Arsip untuk 8 Juni 2010

Sesudah Islam melindungi masalah nasab dengan cara demikian, kemudian Islam juga menetapkan untuk anak dan orang tua, masing-masing mempunyai hak, sesuai dengan kedudukannya sebagai orang tua dan anak. Di samping itu Islam juga mengharamkan beberapa hal kepada mereka masing-masing, demi melindungi dan menjaga hak-hak tersebut.

Anak mempunyai hak hidup. Ayah dan ibu tidak boleh merenggut hidupnya si anak, baik dengan membunuh ataupun dengan menanam hidup-hidup, sebagaimana yang biasa dilakukan orang-orang Arab di zaman jahiliah. Ketentuan ini berlaku untuk anak laki-laki mahupun wanita. Firman Allah:

“Jangan kamu membunuh anak-anakmu lantaran takut kelaparan, Kamilah yang akan memberi rezeki kepada mereka mahupun kepadamu; sesungguhnya membunuh mereka suatu dosa besar.” (al-Isra’: 31)

“Dan apabila diperiksa anak perempuan yang ditanam hidup-hidup. Sebab dosa apakah dia dibunuh?” (at-Takwir: 8-9)

kerana dorongan untuk berbuat yang mungkar ini ada kalanya soal ekonomi, misainya kerana takut kelaparan dan kemiskinan, atau alasan non-ekonomis, misalnya kaiena takut tercela kalau si anak itu kebetulan perempuan, maka Islam mengharamkan perbuatan biadab ini dengan sangat keras sekali. Sebab perbuatan seperti itu dapat memutuskan kekeluargaan dan menyebabkan permusuhan.

Untuk masalah ini Rasulullah s.a.w. pernah ditanya: dosa apakah yang teramat besar? Jawab Nabi: iaitu engkau menyekutukan Allah padahal Dialah yang menjadikan kamu. Kemudian apa lagi? Maka jawabnya: iaitu engkau bunuh anakmu lantaran kamu takut dia makan bersamamu. (Riwayat Bukhari dan Muslim).

Rasulullah s.a.w. pernah juga membai’at orang-orang perempuan sebagaimana halnya ia membai’at orang laki-laki; iaitu dengan melarangnya perbuatan jahat tersebut dan supaya dihentikan. Bai’at tersebut berbunyi demikian:

“Hendaknya mereka (perempuan) tidak menyekutukan Allah sedikitpun dan tidak mencuri dan tidak berzina dan tidak membunuh anak-anak mereka.” (al-Mumtahinah: 12)

Dan di antara hak anak yang harus ditunaikan oleh ayahnya, ialah memberikan nama yang baik. Seorang ayah tidak boleh memberi nama anaknya dengan nama yang dapat mengganggu perasaan anak apabila dia sudah cukup dewasa. Dan diharamkan memberi nama anaknya dengan Hamba Lain Allah misalnya: Abdun Nabi, (hamba Nabi), Abdul Masih (hamba Isa al-Masih) dan sebagainya.

Di samping itu anak juga mempunyai hak perlindungan, pendidikan dan nafkah yang samasekali tidak boleh diabaikan. Sabda Nabi:

“Tiap-tiap kamu adalah pemimpin, dan tiap kamu akan dimintai pertanggungjawaban tentang yang dipimpinnya itu.” (Riwayat Bukhari dan Muslim)

“Cukup berdosa seseorang yang mengabaikan orang yang menjadi tanggungannya.” (Riwayat Abu Daud, Nasa’i dan Hakim)

“Sesungguhnya Allah akan minta pertanggungjawaban kepada setiap pemimpin terhadap yang dipimpinnya, apakah dia itu memperhatikan, ataukah mengabaikan, sampai pun Ia akan minta pertanggungjawaban kepada seorang laki-laki tentang keluarga rumahnya.” (Riwayat Ibnu Hibban)

