke Makkah.

Ketika itu, Sitti Aisyah r.a. juga berada di Makkah setelah menunaikan ibadah haji. Beberapa waktu sesudah terbunuhnya Khalifah Utsman ia mendengar desas-desus, bahwa Thalhah bin Ubaidillah terbai’at sebagai Khalifah pengganti Utsman r.a. Mendengar selentingan itu ia segera mengambil putusan untuk ce­pat-cepat kembali ke Madinah.Tetapi di tengah perjalanan, ia me­nerima kabar pasti, bahwa yang terbai’at sebagai Khalifah bukan­nya Thalhah, melainkan Ali bin Abi Thalib r.a. Begitu mendengar kepastian demikian; ia membatalkan rencana pulang ke Madinah. Ia kembali ke Makkah. Hatinya sangat masgul mendengar berita itu.

Sudah menjadi rahasia umum, bahwa sejak terjadinya peris­tiwa yang dalam sejarah dikenal dengan nama Haditsul ifk,[1] Sitti Aisyah sukar berbaik-baik kembali dengan Imam Ali r.a. Pe­ristiwa itu terjadi ketika Rasul Allah s.a.w. melancarkan ekspedisi terhadap kaum kafir dari Banu Musthaliq. Dalam ekspedisi itu beliau mengajak isterinya, Sitti Aisyah. Dalam perjalanan pulang ke Madinah, Sitti Aisyah ketinggalan dari rombongan, gara-gara mencari barang perhiasannya yang hilang di perjalanan.

Untunglah ketika itu ia dijumpai oleh Shafwan bin Mu’at­thal, yang berangkat pulang lebih belakangan. Bukan main terke­jutnya Shafwan melihat Ummul Mukminin seorang diri di tengah-tengah padang pasir. Isteri Rasul Allah s.a.w. itu dipersilakan naik ke atas unta, sedangkan Shafwan sendiri berjalan kaki sambil menuntun. Siang hari mereka berdua baru memasuki kota Madi­nah dengan disaksikan oleh orang banyak. Semuanya heran menga­pa Ummul Mukminin mengendarai unta seorang pemuda yang tampan itu.

Mengenai kejadian itu Rasul Allah s.a.w. pada mulanya tidak pernah berfikir lebih jauh. Akan tetapi secara diam-diam peristi­wa itu menjadi pembicaraan orang ramai dan menjadi buah bibir yang dibisik-bisikkan orang dalam tiap kesempatan. Sumber utama yang menyiarkan desas-desus tuduhan Sitti Aisyah berbuat serong ialah seorang munafik bernama Abdullah bin Ubaiy. Desas-desus itu akhirnya sampai ke telinga Rasul Allah s.a.w. Berita santer ten­tang hal itu sangat menggelisahkan hati beliau. Kemudian beliau minta pendapat para sahabat mengenai hal itu.

Konon Usamah bin Zaid sama sekali tidak dapat memperca­yai benarnya desas-desus itu. Sedang Imam Ali r.a. waktu itu me­ngatakan: Ya Rasul Allah, masih banyak wanita lain! Imam Ali r.a. mengucapkan kata-kata itu hanya sekedar untuk berusaha menenangkan perasaan Rasul Allah s.a.w. yang tampak gelisah.

Ucapan itulah yang kemudian menjadi sebab retaknya hu­bungan baik antara Sitti Aisyah dengan Imam Ali r.a. Ucapan tersebut oleh Sitti Aisyah r.a. dirasakan sangat menusuk hati, sedang Imam Ali r.a. sendiri selama itu tidak pernah berubah sikap terhadap Sitti Aisyah r.a. Ia senantiasa hormat kepada Ummul Mukminin. Lebih-lebih setelah peristiwa Ifk itu terselesaikan dengan tuntas berdasarkan turunnya firman Allah s.w.t. yang me­negaskan, bahwa Sitti Aisyah bersih dari perbuatan nista seperti yang dituduhkan orang.[2]

Gara-gara Haditsul Ifk itulah, Sitti Aisyah r.a. sangat kecewa mendengar Ali bin Abi Thalib r.a. dibai’at sebagai Khali­fah oleh penduduk Madinah. Setibanya di Makkah ia berniat hen­dak menentang pembai’atan Ali bin Abi Thalib r.a. Ia berkata: “Utsman mati terbunuh secara madzlum. Oleh karena itu adalah kewajiban kaum muslimin untuk menuntut balas atas kematian­nya.”

Menurut Ummul Mukminin itu, Khalifah pengganti Utsman r.a. harus dilakukan pembai’atannya dalam suasana tertib dan damai. Ini sama artinya dengan mengatakan, bahwa Imam Ali r.a. dipilih hanya oleh kaum pemberontak yang telah membunuh Khalifah.

