Arsip untuk 25 Agustus 2010

ayat Qur'anZahid

Sebagai seorang Zahid yang berpegang teguh pada perintah Allah s.w.t. dan tauladan serta ajaran ajaran Rasul-Nya, Imam Ali r.a. dengan konsekuen berani menghadapi gangguan besar yang dialami dalam kariernya sebagai pemimpin masyarakat dari kepala pemerintahan. Berkali-kali ia ditinggalkan oleh para pendukung dan pengikutnya, tetapi tidak pernah patah hati.

Seperti dikatakan oleh Ali bin Muhammad bin Abi Saif Al Madainiy bahwa tidak sedikit orang Arab yang meninggalkan Imam Ali karena sikap mereka yang terlalu mengharapkan keun­tungan-keuntungan material. Demikian juga tokoh-tokoh yang berpamrih ingin mendapat kedudukan, jangan harap mereka itu bisa bersahabat baik dan lama dengan Imam Ali. Seorang pe­mimpin besar seperti Imam Ali yang taqwanya kepada Allah sede­mikian tinggi, dan sedemikian patuhnya bertauladan serta melak­sanakan ajaran Rasul Allah s.a.w., tidak mencari teman dengan mengobral harta dan kedudukan. Ia sendiri memandang manusia bukan dari kekayaan dan kedudukan sosialnya, bukan pula dari asal-usul keturunannya, melainkan dari keimanannya kepada Allah s.w.t. dan kesetiaannya kepada ajaran Rasul-Nya.

Imam Ali tidak pernah memberikan perlakuan istimewa ke­pada seorang karena keturunan, kedudukan atau kekayaannya. Ia selalu memberikan perlakuan yang sama kepada semua orang, kaya atau miskin, orang yang berpangkat ataupun rakyat jelata. Itulah antara lain yang menjadi sebab mengapa setelah ia menjadi Kha­lifah, dijauhi oleh kepala-kepala qabilah dan tokoh-tokoh masya­rakat yang berambisi dan hendak mendahulukan kepentingan pri­badi atau golongan.

Tentang mengapa Imam Ali r.a. sampai ditinggal oleh para pengikut dan pendukungnya, Al-Madainiy dalam riwayat yang di­tulisnya, antara lain mengemukakan, bahwa Al-Asytar pernah berkata kepada Innam Ali r.a.: “…Anda bertindak adil, baik ter­hadap mereka yang mempunyai kedudukan terhormat maupun mereka yang tidak mempunyai kedudukan. Di hadapan anda orang-orang yang terhormat itu tidak memperoleh perlakuan istimewa atau lebih dari perlakuan yang anda berikan kepada orang biasa. Akhirnya ada kelompok pengikut yang ribut dan he­boh kalau keadilan dan kebenaran diterapkan atas diri mereka. Mereka sakit hati kalau pemerataan keadilan diterapkan atas diri mereka. Mereka lalu membanding-bandingkan betapa enaknya per­lakuan Muawiyah terhadap orang-orang kaya dan terkemuka… Mereka lebih senang membeli kebatilan dengan kebenaran dan tergiur oleh kesenangan duniawi.”

Setelah mendengar baik-baik ucapan Al Asytar, dengan tenang rmam Ali r.a. berkata: “Apa yang kau katakan mengenai perilaku dan keadilanku, bukankah Allah Azza wa Jalla telah berfirman (yang artinya): “Barang siapa berbuat baik, maka pahala bagi dirinya sendiri, dan barang siapa yang berbuat buruk, maka dosanya pun akan menimpa dirinya sendiri. Dan Tuhanmu tidak berlaku dzalim terhadap para hamba-Nya” (S. Fushshilat: 46).

Kemudian Imam Ali r.a. berkata pula: “Sebenarnya Allah mengetahui, bahwa mereka itu menjauhi kami bukan karena kami berlaku dzalim. Mereka menjauhi kami bukan karena hendak mencari perlindungan keadilan. Yang mereka kejar hanyalah dunia, yang akhirnya akan lenyap juga dari mereka. Pada hari kiyamat mereka itu akan ditanya: ‘apakah mereka hanya menginginkan dunia? Apakah yang telah mereka perbuat untuk Allah?’…”

Tentang pengobralan harta milik ummat untuk mendapatkan pengikut seperti yang dilakukan Muawiyah di Syam, Imam Ali r.a. berkata: “Kami tidak dapat memberikan pembagian harta ghanimah kepada seseorang melampaui ketentuan yang sudah menjadi haknya…”

Tentang banyak atau sedikitnya pengikut, Imam Ali r.a. mengemukakan contoh kehidupan Rasul Allah s.a.w.: “Allah mengutus Muhammad s.a.w. seorang diri. Kemudian Allah membuat pengikut beliau menjadi banyak, padahal mulanya sangat sedikit. Ummatnya yang pada mulanya hina kemudian diangkat menjadi ummat yang mulia. Jadi jika Allah hendak melimpahkan hal seperti itu kepadaku, semua kesulitan pasti akan dipermudah oleh-Nya, sedang segala yang berat akan di­ringankannya.”

