Imam Ali Bin Abu Thalib Adalah Seorang Amirul Mukminin Yang Hidup Zuhud Dan Rendah Hati

Posted: 25 Agustus 2010 in Para Imam
Tag:, , , , ,

ayat Qur'anZahid

Sebagai seorang Zahid yang berpegang teguh pada perintah Allah s.w.t. dan tauladan serta ajaran ajaran Rasul-Nya, Imam Ali r.a. dengan konsekuen berani menghadapi gangguan besar yang dialami dalam kariernya sebagai pemimpin masyarakat dari kepala pemerintahan. Berkali-kali ia ditinggalkan oleh para pendukung dan pengikutnya, tetapi tidak pernah patah hati.

Seperti dikatakan oleh Ali bin Muhammad bin Abi Saif Al Madainiy bahwa tidak sedikit orang Arab yang meninggalkan Imam Ali karena sikap mereka yang terlalu mengharapkan keun­tungan-keuntungan material. Demikian juga tokoh-tokoh yang berpamrih ingin mendapat kedudukan, jangan harap mereka itu bisa bersahabat baik dan lama dengan Imam Ali. Seorang pe­mimpin besar seperti Imam Ali yang taqwanya kepada Allah sede­mikian tinggi, dan sedemikian patuhnya bertauladan serta melak­sanakan ajaran Rasul Allah s.a.w., tidak mencari teman dengan mengobral harta dan kedudukan. Ia sendiri memandang manusia bukan dari kekayaan dan kedudukan sosialnya, bukan pula dari asal-usul keturunannya, melainkan dari keimanannya kepada Allah s.w.t. dan kesetiaannya kepada ajaran Rasul-Nya.

Imam Ali tidak pernah memberikan perlakuan istimewa ke­pada seorang karena keturunan, kedudukan atau kekayaannya. Ia selalu memberikan perlakuan yang sama kepada semua orang, kaya atau miskin, orang yang berpangkat ataupun rakyat jelata. Itulah antara lain yang menjadi sebab mengapa setelah ia menjadi Kha­lifah, dijauhi oleh kepala-kepala qabilah dan tokoh-tokoh masya­rakat yang berambisi dan hendak mendahulukan kepentingan pri­badi atau golongan.

Tentang mengapa Imam Ali r.a. sampai ditinggal oleh para pengikut dan pendukungnya, Al-Madainiy dalam riwayat yang di­tulisnya, antara lain mengemukakan, bahwa Al-Asytar pernah berkata kepada Innam Ali r.a.: “…Anda bertindak adil, baik ter­hadap mereka yang mempunyai kedudukan terhormat maupun mereka yang tidak mempunyai kedudukan. Di hadapan anda orang-orang yang terhormat itu tidak memperoleh perlakuan istimewa atau lebih dari perlakuan yang anda berikan kepada orang biasa. Akhirnya ada kelompok pengikut yang ribut dan he­boh kalau keadilan dan kebenaran diterapkan atas diri mereka. Mereka sakit hati kalau pemerataan keadilan diterapkan atas diri mereka. Mereka lalu membanding-bandingkan betapa enaknya per­lakuan Muawiyah terhadap orang-orang kaya dan terkemuka… Mereka lebih senang membeli kebatilan dengan kebenaran dan tergiur oleh kesenangan duniawi.”

Setelah mendengar baik-baik ucapan Al Asytar, dengan tenang rmam Ali r.a. berkata: “Apa yang kau katakan mengenai perilaku dan keadilanku, bukankah Allah Azza wa Jalla telah berfirman (yang artinya): “Barang siapa berbuat baik, maka pahala bagi dirinya sendiri, dan barang siapa yang berbuat buruk, maka dosanya pun akan menimpa dirinya sendiri. Dan Tuhanmu tidak berlaku dzalim terhadap para hamba-Nya” (S. Fushshilat: 46).

Kemudian Imam Ali r.a. berkata pula: “Sebenarnya Allah mengetahui, bahwa mereka itu menjauhi kami bukan karena kami berlaku dzalim. Mereka menjauhi kami bukan karena hendak mencari perlindungan keadilan. Yang mereka kejar hanyalah dunia, yang akhirnya akan lenyap juga dari mereka. Pada hari kiyamat mereka itu akan ditanya: ‘apakah mereka hanya menginginkan dunia? Apakah yang telah mereka perbuat untuk Allah?’…”

Tentang pengobralan harta milik ummat untuk mendapatkan pengikut seperti yang dilakukan Muawiyah di Syam, Imam Ali r.a. berkata: “Kami tidak dapat memberikan pembagian harta ghanimah kepada seseorang melampaui ketentuan yang sudah menjadi haknya…”

Tentang banyak atau sedikitnya pengikut, Imam Ali r.a. mengemukakan contoh kehidupan Rasul Allah s.a.w.: “Allah mengutus Muhammad s.a.w. seorang diri. Kemudian Allah membuat pengikut beliau menjadi banyak, padahal mulanya sangat sedikit. Ummatnya yang pada mulanya hina kemudian diangkat menjadi ummat yang mulia. Jadi jika Allah hendak melimpahkan hal seperti itu kepadaku, semua kesulitan pasti akan dipermudah oleh-Nya, sedang segala yang berat akan di­ringankannya.”

