Penumpasan Kaum Pemberontak, Persiapan Amirul Mukminin Imam Ali Melawan Muawiyah Dalam Perang Shiffin

Posted: 16 Agustus 2010 in Para Imam
Tag:, , , , , , ,

Masjid NabawiPerang Shiffin

Selesai menumpas pemberontakan Thalhah dalam perang “Jamal” di Bashrah, Imam Ali r.a. tidak berniat pulang ke Madi­nah. Ia hendak memanfaatkan ketinggian mental pasukannya yang baru menang perang guna menghadapi pasukan Muawiyah (Syam) yang sudah mulai memusatkan kekuatan di Shiffin, yang letaknya tak seberapa jauh dari Kufah.

Kufah pada waktu itu berada di bawah seorang penguasa daerah yang dahulu diangkat oleh Khalifah Utsman bin Affan r.a., yaitu Abu Musa Al-Asy’ariy. Untuk mengerahkan dukungan dari penduduk Kufah, diperlukan usaha-usaha meyakinkan lebih dahu­lu. Sebab, bagaimana pun juga kota itu tak mungkin dapat dijadi­kan tempat pemusatan pasukan Imam Ali r.a., selama penduduk­nya belum benar-benar meyakini benarnya perjuangan menum­pas kaum pemberontak yang digerakkan dari Syam.

Sikap Kufah

Setibanya dekat perbatasan Kufah, Imam Ali r.a. mengutus Ammar bin Yasir dan Muhammad bin Abu Bakar menemui Abu Musa Al-Asy’ariy, penguasa daerah Kufah. Perutusan itu bertugas mengajak penduduk berjuang bersama Imam Ali r.a. dan pasukan­nya dalam menumpas pemberontakan Muawiyah.

Sore harinya, setelah mengadakan pembicaraan dengan per­utusan Imam Ali r.a., Abu Musa dihujani pertanyaan oleh sejumlah penduduk yang masih bingung. Mereka bertanya-tanya tentang si­kap apa yang harus diambil. Mendukung perjuangan Imam Ali r.a. atau tidak.

Jawaban yang diberikan Abu Musa atas pertanyaan sejum­lah penduduk itu secara kebetulan didengar oleh perutusan Imam Ali r.a. Perutusan Imam Ali r.a. menegor Abu Musa karena jawab­annya yang tidak jelas kepada rakyat. Abu Musa tidak menyerah begitu saja atas tegoran perutusan Imam Ali r.a., sehingga terjadi perdebatan. Abu Musa dalam membela pendiriannya mengata­kan:

“Hai saudara-saudara, kalian adalah para sahabat Rasul Al­lah s.a.w. yang sering menemani beliau dalam berbagai kejadian. Kalian tentu lebih tahu kehendak Allah dan Rasul-Nya dibanding dengan orang-orang lain yang tidak pernah menemani Rasul Al­lah s.a.w. Aku wajib menyampaikan sabda Rasul Allah, bahwa fit­nah akan datang, orang yang tidur lebih baik dari yang melek, orang yang duduk lebih baik dari pada yang berdiri, orang yang berdiri lebih baik daripada yang berjalan, dan orang yang berjalan lebih baik daripada yang menunggang kuda! Oleh karena itu ma­sukkanlah pedang-pedang kalian ke dalam sarung, dan tunggu dulu sampai fitnah itu meletus dengan jelas!”

Karena kata-kata Abu Musa itu juga didengar oleh sejumlah penduduk Kufah, maka Ammar bin Yasir segera mengatakan: “Hai saudara-saudara. Abu Musa melarang kalian mencampuri urusan dua fihak yang sedang bertikai. Demi Allah, apa yang dika­takan olehnya itu sama sekali tidak bisa dibenarkan. Allah tidak akan ridho terhadap hamba-Nya yang mengikuti perkataan Abu Musa! Allah telah berfirman, (artinya): “Jika ada dua golongan dari kaum muslimin berperang, maka damaikanlah dua-duanya. Jika salah satu dari dua golongan itu berbuat dzalim terhadap yang lain, maka perangilah fihak yang berbuat dzalim itu sampai mereka kembali patuh kepada perintah Allah. Bila fihak itu sudah mema­tuhi perintah Allah, maka damaikanlah dua-duanya dengan adil, dan hendaknya kalian benar-benar berlaku adil. Sesungguhnya­lah bahwa Allah menyukai orang-orang yang berlaku adil.” (S. Al-Hujurat:9).

