Posts Tagged ‘Ulama Salaf’

https://tausyah.wordpress.com/Syaikh Muhammad Nashiruddin Al-Albani

Syaikh Muhammad Nashiruddin Al-Albani

Nasihat Bagi Pemuda Islam dan Penuntut Ilmu

Pertama-tama aku menasihatimu dan diriku agar bertakwa kepada Allah جل جلا له, kemudian apa saja yang menjadi bagian/cabang dari ketakwaan kepada Allah Tabaaraka wa Ta’ala seperti:

1. Hendaklah kamu menuntut ilmu semata-mata hanya karena ikhlas kepada Allah dengan tidak menginginkan dibalik itu balasan dan ucapan terima kasih. Tidak pula menginginkan agar menjadi pemimpin di majelis-majelis ilmu. Tujuan menuntut ilmu hanyalah untuk mencapai derajat yang Allah جل جلا له telah khususkan bagi para ulama. Dalam Firman-Nya :

يَرْفَعِ اللَّهُ الَّذِينَ آمَنُوا مِنكُمْ وَالَّذِينَ أُوتُوا الْعِلْمَ دَرَجَاتٍ

“… Allah akan meninggikan orang-orang yang beriman di-antara kamu dan orang-orang yang diberi ilmu pengetahuan beberapa derajat.. “(QS. Al-Mujaadilah : 11)

2. Menjauhi perkara-perkara yang dapat menggelincirkanmu, yang sebagian “Thalibul Ilmi” (para penuntut ilmu) telah terperosok dan terjatuh padanya. Diantara perkara-perkara itu :

  • Mereka amat cepat terkuasai oleh sifat ujub (kagum pada diri sendiri) dan terperdaya, sehingga ingin menaiki kepala mereka sendiri. (lebih…)

HAKIKAT BID’AH DAN KUFUR

TANYA JAWAB BERSAMA
AL-IMAM AL-MUHADDITS

MUHAMMAD NASHIRUDDIN AL-ALBANI RAHIMAHULLAHU

Penanya :

Penolakan Nabi yang lebih penting!!!

Syaikh :

Hasan (baik). Penolakan Nabi Shallallahu ‘alaihi wa Salam-lah yang lebih penting. Penolakan Nabi Shallallahu ‘alaihi wa Salam menshalati seorang muslim tadi tidak menunjukkan bahwa menshalati muslim tersebut adalah dilarang. Maka jelaslah, bahwa para ulama salaf yang meninggalkan sholat jenazah tidaklah menunjukkan larangan mensholatinya.

Selanjutnya, taruhlah seandainya sholat jenazah tadi tidak boleh dilaksanakan, apakah ini juga berarti seseorang tidak boleh memohon rahmat dan maghfirah baginya –berdasarkan pandangan kita bahwa dia masih seorang muslim-.

Singkat kata, penolakan sebagian ulama salaf dalam menshalati sebagian kaum muslimin pelaku bid’ah, tidaklah membatalkan keabsahan mensholatkan mereka. Sebenarnya mereka (ulama salaf) melakukan hal ini (tidak turut menshalati, pent.) dikarenakan termasuk dalam kategori umum tahdzir (peringatan) dari kejahatan si mayit agar orang-orang yang sepertinya mendapatkan pelajaran.

Sebagaimana yang dilakukan oleh Nabi Shallallahu ‘alaihi wa Salam terhadap seorang lelaki yang tidak disholatinya. Mengapa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Salam tidak menshalatinya? Sebabnya adalah, karena si mayit itu menyembunyikan beberapa bagian dari harta ghanimah untuk dirinya sendiri. Keengganan Nabi Shallallahu ‘alaihi wa Salam untuk mensholatinya adalah lebih penting daripada keengganan para ulama salaf yang melaksanakan hal ini, namun hal ini tidaklah meniadakan atau membatalkan keabsahan mensholati muslim pelaku bid’ah.

Dari sini, kiranya perlulah diteliti siapakah yang dimaksud dengan mubtadi’ itu dan siapakah orang kafir itu. Ada pertanyaan yang muncul dalam pembahasan kali ini, yaitu apakah setiap orang yang jatuh ke dalam amalan kafir maka dengan serta merta ia menjadi kafir?? Dan apakah setiap orang yang jatuh kepada amalan bid’ah dengan serta merta ia menjadi mubtadi’ ataukah tidak???