Menurut Hasan Al Bashriy: “Imam Ali r.a. adalah orang rahbaniy (orang suci) dari ummat ini.” Orang suci dari ummat ini menghayati kehidupan yang amat sederhana. Ia bersembah sujud kepada Allah seperti para wali atau orang suci lainnya. Ia memikul tanggung jawab atas negara dan ummatnya dengan tekad seperti Nabi.

Di Kufah, Imam Ali r.a. melarang keras orang memaki-maki Muawiyah. Kepada sahabat-sahabatnya ia berkata: “Ucapkanlah: Ya Allah, hindarkanlah kami dari pertumpahan darah dengan mereka, dan perbaikilah hubungan persaudaraan kami dengan mereka!”

Padahal di Syam, Muawiyah mendorong-dorong penduduk supaya mencerca dan mencaci-maki Imam Ali r.a.

Di Kufah Imam Ali r.a. memakai baju seharga tiga dirham, menelan makanan serba kasar dan kering. Kekayaan kaum musli­min dibagi di antara mereka semua berdasarkan keadilan tanpa pilih kasih. Ia hidup taqwa dan zuhud tidak mengenal kesenangan hidup sama sekali!

Padahal di Syam Muawiyah tinggal di istana megah dan menikmati hidup serba mewah. Kekayaan datang dari mana-mana dalam jumlah yang sukar dihitung. Tetapi kekayaan itu dihambur­kan untuk tujuan mencapai kepentingan ambisinya.

Di Kufah kepada para utusan muslimin yang datang, baik yang mencari kebenaran untuk dijadikan pegangan hidup, maupun yang mencari kekayaan atau kesempatan memperoleh kedudukan, oleh Imam Ali r.a. diingatkan kepada ayat Al-Qur’an (S. Yunus: 108), yang artinya: “Barang siapa memperoleh hidayat, maka hi­dayat itu sesungguhnya untuk kebaikan dirinya sendiri. Dan ba­rang siapa yang sesat, maka kesesatan itu pun akan mencelakakan dirinya sendiri.”

Selain kalimat tersebut tidak ada harapan atau janji-janji muluk, tidak ada suap, dan tidak ada penghamburan uang milik ummat, betapa pun besarnya akibat yang akan dihadapi oleh Imam Ali r.a.

Sedang di Syam, Muawiyah memberi harapan dan janji-janji muluk serta mengobral harta dan hadiah-hadiah.

Di Kufah Imam Ali r.a. diminta oleh kaum muslimin supaya tinggal di sebuah istana besar dan megah. Waktu melihat istana itu Imam Ali ra. membuang muka sambil berkata: “Itu istana celaka! Sampai kapan pun aku tak sudi tinggal di sana!”

Penduduk Kufah tetap menghimbau dan mendesak supaya Imam Ali r.a. bersedia menempati istana itu, sebab dianggap patut dan sesuai, tetapi Imam Ali r.a. tetap menolak keras: “Aku tidak membutuhkan itu! Umar Ibnul Khattab sendiri dulu tidak menyukainya!”

Di Kufah, Imam Ali r.a. sering berjalan kaki ke pasar-pasar, padahal ia seorang Amirul Mukminin. Di sana ia menunjukan orang yang sesat jalan dan membantu orang yang lemah. Ia berjumpa dengan seorang yang sudah sangat lanjut usia. Segera ia membantu membawakan barang jinjingannya.

Melihat perbuatan Imam Ali r.a. seperti itu ada sahabatnya yang tidak rela, lalu mendekati, kemudian berkata kepadanya: “Ya Amirul Mukminin ….!”

Imam Ali r.a. tidak membiarkan sahabat itu berkata sampai selesai. Segera ia menukas dengan mengucapkan firman Allah, yang artinya: “Kampung akhirat itu kami sediakan bagi orang-­orang yang tidak menyombongkan diri di bumi dan tidak ber­buat kerusakan. Kesudahan yang baik bagi orang-orang yang bertaqwa.” (S. Al-Qishash:83).

Ia membeli kebutuhan-kebutuhan keluarganya dan membawanya sendiri. Jika ada salah seorang dari pengantarnya yang hendak membawakan jinjingannya, ia menjawab sambil tersenyum: “Kepala keluarga lebih berhak membawanya sendiri!”