Menurut Hasan Al Bashriy: “Imam Ali r.a. adalah orang rahbaniy (orang suci) dari ummat ini.” Orang suci dari ummat ini menghayati kehidupan yang amat sederhana. Ia bersembah sujud kepada Allah seperti para wali atau orang suci lainnya. Ia memikul tanggung jawab atas negara dan ummatnya dengan tekad seperti Nabi.

Di Kufah, Imam Ali r.a. melarang keras orang memaki-maki Muawiyah. Kepada sahabat-sahabatnya ia berkata: “Ucapkanlah: Ya Allah, hindarkanlah kami dari pertumpahan darah dengan mereka, dan perbaikilah hubungan persaudaraan kami dengan mereka!”

Padahal di Syam, Muawiyah mendorong-dorong penduduk supaya mencerca dan mencaci-maki Imam Ali r.a.

Di Kufah Imam Ali r.a. memakai baju seharga tiga dirham, menelan makanan serba kasar dan kering. Kekayaan kaum musli­min dibagi di antara mereka semua berdasarkan keadilan tanpa pilih kasih. Ia hidup taqwa dan zuhud tidak mengenal kesenangan hidup sama sekali!

Padahal di Syam Muawiyah tinggal di istana megah dan menikmati hidup serba mewah. Kekayaan datang dari mana-mana dalam jumlah yang sukar dihitung. Tetapi kekayaan itu dihambur­kan untuk tujuan mencapai kepentingan ambisinya.

Di Kufah kepada para utusan muslimin yang datang, baik yang mencari kebenaran untuk dijadikan pegangan hidup, maupun yang mencari kekayaan atau kesempatan memperoleh kedudukan, oleh Imam Ali r.a. diingatkan kepada ayat Al-Qur’an (S. Yunus: 108), yang artinya: “Barang siapa memperoleh hidayat, maka hi­dayat itu sesungguhnya untuk kebaikan dirinya sendiri. Dan ba­rang siapa yang sesat, maka kesesatan itu pun akan mencelakakan dirinya sendiri.”

Selain kalimat tersebut tidak ada harapan atau janji-janji muluk, tidak ada suap, dan tidak ada penghamburan uang milik ummat, betapa pun besarnya akibat yang akan dihadapi oleh Imam Ali r.a.

Sedang di Syam, Muawiyah memberi harapan dan janji-janji muluk serta mengobral harta dan hadiah-hadiah.

Di Kufah Imam Ali r.a. diminta oleh kaum muslimin supaya tinggal di sebuah istana besar dan megah. Waktu melihat istana itu Imam Ali ra. membuang muka sambil berkata: “Itu istana celaka! Sampai kapan pun aku tak sudi tinggal di sana!”

Penduduk Kufah tetap menghimbau dan mendesak supaya Imam Ali r.a. bersedia menempati istana itu, sebab dianggap patut dan sesuai, tetapi Imam Ali r.a. tetap menolak keras: “Aku tidak membutuhkan itu! Umar Ibnul Khattab sendiri dulu tidak menyukainya!”

Di Kufah, Imam Ali r.a. sering berjalan kaki ke pasar-pasar, padahal ia seorang Amirul Mukminin. Di sana ia menunjukan orang yang sesat jalan dan membantu orang yang lemah. Ia berjumpa dengan seorang yang sudah sangat lanjut usia. Segera ia membantu membawakan barang jinjingannya.

Melihat perbuatan Imam Ali r.a. seperti itu ada sahabatnya yang tidak rela, lalu mendekati, kemudian berkata kepadanya: “Ya Amirul Mukminin ….!”

Imam Ali r.a. tidak membiarkan sahabat itu berkata sampai selesai. Segera ia menukas dengan mengucapkan firman Allah, yang artinya: “Kampung akhirat itu kami sediakan bagi orang-­orang yang tidak menyombongkan diri di bumi dan tidak ber­buat kerusakan. Kesudahan yang baik bagi orang-orang yang bertaqwa.” (S. Al-Qishash:83).

Ia membeli kebutuhan-kebutuhan keluarganya dan membawanya sendiri. Jika ada salah seorang dari pengantarnya yang hendak membawakan jinjingannya, ia menjawab sambil tersenyum: “Kepala keluarga lebih berhak membawanya sendiri!”

Walaupun ia seorang Khalifah, ia menunggang keledai dengan dua kaki tergelantung seolah-olah tak ada bedanya lagi dengan seorang badui miskin. Para sahabatnya berusaha mengganti hewan kendaraan itu dengan seekor kuda yang pantas bagi seorang Amir­ul Mukminin. Tetapi Imam Ali r.a. malah menjawab: “Biarkan aku meremehkan dunia ini!”

