Arsip untuk 22 Juni 2010

SEJARAH DAN FITNAH TASAWWUF

Oleh : H Hartono Ahmad Jaiz


Orang-orang  sufi  pada  periode-periode  pertama  menetapkan untuk  merujuk (kembali) kepada Al-Quran  dan  As-Sunnah,  namun kemudian Iblis memperdayai mereka karena ilmu mereka yang sedikit sekali.

Ibnul Jauzi (wafat 597H) yang terkenal dengan bukunya  Talbis Iblis menyebutkan contoh,  Al-Junaid  (tokoh  sufi) berkata, “Madzhab  kami ini terikat dengan dasar, yaitu Al-Kitab dan As-Sunnah.”

Dia  (Al-Junaid) juga berkata, “Kami tidak  mengambil  tasawuf dari perkataan orang ini dan itu, tetapi dari rasa lapar, mening­galkan dunia, meninggalkan kebiasan sehari-hari dan hal-hal  yang dianggap baik. Sebab tasawuf itu berasal dari kesucian  mu’amalah (pergaulan) dengan Allah dan dasarnya adalah memisahkan diri dari dunia.”

Komentar  Ibnul  Jauzi, jika seperti ini  yang  dikatakan  para syeikh  mereka, maka dari syeikh-syeikh yang lain  muncul banyak kesalahan  dan penyimpangan, karena mereka menjauhkan  diri  dari ilmu.

Jika memang begitu keadaannya, lanjut Ibnul Jauzi, maka  mereka harus disanggah, karena tidak perlu ada sikap manis  muka  dalam menegakkan  kebenaran.  Jika tidak benar, maka kita  tetap  harus waspada terhadap perkataan yang keluar dari golongan mereka.

Dicontohkan  suatu  kasus, Imam Ahmad  bin  Hanbal  (780-855M) pernah berkata tentang diri Sary As-Saqathy, “Dia seorang  syeikh yang  dikenal  karena suka menjamu makanan.”  Kemudian  ada  yang mengabarinya  bahwa dia berkata, bahwa tatkala Allah  menciptakan huruf-huruf,  maka huruf ba’ sujud kepada-Nya. Maka seketika  itu pula  Imam Ahmad berkata: “Jauhilah dia!” (Ibnul  Jauzi,  Talbis Iblis, Darul Fikri, 1368H, hal 168-169).

Kapan awal munculnya tasawuf

Tentang  kapan awal munculnya tasawuf, Ibnul Jauzi  mengemuka­kan,  yang pasti, istilah sufi muncul sebelum tahun 200H.  Ketika pertama  kali  muncul, banyak orang yang  membicarakannya  dengan berbagai ungkapan. Alhasil, tasawuf dalam pandangan mereka  meru­pakan  latihan jiwa dan usaha mencegah tabiat dari akhlak-akhlak yang hina lalu membawanya ke akhlak yang baik, hingga mendatangkan pujian di dunia dan pahala di akherat.

Begitulah yang terjadi pada diri orang-orang yang pertama kali memunculkannya. Lalu datang talbis Iblis (tipuan mencampur  adukkan  yang haq dengan yang batil hingga yang batil dianggap haq) terhadap mereka (orang sufi) dalam berbagai hal. Lalu Iblis  memperdayai  orang-orang setelah itu daripada pengikut  mereka. Setiapkali  lewat  satu  kurun waktu, maka  ketamakan  Iblis  untuk memperdayai mereka semakin menjadi-jadi. Begitu seterusnya hingga mereka yang datang belakangan telah berada dalam talbis Iblis.

Talbis Iblis yang pertama kali terhadap mereka adalah  mengha­langi  mereka mencari ilmu. Ia menampakkan kepada  mereka  bahwa maksud  ilmu  adalah amal. Ketika pelita ilmu yang ada  di  dekat mereka  dipadamkan, mereka pun menjadi linglung dalam  kegelapan.

Di  antara  mereka ada yang diperdaya Iblis,  bahwa  maksud  yang harus digapai adalah meninggalkan dunia secara total. Mereka  pun menolak hal-hal yang mendatangkan kemaslahatan bagi badan, mereka menyerupakan  harta dengan kalajengking, mereka  berlebih-lebihan dalam  membebani  diri,  bahkan di antara mereka  ada  yang  sama sekali tidak mau menelentangkan badannya, terlebih lagi tidur.

Sebenarnya  tujuan mereka itu bagus. Hanya saja mereka  meniti jalan yang tidak benar dan diantara mereka ada yang karena minim­nya ilmu, lalu berbuat berdasarkan hadits-hadits maudhu` (palsu), sementara dia tidak mengetahuinya.

Syari’at dianggap ilmu lahir hingga aqidahnya rusak

Kemudian  datang  suatu golongan yang lebih  banyak  berbicara tentang rasa lapar, kemiskinan, bisikan-bisikan hati dan  hal-hal yang  melintas di dalam sanubari, lalu mereka membukukan  hal-hal itu,  seperti  yang dilakukan  Al-Harits  Al-Muhasibi (meninggal 857M). Ada pula golongan lain yang mengikuti jalan tasawuf, menyendiri  dengan  ciri-ciri tertentu,  seperti  mengenakan  pakaian tambal-tambalan,  suka mendengarkan syair-syair, memukul  rebana, tepuk  tangan dan sangat berlebih-lebihan dalam masalah  thaharahdan  kebersihan. Masalah ini semakin lama  semakin  menjadi-jadi, karena para syaikh menciptakan topik-topik tertentu,  berkata menurut  pandangannya  dan  sepakat untuk  menjauhkan  diri dari ulama.  Memang mereka masih tetap menggeluti ilmu, tetapi  mereka menamakannya ilmu batin, dan mereka menyebut ilmu syari’at  seba­gai ilmu dhahir. Karena rasa lapar yang mendera perut, mereka pun membuat  khayalan-khayalan yang musykil, mereka  menganggap  rasa lapar  itu sebagai suatu kenikmatan dan kebenaran. Mereka  memba­yangkan sosok yang bagus rupanya, yang menjadi teman tidur  mere­ka. Mereka itu berada di antara kufur dan bid’ah.

Kemudian  muncul beberapa golongan lain yang  mempunyai  jalan sendiri-sendiri, dan akhirnya aqidah mereka jadi rusak. Di antara mereka  ada  yang  berpendapat tentang  adanya  inkarnasi/hulul (penitisan)  yaitu Allah menyusup ke dalam diri makhluk  dan  ada yang  menyatakan  Allah menyatu dengan  makhluk/ ittihad. Iblis senantiasa menjerat mereka dengan berbagai macam bid’ah, sehingga mereka membuat sunnah tersendiri bagi mereka. (ibid, hal 164).

Perintis tasawuf tak diketahui pasti

Abdur  Rahman Abdul Khaliq, dalam bukunya Al-Fikrus  Shufi  fi Dhauil Kitab was Sunnah menegaskan, tidak diketahui secara  tepat siapa  yang  pertama kali menjadi sufi di kalangan  ummat  Islam. Imam  Syafi’i ketika memasuki kota Mesir mengatakan, “Kami  ting­galkan  kota Baghdad sementara di sana kaum zindiq (menyeleweng; aliran  yang  tidak percaya kepada Tuhan,  berasal  dari  Persia; orang  yang  menyelundup ke dalam Islam,  berpura-pura  –menurut Leksikon Islam, 2, hal 778) telah mengadakan sesuatu  yang  baru yang mereka namakan assama’  (nyanyian).

Kaum  zindiq  yang dimaksud Imam Syafi’i  adalah  orang-orang sufi. Dan assama’ yang dimaksudkan adalah nyanyian-nyanyian  yang mereka  dendangkan. Sebagaimana  dimaklumi, Imam  Syafi’i  masuk Mesir tahun 199H.

Perkataan Imam Syafi’i ini mengisyaratkan bahwa masalah nyanyian merupakan masalah baru. Sedangkan kaum zindiq tampaknya sudah dikenal  sebelum  itu. Alasannya, Imam Syafi’i  sering  berbicara tentang mereka di antaranya beliau mengatakan:

“Seandainya  seseorang menjadi sufi pada pagi hari, maka  siang sebelum dhuhur ia menjadi orang yang dungu.”

Dia  (Imam Syafi’i) juga pernah berkata: “Tidaklah seseorang menekuni tasawuf selama 40 hari, lalu  akal­nya (masih bisa) kembali normal selamanya.” (Lihat Talbis  Iblis, hal 371).

