Sa’ad bin ‘Ubadah, Abu Bakar & Umar Bin Khattab Di Tempat Per­temuan (Saqifah) Bani Sa’idah

Posted: 3 Agustus 2010 in Para Imam
Tag:, , ,

Di saat kaum muslimin sedang resah mendengar berita ten­tang wafatnya Rasul Allah s.a.w., sejumlah kaum Anshar menye­lenggarakan pertemuan di Saqifah Bani Sa’idah untuk memper­bincangkan masalah penerus kepemimpinan Rasul Allah s.a.w.  Bersama  seorang tokoh Anshar, Sa’ad bin Ubadah.

Di dalam bukunya yang berjudul As Saqifah, Abu Bakar Ahmad bin Abdul Azis Al-Jauhary[1] mengetengahkan riwayat tentang terjadinya peristiwa penting di Saqifah (tempat per­temuan) Bani Sa’idah. Antara lain dikemukakan, bahwa tokoh ter­kemuka Anshar, Sa’ad bin ‘Ubadah, dalam keadaan menderita sa­kit lumpuh sengaja digotong untuk menghadiri pertemuan ter­sebut.

Karena tidak sanggup berbicara dengan suara keras, ia minta kepada anaknya, Qeis bin Sa’ad, supaya meneruskan kata-katanya yang ditujukan kepada semua hadirin. Dengan suara lantang Qeis meneruskan kata-kata ayahnya:

“Kalian termasuk orang yang paling dini memeluk agama Islam, dan Islam tidak hanya dimiliki oleh satu qabilah Arab. Sesungguhnya ketika masih berada di Makkah, selama 13 tahun di tengah-tengah kaumnya, Rasul Allah mengajak mereka supaya menyembah Allah Maha Pemurah dan meninggalkan berhala-­berhala. Tetapi hanya sedikit saja dari mereka itu yang beriman kepada beliau. Demi Allah mereka tidak sanggup melindungi Rasul Allah s.a.w. Mereka tidak mampu memperkokoh agama Allah . Tidak mampu membela beliau dari serangan musuh­-musuhnya.

“Kemudian Allah melimpahkan keutamaan yang terbaik ke­pada kalian dan mengaruniakan kemuliaan kepada kalian, serta mengistimewakan kalian pada agama-Nya. Allah telah melimpah­kan nikmat kepada kalian berupa iman kepada-Nya, dan kesang­gupan berjuang melawan musuh-musuh-Nya. Kalian adalah orang-­orang yang paling teguh dalam menghadapi siapa pun juga yang menentang Rasul Allah s.a.w. Kalian juga merupakan orang-­orang yang lebih ditakuti oleh musuh-musuh beliau, sampai akhirnya mereka tunduk kepada pimpinan Allah, suka atau tidak suka.

“Dan orang-orang yang jauh pun akhirnya bersedia tunduk kepada pimpinan Islam, sampai tiba saatnya Allah menepati janji-Nya kepada Nabi kalian, yaitu tunduknya semua orang Arab di bawah pedang kalian. Kemudian Allah memanggil pulang Nabi Muhammad s.a.w. keharibaan-Nya dalam keadaan beliau puas dan ridho terhadap kalian. Karena itu pegang teguhlah ke­pemimpinan di tangan kalian. Kalian adalah orang-orang yang paling berhak dan paling afdhal untuk memegang urusan itu!”

Kata-kata Sa’ad bin ‘Ubadah itu disambut hangat oleh pemuka-pemuka Anshar yang hadir memenuhi Saqifah Bani Sa’idah. Apa yang dikemukakan oleh tokoh terkemuka kaum Anshar itu memperoleh dukungan mutlak. “Kami tidak akan menyimpang dari perintahmu!” teriak mereka hampir serentak. Engkau kami angkat untuk memegang kepemimpinan itu, karena kami merasa puas terhadapmu dan demi kebaikan kaum mus­limin, kami rela!”

