Pelaksanaan Syari’at dan Pemerintahan (Kasus Penolakan Piagam Jakarta) Sekulerisasi di Indonesia

Posted: 24 Juni 2010 in Kajian
Tag:,

Pelaksanaan Syari’at dan Pemerintahan
(Kasus Penolakan Piagam Jakarta)
Sekulerisasi di Indonesia

Oleh : H Hartono Ahmad Jaiz

Pelaksanaan  syari’at  dalam  kaitannya  dengan   pemerintahan  memiliki  tiga  bentuk spesifikasi yang mesti  diterapkan  secara  proporsional, tidak boleh sasar-susur atau tumpang tindih.

1.         Syari’at  dilaksanakan  oleh  individu-individu.  Contohnya  shalat,  haji  dsb. Masing-masing individu boleh shalat  di  mana  saja  yang  ia ingini, memakai sarana apa yang ia maui,  dan  mau  bareng sama siapa untuk sampai ke tempat tujuan Terserah. Sedang  pemerintah  tugasnya  hanyalah  memeberi  jaminan  keamanan   dan kelancaran terselenggaranya.  Maka   pengharusan pemerintah terhadap  ummat Islam untuk memberlakukan aturan yang  disepakati  oleh DPR bahwa berhaji itu hanya lewat jalur yang diselenggarakan  pemerintah  (dengan  paspor  cokelat, tidak  boleh  pakai  paspor  hijau  dan  harus mendaftar kepada pemerintah0, itu  satu  bentuk yang  dipaksakan.  Sebagaimana  orang mau  ke  masjid  diharuskan  mendaftar ke pemerintah dan harus naik kendaraan yang  disediakan oleh biro perjalanan pemerintah,  atau kalau mau naik kendaraan biro perjalanan lain pun harus mendaftar dulu ke pemerintah, itu pemaksaan.

2..  Diselenggarakan  oleh pemerintah  dan  masyaraka.  Contohnya  pendidikan  agama.  Nabi  Muhammad  SAW  mengutus  guru-guru   ke berbagai  daerah,  baik  atas inisiatif Nabi  SAW  selaku  kepala  pemerintahan   maupun   atas  permintaan   penduduk. Pemerintah Indonesia  telah menyelenggarakan pendidikan agama itu,  demikian pula  masyarakat. Hanya saja di samping sangat minim, masih  pula  diadakan pemberedelan-pemberedelan. Di antaranya pemerintah telah menghapus  PGA  (Pendidikan Guru Agama), padahaì guru  agama  itu  mutlak  diperlukan. Dan pemerintah tidak memberi  ganti  terhadap  guru-guru  agama di madrasah-madrasah swasta yang telah  pensiun, padahal  masyarakat  sangat memerlukannya.  Penghapusan  PGA  dan peniadaan  guru agama (untuk menggantikan yang telah penisun)  di  madrasah,  bahkan tidak memberikan subsidi guru  kepadá  madrasah  swasta  itu  satu  bentuk kebijakan  pemerintah  yang  mengabaikan kewajiban secara nyata.

Jadi,  kebijakan  pemeritahah  Indonesia  yang  diamini  oleh lemabaga  wakil  rakyat ini telah  melaksanakan  kedhaliman  yang  nyata  yaitu  yang  seharusnya  tidak  diurus  secara   spesifik  (seperti penyelenggaraan  haji—poin[H1] 1–  justru pemerintah memaksakan           diri mengurusnya  secara  spesifik.   Sedang       yang seharusnya diurusi secara spesifik, seperti pendidikan agama, poin  2, justru  diabaikan, bahkan diadakan  pemberedelan.  Ini  satu bentuk  kedhaliman  yang sangat nyata, diamini  oleh  DPR  wakiì  rakyat. Yang ada duitnya, walaupun seharusnya tidak diurusi secara  spesifik  justru  sangat diurusi, sedang yang  tidak  mendatangkan  duit, walaupun itu kewajiban dan tanggung jawabnya, maka dibuang.  Ini  pemerintahan  dan  persetujuan  wakiì  rakyat  yang   sangat  memalukan dan tak bertanggung jawab, ibarat tak punya muka.

3.‚ Penyelenggaraan yang harus dilaksanakan oleh pemerintah  saja,  dan  tidak boleh dilaksanakan oleh masyarakat, apalagi  individu- individu.  Contohnya,  pengadilan agama/  syari’ah.  Ini  menjadi kewajiban dan  tanggung jawab  pemerintah.  Maka masyarakat,  apalagi individu-individu tidak boleh menghakimi sendiri-sendiri mengenai  kasus-kasus  “keluarga,  perdata, dan  apalagi  pidana.  Karena, kalau dilaksanakan oleh masyarakat sendiri atau apalagi individu- individu  maká tentu saja kacau balau, dan itu  tidak  dibolehkan  menurut syari’at. Maká mau atau tidak mau, semestinya  pemerintah  menyelenggarakan peradilan syari’ah/ agamá untuk menangani kasus- kasus  “keluarga, perdata (qodho’i), dan pidana (jina’i);  sesuai  dengan hukum syari’at.

