Arsip untuk 3 Agustus 2010

Di saat kaum muslimin sedang resah mendengar berita ten­tang wafatnya Rasul Allah s.a.w., sejumlah kaum Anshar menye­lenggarakan pertemuan di Saqifah Bani Sa’idah untuk memper­bincangkan masalah penerus kepemimpinan Rasul Allah s.a.w.  Bersama  seorang tokoh Anshar, Sa’ad bin Ubadah.

Di dalam bukunya yang berjudul As Saqifah, Abu Bakar Ahmad bin Abdul Azis Al-Jauhary[1] mengetengahkan riwayat tentang terjadinya peristiwa penting di Saqifah (tempat per­temuan) Bani Sa’idah. Antara lain dikemukakan, bahwa tokoh ter­kemuka Anshar, Sa’ad bin ‘Ubadah, dalam keadaan menderita sa­kit lumpuh sengaja digotong untuk menghadiri pertemuan ter­sebut.

Karena tidak sanggup berbicara dengan suara keras, ia minta kepada anaknya, Qeis bin Sa’ad, supaya meneruskan kata-katanya yang ditujukan kepada semua hadirin. Dengan suara lantang Qeis meneruskan kata-kata ayahnya:

“Kalian termasuk orang yang paling dini memeluk agama Islam, dan Islam tidak hanya dimiliki oleh satu qabilah Arab. Sesungguhnya ketika masih berada di Makkah, selama 13 tahun di tengah-tengah kaumnya, Rasul Allah mengajak mereka supaya menyembah Allah Maha Pemurah dan meninggalkan berhala-­berhala. Tetapi hanya sedikit saja dari mereka itu yang beriman kepada beliau. Demi Allah mereka tidak sanggup melindungi Rasul Allah s.a.w. Mereka tidak mampu memperkokoh agama Allah . Tidak mampu membela beliau dari serangan musuh­-musuhnya.

“Kemudian Allah melimpahkan keutamaan yang terbaik ke­pada kalian dan mengaruniakan kemuliaan kepada kalian, serta mengistimewakan kalian pada agama-Nya. Allah telah melimpah­kan nikmat kepada kalian berupa iman kepada-Nya, dan kesang­gupan berjuang melawan musuh-musuh-Nya. Kalian adalah orang-­orang yang paling teguh dalam menghadapi siapa pun juga yang menentang Rasul Allah s.a.w. Kalian juga merupakan orang-­orang yang lebih ditakuti oleh musuh-musuh beliau, sampai akhirnya mereka tunduk kepada pimpinan Allah, suka atau tidak suka.

“Dan orang-orang yang jauh pun akhirnya bersedia tunduk kepada pimpinan Islam, sampai tiba saatnya Allah menepati janji-Nya kepada Nabi kalian, yaitu tunduknya semua orang Arab di bawah pedang kalian. Kemudian Allah memanggil pulang Nabi Muhammad s.a.w. keharibaan-Nya dalam keadaan beliau puas dan ridho terhadap kalian. Karena itu pegang teguhlah ke­pemimpinan di tangan kalian. Kalian adalah orang-orang yang paling berhak dan paling afdhal untuk memegang urusan itu!”

Kata-kata Sa’ad bin ‘Ubadah itu disambut hangat oleh pemuka-pemuka Anshar yang hadir memenuhi Saqifah Bani Sa’idah. Apa yang dikemukakan oleh tokoh terkemuka kaum Anshar itu memperoleh dukungan mutlak. “Kami tidak akan menyimpang dari perintahmu!” teriak mereka hampir serentak. Engkau kami angkat untuk memegang kepemimpinan itu, karena kami merasa puas terhadapmu dan demi kebaikan kaum mus­limin, kami rela!”

Setelah menyatakan dukungan kepada Sa’ad bin ‘Ubadah hadirin menyampaikan pendapat-pendapat tentang kemungkinan apa yang bakal terjadi. Ada yang mengatakan, sikap apakah yang harus diambil jika kaum Muhajirin berpendirian, bahwa mereka itulah yang berhak atas kepemimpinan ummat? Sebab mereka itu pasti akan mengatakan: Kami inilah sahabat Rasul Allah dan lebih dini memeluk Islam. Mereka tentu juga akan menyatakan diri sebagai kerabat Nabi dan pelindung beliau. Mereka pasti akan menggugat: atas dasar apakah kalian menentang kami memegang kepemimpinan sepeninggal Rasul Allah? Bagaimana kalau timbul problema seperti itu?

Pertanyaan itu kemudian dijawab sendiri oleh sebagian ha­dirin: “Kalau timbul pertanyaan-pertanyaan seperti itu kita bisa mengemukakan usul kompromi kepada mereka, dengan menyaran­kan: Dari kami seorang pemimpin dari kalian seorang pemimpin. Kalau mereka bangga dan merasa turut berhijrah, kami pun dapat membanggakan diri karena kami inilah yang melindungi dan mem­bela Rasul Allah s.a.w. Kami juga sama seperti mereka. Sama-­sama bernaung di bawah Kitab Allah. Jika mereka mau meng­hitung-hitung jasa, kami pun dapat menghitung-hitung jasa yang sama. Apa yang menjadi pendapat kami ini bukan untuk meng­ungkit-ungkit mereka. Karenanya lebih baik kami mempunyai pemimpin sendiri dan mereka pun mempunyai pemimpin sendiri!”

“Inilah awal kelemahan,” Ujar Sa’ad bin ‘Ubadah sambil menarik nafas, setelah mendengar usul kompromi dari kaumnya.

Nyata sekali pertemuan itu mengarah kepada keputusan yang hendak mengangkat Sa’ad bin ‘Ubadah sebagai pemimpin kaum muslimin, yang bertugas meneruskan kepemimpinan Rasul Allah s.a.w. Kesimpulan seperti itu segera terdengar oleh Umar Ibnul Khattab r.a. Konon yang menyampaikan berita tentang hal itu kepada Umar r.a. ialah seorang yang bernama Ma’an bin ‘Ad­diy. Ketika itu Umar r.a. sedang berada di rumah Rasul Allah s.a.w.

