Akhir Dari Perang Unta Ummul Mukminin Dipulangkan Ke Tempat Kediamannya

Posted: 15 Agustus 2010 in Para Imam
Tag:, , , ,

muslim_praying_madina_al_munawaraUmmul Mukminin Kembali Ke Tempat Kediamannya

Perang Unta atau Perang Jamal telah selesai. Tibalah saat yang tepat untuk segera mengembalikan Ummul Mukminin Sitti Aisyah r.a. ke Madinah. Untuk keperluan itu Imam Ali r.a. mempersiap­kan segala sesuatu yang dipandang perlu guna menjamin keama­nan dan keselamatan Ummul Mukminin selama dalam perjalanan pulang.

Persiapan dilakukan dengan sebaik-baiknya karena ia menge­tahui, bahwa di kalangan pasukannya terdapat anasir-anaisr eks­trim, yang jika tidak diadakan tindakan-tindakan pencegahan dapat berbuat onar dan mengganggu perjalanan Sitti Aisyah r.a. Bagaimana pun juga Ummul Mukminin harus dihormati dan di­lindungi.

Tak mungkin Ummul Mukminin dilepas seorang diri me­nempuh perjalanan jarak jauh di tengah padang pasir belantara. Ia harus dikawal. Tetapi siapakah yang harus mengawalnya? Apakah seregu pasukan dapat diserahi tugas pengawalan Ummul Muk­minin? Tentu saja dapat. Tetapi kemungkinan resikonya pun ada. Lebih-lebih mengingat Ummul MuKminin itu baru saja dianggap sebagai salah seorang pemimpin. Setelah ia gagal dan keluar dari peperangan sebagai fihak yang kalah, kemudian dipulangkan ke Madinah dengan pengawalan pasukan yang baru saja berhenti memusuhinya, kemungkinan apakah yang bisa terjadi di tengah perjalanan?

Sebagai seorang pemimpin yang sudah biasa berkecimpung dalam peperangan menghadapi tipu muslihat musuh, Imam Ali r.a. tidak kehilangan akal. Sejumlah wanita dari Bani Qies diajak bermusyawarah dan diberi petunjuk tentang apa yang harus dilakukan dalam melaksanakan tugas. Mereka diminta kesediaan­nya untuk bertindak sebagai regu pengawal Ummul Mukminin.

Imam Ali r.a. juga mengerti, bahwa karena mereka itu se­muanya wanita mungkin tidak akan disegani atau ditakuti oleh orang-orang yang hendak berbuat jahat di perjalanan. Agar tidak sampai dipandang “remeh” oleh orang lain, mereka harus ber­pakaian sebagai pria. Lengkap dengan jubah dan serban serta pe­dang tersandang di pinggang. Para pengawal khusus ini harus dapat bertindak seperti pria selama dalam perjalanan..

Selain wanita-wanita yang bertugas itu sendiri, seorang pun tidak boleh mengetahui rencana itu. Perahasiaannya dilakukan dengan ketat.

Setelah semua persiapan selesai, di bawah lindungan Ilahi Ummul Mukminin diberangkatkan pulang ke Madinah. Selama dalam perjalanan, Sitti Aisyah r.a. yang berada di dalam haudaj, sama sekali tidak mengetahui, bahwa para pengawalnya terdiri dari kaum wanita. Segala yang diperlukan selama perjalanan sudah di­sediakan dalam haudaj, sehingga Sitti Aisyah r.a. tidak perlu turun untuk suatu keperluan. Begitu juga “para prajurit”, tak seorang pun dari mereka yang berhadapan muka dengan Sitti Aisyah r:a. dan tak seorang pun yang bercakap-cakap dengan suara yang bisa di dengar dari haudaj. Semuanya diatur sedemikian rapi dan sem­purna.

Sepanjang perjalanan Ummul Mukminin bersungut-sungut, karena dikiranya Imam Ali r.a. mempercayakan pengawalan atas dirinya kepada orang-orang pria. Bukankah itu tidak sesuai de­ngan tatakrama yang semestinya? Ia bersungut-sungut dan terus bersungut-sungut karena tidak menduga sama sekali, bahwa rom­bongan pengawal yang tampak gagah itu semuanya terdiri dari kaum wanita!

Baru setelah tiba di Madinah, yaitu setelah Ummul Mukmi­nin turun dari haudaj, ia melihat sendiri semua prajurit pengawal­nya menanggalkan jubah, sorban dan sabuk gantungan pedang. Ia terpukau keheran-heranan, mengapa semuanya itu tidak diketahui, padahal perjalanan sedemikian jauh? Sambil menanggalkan pa­kaian pria “prajurit-prajurit” itu terkekeh-kekeh dan berkata ke­pada Ummul Mukminin: “Lihatlah, kami ini semuanya wanita!”

Ummul Mukminin Sitti Aisyah r.a kini telah kembali ke tem­pat kediaman semula dengan penuh kenangan pahit. Sejak itu sampai akhir hayatnya, ia tidak lagi melibatkan diri dalam kegiatan politik apa pun. Seluruh sisa hidupnya yang masih panjang itu di­pergunakan sebaik-baiknya untuk menekuni kehidupan taqwa kepada Allah s.w.t. dan patuh kepada pesan-pesan suaminya, Nabi Muhammad s.a.w.