Selama   ini  pemerintah  telah   menyelenggarakan   peradilan  syari’ah/ agama, dan sejak menjelang 1990-an sudah disahkan  oleh  DPR.  Hanya  saja,  pemerintah  dan  DPR  itu  hanyalah  mengakui sebagian  (yakni  hukum  keluarga: nikah¬  talak¬  rujuk¬  hibah¬  sedekah¬  waris¬ dan wakaf)¬ dan mengingkari sebagian yang  besar  yakni hukum pidana dan perdata syari’ah.

Ini satu bentuk ketidak bertanggung jawaban yang sangat  nyata  oleh  pemerintah  yang disetujui pula oleh  wakil  rakyat¬  dalam  mengebiri hak ummat Islam.

Ketigá-tigá  bentuk  penyelenggaraan (poinî 1,2¬  dan  3)  itu telah  sedemikian  rupa diputar balikkannya oleh  pemerintah  dan  disetujui  lembaga  wakil rakyat¬ sehinggá  tampak  nyata  sekali  pengebiriannya  terhadap  hak ummat Islam.  Yang  seharusnya  tak  diurusi,  justru  diurusi karena ada duitnya¬ dan  yanç  seharusnyá  diurusi  malah  dibredel¬  lantas  yanç  seharusnyá  dilaksanakan secará  keseluruhan  justru  hanyá diambil  sebagian  kecil¬  dan dibuanç sebagian yanç besar.

Sekarang¬ di masá reformasi yanç merupakan masá menuju ke arah  supermasi  hukum¬ maká wajib bagi wakiì rakyat (DPR  dan  MPR) mengoreksi  kesalahan-kesalahannyá bersamá pemerintah yanç  telah memutar  balikkan hukum itu¬ menuju kepadá pemberian  hak  secará  proporsional.  Oleh  karená  itu¬  dalam  rangká  menuju          kepadá pemulihan hak-hak ummat Islam ini perlu sekali dimasukkan  Piagam  Jakartá yanç berisi 7  katá (Ketuhanan) dengan menjalankan syari’at Islam bagi pemeluk-pemeluknya ke dalam UUD 1945 (pasaì 29)¬ agar adá jaminan kongkret dari konstitusi terhadap hak-hak ummat Islam yanç selamá ini telah disiá-siakan.

Secará  hukum¬  siapapun dan berjumlah  seberapapun  banyaknyá  tidak  berhak menolak oranç yanç menuntut haknya.  Apalagi  dalam hal  ini  adalah hak  ummat Islam yakni  mayoritas  dari  seluruh  penduduk Indonesia. Sedanç hak seseoranç pun tidak bisá ditolak begitu sajá  oleh  pemerintah  dan wakil rakyat¬ apalagi  ini  menyangkut  hak  mayoritas penduduk.

Jadi¬ tuntutan dimasukkannyá Piagam Jakartá ke dalam UUD  1945  adalah  tuntutan  pengembalian hak Ummat Islam  untuk  dilindungi secará kongkret haknya yang paling asasi¬ setelah selamá ini terbukti  disiá-siakan hak itu lantaran tidak adanyá jaminan kongkret dalam  konstitusi.  Oleh  karená  itu¬  tuntutan  ini tidak  adá  yanç  berhak  untuk  menolaknya¬  kecuali kalau memanç pemerintahan dan lembagá  wakil  rakyat itu adalah merupakan kumpulan pemerkosá hak ummat Islam. Dan itu berarti adalah pemerintahan dan lembagá wakiì rakyat yanç  memfungsikan   diri   sebagai  perampok  hak  ummat   Islam dan memusuhinya. Ini sangat bertentangan dengan apá yanç didengungkan dengan ucapan “menjunjunç supermasi hukum” di erá reformasi ini.

Tokoh yang sering membingungkan

Kenapa  di negeri mayoritas Islam kok sulit sekali mempertahankan hak ummat Islam, dan sulit pula memasukkan aspirasi Islam? Pertanyaan itu akan banyak jawabannya, namun di antaranya adalah karena ada tokoh-tokoh yang mengaku dirinya Muslim namun belum tentu membela Islam. Bahkan ucapan-ucapan mereka sering membingungkan ummat. Di antara gejalanya sebagai berikut.