Semua  ini,  menurut Abdur Rahman Abdul  Khaliq,  menunjukkan bahwa  sebelum berakhirnya  abad kedua  Hijriyah  terdapat  satu kelompok  yang  di kalangan ulama Islam  dikenal  dengan  sebutan Zanadiqoh (kaum zindiq), dan terkadang dengan sebutan mutashawwi­fah (kaum sufi).

Imam Ahmad (780-855M) hidup sezaman dengan Imam Syafi’i  (767-820M),  dan pada mulanya berguru kepada Imam  Syafi’i.  Perkataan Imam  Ahmad tentang keharusan menjauhi orang-orang tertentu  yang berada dalam lingkaran tasawuf, banyak dikutip orang. Di  antara­nya  ketika seseorang datang kepadanya sambil meminta fatwa  ten­tang  perkataan  Al-Harits  Al-Muhasibi  (tokoh  sufi, meninggal 857M). Lalu Imam Ahmad bin Hanbal berkata:

“Aku  nasihatkan  kepadamu,  janganlah  duduk  bersama  mereka (duduk dalam majlis Al-Harits Al-Muhasibi)”.

Imam  Ahmad  memberi nasihat seperti itu karena  beliau  telah melihat  majlis  Al-Harits  Al-Muhasibi. Dalam  majlis  itu  para peserta  duduk dan menangis –menurut mereka–  untuk  mengoreksi diri. Mereka berbicara atas dasar bisikan hati yang jahat. (Perlu kita  cermati,  kini ada kalangan-kalangan muda  yang mengadakan daurah/penataran atau halaqah /pengajian, lalu mengadakan muhasabatun  nafsi/ mengoreksi diri, atau mengadakan apa yang  mereka sebut renungan, dan mereka menangis tersedu-sedu, bahkan ada yang meraung-raung. Apakah  perbuatan mereka itu  ada  dalam   sunnah Rasulullah saw? Ataukah memang mengikuti kaum sufi itu?).

Abad III H Sufi mulai berani, semua tokohnya dari Parsi

Tampaknya, Imam Ahmad bin Hanbal radhiyallahu`anhu mengucapkan perkataan tersebut pada awal abad ketiga Hijriyah. Namun  sebelum abad  ketiga  berakhir, tasawuf telah muncul dalam  hakikat  yang sebenarnya,  kemudian tersebar luas di tengah-tengah  umat,  dan kaum sufi telah berani mengatakan sesuatu yang sebelumnya  mereka sembunyikan.

Jika kita meneliti gerakan sufisme sejak awal  perkembangannya hingga kemunculan secara terang-terangan, kita akan mengetahui­ bahwa  seluruh tokoh pemikiran sufi pada abad ketiga dan  keempat Hijriyah berasal dari Parsi (kini namanya Iran, dulu pusat  agama Majusi,  kemusyrikan yang menyembah api, kemudian  menjadi  pusat Agama Syi’ah), tidak ada yang berasal dari Arab.

Sesungguhnya tasawuf mencapai puncaknya, dari segi aqidah  dan hukum, pada akhir abad ketiga Hijriyah, yaitu tatakla Husain  bin Manshur Al-Hallaj berani menyatakan keyakinannya di depan pengua­sa,  yakni  dia menyatakan bahwa Allah menyatu  dengan  dirinya, sehingga  para ulama yang semasa dengannya menyatakan  bahwa  dia telah kafir dan harus dibunuh.

Pada tahun 309H/ 922M ekskusi (hukuman bunuh) terhadap  Husain bin  Manshur Al-Hallaj dilaksanakan. Meskipun demikian,  sufisme tetap  menyebar  di negeri Parsi, bahkan kemudian  berkembang  di Irak.

Abad keempat mulai muncul thariqat/ tarekat

Tersebarnya  sufisme  didukung oleh Abu Sa`id  Al-Muhani.  Ia mendirikan tempat-tempat penginapan yang dikelola secara  khusus yang selanjutnya ia ubah menjadi markas sufisme. Cara  penyebaran sufisme seperti itu diikuti oleh para tokoh Sufi lainnya sehingga pada pertengahan abad keempat Hijriyah berkembanglah cikal  bakal thariqat/  tarekat sufiyah, kemudian secara  cepat tersebar di Irak, Mesir, dan Maghrib (Maroko).

Pada abad keenam Hijriyah muncul beberapa tokoh tasawuf,  mas­ing-masing mengaku bahwa dirinya keturunan Rasulullah SAW, kemud­ian  mendirikan tempat thariqat sufiyah dengan  pengikutnya  yang tertentu. Di Irak muncul thariqat sufiyah Ar-Rifa`i  (Rifa’iyah); di  Mesir  muncul Al-Badawi, yang tidak diketahui siapa  ibunya, siapa bapaknya, dan siapa keluarganya; demikian juga Asy-Syadzali

(Syadzaliyah/  Syadziliyah) yang muncul di Mesir. Dari  thariqat-thariqat tersebut muncul banyak cabang thariqat sufiyah.

Abad ke-6,7, & 8 puncak fitnah shufi

Pada  abad  keenam,  ketujuh, dan  kedelapan  Hijriyah  fitnah sufisme  mencapai puncaknya.  Kaum  Sufi  mendirikan   kelompok-kelompok khusus, kemudian di berbagai tempat dibangun kubah-kubah di atas kuburan. Semua itu terjadi setelah tegaknya Daulah Fathi­miyah  (kebatinan) di Mesir, dan setelah perluasan kekuasaan  ke wilayah-wilayah dunia Islam. Lalu, kuburan-kuburan palsu  muncul, seperti kuburan Husain bin Ali radliyallahu `anhuma di Mesir, dan kuburan Sayyidah Zainab. Setelah itu, mereka mengadakan peringatan  maulid  Nabi, mereka melakukan bid`ah-bid`ah  dan  khufarat-khufarat. Pada akhirnya mereka meng-ilahkan (menuhankan) Al-Hakim Bi-Amrillah Al-Fathimi Al-Abidi.

Propaganda  yang  dilakukan oleh  Daulah  Fathimiyah  tersebut berawal  dari Maghrib  (Maroko),  mereka  menggatikan kekuasaan Abbasiyah  yang  Sunni. Daulah Fathimiyah  berhasil  menggerakkan kelompok Sufi untuk memerangi dunia Islam. Pasukan-pasukan kebat­inan tersebut kemudian menjadi penyebab utama berkuasanya pasukan salib (Kristen Eropa) di wilayah-wilayah Islam.

Pada abad kesembilan, kesepuluh, dan kesebelas Hijriyah, telah muncul  berpuluh-puluh  thariqat  sufiyah,  kemudian  aqidah  dan syari`at Sufi tersebar di tengah-tengah umat. Keadaan yang merata berlanjut sampai masa kebangkitan Islam baru.

Ibnu Taimiyyah dan murid-muridnya memerangi shufi

Sesungguhnya kebangkitan Islam sudah mulai tampak pada akhir abad ketujuh dan awal abad kedelapan Hijriyah, yaitu tatkala Imam Mujahid Ahmad bin Abdul-Hakim Ibnu Taimiyyah (1263-1328M) meme­rangi seluruh aqidah yang menyimpang melalui pena dan lisannya, di antara yang diperangi adalah aqidah kaum Sufi.

Setelah itu, perjuangan beliau dilanjutkan oleh murid-muridnya, seperti Ibnul-Qayyim (Damaskus 1292-1350M), Ibnu-Katsir (wafat 774H), Al-Hafizh Adz-Dzahabi, dan Ibnu Abdil-Hadi.

Meskipun  mendapat serangan, tasawuf, dan aqidah-aqidah  batil terus mengakar, hingga berhasil menguasai umat. Namun, pada  abad kedua belas hijriyah Allah mempersiapkan Imam Muhammad bin Abdul-Wahhab untuk umat Islam. Ia mempelajari buku-buku Syaikh Ibnu Taimiyyah, kemudian bangkit memberantas dan memerangi kebatilan. Dengan  sebab upaya beliau, Allah merealisasikan kemunculan  ke­bangkitan Islam baru.