Pada mulanya Umar r.a. menolak ajakan Ma’an bin Adiy untuk menyingkir sebentar dari orang banyak yang sedang ber­kerumun di sekitar rumah Rasul Allah s.a.w. Tetapi karena Ma’an terus mendesak, akhirnya Umar r.a. menuruti ajakannya. Ke­pada Umar Ibnul Khattab r.a. Ma’an memberitahukan segala yang sedang terjadi di Saqifah Bani Sa’idah. Dengan penuh kegelisahan dan kekhawatiran Ma’an menyampaikan informasi kepada Umar r.a. Akhirnya ia bertanya: “Coba, bagaimana pendapat anda?”

Tanpa menunggu jawaban Umar r.a. yang sedang berfikir itu, Ma’an berkata lebih lanjut: “Sampaikan saja berita ini kepada saudara-saudara kita kaum Muhajirin. Sebaiknya kalian pilih sendiri siapa yang akan diangkat menjadi pemimpin kalian. Kulihat sekarang pintu fitnah sudah ternganga. Semoga Allah akan segera menutupnya.”

Umar r.a. sendiri ternyata tidak dapat menyembunyikan ke­resahan fikirannya mendengar berita itu. Ia belum tahu apa yang harus diperbuat. Oleh karena itu ia segera menjumpai Abu Bakar Ash Shiddiq r.a. yang sedang turut membantu membenahi per­siapan pemakaman jenazah Rasul Allah s.a.w. Menanggapi ajakan Umar r.a Abu Bakar r.a. menjawab: “Aku sedang sibuk. Rasul Allah belum lagi dimakamkan. Aku hendak kauajak kemana?”

Umar r.a. terus mendesak, dan sambil menarik tangan Abu Bakar r.a. ia berkata: “Tidak boleh tidak, engkau harus ikut. Insyaa Allah kita akan segera kembali!” Abu Bakar r.a tidak dapat mengelak dan menuruti ajakan Umar r.a.

Sambil berjalan Umar Ibnul Khattab r.a. menceritakan se­mua yang didengar tentang pertemuan yang sedang berlang­sung di Saqifah Bani Sa’idah. Abu Bakar r.a. merasa cemas dengan terjadinya perkembangan mendadak, di saat orang sedang sibuk mempersiapkan pemakaman jenazah Rasul Allah s.a.w. Dua orang itu kemudian mengambil keputusan untuk bersama-sama be­rangkat menuju Saqifah Bani Sa’idah.

Setibanya di Naqifah, mereka lihat tempat itu penuh sesak dengan orang-orang Anshar. Di tengah-tengah mereka terlentang tokoh terkemuka mereka, Sa’ad bin ‘Ubadah, yang sedang sakit. Setelah mengucapkan salam dan masuk ke dalam Saqifah, Umar r.a. yang terkenal bertabiat keras itu ingin cepat-cepat berbicara. Abu Bakar r.a. yang sudah mengenal tabiat Umar r.a, segera men­cegah: “Boleh kau bicara panjang lebar nanti. Dengarkan dulu apa yang akan kukatakan. Sesudah aku, bicaralah sesukamu, ujar Abu Bakar r.a. Umar r.a. diam, tak jadi bicara.

Abu Bakar Ash Shiddiq r.a. dengan penampilannya yang tenang dan berwibawa mulai berbicara. Setelah mengucapkan sa­lam, syahadat dan shalawat, dengan semangat keakraban ia berkata dengan tegas dan lemah lembut.

“…Allah Maha Terpuji telah mengutus Muhammad mem­bawakan hidayat dan agama yang benar. Beliau berseru kepada ummat manusia supaya memeluk agama Islam. Kemudian Allah membukakan hati dan fikiran kita untuk menyambut baik dan menerima seruan beliau. Kita semua, kaum Muhajirin dan Anshar, adalah orang-orang yang pertama memeluk agama Islam. Barulah kemudian orang-orang lain mengikuti jejak kita.

“Kami orang-orang Qureiys adalah kerabat Rasul Allah s.a.w. Kami adalah orang-orang Arab dari keturunan yang tidak berat se­belah.

“Kalian (kaum Anshar) adalah para pembela kebenaran Allah. Kalian sekutu kami dalam agama dan selalu bersama kami dalam berbuat kebajikan. Kalian merupakan orang-orang yang paling kami cintai dan kami hormati. Kalian merupakan orang-orang yang pa­ling rela menerima takdir Allah, dan bersedia menerima apa yang telah dilimpahkan kepada saudara-saudara kalian kaum Muhajirin. Juga kalian adalah orang-orang yang paling sanggup membuang ra­sa iri-hati terhadap mereka. Kalian orang-orang yang sangat berke­san di hati mereka, terutama di kala mereka dalam keadaan men­derita. Kalian juga merupakan orang-orang yang berhak menjaga agar Islam tidak sampai mengalami kerusakan.”

Demikian Abu Bakar r.a. menurut catatan Ibnu Abil Hadid, yang diketengahkannya dalam buku Syarh Nahjil Balaghah, jilid VI, halaman 5 – 12.

Orang-orang Anshar kemudian menyambut: “Demi Allah kami sama sekali tidak merasa iri hati terhadap kebajikan yang di­ limpahkan Allah kepada kalian (kaum Muhajirin). Tidak ada orang yang lebih kami cintai dan kami sukai selain kalian. Jika kalian sekarang hendak mengangkat seorang pemimpin dari kalangan ka­lian sendiri, kami rela dan akan kami bai’at. Tetapi dengan syarat, apa bila ia sudah tiada lagi –karena meninggal dunia atau lainnya– ­tiba giliran kami untuk memilih dan mengangkat seorang pemim­pin dari kalangan kami, kaum Anshar. Bila ia sudah tiada lagi, tibalah kembali giliran kalian untuk mengangkat seorang pemim­pin dari kaum Muhajirin. Demikianlah seterusnya selama ummat ini masih ada.