Jika jawabannya tidak, maka kita dapat lanjut melihat kepada subyeknya. Jika subyeknya tidak jelas maka perlu diklarifikasi. Saya akan mengulang permasalahan yang menyangkut pertanyaan ini dengan beberapa tambahan terperinci…

Apakah yang dimaksud dengan bid’ah??? Bid’ah ialah perkara baru yang menyelisihi sunnah Nabi Shallallahu ‘alaihi wa Salam dan pelakunya melakukan bid’ah ini dengan bermaksud menambah taqarub (pendekatan diri) kepada Alloh Jalla wa ‘Ala.

Lantas, apakah setiap orang yang melakukan kebid’ahan dengan serta merta menjadi mubtadi’??? Saya ingin jawaban singkat, ya atau tidak???

Penanya :

Tidak!

Syaikh :

Kalau begitu siapakah mubtadi’ itu???

Penanya :

Seseorang yang telah didatangkan padanya hujjah yang nyata dan meyakinkan, namun ia tetap bersikeras melaksanakan bid’ahnya.

Syaikh :

Ahsan (baik). Jadi, orang yang disebutkan di dalam pertanyaan tadi –yang disebutkan tidak boleh kita bertarahum kepada mereka-, apakah hujjah telah ditegakkan kepada mereka??? Allohu a’lam. Lantas apa dasar prinsip tentang mereka??? Apakah mereka muslim atau kafir???

Penanya :

Muslim…

Syaikh :

Prinsip dasarnya adalah mereka muslim! Oleh karena itu boleh bertarahum kepada mereka. Prinsip dasarnya sekali lagi adalah kita boleh memohon maghfiroh dan rahmat bagi mereka. Bukankah ini masalahnya??? Jadi –dengan demikian- masalah ini telah selesai. Kita tidak boleh mengadopsi madzhab baru ini, yaitu madzhab bahwa tarahum terhadap fulan dan polan, atau ulama ini dan itu dari kaum muslimin adalah tidak boleh, baik secara umum maupun mu’ayan (spesifik).

Mengapa??? Dengan dua alasan yang tersimpulkan dari jawabanku tadi. Alasan pertama adalah mereka muslim. Alasan kedua adalah, kalaupun seandainya kita telah tahu bahwa mereka adalah pelaku bid’ah, namun kita belum tahu apakah hujjah sudah ditegakkan atas mereka ataukah belum, dan kita tidak tahu apakah mereka masih bersikeras melakukan kebid’ahannya dan melanjutkan kesesatannya ataukah tidak.

Karena itu saya katakan : diantara kesalahan fatal pada hari ini adalah, para pemuda muslim yang multazim (komitmen) dan mutamassikin (berpegang teguh) dengan al-Qur’an dan as-Sunnah, disebabkan mengadopsi madzhab baru ini, mereka telah menyelisihi al-Qur’an dan as-Sunnah tanpa mereka sadari. Secara otomatis, berdasarkan madzhab mereka ini pula, saya berhak untuk menvonis mereka sebagai mubtadi’ dikarenakan mereka menyelisihi al-Qur’an dan as-Sunnah (karena madzhab baru yang mereka adopsi ini, pent.)[8]. Kendati demikian, saya takkan menyelisihi madzhabku sendiri [9]

Prinsip dasar yang berkenaan dengan pernyataan mereka (orang-orang yang disebutkan di dalam pertanyaan tadi, pent.) adalah, bahwa mereka masih muslim dan mereka tidak bermaksud untuk mengada-adakan suatu bid’ah serta mereka tidak menolak hujjah yang ditegakkan kepada mereka. Sesungguhnya kami berpendapat bahwa mereka melakukan kesalahan di saat mereka mencari kebenaran. Jika kita sadar dan faham akan hal ini, niscaya kita akan selamat dari masalah yang tengah merebak dewasa ini.

Serupa dengan keadaan (para pemuda ini, pent.) adalah jama’ah yang dikenal dengan jama’ah takfir wal hijrah[10] di Mesir, yang fikrahnya tersebar sampai masuk ke Suriah di saat saya masih di sana, bahkan hingga saat ini. Kami memiliki beberapa ikhwan di sana yang (manhajnya) berada di atas al-Qur’an dan as-Sunnah –atau yang kita sebut sebagai salafiy– yang turut terpengaruh oleh dakwah batil ini, sampai-sampai mereka meninggalkan sholat jama’ah, bahkan juga sholat jum’at. Mereka biasanya sholat di rumah-rumah mereka sampai pada suatu hari kami mengadakan pertemuan dan berdiskusi dengan mereka.