Da`wah  Muhammad  bin Abdul-Wahhab disambut  oleh  orang-orang mukhlis  di seluruh penjuru dunia Islam. Namun,  daulah  sufisme tetap  memiliki  kekuatan di berbagai wilayah  dunia  Islam,  dan simbol-simbol tasawuf masih tetap ada. Simbol-simbol tasawuf yang dimaksudkan adalah kuburan-kuburan, syaikh-syaikh atau  guru-guru sesat, dan aqidah-aqidah yang rusak dan batil  (lihat: Al-Fikrush-Shufi fi Dhau`il-Kitab was Sunnah,oleh Abdur-Rahman Abdul-Khaliq, halaman 49-53, dikutip Laila binti Abdillah dalam As-Shufiyyah `Aqidah wa Ahdaf, Darul Wathan Riyad, I, 1410H, hal 13-17).

Kelompok Yang Selamat

Posted: 22 Juni 2010 in Kajian
Tag:,

HAKIKAT BID’AH DAN KUFUR

TANYA JAWAB BERSAMA
AL-IMAM AL-MUHADDITS

MUHAMMAD NASHIRUDDIN AL-ALBANI RAHIMAHULLAHU

Pada zaman ini, aku tidak menasehatkan atau menganjurkan untuk menggunakan hajr sebagai solusi karena mudharatnya lebih besar ketimbang manfaatnya. Dan dalil terbesar adalah fitnah yang sekarang ini terjadi di Hijaz. Mereka semua dipersatukan oleh dakwah tauhid, dakwah kepada al-Qur’an dan as-Sunnah. Namun, sebagian di antara mereka memiliki kegiatan khusus, baik dalam bidang politik atau dalam sejumlah pemikiran yang sebelumnya tidak dikenal dari seorang pun ulama, yang bisa jadi pemikiran tersebut kadang benar dan kadang salah. Maka kita tidak sabar untuk mendengar sesuatu yang baru, terutama apabila perkaranya adalah suatu yang tampak jelas oleh kita sebagai suatu kemungkaran, sehingga kita langsung begitu saja memeranginya.

Ini adalah suatu kesalahan wahai saudaraku… ini adalah kesalahan!!! Apa kau mengharap teman yang tak punya kesalahan sedikitpun? Namun apakah kayu gaharu dapat terbakar tanpa mengeluarkan asap???

Kami berangan-angan sekiranya Ikhwanul Muslimin hanya sama seperti kita dalam masalah tauhid, itu saja. Hanya sama dalam tauhid saja sehingga Anda bisa bersama mereka namun mereka tidak ridha bersama kita walaupun dalam masalah aqidah. Mereka menganggap bahwa menghidupkan khilafiyah hanya mencerai-beraikan barisan dan seterusnya… Mereka, saudara-saudara kita tersebut, menyempal dari mereka sebuah jama’ah atau mereka yang menyempal dari jama’ah –wallahu a’lam-, mereka itu (sebenarnya) bersama kita di atas jalan kita, yakni al-Qur’an, as-Sunnah dan di atas manhaj as-Salaf ash-Shalih. Hanya saja mereka membawa suatu pemikiran baru yang kenyataannya sebagiannya salah dan sebagiannya benar.

Lantas, mengapa kita sekarang menyebarkan di antara kita dan sebagian kita kepada sebagian yang lain, perpecahan dan tahazzub (berpartai-partai) dan ta’ashshub (fanatisme? Padahal dulu kita –ahlus sunnah- adalah satu kelompok, lalu kemudian menjadi dua kelompok dan kemudian menjadi tiga kelompok. Jadilah ahlus sunnah (dengan sebutan) Safariyyun,[23] Sururiyyun.[24] dan seterusnya…[25] Allohu Akbar!!! Yang memecah belah mereka hanyalah suatu perkara yang tidak layak untuk menjadi sebab perpecahan. Tidak ada perbedaan pada perkara-perkara besar yang tidak terbayangkan bahwa salafiyyun akan bertikai di dalamnya. Kita semua tahu dengan baik bahwa para sahabat berselisih di dalam beberapa permasalahan, namun manhaj mereka tetap satu!!!

Jadi, apabila ada sejumlah orang yang menyeleweng dari jama’ah ahlus sunnah atau ath-Tha’ifah al-Manshurah, maka hendaknya kita mensikapi mereka dengan lemah lembut dan halus wahai saudara, dan kita harus berupaya menjaga mereka agar senantiasa bersama jama’ah. Kita tidak meng­hajr dan mengisolir (muqotho’ah) mereka, kecuali apabila kita khawatir akan suatu keburukan dari mereka. Namun kekhawatiran ini tidaklah muncul dan tampak begitu saja. Tidak sesederhana apabila ada seorang yang menampakkan sebuah pendapat yang menyelisihi pendapat jama’ah maka dengan serta merta kita langsung segera memboikotnya. Kita harus sabar tidak tergesa-gesa dan meneliti lebih dahulu, semoga Alloh memberi petunjuk kepada hatinya atau kemudian telah menjadi jelas atas kita bahwa mengisolir (muqotho’ah)-nya ternyata cara terbaik.

Penanya :

Apakah ada hal lain yang diperlukan selain menegakkan hujjah kepada orang kafir agar dapat digolongkan sebagai kafir, atau kepada seorang mubtadi’ agar dapat digolongkan sebagai mubtadi’, atau maksiat, seperti meyakinkan atau menghilangkan syubhat (keragu-raguan)?

Syaikh :

Tidak, hal ini tidak perlu. Namun apa yang diperlukan adalah ilmu. Karena dengan ilmulah hujjah dapat tegak. Dia (orang yang menegakkan hujjah, pent.) haruslah seorang pewaris nabi (ulama, ed.) dan bukan orang biasa di antara orang-orang yang bermacam-macam.

Penanya :

Apakah jama’ah tabligh termasuk kelompok yang dibicarakan Nabi Shallallahu ‘alaihi wa Salam? Apakah al-Ikhwan dan at-Tabligh termasuk diantara kelompok (yang selamat) yang nabi Shallallahu ‘alaihi wa Salam mengabarkannya kepada kita??

Syaikh :

Tidak… tidak… al-Ikhwan al-Muslimun di dalam barisan mereka, terdapat anggota-anggotanya yang berasal dari berbagai macam kelompok. Diantara mereka ada yang syi’ah dan lain lain… oleh karena itu, tidaklah benar menyematkan kepada mereka label tunggal. Bahkan sesungguhnya kita katakan siapa saja di antara anggota-anggota mereka yang menggunakan manhaj yang menyelisihi manhaj (salaf), maka individu tersebut bukanlah termasuk al-Firqoh an-Najiyah (golongan yang selamat). Bahkan, ia termasuk golongan yang binasa. Salafiyyun sendiri… apa yang Anda fikirkan? Penilaian terhadap mereka juga dibuat pada tiap individunya masing-masing…

(Selesai)


[23]. Penisbatan kepada Safar Hawali, salah seorang  warga Negara Arab Saudi yang memiliki penyimpangan dalam masalah takfir dan memiliki buku-buku yang bernuansa politis dan isinya menuduh para ulama dengan tuduhan-tuduhan keji, semisal tidak faham waqi’ (realita), bodoh, mudah dibohongi penguasa, dan semisalnya. Dia juga menuduh Syaikh al-Albani sebagai murji’ah di dalam bukunya Zhahiratul Irja’. Dia memiliki buku yang berjudul al-Wa’du Kissinger yang dianggap fenomenal oleh pengikutnya, terutama ketika kasus “teluk” sedang panas-panasnya. Syaikh Albani di dalam kaset lain ketika ditanya tentang dirinya beliau menjawab bahwa Safar dan orang-orang yang sepemahaman dengan dirinya adalah khorijiyah ashriyah (Neo khowarij). Lihat pula pembahasan tentang Safar Hawali oleh Syaikh Abdul Malik Ramadhani di dalam kitab Madarikun Nazhor fis Siyasah.