Imam Ali r.a. sanggup menaklukkan rayuan kesenangan duniawi dan menundukkan megahnya kekuasaan. Di dunia ini ia hidup untuk menunggu akhirat, dan bukannya takluk kepada dunia.

Nyata benar bedanya antara Imam Ali r.a. di Kufah dengan Muawiyah di Syam. Imam Ali r.a. hidup zuhud dan suci, sedang Muawiyah hidup serba mewah meniru raja-raja Persia dan Roma­wi. Salah seorang dinasti Bani Umayyah sendiri yang terkenal jujur, Umar bin Abdul Azis, mengakui terus terang: “Ali bin Abi Thalib r.a. adalah orang yang paling zuhud di dunia.”

Imam Ali r.a. seperti diketahui pernah berselisih pendapat dengan Abu Bakar Ash Shiddiq r.a. tentang kekhalifahan. Tetapi sebagai seorang zahid tidak mau mengingkari keutamaan Abu Bakar r.a. Sewaktu menyatakan belasungkawa atas wafatnya Abu Bakar r.a sambil menyeka air mata, Imam Ali r.a. berkata:

“Hai Abu Bakar, Allah telah melimpahkan rahmat kepada­mu. Demi Allah, engkau adalah orang Islam pertama dari ummat ini. Orang yang paling ikhlas imannya dan orang yang paling lurus keyakinannya. Engkau adalah orang yang membenarkan dan mempercayai Rasul Allah s.a.w. di saat orang-orang lain mendustakannya. Engkaulah yang membantunya di saat orang-orang lain menggenggamkan tangan (kikir). Engkaulah yang tegak berdiri di sampingnya di saat orang-orang lain duduk ber­pangku tangan.”

“Demi Allah, engkaulah yang menjadi pelindung Islam di saat orang-orang kafir hendak menghancurkannya. Hujahmu (dalam membela Islam) tak pernah lemah, pandanganmu senantiasa tajam, dan engkau tidak pernah berjiwa penakut.”

“Demi Allah, engkau adalah seperti yang dikatakan Rasul Al­lah s.a.w.: badanmu lemah, tetapi agamamu kuat dan selalu ber­sikap rendah hati. Semoga Allah melimpahkan ganjaran kepada­mu, dan semoga pula Allah tidak akan membiarkan aku tersesat sepeninggalmu.”

Banyak sekali riwayat yang mengisahkan kezuhudan Imam Ali r.a. Sikapnya yang selalu menolak kekayaan dan harta benda sangat menonjol. Salah seorang tokoh pada zamannya, Asy Syi’biy misalnya, sangat terkesan oleh suatu peristiwa yang disaksikannya sendiri di masa kanak-kanak. Katanya: “Bersama anak-anak lain aku pernah masuk ke sebuah tempat yang sangat luas di Kufah. Di sana aku melihat Imam Ali sedang berdiri di depan dua onggok emas dan perak. Ia memegang sebilah pedang untuk membubarkan orang banyak yang berkerumun di tempat itu. Se­telah itu ia kembali menghampiri onggokan emas dan perak untuk menghitungnya. Kemudian memanggil orang-orang supaya mende­kat dan kulihat semua emas dan perak habis dibagi-bagikan sampai tak ada lagi sisanya.”

“Waktu aku pulang,” kata Asy Syi’biy seterusnya, “bertanya kepada ayah: ‘Yang kusaksikan hari ini orang yang paling baik ataukah orang yang paling bodoh?’ Sambil keheran-heranan ayah balik bertanya: ‘Siapa dia, anakku?’ Kujawab: ‘Amirul Muk­minin Ali bin Abi Thalib.’ Kemudian kuceritakan kepada ayah apa yang kusaksikan tadi. Mendengar ceritaku itu ayah terharu dan sambil melinangkan air mata menjawab: ‘Yang kaulihat tadi itu orang yang paling baik, anakku’…”

Riwayat yang membuktikan tentang tidak senangnya Imam Ali r.a. kepada harta kekayaan diceritakan juga oleh Muhammad bin Fudhail, Harun bin Antarah dan Zadan. Ketika itu Muham­mad bin Fudhail bepergian bersama pelayan Imam Ali r.a. yang bernama Qanbar. Di tengah jalan mereka bertemu dengan Imam Ali r.a. Kepada tuannya Qanbar memberitahu bahwa ia mempu­nyai barang simpanan yang khusus disembunyikan untuknya. Pem­beritahuan Qanbar itu menimbulkan tanda-tanya di hatinya. Ke­mudian ia minta penjelasan. Tanpa memberi jawaban apapun Qanbar terus mengajak Imam Ali r.a. pergi ke tempat tinggalnya. Setibanya di rumah, Qanbar menghampiri sebuah tempat dan mengambil sebuah kantong. Waktu kantong dibuka dan dikeluar­kan ternyata berisi beberapa piala penuh dengan kepingan-ke­pingan emas dan perak.