“Itu merupakan cara yang paling kena untuk memelihara keadilan di kalangan ummat Muhammad. Dengan demikian seti­ap orang Anshar akan menjaga diri jangan sampai menyeleweng sehingga akan ditangkap oleh orang Qureiys. Sebaliknya orang Qureiys pun akan menjaga diri untuk tidak sampai menyeleweng agar jangan sampai ditangkap oleh orang Anshar.

Mendengar pendapat orang Anshar itu, Abu Bakar r.a. tampil lagi berbicara: “Pada waktu Rasul Allah s.a.w. datang membawa risalah, orang-orang Arab bersikeras untuk tidak meninggalkan a­gama nenek-moyang mereka. Mereka membangkang dan memusu­hi beliau. Kemudian Allah mentakdirkan kaum Muhajirin men­jadi orang-orang yang terdahulu membenarkan risalah dan beri­man kepada beliau. Mereka tolong-menolong dalam membantu Ra­sul Allah dan bersama beliau dengan tabah menghadapi gangguan-­gangguan hebat yang dilancarkan oleh kaumnya sendiri.

“Mereka tetap tangguh menghadapi musuh yang tidak sedi­kit jumlahnya. Mereka adalah manusia-manusia pertama di permu­kaan bumi ini yang bersembah sujud kepada Allah. Merekapun o­rang-orang pertama yang beriman kepada Rasul Allah. Mereka ada­lah orang-orang kepercayaan dan sanak famili beliau. Mereka lebih berhak memegang kepemimpinan sepeninggal beliau. Dalam hal itu tidak akan ada orang yang menentang kecuali orang yang dza­lim.”

“Sesudah kaum Muhajirin, tak ada orang yang mempu­nyai kelebihan dan kedinian memeluk Islam selain kalian. Oleh karena itu patutlah kalau kami ini menjadi pemimpin-pemimpin dan kalian menjadi pembantu-pembantu kami. Dalam musyawa­rah kami tidak akan mengistimewakan orang lain kecuali kalian, dan kami tidak akan mengambil tindakan tanpa kalian.”

Mendengar penjelasan Abu Bakar r.a. tersebut, seorang An­shar bernama Hubab bin Al Mundzir bersitegang-leher. Ia berseru kepada kaumnya: Hai Orang-orang Anshar! Pegang teguhlah apa yang ada di tangan kalian. Mereka itu (kaum Muhajirin) bukan lain hanyalah orang-orang yang berada di bawah perlindungan kalian. Orang-orang Anshar tidak akan bersedia menjalankan sesuatu, se­lain perintah yang kalian keluarkan sendiri. Kalianlah yang melin­dungi dan membela Rasul Allah s.a.w. Kepada kalian mereka ber­hijrah. Kalian adalah tuan rumah lslam dan Iman. Demi Allah, Allah tidak disembah secara terang-terangan selain di tengah-te­ngah kalian dan di negeri kalian. Shalat pun belum pernah diada­kan secara berjama’ah selain di masjid-masjid kalian. Iman pun tidak dikenal orang di negeri Arab selain melalui pedang-pedang kalian. Oleh karena itu peganglah teguh-teguh kepemimpinan kalian. Jika mereka menolak, biarlah dari kita seorang pemimpin dan dari mereka seorang pemimpin!”

Sekarang tibalah saatnya Umar Ibnul Khattab r.a. berbi­cara. Dengan nada keras tertahan-tahan ia berkata: “Alang­kah jauhnya fikiran itu. Dua bilah pedang tak mungkin berada dalam satu sarung! Orang-orang Arab tak mungkin rela mene­rima pimpinan kalian. Sebab, Nabi mereka bukan berasal dari kalian. Orang-orang Arab tidak akan menolak jika kepemimpinan diserahkan kepada golongan Qureiys. Sebab, baik kenabian mau­pun kekuasaan berasal dari mereka.

“Itulah alasan kami,” kata Umar r.a. selanjutnya, “yang sa­ngat jelas bagi orang-orang yang tidak sependapat dengan kami. Dan itu pulalah alasan yang sangat gamblang bagi orang-orang yang menentang pendapat kami. Tidak akan ada orang yang menentang pendapat kami mengenai kepemimpinan Muhammad dan ahli wa­risnya. Tidak akan ada orang yang dapat membantah bahwa kami ini adalah orang-orang kepercayaan dan sanak famili beliau. Ha­nyalah orang-orang yang hendak menghidupkan kebatilan sajalah yang mau berbuat dosa, atau mereka sajalah orang-orang yang celaka!”

Hubab bin Al-Mundzir berdiri lagi seraya berteriak: “Hai o­rang-orang Anshar, jangan kalian dengarkan perkataan orang itu dan rekan-rekannya! Mereka akan merampas hak kalian. Jika me­reka tetap menolak apa yang telah kalian katakan, keluarkanlah mereka itu dari negeri kalian, dan peganglah sendiri kepemim­pinan atas kaum muslimin. Kalian adalah orang-orang yang paling tepat untuk urusan itu. Hanya pedang kalian sajalah yang sanggup menyelesaikan persoalan ini dan dapat menundukkan orang-o­rang yang tak mau tunduk. Biasanya pendapatku sering berhasil menyelesaikan persoalan rumit seperti ini. Aku mempunyai cukup pengalaman dan pengetahuan tentang asal mula terjadinya persoal­an seperti ini. Demi Allah, jika masih ada orang yang membantah apa yang kukatakan, akan kuhancurkan batang hidungnya dengan pedang ini!” Hubab berkata demikian, sambil menghunus pedang dari sarungnya.



bersambung..