Seterusnya Ammar bin Yasir berkata pula: “Juga Allah telah berfirman, (artinya) “Dan perangilah mereka agar jangan sampai terjadi suatu bencana, dan supaya agama itu semata-mata hanya untuk Allah. Jika mereka telah berhenti, maka sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang mereka perbuat.” (S. Al Anfal:39).

“Jelaslah,” kata Ammar bin Yasir, “bahwa Allah tidak akan meridhoi para hamba-Nya tetap duduk berpangku tangan di ru­mah, memencilkan diri dan membiarkan kaum muslimin saling menumpahkan darah. Oleh karena itu hai saudara-saudara, keluar­lah mendatangi orang-orang yang sedang bertikai, dan dengarkan sendiri apa yang menjadi alasan mereka masing-masing. Lalu per­timbangkanlah baik-baik fihak mana yang harus dibela dan diikuti. Jika mereka sudah berdamai, kalian dapat pulang ke rumah ma­sing-masing membawa pahala, sebab kalian sudah memenuhi kewa­jiban Allah. Tetapi jika ada fihak yang berlaku dzalim terhadap fihak lain, perangilah fihak yang dzalim itu, sampai mereka patuh kembali kepada Allah. Itulah yang diperintahkan Allah kepada ka­lian.”

Setelah perdebatan itu selesai Ammar bin Yasir dan Muham­mad bin Abu Bakar pergi menghadap Imam Ali r.a. untuk me­nyampaikan laporan tentang apa yang telah dikatakan Abu Musa. Seterimanya laporan itu Imam Ali r.a. menulis surat panjang lebar ditujukan kepada penduduk Kufah. Surat itu akan dibawa lang­sung oleh 4 orang utusan yang terdiri dari Al Hasan bin Ali r.a., Abdullah bin Abbas, Ammar bin Yasir dan Qies bin Sa’ad. Surat itu antara lain berbunyi:

“…kuberitahukan kepada kalian tentang persoalan Uts­man bin Affan, agar orang yang mendengar dapat berfikir seperti orang menyaksikan sendiri terjadinya peristiwa itu. Aku adalah seorang muhajir yang paling jarang menyalahkan Utsman dan bah­kan paling banyak memberi nasehat kepadanya.”

Selanjutnya dalam surat tersebut dijelaskan tentang proses terjadinya pemberontakan terhadap Khalifah Utsman, proses pem­bai’atan dirinya sebagai Khalifah, dan kegiatan-kegiatan yang di­lakukan Thalhah dan Zubair yang pergi ke Makkah lalu mengajak Ummul Mukminin Sitti Aisyah r.a. untuk dijadikan alat pengobar fitnah dan bencana.

Empat orang utusan Imam Ali r.a. itu kemudian menemui Abu Musa Al Asy’ariy. Kepadanya surat Imam Ali r.a. itu diserahkan dan Abu Musa sendiri diminta membai’at Imam Ali r.a. dan mem­berikan dukungan. Setelah membaca surat Imam Ali r.a. dan me­ngadakan pertukaran fikiran beberapa saat lamanya, akhirnya Abu Musa menyatakan bai’atnya kepada Imam Ali r.a. di depan para utusan. Setelah itu ia berseru kepada penduduk Kufah supaya memberikan dukungan dan berjuang bersama-sama Imam Ali r.a. Untuk lebih memantapkan keyakinan penduduk Kufah, Al Hasan r.a., Ammar bin Yasir dan Qeis bin Sa’ad berbicara sesudah Abu Musa.