Syarat yang ditentukan Islam untuk poligami ialah terpercayanya seorang muslim terhadap dirinya, bahawa dia sanggup berlaku adil terhadap semua isterinya baik tentang soal makannya, minumnya, pakaiannya, rumahnya, tempat tidurnya mahupun nafkahnya. Siapa yang tidak mampu melaksanakan keadilan ini, maka dia tidak boleh kahwin lebih dari seorang. Firman Allah:

“Jika kamu tidak dapat berlaku adil, maka kahwinlah seorang saja.” (an-Nisa’: 3)

Dan bersabda Rasulullah s.a.w.: “Barangsiapa mempunyai isteri dua, tetapi dia lebih cenderung kepada yang satu, maka nanti di hari kiamat dia akan datang menyeret salah satu lambungnya dalam keadaan jatuh atau miring.” (Riwayat Ahlulsunan, Ibnu Hibban dan al-Hakim)

Yang dimaksud cenderung atau condong yang diancam oleh hadis tersebut, ialah meremehkan hak-hak isteri, bukan semata-mata kecenderungan hati. Sebab kecenderungan hati termasuk suatu keadilan yang tidak mungkin dapat dilaksanakan. Oleh kerana itu Allah memberikan maaf dalam hal tersebut. Seperti tersebut dalam firmanNya:

“Dan kamu tidak akan dapat berlaku adil antara isteri-isterimu sekalipun kamu sangat berkeinginan, oleh kerana itu janganlah kamu terlalu condong.” (an-Nisa’: 129)

Oleh kerana itu pula setelah Rasulullah membagi atau menggilir dan melaksanakan keadilannya, kemudian beliau berdoa: “Ya Allah! Inilah giliranku yang mampu aku lakukan. Maka janganlah Engkau siksa aku berhubung sesuatu yang Engkau mampu laksanakan tetapi aku tidak mampu melaksanakan.” (Riwayat Ashabussunan)

Yakni sesuatu yang tidak mampu dikuasai oleh hati manusia dan sesuatu kecenderungan kepada salah satu isterinya.

Nabi sendiri kalau hendak bepergian, ia mengadakan undian. Siapa mendapat bahagiannya, dialah yang nanti akan diajak pergi oleh Nabi [13].

Beliau bersikap demikian demi menjaga perasaan dan tercapainya persetujuan oleh semuanya.

Dan ketahuilah olehmu, bahwasanya tidaklah layak bagimu memperbuat yang sedemikian itu jika engkau adalah seorang yang jahil (kurang pengetahuan ilmu syar’i). Lagi engkau ketahuilah..bahwasanya sifat adil, ikhlas, Sabar, Jujur, bijaksana dan yang selain daripada itu adalah kajian yang teramat tinggi derajatnya disisi ALLAH Azza wa Jalla. Maka barang siapa di antara kamu yang memiliki salah satu di antaranya, niscaya ketentraman bagimu di dunia perihal urusanmu. namun tiadalah kesempurnaan daripadamu, melainkan pada diri yang ditunjuki oleh ALLAH daripadamu sedang orang – orang yang sedemikian itu adalah sedikit sekali dan yang termaktub pada kepribadian para Nabi dan Rasul ALLAH.

Maka, janganlah sekali – kali kamu memperbuat yang tiada engkau sanggupi. Melainkan hanya kemudharatan yang engkau lahirkan antara sebahagian kamu dengan sebahagian kamu yang lain. Layaknya seperti firman ALLAH yang tersebut di atas QS. An – Nisa : 3 :

“ambillah olehmu, berdua, bertiga atau berempat orang  istri jika kamu merasa adil, sedang jika kamu tidak dapat berlaku adil..maka kawinilah olehmu seorang sahaja atau engkau pakailah hamba sahaya. Yang sedemikian itu adalah lebih baik bagimu daripada aniaya.”