Disadur dari buku :

Sejarah Hidup Imam Ali bin Abi Thalib r.a.
Oleh H.M.H. Al Hamid Al Husaini
Penerbit: Lembaga Penyelidikan Islam

https://tausyah.wordpress.com

Tafsir kitab Yohanes (bag.2)

“Dan tatkala ‘Isa putra Maryam berkata: hai Bani Israil, sesungguhnya aku adalah Rasul Allah kepada kamu, membenarkan Taurat yang turun sebelumku dan memberikan kabar gembira mengenai seorang Rasul sesudahku yang bernama Ahmad.” (QS. ash-Shaff 61:6)

Kita semua tahu, pengutusan ‘Isa al-Masih terhadap umat Bani Israil adalah sebagai pelanjut risalah Taurat yang telah diturunkan melalui Nabi Musa as lebih kurang 1300 tahun sebelumnya. Dalam satu kalimat lain yang panjang telah diriwayatkan oleh Matius dalam Injil karangannya pada pasal ke-5 ayat 17 hingga 18 bahwa ‘Isa pernah bersabda :

“Janganlah engkau menganggap bahwa aku datang untuk menghapus hukum Musa dan ajaran para Nabi. Aku datang bukan untuk menghapuskannya melainkan untuk menggenapkannya. Karena aku berkata kepadamu, selama belum lenyap langit dan bumi ini, satu noktahpun tidak akan dihapuskan dari hukum Taurat sebelum semuanya terjadi.”

Apakah yang dimaksud oleh putra Maryam ini bahwa kedatangannya untuk menggenapkan ? Menggenapi berarti menutupi sesuatu sehingga tidak menjadi ganjil atau bisa juga kita artikan sebagai menyelesaikan sesuatu.

Jika ‘Isa bersabda bahwa beliau hadir untuk menggenapi hukum Musa maka disini berarti bahwa ‘Isa datang untuk menyelesaikan hukum Musa ditengah Bani Israil, menyelesaikan dalam makna menutupi, menuntaskan namun tidak dalam makna meniadakan atau menghapuskan.

Bahwa ‘Isa telah hadir ketengah-tengah umatnya, Bani Israil tidak dengan membawa hukum-hukum baru, beliau mengikuti syariat Nabi sebelumnya sebagaimana juga Daud, Sulaiman dan para Nabi setelah Musa yang lain, mereka berkiblat terhadap syariat Taurat.

‘Isa dengan wahyu yang beliau terima dari Allah yang disebut sebagai Injil berfungsi sebagai penggenapan hukum-hukum Taurat terhadap Bani Israil, sebab setelah masa kenabiannya ini, tiada akan ada lagi Nabi lain yang diutuskan bagi umat Israil yang berasal dari benih Ya’kub, kerajaan Allah selanjutnya akan diangkat dari mereka oleh sebab keingkaran yang senantiasa mereka perlihatkan.

Untuk hal ini Nabi ‘Isa al-Masih telah bersabda dalam salah satu hadistnya yang diriwayatkan oleh Matius pada pasal 21:43 :

“Aku berkata kepadamu, bahwa kerajaan Allah akan diambil darimu dan akan diberikan kepada suatu bangsa yang akan menghasilkan buah kerajaan itu.”

Hadist ini memiliki kaitan yang erat dengan apa yang telah disabdakan oleh Nabi Musa as sebelumnya kepada umat Bani Israil yang tercatat dalam Kitab Hadist Ulangan pasal 9:12 dan pasal 31:27-28 :

“Bahkan kamu menentang Tuhan sejak aku mengenal kamu.”
“Sebab aku mengenal kedegilan dan tegar tengkukmu. Sedang sekarang, selagi aku hidup bersama-sama dengan kamu, kamu sudah menunjukkan kedegilanmu terhadap Tuhan, terlebih lagi nanti sesudah aku wafat.”

Dalam salah satu “Hadist qudsi” yang tercatat pada Kitab Ulangan pasal 32:21, Allah berfirman :

“Mereka membangkitkan cemburu-Ku dengan yang bukan Tuhan, mereka menimbulkan murka-Ku dengan berhala mereka. Sebab itu Aku akan membangkitkan cemburu mereka dengan yang bukan kaumnya dan akan menerbitkan amarahnya dengan satu kaum yang hina.”

Perjalanan hidup Nabi ‘Isa putra Maryam didalam menyampaikan risalah Allah kepada Bani Israil telah mendapatkan tantangan yang hebat dari beberapa pihak, beliau selalu dikejar dan diburu oleh para musuhnya yang telah menganggap kehadiran ‘Isa sebagai ancaman bagi kekuasaan dan kehendak mereka.

Yang lebih menyakitkan lagi bagi diri putra Maryam ini, saudara-saudaranya pun tidak memiliki kepercayaan terhadap dirinya sebagaimana yang diriwayatkan oleh Yohanes pada pasal 7:5

“Saudara-saudaranya sendiripun tidak mempercayainya.”

Bahkan dalam riwayat Markus pasal 3:21 dinyatakan juga, para keluarga-nya sendiri sudah menganggapnya gila.

“Waktu kaum keluarganya mendengar hal tersebut, mereka datang hendak mengambil dia, sebab kata mereka, dia itu tidak waras lagi.”

Kepedihan yang ditanggung ‘Isa al-Masih ditambah pula dengan kekecewaannya terhadap para sahabat utamanya yang berjumlah dua belas orang (dalam teologi Nasrani disebut sebagai murid pilihan). Karena mereka semua sama sekali tidak ada satupun yang benar-benar mempercayainya, hingga bahkan pada saat-saat terakhir penangkapan ‘Isa al-Masih mereka semua melarikan diri, menyelamatkan dirinya masing-masing dengan meninggalkan putra Maryam seorang diri menghadapi marabahaya.

“‘Isa berkata kepada mereka, Mengapa kamu takut, kamu yang kurang percaya ?”
(Matius 8:26)

“…dan ‘Isa berkata kepada Petrus: wahai orang yang kurang percaya …”
(Matius 14:31)

“…’Isa berkata kepada para muridnya: Kamu yang kurang percaya, mengapa kamu memperbincangkannya ?” (Matius 16:8)

“Lalu kata ‘Isa kepada mereka, dimanakah kepercayaanmu ?”
(Lukas 8:25)

“Lalu semua murid itu meninggalkan dia dan melarikan diri.”
(Matius 26:56)

Bisa kita rasakan betapa kecewanya ‘Isa al-Masih, dan sebagai satu ungkapan rasa kecewanya ini, ‘Isa bersabda dalam hadist yang diriwayatkan oleh Yohanes dalam pasal 16:32 :

“Lihat, saatnya datang, bahkan sudah datang, bahwa kamu diceraiberaikan masing-masing ke tempatnya sendiri dan kamu meninggalkan aku seorang diri. Namun aku tidak seorang diri, sebab Allah menyertaiku.”