Sebagai sambutan atas pembicaraan-pembicaraan di atas, maka Syarih bin Hani, atas nama kaum muslimin kota Kufah me­nyatakan: “Kami sebenarnya sudah berniat hendak berangkat ke Madinah untuk dapat mengetahui bagaimana sebenarnya persoalan terbunuhnya Utsman bin Affan. Tetapi sekarang kita telah mene­rima berita langsung dari Imam Ali, dan kami percaya berita itu benar. Oleh karena itu, hai saudara-saudara, janganlah kalian menolak seruan dan ajakannya. Demi Allah, seandainya ia tidak minta dukungan pun kami akan membela dan taat kepadanya.”

Sikap penduduk Kufah yang pada mulanya ragu-ragu men­dukung perjuangan Imam Ali r.a., dan baru bersedia setelah me­nerima penjelasan yang meyakinkan, hal itu mudah dimengerti, mengingat:

1. Mereka berada di daerah yang jauh dari pusat pemerin­tahan, Madinah. Dengan begitu ada kemungkinan beri­ta-berita yang mereka dengar tentang tragedi yang menimpa Khalifah Utsman r.a. agak bersimpang siur.

2. Mereka tidak menyaksikan sendiri proses pembai’atan kaum muslimin Madinah kepada Imam Ali r.a. Dengan demikian mereka mudah dikacaukan fikirannya oleh berita-berita yang sengaja dilancarkan dari Damsyik.

3. Mereka adalah penduduk satu daerah kaya dan subur. Mempunyai syarat-syarat penghidupan yang jauh le­bih baik dibanding dengan kaum Muslimin yang bertempat tinggal di Madinah, Makkah atau daerah-daerah Hi­jaz lainnya. Mau tidak mau, kebiasaan hidup senang dan berkecukupan bisa mengakibatkan orang lamban dalam memenuhi panggilan perjuangan.

Dalam rangka persiapan menghadapi perlawanan pasukan Syam di Shiffin, Imam Ali r.a. berseru kepada penduduk Kufah agar siap-siaga untuk tiap waktu berangkat ke Shiffin. Dalam salah satu khutbahnya Imam Ali r.a. antara lain menyerukan: “Saudara-­saudara, siap-siaplah untuk berangkat melanjutkan perjuangan me­lawan musuh, sebagai ibadah mendekatkan diri kepada Allah s.w.t. dan sebagai wasilah untuk dapat diterima di sisi-Nya. Siapkanlah kekuatan sebatas kesanggupan kalian seperti kuda-kuda perang dan lain sebagainya. Kemudian bertawakkallah kalian kepada Allah dan serahkan segera sesuatu kepada-Nya.”

Mesir Sebagai Imbalan

Sehabis pasukan “Jamal” terkalahkan, kini komplotan anti Imam Ali r.a. memusat ke Syam. Gembong Bani Umayyah, Mua­wiyah bin Abi Sufyan, lebih meningkatkan kegiatannya dalam usa­ha mencari dukungan dan mengerahkan orang-orang dalam rangka rencana perlawanan bersenjata yang hendak dilancarkan terhadap Imam Ali r.a. di Kufah. Tidak sedikit dana dan tenaga yang dike­luarkan untuk kepentingan itu.

Semangat mengejar kekayaan dan kedudukan yang sedang menguasai fikiran orang banyak, oleh Muawiyah dimanfaatkan sebaik-baiknya. Tanpa menghitung-hitung berapa banyaknya har­ta Baitul Mal yang harus dikeluarkan, dan tanpa memandang ca­kap atau tidaknya seseorang yang akan diangkat sebagai pejabat bawahan, Muawiyah menggunakan terus kekuasaannya sebagai penguasa daerah Syam, untuk menghimpun pengikut sebanyak mungkin. Ia sangat menginginkan rencana perlawanannya terhadap Imam Ali r.a. segera berhasil.

Kepada Amr bin Al-Ash, Muawiyah menulis surat mengajak bekerjasama merebut kekuasaan dari tangan Imam Ali r.a. Setelah Amr bin Al Ash membaca surat Muawiyah itu, ia tampak berfikir-­fikir menghitung untung rugi. Ia memanggil dua orang anak le­lakinya yang bernama Abdullah dan Muhammad untuk diminta pendapatnya.