Jika engkau memperbuat jua atas apa – apa yang tiada pengetahuannya daripadamu, niscaya tiada lain bahwa yang engkau perbuat adalah aniaya terhadap istri – istrimu. Sedang aniaya itu adalah sesuatu dosa yang teramat besar bagimu, sesungguhnya..kelak engkau akan mengetahui akibat dari perbuatanmu..Wallahu A’lam Bish Showab

Demikian kukabarkan atas kamu, agar engkau memikirkan..

Semoga Bermanfaat ^_^

Islam adalah hukum Allah yang terakhir yang dibawa oleh Nabi yang terakhir pula. Oleh kerana itu layak kalau ia datang dengan membawa undang-undang yang komplit, abadi dan universal. Berlaku untuk semua daerah, semua masa dan semua manusia.

Islam tidak membuat hukum yang hanya berlaku untuk orang kota dan melupakan orang desa, untuk daerah dingin dan melupakan daerah panas, untuk satu masa tertentu dan melupakan masa-masa lainnya serta generasi mendatang.

Islam telah menentukan keperluan perorangan dan masyarakat, dan menentukan ukuran kepentingan dan kemaslahatan manusia seluruhnya. Di antara manusia ada yang ingin mendapat keturunan tetapi sayang isterinya mandul atau sakit sehingga tidak mempunyai anak. Bukankah suatu kehormatan bagi si isteri dan keutamaan bagi si suami kalau dia kahwin lagi dengan seorang wanita tanpa mencerai isteri pertama dengan memenuhi hak-haknya?

Sementara ada juga laki-laki yang mempunyai nafsu seks yang luarbiasa, tetapi isterinya hanya dingin saja atau sakit, atau masa haidhnya itu terlalu panjang dan sebagainya, sedang si laki-laki tidak dapat menahan nafsunya lebih banyak seperti orang perempuan. Apakah dalam situasi seperti itu si laki-laki tersebut tidak boleh kahwin dengan perempuan lain yang halal sebagai tempat mencari kawan tidur?

Dan ada kalanya jumlah wanita lebih banyak daripada jumlah laki-laki, lebih-lebih kerana akibat dari peperangan yang hanya diikuti oleh laki-laki dan pemuda-pemuda. Maka di sini poligami merupakan suatu kemaslahatan buat masyarakat dan perempuan itu sendiri, sehingga dengan demikian mereka akan merupakan manusia yang bergharizah yang tidak hidup sepanjang umur berdiam di rumah, tidak kahwin dan tidak dapat melaksanakan hidup berumahtangga yang di dalamnya terdapat suatu ketenteraman, kecintaan, perlindungan, nikmatnya sebagai ibu dan keibuan sesuai pula dengan panggilan fitrah.

Ada tiga kemungkinan yang bakal terjadi sebagai akibat banyaknya laki-laki yang mampu kahwin, iaitu:

1. Mungkin orang-orang perempuan itu akan hidup sepanjang umur dalam kepahitan hidup.
2. Mungkin mereka akan melepaskan kendalinya dengan menggunakan ubat-ubat dan alat-alat kontrasepsi untuk dapat bermain-main dengan laki-laki yang haram.
3. Atau mungkin mereka mahu dikahwini oleh laki-laki yang sudah beristeri yang kiranya mampu memberi nafkah dan dapat bergaul dengan baik.

Tidak diragukan lagi, bahawa kemungkinan ketiga adalah satu-satunya jalan yang paling bijaksana dan ubat mujarrab. Dan inilah hukum yang dipakai oleh Islam, sedang “Siapakah hukumnya yang lebih baik selain hukum Allah untuk orang-orang yang mahu beriman?” (al-Maidah: 50)

Inilah sistem poligami yang banyak ditentang oleh orang-orang Kristian Barat yang dijadikan alat untuk menyerang kaum Muslimin, di mana mereka sendiri membenarkan laki-lakinya untuk bermain dengan perempuan-perempuan cabul, tanpa suatu ikatan dan perhitungan, betapapun tidak dibenarkan oleh undang-undang dan moral. Poligami liar dan tidak bermoral ini akan menimbulkan perempuan dan keluarga yang liar dan tidak bermoral juga. Kalau begitu manakah dua golongan tersebut yang lebih kukuh dan lebih baik?

