Arsip untuk 4 Agustus 2010

Sambungan dari kisah sebelumnya..

Abu Bakar r.a. di Bai’at

Ibnu Abil Hadid dalam bukunya mengemukakan lebih lanjut tentang peristiwa debat di Saqifah Bani Sa’idah itu sebagai berikut:

“Pada waktu Basyir bin Sa’ad Al-Khazrajiy melihat orang An­shar hendak bersepakat mengangkat Sa’ad bin ‘Ubadah sebagai Amirul Mukminin, ia segera berdiri. Basyir sendiri adalah orang da­ri qabilah Khazraj. Ia merasa tidak setuju jika Sa’ad bin Ubadah terpilih sebagai Khalifah. Berkatalah Basyir: “Hai orang-orang Anshar! Walaupun kita ini termasuk orang-orang yang dini me­meluk agama Islam, tetapi perjuangan menegakkan agama tidak bertujuan selain untuk memperoleh keridhoan Allah dan Ra­sul-Nya. Kita tidak boleh membuat orang banyak bertele-te­le, dan kita tidak ingin keridhoan Allah dan Rasul-Nya diganti dengan urusan duniawi. Muhammad Rasul Allah s.a.w. adalah orang dari Qureiys dan kaumnya tentu lebih berhak mewarisi ke­pemimpinannya. Demi Allah, Allah s.w.t. tidak memperlihatkan alasan kepadaku untuk menentang mereka memegang kepemim­pinan ummat. Bertaqwalah kalian kepada Allah. Janganlah ka­lian menentang atau membelakangkan mereka!”

Mendengar suara orang Anshar memberi dukungan kepada kaum Muhajirin, Abu Bakar r.a. berkata lagi: “Inilah Umar dan Abu Ubaidah! Bai’atlah salah seorang, mana yang kalian sukai!”

Tetapi dua orang yang ditunjuk oleh Abu Bakar r.a. menya­hut dengan tegas: “Demi Allah, kami berdua tidak bersedia me­megang kepemimpinan mendahuluimu. Engkaulah orang yang pa­ling afdhal di kalangan kaum Muhajirin. Engkaulah yang mendam­pingi Rasul Allah di dalam gua, dan engkau jugalah yang mewa­kili beliau mengimami shalat-shalat jama’ah selama beliau sakit. Shalat adalah sendi agama yang paling utama. Ulurkanlah ta­nganmu, engkau kubai’at.”

Tanpa berbicara lagi, Abu Bakar r.a. segera mengulurkan ta­ngan dan kedua orang itu — yakni Umar r.a. dan Abu Ubaidah— ­segera menyambut tangan Abu Bakar r.a. sebagai tanda membai’at. Kemudian menyusul Basyir bin Sa’ad mengikuti jejak Umar r.a. dan Aba Ubaidah.

Pada saat itu Hubab bin Al-Mundzir berkata kepada Basyir: “Hai Basyir, engkau memecah belah! Engkau berbuat seperti itu hanya didorong oleh rasa iri hati terhadap anak pamanmu,” yakni Sa’ad bin ‘Ubadah.

Begitu melihat ada seorang pemimpin qabilah Khazraj mem­bai’at Abu Bakar r.a., seorang terkemuka dari qabilah Aus, berna­ma Usaid bin Udhair, segera pula berdiri dan turut menyatakan bai’atnya kepada Abu Bakar r.a. Dengan langkah Usaid ini, maka semua orang dari qabilah Aus akhirnya menyatakan bai’atnya ma­sing-masing kepada Abu Bakar r.a. dan Sa’ad bin Ubadah ter­baring tak mereka hiraukan.

Sampai hari-hari selanjutnya, Sa’ad bin ‘Ubadah tetap ti­dak mau menyatakan bai’at kepada Abu Bakar r.a. Hal itu sangat menimbulkan kemarahan Umar Ibnul Khattab r.a. Umar r.a. ber­usaha hendak menekan Sa’ad, tetapi banyak orang mencegahnya. Mereka memperingatkan Umar r.a. bahwa usahanya akan sia-sia belaka. Bagaimana pun juga Sa’ad tidak akan mau menyatakan bai’atnya. Walau sampai mati dibunuh sekalipun. Ia seorang yang mempunyai pendirian keras dan bersikap teguh. Kata mereka kepada Umar r.a.: “Kalau sampai Sa’ad mati terbunuh, anggota-­anggota keluarganya tidak akan tinggal diam sebelum semuanya mati terbunuh atau gugur. Dan kalau sampai mereka mati terbu­nuh, maka semua orang Khazraj tidak akan berpangku tangan se­belum mereka semua mati terbunuh. Dan kalau sampai orang Khazraj diperangi, maka semua orang Aus akan bangkit ikut ber­perang bersama-sama orang Khazraj.”

Pendapat Imam Ali r.a.

Ketika berlangsung proses pembai’atan Abu Bakar Ash Shid­diq r.a. sebagai Khalifah untuk meneruskan kepemimpinan Rasul Allah s.a.w. atas ummat Islam, Imam Ali r.a. tidak ikut terlibat di dalamnya. Ia masih sibuk mempersiapkan pemakaman jenazah Rasul Allah s.a.w.

Hampir tidak ada ungkapan sejarah yang mengemukakan ba­gaimana sikap Imam Ali r.a. pada waktu mendengar berita tentang terbai’atnya Abu Bakar r.a. secara mendadak sebagai Khalifah. Tetapi isteri Imam Ali r.a., puteri Rasul Allah s.a.w. yang selalu bersikap terus terang, sukar menerima kenyataan terbai’atnya Abu Bakar r.a. sebagai Khalifah. Sitti Fatimah Azzahra r.a. ber­pendirian, bahwa yang patut memikul tugas sebagai Khalifah dan penerus kepemimpinan Rasul Allah s.a.w. hanyalah suaminya.