Sebuah Penilaian

Seusai Perang Unta, Imam Ali r.a. bersama pasukannya me­nuju ke sebuah dusun di Bashrah, Dzi-qar. Di dusun itu dulu per­nah terjadi pertempuran seru antara pasukan muslimin melawan pasukan Persia.

Abu Minhaf menyajikan keterangan Zaid bin Shuhan, sa­habat Imam Ali r.a. yang menyaksikan dan mendengarkan sen­diri apa yang dikatakan olehnya dalam khutbah yang diucapkan di dusun Dzi-qar sehabis perang Unta.

Dengan serban berwarna hitam terlilit di sekitar kepala, kata Zaid bin Shuhan, Imam Ali r.a. mengucapkan sebuah Khut­bah yang berisi penilaian tentang Perang Unta.

“Alhamdulillah dalam segala hal dan segala keadaan, sepan­jang hari dan sepanjang malam. Aku bersaksi bahwa tiada tuhan selain Allah, dan bahwa Muhammad adalah Rasul Allah serta ham­ba-Nya. Beliau diutus sebagai rahmat kepada segenap manusia hamba Allah. Pada saat bumi ini penuh dengan fitnah, goyah ika­tan peraturan penghuninya, di mana setan-setan disembah dan di­puja, iblis musuh Allah menyelinap ke dalam aqidah semua pen­duduk.”

“Pada saat seperti itulah Muhammad bin Abdullah bin Abdul Mutthalib s.a.w. memadamkan kobaran apinya dan memudarkan percikan baranya. Dengan Rasul-Nya itu Allah s.w.t. mencabut tongak-tonggak penghalang dan menegakkan semua yang miring serba bengkok. Beliau s.a.w. adalah pembimbing ke jalan hidayat, seorang Nabi pilihan Allah s.w.t. Beliau telah menunaikan apa yang telah diperintahkan Allah kepadanya dan telah pula menyam­paikan risalah Tuhannya kepada ummat manusia. Dengan Rasul-­Nya itu Allah s.a.w memperbaiki semua yang rusak, mengamankan semua jalan menuju ke arah kebenaran, memulihkan kerukunan dan mempersatukan semua orang yang dahulu dadanya dibakar oleh perasaan dendam dan dengki.”

“Setelah semuanya itu terwujud menjadi kenyataan yang be­nar, Allah s.a.w. memanggil beliau s.a.w. kembali ke sisi-Nya, da­lam keadaan beliau selalu bersyukur. Sepeninggal beliau s.a.w. kaum muslimin membai’at Abu Bakar Ash Shiddiq sebagai Kha­lifah. Abu Bakar telah bekerja tanpa menghemat tenaga. Setelah wafat ia diganti oleh Umar. Umar pun telah bekerja dengan se­penuh tenaga. Setelah wafat, kaum muslimin menggantinya de­ngan membai’at Utsman sebagai Khalifah. Ia telah mendapatkan sesuatu dari kalian dan kalian pun telah memperoleh sesuatu dari dia, sampai akhirnya terjadi apa yang telah terjadi.”

“Kemudian sesudah itu kalian datang kepadaku untuk. me­nyatakan bai’at, padahal aku sama sekali tidak pernah membutuh­kan hal itu. Waktu itu kalian kutinggal masuk ke dalam rumah, tetapi kalian mendesak supaya aku keluar. Aku menahan tangan, tetapi kalian menarik-narik dan berdesak-desakan memperebut­kan tanganku, sampai kukira kalian akan membunuhku atau hen­dak saling bunuh di antara kalian sendiri. Namun ternyata kalian membai’at diriku, sedang aku sendiri tidak merasa senang atau gembira.”

“Allah s.w.t. mengetahui bahwa aku tidak suka memim­pin pemerintahan atau memegang kekuasaan di kalangan ummat Muhammad s.a.w. Sebab aku mendengar sendiri, beliau s.a.w. per­nah menyatakan: “Tidak ada seorang penguasa pun yang memerin­tah ummatku, yang kelak tidak akan dihadapkan kepada rakyat­nya, untuk diperlihatkan catatan-catatan tentang perbuatannya. Jika ia seorang yang berlaku adil, akan selamatlah. Tetapi jika ia seorang yang berlaku dzalim, akan tergelincirlah ke dalam neraka.”

“Kalian bersama orang banyak membai’atku. Begitu juga Thalhah dan Zubair. Dua orang itu pun menyatakan bai’atnya ma­sing-masing kepadaku. Waktu itu kulihat ada tanda-tanda lain yang memperlihatkan niat cidera dalam pandangan mata mereka. Tak lama kemudian dua orang itu minta izin kepadaku untuk mela­kukan umrah. Mereka berdua kuberitahukan terus terang, bahwa sebenarnya mereka itu tidak berniat melakukan umrah. Tetapi mereka berangkat juga. Lalu secara diam-diam menghubungi Sit­ti Aisyah. Bersama orang lain yang mau mengikuti kedua orang itu, Sitti Aisyah dikelabui. Pengikut-pengikut mereka itu terdiri dari orang-orang Makkah yang baru memeluk Islam setelah kota Makkah dibebaskan oleh Rasul Allah s.a.w. dari kekuasaan kaum musyrikin.”