Poligami

Posted: 8 Juni 2010 in Poligami
Tag:

Islam adalah agama yang sesuai dengan fitrah manusia dan selalu terjun dalam suatu realita, mendidik dan menjauhkan dari sikap teledor dan bermalas-malas. Begitulah yang kami saksikan dengan gamblang dalam hubungannya dengan masalah poligami.

Dengan menitikberatkan demi kepentingan manusia, baik secara individual mahupun masyarakat, Islam membolehkan kahwin lebih dari seorang.

Kebanyakan ummat-ummat dahulu dan agama-agama sebelum Islam membolehkan kahwin tanpa batas yang kadang-kadang sampai sepuluh orang wanita, bahkan ada yang sampai seratus dan beratus-ratus tanpa suatu syarat dan ikatan. Maka setelah Islam datang, perkahwinan lebih dari seorang ini diberinya batas dan bersyarat. Batas maksimalnya ialah empat, seperti riwayatnya Ghailan:

“Sesungguhnya Ghailan ats-Tsaqafi telah masuk Islam dan mempunyai sepuluh isteri, kemudian Nabi berkata kepadanya: Pilihlah empat di antara mereka itu, dan cerailah yang lain.” (Riwayat Ahmad, Syafi’i, Tarmizi, Ibnu Majah, Ibnu Abi Syaibah, Daraquthni dan Baihaqi)

Sementara ada juga yang mempunyai isteri lapan [11] dan ada juga yang lima [12]. Semuanya itu diperintahkan oleh Nabi supaya memilih empat saja.

Adapun kahwinnya Nabi sampai sembilan orang itu adalah khususiyah buat Nabi kerana ada suatu motif da’wah dan demi memenuhi kepentingan ummat kepada isteri-isteri Nabi itu sepeninggal beliau.

Salah satu keistimewaan Islam dalam melindungi hak perempuan, iaitu melarang seorang suami yang marah kepada isterinya kemudian menjauhi tempat tidur dan tidak mahu mendekatinya dalam waktu yang kiranya tidak mungkin dapat ditahan oleh sifat kewanitaan.

Apabila meninggalkan tempat tidur ini diperkuat dengan sumpah tidak akan menyetubuhinya, maka dia diberi masa menunggu selama empat bulan; barangkali dalamasa menunggu itu hatinya menjadi tenang, berkobarnya kemarahan boleh dingin dan suara kalbunya itu boleh ditarik kembali.

Kalau dia boleh kembali kepada panduan dan boleh bergaul dengan isterinya sebagaimana semula, sebelum habis waktu empat bulan atau sudah sampai empat bulan, maka Allah tetap akan memberi ampunan terhadap keteledorannya itu dan selalu membuka pintu taubat. Tetapi dengan syarat dia harus membayar kafarah untuk menebus sumpahnya itu.

Dan apabila waktu empat bulan itu telah dilaluinya, sedang dia belum menarik diri dari azamnya, maka dia sudah bebas dari sumpah, tetapi isterinya diceraikan sebagai hukuman yang sesuai, kerana dia tidak menghiraukan hak isteri.

Sementara ahli fiqih ada yang berpendapat, bahawa dengan berlalunya waktu otomatis talaqnya jatuh, tanpa menunggu keputusan hakim.

Dan ada pula yang mensyaratkan diajukannya persoalan tersebut kepada hakim setelah waktu yang ditentukan itu habis, kemudian hakim akan memberikan afternatif apakah dia harus mencabut dan isterinya rela, ataukah dia harus mencerainya. Kemudian dia harus memilih apa yang kiranya manis buat dirinya.