Pendirian Sitti Aisyah ini lebih diperkuat lagi oleh keda­tangan Thalhah dan Zubair. Dua orang itu di Makkah mengadakan kampanye menentang pembai’atan Imam Ali r.a. Pada mulanya banyak orang bertanya-tanya tentang pendirian aneh kedua orang itu. Bukankah mereka telah menyatakan bai’atnya kepada Imam Ali r.a.? Tanda-tanya di hati orang-orang itu mereka jawab dengan mengatakan, bahwa bai’atnya dilakukan karena terpaksa. Dipaksa oleh kekuatan bersenjata kaum pemberontak.

Bagaimana pun juga kini di Makkah telah tersusun kekuatan penentang Imam Ali r.a. Kekuatan ini makin hari makin bertam­bah. Mereka bertekad hendak memaksa Imam Ali r.a. melepas­kan kekhalifahannya. Dengan bantuan bekas-bekas pejabat yang terkena penggeseran dan penertiban; dengan dukungan orang-­orang Qureiys yang masih menyimpan rasa sakit hati; di perkuat la­gi oleh kehadiran Ummul Mukminin, sekarang Thalhah dan Zubair berhasil mengorganisasi pasukan bersenjata kurang lebih berke­kuatan 3.000 orang.

Kekuatan anti Imam Ali r.a. ini mempunyai tujuan ganda: menuntut balas atas kematian Khalifah Utsman r.a. dan menggu­lingkan Imam Ali r.a. dari kedudukannya sebagai Amirul Muk­minin. Mereka berpendirian, setelah dua tujuan itu tercapai baru­lah diadakan pemilihan Khalifah baru dalam suasana bebas dari tekanan dan paksaan.

Dua tantangan besar yang sedang dihadapi Imam Ali r.a. mewarnai kehidupan kaum muslimin pada tahun empat-puluhan Hijriyah. Damsyik dan Makkah menuduh Imam Ali r.a. sebagai orang yang setidak-tidaknya ikut bertanggungjawab atas terbu­nuhnya Khalifah Utsman r.a. Dalam periode itu praktis ummat Islam terpecah dalam tiga kelompok besar:

1. Kelompok Madinah di bawah pimpinan Imam Ali r.a.

2. Kelompok Damsyik di bawah pimpinan Muawiyah bin Abi Sufyan.

3. Kelompok Makkah di bawah pimpinan trio Thalhah, Zubair dan Sitti Aisyah r.a.

Masing-masing kelompok ditunjang oleh kekuatan bersen­jata yang cukup tangguh dan berpengalaman.

Untuk pertama kalinya dalam sejarah Islam, terjadi satu krisis politik sangat gawat yang mengarah kepada peperangan besar antara sesama kaum muslimin. Inilah gejala nyata dari apa yang pernah dikemukakan Rasul Allah s.a.w. semasa hidupnya, bahwa pada satu ketika akan terjadi fitnah besar di kalangan um­matnya, laksana datangnya malam gelap-gulita yang berlangsung dari awal sampai akhir.

Dalam menghadapi kelompok Madinah, tampaknya seakan-­akan kelompok Damsyik berdiri di belakang kelompok Makkah. Mengenai hal ini kitab Ali wa’Ashruhu, halaman 970-971, mengemukakan sebuah fakta sejarah. Fakta itu berupa sepucuk surat Muawiyah yang dikirimkan kepada Zubair melalui seorang dari Bani ‘Amir. Dalam surat itu Muawiyah antara lain menulis:

“Bismillaahir Rahmanir Rahim. Kepada hamba Allah Zubair Amirul Mukminin, dari Muawiyah bin Abi Sufyan. Salamun’ alaika, ammaa ba’ du: penduduk Syam telah kuajak bersama-sama membait’at anda. Mereka menyambut baik dan semuanya taat. Begitu taatnya seperti ternak. Sekarang hanya tinggal Kufah dan Bashrah saja yang belum anda dapatkan. Hendaknya anda jangan sampai kedahuluan Ali bin Abi Thalib. Sesudah kedua kota itu berada di tangan anda, Ali tidak akan mempunyai apa-apa lagi. Aku juga sudah membai’at Thalhah bin Ubaidillah sebagai peng­ganti anda di kemudian hari. Oleh karena itu hendaknya kalian supaya terang-terangan menuntut balas atas kematian Khalifah Utsman, dan kerahkanlah semua orang ke arah itu. Kalian supaya sungguh-sungguh giat dan cepat bergerak. Allah akan memenang­kan kalian dan tidak akan membantu musuh-musuh kalian.”

Surat tersebut oleh Zubair diperlihatkan kepada Thalhah, bahkan dengan dibacakan sekaligus. Tanpa disadari dua orang itu sudah masuk perangkap Muawiyah. Dengan siasat itu Muawiyah hendak melemahkan posisi Imam Ali r.a. dan menghabiskan ke­kuatan orang-orang lain yang mengincar kursi kekhalifahan.

bersambung..

Disadur dari buku :

Sejarah Hidup Imam Ali bin Abi Thalib r.a.
Oleh H.M.H. Al Hamid Al Husaini
Penerbit: Lembaga Penyelidikan Islam

https://tausyah.wordpress.com