Terhadap persoalan yang diajukan ayahnya, Abdullah menya­rankan: “Ayah, Rasul Allah s.a.w. wafat dalam keadaan ridho terhadap ayah. Begitu juga Abu Bakar dan Umar, dua-duanya wafat dalam keadaan ridho terhadap ayah. Jika hanya karena ingin mendapat sedikit keutungan duniawi lalu ayah hendak merusak agama ayah sendiri, kelak ayah akan berbaring bersama Muawiyah dalam neraka!”

Dengan hati kecut, Amr menoleh kepada Muhammad sambil bertanya: “Bagaimana pendapatmu?”

“Ayah jangan sampai ketinggalan dalam urusan itu. Jadilah kepala lebih dulu sebelum menjadi ekor!” jawab Muhammad.

Amr tampak belum puas mendengar pendapat dua orang anaknya yang saling bertentangan itu. Ia masih bingung. Keesok­an harinya ia memanggil maulanya yang bernama Wardan, dan diperintahkan supaya mempersiapkan bekal perjalanan dan me­muatkannya ke punggung unta. Tetapi baru saja selesai disiapkan, Wardan diperintahkan menurunkannya kembali. Ini terjadi ber­ulang kali. Akhirnya Wardan memberanikan diri untuk berbicara: “Hai Abu Abdullah, anda tampak bingung sekali! Jika anda mem­bolehkan, aku bisa menebak apa yang sedang anda fikirkan.”

“Baik, cobalah!” sahut Amr.

“Dunia dan akhirat sekarang dua-duanya sedang dihadapkan di depan hati anda,” kata Wardan. “Tetapi rupanya hati anda me­nyatakan: Ali mendapat akhirat tanpa dunia, sedangkan Muawi­yah mendapat dunia tanpa akhirat. Pendapat yang tepat ialah se­baiknya anda tinggal saja di rumah. Jika para pembela agama yang menang, anda akan hidup di bawah naungan mereka. Tetapi jika para pembela dunia yang menang, anda akan tetap dibutuhkan!”

Akan tetapi karena janji-janji yang telah diberikan Muawiyah untuk mengangkatnya kembali menjadi Gubernur Mesir, apabila kemenangan dapat diraih dalam perjuangan melawan Imam Ali r.a. sangat menggiurkan hati Amr bin Al Ash, maka akhirnya ia ber­tekad memenuhi ajakan Muawiyah dan orang-orang Bani Umay­yah lainnya.

Amr bin Al Ash sebenarnya lebih cerdik, lebih tangkas serta lebih cermat berfikir dibanding dengan Muawiyah. Ia bekas panglima di masa Khalifah Umar Ibnul Khattab r.a. Ia juga bekas penguasa daerah Mesir dan ia sendirilah yang memimpin perlawan­an pasukan muslimin mengusir kekuasaan Byzantium dari negeri itu. Ia seorang ahli strategi dan taktik menurut ukuran zamannya. Dengan sendirinya ia seorang politikus dan diplomat. Jadi tidaklah aneh, kalau bagi Imam Ali r.a., Amr bin Al Ash, sebenarnya lebih berbahaya dibanding dengan Muawiyah.

Menjadi pertanyaan: apakah ada faktor lain yang mendorong Amr bin Al Ash mau bekerjasama dengan Muawiyah?

Dilihat dari kecenderungannya sejak dulu, ia memang dekat sekali hubungannya dengan para penguasa. Bani Umayyah, teruta­ma pada masa kekhalifahan Utsman bin Affan r.a. Benar, bahwa ia digeser dari kedudukannya sebagai penguasa Mesir oleh Khalifah Utsman r.a. dan digantikan dengan Abdullah bin Abi Sarah, tetapi Khalifah Utsman r.a. masih bertindak bijaksana terha­dap Amr. Ia diberi kedudukan sebagai salah seorang penasehat dan memperoleh fasilitas-fasilitas tertentu.

Ketika itu memang ia agak jengkel terhadap Khalifah, tetapi ia tahu benar, bahwa tetap dekat dengan para penguasa Bani Umayyah akan lebih menguntungkan daripada menjauhi mereka. Harapan untuk bisa menjadi orang penting masih bisa digantung­kan kepada orang-orang Bani Umayyah.