Dengan wajah berseri-seri Qanbar berkata: “Kulihat tuan tak pernah membiarkan barang apa pun yang tidak tuan bagikan kepa­da orang-orang lain sampai habis. Oleh karena itu semuanya ini kusembunyikan dari Baitul Mal, khusus untuk tuan.”

Dengan mata membelalak, Imam Ali membentak: “Celaka engkau, hai Qanbar! Apakah engkau ingin memasukkan kobaran api ke dalam rumahku?” Tanpa banyak bicara lagi Imam Ali segera menghunus pedang lalu dihantamkan kuat-kuat ke kantong yang berisi piala-piala penuh emas dan perak. Piala-piala itu hancur berkeping-keping dan emas serta perak tertebar berhamburan.

Habis itu Imam Ali r.a. mengumpulkan orang banyak. Ke­pada mereka ia berkata: “Bagilah semuanya itu dengan adil!”

Belum puas dengan sikap yang memukaukan orang banyak itu, Imam Ali r.a. cepat-cepat menuju Baitul Mal. Semua yang tersimpan dalam balai harta kaum muslimin itu dibagi-bagikan be­gitu saja kepada orang-orang. Setelah terbagi rata, ia masih melihat ada beberapa kerat jarum dan benda-benda kecil lain yang kurang berharga. Kepada orang-orang yang masih tinggal ia menganjur­kan supaya benda-benda kecil itu.dibagi juga. Apa jawab mereka: “… Kami tidak membutuhkan itu…!”

Imam Ali r.a. tersenyum meninggalkan Baitul Mal seraya bergumam: “Yang jelek sebenarnya harus diambil juga bersama-­sama yang baik!” Ia pergi tanpa sekeping pun melekat di tangan­nya.

[1]Abbas Al Aqad: “Abqariyyatu Ali bin Abi Thalib”.

https://tausyah.wordpress.com

Nama ALLAH pada kelopak BungaOleh: Qosim Nursheha Dzulhadi

Dalam sebuah makalah yang berjudul ‘SALIB KRISTUS DALAM PERSPEKTIF PENULIS ARAB-MUSLIM KONTEMPORER’ Bambang Noorsena menyatakan bahwa Salib Kristus dan Thariq al-Alam (Jalan Sengsara)-Nya adalah salah satu “batu sandungan” dalam dialog teologis Kristen-Islam hingga sekarang. Salah satu alasan penolakan Islam atas historisitas penyaliban Yesus, didasarkan atas sebuah ayat dalam al-Qur’an; Wa maaqataluhu wa maa shalabuhu wa lakin syubiha lahum. (Mereka tidak membunuhnya dan tidak pula mereka menyalibkannya, melainkan yang disamarkan bagi mereka” (Q.s. An-Nisa’/4:157).

Makalah yang disampaikan dalam “Pengajian Injil” yang diselenggarakan Institute for Syriac Christian Studies (ISCS) Surabaya, di Gedung Keuskupan, Jl.W.R.Supratman No.4, Surabaya, 2 Juli 2004 itu penting untuk dikritisi. Meski sudah lewat, makalah yang dimuat di http://www.iscs.or.id/ sangat mendasar bagi “akidah”.

Penyaliban Yesus

(Al-Masih) dan ‘penderitaannya’ (the passion of Christ) dalam akidah Islam, bukan saja tidak mendapat tempat, namun juga ditolak oleh Bibel. Apa yang dikatakan oleh Bambang Noorsena bahwa salah satu alasan penolakan Islam adalah Qs. An-Nisa’ [4]: 157 sama sekali tidak tepat. Dalam tulisan ini, penulis mencoba memberikan beberapa catatan penting.

Pertama, kisah penyaliban Kristus dan penderitaannya (Âlâm al-Masîh) yang diklaim oleh umat Kristen sebagai bagian dogma yang harus diterima, meskipun irasional dan sama sekali tidak berdasar. Bangunan dogma ini laksana ‘sarang laba-laba’: tidak kokoh dan sudah runtuh.

Yang meruntuhkan dogma yang ‘membingungankan’ ini bukan hanya Al-Qur’an, tapi juga Bibel. Namun sayang, karena dogma –percaya tidak percaya, masuk akal atau tidak—wajib diterima. Benar, bahwa Qs. An-Nisa [4]: 157 menolak penyaliban Kristus. Penolakan Al-Qur’an bukan tanpa dasar dan tanpa alasan yang kuat.