1.   Abdurrahman Wahid, Presiden Indonesia: Menyuruh Ummat Islam untuk merayakan Natal Kristen. Ayat Lakum Diinukum Waliyadien ditafsirkan sebagai suruhan Tuhan untuk beragam agama, padahal sebenarnya ayat itu justru menegaskan agar ummat Islam berlepas diri dan membenci penyembahan kepada selain Allah SWT . Gus Dur juga menganggap bahaya apabila syari’at Islam diformalkan, padahal Konghuchu yang tadinya tidak diakui sebagai agama saja Gus Dur sangat prihatin, dan kemudian setelah dia jadi presiden buru-buru memformalkannya sebagai agama secara resmi.

2.   Masdar F Mas’udi, Generasi NU (Nahdlatul Ulama), ia berpendapat, hendaknya pelaksanaan ibadah haji tidak hanya pada  tanggal-tanggal yang sudah ditentukan seperti selama ini. Alasannya, agar tidak terjadi  desak-desakan antar jama’ah.. Masdar menganggap zakat sama dengan pajak. Ia juga menganggap bahaya apabila syari’at Islam diformalkan, dengan melontarkan tuduhan, kalau Islam dilegalkan maka  akan mengakibatkan hipokrit/ munafiq. Ini sama dengan menuduh Nabi Muhammad SAW telah salah memimpin ummat dengan hukum syari’ah Islam, karena dianggap sebagai menimbulkan kemunafikan. Na’udzubillah.

3.   Hasyim Muzadi ketua umum PBNU. Ia pemrakarsa do’a bersama  antar agama yakni Islam, Kristen, Katolik, Hindu, Budha, Konghucu, dan aliran kepercayaan, di Senayan Jakarta, Agustus 2000M. Acara itu dinamai “Indonesia Berdo’a”. Padahal, dalam Islam, berdo’a bersama antar Islam dan non Islam itu hanya diperkenankan apabila  mubahalah, yaitu do’a saling melaknat, supaya siapa yang berdusta dilaknat oleh Allah SWT. Tantangan mubahalah itu disampaikan oleh Nabi Muhammad SAW kepada pihak Nasrani Najran, namun mereka tidak berani. Itulah do’a  (saling melaknat) bersama antara agama, yang dibolehkan dalam Islam. Bukan do’a bersama-sama antara berbagai agama seperti yang diprakarsai oleh Hasyim Muzadi itu. Dan tidak ada pula dalam Islam, do’a ramai-ramai ke lapangan seperti yang mereka sebut Istighotsah.

Hasyim Muzadi juga menolak dimasukkannya tujuh kata dalam Piagam Jakarta ke pasal 29 UUD 45.

“Saya tidak setuju dengan usulan (pencantuman Piagam. Jakarta dalam UUD1945) itu.Kita tidak memerlukan formalisasi agama. Campur tangan negara dalam pelaksanaan syari’at agama tertentu justru akan menimbulkan bahaya terhadap otonomi tersebut,”  ujar Hasyim Muzadi dalam menolak usulan FPPP (Fraksi Partai Persatuan Pembangunan) dan FPBB (Fraksi Partai Bulan Bintang) yang menginginkan 7 kata dalam Piagam Jakarta dimasukkan  ke dalam UUD 1945. (lihat Harian Republika, Jum’at 11 Agustus 2000M, halaman 2).

4.   Syafi’i Ma’arif ketua Muhammadiyah, menolak dimasukkannya Piagam Jakarta ke UUD 1945. Bahkan dalam wawancara dengan RCTI, Senin 7 Agustus 2000M, Syafi’i mengatakan suatu perkataan yang  tidak mengenakkan mengenai syari’at Islam. Syafi’i Ma’arif juga termasuk  sejumlah orang yang ingin agar Muhammadiyah tidak berasaskan Islam, dengan keinginan tanpa mencantumkan asas. Dia juga yang pernah mempopulerkan (namun kemudian tidak populer) apa yang ia sebut Islam Qur’an.

5.   Nurcholish Madjid, murid Fazlurrahman guru besar di Chicago Amerika yang konon diusir oleh para ulama Pakistan karena pendapat-pendapatnya yang aneh, kemudian justru jadi guru besar di Amerika. Nurcholish Madjid begitu pulang dari Chicago dengan gelar doktor 1984/1985, dia menulis makalah, di antara isinya  berupa terjemahan Laailaaha illallah menjadi “tiada tuhan (t kecil) selain Tuhan (T besar). Terjemahan yang mengaburkan makna ini menjadikan geger di masyarakat.Dia dikenal sebagai pencetus sekulerisasi di Indonesia sejak 1970-an, dengan apa yang ia istilahkan desakralisasi. Makanya ketika penolakan dimasukkannya Piagam Jakarta ke UUD 1945, Nurcholish termasuk salah satu tokoh dari 3 tokoh ( Hasyim Muzadi dan Syafi’i Ma’arif) yang menyetujui isi penolakan. Dia walaupun tidak sempat hadir, namun sebelumnya sudah menyetujui siaran pers yang berisi penolakan dimasukkannya Piagam Jakarta ke UUD 1945. Siaran pers itu dibaca dalam konferensi pers di hotel mewah, Hotel Indonesia di Jakarta, Kamis 10/8 2000M, yang acaranya dihantarkan oleh Ulil Abshar Abdalla orang NU, dengan diawaki oleh Masdar F Mas’udi dan Hasyim Muzadi dari NU pula.