[24]. Penisbatan kepada Muhammad Surur Zainal ‘Abidin., mantan Ikhwanul Muslimin yang beralih ke manhaj salaf namun pada akhirnya nuansa ikhwani pada dirinya masih kental. Syaikh Ahmad Yahya an-Najmi hafizhahullahu dalam al-Fatawa al-Jaliyah menyatakan bahwa pada dirinya terdapat sya’iun (sesuatu) dari sunnah dan sesuatu dari bid’ah, syaikh an-Najmi meringkas tiga kesalahan utamanya yaitu : (1) menyerukan untuk melawan penguasa kaum muslimin, (2) jihad dalam artian keluar memerangi penguasa kaum muslimin dan (3) menuduh para ulama bodoh terhadap fiqhul waqi’. Syaikh ‘Abdul Wahhab al-Washobi al-‘Abdali di dalam Isyruuna Ma’khudzan ‘alas Sururiyyah menjelaskan 20 kesalahan Muhammad Surur. Berikut ini akan kami nukilkan beberapa di antaranya :

  1. Dia (Surur) mengatakan di dalam kitab Manhajul Anbiya’ fid Da’wati ilallahi (I/8) bahwa kitab-kitab aqidah itu itu isinya banyak yang jafaf (sia-sia). Dan ucapan Surur ini ketika ditanyakan kepada Syaikh Utsaimin dan Syaikh Fauzan, mereka menjawab : “kufur”.
  2. Dia menuduh para ulama aqidah sebagai hambanya hambanya hamba dan tuan mereka yang terakhir adalah Nasrani, dikarenakan mereka adalah pendusta dan munafik. (Majalah as-Sunnah, no. 23 dan 26, terbitan al-Muntada al-Islami London; lihat pula al-Quthbiyah hiyal fitnah fa’rifuuha, karya al-Adnani, hal. 89)
  3. Dia memuji orang yang memperbolehkan seorang muslim untuk berpindah agama menjadi Yahudi dan Nasrani dan orang yang melarang untuk mengkafirkan Yahudi dan nasrani, yaitu DR. Hasan at-Turabi. Surur menyebutnya sebagai “imam”, “alim” dan “da’i besar Islam”.
  4. Dia mengkafirkan dengan sebab dosa besar sebagaimana di dalam kitabnya Manhaj ad-Da’wah : I/158.
  5. Dia menuduh Haiah Kibar al-Ulama’ (Lembaga Ulama Besar) berpemikiran Masoniyah (Freemasonry). (at-Tanbih, hal. 9).
  6. Dia membela orang yang menuduh Syaikh al-Albani sebagai Ilmani (sekuler). Dst…

[25]. Syaikh rahimahullahu di sini tidak memaksudkan untuk membela nama-nama yang disebut di atas. Namun syaikh di sini bermaksud menunjukkan fakta yang lain, yaitu mudahnya orang-orang yang berintisab dengan salafiy menuduh saudara-saudara salafiy lainnya yang melakukan satu, dua atau beberapa kesalahan yang sama dengan kesalahan surur atau safar dengan gelar-gelar sebagaimana di atas, tanpa ada nasehat, kelemahlembutan, kecintaan dan semisalnya. Bahkan mereka lebih senang untuk mentahdzir dan menggelari saudara-saudara mereka yang salah itu dengan gelar-gelar yang buruk ketimbang mereka mengajak mereka untuk kembali ke al-Haq.

Syaikh Ibrahim ar-Ruhaili hafizhahullahu berkata ketika ditanya tentang sururiyun : “Sururiyah termasuk istilah yang baru, para ulama telah berbicara tentang mereka dan tentunya ini dikembalikan kepada orang yang telah banyak meneliti, adapun globalnya mereka adalah yang menisbatkan dirinya kepada Muhammad Surur Zainal Abidin… akan tetapi tidak benar untuk menisbatkan setiap orang yang menyeleweng dalam masalah ini kepada sururiyah, terkadang seseorang itu akidahnya berada di atas aqidah ahlus sunnah dan tidak ada hubungannya sama sekali dengan mereka, tapi dia telah menyeleweng dan penyelewengannya itu masuk dalam sururiyun, maka tidak boleh kita memecah belah manusia (dengan menuduhnya sururi)… sebab jika kita menggolong-golongkan manusia dan menisbatkan mereka, maka akan sangat susah mereka kembali ke al-haq setelah itu…” (lih. Nasehat Syaikh Ibrahim ar-Ruhaili untuk Salafiyin, hari Jum’at, 12 Muharam 1422 H, yang diterjemahkan oleh Ust. Badru Salam, disebarkan oleh Majlis Ta’lim Al-Furqon, Bogor).

Jawaban syaikh ini menunjukkan bahwa betapa banyak saudara-saudara kita –yang berintisab dengan salafiyin– begitu sangat mudahnya memberi gelar kepada saudara-saudara mereka yang –mungkin- jatuh ke dalam satu, dua atau beberapa kesalahan dengan tuduhan-tuduhan dan gelar keji, semisal sururi, hizbi, turotsi, irsyadi dan semisalnya… padahal belum ada munashohah dan munadhoroh dalam masalah ini. Sehingga bukannya malah maslahat yang diperoleh, namun malah perpecahan, permusuhan dan kebencian yang didapat. Belum lagi dakwah akan semakin terhambat karena kaum hizbiyun akan bertepuk tangan dengan gembira dan menjadikannya sebagai bumerang untuk menjauhi dakwah salafiyah mubarokah ini.


Memuji Ahlul Bid’ah

Posted: 22 Juni 2010 in Kajian
Tag:

HAKIKAT BID’AH DAN KUFUR

TANYA JAWAB BERSAMA
AL-IMAM AL-MUHADDITS

MUHAMMAD NASHIRUDDIN AL-ALBANI RAHIMAHULLAHU

Penanya :

Apakah memuji ahlul bid’ah semisal at-Turabi atau orang yang semisal dengannya dibolehkan, walaupun mereka mengklaim telah berkhidmat  untuk Islam dan mereka berupaya di balik itu (untuk kemajuan Islam, pent.)??

Syaikh :

Jawabannya berbeda sesuai dengan situasi dan kondisi. Apabila maksud pujian tersebut terhadap seorang muslim yang kita duga sebagai mubtadi’, dan kita tidaklah mengatakan dia (benar-benar) mubtadi’. Setelah muhadhoroh (ceramah) yang panjang ini, kita dapat membedakan antara dua hal ini ­insya Alloh. Jika maksud pujian terhadapnya adalah dalam rangka difa’ (pembelaan) terhadap dirinya dari kaum kafir, maka hal ini adalah wajib. Namun apabila maksud pujian terhadapnya adalah untuk memperindah manhajnya dan mengajak manusia kepadanya, maka hal ini termasuk tadhlil (penyesatan) dan tidaklah diperbolehkan.

Penanya :

Apakah benar dari yang kami dengar (dari Anda) bahwa meng­­hajr mubtadi’ pada zaman ini tidak dapat diimplementasikan?

Syaikh :

Dia (penanya) bermaksud mengatakan bahwa praktek hajr tidak layak untuk diterapkan, apakah benar tidak layak diterapkan? Yang benar adalah praktek hajr memang tidak diterapkan karena mubtadi’, orang-orang fasik dan fajir (durhaka) mayoritas di zaman ini. Akan tetapi dia (penanya) ingin mengatakan tidak layak untuk diimplementasikan. Dan penanya seakan-akan memaksudkanku dengan pertanyaannya ataukah tidak memaksudkanku[21]. Maka aku katakan, “iya” keadaannya adalah demikian, tidak layak untuk diterapkan. Saya telah mengatakannya dengan jelas tadi ketika aku membuat permisalan tentang perkataan Syaami (orang Syam) : “Kamu menutup (pintu masjid) maka aku tidak sholat.”

Penanya :

Tapi (wahai syaikh), misalkan ada sebuah lingkungan, dan yang dominan di lingkungan ini adalah ahlus sunnah misalnya,  kemudian ditemukan ada sekelompok orang yang berbuat bid’ah di dalam agama Alloh Azza wa Jalla, maka apakah (hajr) diterapkan ataukan tidak?

Syaikh :

Apakah kelompok yang berbuat bid’ah itu berasal dari lingkungan itu juga??

Penanya :

Iya benar, yaitu (mereka berada) di lingkungan yang kebenaran dominan di dalamnya, kemudian muncul kebatilan atau kebid’ahan, maka pada kondisi yang seperti ini, apakah (hajr) diterapkan atau tidak???

Syaikh :

Yang wajib adalah kita harus menggunakan hikmah. Jika kelompok yang lebih kuat yang mayoritas meng­hajr kelompok yang menyeleweng –kita kembalikan kepada pembahasan yang telah lalu- apakah hal ini akan memberikan manfaat pada kelompok yang berpegang pada kebenaran ataukah malah akan mencederai (memudharatkan)nya? Ini dari satu sisi. Kemudian dari sisi lain apakah hajr yang diterapkan oleh ath-Thaifah al-Manshurah bermanfaat bagi kelompok yang di­hajr atau justru menimbulkan mudharat bagi mereka. Jawabannya telah lalu.