Dan ungkapan rasa kecewanya ini diadukannya kepada Allah yang telah mengutus dirinya sebagai Nabi ketengah-tengah Bani Israil yang senantiasa ingkar dan keterlaluan, tampaknya disini ‘Isa al-Masih merasa putus asa untuk memberikan pengajaran kepada umatnya dan mengharapkan Allah memberikan seorang “pembimbing” yang lain kepada mereka karena ia sudah tidak sanggup lagi menghadapi semuanya.

Diriwayatkan oleh Yohanes dalam pasal 14:16 s.d 14:17

“Dan aku akan memohon kepada Allah, dan Dia akan memberikan kepadamu seorang “Paraclete” yang lain, yang akan dapat menyertai kamu selamanya, “The Spirit of Truth”, yang tidak akan diterima oleh dunia sebab dunia tidak melihat dan tidak mengetahuinya tapi kamu mengenalnya. Karena dia akan menyertai dan bersama kamu.”

Pada pasalnya yang ke 16:7 hingga 16:9, Yohanes meriwayatkan sabda ‘Isa selanjutnya :

“Tetapi aku mengatakan ini yang benar kepadamu, bahwa berfaedahlah bagi kamu jikalau aku ini pergi, karena jikalau aku tidak pergi, tiadalah “Paraclete” itu akan datang kepadamu; tetapi jika aku pergi, aku akan memintakannya untukmu. Dan bilamana dia sudah datang, dia akan menerangkan kepada isi dunia ini mengenai dosa dan keadilan serta hukuman dari dosa, sebab mereka tidak mempercayaiku.”

Dalam pasal 16:12 s.d. 16:15 ditambahkan :

“Sebenarnya, masih banyak perkara yang hendak kukatakan kepadamu, namun kamu tidak bisa menerimanya sekarang. Tetapi apabila dia, “The Spirit of Truth” telah datang, dia akan mengajarkanmu seluruh hal tentang kebenaran, sebab dia tidak akan berkata-kata menurut kehendaknya sendiri, tetapi apasaja yang akan dia dengar itulah yang akan dikatakannya. Dia akan mengabarkan kepadamu semua perkara yang akan datang.”

“Maka ia akan memuliakan aku, karena ia akan mengambil daripada hakku, lalu mengabarkannya kepadamu, segala sesuatu yang hak Allah itu juga hakku, oleh sebab itu aku berkata, bahwa diambilnya daripada hakku, lalu dikabarkannya kepadamu.” (Paragraph terakhir ini dikutip dari dalam Bible terjemahan Lembaga Alkitab Indonesia 1963)

Pada pasal 14:26 juga diriwayatkan :

“Tetapi sang “Paraclete”, “The Holy Spirit” yang akan diutus Allah karenaku, dia akan mengajarkan kepadamu seluruh perkara dan akan mengingatkan kepadamu apa yang telah kusabdakan padamu.”

Dan juga pasal 15:25 s.d. 15:26
“Tetapi telah terpenuhilah nubuat yang tertulis dalam hukum Taurat mereka, mereka membenciku tanpa sebab. Namun ketika sang “Paraclete” yang kupintakan kepada Allah, “The Spirit of Truth”, yang akan diberikan oleh Allah telah datang, dia akan memberikan kesaksian tentang aku.”

Begitulah akhirnya, setelah tantangan demi tantangan dihadapi oleh ‘Isa putra Maryam dengan penuh ketabahan dalam menyebarkan risalah Allah, umat Bani Israil tetap tidak mempercayainya.

Dan Allah telah memerintahkan kepada ‘Isa al-Masih agar segera menyingkir dari tengah-tengah kaumnya dengan terlebih dahulu memberikan satu nubuat, memberikan satu kabar gembira, yaitu akan hadirnya seorang “Paraclete” lain setelah kepergiannya sebagaimana permintaan dari ‘Isa al-Masih sendiri.

Kata “Paraclete” diatas saya ambil dari “Douay”, yaitu kitab Bible tertua milik orang-orang Katholik Roma (dikenal juga sebagai RCV = Roman Catholic Version) yang diterbitkan di Rheims pada tahun 1582 dari terjemahan Injil berbahasa Latin Jerome dan direproduksi di Douay tahun 1609, untuk meyakinkan anda semuanya, maka anda bisa membaca kata ini pada alamat yang saya berikan berikut : http://www.cybercomm.net/~dcon/NT/john.html

(catatan : Bible “Douay” ini tidak diakui oleh kaum Protestan serta “cults” atau sekte-sekte Nasrani “Bid’ah” lainnya, sebab didalam kitab ini terdapat 7 kitab yang kebenarannya diragukan. Dan mengenai 7 kitab ini bisa anda link pada web site “Noncanonical Homepage” dengan alamat http://wesley.nnc.edu/noncanon.htm atau juga
http://www.tparents.org/Lib-Bib-Rsv.htm)

Sedangkan menurut apa yang tertulis dalam web site bertitle-kan “Adakah Muhammad diramalkan di dalam Injil?” dengan alamat http://answering-islam.org.uk/Bahasa/Risalah/risalah04.html#1 yang merupakan terjemahan dari web site Answering-Islam (http://answering-islam.org) “IS THERE A PREDICTION OF MUHAMMAD IN THE INJIL?” (http://www.debate.org.uk/topics/trtracts/t04.htm) telah diterangkan :

“Nashkhah-nashkhah Yunani Mengesahkah ‘Parakletos’.
Kalaulah ada apa-apa yang dicurigai bagaimana perkataan ini ditulis, adalah mudah sekali bagi merujuk kepada nashkhah-nashkhah yang sedia ada.