Setelah menyatakan dukungan kepada Sa’ad bin ‘Ubadah hadirin menyampaikan pendapat-pendapat tentang kemungkinan apa yang bakal terjadi. Ada yang mengatakan, sikap apakah yang harus diambil jika kaum Muhajirin berpendirian, bahwa mereka itulah yang berhak atas kepemimpinan ummat? Sebab mereka itu pasti akan mengatakan: Kami inilah sahabat Rasul Allah dan lebih dini memeluk Islam. Mereka tentu juga akan menyatakan diri sebagai kerabat Nabi dan pelindung beliau. Mereka pasti akan menggugat: atas dasar apakah kalian menentang kami memegang kepemimpinan sepeninggal Rasul Allah? Bagaimana kalau timbul problema seperti itu?

Pertanyaan itu kemudian dijawab sendiri oleh sebagian ha­dirin: “Kalau timbul pertanyaan-pertanyaan seperti itu kita bisa mengemukakan usul kompromi kepada mereka, dengan menyaran­kan: Dari kami seorang pemimpin dari kalian seorang pemimpin. Kalau mereka bangga dan merasa turut berhijrah, kami pun dapat membanggakan diri karena kami inilah yang melindungi dan mem­bela Rasul Allah s.a.w. Kami juga sama seperti mereka. Sama-­sama bernaung di bawah Kitab Allah. Jika mereka mau meng­hitung-hitung jasa, kami pun dapat menghitung-hitung jasa yang sama. Apa yang menjadi pendapat kami ini bukan untuk meng­ungkit-ungkit mereka. Karenanya lebih baik kami mempunyai pemimpin sendiri dan mereka pun mempunyai pemimpin sendiri!”

“Inilah awal kelemahan,” Ujar Sa’ad bin ‘Ubadah sambil menarik nafas, setelah mendengar usul kompromi dari kaumnya.

Nyata sekali pertemuan itu mengarah kepada keputusan yang hendak mengangkat Sa’ad bin ‘Ubadah sebagai pemimpin kaum muslimin, yang bertugas meneruskan kepemimpinan Rasul Allah s.a.w. Kesimpulan seperti itu segera terdengar oleh Umar Ibnul Khattab r.a. Konon yang menyampaikan berita tentang hal itu kepada Umar r.a. ialah seorang yang bernama Ma’an bin ‘Ad­diy. Ketika itu Umar r.a. sedang berada di rumah Rasul Allah s.a.w.

Pada mulanya Umar r.a. menolak ajakan Ma’an bin Adiy untuk menyingkir sebentar dari orang banyak yang sedang ber­kerumun di sekitar rumah Rasul Allah s.a.w. Tetapi karena Ma’an terus mendesak, akhirnya Umar r.a. menuruti ajakannya. Ke­pada Umar Ibnul Khattab r.a. Ma’an memberitahukan segala yang sedang terjadi di Saqifah Bani Sa’idah. Dengan penuh kegelisahan dan kekhawatiran Ma’an menyampaikan informasi kepada Umar r.a. Akhirnya ia bertanya: “Coba, bagaimana pendapat anda?”

Tanpa menunggu jawaban Umar r.a. yang sedang berfikir itu, Ma’an berkata lebih lanjut: “Sampaikan saja berita ini kepada saudara-saudara kita kaum Muhajirin. Sebaiknya kalian pilih sendiri siapa yang akan diangkat menjadi pemimpin kalian. Kulihat sekarang pintu fitnah sudah ternganga. Semoga Allah akan segera menutupnya.”

Umar r.a. sendiri ternyata tidak dapat menyembunyikan ke­resahan fikirannya mendengar berita itu. Ia belum tahu apa yang harus diperbuat. Oleh karena itu ia segera menjumpai Abu Bakar Ash Shiddiq r.a. yang sedang turut membantu membenahi per­siapan pemakaman jenazah Rasul Allah s.a.w. Menanggapi ajakan Umar r.a Abu Bakar r.a. menjawab: “Aku sedang sibuk. Rasul Allah belum lagi dimakamkan. Aku hendak kauajak kemana?”