Itulah pamrih keduniaan yang menyelinap di dalam benak Amr bin Al Ash, dan yang mendorongnya giat membantu Muawi­yah melawan Imam Ali r.a. Tetapi selain itu, masih ada hal lagi yang membuat Amr dekat kepada Muawiyah khususnya dan to­koh-tokoh Bani Umayyah pada umumnya. Yaitu adanya hubung­an kekeluargaan yang misterius. Siapa sebenarnya Amr bin Al Ash itu?

Tentang siapa sebenarnya Amr bin Al Ash, Zamakhsya­riy dalam bukunya Rabi’ul Abrar memberikan keterangan ter­perinci sebagai berikut:

Ibu Amr yang bernama Nabighah[1] dahulunya adalah seorang hamba sahaya milik seorang dari qabilah Anazah. Dalam suatu peperangan perempuan itu dirampas, dan tetap budak, Kemudian dibeli oleh Abdullah bin Jud’an di Makkah. Karena ia seorang pe­rempuan yang diragukan kejujurannya, akhirnya dimerdekakan oleh tuannya. Setelah merdeka ia mempunyai hubungan “gelap” dengan Abu Lahab bin Abdul Mutthalib, Umayyah bin Khalaf Al Jamhiy, Hisyam bin Mughirah Al Makhzumiy, Abu Sufyan bin Harb dan Ash bin Wail. Lama-lama ia hamil dan melahirkan Amr.

Lelaki-lelaki yang mengadakan hubungan dengan Nabighah itu semuanya mengaku, bahwa Amr adalah anaknya. Tetapi Nabighah sendiri memutuskan, bahwa Amr adalah anak hasil hubungan­nya dengan Ash bin Wail. Nabighah mengambil keputusan seperti itu, karena Ash bin Wail merupakan lelaki yang paling banyak memberi nafkah kepadanya untuk penghidupan sehari-hari. Walau­pun begitu, semua lelaki itu mengatakan bahwa Amr sangat mirip dengan Abu Sufyan bin Harb. Abu Sufyan sendiri dalam salah satu bait dari syair-syairnya mengatakan:

“Tak diragukan, ayahmu ialah Abu Sufyan

banyak tanda yang jelas tampak pada dirimu!”

Itulah keterangan yang diberikan oleh Zamakhsyariy. Akan tetapi Abu Umar dalam bukunya Al Isti’ab mengemukakan versi yang sama dengan sedikit perbedaan variasi. Abu Umar mengata­kan, bahwa pada satu peristiwa ada seorang dijanjikan hadiah sebesar 1.000 dirham jika ia berani menanyakan kepada Amr bin Al Ash di saat ia sedang berada di atas mimbar, tentang siapa se­benarnya ibu Amr itu.

Untuk memperoleh hadiah sebesar itu, orang yang bersang­kutan memberanikan diri bertanya kepada Amr. Dari atas mimbar pertanyaan itu dijawab oleh Amr: “Ibuku ialah Salma binti Har­malah, mempunyai nama julukan Nabighah, berasal dari Bani Ana­zah dan dari seorang Bani Jillan. Dalam satu peperangan ia diram­pas, dijadikan budak, dibawa pergi oleh orang-orang Arab, lantas dijual di pasar ‘Ukadz (di Makkah). Yang membeli Fakih bin Al Mughirah. Kemudian oleh Fakih dijual lagi kepada Abdullah bin Jud’an. Selanjutnya ia jatuh ke tangan Ash bin Wail. Lalu mela­hirkan aku.”

Setelah menjelaskan seperti itu, kepada orang yang bertanya Amr mengatakan: “Jika engkau dijanjikan sesuatu, ambillah!” Tampaknya Amr sudah tahu tentang maksud dan tujuan orang yang bertanya.

Abu Ubaidh Muamamar bin Al Mutsanna dalam bukunya Al Ansab mengemukakan, bahwa pada waktu Amr lahir terjadi per­tengkaran antara Ash bin Wail dengan Abu Sufyan bin Harb. Akhirnya ada orang yang memberi nasehat biarlah ibunya saja yang memutuskan. Akhirnya ibu Amr mengatakan: “Dia dari Ash bin Wail!”