Bersumpah tidak akan mendekati isteri, di dalam syariat Islam dikenal dengan nama ila. Yang dalam hal ini Allah telati berfirman:

“Bagi orang-orang yang bersumpah akan menjauhi isterinya, boleh menunggu empat bulan; jika mereka telah memenuhinya maka sesungguhnya Allah Maha Pengampun dan Maha Belaskasih. Dan jika mereka bermaksud hendak mencerai, maka sesungguhnya Allah Maha Mendengar dan Maha Mengetahui.” (al-Baqarah: 226-227)

Dibatasinya masa tunggu empat bulan, kerana kesempatan empat bulan itu sudah cukup bagi seorang suami untuk menarik diri dan kembali ke jalan yang benar. Sebab masa empat bulan itu secara kebiasaan sudah cukup bagi seorang perempuan bersabar diri dari berkumpul dengan suaminya.

Dalam pada itu beberapa ahli tafsir meriwayatkan kisah Umar Ibnul-Khattab ketika mengadakan ronda malam, tiba-tiba terdengar suara perempuan bersyair:

Sungguh malam ini sangat panjang, sekelilingnya penuh kelam
Situasinya menjadikan aku tidak baik, kerana tidak ada kekasih yang boleh kuajak bermain
Demi Allah, andaikata tidak takut akibat Sungguh ranjang ini akan goncang.

Umar berusaha untuk menyelidiki kisah si perempuan tersebut. Akhirnya diketahui, bahawa suaminya telah hilang dalam daftar mujahid pada masa yang sudah cukup lama.

Umar kemudian menanyakan kepada puterinya Hafsah berapa lama perempuan boleh bersabar diri dari suaminya? Jawab Hafsah: empat bulan. Waktu itulah Umar berniat untuk menetapkan suatu peraturan, bahawa seorang suami tidak boleh meninggalkan isterinya lebih dari empat bulan.

Seorang suami tidak boleh menyusahkan dan berbuat yang tidak baik dalam pergaulannya dengan isteri, dengan maksud supaya isterinya itu mahu menebus dirinya; iaitu dengan mengembalikan semua atau sebahagian harta yang pernah diberikan kepadanya, selama si isteri itu tidak berbuat jahat. Dalam hal ini Allah telah berfirman:

“Jangan kamu berlaku kasar terhadap mereka itu lantaran kamu hendak pergi dengan membawa sebahagian dari apa yang telah kamu berikan kepada mereka, kecuali apabila mereka itu berbuat kejahatan yang terang-terangan.” (an-Nisa’: 19)

Kalau pihak suami yang tidak suka itu ingin supaya bercerai kerana ada hasrat dengan orang lain, maka dia dilarang mengambil sesuatu dari isterinya. Sebagaimana firman Allah:

“Dan apabila kamu berkehendak akan mengganti isteri di tempat seorang isteri, padahal kamu telah memberi salah seorang dari mereka harta yang banyak, maka jangan kamu ambil sedikitpun daripadanya, apakah kamu akan mengambilnya dengan cara yang mengagetkan dan dosa yang terang? Bagaimana kamu akan mengambilnya padahal sebahagian kamu telah bersatu dengan sebahagiannya dan mereka itu telah mengambil daripadamu perjanjian yang keras?” (an-Nisa`: 20-21)

Seorang perempuan apabila tidak suka kepada suaminya tidak sanggup bergaul bersama, maka diperkenankan menebus dirinya dan membeli kemerdekaannya dengan mengembalikan harta yang pernah diberikan oleh suami kepadanya berupa maskahwin, atau hadiah dengan sedikit berkurang atau lebih menurut kesepakatan bersama. Akan tetapi yang lebih baik si laki-laki tidak mengambil lebih dari apa yang pernah diberikan. Firman Allah:

“Jika kamu khuwatir mereka berdua tidak dapat menegakkan batas-Batas ketentuan Allah, maka tidak dosa atas keduanya tentang sesuatu yang ia menebus dengannya.” (al-Baqarah: 229)