Sesiapa pun boleh memeriksa dokumen-dokumen dan nashkhah-nashkhah (termasuk kedua-dua yang paling tua, ‘Codex Siniaticus’ dan ‘Codex Alexandrinus’ yang terdapat di British Museum di London). Terdapat lebih daripada 70 buah nashkhah-nashkhah Yunani bagi Kitab Injil yang bertarikh sebelum kedatangannya Muhammad. Tidak ada satu pun di antara mereka yang menggunakan perkataan ‘periklytos‘! Semua nashkhah-nashkhah ini menggunakan perkataan ‘Parakletos’. Pada hakikatnya perkataan ‘periklytos’ ini tidak terjumpa sama sekali di dalam Kitab Injil !”

Dan dalam alamat http://www.ridgecrest.ca.us/~immanuel/grow/jwclass/LESSON7.html didapati pengertian dari kata “Paracletos” yaitu sebagai “Helper, Comforter (Greek – parakletos – an intercessor, consoler – advocate, comforter)”.

Jadi kesimpulannya, yang dimaksudkan dengan Paraclete atau Paracletos adalah seorang Pembela perkara, pengacara, penasehat, penolong serta penghibur.

Dalam kitab hadistnya yang bernama Injil, Yohanes, salah seorang Nasrani telah meriwayatkan nubuatan ‘Isa al-Masih akan kedatangan seorang “Paraclete” yang lain, kedatangan seorang penolong yang lain atau seorang pembela yang akan datang setelah kepergian dirinya dari tengah-tengah umat Bani Israil.

Sang Paraclete yang lain ini menurut ‘Isa al-Masih adalah “The Holy Spirit” dan ini tercantum dalam Yohanes 14:26. Sebelum kita membahas lebih lanjut, ada sedikit catatan yang akan saya tuliskan disini.

Bahwa para Ahli Kitab telah sering membuat kesalahan dalam penterjemahan kalimat Yohanes 14:26 ini, dalam kebanyakan terjemahan Bible, kata “Pneuma” yaitu kata Yunani untuk “Spirit” telah diartikan sebagai “Ghost”, sehingga terjemahannya bukan sebagai “The Holy Spirit” (Jiwa atau Roh yang suci), melainkan “The Holy Ghost” (Hantu atau Bayangan Suci).

Anda bisa membuktikan langsung pada Bible yang anda miliki, umpamanya saya refer pada Software Bible Plus (King James Version) yang bisa anda download pada alamat ftp://zdftp.zdnet.com/pub/private/sWlIB/home_hobby/religion/wbib.zip telah mempergunakan kata “Holy Ghost”, begitu juga dengan Bible “Douay” alias Roman Catholic Version yang bisa anda baca dialamat http://www.cybercomm.net/~dcon/NT/john.html telah tertulis sebagai “Holy Ghost”.

Namun apabila anda memiliki Bible Revised Standard Version, yaitu Bible revisi terbaru, maka anda akan menemukan kalimat tersebut diterjemahkan sebagai “Holy Spirit”, atau bila anda tidak ingin membuka-buka kitab Bible anda secara manual anda bisa melakukan rujukan pada “The Restored Name King James Version of the Scriptures” dengan alamat http://www.eliyah.com/Scripture/, disana anda juga akan menemukan kembali terjemahan “The Holy Spirit” sebagaimana terjemahan RSV diatas.

Dalam hal ini, The Revised Standard Version serta The Restored Name King James Version of the Scriptures sudah menterjemahkan secara tepat makna dari kata Yunani Pneuma yang terdapat dalam naskah Bible (manuskrip).

Dan karena itu kita mengatakan dengan simple bahwa makna Paraclete yang disebutkan oleh ‘Isa putra Maryam sebagai The Holy Spirit adalah Nabi yang suci.
Kenapa begitu ?

Anda buka kitab 1 Yohanes 4:1 menyebutkan :
“Saudara-saudara sekalian, janganlah percaya kepada setiap “Spirit”, tetapi ujilah “The Spirits” tersebut apakah mereka berasal dari Allah. Sebab banyak “The False Prophets” yang telah muncul dan pergi keseluruh dunia.”

Kita lihat disana bahwa kata Spirit yang dipergunakan disini sama dengan Prophet, atau kata “Jiwa/Roh” = “Nabi”.

Dalam Bible C.I.Scofield’s Authorized King James Version” ketika sampai pada kata ‘Spirit atau Roh’ yang pertama pada ayat 1 Yohanes 4:1 tersebut, diarahkan agar para pembacanya membandingkan dengan yang tertera dalam Matius 7:15.

“Waspadalah terhadap “false prophets” yang datang kepadamu dengan menyamar seperti domba, tetapi sesungguhnya mereka adalah serigala yang buas.”

Dengan perbandingan ini kita semakin mengetahui bahwa “Nabi yang salah adalah Roh yang salah”, jadi kalimat “Spirit” = “Prophet” didalam Tafsir Yohanes dan Matius.

Dan Yohanes terus memberikan kepada kita petunjuk atau kriteria sebagai Nabi atau Roh mana yang benar dan Nabi atau Roh mana yang salah.

Demikianlah kita mengenal Roh Allah: setiap roh yang mengaku, bahwa ‘Isa al-Masih telah datang sebagai manusia, berasal dari Allah.” (1 Yohanes 4:2)

Berdasarkan penafsiran Yohanes sendiri pada ayat 1 sebelumnya bahwa kata Roh sama dengan kata Nabi. Jadi ayat 2 “Roh Allah” akan memiliki arti “Nabi Allah” dan “setiap Roh” sama dengan “setiap Nabi”.

Maka Paraclete atau Paracletos yang telah dimaksudkan oleh ‘Isa al-Masih adalah seorang Nabi Allah yang suci, Nabi yang benar (dalam Yohanes 14:17 juga disebut dengan nama ” the Spirit of truth”) yang akan datang setelah kepergian dirinya dan menyatakan kesaksian mengenai kemanusiaan ‘Isa al-Masih dan memuliakannya sekaligus berfungsi sebagai pembimbing, mewajibkan tegaknya supremasi hukum kepada dunia, baik perihal duniawi (yaitu keadilan) maupun rohani (yaitu perihal dosa).