Tidaklah patut dalam permasalahan seperti ini kita mengambil sikap dengan hamasah (semangat) dan ‘athifah (perasaan) belaka, namun seharusnya dengan sikap hati-hati, tenang (tidak gegabah) dan penuh hikmah. Contohnya di sini adalah salah seorang dari mereka menyelisihi jama’ah, Apakah (lantas dikatakan) wahai orang yang memiliki ghirah Alloh, isolir dirinya?!!

Tidak! Namun bersikap lembutlah kepadanya, nasehati dia, tuntunlah dirinya, dan seterusnya… temanilah dirinya selama beberapa waktu, dan apabila sudah tidak bisa diharapkan lagi –ini yang pertama-, kemudian dikhawatirkan penyakitnya menular kepada Zaid, Bakr dan lainnya, maka pada keadaan seperti ini dia perlu diisolir (muqotho’ah) apabila diduga kuat bahwa muqotho’ah adalah obat yang terbaik, sebagaimana dikatakan, obat yang terakhir adalah kay.[22]


[21]. Syaikh bermaksud menegaskan pertanyaan dari penanya yang menunjukkan secara implisit bahwa penanya ragu-ragu apakah mendengar pernyataan tersebut dari syaikh Albani ataukah tidak tentang masalah penerapan hajr di zaman ini. Di sini syaikh sekaligus ingin membetulkan pertanyaan si penanya.
[22]. Kay adalah pengobatan dengan cara besi yang dipanaskan kemudian ditempelkan ke bagian tubuh yang sakit. Metode pengobatan ini adalah solusi terakhir apabila metode pengobatan lainnya tidak ampuh untuk mengobati sakit. Perlu diketahui juga, metode pengobatan ini amat sakit dan terkadang dapat membahayakan pasien yang diterapi dengan cara pengobatan ini, sehingga cara pengobatan ini perlu dihindari sebisanya, namun apabila tidak ada cara lain selain kay, maka ini adalah cara terakhir. Semisal pula dengan hajr, syaikh Albani rahimahullahu sungguh tepat sekali membuat perumpamaan hajr dengan kay ini. Apabila cara lain semisal, nasehat, bimbingan, pengarahan, kesabaran, kelemahlembutan dan lain sebagainya tidak dapat membenahi pelaku bid’ah atau maksiat, maka hajr adalah solusi terakhir di dalam membenahinya. Allohu a’lam.

Kufur

Posted: 22 Juni 2010 in Kajian
Tag:

HAKIKAT BID’AH DAN KUFUR

TANYA JAWAB BERSAMA
AL-IMAM AL-MUHADDITS

MUHAMMAD NASHIRUDDIN AL-ALBANI RAHIMAHULLAHU

Diriwayatkan oleh dua sahabat besar Nabi, Abu Sa’id al-Khudri dan Hudzaifah bin al-Yaman –Radhiyallahu ‘anhuma– mereka berkata, bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Salam bersabda :

Dahulu pada zaman orang-orang sebelum kalian, ada seorang lelaki yang sedang sekarat, lalu ia mengumpulkan anak-anaknya di sekelilingnya. Ia berkata kepada mereka, “Bapak seperti apakah aku ini di mata kalian?” mereka menjawab, “sebaik-baik bapak”. Dia melanjutkan, “Sesungguhnya aku belum pernah berbuat kebajikan sekecil apapun, jika Alloh menakdirkanku maka Ia akan menyiksaku dengan siksa yang amat keras. Jika aku mati, bawalah mayatku dan bakarlah dengan api kemudian sebagian debunya hamparkan di atas lautan dan sebagian lagi biarkan diterpa angin.” Lalu diapun mati. Anak-anaknya kemudian membakarnya dan membiarkan separuh debunya diterpa angin dan separuhnya lagi dihamparkan di lautan. Alloh Azza wa Jalla lalu berfirman kepada debunya yang beterbangan di udara, “jadilah fulan” maka ia pun menjadi fulan. Alloh Azza wa Jalla lalu berfirman kepadanya, “hai hambaku, apa yang menyebabkanmu berbuat demikian?” ia menjawab, “Rabbku, sesungguhnya (Engkau telah tahu) aku melakukannya karena takut kepada-Mu.” Alloh berfirman lagi kepadanya, “pergilah, karena Aku telah mengampunimu.”

Ada sebuah pertanyaan, apakah lelaki itu kufur dengan ucapannya, “Apabila Alloh menakdirkanku…” ataukah ia tidak kufur? Iya, dia telah kufur, namun Alloh mengampuninya.

Kita telah tahu pula dari al-Qur’an al-Karim bahwa Alloh tidak akan mengampuni dosa syirik dan akan mengampuni dosa selainnya kepada siapa saja yang dikehendaki-Nya[20]. Bagaimana kita memahami hadits ini sebagai penerang makna yang jelas dari al-Qur’an? (Maknanya) yaitu bahwa Alloh takkan mengampuni dosa syirik yang disengaja. Bagaimana menurut Anda syarat (disengaja) ini? Ini benar. Namun apakah ada syarat ini di dalam ayat tadi? Tidak, tidak ada… lantas dari mana kita memperoleh (syarat) ini?? Ini dari syariat. Hal ini tadi diambil hanya dari satu buah hadits atau satu buah ayat saja, namun hal ini diambil dari kombinasi antara keduanya yang berkaitan dengan permasalahan.

Maka dari itu, bukan hanya dalam pembahasan fikih saja dibutuhkan kombinasi dari seluruh nash yang berkaitan hingga kita mengetahui mana nash yang nasikh dan yang mansukh, mana yang ‘am (umum) dari yang khash (khusus), mutlak dan muqoyyad, dan lain lain… Bahkan sebenarnya, hal ini lebih diperlukan di dalam masalah aqidah.

Ketika para ulama menjelaskan ayat,

Sesungguhnya Allah tidak akan mengampuni dosa syirik dan Dia mengampuni segala dosa yang selain dari (syirik) itu, bagi siapa yang dikehendaki-Nya. Barangsiapa yang mempersekutukan Allah, maka sungguh ia telah berbuat dosa yang besar. ” (QS An-Nisa’ : 48)

mereka biasanya tidak sampai sedetail ini di dalam memahaminya karena masalah ini cukup jelas bagi mereka sehingga tidak memerlukan lagi tafshil (detail) yang seperti ini. Namun ketika musykilah (problematika) dan perkara yang membingungkan muncul pada saat ini, maka diperlukan ulama yang alim yang menjelaskannya sebatas ilmu yang ia miliki. Jadi orang yang membuat permohonan ini (yang disebutkan di dalam hadits di atas, pent.) tidak membayangkan bahwa permohonannya tersebut mengandung kesalahan dan kesesatan yang tiada bandingannya. Ia meminta supaya dirinya dibakar dalam rangka untuk bersembunyi dari tuhannya, padahal Alloh Subhanahu berfirman : “ Dan ia membuat perumpamaan bagi Kami; dan dia lupa kepada kejadiannya; ia berkata:

Dan ia membuat perumpamaan bagi Kami; dan dia lupa kepada kejadiannya; ia berkata:Siapakah yang dapat menghidupkan tulang belulang, yang Telah hancur luluh?” Katakanlah: “Ia akan dihidupkan oleh Tuhan yang menciptakannya kali yang pertama. dan dia Maha mengetahui tentang segala makhluk.” (QS Yasin : 78-79)

Namun setelah itu tuhan kita mengampuninya. Mengapa? Karena kekufuran tidak merasuk ke dalam hati orang itu. Hal ini dikarenakan ia membayangkan dosa-dosanya dan rasa takutnya kepada Alloh apabila ia bertemu dengan-Nya, bahwa Alloh akan mengadzabnya dengan siksa yang amat pedih. Rasa takut dan kekhawatirannya membutakan dirinya dari aqidah yang shahih sehingga ia membuat permohonan tersebut. Dan hadits ini jelas (menunjukkan ampunan Alloh, pent.) dimana Alloh Ta’ala berfirman kepadanya, “Pergilah karena Aku telah mengampunimu”.

Tidak sepatutnya kita membayangkan bahwa Sayyid Quthb terjerumus kepada Wahdatul Wujud (Pantheisme) sebagaimana Ibnu ‘Arabi  -misalnya-, bahwasanya dirinya, yakni Sayyid Quthb, bermaksud demikian  dan hatinya terikat atasnya, sebagaimana Ibnu ‘Arabi yang telah menyesatkan jutaan kaum muslimin shufiyin dan lain lain. Mungkin… masih tertinggal pemahaman sufi yang terdetik di dalam benaknya atau terbesit di dalam hatinya ketika ia masih dipenjara, sedangkan dia tidak memiliki ilmu yang sempurna tentang hal ini. Kemudian ia menulis suatu pernyataan yang mana akulah orang pertama yang mengkritisinya.