Inti penolakan mereka sebagai berikut: “Usulan  sebagian fraksi dalam MPR untuk mencantumkan  kembali tujuh kalimat dalam Piagam Jakarta mengandung potensi bahaya  campur tangan negara dalam wilayah kehidupan agama. Campurtangan semacam ini akan menimbulkan sejumlah distorsi atas pelaksanaan agama itu sendiri, dan politisasi agama untuk tujuan-tujuan sesaat partai yang sedang (atau ingin) berkuasa ,” demikian pernyataan yang dibacakan Masdar F Mas’udi.

Menurut mereka, pencantuman piagam ini akan membuka kemungkinan campur tangan negara dalam wilayah agama yang akan mengakibatkan kemudharatan baik bagi agama itu sendiri maupun pada negara sebagai wilayah publik.

“Pelaksanaan syari’at yang diatur oleh negara akan menimbulkan bahaya hipokrisi, karena ketaatan pada syari’at yang disebabkan oleh paksaan negara hanyalah merupakan ketaatan yang semu belaka. Agama pada intinya harus menjadi wilayah yang otonom dari negara,” kata Masdar. (Lihat Republika, 11/ 8   2000).

Menyebar fitnah dan tuduhan terhadap Islam

Ungkapan para tokoh tersebut sama dengan menyebarkan tuduhan dan fitnah terhadap Islam, terhadap pemerintahan Nabi Muhammad SAW, para khalifah, serta pemerintahan masa kini dan yang akan datang yang melaksanakan syari’at. Demikian siaran pers LPPI (Lembaga Penelitian dan Pengkajian Islam) yang ditanda tangani ketuanya, HM Amien Djamaluddin. Oleh karena itu para tokoh tersebut diperingatkan untuk bertaubat dan mencabut pernyataannya yang menyebarkan fitnah dan tuduhan terhadap Islam itu.

Lontaran yang menurut LPPI menyebarkan fitnah dan tuduhan terhadap Islam ini mengandung arti bahwa Masdar dan konco-konconya itu lebih rela kalau masyarakat itu melacur, bermaksiat, menentang aturan Allah bahkan ingin sekali menghapus aturan Allah lewat kekuasaan dan sebagainya seperti yang selama ini dilakukan, sambil menekan bahkan membantai aktivis Islam, ketimbang kalau ada upaya penguasa untuk menata masyarakat sesuai dengan aturan Allah SWT. Dengan kata lain, pemikiran Masdar cs itu lebih membela orang-orang hipokrit munafik agar berkeliaran dan bertindak seluas-luasnya tanpa ketahuan ummat dan penguasa, dan kalau perlu justru jadi penguasa untuk mengatakan bahwa syari’at Islam itu berbahaya kalau diformalkan. Karena memang syari’at itu membahayakan posisi para munafiqun, hingga mereka khawatir tak dibolehkan memegang kekuasaan, karena yang berkuasa itu harus bertaqwa, bukan munafiq. Otomatis kalau syari’at Islam  ditegakkan, maka kaum munafiqun terutama tokoh-tokohnya akan blingsatan, dan harus bekerja keras untuk menutupi kemunafikannya, tidak sebebas kalau tidak diterapkan syari’at, bisa ngomong apa saja, sampai membunuhi aktivis Islam pun justru mungkin malah jadi pahlawan. Itulah tujuan sebenarnya. Dan kalau syari’at Islam ditegakkan, tentu saja akan membatasi gerak-gerak agen-agen musuh syari’at yang selama ini bisa mendapatkan modal atau setidak-tidaknya sangu dari boss mereka dalam mengacak-acak syari’at maupun ummat.

Pemikiran yang menolak diterapkannya syari’at—padahal hanya untuk dijalankan oleh ummat Islam  sendiri— itu sebenarnya justru yang amat sangat berbahaya. Karena, pada hakekatnya ujung-ujungnya adalah menolak  kehadiran Nabi Muhammad SAW sebagai pembawa syari’at. Karena, datangnya Nabi Muhammad SAW itu berarti mereka anggap akan menimbulkan kemunafikan. Nah, dengan dalih akan timbulnya kemunafikan, padahal agama itu sendiri menghendaki tidak adanya kemunafikan, maka berarti mereka menolak diutusnya Nabi Muhammad Saw sebagai pembawa syari’at. Itulah sebenar-benarnya pemikiran mereka yang menolak syari’at Islam diterapkan di masyarakat.