Walaupun ia seorang Khalifah, ia menunggang keledai dengan dua kaki tergelantung seolah-olah tak ada bedanya lagi dengan seorang badui miskin. Para sahabatnya berusaha mengganti hewan kendaraan itu dengan seekor kuda yang pantas bagi seorang Amir­ul Mukminin. Tetapi Imam Ali r.a. malah menjawab: “Biarkan aku meremehkan dunia ini!”

Imam Ali r.a. sanggup menaklukkan rayuan kesenangan duniawi dan menundukkan megahnya kekuasaan. Di dunia ini ia hidup untuk menunggu akhirat, dan bukannya takluk kepada dunia.

Nyata benar bedanya antara Imam Ali r.a. di Kufah dengan Muawiyah di Syam. Imam Ali r.a. hidup zuhud dan suci, sedang Muawiyah hidup serba mewah meniru raja-raja Persia dan Roma­wi. Salah seorang dinasti Bani Umayyah sendiri yang terkenal jujur, Umar bin Abdul Azis, mengakui terus terang: “Ali bin Abi Thalib r.a. adalah orang yang paling zuhud di dunia.”

Imam Ali r.a. seperti diketahui pernah berselisih pendapat dengan Abu Bakar Ash Shiddiq r.a. tentang kekhalifahan. Tetapi sebagai seorang zahid tidak mau mengingkari keutamaan Abu Bakar r.a. Sewaktu menyatakan belasungkawa atas wafatnya Abu Bakar r.a sambil menyeka air mata, Imam Ali r.a. berkata:

“Hai Abu Bakar, Allah telah melimpahkan rahmat kepada­mu. Demi Allah, engkau adalah orang Islam pertama dari ummat ini. Orang yang paling ikhlas imannya dan orang yang paling lurus keyakinannya. Engkau adalah orang yang membenarkan dan mempercayai Rasul Allah s.a.w. di saat orang-orang lain mendustakannya. Engkaulah yang membantunya di saat orang-orang lain menggenggamkan tangan (kikir). Engkaulah yang tegak berdiri di sampingnya di saat orang-orang lain duduk ber­pangku tangan.”

“Demi Allah, engkaulah yang menjadi pelindung Islam di saat orang-orang kafir hendak menghancurkannya. Hujahmu (dalam membela Islam) tak pernah lemah, pandanganmu senantiasa tajam, dan engkau tidak pernah berjiwa penakut.”

“Demi Allah, engkau adalah seperti yang dikatakan Rasul Al­lah s.a.w.: badanmu lemah, tetapi agamamu kuat dan selalu ber­sikap rendah hati. Semoga Allah melimpahkan ganjaran kepada­mu, dan semoga pula Allah tidak akan membiarkan aku tersesat sepeninggalmu.”

Banyak sekali riwayat yang mengisahkan kezuhudan Imam Ali r.a. Sikapnya yang selalu menolak kekayaan dan harta benda sangat menonjol. Salah seorang tokoh pada zamannya, Asy Syi’biy misalnya, sangat terkesan oleh suatu peristiwa yang disaksikannya sendiri di masa kanak-kanak. Katanya: “Bersama anak-anak lain aku pernah masuk ke sebuah tempat yang sangat luas di Kufah. Di sana aku melihat Imam Ali sedang berdiri di depan dua onggok emas dan perak. Ia memegang sebilah pedang untuk membubarkan orang banyak yang berkerumun di tempat itu. Se­telah itu ia kembali menghampiri onggokan emas dan perak untuk menghitungnya. Kemudian memanggil orang-orang supaya mende­kat dan kulihat semua emas dan perak habis dibagi-bagikan sampai tak ada lagi sisanya.”

“Waktu aku pulang,” kata Asy Syi’biy seterusnya, “bertanya kepada ayah: ‘Yang kusaksikan hari ini orang yang paling baik ataukah orang yang paling bodoh?’ Sambil keheran-heranan ayah balik bertanya: ‘Siapa dia, anakku?’ Kujawab: ‘Amirul Muk­minin Ali bin Abi Thalib.’ Kemudian kuceritakan kepada ayah apa yang kusaksikan tadi. Mendengar ceritaku itu ayah terharu dan sambil melinangkan air mata menjawab: ‘Yang kaulihat tadi itu orang yang paling baik, anakku’…”

Riwayat yang membuktikan tentang tidak senangnya Imam Ali r.a. kepada harta kekayaan diceritakan juga oleh Muhammad bin Fudhail, Harun bin Antarah dan Zadan. Ketika itu Muham­mad bin Fudhail bepergian bersama pelayan Imam Ali r.a. yang bernama Qanbar. Di tengah jalan mereka bertemu dengan Imam Ali r.a. Kepada tuannya Qanbar memberitahu bahwa ia mempu­nyai barang simpanan yang khusus disembunyikan untuknya. Pem­beritahuan Qanbar itu menimbulkan tanda-tanya di hatinya. Ke­mudian ia minta penjelasan. Tanpa memberi jawaban apapun Qanbar terus mengajak Imam Ali r.a. pergi ke tempat tinggalnya. Setibanya di rumah, Qanbar menghampiri sebuah tempat dan mengambil sebuah kantong. Waktu kantong dibuka dan dikeluar­kan ternyata berisi beberapa piala penuh dengan kepingan-ke­pingan emas dan perak.