Kita tidak bisa menghukuminya sebagai kafir, karena kita tidak tahu apakah kekufuran telah merasuk ke dalam hatinya atau hujjah (bukti) akan kesalahan tulisan atau pemikirannya telah dijelaskan padanya, terutama pada saat dirinya dipenjara. Aku tidak berfikir bahwa hal itulah masalahnya. Oleh karena itu, kita tidak bisa mengaitkan antara seorang muslim yang melakukan kekufuran dengan orang yang benar-benar kafir semenjak awalnya. Kita tidak mengaitkan dua hal ini sekaligus. Ini yang pertama. Dan tahdzir (peringatan) akan hal ini telah berulang-ulang. Dan tentu saja -yang kedua-, kita tidak membedakan antara bid’ah di dalam aqidah dan bid’ah di dalam ibadah, karena adakalanya keduanya merupakan kesesatan dan adakalanya merupakan kekufuran. Mungkin jawaban ini sudah cukup wahai Abu Abdurrahman…?

HAKIKAT BID’AH DAN KUFUR

TANYA JAWAB BERSAMA
AL-IMAM AL-MUHADDITS

MUHAMMAD NASHIRUDDIN AL-ALBANI RAHIMAHULLAHU

Penanya :

Beberapa orang mengatakan bahwa siapa saja yang melakukan bid’ah mukaffirah maka ia keluar dari lingkaran ahlus sunnah dan siapa saja yang melakukan bid’ah mufassiqoh, maka ia tidak keluar dari lingkaran ahlus sunnah, walaupun hujjah telah ditegakkan atasnya dan orang itu masih tetap bersikeras melanjutkan kebid’ahannya. Apakah orang yang demikian ini masih dianggap sebagai pengikut ahlus sunnah?

Syaikh :

Apa maksudnya bid’ah mukaffirah dan bid’ah ghoyr mukaffirah???

Penanya :

Bid’ah mukaffirah adalah suatu bid’ah dimana seseorang yang mengucapkan suatu perkataan kufur, seperti mengatakan bahwa Alloh tidak beristiwa’ di atas Arsy-Nya atau perkataan yang semisal dengan itu. Adapun bid’ah mufassiqoh adalah seperti bid’ah-bid’ah di dalam ibadah, semisal maulid dan sebagainya…

Syaikh :

Pernyataan ini tidak benar. Pernyataan ini berangkat dari ilmu kalaam (theologi). Pembagian antara bid’ah dalam hal ushul dan furu’ atau bid’ah dalam ahkam atau ibadah, adalah pembagian yang bid’ah. Bagaimana (menurut Anda) jika seandainya ada seseorang yang melaksanakan sunnah Nabi Shallallahu ‘alaihi wa Salam seperti (sholat) sunnah Fajr, namun dia melaksanakannya sebanyak empat raka’at. Termasuk manakah bid’ah ini diklasifikasikan? Bid’ah mufassiqoh-kah atau mukaffiroh-kah apabila ia membuat bid’ah empat raka’at dan ia tetap bersikeras melakukannya (setelah ditegakkan hujjah atasnya, pent.)???

Penanya :

Berdasarkan penjelasan mereka, hal ini termasuk bid’ah mufassiqoh.

Syaikh :

Ini adalah pernyataan yang bathil (salah). Di antara perkara-perkara yang diwarisi oleh para kholaf –generasi yang terkemudian dari salaf-, istilah salaf di sini yang kumaksudkan adalah makna yang berbeda dengan makna teknis yang telah diketahui diantara kita, adalah adanya taqsim (pembagian) antara kesalahan di dalam furu’ dan di dalam ushul. Suatu kesalahan di dalam furu’ dimaafkan sedangkan kesalahan di dalam ushul tidak termaafkan.

Ada sebuah hadits shahih yang telah ma’ruf (dikenal), yaitu : “Apabila seorang hakim memutuskan suatu hukum dan ia berijtihad dan apabila ijtihadnya benar maka baginya dua pahala, dan apabila salah maka baginya satu pahala.” Hadits ini (oleh mereka) difahami jika salahnya dalam masalah furu’, namun apabila salah dalam masalah ushul maka kesalahannya tak terampuni. Pembagian semacam ini tidak memiliki dasar, baik dari al-Qur’an, as-Sunnah maupun ucapan as-Salaf ash-Shalih. Yang ada di dalam ucapan para as-Salaf ash-Shalih adalah sebuah peringatan yang keras terhadap segala bentuk bid’ah secara umum, baik di dalam masalah aqidah maupun ibadah.

Telah kusebutkan tadi di awal, bahwa barangsiapa yang menuduh seorang muslim kafir, maka dirinya sendiri yang kafir (apabila tuduhannya tidak benar, pent.), dan telah saya tambahkan pula, bahwa barangsiapa yang menuduh seorang muslim sebagai mubtadi’ maka ia sendiri yang mubtadii’, karena pada hakikatnya, tidak ada perbedaan bagiku antara kekufuran dan kebid’ahan[19]

Apabila seorang muslim mulai melakukan kebid’ahan dan telah dijelaskan akan hakikat kebid’ahan yang ia amalkan namun ia masih bersikeras melakukannya –sebagaimana contoh yang telah kukemukakan sebelumnya- maka hal ini sama dengan seseorang yang mengingkari istiwa’-nya Alloh di atas Arsy atau mengingkari al-Qur’an adalah Kalamullah. Tidak ada bedanya antara yang tadi dengan yang ini sedikitpun, tidak secara positif dan tidak pula secara negatif. Jika secara positif, maka ia telah kufur dengan syarat yang telah disebutkan dan telah ditegakkan hujjah atasnya. Sedangkan jika secara negatif, maka tidak ada takfir (vonis kafir) –tidak dalam hal ini dan tidak pula dalam hal tersebut- kecuali dengan syarat yang telah disebutkan.

Kembali ke pembahasan, sesungguhnya mu’tazilah dan khowarij memiliki titik temu yang sama dalam beberapa penyimpangannya dan berselisih dalam beberapa hal lainnya. Contohnya, khowarij dan mu’tazilah sama-sama menyatakan al-Qur’an itu makhluk… namun, para muhadditsun (ulama ahli hadits) tidak ada satupun yang mengkafirkan khowarij. Jadi, bagaimana caranya kita menyatukan dalam benak kita bahwa orang yang mengingkari aqidah adalah kafir sedangkan orang yang melakukan kebid’ahan adalah fasiq?? Kita perhatikan, bahwa para imam ahli hadits meriwayatkan dari orang-orang khowarij dan mu’tazilah padahal mereka menyimpang dari aqidah yang shahih dalam beberapa perkara masalah. Mereka misalnya, mengatakan bahwa Kalamullah adalah makhluk, mereka juga mengingkari ru’yatullah (melihat Alloh) di akhirat kelak. Pengingkaran tersebut, dan pengingkaran mereka yang sebelumnya –berdasarkan definisi sebelumnya- layak untuk ditetapkan kepada mereka, yaitu kafir. Namun… tidaklah setiap orang yang terjerumus kepada kekufuran maka ia dengan serta merta menjadi kafir.

Bagaimana cara kita mengkompromikan ketika kita mendapati para imam ahli hadits dan imam salaf semisal Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah dan (muridnya, pent.) Ibnul Qoyyim menvonis sesat kepada khowarij dan mu’tazilah, namun tidak menvonis mereka kafir?? Hal ini –menurut mereka- karena ada beberapa kemungkinan, yaitu : pertama, perkara tersebut penuh dengan syubuhat, dan yang kedua, hujjah belum sampai kepada mereka. Kita kembali kepada pokok permasalahan, taruhlah mereka adalah ahlul bid’ah… namun kita tidak tahu apakah mereka sengaja bermaksud melakukan bid’ah tersebut??? Dan apakah hujjah telah ditegakkan atas mereka?? Dan lain lain…

Inilah manhaj ulama di dalam menghukumi kesesatan mu’tazilah, kesesatan khowarij, kesesatan asy’ariyah dalam berbagai masalah, namun mereka semua tidak sampai mengkafirkan mereka, karena adanya kemungkinan yang telah kami sebutkan tadi. Hal ini berkisar pada dua hal, yaitu : Pertama, mereka tidak bermaksud membuat bid’ah dengan sengaja dan tanpa bermaksud menyelisihi sunnah. Kedua, kita tidak tahu apakah telah ditegakkan hujjah kepada mereka ataukah belum?, jadi hisab (perhitungan) mereka adalah kembali kepada Alloh, karena kita hanya menilai dari yang zhahir (tampak) bahwa mereka adalah kaum muslimin dan mati dalam keadaan Islam serta dikuburkan di pekuburan kaum muslimin.