Umar r.a. terus mendesak, dan sambil menarik tangan Abu Bakar r.a. ia berkata: “Tidak boleh tidak, engkau harus ikut. Insyaa Allah kita akan segera kembali!” Abu Bakar r.a tidak dapat mengelak dan menuruti ajakan Umar r.a.

Sambil berjalan Umar Ibnul Khattab r.a. menceritakan se­mua yang didengar tentang pertemuan yang sedang berlang­sung di Saqifah Bani Sa’idah. Abu Bakar r.a. merasa cemas dengan terjadinya perkembangan mendadak, di saat orang sedang sibuk mempersiapkan pemakaman jenazah Rasul Allah s.a.w. Dua orang itu kemudian mengambil keputusan untuk bersama-sama be­rangkat menuju Saqifah Bani Sa’idah.

Setibanya di Naqifah, mereka lihat tempat itu penuh sesak dengan orang-orang Anshar. Di tengah-tengah mereka terlentang tokoh terkemuka mereka, Sa’ad bin ‘Ubadah, yang sedang sakit. Setelah mengucapkan salam dan masuk ke dalam Saqifah, Umar r.a. yang terkenal bertabiat keras itu ingin cepat-cepat berbicara. Abu Bakar r.a. yang sudah mengenal tabiat Umar r.a, segera men­cegah: “Boleh kau bicara panjang lebar nanti. Dengarkan dulu apa yang akan kukatakan. Sesudah aku, bicaralah sesukamu, ujar Abu Bakar r.a. Umar r.a. diam, tak jadi bicara.

Abu Bakar Ash Shiddiq r.a. dengan penampilannya yang tenang dan berwibawa mulai berbicara. Setelah mengucapkan sa­lam, syahadat dan shalawat, dengan semangat keakraban ia berkata dengan tegas dan lemah lembut.

“…Allah Maha Terpuji telah mengutus Muhammad mem­bawakan hidayat dan agama yang benar. Beliau berseru kepada ummat manusia supaya memeluk agama Islam. Kemudian Allah membukakan hati dan fikiran kita untuk menyambut baik dan menerima seruan beliau. Kita semua, kaum Muhajirin dan Anshar, adalah orang-orang yang pertama memeluk agama Islam. Barulah kemudian orang-orang lain mengikuti jejak kita.

“Kami orang-orang Qureiys adalah kerabat Rasul Allah s.a.w. Kami adalah orang-orang Arab dari keturunan yang tidak berat se­belah.

“Kalian (kaum Anshar) adalah para pembela kebenaran Allah. Kalian sekutu kami dalam agama dan selalu bersama kami dalam berbuat kebajikan. Kalian merupakan orang-orang yang paling kami cintai dan kami hormati. Kalian merupakan orang-orang yang pa­ling rela menerima takdir Allah, dan bersedia menerima apa yang telah dilimpahkan kepada saudara-saudara kalian kaum Muhajirin. Juga kalian adalah orang-orang yang paling sanggup membuang ra­sa iri-hati terhadap mereka. Kalian orang-orang yang sangat berke­san di hati mereka, terutama di kala mereka dalam keadaan men­derita. Kalian juga merupakan orang-orang yang berhak menjaga agar Islam tidak sampai mengalami kerusakan.”

Demikian Abu Bakar r.a. menurut catatan Ibnu Abil Hadid, yang diketengahkannya dalam buku Syarh Nahjil Balaghah, jilid VI, halaman 5 – 12.

Orang-orang Anshar kemudian menyambut: “Demi Allah kami sama sekali tidak merasa iri hati terhadap kebajikan yang di­ limpahkan Allah kepada kalian (kaum Muhajirin). Tidak ada orang yang lebih kami cintai dan kami sukai selain kalian. Jika kalian sekarang hendak mengangkat seorang pemimpin dari kalangan ka­lian sendiri, kami rela dan akan kami bai’at. Tetapi dengan syarat, apa bila ia sudah tiada lagi –karena meninggal dunia atau lainnya– ­tiba giliran kami untuk memilih dan mengangkat seorang pemim­pin dari kalangan kami, kaum Anshar. Bila ia sudah tiada lagi, tibalah kembali giliran kalian untuk mengangkat seorang pemim­pin dari kaum Muhajirin. Demikianlah seterusnya selama ummat ini masih ada.