Pendirian Sitti Fatimah r.a. didasarkan pada kenyataan bah­wa Imam Ali r.a. adalah satu-satunya kerabat terdekat beliau. Bahwa seorang anggota ahlul-bait Rasul Allah s.a.w. lebih ber­hak ketimbang orang lain untuk menduduki jabatan Khalifah. Se­lain itu Imam Ali r.a. juga sangat dekat hubungannya dengan Rasul Allah s.a.w., baik dilihat dari sudut hubungan kekeluar­gaan maupun dari sudut prestasi besar yang telah diperbuat dalam perjuangan menegakkan agama Allah. Demikian pula ilmu pengetahuannya yang sangat kaya berkat ajaran dan pendidikan yang diberikan langsung oleh Rasul Allah s.a.w. kepadanya. Itu merupakan syarat-syarat terpenting bagi seseorang untuk dapat di bai’at sebagai penerus kepemimpinan Rasul Allah s.a.w. atas um­matnya.

Dengan gigih Sitti Fatimah r.a. memperjuangkan keyakinan dan pendiriannya itu. Pada suatu malam dengan menunggang unta ia mendatangi sejumlah kaum Anshar yang telah membai’at Abu Bakar r.a. guna menuntut hak suaminya. Kaum Anshar yang didatanginya itu menanggapi tuntutan Sitti Fatimah r.a. de­ngan mengatakan: “Wahai puteri Rasul Allah s.a.w., pembai’atan Abu Bakar sudah terjadi. Kami telah memberikan suara kepada­nya. Kalau saja ia (Imam Ali r.a.) datang kepada kami sebelum terjadi pembai’atan itu, pasti kami tidak akan memilih orang lain.”

Imam Ali r.a: sendiri dalam menanggapi pembai’atan Abu Bakar r.a. hanya mengatakan: “Patutkah aku meninggalkan Rasul Allah s.a.w. sebelum jenazah beliau selesai dimakamkan…, hanya untuk mendapat kekuasaan?”

Pembicaraan dan perdebatan mengenai masalah kekhilafan banyak dilakukan orang, termasuk antara Imam Ali r.a. dan orang-orang Bani Hasyim di satu fihak, dengan Abu Bakar r.a. dan Umar r.a. di lain fihak. Semuanya itu tidak mengubah keadaan yang sudah terjadi. Sebagai akibatnya hubungan antara Sitti Fatimah r.a. dan Abu Bakar r.a. tidak lagi pernah berlangsung secara baik.

Sebagai orang yang merasa dirinya mustahak memangku jaba­tan khalifah, Imam Ali r.a. tidak meyakini tepatnya pembai’atan yang diberikan oleh kaum Muhajirin dan Anshar kepada Abu Ba­kar r.a. Selama 6 bulan ia mengasingkan diri dan menekuni ilmu­-ilmu agama yang diterimanya dari Rasul Allah s.a.w.

Dalam masa 6 bulan ini muncullah berbagai macam peristiwa berbahaya yang mengancam kelestarian dan kesentosaan ummat.

Demi untuk memelihara kesentosaan Islam dan menjaga keutuhan ummat dari bahaya perpecahan, akhirnya Imam Ali r.a. secara ikhlas menyatakan kesediaan mengadakan kerja-sama de­ngan khalifah Abu Bakar r.a. Terutama mengenai hal-hal yang olehnya dipandang menjadi kepentingan Islam dan kaum mus­limin. Sikap Imam Ali r.a. yang seperti itu tercermin dengan jelas sekali dalam sepucuk suratnya yang antara lain:

“Aku tetap berpangku-tangan sampai saat aku melihat banyak orang-orang yang meninggalkan Islam dan kembali kepada agama mereka semula. Mereka berseru untuk menghapuskan agama Mu­hammad s.a.w. Aku khawatir, jika tidak membela Islam dan pe­meluknya, akan kusaksikan terjadinya perpecahan dan kehancu­ran. Bagiku hal itu merupakan bencana yang lebih besar dibanding dengan hilangnya kekuasaan. Kekuasaan yang ada di tangan kalian, tidak lain hanyalah suatu kenikmatan sementara dan hanya selama beberapa waktu saja. Apa yang sudah ada pada kalian akan lenyap seperti lenyapnya bayangan fatamorgana atau seperti lenyapnya awan. Oleh karena itu, aku bangkit menghadagi kejadian itu, sampai semua kebatilan tersingkir musnah, dan sampai agama berada dalam suasana tenteram…”

Sejak saat itu suara Imam Ali r.a. berkumandang kembali di tengah-tengah kaum muslimin, terutama pada saat-saat ia di­mintai pendapat-pendapat oleh Khalifah Abu Bakar r.a. Kesem­patan-kesempatan semacam itu dimanfaatkan sebaik-baiknya un­tuk memberi pengarahan kepada kehidupan Islam dan kaum mus­limin, agar jangan sampai menyimpang dari ketentuan-ketentuan Allah dan Rasul-Nya, baik di bidang legislatif (tasyri’iyyah), ekse­kutif (tanfidziyyah), maupun judikatif (qadha’iyyah).

Dialog Abu Bakar r.a. dengan Abbas r.a.