Jadi… membedakan antara bid’ah mukaffiroh dan bid’ah mufassiqoh adalah : pertama, ini termasuk perbedaan istilah yang dikembangkan oleh ahli kalam, dan kedua, tidak ada dalil yang menunjukkan pembagian ini sama sekali.


[19]. Bukanlah maksud Syaikh rahimahullahu di sini adalah menyamakan antara bid’ah dan kafir. Namun yang syaikh rahimahullahu maksudkan adalah tidak ada bedanya implikasi antara takfir (vonis kafir) dengan tabdi’ (vonis mubtadi’). Apabila vonis tersebut tidak benar, maka orang yang melemparkan vonislah yang dapat menjadi kafir atau mubtadi’. Sehingga tidak ada bedanya masalah takfir dan tabdi’. Inilah yang dimaksudkan oleh syaikh. Wallahu a’lam.

Tarahum Terhadap Para Imam

Posted: 22 Juni 2010 in Kajian
Tag:

HAKIKAT BID’AH DAN KUFUR

TANYA JAWAB BERSAMA
AL-IMAM AL-MUHADDITS

MUHAMMAD NASHIRUDDIN AL-ALBANI RAHIMAHULLAHU

Penanya :

Untuk melengkapi manfaat dari pembahasan kita ini, yaitu pembahasan yang berkaitan dengan sejumlah pertanyaan yang telah diajukan hari ini, saya akan menyebutkan tentang ucapan mereka (para pemuda yang ghuluw, pent.) ketika kami dinasehati bahwa kami tidak seharusnya bertarahum terhadap mereka (para imam yang disebutkan di pertanyaan pertama, pent.), tarahum terhadap mereka tidak wajib namun hanya suatu hal yang mubah (diperbolehkan). Kami tidak mengharamkan tarahum terhadap mereka. Hanya saja kami menghindari bertarahum terhadap mereka dalam rangka untuk menjauhi segala bentuk pujian atau tazkiyah terhadap ahlul bid’ah.

Lalu, tentang orang-orang yang tidak kami nyatakan sebagai ahlul bid’ah, kami hanyalah tidak memuji mereka dan menyebut mereka sebagai imam atau ulama terkemuka. Sebagai contoh jika ada sebuah perkataan disandarkan kepada an-Nawawi, maka kami tidak mengatakan “imam Nawawi berkata”… atau bahkan mereka (para pemuda yang ghuluw tadi, pent.) menghindari dari mengambil riwayat dari beliau atau menukil ucapan beliau ataupun bahkan menisbatkan suatu pernyataan kepada beliau.

Beberapa ikhwan meriwayatkan dari riwayat yang berasal dari orang-orang ini, dan dikatakan kepadanya, “bagaimana bisa Anda meriwayatkan dari orang-orang ini? Orang yang terakhir disebutkan tidaklah sama dengan orang yang pertama (disebutkan di dalam pertanyaan pertama tadi, pent.) seperti Ibnu Hajar dan an-Nawawi, tapi (mereka) semisal Sayyid Quthb atau Muhammad Quthb”. Mereka berkata, “Bagaimana bisa Anda mengambil riwayat dari orang-orang ini padahal Anda telah tahu secara pasti bahwa mereka ini bukanlah salafiyin? Jadi… Anda sebagai seorang salafiy, apabila Anda turut mengambil riwayat dari mereka, maka Anda telah memuji mereka dan memberikan tazkiyah kepada orang-orang yang bukan salafiyin. Hal ini merupakan cara yang menyebabkan para pemuda yang masih baru (belajar) menjadi bingung dan tertipu mengenai orang-orang ini, atau mungkin dapat menyebabkan para pemuda ini menjadi seperti mereka di dalam kebid’ahan dan penyimpangan mereka serta jauh dari manhaj yang haq!!!”

Bagaimana komentar Anda –wahai Syaikh terhadap pernyataan ini???

Syaikh :

Saya tidak yakin bahwa ini adalah maksud mereka, ini yang pertama. Yang kedua, jika ini memang benar maksud mereka, (maka aku tidak percaya) bahwa ini adalah ushlub (cara) yang diterima di dalam mentarbiyah umat atau menyadarkan mereka. Orang-orang yang Anda sebutkan ini, apakah mereka membaca Fathul Bari’ atau tidak?? Jika mereka membacanya maka mereka telah salah, namun jika mereka mengatakan, “kami tidak membacanya” maka dari manakah mereka akan mendapatkan pemahaman tentang Shahih al-Bukhari??? Baik itu syarh (penjelasan) mengenai fikih, perbedaan pendapat, ilmu mustholah-nya dengan seluk beluknya baik dari segi istilah ataupun pemahamannya… mereka tidak akan menemukan seorang pensyarh Shahih al-Bukhari di manapun di dunia ini sebagai salafiy menurut definisi yang mereka miliki. Sekalipun ada, itu hanyalah syarh singkat tentangnya.

Karena “samudera ilmu yang luas” (al-Baari`) ini membuka (fath) bagi penulis Fathul Bari’, dan tidaklah ditemukan suatu buku apapun yang sepadan dengannya (Fathul Bari`). Dengan demikian, mereka bakal  rugi dan kehilangan sebagian besar ilmu, apabila mereka memaksudkan untuk mentahdzir (memperingatkan) umat supaya mau menjauhinya, yang mana hal ini menyebabkan mereka tidak dapat mengambil manfaat dari penjelasan para a`immah dan ulama’ yang besar ini, sehingga mereka telah kehilangan ilmu. Padahal sangat mungkin bagi mereka untuk menghimpun perkara yang benar dan menghindari perkara yang berbahaya atau menyimpang darinya, sebagaimana cara yang ditempuh oleh para ulama.

Tak ada satupun ulama setelah masa Ibnu Hajar al-Asqolani atau an-Nawawi yang dapat memahami Shahih Bukhari dan Shahih Muslim tanpa beristifadah (memetik faidah) dari Syarh mereka berdua. Para ulama banyak yang ber­istifadah dari kedua buku kedua ulama besar ini pada sebagian besar permasalahan, padahal (mereka tahu) keduanya terpengaruh pemahaman Asy’ariyah dan menyelisihi manhaj as-Salaf ash-Shalih dalam hal ini. Namun mereka (para ulama tersebut) dapat mengambil ilmu dari kedua buku ini dengan cara mengambil ilmunya yang benar dan bermanfaat dan meninggalkan yang salah. Saya khawatir akan ucapan-ucapan mereka (para pemuda yang ghuluw, pent.) –yang telah disebutkan tadi- bahwa ada suatu tahdzir untuk mengambil manfaat dari buku-buku mereka, yang mana hal ini adalah suatu kerugian yang sangat besar sekali…

Jika mereka mengatakan, “tidak, kami juga beristifadah dari buku-buku mereka, kami membacanya dan mempelajarinya!”, kalau begitu, apa manfaat manhaj mereka tadi? Yang mana mereka melarang bertarahum terhadap para ulama ini, padahal para ulama ini adalah jelas-jelas muslim sebagaimana yang telah kami utarakan di awal pembahasan tadi. Lebih jauh lagi, apa manfaatnya ucapan mereka, “kami tidak melarang tarahum terhadap para ulama ini namun hanya saja kami tidak mau melakukannya”. Mengapa? “Karena mereka melakukan kebid’ahan.”

Padahal telah kami paparkan di muka tadi, bahwa tidaklah setiap orang yang membuat suatu kebid’ahan maka dengan serta merta ia dianggap mubtadi’ dan tidak pula setiap orang yang melakukan perbuatan kufur dengan serta merta ia menjadi kafir. Bagi orang tersebut (para pelaku bid’ah), kebid’ahan adalah suatu hal yang masih terselubungi dengan syubuhat (kesamaran) dan lainnya, kekufuran juga masih syubuhat atas mereka. Oleh karena itu, perbuatan ini bukanlah suatu perbuatan yang jelas bid’ah atau kufur (di mata mereka). Dengan demikian, menyebut mereka begitu (mubtadi’ atau kafir) sebagai bentuk pencegahan tidaklah bermanfaat.