Setelah ada penegasan dari ibunya Abu Sufyan berkata: “Tidak diragukan lagi, aku inilah yang menempatkan dia dalam rahim ibunya, tetapi ibunya menolak selain Ash bin Wail.”

Pernah ada yang berkata kepada Nabighah, bahwa silsilah Abu Sufyan sebenarnya lebih terhormat. Tetapi perkataan orang itu ditanggapi Nabighah dengan penjelasan: “Ash bin Wail banyak memberi nafkah kepadaku, sedang Abi Sufyan, kikir!”

Dari beberapa catatan riwayat di atas dapat diambil kesimpul­an pokok sebagai berikut: Menurut pengakuan Abu Sufyan bin Harb, Amr adalah anak lelakinya sendiri hasil hubungan “ge­lap” dengan Nabighah. Menurut Nabighah, Amr adalah anak le­laki Ash bin Wail, dengan keterangan, ia mengambil keputusan itu karena Ash bin Wail banyak memberi nafkah. Berdasarkan nada pengakuan Nabighah, seandainya Abu Sufyan, tidak kikir tentu akan disebut sebagai ayah Amr yang sebenarnya. Memang Amr sendiri tidak pernah menyebut Abu Sufyan sebagai ayah­nya. Yang disebut sebagai ayahnya ialah Ash bin Wail. Ini sesuai dengan keputusan yang diambil oleh ibunya pada waktu Amr lahir.

Jadi kalau Abu Sufyan sendiri ngotot dalam pengakuan bah­wa Amr itu anak lelakinya sendiri, bukankah berarti ia mengata­kan bahwa Amr itu saudara seayah dengan Muawiyah? Kalau memang benar demikian, apakah masih perlu diherankan bila Amr sangat dekat hubungannya dengan orang-orang Bani Umay­yah, terutama Muawiyah bin Abu Sufyan?

bersambung..

Disadur dari buku :

Sejarah Hidup Imam Ali bin Abi Thalib r.a.
Oleh H.M.H. Al Hamid Al Husaini
Penerbit: Lembaga Penyelidikan Islam

https://tausyah.wordpress.com

Komentar
  1. […] menjawab. “Tidak pula pada malam perang Shiffin“. (Ditakhrij Muslim 17/46. Yang dimaksud perang Shiffin di sini adalah perang antara pihak […]

    Suka

  2. […] ini amat takut kepada Aisyah dengan kritik-kritiknya yang pedas berkenaan dengan negara Islam yang secara politis sedang berubah […]

    Suka

  3. […] sini: dalam ayat tersebut Allah telah menyebut tentang gerakan gunung sebagaimana mengapungnya perjalanan awan. (Kini, Ilmuwan modern juga menggunakan istilah “continental drift” atau […]

    Suka

  4. […]  terkejut.  Gadis  kecil  ini  sedang  menghadapi musibah yang bertubi-tubi dan dia tetap sabar dan ikhlas dengan apa yang ditetapkan Allah […]

    Suka

  5. […] manusia, dengan dia (Pintu) itu hingga engkau dapat berlindung dari sekalian kejahatan malam dan siang didalam rumahmu. Pintu adalah suatu pemberi kabar bagimu atas sekalian apa-apa yang berada […]

    Suka

  6. […] Waktu-waktu shalat yang kita lakukan sangat sesuai dengan kaidah dan ketentuan sistem terapi dalam ilmu kesehatan […]

    Suka

  7. […] Waktu-waktu shalat yang kita lakukan sangat sesuai dengan kaidah dan ketentuan sistem terapi dalam ilmu kesehatan […]

    Suka

  8. […] manusia, dengan dia (Pintu) itu hingga engkau dapat berlindung dari sekalian kejahatan malam dan siang didalam rumahmu. Pintu adalah suatu pemberi kabar bagimu atas sekalian apa-apa yang berada […]

    Suka

Tinggalkan komentar