[8]. Sungguh benar apa yang dikatakan oleh Syaikh Albani rahimahullahu. Mereka pada hakikatnya bermaksud untuk membela sunnah dan memerangi bid’ah, namun mereka melakukannya dengan menyelisihi al-Qur’an dan as-Sunnah, dan amalan yang menyelisihi al-Qur’an dan as-Sunnah ini adalah suatu kebid’ahan. Jadi, mereka berupaya memerangi bid’ah dengan bid’ah pula. Mereka menuduh kepada orang yang terjerumus kepada perbuatan bid’ah sebagai ahlul bid’ah padahal mereka sendiri juga terjerumus ke dalam kebid’ahan. Lantas, dengan demikian maka suatu hal yang konsisten dan logis apabila mereka juga digolongkan sebagai ahlul bid’ah, walaupun mereka tidak bermaksud melakukannya, bahkan mereka berupaya memeranginya. Jadi, apa bedanya mereka dengan orang-orang yang terjerumus ke dalam kebid’ahan yang mana mereka juga tidak sadar akan kebid’ahannya, mereka mencari al-Haq namun mereka terjerumus. Mudah-mudahan mereka mau berfikir…
[9]. Yakni madzhab ahlus sunnah, yang telah ditegaskan oleh syaikh bahwa “tidak setiap orang yang jatuh ke dalam kekufuran atau kebid’ahan maka dengan serta merta orang itu menjadi kafir atau mubtadi’

[10]. Jama’ah Takfir wal Hijrah pada hakikatnya adalah sempalan dari Ikhwanul Muslimin yang tidak puas melihat metode perjuangan Ikhwanul Muslimin yang keluar masuk parlemen dan bermajlis dengan kaum kuffar. Mereka ini adalah khowarij gaya baru yang mengkafirkan seluruh kaum muslimin yang tidak sepemahaman dengan mereka. Prinsip mereka sama dengan haddadiyah, yaitu mereka akan mengkafirkan siapa saja yang tidak mau mengkafirkan orang yang mereka kafirkan. Ciri khas mereka adalah takfir (pengkafiran) dan hajr (pemboikotan). Tokoh mereka adalah DR. Umar Abdurrahman yang kini sedang dipenjara di Mesir. Jama’ah ini berkaitan erat dengan gerakan-gerakan ekstrimis yang mengangkat slogan takfir dan tafjir dengan dalil jihad. Banyak sekali tokoh-tokoh yang dulunya salafiyin yang kini terpengaruh dengan dakwah ini, diantaranya adalah Abu Muhammad ‘Ashim al-Maqdisy, Abdul Mun’im Mustofa Halimah Abu Basyir, dan lain lain.

HAKIKAT BID’AH DAN KUFUR

TANYA JAWAB BERSAMA
AL-IMAM AL-MUHADDITS

MUHAMMAD NASHIRUDDIN AL-ALBANI RAHIMAHULLAHU

Penanya :

Jika dikatakan, kami tidak mensholatinya karena mereka termasuk mubtadi’, maka apa jawaban Anda???

Syaikh :

Apa dalilnya???

Penanya :

Mereka menggunakan af’alus salaf (amalan para salaf) sebagai dalil dan mereka membedakan antara pelaku kemaksiatan dengan pelaku bid’ah yang mengada-adakan kebid’ahan di dalam agama. Kaum salaf terdahulu, mereka tidak mau mensholati ahlul bid’ah ataupun bermajelis dengan mereka serta bermuamalah dengan mereka. Berdasarkan hal inilah mereka membangun dakwaannya.

Syaikh :

Pertanyaanku tadi apa?

Penanya :

Kita mensholati mereka ataukah tidak???

Syaikh :

Tidak! Anda meluaskan jawaban Anda dari pertanyaanku tadi dan Anda kehilangan maksud (melenceng ed.) dari pertanyaanku. Pertanyaanku barusan adalah, “Apakah dalilnya?” dan Anda menjawab dengan dalil “dakwaan’. Padahal “dakwaan” tidaklah sama dengan dalil. Sedangkan Anda menyatakan bahwa mereka mendakwakan sholat jenazah tidak dilakukan bagi mubtadi’.

Penanya :

Tidak ada dalilnya wahai syaikh, mereka berargumentasi dengan amalan para salaf.

Syaikh :

Apakah amalan para salaf itu dalil???

Penanya :

Itu yang mereka katakan (dakwakan).

Syaikh :

Manakah dalil dari dakwaan ini???

Penanya :

Dalilnya biasanya sangat umum pada perkara ini.

Syaikh :

Bukankah para ulama salaf ketika melakukan muqotho’ah (isolir /pemutusan hubungan) dengan individu-individu tertentu yang melakukan kemaksiatan dan kebid’ahan, lantas, apakah ini berarti mereka menghukumi mereka sebagai kafir?[6]

Penanya :

Tidak!