Dalam buku Syarh Nahjil Balaghah, jilid I, halaman 97-­100. Ibnu Abil Hadid mengetengahkan suatu keterangan tentang situasi pada saat terbai’atnya Abu Bakar r.a. sebagai Khalifah. Keterangan itu dikutipnya dari penuturan Al-Barra’ bin Azib, se­orang yang sangat besar simpatinya kepada Bani Hasyim.

“Aku adalah orang yang tetap mencintai Bani Hasyim,” kata Al-Barra’ bin Azib. “Pada waktu Rasul Allah s.a.w. mangkat, aku sangat khawatir kalau-kalau orang Qureiys sudah punya rencana hendak menjauhkan orang-orang Bani Hasyim dari masalah itu, yakni masalah kekhalifahan. Aku bingung sekali, seperti bingungnya se­orang ibu yang kehilangan anak kecil. Padahal waktu itu aku ma­sih sedih disebabkan oleh wafatnya Rasul Allah s.a.w. Aku ragu-­ragu menemui orang-orang Bani Hasyim, yang ketika itu sedang berkumpul di kamar Rasul Allah s.a.w. Wajah mereka kuamat-­amati dengan penuh perhatian. Demikian juga air muka orang-­orang Qureiys.”

“Demikian itulah keadaanku ketika aku melihat Abu Bakar dan Umar tidak berada di tempat itu. Sementara itu ada orang mengatakan bahwa sejumlah orang sedang berkumpul di Saqifah Bani Sa’idah. Orang lain lagi mengatakan bahwa Abu Bakar telah dibai’at sebagai Khalifah.”

“Tak lama kemudian kulihat Abu Bakar bersama-sama Umar Ibnul Khattab, Abu Ubaidah bin Al-Jarrah dan sejumlah orang lain­nya. Mereka itu tampaknya habis menghadiri pertemuan yang baru saja diadakan di Saqifah Bani Sa’idah. Kulihat juga hampir semua orang yang berpapasan dengan mereka ditarik; dihadapkan dan dipegangkan tangannya kepada tangan Abu Bakar sebagai tan­da pernyataan bai’at. Saat itu hatiku benar-benar terasa berat.

“Kemudian malam harinya kulihat Al-Miqdad, Salman, Abu Dzar, Ubadah bin Shamit, Abul Haitsam bin At Taihan, Hudzaifah dan ‘Ammar bin Yasir. Mereka ini ingin supaya diada­kan musyawarah kembali di kalangan kaum Muhajirin. Berita ten­tang hal ini kemudian didengar oleh Abu Bakar dan Umar.”

“Berangkatlah Abu Bakar, Umar, Abu Ubaidah dan Al-Mughi­rah untuk menjumpai Abbas bin Abdul Mutthalib di rumahnya, Setelah mengucapkan puji dan syukur kehadirat Allah s.w.t., Abu Bakar berkata kepada Abbas:“Allah telah berkenan meng­utus Muhammad s.a.w. sebagai Nabi kepada kalian. Allah pun te­lah mengaruniakan rahmat-Nya kepada ummat dengan adanya Rasul Allah di tengah-tengah mereka, sampai Dia menetapkan sendiri apa yang menjadi kehendak-Nya.”

“Rasul Allah s.a.w. meninggalkan ummatnya supaya me­reka menyelesaikan sendiri siapa yang akan diangkat sebagai waliy (pemimpin) mereka. Kemudian kaum muslimin memilih diriku untuk melaksanakan tugas memelihara dan menjaga ke­pentingan-kepentingan mereka. Pilihan mereka itu kuterima dan aku akan bertindak sebagai waliy mereka. Dengan pertolongan Allah dan bimbingan-Nya, aku tidak akan merasa khawatir, lemah, bingung ataupun takut. Bagiku tak ada taufiq dan pertolongan se­lain dari Allah. Hanya kepada Allah sajalah aku bertawakkal, kepada-Nya jualah aku akan kembali.”

“Tetapi, belum lama berselang aku mendengar ada orang yang menentang dan mengucapkan kata-kata yang berlainan dari yang telah dinyatakan oleh kaum muslimin pada umum­nya. Orang itu hendak menjadikan kalian sebagai tempat berlindung dan benteng. Sekarang terserahlah kepada kalian, apakah kalian hendak mengambil sikap seperti yang telah diambil oleh orang banyak, ataukah hendak mengubah sikap mereka dari apa yang sudah menjadi kehendak mereka.”

“Kami datang kepada anda, karena kami ingin agar kalian ambil bagian dalam masalah itu. Kami tahu bahwa anda adalah paman Rasul Allah s.a.w. Demikian juga semua kaum muslimin mengetahui kedudukan anda dan keluarga anda di sisi Rasul Allah s.a.w. Oleh karena itu mereka pasti bersedia meluruskan per­soalan bersama-sama anda. Terserahlah kalian, orang-orang Bani Hasyim, sebab Rasul Allah dari kami dan dari kalian juga.”

Menurut Al-Barra’, sampai di situ Umar Ibnul Khattab me­nukas perkataan Abu Bakar r.a. dengan cara-caranya sendiri yang keras. Kemudian Umar r.a berkata kepada Abbas: “Kami datang bukan kerena butuh kepada kalian, tetapi kami tidak suka ada orang-orang muslimin dari kalian yang turut menentang. Sebab dengan cara demikian kalian akan lebih banyak menumpuk kayu bakar di atas pundak kaum muslimin. Lihatlah nanti apa yang akan kalian saksikan bersama-sama kaum muslimin.”