Dengan bahasa yang dicanggih-canggihkan, mereka berdalih, kalau agama diformalkan, maka jadinya negara atau pemerintah ikut campur dalam urusan agama, lantas akan terjadi politisasi agama, dan itu berbahaya bagi agama. Kelihatannya mereka canggih sekali dalam memutar-mutar lidah. Namun, intinya sama juga dengan kaum kafir kuno yang menolak kehadiran Nabi Muhammad SAW selaku pembawa syari’at Islam. Hanya saja, kalau dulu, syari’at Islam itu dianggap mengancam syari’at berhala jahiliyah, sedang sekarang dianggap mengancam aneka kepentingan, entah itu kepentingan bebasnya bermunafik ria, bebasnya berkafir ria, maupun bebasnya mengabdi kepada thaghut-thaghut bikinan mereka dan nenek moyang mereka yang anti Islam. Sehingga, kepentingan mereka dalam membantai ummat Islam, menipu ummat Islam, mencari sponsor kepada musuh-musuh Islam, dan kepentingan menegakkan thaghut-thaghut akan terganjal oleh tujuh kata yang menegaskan pentingnya syari’at Islam dijalankan oleh pemeluk-pemeluk Islam.

Mereka menganggap polisi syari’at itu sesuatu yang tabu. Padahal, mereka justru siap sampai titik darah yang penghabisan dalam membela sosok nyleneh penentang utama diterapkannya syari’at Islam. Jadi, bagi mereka, membela sampai titik darah penghabisan (bukan sekadar jadi polisi) terhadap penentang utama syari’at itu dianggap sebagai perjuangan. Namun , akan adanya polisi syari’at itu dianggap sesuatu yang tabu. Padahal, amar ma’ruf nahi munkar masih kadang keluar dari mulut mereka, lafal itu. Tetapi, pelaksanaan amar ma’ruf nahi munkar, yang di antaranya perlu polisi syari’at, agar lebih efektif, dan diberlakukannya pengadilan secara syar’i agar sesuai dengan hukum Allah, mereka anggap berbahaya.

Sebenarnya, kembali lagi, yang berbahaya itu adalah pikiran mereka. Pikiran yang sangat anti syari’at. Padahal, mereka kalau mau menengok sebentar ke kehidupan nyata, yang namanya WC-WC umum saja ada penjaganya. Agar mereka tidak sembarangan dalam menggunakan itu WC. Kalau yang namanya WC umum  saja ada penjaganya, ada pengaturnya, kenapa syari’at Islam yang merupakan  hukum murni dari Sang Maha Pencipta tidak boleh dilaksanakan secara teratur, dimenej secara kepemimpinan yang profesional?

Yang namanya memungut dan membagikan zakat serta menunggui harta zakat, jelas-jelas Nabi Muhammad SAW menugaskan petugas khusus. Untuk memimpin barisan perang pun Nabi SAW mengangkat panglima. Untuk mengawasi pasar agar tidak ada kecurangan dan tingkah yang melanggar syari’at, maka Umar bin Al-Khatthab menugaskan petugas khusus. Untuk menghakimi secara hukum Syari’at Islam, Nabi Muhammad SAW pun bertindak sebagai hakim, sedang Umar bin Al-Khatthab pun mengangkat hakim, serta memisahkan kehakiman dari lembaga eksekutif. Lembaga eksekutif maupun Yudikatif, dan legislatif (ahlul halli wal ‘aqdi) semuanya dilaksanakan dengan syari’at Islam, dan sama sekali tidak berbahaya di zaman Nabi Muhammad SAW maupun para khalifah, dan sampai sekarang maupun nanti.