Isteri Tsabit bin Qais pernah datang kepada Nabi s.a.w. mengadukan: “Ya Rasulullah! Sesungguhnya Tsabit bin Qais tidak saya cela budi dan agamanya, tetapi saya tidak tahan marahnya. Kemudian Nabi bertanya tentang apa yang pernah dia ambil dari suaminya itu. Ia menjawab: Kebun. Lantas Nabi bertanya lagi., Apakah kamu mahu mengembalikan kebun itu kepadanya? Ia menjawab: Ya. Maka bersabdalah Nabi kepada Tsabit: Terimalah kebun itu dan cerailah dia.” (Riwayat Bukhari dan Nasa’i)

Kendati demikian, seorang isteri tidak dibenarkan cepat-cepat minta cerai tanpa alasan yang dapat dibenarkan dan tanpa suatu pendorong yang dapat diterima yang kiranya boleh membawa kepada perceraian antara keduanya.

Sebab Rasulullah s.a.w. pernah bersabda sebagai berikut: “Siapa saja perempuan yang minta cerai kepada suaminya tanpa suatu sebab yang dapat dibenarkan, maka dia tidak akan mencium bau sorga.” (Riwayat Abu Daud)

Kalau si perempuan yang dicerai itu sudah habis iddahnya, maka tidak diperkenankan suaminya, walinya atau yang lain menghalang-halangi perempuan tersebut kahwin dengan laki-laki lain. Mereka tidak boleh mengaral jalan selama pihak laki-laki (khathib) dan pihak perempuan (makhthubah) sudah sama-sama senang menurut cara-cara yang dibenarkan syara’ mahupun adat.

Apa yang dilakukan oleh sementara bekas suami untuk berusaha berbagai kemungkinan yang sifatnya demi melikwidir bekas isterinya, serta memberikan beberapa ultimatum, baik secara langsung ataupun via keluarganya apabila si perempuan tersebut hendak kahwin. Cara semacam itu tidak lain adalah perbuatan orang-orang bodoh (jahiliah).

Dan yang senada dengan itu ialah tidak ada usahanya keluarga perempuan atau walinya untuk merujukkan perempuan tersebut kepada bekas suaminya, sedang kedua belah pihak sudah sama-sama senang dan ingin memperbaiki keretakan antara keduanya, padahal berdamai adalah lebih baik seperti apa yang difirmankan Allah dalam al-Quran:

“Dan apabila kamu mencerai isterimu dan mereka itu sudah sampai pada batas iddahnya, maka janganlah kamu menghalang-halangi mereka kahwin dengan (calon) suami mereka apabila mereka sudah sama-sama senang antara mereka dengan cara yang baik. Yang demikian itu dijadikan nasihat untuk orang yang beriman kepada Allah dan hari akhir di antara kamu. Yang demikian itu lebih bersih dan lebih suci bagi kamu; dan Allah mengetahui sedang kamu tidak mengetahui. (al-Baqarah: 232)

Kalau seorang suami mencerai isterinya dan iddahnya sudah hampir habis, maka suami boleh memilih satu di antara dua:

1. Mungkin dia merujuk dengan cara yang baik; iaitu dengan maksud baik dan untuk memperbaiki, bukan dengan maksud membuat bahaya.
2. Mungkin dia akan melepasnya dengan cara yang baik pula; iaitu dibiarkanlah dia sampai habis iddahnya dan sempurnalah perpisahan antara keduanya itu tanpa suatu gangguan dan tanpa diabaikannya haknya masing-masing.

Tidak dihalalkan seorang laki-laki merujuk isterinya sebelum habis iddah dengan maksud jahat iaitu guna memperpanjang masa iddah; dan supaya bekas isterinya itu tidak kahwin dalam waktu cukup lama. Begitulah apa yang dilakukan oleh orang-orang jahiliah dulu.