Dengan wajah berseri-seri Qanbar berkata: “Kulihat tuan tak pernah membiarkan barang apa pun yang tidak tuan bagikan kepa­da orang-orang lain sampai habis. Oleh karena itu semuanya ini kusembunyikan dari Baitul Mal, khusus untuk tuan.”

Dengan mata membelalak, Imam Ali membentak: “Celaka engkau, hai Qanbar! Apakah engkau ingin memasukkan kobaran api ke dalam rumahku?” Tanpa banyak bicara lagi Imam Ali segera menghunus pedang lalu dihantamkan kuat-kuat ke kantong yang berisi piala-piala penuh emas dan perak. Piala-piala itu hancur berkeping-keping dan emas serta perak tertebar berhamburan.

Habis itu Imam Ali r.a. mengumpulkan orang banyak. Ke­pada mereka ia berkata: “Bagilah semuanya itu dengan adil!”

Belum puas dengan sikap yang memukaukan orang banyak itu, Imam Ali r.a. cepat-cepat menuju Baitul Mal. Semua yang tersimpan dalam balai harta kaum muslimin itu dibagi-bagikan be­gitu saja kepada orang-orang. Setelah terbagi rata, ia masih melihat ada beberapa kerat jarum dan benda-benda kecil lain yang kurang berharga. Kepada orang-orang yang masih tinggal ia menganjur­kan supaya benda-benda kecil itu.dibagi juga. Apa jawab mereka: “… Kami tidak membutuhkan itu…!”

Imam Ali r.a. tersenyum meninggalkan Baitul Mal seraya bergumam: “Yang jelek sebenarnya harus diambil juga bersama-­sama yang baik!” Ia pergi tanpa sekeping pun melekat di tangan­nya.

[1]Abbas Al Aqad: “Abqariyyatu Ali bin Abi Thalib”.

https://tausyah.wordpress.com

Komentar
  1. […] yang disegani, dihormati bahkan ditakuti. Bukan karena kekejaman dan keganasannya melainkan karena keluhuran dan kebesaran jiwanya, karena kecemerlangan peradaban dan kebudayaannya. Sebagai perwujudan janji Tuhan kepada Ibrahim […]

    Suka

  2. […] bukanlah suatu keadilan jika sekiranya seorang yang shaleh, kemudian menemukan buah yang terjatuh dari pohonnya diluar daripada kebun itu hingga kemudian […]

    Suka

  3. […] di madrasahnya di Baghdad tahun 484 H. Beliau tinggalkan jabatannya pada tahun 488 H. Lalu menjadi orang yang zuhud, berhaji dan tinggal menetap di Damaskus beberapa lama. Kemudian pindah ke Baitul Maqdis, lalu ke […]

    Suka

  4. […] yang disegani, dihormati bahkan ditakuti. Bukan karena kekejaman dan keganasannya melainkan karena keluhuran dan kebesaran jiwanya, karena kecemerlangan peradaban dan kebudayaannya. Sebagai perwujudan janji Tuhan kepada Ibrahim […]

    Suka

  5. […] kita tentang kematian!. Ka’abpun berkata: Wahai Amirul Mukminin! Gambaran sakitnya kematian adalah bagaikan sebatang dahan yang banyak berduri tajam, tersangkut di kerongkongan anda, sehingga […]

    Suka

  6. […] kepada kita tentang kematian!. Ka’abpun berkata: Wahai Amirul Mukminin! Gambaran sakitnya kematian adalah bagaikan sebatang dahan yang banyak berduri tajam, tersangkut di kerongkongan anda, sehingga […]

    Suka

  7. […] dari laki-laki yang bukan mahrammu, sedang dalam pekerjaanmu berhubungan dengan para pegawai dan pimpinan-pimpinanmu adalah sesuatu yang mereka wajibkan atas […]

    Suka

  8. […] di madrasahnya di Baghdad tahun 484 H. Beliau tinggalkan jabatannya pada tahun 488 H. Lalu menjadi orang yang zuhud, berhaji dan tinggal menetap di Damaskus beberapa lama. Kemudian pindah ke Baitul Maqdis, lalu ke […]

    Suka

  9. […] dari laki-laki yang bukan mahrammu, sedang dalam pekerjaanmu berhubungan dengan para pegawai dan pimpinan-pimpinanmu adalah sesuatu yang mereka wajibkan atas […]

    Suka

Tinggalkan komentar