Formalisasi Thaghut yang berbahaya

Belum pernah terdengar ungkapan bahwa pemerintahan Nabi Muhammad SAW dan penggantinya, para khalifah, yang menerapkan syari’at Islam, baik untuk Muslimin maupun untuk non Muslim (kafir dzimmi) itu berbahaya. Jangan dianggap Islam memaksa non Muslim untuk memeluk Islam. Dalam Islam, orang non Muslim ada hak-hak dan kewajiban yang berkaitan antara jaminan pemerintahan yang menerapkan syari’at Islam dengan diri para warga non Muslim, tanpa didhalimi sama sekali. Maka diterapkannya syari’at Islam oleh negara sama sekali sangat bermanfaat dan bermaslahat bagi orang yang akalnya bisa memikir secara obyektif, bukan berbahaya seperti ungkapan orang-orang yang asal omong tanpa bukti. Justru yang berbahaya itu adalah pemerintahan yang tidak menerapkan syari’ah Islam, baik itu bahaya terhadap ummat Islam maupun terhadap lainnya. Misalnya, bisa kita ajukan pertanyaan kepada bangsa kita sendiri: Atas nama aturan thaghut, sudah berapa ribu manusia Indonesia yang dibantai. Atas nama aturan thaghut pula sudah berapa ribu manusia muslim maupun non muslim yang dipenjarakan. Atas nama aturan thaghut, sudah berapa ribu manusia muslim yang berubah aqidahnya menjadi sekuler, bahkan anti Islam, memusuhi Islam, sengit dan benci terhadap Islam, muak terhadap Islam, omong seenaknya mengenai Islam, dan meminggirkan ummat Islam berpuluh-puluh tahun. Atas nama aturan thaghut, berapa ribu manusia muslim yang murtad, dan berapa puluh juta manusia yang tidak tahu tentang agamanya, Islam, bahkan tidak tahu bahwa Allah SWT itu tempatnya di atas langit, bersemayam di atas ‘Arsy, lalu diajarkan bahwa Allah itu ada di mana-mana. Atas nama aturan thaghut berapa ribu atau bahkan berapa juta manusia yang  lebih mementingkan  aturan thaghut daripada Allah SWT, apalagi hanya terhadap agama Islam. Atas nama aturan thaghut, berapa juta manusia yang  lebih mementingkan aturan thaghut daripada syahadatain, hamdalah, shalawat atas Nabi Muhammad SAW. Terbukti, dalam pidato-pidato bahkan kadang khutbah Jum’at, mereka fasih sekali mengucapkan aturan thaghut, namun belum tentu memuji Allah dengan hamdalah, bershalawat Nabi, ataupun mengucapkan syahadatain. Atas nama aturan thaghut, berapa juta manusia yang menjadi keblangsak, miskin dan melarat. Dan atas nama itu pula, berapa juta manusia yang menjadi sangat rakus melebihi binatang buas, dan bahkan kebejatan moral yang luar biasa, serta kekerasan dan kesadisan yang tidak takut api neraka. Itu semua bisa ditambah dengan pertanyaan-pertanyaan lain yang lebih banyak lagi.

Coba mari kita belajar jujur kepada keadaan. Itukah  yang tidak berbahaya, sedang syari’at Islam yang dianggap bahaya? Alhamdulillah, aturan thaghut yang diagung-agungkan, bahkan waktu lalu ketika negeri-negeri lain mengalami konflik, lalu orang tak segan-segan mengatakan, ingin mengekspor aturan thaghut kepada negeri yang konflik itu, lantas alhamdulillah ditunjukkan oleh Allah SWT berkat aturan thaghut maka negeri ini penuh dengan konflik, krisis dan kemerosotan moral yang luar biasa. Silakan aturan thaghut –yang ditatarkan secara merata kepada guru besar, mahasiswa, pelajar, sampai rakyat biasa– itu sekarang diekspor, agar utang pemerintah yang sudah sangat menjerat leher rakyat ini bisa terbayar sedikit-sedikt dengan hasil ekspor aturan thaghutnya.  Silakan.   Terus terang saya rela mati untuk membela syari’at Islam, apalagi mereka anggap syari’at Islam itu berbahaya kalau diformalkan. Saya anggap yang berbahaya itu justru  sebaliknya, yaitu yang menolak syari’at Islam, dengan aneka bukti ini tadi. Dan syari’at Islam  belum terbukti bahayanya, baik dalam sejarah maupun dalam kenyataan. Silakan para pejuang penentang syari’at, kalau mati nanti berbekal perjuangannya itu, menghadapi siksa Allah yang amat pedih. Dan silahkan pula yang memperjuangkan syari’at Islam, ketika mati nanti akan mendapatkan pahalanya dari Allah SWT, insya Allah. Biarlah pencetus dan penggali api penentang syari’at Islam menyediakan neraka bagi pembela-pembela api itu. Sedang Allah SWT tetap akan menyediakan surga bagi pengamal dan pembela Syari’atNya. Silakan para pembenci syari’at Islam mengatakan bahwa syari’at Islam itu berbahaya, memecah belah keutuhan bangsa, silakan. Itu berarti menuduh pembuat syari’at, yaitu Allah SWT sebagai Dzat yang berbahaya, dan memecah belah bangsa. Betapa beraninya mulut-mulut mereka itu, padahal mereka mengaku sebagai  hamba Allah, namun sebenarnya adalah penentang Allah yang sangat dahsyat lagi terang-terangan. Anehnya, mereka berani mengaku sebagai Muslim, bahkan ada yang memimpin organisasi Islam.

Takut kalau bangsa ini pecah?