Sang Paraclete ini suatu gambaran yang tepat bagi diri Nabi Muhammad Saw yang telah datang lebih kurang 600 tahun setelah kepergian ‘Isa al-Masih dari kalangan Bani Israil yang memenuhi nubuatan Nabi Musa pada Kitab Ulangan 18:15 dan 18:18 bahwa Nabi tersebut datang dari saudara Bani Israil sekaligus juga memenuhi nubuat Allah sendiri pada Hadist Qudsi-Nya di Ulangan 32:21 untuk membangkitkan kecemburuan dari satu kaum yang dianggap hina oleh Bani Israil, yaitu Bani Ismail, leluhur Nabi Muhammad Saw.

Parakletos dalam arti ‘Pembela perkara, pengacara, advokat’ menunjukkan bahwa Nabi Muhammad Saw yang membela seluruh dakwahan mengenai ‘Isa al-Masih yang kenabiannya ditolak oleh umat Bani Israil dan menuduhnya sebagai anak haram yang telah terbunuh diatas kayu salib terkutuk sekaligus membela ‘Isa al-Masih dari dakwahan sebagian umat Nasrani yang mengatakan bahwa dirinya adalah anak dari Tuhan atau Tuhan yang melakukan inkarnasi kebumi.

“Seandainya aku bersaksi akan diriku maka kesaksianku itu tidak akan diterima, akan ada orang lain yang akan memberikan kesaksian mengenaiku dan aku tahu kesaksiannya tentang diriku adalah benar.” (Yohanes 5:31-32)

Nabi Muhammad Saw telah memuliakan kedudukan Nabi ‘Isa putra Maryam dan memerintahkan umat Islam, apabila mendengar nama seorang Nabi, termasuk Nabi Isa (Jesus) disebut, harus mengiringinya dengan kata-kata “alaihis-salaam” yang berarti “semoga sejahtera atas dirinya”.

Selain itu juga salah satu bentuk kemuliaan Isa Almasih putra Maryam yang disampaikan oleh Rasulullah Saw adalah, didalam al-Qur’an telah disebut nama ‘Isa a.s, lebih dari dua puluh lima kali dan digelarinya dengan berbagai gelar dan sifat, diantaranya : ‘Isa putra Maryam’, ‘Seorang Nabi’, ‘Seorang shaleh’, ‘Kalimah Allah’, ‘Masihullah’ dan lain sebagainya.

Semuanya menunjukkan bahwa betapa Nabi Muhammad Saw sangat memuliakan ‘Isa al-Masih, putra Maryam Rasul Allah sekaligus memberikan kesaksiannya akan kemanusiaan ‘Isa sebagaimana yang dituliskan oleh 1 Yohanes 4:2.

Dalam pembahasan terdahulu kita sudah menguraikan bahwa ‘Isa al-Masih didalam Bible selalu mengatakan dirinya sebagai “Anak manusia”, dan begitu pula halnya dengan Nabi Muhammad Saw, hampir dalam setiap kali penyebutan atau penulisan nama ‘Isa selalu disertai dengan kata “putra Maryam” (son of Marry).

Allah sudah berkehendak untuk mengakhiri penderitaan yang dialami oleh ‘Isa al-Masih dari aniaya kaumnya, dan ‘Isa tidak bisa menolaknya, sebab dia hanyalah seorang hamba dan bukan khaliq. Sebagai seorang hamba, dia wajib tunduk pada apa yang sudah diperintahkan oleh sang penciptanya seperti apa yang telah disabdakannya sendiri :

“Aku tiada dapat berbuat apapun menurut kehendakku; sebab apa yang kudengar, kuputuskan dan ku hukumkan tidak atas keinginanku tetapi atas kehendak Allah yang telah mengutusku.”
(Yohanes 5:30)

Muhammad Saw disebutkan oleh ‘Isa dalam Yohanes 16:14 sd. 15 akan mengambil daripada hak ‘Isa al-Masih adalah merefer pada kenabian Muhammad Saw yang bersifat universal yang juga akan menggantikan posisi kenabian ‘Isa al-Masih ditengah umat Yahudi yang akan memberikan bimbingan kepada mereka, memberikan pengajaran, menunjukkan kebenaran.

Kalimat ini juga dikeluarkan oleh ‘Isa al-Masih sebagai konsekwensi dari ucapannya pada Yohanes pasal 16:12 bahwa kaum Bani Israel belumlah sanggup menerima beban berupa perintah Allah yang disampaikan melalui ‘Isa masa itu, karenanya dikatakan bahwa dengan kedatangan sang utusan berikutnyalah Bani Israil akan mendapati petunjuk yang seharusnya mereka terima dan mereka dengarkan serta mereka ikuti.

Dan ini tertepati, dimana Nabi Muhammad Saw sebagai Paraclete yang juga bergelar The Spirit of Truth alias al-Amin, mengabarkan kedatangannya untuk memberi pengajaran kepada seluruh manusia, termasuk Bani Israil mengenai Tauhid, hukum, keadilan, perundang-undangan, pola hidup bermasyarakat dan berketuhanan, masalah kebenaran hingga pada masalah hari kiamat yang akan datang, yang kesemuanya itu merupakan refleksi dari nubuatan ‘Isa al-Masih bahwa Roh kebenaran itu akan memberitakan segala kebenaran, menyangkut hukum dan perundang-undangan Tuhan serta mengabarkan hal-hal yang akan datang.

Hal-hal yang akan datang ini bila kita merujuk kepada al-Qur’an, adalah berupa mukjizatnya yang berisikan petunjuk-petunjuk kepada manusia dalam bidang ilmu pengetahuan seperti kedokteran, geologi, antariksa, kelautan dan sebagainya hingga pada permasalahan kiamat yang akan terjadi.

Dan seluruhnya ini disebutkan lagi oleh ‘Isa al-Masih tidak akan dikatakannya berdasarkan kehendaknya sendiri melainkan segala sesuatu yang didengarnya dari Tuhan itulah yang akan dikatakannya (lihat kembali Yohanes ayat ke-13 dari pasal 16), dan ini sesuai pula dengan pernyataan al-Qur’an mengenai pribadi Nabi Muhammad Saw :

“Wa maa yantiqu anil-hawa in huwa illa wahyun yuuhaa”
“Tidaklah ia itu berkata-kata menurut nafsunya sendiri melainkan apa yang diucapkannya itu adalah wahyu yang diberikan.” (QS. An-Najm 53:3-4)

Sang Paraclete ini juga disebutkan oleh ‘Isa al-Masih putra Maryam akan mengingatkan Bani Israil akan apa yang pernah disabdakan olehnya kepada mereka.