Kisah penyaliban Kristus merupakan ‘sandiwara’ yang dibuat oleh Yahudi. Kemudian sandiwara ini mendapat sambutan yang sangat besar sekali dari umat Kristen. Umat Yahudi yang paling banyak mencerca ibunda Mariam (Maria) –wanita suci dan terhormat—dan menuduhnya berbuat “serong” lebih dicintai oleh umat Kristen, meskipun umat Islam membela habis-habisan.

Pada akhirnya, penyaliban ini menjadi dogma yang taken for granted, tanpa proses olah nalar yang cerdas.

Umat Yahudi adalah umat yang memiliki budaya “ingkar janji”, mengingkari ayat-ayat Allah, membunuh para nabi tanpa alasan yang benar, mengaku hatinya tertutup.

Mereka juga mencerca Mariam, ibu Kristus. Dan yang paling besar, mereka mengaku telah ‘membunuh’ –menyalib—Kristus utusan Allah (Qs. An-Nisa’ [4]: 156-157). Padahal, mereka tidak membunuhnya dan tidak menyalibnya, hanya orang yang diserupakan –bukan disamarkan seperti yang diklaim Bambang Noorsena.

Dan ternyata, orang-orang Yahudi sendiri ragu terhadap yang mereka salib itu. Mereka tidak memiliki pengetahuan yang valid, akhirnya mereka hanya mengikuti perkiraan (prasangka) saja (ittibâ` az-zhann).

Dan mereka memang benar-benar tidak yakin bahwa mereka telah membunuh Kristus (Qs. An-Nisa’ [4]: 157). Al-Qur’an menyatakan bahwa Kristus tidak hanya tidak disalib, bahkan diangkat oleh Allah (Qs. An-Nisa [4]: 158).

Kalau seandainya benar Kristus disalib, demi menebus dosa bapaknya Adam. Berarti Allah tidak adil. Kalau Tuhan mengorbankan ‘Anak Tunggal-Nya’, berarti Tuhan tidak memiliki kasih sayang. Bukankah dalam agama Kristen Tuhan itu bersifat ‘adil’ dan ‘pengasih’.

Jika demikian, kisah penyaliban Kristus tertolak melalui dua sifat Tuhan yang kontradiktif ini. Adalah benar apa yang termaktub di dalam Kitab Yehezkiel 18: 2-4, “Mengapa peribahasa ini terus disebut-sebut di negeri Israel? ‘Orang tua makan buah anggur yang asam rasanya, tetapi anak-anaklah yang ngilu giginya.’ Demi Aku, Allah yang hidup, TUHAN Yang Mahatinggi, peribahasa ini tidak akan lagi diucapkan di Israel. Nyawa setiap orang adalah milik-Ku, baik nyawa orang tua maupun nyawa anaknya. Orang yang berdosa, dialah yang akan mati.”

Lebih tegas lagi dijelaskan, “Orang yang berbuat dosa, dialah yang akan mati. Anak tidak harus menanggung akibat dari kesalahan ayahnya; sebaliknya, ayah pun tidak harus menanggung akibat dari dosa-dosa anaknya. Orang yang baik akan mendapat ganjaran yang baik karena perbuatannya yang baik. Dan orang yang jahat akan menderita akibat dari kejahatannya.” (Yehezkiel 18: 20).

Dengan demikian, tidak ada alasan bahwa Kristus harus menebus dosa Adam. Rentang waktu yang begitu lama – ribuan tahun—sejak Adam dan Hawa makan buah dari pohon kehidupan dan keabadian, menjadi tanda tanya besar yang tidak terpecahkan.

Bukan hanya tidak masuk akal, juga menodai ke-Mahaagungan Allah SWT. Apakah Allah Yang Mahakuasa tidak mampu mengampuni dosa para hamba-Nya? Karena dia Mahakuasa. Lalu kenapa harus menunggu Kristus dilahirkan? Paralogisme yang menggelikan!

Kedua, benarkah Kristus disalib? Bambang Noorsena dalam makalahnya juga menyatakan, ” Secara gramatikal, Q.s. An-Nisa’ 157 memang tidak menyangkal secara gamblang historisitas penyaliban Yesus.

Ungkapan lakin syubiha lahum (melainkan yang disamarkan bagi mereka), menggunakan bentuk fi’il mabni lil-majhul yang tidak menunjuk secara jelas subyek, yaitu siapa yang menggantikan Yesus dalam penyaliban.

Nama Yudas Iskariot sebagai pengganti Yesus baru muncul belakangan, dan dalam sejumlah tafsir kuno dikemukakan nama-nama lain (Simon Petrus, Simon dari Kirene, dan sebagainya).

Artinya, nama-nama inipun tidak muncul dalam teks al-Qur’an, melainkan dalam sejumlah kitab Tafsir al-Qur’an.

Keliru besar jika Bambang Noorsena menyatakan bahwa kata kerja (fi`il) syubbiha lahum fi`il al-mabni li al-majhuul. Kemudian, dengan spontan menyimpulkan bahwa ayat tersebut tidak secara gamblang menolak historisitas penyaliban Kristus.