Perbuatan jahat ini diharamkan Allah dalam kitabNya dengan suatu uslub (gaya bahasa) yang cukup menggetarkan dada dan mendebarkan jantung. Maka berfirmanlah Allah:

“Apabila kamu mencerai isterimu, kemudian telah sampai pada batasnya, maka rujuklah mereka itu dengan baik atau kamu lepas dengan baik pula; jangan kamu rujuk dia dengan maksud untuk menyusahkan lantaran kamu akan melanggar. Barangsiapa berbuat demikian, maka sungguh dia telah berbuat zalim pada dinnya sendiri. Dan jangan kamu jadikan ayat-ayat Allah sebagai permainan; dan ingatlah akan nikmat Allah yang diberikan kepadamu dan apa yang Allah turunkan kepadamu daripada kitab dan kebijaksanaan yang dengan itu Dia menasihati kamu. Takutlah kepada Allah; dan ketahuilah, bahawa sesungguhnya Allah Maha Mengetahui segala sesuatu.” (al-Baqarah: 231)

Dengan memperhatikan ayat ini, maka kita dapati di dalamnya mengandung tujuh butir yang antara lain berisikan ultimatum, peringatan dan ancaman. Kiranya cukup merupakan peringatan bagi orang yang berjiwa dan mahu mendengarkan.

Islam memberikan kepada seorang muslim tiga talaq untuk tiga kali, dengan suatu syarat tiap kali talaq dijatuhkan pada waktu suci, dan tidak disetubuhinya. Kemudian ditinggalkannya isterinya itu sehingga habis iddah. Kalau tampak ada keinginan merujuk sewaktu masih dalan iddah, maka dia boleh merujuknya. Dan seandainya dia tetap tidak merujuknya sehingga habis iddah, dia masih boleh untuk kembali kepada isterinya itu dengan aqad baru lagi. Dan kalau dia tidak lagi berhasrat untuk kembali, maka si perempuan tersebut diperkenankan kahwin dengan orang lain.

Kalau si laki-laki tersebut kembali kepada isterinya sesudah talaq satu, tetapi tiba-tiba terjadi suatu peristiwa yang menyebabkan jatuhnya talaq yang kedua, sedang jalan-jalan untuk menjernihkan cuaca sudah tidak lagi berdaya, maka dia boleh menjatuhkan talaqnya yang kedua, dengan syarat seperti yang kami sebutkan di atas; dan dia diperkenankan merujuk tanpa aqad baru (kerana masih dalam iddah) atau dengan aqad baru (kerana sesudah habis iddah).

Dan kalau dia kembali lagi dan dicerai lagi untuk ketiga kalinya, maka ini merupakan suatu bukti nyata, bahawa perceraian antara keduanya itu harus dikukuhkan, sebab persesuaian antara keduanya sudah tidak mungkin. Oleh kerana itu dia tidak boleh kembali lagi, dan si perempuan pun sudah tidak lagi halal buat si laki-laki tersebut, sampai dia kahwin dengan orang lain secara syar’i. Bukan sekadar menghalalkan si perempuan untuk suaminya yang pertama tadi.

Dari sini kita tahu, bahawa menjatuhkan talaq tiga dengan satu kali ucapan, berarti menentang Allah dan menyimpang dari panduan Islam yang lurus.

Tepatlah apa yang diriwayatkan, bahawa suatu ketika Rasulullah s.a.w. pernah diberitahu tentang seorang laki-laki yang mencerai isterinya tiga talaq sekaligus. Kemudian Rasulullah berdiri dan marah, sambil bersabda: “Apakah dia mahu mempermainkan kitabullah, sedang saya berada di tengah-tengah kamu? Sehingga berdirilah seorang laki-laki lain, kemudian dia berkata: Ya Rasulullah! apakah tidak saya bunuh saja orang itu!” (Riwayat Nasa’i)