“Itu merupakan cara yang paling kena untuk memelihara keadilan di kalangan ummat Muhammad. Dengan demikian seti­ap orang Anshar akan menjaga diri jangan sampai menyeleweng sehingga akan ditangkap oleh orang Qureiys. Sebaliknya orang Qureiys pun akan menjaga diri untuk tidak sampai menyeleweng agar jangan sampai ditangkap oleh orang Anshar.

Mendengar pendapat orang Anshar itu, Abu Bakar r.a. tampil lagi berbicara: “Pada waktu Rasul Allah s.a.w. datang membawa risalah, orang-orang Arab bersikeras untuk tidak meninggalkan a­gama nenek-moyang mereka. Mereka membangkang dan memusu­hi beliau. Kemudian Allah mentakdirkan kaum Muhajirin men­jadi orang-orang yang terdahulu membenarkan risalah dan beri­man kepada beliau. Mereka tolong-menolong dalam membantu Ra­sul Allah dan bersama beliau dengan tabah menghadapi gangguan-­gangguan hebat yang dilancarkan oleh kaumnya sendiri.

“Mereka tetap tangguh menghadapi musuh yang tidak sedi­kit jumlahnya. Mereka adalah manusia-manusia pertama di permu­kaan bumi ini yang bersembah sujud kepada Allah. Merekapun o­rang-orang pertama yang beriman kepada Rasul Allah. Mereka ada­lah orang-orang kepercayaan dan sanak famili beliau. Mereka lebih berhak memegang kepemimpinan sepeninggal beliau. Dalam hal itu tidak akan ada orang yang menentang kecuali orang yang dza­lim.”

“Sesudah kaum Muhajirin, tak ada orang yang mempu­nyai kelebihan dan kedinian memeluk Islam selain kalian. Oleh karena itu patutlah kalau kami ini menjadi pemimpin-pemimpin dan kalian menjadi pembantu-pembantu kami. Dalam musyawa­rah kami tidak akan mengistimewakan orang lain kecuali kalian, dan kami tidak akan mengambil tindakan tanpa kalian.”

Mendengar penjelasan Abu Bakar r.a. tersebut, seorang An­shar bernama Hubab bin Al Mundzir bersitegang-leher. Ia berseru kepada kaumnya: Hai Orang-orang Anshar! Pegang teguhlah apa yang ada di tangan kalian. Mereka itu (kaum Muhajirin) bukan lain hanyalah orang-orang yang berada di bawah perlindungan kalian. Orang-orang Anshar tidak akan bersedia menjalankan sesuatu, se­lain perintah yang kalian keluarkan sendiri. Kalianlah yang melin­dungi dan membela Rasul Allah s.a.w. Kepada kalian mereka ber­hijrah. Kalian adalah tuan rumah lslam dan Iman. Demi Allah, Allah tidak disembah secara terang-terangan selain di tengah-te­ngah kalian dan di negeri kalian. Shalat pun belum pernah diada­kan secara berjama’ah selain di masjid-masjid kalian. Iman pun tidak dikenal orang di negeri Arab selain melalui pedang-pedang kalian. Oleh karena itu peganglah teguh-teguh kepemimpinan kalian. Jika mereka menolak, biarlah dari kita seorang pemimpin dan dari mereka seorang pemimpin!”

Sekarang tibalah saatnya Umar Ibnul Khattab r.a. berbi­cara. Dengan nada keras tertahan-tahan ia berkata: “Alang­kah jauhnya fikiran itu. Dua bilah pedang tak mungkin berada dalam satu sarung! Orang-orang Arab tak mungkin rela mene­rima pimpinan kalian. Sebab, Nabi mereka bukan berasal dari kalian. Orang-orang Arab tidak akan menolak jika kepemimpinan diserahkan kepada golongan Qureiys. Sebab, baik kenabian mau­pun kekuasaan berasal dari mereka.