Ini sangat penting untuk dicermati. Pertama, dalam gramatikal Arab, tidak semua fi`il al-mabnî li al-majhuul tidak jelas pelakunya. Kesimpulan dini anti-klimaks ini merupakan akibat dari ilmu bahasa Arab yang matang dipaksakan. Yang menggantikan Kristus adalah Allah. Itu adalah logika. Kesimpulan yang ‘sembrono’ dan ‘serampangan’ itu adalah akibat dari kutipan ayat yang tidak sempurna.

Jika saudara Bambang benar-benar mengutip ayat secara sempurna, dari ayat 156-158, maka kesimpulannya akan berbeda jauh. Syeikh Mutawalli Sya`rawi dalam bukunya Maryam wa Al-Masih menyatakan, bahwa kata ‘syubbiha lahum’ merupakan ‘satu bukti’ danya “kecerobohan” dalam usaha pembunuhan itu. Maka, orang lain diserupakan dengan Kristus. Hal itu mengindikasikan bahwa masalah penyaliban (pembunuhan Kristus) tidak alami. Tidak ada kepastian dari orang-orang yang ingin membunuhnya.”

Penulis kira, tidak ada bedanya kata syubbiha lahum dengan ayat yang berbunyi zuyyina li an-nassi dalam Qs. Ali `Imran [3]: 14,”Zuyyina li an-naasi hubb asy-syahawaati min an-nisaa’i wa’l-baniin a’l-qanaathiir’l-muqantharah min adz-dzahabi wa’l-fidhdhati wa’l-khili’l-musawwati wa’l-an`aami wa’l-harts….”

Apakah ayat ini juga harus dipertanyakan, “Siapa yang memberikan rasa cinta dalam diri manusia terhadap wanita, anak-anak, dst…? Apakah ayat ini juga akan disebut ‘tidak jelas’?

Jawabannya yang tepat penulis kira; kembali kepada penguasan bahasa Arab yang lebih sempurna. Bukan penguasaan yang tendesnsius. Kedua, tidak benar bahwa nama Yudas Iskariot baru muncul belakangan.

Kemudian, Bambang menyebutkan nama-nama Simon Petrus, Simon dari Kirena, dan sebagainya. Setelah itu beliau menyimpulkan, “Nama-nama inipun tidak muncul dalam teks al-Qur’an, melainkan dalam sejumlah tafsir al-Qur’an.

Benar bahwa, nama-nama Simon Petrus dan Simon dari Kirena, dan sebagainya tidak tercantum di dalam Al-Qur’an. Karena nama-nama itu tidak penting. Yang penting adalah, wa maa qataluuhu wa maa shalabuuhu, wa laakin syubbiha lahum. Itulah inti ayat Al-Qur’an dalam masalah ini. Karena aktor dalam penyaliban itu ada tiga: Yahudi, Kristus dan Yudas Iskariot. Inilah yang harus dicantumkan dalam Al-Qur’an. Sementara Simon Petrus dan Simon dari Kirena, dalam istilah bahasa Arab, laa yanfa` wa laa yadhurr.

Sejatinya, nama Yudas sudah hilang ketika –menurut keyakinan Kristen—setelah penangkapan Kristus dan diserahkan kepada para pemuka agama dan tentara Romawi, ia menghilang. Ia tidak kedengaran lagi perannya dalam panggung peristiwa.

Ke mana dia? Ini akan dijawab pada poin ketiga di bawah ini.
Ketiga, Kristus benar-benar tidak disalib menurut kesaksian Bibel. Buktinya; “Angkatlah seorang jahat untuk mengadili dia, biarlah ia didakwa oleh lawannya. Biarlah ia diadili dan dinyatakan bersalah, dan biarlah doanya dianggap dosa. Biarlah hidupnya lekas berakhir, dan jabatannya diambil oleh orang lain. Biarlah anak-anaknya menjadi yatim, dan istrinya menjadi janda.

Biarlah anak-anaknya menjadi pengemis yang mengembara, dan diusir dari reruntuhan rumahnya. Biarlah segala miliknya disita oleh penagih hutang, dan hasil jerih payahnya dirampas orang. Jangan ada yang baik hati kepadanya, atau menyayangi anak-anak yang ditinggalkannya. Biarlah seluruh keturunannya dibinasakan, dan namanya dilupakan oleh angkatan yang kemudian. Biarlah kejahatan leluhurnya tetap diingat Tuhan, dan dosa ibunya tidak diampunkan.

Biarlah dosa mereka selalu diingat Tuhan, dan tak ada yang mengenang mereka di bumi. Sebab orang itu tak pernah ingat untuk menunjukkan kasih sayang. Ia menganiaya orang miskin dan sengsara, dan membunuh orang yang tak berdaya. Ia suka mengutuk; biarlah ia sendiri terkutuk!