Menanggapi ucapan Abu Bakar r.a. serta Umar r.a. tadi, menurut catatan Al-Barra’, waktu itu Abbas menjawab:

“…Sebagaimana anda katakan tadi, benarlah bahwa Allah telah mengutus Muhammad s.a.w. sebagai Nabi dan sebagai pemimpin kaum msulimin. Dengan itu Allah telah melimpahkan karunia kepada ummat Muhammad sampai Allah menetapkan sendiri apa yang menjadi kehendak-Nya. Rasul Allah s.a.w. telah meninggal­kan ummatnya supaya mereka menyelesaikan sendiri urusan mereka dan memilih sendiri siapa yang akan diangkat menjadi pe­mimpin mereka.Mereka tetap berada di dalam kebenaran dan telah menjauhkan diri dari bujukan hawa nafsu.

“Jika atas nama Rasul Allah s.a.w. anda minta kepadaku su­paya aku turut ambil bagian, sebenarnya hak kami sudah anda ambil lebih dulu. Tetapi jika anda mengatas-namakan kaum mus­limin, kami ini pun sebenarnya adalah bagian dari mereka.”

“Dalam persoalan kalian itu, kami tidak mengemukakan hal yang berlebih-lebihan. Kami tidak mencari pemecahan melalui jalan tengah dan tidak pula hendak menambah ruwetnya per­soalan. Jika sekiranya persoalan itu sudah menjadi kewajiban anda terhadap kaum muslimin, kewajiban itu tidak ada artinya jika kami tidak menyukainya.”

“Alangkah jauhnya apa yang telah anda katakan tadi, bahwa di antara kaum muslimin ada yang menentang, di samping ada lain-lainnya lagi yang condong kepada anda. Apa yang anda kata­kan kepada kami, kalau hal itu memang benar sudah menjadi hak anda kemudian hak itu hendak anda berikan kepada kami, sebaiknya hal itu janganlah anda lakukan. Tetapi jika memang menjadi hak kaum muslimin, anda tidak mempunyai wewenang untuk menetapkan sendiri. Namun jika hal itu menjadi hak kami,kami tidak rela menyerahkan sebagian pun kepada anda. Apa yang kami katakan itu sama sekali bukan berarti bahwa kami ingin menyingkirkan anda dari urusan kekhalifahan yang sudah anda terima. Kami katakan hal itu semata-mata karena tiap hujjah me­merlukan penjelasan.”

“Adapun ucapan anda yang mengatakan ‘Rasul Allah dari kami dan dari kalian juga’, maka beliau sesungguhnya berasal dari sebuah pohon dan kami adalah cabang-cabangnya, sedangkan kalian adalah tetangga-tetangganya.”

“Mengenai yang anda katakan, hai Umar, tampaknya anda khawatir terhadap apa yang akan diperbuat oleh orang banyak terhadap kami. Sebenarnya itulah yang sejak semula hendak ka­lian katakan kepada kami. Tetapi hanya kepada Allah sajalah kami mohon pertolongan.”

Kekhalifahan Abu Bakar r.a.

Masa kekhalifahan Abu Bakar Ash Shiddiq r.a. kurang lebih hanya dua tahun. Dalam waktu yang singkat itu terjadi bebe­rapa kali krisis yang mengancam kehidupan Islam dan perkem­bangannya. Perpecahan dari dalam, maupun rongrongan dari luar cukup gawat. Di utara, pasukan Byzantium (Romawi Timur) yang menguasai wilayah Syam melancarkan berbagai macam provokasi yang serius, guna menghancurkan kaum muslimin Arab, yang baru saja kehilangan pemimpin agungnya.

Dekat menjelang wafatnya, Rasul Allah s.a.w. merencana­kan sebuah pasukan ekspedisi untuk melawan bahaya dari utara itu, dengan mengangkat Usamah bin Zaid sebagai panglima. Tetapi belum sempat pasukan itu berangkat ke medan juang, Rasul Allah wafat.

Setelah Abu Bakar r.a. menjadi Khalifah dan pemimpin ummat, amanat Rasul Allah dilanjutkan. Pada mulanya banyak orang yang meributkan dan meragukan kemampuan Usamah, dan pengangkatannya sebagai Panglima pasukan dipandang kurang tepat. Usamah dianggap masih ingusan. Lebih-lebih karena pasu­kan Byzantium jauh lebih besar, lebih kuat persenjataannya dan lebih banyak pengalaman. Apa lagi pasukan Romawi itu baru saja mengalahkan pasukan Persia dan berhasil menduduki Yerusalem. Di kota suci ini, pasukan Romawi berhasil pula merebut kembali “salib agung” kebanggaan kaum Nasrani, yang semulanya sudah jatuh ke tangan orang-orang Persia.

Dengan dukungan sahabat-sahabat utamanya, Khalifah Abu Bakar r.a. berpegang teguh pada amanat Rasul Allah s.a.w. Dalam usaha meyakinkan orang-orang tentang benar dan tepatnya kebijaksanaan Rasul Allah s.a.w., Imam Ali r.a. memainkan peranan yang tidak kecil. Akhirnya Usamah bin Zaid tetap di­serahi pucuk pimpinan atas sebuah pasukan yang bertugas ke utara. Pengangkatan Usamah sebagai Panglima ternyata tepat. Usamah berhasil dalam ekspedisinya dan kembali ke Madinah membawa kemenangan gemilang.

Bahaya desintegrasi atau perpecahan dalam tubuh kaum muslimin mengancam pula keselamatan ummat. Muncul oknum­-oknum yang mengaku dirinya sebagai “nabi-nabi“. Muncul pula kaum munafik menelanjangi diri masing-masing. Beberapa Qabilah membelot secara terang-terangan menolak wajib zakat. Selain itu ada qabilah-qabilah yang dengan serta merta berbalik haluan me­ninggalkan Islam dan kembali ke agama jahiliyah. Pada waktu Rasul Allah masih segar bubar, mereka itu ikut menjadi “muslimin”. Setelah beliau wafat, mereka memperlihatkan belang­nya masing-masing. Seolah-olah kepergian beliau untuk selama-­lamanya itu dianggap sebagai pertanda berakhirnya Islam.