“Kemudian mereka semua berangkat menuju Bashrah. Di­sanalah mereka melakukan perbuatan tercela dan merugikan kaum muslimin. Alangkah anehnya dua orang itu. Dulu mereka bersi­kap loyal (setia) kepada Abu Bakar dan Umar, tetapi kepadaku mereka bersikap membangkang dan memberontak. Padahal mere­ka tahu benar, bahwa aku ini tidak kurang dibanding dengan Abu Bakar dan Umar. Jika aku mau, tentu hal itu sudah kukatakan sejak dulu.”

“Yang pasti ialah bahwa Muawiyah bin Abi Sufyan telah me­nulis surat kepada dua orang tersebut dari Syam untuk berusaha membujuk. Dua orang itu merahasiakan surat Muawiyah terhadap­ku, lalu keluarlah mereka mengelabui orang banyak dengan alas­an seolah-olah dua orang itu hendak menuntut balas atas terbu­nuhnya Khalifah Utsman. Demi Allah, dua orang itu tidak dapat mengingkari kenyataan, bahwa aku ini memang tidak melakukan perbuatan yang sangat tercela seperti itu. Tetapi dua orang itu ti­dak mau bersikap adil terhadap diriku dan terhadap diri para pem­bunuh Utsman.”

“Sebenarnya dua orang itulah yang langsung terlibat dalam penumpahan darah Utsman, dan dua orang itulah yang seharusnya dimintai pertanggunganjawab. Alangkah kosongnya tuduhan mereka itu! Demi Allah, dua orang itu benar-benar sesat dan tidak dapat mendengar, tidak mau mengerti dan tidak dapat melihat. Hanya setan-setan sajalah yang telah menggiring pasukan berkuda dan pejalan kaki di belakang dua orang itu untuk mengembalikan kedzaliman kepada tempatnya dan mengembalikan kebatilan kepada asal mulanya.”

[1]Ibnu Abil-Hadid: Syarh Nahjil-Balaghah VI/224-229, dan Lubabun-nuqul Fi Asbabin-nuzul: Imam Jalaluddin Assayuthi.

Disadur dari buku :

Sejarah Hidup Imam Ali bin Abi Thalib r.a.
Oleh H.M.H. Al Hamid Al Husaini
Penerbit: Lembaga Penyelidikan Islam

https://tausyah.wordpress.com

Komentar
  1. […] di bulan Ramadhan, waktu Abdullah ibn Zubair menyerahkan sekantung uang sejumlah satu lakh dirham, Aisyah membagikan uang itu sebelum waktu berbuka […]

    Suka

  2. […] jadilah Ummu Salamah sebagai Ummul mukminin. Beliau hidup dalam rumah tangga nubuwwah yang telah ditakdirkan untuknya dan merupakan suatu […]

    Suka

  3. […]  maka  Rasulullah  s.a.w.  pun  menangis mengingatkan  betapa benarnya kata-kata orang Arab badwi itu, air mata beliau meleleh membasahi Janggutnya. Karenanya Malaikat Jibril turun kembali seraya […]

    Suka

  4. […]  terkejut.  Gadis  kecil  ini  sedang  menghadapi musibah yang bertubi-tubi dan dia tetap sabar dan ikhlas dengan apa yang ditetapkan Allah […]

    Suka

  5. […] dan dalam perjanjian yang utama antara seorang hamba dengan Tuhan-nya agar pada kala itu seorang manusia mengambil janji kepada Tuhan-nya agar semasa ia hidup ia tiada akan ingkar dalam memper-Tuhan-kan […]

    Suka

  6. […] setelah perjanjian yang utama antara seorang hamba dengan Tuhan-nya agar pada kala itu seorang manusia mengambil janji kepada Tuhan-nya agar semasa ia hidup ia tiada akan ingkar dalam memper-Tuhan-kan […]

    Suka

  7. […]  maka  Rasulullah  s.a.w.  pun  menangis mengingatkan  betapa benarnya kata-kata orang Arab badwi itu, air mata beliau meleleh membasahi Janggutnya. Karenanya Malaikat Jibril turun kembali seraya […]

    Suka

  8. […] shalat yang kita lakukan sangat sesuai dengan kaidah dan ketentuan sistem terapi dalam ilmu kesehatan […]

    Suka

  9. […] shalat yang kita lakukan sangat sesuai dengan kaidah dan ketentuan sistem terapi dalam ilmu kesehatan […]

    Suka

  10. […] setelah perjanjian yang utama antara seorang hamba dengan Tuhan-nya agar pada kala itu seorang manusia mengambil janji kepada Tuhan-nya agar semasa ia hidup ia tiada akan ingkar dalam memper-Tuhan-kan […]

    Suka

Tinggalkan komentar