“Itulah alasan kami,” kata Umar r.a. selanjutnya, “yang sa­ngat jelas bagi orang-orang yang tidak sependapat dengan kami. Dan itu pulalah alasan yang sangat gamblang bagi orang-orang yang menentang pendapat kami. Tidak akan ada orang yang menentang pendapat kami mengenai kepemimpinan Muhammad dan ahli wa­risnya. Tidak akan ada orang yang dapat membantah bahwa kami ini adalah orang-orang kepercayaan dan sanak famili beliau. Ha­nyalah orang-orang yang hendak menghidupkan kebatilan sajalah yang mau berbuat dosa, atau mereka sajalah orang-orang yang celaka!”

Hubab bin Al-Mundzir berdiri lagi seraya berteriak: “Hai o­rang-orang Anshar, jangan kalian dengarkan perkataan orang itu dan rekan-rekannya! Mereka akan merampas hak kalian. Jika me­reka tetap menolak apa yang telah kalian katakan, keluarkanlah mereka itu dari negeri kalian, dan peganglah sendiri kepemim­pinan atas kaum muslimin. Kalian adalah orang-orang yang paling tepat untuk urusan itu. Hanya pedang kalian sajalah yang sanggup menyelesaikan persoalan ini dan dapat menundukkan orang-o­rang yang tak mau tunduk. Biasanya pendapatku sering berhasil menyelesaikan persoalan rumit seperti ini. Aku mempunyai cukup pengalaman dan pengetahuan tentang asal mula terjadinya persoal­an seperti ini. Demi Allah, jika masih ada orang yang membantah apa yang kukatakan, akan kuhancurkan batang hidungnya dengan pedang ini!” Hubab berkata demikian, sambil menghunus pedang dari sarungnya.



bersambung..

Disadur dari buku :

Sejarah Hidup Imam Ali bin Abi Thalib r.a.
Oleh H.M.H. Al Hamid Al Husaini
Penerbit: Lembaga Penyelidikan Islam

https://tausyah.wordpress.com

Komentar
  1. […] Sunnah juga bersaksi dan berkeyakinan bahwa sahabat Rasulullah yang paling utama adalah: Abu Bakar, kemudian Umar, Kemudian Utsman, Kemudian […]

    Suka

  2. […] menahan kesedihannya maka ia pun kembali ke rumah lalu mengunci pintu dan menangis sekuat-kuatnya. Abu Bakar ra. menangis dari pagi hingga ke malam. Kisah tentang Abu Bakar ra. menangis telah sampai kepada para […]

    Suka

  3. […] siapa yang berharap (untuk) berjumpa dengan Allah, maka sesungguhnya waktu (yang dijanjikan) Allah itu pasti datang. [QS. […]

    Suka

  4. […] orang Arab itu pula berkata: “Demi keagungan serta kemuliaan ALLAH,  jika ALLAH akan membuat perhitungan atas amalan hamba, maka hamba pun akan […]

    Suka

  5. […] akhi lagi ukhti sekalian manfaatkan sekalian waktu dan kehidupan didunia dengan berbanyak-banyak ibadah kepada ALLAH, dan janganlah sekali-kali engkau menunggu waktu dimana niatmu untuk bertaubat di […]

    Suka

  6. […] orang Arab itu pula berkata: “Demi keagungan serta kemuliaan ALLAH,  jika ALLAH akan membuat perhitungan atas amalan hamba, maka hamba pun akan […]

    Suka

  7. […] sangat penting dalam metabolisme air dan mengendalikan cairan tubuh, dan juga menjaga keseimbangan panas dan dingin yang sangat fundamental bagi […]

    Suka

  8. […] akhi lagi ukhti sekalian manfaatkan sekalian waktu dan kehidupan didunia dengan berbanyak-banyak ibadah kepada ALLAH, dan janganlah sekali-kali engkau menunggu waktu dimana niatmu untuk bertaubat di […]

    Suka

Tinggalkan komentar