Mereka takut kalau bangsa ini pecah, itu hanyalah alasan yang mereka bikin-bikin dalam rangka menentang syari’at Islam. Sebenarnya, mereka hanya takut kalau Islam itu tegak, maju, berkuasa, adil, menegakkan hukum dengan baik. Karena mereka yang tadinya korupsi maka akan kehilangan lahan, yang biasanya berzina akan terkontrol hukum, yang biasanya bebas bermunafik ria akan terkena intaian kewaspadaan dari masyarakat, yang tadinya sesukanya mengacak-acak syari’at  sambil minta sponsoran dari musuh syari’at akan kehilangan lahan, dan mereka yang membodohi ummat dengan hal-hal yang bertentangan dengan syari’at seperti bid’ah, khurofat, kemusyrikan, sekulerisme, komunisme, nasionalisme anti Islam dsb akan tak punya kesempatan lagi.

Mereka sangat rela apabila muslimin ini dijejali ajaran thaghut hingga keislamannya tidak jelas, dan akhlaqnya rusak. Mereka rela sekali. Tetapi kalau akhlaq masyarakat itu terjamin secara Islami, kemaksiatan diberantas, itu mereka tidak rela. Ibarat siluman, pohon tempat mereka berlindung  tahu-tahu ditebang, maka mereka tak rela. Pohon pelindung itu adalah penghalang syari’at, kalau syari’atnya ditegakkan, otomatis pohon itu jatuh. Itulah yang mereka tidak rela.

Mereka mengingkari kenyataan sejarah, direkatnya bangsa Indonesia ini bukannya oleh api penentangan syari’at, tetapi oleh Islam. Bangsa Indonesia ini sejak dulu menyebut penjajah Belanda itu adalah Belanda kafir. Bukan Belanda anti pancasila. Sedang perjuangan melawan penjajah Belanda itu sama sekali bukan perjuangan untuk menegakkan aturan thaghut, tetapi adalah untuk mengusir penjajah kafir, dengan kalimah takbir, Allahu Akbar, memerangi penjajah Belanda yang kafir. Belanda kafir itu telah banyak memberikan subsidi terhadap pribumi yang sesama kafir pula, yaitu Protestan dan Katolik. Sebagai contoh, tahun 1927 alokasi bantuan dalam rangka pengembangan agama, sebagai berikut:

Protestan memperoleh f  31.000.000

Katolik memperoleh    f  10.080.000

Islam memperoleh       f        80.000

(H Hartono Ahmad Jaiz, Ambon Bersimbah Darah, Ekspresi Ketakutan Ekstrimis Nasrani, Dea Press Jakarta, halaman 10). Sekarang pun, banyak orang  Non Muslim yang justru pro Belanda. Maka bisa dipertanyakan, siapakah sebenarnya yang benar-benar berjuang melawan Belanda kafir itu. Lantas, kenapa para pejuang Muslim yang melawan Belanda kafir itu setelah terwujud kemerdekaan justru dikebiri hak-haknya, dan harus membuang haknya demi pihak-pihak yang bisa dimungkinkan justru pro penjajah Belanda?

Jadi, sama sekali tidak benar, kalau syari’at Islam itu pemecah belah bangsa Indonesia. Yang jelas , Iislam adalah perekat dan pembangkit semangat dalam melawan dan mengusir penjajah kafir Belanda. Maka perlu dipertanyakan, siapa yang berani menjamin bahwa aturan thaghut itu pemersatu bangsa Indonesia, dan menjamin tidak adanya konflik. Justru pengikat bangsa Indonesia sebagai bangsa yang melawan penjajah kafir adalah Islam. Meskipun demikian, Islam tidak memaksa semua bangsa Indonesia harus masuk Islam. Hanya saja  anehnya, sikap ummat Islam yang begitu tawadhu’ namun tegar menghadapi penjajah kafir itu, sejak kemerdekaan 1945 dikebiri oleh orang-orang yang menolak Islam, walau mereka mengaku dirinya sebagai orang Islam. Lebih-lebih lagi setelah pengebirian itu meningkat menjadi penipuan dan penindasan terhadap ummat Islam, bahkan pembantaian terhadap Muslimin yang berlangsung lebih dari setengah abad, maka  kondisinya makin terpuruk lah bangsa ini, di samping itu, makin banyak lagi orang-orang yang justru ikut-ikutan sebagai penentang Islam, padahal mereka masih mengaku Muslim.

Yang jadi persoalan, kenapa yang sikapnya seperti itu justru orang-orang yang mengaku Islam dan bahkan duduk di barisan depan. Ini persoalan besar, yang harus dipecahkan dengan cara-cara yang  Islami. Arti Islami bukan mesti lunak dan lemah lembut, namun sesuai dengan proporsinya. Apa yang harus dibunuh, misalnya ular, tikus, gagak, kalajengking, dan anjing gila itu harus dibunuh, walaupun di tanah Haram Makkah, dan kita dalam keadaan ihram  sekalipun. Membunuh yang seharusnya dibunuh itulah Islami. Sedang membiarkan hidup yang seharusnya dibunuh itu tidak Islami.