Hampir mayoritas dari umat Nasrani yang ada sekarang berpahamkan kepada doktrin Trinitas, yaitu suatu paham yang menyatakan keterbagian Tuhan dalam beberapa bagian kecil. Ini sama sekali tidak diajarkan oleh ‘Isa al-Masih semasa keberadaannya ditengah-tengah umat Bani Israil. Justru ‘Isa al-Masih mengajarkan akan ke-Esaan Allah bukan ketringgulan Allah. Ajaran ini berasal dari seorang musuh besarnya dari Tarsus yang bernama Saul.

Saul telah mengaku mendapatkan mandat dari ‘Isa meski tidak ada satupun bukti yang otentik yang dapat diperlihatkannya atas pengakuannya ini. Kedatangan Saul ketengah-tengah Bani Israil terutama ketengah-tengah para sahabat ‘Isa justru membuat ajaran al-Masih yang sejati menjadi kacau balau.

‘Isa al-Masih telah mengatakan dirinya hanya diutus untuk kaum Israel, namun Saulus mengubahnya, Muhammad Saw datang lalu mengingatkan kembali perihal ini, ‘Isa mengatakan dirinya datang bukan sebagai penghapus hukum Taurat, tetapi Saul mengubah hukum Taurat.

Muhammad Saw juga datang untuk mengingatkan kembali kaum Bani Israil dan juga manusia lainnya, ‘Isa juga mengatakan bahwa dirinya hanyalah anak manusia dan dia adalah pesuruh Allah, Saul mengubahnya menjadi ‘Isa putra Allah dan merupakan Allah itu sendiri, Muhammad datang mengingatkan bahwa benar ‘Isa adalah anak manusia, putra Maryam yang diberkahi Allah, dan ‘Isa adalah Nabi dan Rasul Allah.

‘Isa juga menyeru kepada manusia bahwa Tuhan itu Esa, Tuhan itu satu, tidak ada Tuhan selain Allah, Saul mengubahnya, bahwa Tuhan itu Tiga, dan Tiga adalah satu, Muhammad juga mengingatkan manusia akan misi para Nabi dan Rasul sebelumnya bahwa Tuhan yang benar adalah satu bukan tiga, sama seperti apa yang dikatakan oleh ‘Isa, Musa, Ibrahim dan sebagainya.

Itulah Muhammad Saw sang Paraclete agung yang dalam menjalankan misi kenabiannya tidak pernah berkeluh kesah atau putus semangat sebagaimana yang terdapat dalam Tafsir Kitab Yesaya yang pernah kita bahas sebelumnya.

Perjuangannya didalam mensyiarkan ajaran Allah yang sejati tidak tergoyahkan meski untuk itu beliau Saw harus berhadapan dengan kaumnya, menghadapi caci maki dan aniaya, fitnah maupun seringai bahkan hingga harus terusir dari tanah kelahirannya sendiri, Mekkah al-Mukarromah menuju ketanah Madinah persis seperti Musa yang harus hijrah kebumi Median.

Dan sejarah telah mencatat sukses yang dicetak oleh Nabi besar Muhammad Saw ini didalam membangun peradaban umat manusia, ilmu pengetahuan sudah membuktikan akan kebenaran kata demi kata yang keluar dari mulutnya mengenai alam semesta, keagungannya menembus waktu dari jaman kejaman dari satu pulau kepulau yang lainnya diseantero bumi Allah ini.

“Katakanlah: “Aku bukanlah Rasul yang pertama di antara Rasul-rasul dan aku tidak mengetahui apa yang akan diperbuat terhadapku dan tidak terhadapmu. Aku tidak lain hanyalah mengikuti apa yang diwahyukan kepadaku dan aku tidak lain hanyalah seorang pemberi peringatan yang memberi penjelasan”. (QS. 46:9)

“Hai manusia ! sungguh, telah datang kepadamu bukti yang nyata dari Tuhanmu. Dan telah Kami turunkan untukmu cahaya yang terang”. (QS. An-Nisa’ 4:174)

“Sesungguhnya kafirlah orang-orang yang mengatakan:”Bahwa Allah adalah salah satu oknum dari Tritunggal”, padahal sekali-kali tiada Tuhan selain Tuhan Yang Satu. Jika mereka tidak berhenti dari apa yang mereka katakan itu, pasti orang-orang yang kafir diantara mereka akan ditimpa azab yang pedih.” (QS. Al-Ma’idah 5:73)

“Sungguh, telah kafirlah orang-orang yang berkata :”Allah itu adalah al-Masih putera Maryam”. Tanyakanlah:”Siapakah yang dapat menghalang-halangi kehendak Allah, jika Dia hendak membinasakan Al-Masih putera Maryam itu beserta ibunya dan siapa saja diatas bumi semuanya ?” Kepunyaan Allah kerajaan langit dan bumi dan apa yang diantara keduanya; Ia menciptakan apa yang Ia kendaki. Dan Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu.” (QS. Al-Ma’idah 5:17)

“Sungguh telah kafirlah orang-orang yang berkata:”Bahwa Allah ialah al-Masih putera Maryam”, padahal al-Masih sendiri berkata:”Hai Bani Israil, sembahlah Allah Tuhanku dan Tuhanmu !”. Siapapun mempersekutukan Allah, telah Allah larang kepadanya surga, dan tempat kediamannya ialah neraka, tidaklah ada bagi orang-orang zalim itu seorang penolongpun.” (QS. Al-Ma’idah 5:72)

“Maka jawab ‘Isa kepadanya. Hukum yang terutama adalah: Dengarlah wahai Israil, adapun Allah Tuhan kita, ialah Tuhan yang Esa.” (Markus 12:29)

https://tausyah.wordpress.com