Demikian pula kaum Yahudi. Mereka mencoba hendak menggunakan situasi krisis sebagai peluang untuk membangun ke­kuatan perlawanan balas dendam terhadap kaum muslimin.

Tidak kalah berbahayanya ialah gerak-gerik bekas tokoh-tokoh Qureiys, yang kehilangan kedudukan setelah jatuhnya Makkah ke tangan kaum muslimin. Mereka itu giat berusaha merebut kembali kedudukan sosial dan ekonomi yang telah le­pas dari tangan. Tentang mereka ini Khalifah Abu Bakar r.a. sendiri pernah berkata kepada para sahabat: “Hati-hatilah ka­lian terhadap sekelompok orang dari kalangan ‘sahabat’ yang perutnya sudah mengembang, matanya mengincar-incar dan sudah tidak bisa menyukai siapa pun juga selain diri mereka sendiri. Awaslah kalian jika ada salah seorang dari mereka itu yang tergelincir. Janganlah kalian sampai seperti dia. Ketahuilah, bahwa mereka akan tetap takut kepada kalian, selama kalian tetap takut kepada Allah…”

Berkat kepemimpinan Abu Bakar r.a., serta berkat bantuan para sahabat Rasul Allah s.a.w., seperti Umar Ibnul Khattab r.a., Imam Ali r.a., Ubaidah bin Al-Jarrah dan lain-lain, krisis-krisis tersebut di atas berhasil ditanggulangi dengan baik. Watak Abu Bakar r.a. yang demokratis,dan kearifannya yang selalu meminta nasehat dan pertimbangan para tokoh terkemuka, seperti Imam Ali r.a., merupakan, modal penting dalam tugas menyelamatkan ummat yang baru saja kehilangan Pemimpin Agung, Nabi Mu­hammad s.a.w.

Dengan masa jabatan yang singkat, Khalifah Abu Bakar r.a. berhasil mengkonsolidasi persatuan ummat, menciptakan stabili­tas negara dan pemerintahan yang dipimpinnya dan menjamin keamanan dan ketertiban di seluruh jazirah Arab.

Abu Bakar Ash Shiddiq r.a. memang seorang tokoh yang le­mah jasmaninya, akan tetapi ramah dan lembut perangainya, lapang dada dan sabar.Sesungguhpun demikian, jika sudah meng­hadapi masalah yang membahayakan keselamatan Islam dan kaum muslimin, ia tidak segan-segan mengambil tindakan tegas, bahkan kekerasan ditempuhnya bila dipandang perlu. Konon ia wafat akibat serangan penyakit demam tinggi yang datang secara tiba-­tiba.

Menurut buku Abqariyyatu Abu Bakar, yang di tulis Abbas Muhammad Al ‘Aqqad”, sebenarnya Abu Bakar r.a. sudah sejak lama terserang penyakit malaria. Yaitu beberapa waktu setelah hijrah ke Madinah. Penyakit yang dideritanya itu dalam waktu relatif lama tampak sembuh, tetapi tiba-tiba kambuh kem­bali dalam usianya yang sudah lanjut. Abu Bakar r.a. wafat pada usia 63 tahun.

[1]Riwayat yang dikemukakannya diambil dari Ibnu Ishak, berasal dari Ahmad bin Sayyar dan Sa’ad bin Katsir bin Afir Al-Anshariy.

https://tausyah.wordpress.com

Cukup banyak himbauan dalam al-Qur’an dan as-Sunnah untuk menjalin hubungan persahabatan dan persaudaraan diantara kaum Muslimin, antara lain bisa dilihat misalnya dalam :

“Sesungguhnya orang-orang Mukmin itu saling bersaudara.”
(Qs. al-Hujurat 49:10)

“Dan orang-orang Mukmin, laki-laki dan perempuan, sebagian dari mereka adalah penolong [wali] bagi sebagian yang lain.” (Qs. at-Taubah 9:71)

Dalam beberapa Haditsnya Rasulullah Saw pun bersabda :

“Janji keselamatan bagi kaum Muslim berlaku atas mereka semua, dan mereka semua seia-sekata dalam menghadapi orang-orang selain mereka. Barangsiapa melanggar janji keamanan seorang Muslim, maka kutukan Allah, Malaikat dan manusia sekalian tertuju kepadanya dan tidak diterima darinya tebusan atau pengganti apapun pada hari kiamah kelak.”

“Seorang Muslim adalah saudara bagi Muslim lainnya. Tidak boleh ia menganiayanya dan tidak pula membiarkannya dianiaya. Barangsiapa mengurusi keperluan saudaranya sesama Muslim, niscaya Allah akan memenuhi keperluannya sendiri. Dan barangsiapa membebaskan beban penderitaan seorang Muslim, maka Allah akan membebaskan penderitaannya dihari kiamat kelak. Dan barangsiapa menutupi aib seorang Mukmin, maka Allah akan menutupi aibnya dihari kiamat.”

“Hindarkan dirimu dari persangkaan buruk, sesungguhnya yang demikian itu adalah sebohong-bohong perkataan. Jangan mencari-cari aib orang lain, jangan memata-matai, jangan bersaingan menawar barang dengan maksud merugikan orang lain, jangan saling menghasut, jangan saling bermusuhan dan jangan saling membenci. Jadilah kalian hamba-hamba Allah yang bersaudara. Dan tidaklah halal bagi seorang Muslim mendiamkan saudaranya sesama Muslim lebih dari 3 hari.”