Ia tidak suka memberi berkat, biarlah tak ada berkat untuk dia! Baginya mengutuk itu perbuatan
biasa, sama seperti mengenakan pakaiannya. Biarlah kutuk itu merembes seperti air ke badannya, dan seperti minyak ke tulang-tulangnya.

[clor=red]Biarlah kutuk itu menutupi dia seperti pakaian, dan selalu melingkari dia seperti ikat pinggang. Tuhan, jatuhkan hukuman itu atas penuduhku, atas orang yang bicara jahat tentang aku. Tetapi tolonglah aku sesuai dengan janji-Mu, ya Tuhan Allahku, selamatkanlah aku karena kebaikan dan kasih-Mu… (Mazmur 109: 6-21).[/color]

Apa yang muncul dari Mazmur di atas? Pertama, Yudas adalah orang yang akan dihakimi, bukan
Kristus. Kedua, ditetapkan atasnya dosa. Ketiga, ia pasti akan disalib. Anaknya akan menjadi yatim, dan istirinya menjadi janda. Keempat, dialah yang mengkhianati Kristus dan berusaha untuk menghindar darinya. Kelima, Allah benar-benar akan menyelamatkan Kristus. Khsusus poin ketiga, Kristus tidak punya anak, karena dia tidak menikah.

Berarti tepat, itu adalah Yudas. Kemudian, menurut syariat Yahudi, yang disalib adalah terlaknat (terkutuk) (Ulangan 21: 22-23).

Penulis kira, tidak ada satu orang Kristenpun yang menerima jika Kristus dilaknat (dikutuk); raja
penyelamat harus tetap hidup. Bagaimana mungkin Kristus mati disalib (Yohanes 12: 34); dalam Matius 16: 21 Kristus menyatakan bahwa ‘ia akan dibunuh’.

Namun ini kontradiksi dengan injil Markus dan Lukas, karena kedua injil itu menggunakan kata ganti orang ketiga, ‘Anak Manusia’, bukan Kristus (Markus 8: 31 dan Lukas 18: 31-33).

Dengan demikian, Markus dan Lukas sepakat menggunakan kata ‘Anak Manusia’. Para murid Kristus sendiri –ketika ia berbicara tentang ‘Anak Manusia’ yang akan mati disalib—tidak memahami kata-katanya (Lukas 18: 34 dan Yohanes 20: 9).

Tidak ada satu ayatpun dalam Bibel, ketika Yesus berbicara tentang penyaliban dengan menggunakan ‘Anak Allah’. Dengan demikian, umat Kristen tidak ada alasan untuk mengakui penyalibannya. Silahkan dicermati dalil yang satu ini, “Memang Anak Manusia akan mati (perhatikan dia tidak mengatakan dibunuh) seperti yang tertulis dalam Alkitab. Tetapi celakalah (artinya siksa dan sakit) orang itu yang melalui tanggannya diserahkan anak manusia. Lebih baik bagi dia kalau tidak pernah dilahirkan (Matius 26: 24). Apakah Kristus lebih baik untuk tidak dilahirkan ke dunia ini?

Inilah kata Yudas di atas kayu salib, [“Eli, Eli, lama sabakhtani?” yang berarti, “Ya Allahku, ya Allahku mengapakah Engkau meninggalkan aku? (Matius 27: 46). Karena jika yang disalib itu Kristus, maka ia harus; ridha dengan ketentuan Allah dan takdir-Nya (secara nâsût dan lâhût, secara kemanusiaan dan keilahian) . Selain itu ia seyogyanya bergembira, bukan malah gelisah, karena ia telah menebus dosa manusia, dan itu merupakan misinya.

Bagaimana mungkin misinya tersebut menyebabkan dia merasa gelisah, khususnya jika ia seorang nabi, atau tuhan atau anak tuhan sebagaimana yang diklaim oleh umat Kristen.

Perhatikanlah ayat Injil ini, ” Tinggal sesaat saja kalian tak akan melihat aku lagi, dan setelah itu sesaat lagi kalian akan melihat aku (Yohanes 16: 16).

Bagaimana mungkin para murid Kristus tidak melihatnya, padahal ia berada di atas kayu salib. Karena ternyata, para murid juga tidak mampu memahami perkataan Kristus ketika berbicara tentang itu. ” Beberapa murid mulai bertanya satu sama lain: “Apa maksud dari perkataannya: “Tinggal sesaat saja, kalian tidak akan melihat aku lagi, dan setelah itu sesaat lagi kalian tidak akan melihat aku.”