Saran Rasulullah SAW

Ada hadits yang  perlu kita cermati sebagai peringatakan bagi kita. Nabi Muhammad SAW bersabda:

سيخرج في آخر الزمان قوم أحداث الأسنان سفهاء الأحلام يقولون من خير قول البرية، يقرءون القرآن لا يجاوز حناجرهم يمرقون من الدين كما يمرق السهم من الرمية ، فإذا لقيتموهم فاقتلوهم، فإن في قتلهم أجرا لمن قتلهم عند الله يوم القيامة.

“Sayakhruju fii aakhiriz zamaani qoumun ahdaatsul asnaani sufahaaul ahlaami yaquuluuna min khoiri qoulil bariyyati, yaqro’uunal qur’aana laa yujaawizu hanaajirohum yamruquuna minad diini kamaa yamruqus sahmu minar romiyyati, faidzaa laqoitumuuhum faqtuluuhum, fainna fii qotlihim ajron liman qotalahum ‘indallaahi yaumal qiyaamati.”  (Muttafaq ‘alaih).

“Akan keluar pada akhir zaman  suatu kaum yang muda-muda umurnya, buruk-buruk akalnya, mereka mengatakan dari Al-Qur’an (mengambil kalimat dari Al-Qur’an dan membawanya ke tempat yang bukan tempatnya), mereka membaca Al-Quran tidak melewati kerongkongan-kerongkongan mereka (tidak mengamalkan Al-Qur’an dan tak mendapatkan pahala dari bacaannya), mereka melesat dari agama (Islam/ ketaatan) sebagaimana melesatnya anak panah dari buruan (sasaran)nya., jika kamu sekalian menjumpai mereka maka bunuhlah, karena sesungguhnya dalam membunuh mereka itu ada pahala bagi pembunuhnya di sisi Allah pada hari qiyamat. (Muutafaq ‘alaih, dari Ali).

Demikianlah, Nabi Muhammad SAW telah memperingatkan akan adanya orang-orang yang bicaranya mengutip-ngutip Al-Qur’an namun tidak sesuai dengan maksud Al-Qur’an yang sebenarnya, mereka membaca Al-Qur’an namun tidak mengamalkannya, mereka melesat dari agama/ ketaatan semudah melesatnya anak panah dari sasarannya, walaupun tembus namun langsung bablas keluar atau mental tak tertancap. Maka apabila menjumpai mereka, bunuhlah mereka, karena membunuhnya itu akan  ada pahala di sisi Allah pada hari qiyamat kelak.

Orang-orang seperti itu tingkatan bahayanya melebihi bahaya ular, tikus, bahkan anjing gila. Karena, binatang-binatang yang  mesti dibunuh itu hanya membahayakan fisik. Sedang  manusia-manusia yang menyesatkan aqidah itu justru merupakan bahaya yang sebenar-benarnya. Maka benarlah sabda Nabi Muhammad SAW yang berwanti-wanti, orang model itu agar  dibunuh, karena membunuhnya itu ada pahala di sisi Allah pada hari qiyamat.

Dari sini perlu kita sadari, betapa kelirunya kalau kita ternyata justru mengikuti apalagi mendukung orang-orang model itu.

Komentar
  1. […] dan dia tidak akan mengalami ketenangan karena dia berada dalam perbuatan dosa dan kungkungan nafsu, adapun manisnya perbuatan dan indahnya perkataan dalam pacaran, pada dasarnya hanyalah […]

    Suka

  2. […] dan dia tidak akan mengalami ketenangan karena dia berada dalam perbuatan dosa dan kungkungan nafsu, adapun manisnya perbuatan dan indahnya perkataan dalam pacaran, pada dasarnya hanyalah […]

    Suka

  3. […] : Abu Dawud No. 2358, Baihaqi 4/239, Ibnu Abi Syaibah dan Ibnu Suni) Lafadz dan arti bacaan di hadits ini sama dengan riwayat/hadits yang ke 2 kecuali awalnya tidak pakai […]

    Suka

  4. […] Madinah, tiada  yang lebih kubenci dari Muhammad. Tetapi setelah aku meninggalkan kota itu, tiada seorang pun di muka bumi yang lebih kucintai selain Muhammad […]

    Suka

  5. […] Madinah, tiada  yang lebih kubenci dari Muhammad. Tetapi setelah aku meninggalkan kota itu, tiada seorang pun di muka bumi yang lebih kucintai selain Muhammad […]

    Suka

Tinggalkan komentar