“…Lantaran itu, damaikanlah diantara dua saudara kamu dan berbaktilah kepada Allah agar kamu diberi rahmat.”
(Qs. al-Hujurat 49:10)

“Hai orang-orang yang beriman, jauhilah kebanyakan dari prasangka, sesungguhnya sebagian dari prasangka itu adalah dosa; dan janganlah kamu mengintai-intai dan janganlah sebagian dari kamu mengumpat sebagian yang lain; apakah suka seseorang dari kamu memakan daging bangkai saudaranya ? Tentu kamu akan merasa jijik kepadanya ! Bertakwalah kepada Allah, sesungguhnya Allah itu Pengampun, Penyayang.”
(Qs. al-Hujurat 49:12)

Telah diketahui secara pasti bahwa hanya dengan Islam dan beriman secara sungguh-sungguh, seorang hamba dapat meraih puncak keridhoan Allah azza wajalla. Ulama-ulama dari Ahlus-Sunnah bersepakat bahwa hakikat Islam dan Iman adalah pengucapan 2 kalimah syahadat, pembenaran adanya hari kebangkitan, mendirikan sholat 5 waktu karena Allah, melaksanakan ibadah Haji bila mampu, berpuasa dibulan Ramadhan serta mengeluarkan zakat.

Bukhari dalam kumpulan hadistnya telah meriwayatkan beberapa sabda Rasulullah Saw :

“Barangsiapa bersaksi bahwa Tiada Tuhan selain Allah, menghadap kiblat kita, mengerjakan sholat kita dan memakan hasil sembelihan kita, maka ia adalah seorang Muslim. Baginya berlaku hak dan kewajiban yang sama sebagai Muslim lainnya.”

Berdasarkan ayat-ayat Allah dan fatwa Nabi Muhammad Saw diatas, adalah tidak pada tempatnya kita selaku manusia yang mengaku beragama Islam dan mengaku telah beriman secara Kaffah menciptakan suasana rusuh dan mengobarkan semangat perpecahan dikalangan sesama Muslim.

Maukah kita mendapatkan kecaman dari Allah dan Rasul-Nya ?

Umat Islam sudah cukup lama terombang-ambing dalam gelombang perpecahan aneka ragam alirannya dan masing-masing pihak merasa hanya kaumnya sajalah yang paling benar serta layak memasuki syurga dan selain kaum mereka ini maka kaum lainnya berada pada posisi salah dan halal neraka baginya.

Tidak urung ayat-ayat al-Qur’an dan Hadist-hadist Nabi justru dijadikan ujung tombak untuk menghantam lawan bicaranya sesama Muslim, entah itu mereka yang menisbatkan diri dalam jemaah Ahlus-Sunnah, Syi’ah, Muktazilah, Khawarij, Ahmadiyah dan sebagainya.

Tidakkah mereka sadar bahwa yang mereka perdebatkan ini tidak lain adalah sesuatu penafsiran terhadap hal yang sama dalam sudut pandang yang berbeda.

Imam Ali bin Abu Thalib r.a, adalah contoh teladan kedua sesudah Rasulullah Saw yang mengajarkan mengenai hakikat persaudaraan sesama Muslim, menghargai keutuhan persatuan umat dibawah panji-panji kebenaran Tauhid.

Beliau menolak mengikuti keinginan sebagian dari para sahabat untuk melakukan pemberontakan terhadap pemerintahan Khalifah Abu Bakar sepeninggal Rasulullah Saw, dan disaat ia menjabat selaku Khalifah, sikap ini terus dipertahankannya bahkan dalam medan pertempurannya menghadapi gerakan ‘Aisyah pada peristiwa perang Jamal dan disaat menghadapi pemberontakan kelompok Muawiyah.

Imam Ali bin Abu Thalib r.a, begitu mengedepankan rasa persaudaraan antar umat Muslim diatas perasaan dirinya pribadi sehingga beliaupun rela mendapat kecaman dari sejumlah orang atas sikapnya yang lunak dengan Muawiyah yang mengakibatkan pecahnya pemberontakan kaum Khawarij sampai terbunuhnya beliau dalam salah satu kesempatan.

Tindakan dan sikap yang diambil oleh Khalifah ke-4 yang juga menantu Nabi Muhammad Saw ini sudah pasti bukan tindakan yang tidak disertai pertimbangan dan kearifan yang tinggi, sebagai salah seorang sahabat dan keluarga terdekat dari Rasulullah, Imam Ali bin Abu Thalib r.a, tentunya merupakan orang yang paling mengerti mengenai Islam dan ia bukan seorang yang pengecut.

Dengan demikian, hendaklah kiranya kaum Muslimin sekarang ini sudi untuk merenung dan menganalisa secara bijak mengenai perpecahan yang terjadi diantara mereka, perpecahan yang mengarah kepada permusuhan dan kebencian bukan menjadi satu rahmat namun justru merupakan malapetaka.

Kehormatan seorang Muslim haruslah dijunjung tinggi meskipun mungkin Muslim tersebut memiliki sudut pandang berbeda dengan kita terhadap hal-hal tertentu, ini bukan alasan untuk mengkafirkan mereka apalagi menumpahkan darahnya dengan mengatasnamakan kebenaran.