Juga apa maksudnya: “Aku pergi kepada Bapa?” Mereka terus bertanya, “Apa artinya sesaat? Kita tidak mengerti ia bicara apa.” (Yohanes 16: 17-18). Itu adalah gaya bahasa Kristus, penuh metafora dan majaz. Itulah usaha Kristus untuk mem-filter iman mereka. Juga agar mereka tidak gusar, tenang: karena Kristus tidak akan mati di tiang salib.

Kristus hanya pergi sebentar, meninggalkan para muridnya. Setelah itu, ia kembali menemui mereka. Kalian tidak akan aku tinggalkan sendirian sebagai yatim piatu.

Tinggal sebentar saja dunia tak akan melihat aku lagi. Tetapi kalian akan melihat aku. Dan karena aku hidup, kalian pun akan hidup. (Yohanes 14: 18-19).

Perhatikan, Kristus tidak menyatakan ‘akan hidup’, tapi ‘hidup’. Kenapa? Karena dia memang tidak mati. Kalau memang Kristus akan hidup (bangkit) lagi, maka tidak ada gunanya Maria Magdalena membawa ramu-ramuan (Markus 16: 1). Karena ramuan untuk orang mati, bukan untuk Kristus yang tidak (belum) mati.

Bahkan ketika bertemu Maria Magdalena, Kristus enggan untuk disentuh. Ia berkata, [coor=red”Jangan pegang aku, kata Yesus, karena aku belum naik kepada Bapa.” (Yohanes 20: 16-17). [/color]

Kalau benar Kristus disalib, ia akan berkata, “Aku telah bangkit dari kematian (dari antara orang-orang mati). Tapi ia malah mengatakan, “Aku belum naik kepada Bapa.” Apa artinya? Artinya ia belum mati, karena memang tidak disalib.

Maria sendiri menyatakan bahwa dia telah melihat Tuhan, bukan menyatakan bahwa Tuhan telah bangkit dari kematian (Yohanes 20: 18). Bukankah pada pertemuan kedua dengan murid-muridnya, ia memperlihatkan tangan dan lambungnya? Artinya, di tangannya tidak ada bekas paku salib.

Wajah Kristus sebenarnya sudah lebih dari cukup untuk menyatakan bahwa dia benar-benar Kristus, tanpa harus memperlihatkan bekas paku segala. Tapi ini benar-benar bukti bahwa ia ingin meyakinan para muridnya, bahwa ia tidak disalib, dan belum mati.

Untuk mempersingkat, ini satu dalil lagi bahwa Kristus (sebagaimana diyakini kalangan Kristen) tidak sedang disalib. “Yesus berkata kepada mereka, “Aku akan pergi, dan kalian akan mencari Aku, namun kalian tidak akan mampu datang ke tempat Aku berada. Namun kalian akan mati dalam dosa-dosa kalian (Yohanes 8: 21).

Konklusi dari ayat Injil ini adalah: pertama, orang-orang Yahudi akan berusaha untuk menangkap Yesus, namun mereka tidak mampu melakukannya. Kedua, mereka akan menanggung dosa atas usaha pembunuhannya, ketika mereka membunuh Yudas yang tersirat dalam ungkapan Yesus: “Kalian akan mati dalam dosa kalian”.

Ini adalah dalil yang menyatakan bahwa Kristus benar-benar selamat dari usah penyaliban. Maka wajar jika nama Yudas langsung menghilang dari panggung sandiwara.

Dengan demikian, Kristus benar-benar tidak disalib. Karena kalau dia disalib, berarti ayat ini harus dicopot dari Injil, Padahal kami berharap bahwa dialah yang akan membebaskan Israel…(Lukas 24: 21).

Argumen Bambang Noorsena, yang beliau kutip dari Tharif Khalidi, dikisahkan bahwa seorang bernama Al-Urits telah bermimpi bertemu Yesus, dan bertanya kepada Yesus: “Apakah penyaliban benar-benar terjadi?”

“Ya, Benar! Saya memang disalibkan”, jawab Yesus. Lalu si penerima mimpi melaporkan mimpinya kepada seorang ulama. “Tidak Yesus tidak disalib!”, ulama itu marah sambil mengutip Q.s. An-Nisa’ 157-158. “Yang bermimpi disalib itulah yang akan disalibkan!”, demikian kata sang ulama.

Menurut Khalidi, sosok al-Urits itu memang sosok historis yang hidup zaman Sultan Saladin. Ini adalah kisah yang tidak populer hingga hari ini dan tidak dapat dipertanggungjawabkan validitasnya. Apalagi jika ia diklaim sebagai “sosok historis” yang hidup di zaman Sultan Saladin. Tentu saja kisah besar ini akan tersebar, tapi buktinya tidak []. Wallahua`lamu bi as-shawab!

*) Penulis adalah Mahasiswa Universitas Al-Azhar-Mesir, Fakultas Uhuluddin, jurusan Tafsir. Dimuat di http://www.hidayatullah.com/

https://tausyah.wordpress.com