Syaikh :

Tidak! Sebab mereka masih menganggap mereka sebagai muslim. Kita tidak memiliki sikap pertengahan di antara muslim dan kafir. Apabila mereka ini muslim, maka harus diperlakukan sebagai muslim atau jika mereka kafir maka diperlakukan sebagai kafir. Kita tidak memiliki sikap pertengahan sebagaimana sikapnya mu’tazilah yang menyatakan adanya suatu tempat diantara dua tempat (manzilah bayna manzilatain), yaitu diantara muslim dan kafir.[7]

Selanjutnya, semoga Alloh memberkahimu, hal ini murni merupakan dakwaan belaka, yaitu para salaf tidak mensholati mubtadi’ secara umum. Ini merupakan dakwaan belaka yang diusung oleh para pemuda yang khoir (baik) –sebenarnya- namun mereka mengambil beberapa masalah dengan semangat yang meluap-luap tanpa disertai dengan ilmu yang benar berdasarkan Kitabullah dan Sunnah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Salam.

Saya telah menunjukkan pada Anda suatu hakikat yang tidak mungkin ada dua orang berbeda pendapat tentangnya, yaitu tentang apakah orang tersebut muslim atau kafir. Jika ia muslim –menurut dari apa yang ia tampakkan- maka ia disholati, bahkan –sebagai tambahan- hartanya diwarisi oleh ahli warisnya, mayatnya dimandikan dan dikafani serta ia dikuburkan di pekuburan kaum muslimin. Namun jika ia kafir, maka ia dihempaskan seperti bebijian dan dikuburkan di pekuburan kaum kafir. Kita tidak punya pendapat pertengahan dalam hal ini.

Kendati demikian, apabila ada seseorang yang tidak turut menshalati seorang muslim –atau para ulama tidak mau mensholatinya-, hal ini tidaklah menunjukkan bahwa mensholati orang ini adalah terlarang. Hal ini mengindikasikan bahwa para salaf sedang menunjukkan suatu hikmah dan beberapa hal yang tidak dapat dipenuhi (dilakukan) oleh orang selainnya.

Sebagaimana kisah dalam  sebuah hadits –yang pasti Anda ingat- di dalam beberapa riwayat dimana Nabi Shallallahu ‘alaihi wa Salam bersabda, “Sholatilah saudara kalian ini” sedangkan beliau Shallallahu ‘alaihi wa Salam tidak turut menshalatinya. Bagaimana pendapat Anda tentang hal ini? Apakah Nabi yang tidak turut menshalati seorang muslim ini lebih penting (dijadikan dalil) ataukah ulama salafi yang menolak menshalati muslim? Katakan padaku, mana yang lebih utama???


[6]. Termasuk dasar prinsip aqidah salaf adalah tidak mengkafirkan ahli kiblat yang bertauhid, sebagaimana yang dinyatakan oleh para imam salaf. Imam Ahmad rahimahullahu berkata di dalam As-Sunnah allati tufiya ‘anha Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Salam, poin ke-11 : “Dan kami tidak mengkafirkan seorangpun dari Ahli Tauhid walaupun mereka melakukan dosa besar.” (Aqo’id A`immatis Salaf, hal. 39); Beliau juga berkata di dalam Shifatul Mu’miun min Ahlis Sunnah wal Jama’ah adalah : “Tidak mengkafirkan seorangpun dari ahli kiblat karena dosanya” (Aqo`id, hal. 40); Imam Abu Bakr al-Humaidi rahimahullahu berkata di dalam Ushulus Sunnah, poin ke-14 : “Dan tidaklah mengkafirkan karena sesuatu dari dosa” (Aqo`id, hal. 156); Imam Abu Zaid al-Qirwani di dalam al-I’tiqod, poin ke-18 : “Dan tidak mengkafirkan seorangpun dari ahli kiblat dikarenakan dosa.” (Aqo`id, hal. 168).

[7]. Mu’tazilah memiliki 5 dasar keyakinan pokok, yaitu : al-‘Adl (keadilan), at-Tauhid (yang dimaksud tauhid di sini adalah nafyu shifat / menafikan sifat-sifat Alloh), Infaazhul Waa’id (melaksanakan ancaman), amar ma’ruf nahi munkar (maksudnya memberontak terhadap penguasa) dan manzilah baina manzilatain yang maksudnya adalah seorang ahli maksiat itu bukanlah muslim dan bukanlah kafir, namun dia berada di pertengahannya, yakni manzilah bayna manzilatain (suatu tempat/posisi di antara dua tempat/posisi), yaitu tempat di antara muslim dan kafir, yaitu tidak terjerumus kepada kekafiran namun keluar dari keimanan mereka kekal di dalam neraka.