Diriwayatkan oleh Bukhari dari Abdu Dzar :
“Telah berkata Nabi Saw kepadaku, bahwa malaikat Jibril berkata: ‘Barangsiapa diantara umatmu meninggal dunia dalam keadaan tiada menyekutukan Allah dengan sesuatu apapun, maka ia akan masuk syurga.”; kemudian aku bertanya: ‘Kendatipun ia pernah berzina dan mencuri ?”; Jawab Nabi Muhammad Saw: “Ya, walaupun ia pernah berbuat hal itu.”

Hadist diatas ini bukan bertendensikan menghalalkan tindakan kejahatan atas umat Muhammad Saw akan tetapi memiliki orientasi kepada pengagungan harkat dan martabat seorang Muslim.

Jelas bahwa Allah tidak lalai dari apa yang kita kerjakan, suatu perbuatan yang negatif, apabila dilakukan secara terus menerus tentunya akan menyebabkan ketergeseran derajat kemanusiaan seseorang dihadapan Allah, dan lambat laun seorang Muslim-pun dapat menjadi seorang yang fasik atau munafik dan tidak menutup kemungkinan dia malah menjadi kafir kepada Allah sehingga jaminan Allah ini menjadi hilang atas dirinya.

Diberbagai tempat kita meributkan masalah ke-Khalifahan, orang Syi’ah merasa lebih tinggi dari ahlus-Sunnah dan sebaliknya kaum ahli-Sunnah pun tidak jarang malah memperolok-olokkan kaum Syi’ah dan bahkan beberapa diantaranya sampai mengkafirkan mereka hanya karena mereka lebih mencintai ahli Bait Nabi Muhammad Saw dan mengeluarkan kritikan-kritikan pedas atas beberapa Muslim generasi awal.

Fenomena Ahmadiyah juga menggelitik sejumlah umat Islam untuk mendeskreditkan sebagian dari mereka sampai mengeluarkan fatwa tidak syahnya status ke-Islaman semua Jemaah ini.

Dikalangan ahlus-Sunnah terdapat banyak Madzhab yang dipimpin oleh Imamnya masing-masing, diantaranya yang terbesar adalah Imam Hambali, Syafi’i, Maliki dan Hanafi, ke-4 Jemaah ini memiliki banyak sekali perbedaan-perbedaan didalam penafsiran atas ayat-ayat Allah dan juga petunjuk Rasul-Nya, dimulai dari masalah Thaharah, Sholat, Puasa, Nikah, Talak dan seterusnya.

Dibalik beberapa kesamaannya, masing-masing mereka memberikan argumen dari sudut pandang yang berbeda tentang banyak hal yang sama.

Padahal, apabila kita ingin berbicara jujur, perselisihan yang terjadi antar umat Islam dan antar Jemaah maupun Mazhab hanyalah karena masing-masing memiliki penafsiran berbeda tentang al-Qur’an dan Hadist Rasul, namun apakah hal ini bisa menjadikan satu alasan untuk memberikan vonis kekafiran kepada mereka ?

Andaikanlah diantara penafsiran sebagian dari mereka ini menyimpang dari apa yang seharusnya, namun ini tetap saja belum mengeluarkan status ke-Islaman yang melekat pada diri mereka, tentunya selama mereka tetap berpegangkan kepada satu Kalimah “Tidak ada Tuhan tempat mengabdi selain Allah, Tuhan yang memiliki nama-nama terbaik dan memiliki sifat-sifat suci, yang tidak beranak dan tidak diperanakkan.”

Kehormatan seorang Muslim tetap terjamin meskipun dia mengucapkan kalimah “La ilaha illa Allah” sebagai penyelamat dari suatu usaha pembunuhan, dan ini diceritakan oleh banyak perawi Hadist.

Muslim dalam salah satu hadist yang diriwayatkannya dari berbagai saluran ada menceritakan :

“Bahwa suatu hari ‘Utban bin Malik al-Anshari mengunjungi Rasulullah Saw dan meminta agar beliau mau singgah kerumahnya dan sholat didalamnya, karena ia ingin menjadikannya Musholla. Dalam satu pembicaraan diantara mereka, Nabi menanyakan keberadaan salah seorang dari sahabat ‘Utban yang bernama Malik bin Ad-Dukhsyun bin Ghunm bin ‘Auf bin ‘Amr bin ‘Auf yang diketahui sebagai orang yang munafik.

Beberapa sahabat keheranan dan mencoba mengingatkan Nabi bahwa ‘Utban itu adalah orang yang munafik, tapi Nabi mengeluarkan jawaban : “Jangan berkata demikian, tidakkah kamu melihatnya telah berucap “La ilaha illa Allah” semata-mata demi keridhoan Allah ?”; diantara para sahabat masih ada yang penasaran dan mencoba kembali mengeluarkan argumennya : “Memang benar ia mengucapkan yang demikian, namun tidak disertai dengan ketulusan hatinya, sungguh kami sering melihatnya pergi dan berkawan dengan orang-orang munafik.”
Nabi menjawab : “Tiada seorangpun bersaksi bahwa Tiada Tuhan melainkan Allah dan bahwa aku adalah Rasul Allah yang akan dimasukkan kedalam api neraka atau menjadi umpannya.”

Demikianlah seharusnya kita didalam berpijak, tidak mudah melemparkan tuduhan kepada seseorang atau sekelompok kaum hanya karena berbeda pendapat dengan diri kita, sedangkan bagi orang yang jelas-jelas seperti Malik bin Ad-Dukhsyun saja Rasulullah Saw tidak melemparkan ucapan kekafiran atasnya dan malah mengedepankan rasa baik sangka sebagaimana yang diajarkan oleh Allah.

Satu keselarasan yang bisa kita kemukakan disini satu ayat al-Qur’an :

“Sesungguhnya orang-orang Mu’min, orang-orang Yahudi, orang-orang Nasrani dan orang-orang Shabiin, siapa saja diantara mereka yang benar-benar beriman kepada Allah, Hari kemudian dan beramal saleh, mereka akan menerima ganjaran dari Tuhan mereka, tidak ada ketakutan terhadap mereka, dan tidak berduka cita.”
(Qs. al-Baqarah 2:62)

Nyata sekali bahwa jangankan kepada orang yang mengakui ke-Rasulan Muhammad Saw bin Abdullah, bahkan bagi mereka yang tidak mengakui kenabian Muhammad pun yang dalam istilah kita sekarang ini termasuk dalam kategori Unitarian tetap mendapatkan jaminan dari Allah untuk memperoleh ganjaran disisi-Nya selama mereka tidak mengadakan Tuhan-Tuhan dalam bentuk apapun selain Allah yang Maha Esa, yang Tidak beranak dan tidak diperanakkan, yang tidak memiliki kesetaraan dengan apapun dalam keyakinan mereka.

Kita seringkali terlalu banyak memperturutkan rasa ke-egoismean semata didalam menghadapi orang yang tidak sejalan dengan kita yang akibat dari semua ini akan menyulut konflik berkepanjangan dan tidak berkesudahan.

al-Qur’an dalam surah ali Imran (3) ayat ke 159 menganjurkan untuk mengadakan musyawarah didalam mencapai jalan keluar terbaik, selain itu ; juga dalam Surah yang lain, al-Qur’an pun memberikan kebebasan bagi manusia untuk melakukan dialog pertukar pikiran secara baik-baik dan saling menghargai.

Seorang manusia dilarang mencemooh manusia lainnya berdasarkan firman Allah dalam surah al-Hujurat (49) ayat 11 dan beberapa firman Allah berikut ini pun harus menjadi renungan tambahan bagi kita :

“Sesungguhnya mereka yang suka akan tersebarnya keburukan dikalangan kaum beriman akan mendapatkan azab yang pedih didunia dan akhirat…”
(Qs. an-Nur 24:19)

“Hai orang-orang yang beriman, hendaklah kamu menjadi manusia yang lurus karena Allah, menjadi saksi dengan adil; dan janganlah kebencian kamu atas satu kaum menyebabkan kamu berlaku tidak adil.
Berbuatlah adil, ini lebih mendekatkan kamu kepada ketakwaan; takutlah kamu kepada Allah sebab Allah amat mengetahui apa yang kamu kerjakan.”

(Qs. al-Maidah 5:8)

Kita acapkali jengkel dengan penafsiran segelintir jemaah terhadap ayat-ayat al-Qur’an dan juga al-Hadist, mereka memutar balikkan semuanya sekehendak hati mereka sehingga masing-masing merasa bahwa ayat-ayat dan Hadist-hadist tersebut memperkuat aliran mereka, namun sesuai amanat al-Qur’an, yang demikian tidak berarti harus kita sikapi dengan anarkis dan menghilangkan sudut keobjektifitasan kita.

Marilah kita saling bahu membahu antar sesama saudara seiman didalam menegakkan ajaran Allah, para pengikut ahli Bait menjalin hubungan baik dengan mereka yang mengaku sebagai pengikut sunnah Nabi; dan keduanya ini pun haruslah mau untuk tidak memutuskan tali silaturahmi terhadap mereka yang berasal dari jemaah Ahmadiyah dan begitulah seterusnya secara wajar.

Kita boleh bertukar pikiran dan kita juga tidak dilarang untuk saling berdebat, mari kita kemukakan dalil-dalil yang kita miliki dan kita yakini menunjang apa yang kita jalani, jikapun tidak terdapat jalan keluar terbaik, marilah kita benci pendapatnya saja namun bukan orangnya.

“Apabila kamu berbantahan disatu permasalahan, hendaklah kamu mengembalikannya kepada Allah dan Rasul apabila adalah kamu beriman kepada Allah dan hari kemudian.”
(Qs. an-Nisa’ 4:59)

Banyak orang mengatakan bahwa melakukan Bai’at terhadap pemimpin itu wajib hukumnya, namun ber-bai’at terhadap Allah dan Rasul-Nya Muhammad Saw jauh melebihi dari kewajiban berbai’at kepada siapapun.

Jika mencintai ahli Bait adalah suatu keharusan, maka berpegang kepada Sunnah itu pun merupakan bagian dari keimanan.

Mari kita hargai hasil ijtihad dari masing-masing manusia sebagaimana kita juga ingin orang lain menghargai pendirian yang kita yakini.

Tulisan ini tidak untuk ditujukan pembenaran suatu klaim dari jemaah tertentu dan tidak pula dimaksudkan untuk menyudutkan suatu pandangan tertentu pula, semua ini hanyalah karena terdorong rasa kerinduan terhadap hadirnya kembali ruh-ruh Muhammad maupun sosok Ali bin Abu Thalib r.a yang mencintai persaudaraan dan kesatuan umat Islam.

“Sesungguhnya mereka yang memperdebatkan ayat-ayat Allah dengan tidak ada alasan yang datang kepada mereka, tidak ada didada-dada mereka melainkan kesombongan yang mereka tidak akan sampai kepadanya.”
(Qs. al-Mu’min 40:56)

“Dan janganlah kamu mengikuti apa yang kamu tidak mempunyai pengetahuan didalamnya. Sesungguhnya pendengaran, penglihatan dan hati, semuanya itu akan diminta pertanggunganjawabnya.”
(Qs. al-Israa 17:36)

https://tausyah.wordpress.com