Selanjutnya, wahai ikhwan salafiyin –yang kholafiy-,[18] apakah para ulama yang kita mewarisi dakwah sholihah ini dari mereka, apakah begini ini sikap mereka terhadap ulama?!! Ataukah ini merupakan sikapnya jama’ah baru yang mengklaim sebagai salafiyin?! Yang benar adalah kebalikannya! Mereka seharusnya seperti para salaf (pendahulu) kita di dalam menempuh dakwah yang shalihah ini.


[18]. Maksudnya Syaikh berkata demikian adalah ‘orang-orang kholaf (kontemporer) yang meniti manhaj salaf’, atau mungkin syaikh bermaksud bahwa banyaknya orang-orang yang mengaku sebagai salafi namun pada hakikatnya adalah kholafi. Allohu a’lam.

Kesesatan Jahmiyah

Posted: 22 Juni 2010 in Kajian
Tag:,

HAKIKAT BID’AH DAN KUFUR

TANYA JAWAB BERSAMA
AL-IMAM AL-MUHADDITS

MUHAMMAD NASHIRUDDIN AL-ALBANI RAHIMAHULLAHU

Penanya :

Benar wahai syaikh.

Syaikh :

Lantas, bagaimanakah kita menjawab ucapan Imam Ahmad yang mengatakan, “barang siapa yang mengatakan bahwa bacaan al-Qur’an adalah makhluk, maka ia adalah seorang jahmiy”? Apa yang kita katakan terhadap ucapan ini? Tidak ada jawaban melainkan dengan apa yang telah kusebutkan pada kalian sebelumnya, yaitu hal ini bermakna sebagai peringatan terhadap kaum muslimin untuk menjauhi ucapan yang dapat digunakan oleh ahlul bid’ah dan para pengikut kesesatan –jahmiyah– untuk menjajakan pemahamannya. Hal ini dikarenakan seseorang boleh jadi mengatakan “bacaan al-Qur’anku adalah makhluk” dalam rangka menjebak orang-orang yang ada di sekitarnya, dengan maksud bahwa al-Qur’an itu sendirilah yang makhluk.

Namun, tidak mesti setiap orang yang mengatakan demikian –“bacaan al-Qur’anku adalah makhluk” memiliki maksud yang sama buruknya, sebagaimana ucapan Imam Bukhari tadi, yang mana beliau tidak perlu tazkiyah (pujian) dari kita karena Alloh Subhanahu wa Ta’ala sendiri yang telah melakukannya (memujinya, ed.) dengan menjadikan bukunya sebagai buku yang diterima menurut kesepakatan kaum muslimin setelah kitabullah terhadap segala perkara yang mereka perselisihkan di tengah-tengah mereka.

Oleh karena itu, ketika beliau mengatakan “bacaan al-Qur’anku adalah makhluk”, maka sesungguhnya yang beliau maksudkan adalah maksud yang benar. Sedangkan Imam Ahmad, beliau mengatakan perkataan yang keluar dari rasa takut beliau, yaitu ‘barangsiapa yang mengatakan demikian dan demikian maka ia adalah demikian’, maka yang beliau maksudkan adalah sebuah bentuk peringatan bukan suatu prinsip keimanan… prinsip keimanan yang jika ada orang mengatakan demikian dan demikian maka ia adalah seorang jahmiy. Apabila kita dapatkan ada sebagian pernyataan sebagian ulama salaf yang menghukumi seseorang yang jatuh kepada kebid’ahan sebagai mubtadi’, maka pernyataan ini harus diambil dari sudut pandang bahwa pernyataan tersebut adalah suatu bentuk peringatan, bukan suatu pernyataan I’tiqodiyah.

Mungkin, layak kiranya saya sebutkan suatu kejadian tentang ucapan Imam Malik yang telah ma’ruf (diketahui) dengan baik, ketika beliau ditanya ‘bagaimana istiwa’ (bersemayam)-nya Alloh?’ beliau berkata, “Istiwa’ itu telah ma’lum (diketahui maknanya), kaifiat (bentuk)-nya tidak diketahui dan mempertanyakan tentang kaifiyatnya adalah bid’ah serta mengimani (maknanya) adalah wajib. Usir orang ini karena dia adalah seorang mubtadi’!!!”. Riwayat terkenal ini terjadi ketika seseorang datang kepada Imam Malik dan menanyakan tentang kaifiyat istiwa’ Alloh. Imam Malik menjawab, “Istiwa’ itu telah ma’lum (diketahui maknanya), kaifiat (bentuk)-nya tidak diketahui dan mempertanyakan tentang kaifiyatnya adalah bid’ah serta mengimani (maknanya) adalah wajib. Usir orang ini karena dia adalah seorang mubtadi’!!!”. Penanya ini tidak dengan serta merta menjadi seorang mubtadi’ hanya dengan sekedar bertanya tentang hal ini. Imam Malik ingin memahamkan orang ini bahwa ia telah menyelisihi prinsip-prinsip aqidah salaf dengan mempertanyakan hakikat sifat-sifat Alloh. Makanya beliau memerintahkan untuk mengusir orang tersebut dari majlisnya, “Usirlah karena dia adalah seorang mubtadi’!!!”.

Perhatikanlah, bagaimana maksudnya berbeda… apa yang akan Anda fikirkan seandainya saya atau ulama lainnya ditanya tentang hal yang sama oleh kaum muslimin yang awam ataupun suatu kelompok tertentu dari kaum muslimin yang lebih berilmu, apakah menurut Anda kami harus memberi jawaban sebagaimana yang diberikan oleh Imam Malik? Apakah kita akan mengatakan kepada orang-orang untuk mengeluarkan dia dari majlis kita karena menganggap dia seorang mubtadi’?? tidak!!! Karena masanya berbeda.

Jadi, metode yang digunakan di  masa itu (Imam Malik, pent.) adalah diterima namun tidak diterima di masa sekarang ini. Karena menerapkan metode itu di zaman ini akan lebih mendatangkan madharat daripada maslahat. Kami dapat tambahkan dalam pembahasan ini mengenai prinsip muqotho’ah (isolir) atau hajr (boikot) yang telah dikenal di dalam Islam. Kami sering ditanya ini dan itu, ada seorang teman yang tidak sholat, merokok dan melakukan ini dan itu, apakah kita boikot dirinya? Saya katakan, tidak!! Anda jangan memboikotnya, karena boikotmu adalah hal yang ia inginkan darimu dan boikotmu takkan mendatangkan kemaslahatan bagi dirinya. Bahkan kenyataannya adalah hal yang sebaliknya, boikotmu akan menyebabkan dirinya gembira dan ia dapat lebih leluasa meneruskan penyimpangannya.

Tidak jauh berbeda dengan hal ini adalah ucapan seorang Syaami (dari negeri Syam) berkenaan tentang adanya seorang fasik yang gemar meninggalkan sholat. Orang ini kemudian bertaubat dan akan melaksanakan sholat di Masjid untuk kali pertama, namun hanya karena ia mendapatkan pintu masjid terkunci, ia berkata, “pintunya tertutup, maka aku tidak jadi sholat”.

Orang fasik yang meninggalkan sholat ini, apakah ia ingin seorang muslim yang ta’at memboikotnya?? Hal ini serupa dengan misal ucapannya, “pintunya tertutup, maka aku tidak jadi sholat”, orang yang diboikot pun akan mengatakan hal yang serupa, “aku tidak perlu persahabatannya, aku tidak menghendaki bersama dengannya.” Hal ini dikarenakan persahabatan orang yang shalih dengan orang yang fasik akan mencegah diri si fasik bebas melakukan apa yang ia kehendaki nantinya, sedangkan orang fasik ini tidak menghendaki hal ini (ia tidak bebas melakukan kehendaknya, pent.). Jadi, boikot terhadap orang yang tidak shalih oleh orang yang shalih adalah hal yang diinginkan oleh orang yang tidak sholih tadi.

Oleh karena itu, hukum boikot di dalam Islam dimaksudkan untuk memenuhi suatu kemaslahatan, yaitu mendidik orang tersebut. Jadi, jika boikot tidak lagi memberi dia pelajaran, namun malah menambah kesesatannya, maka dalam kondisi seperti ini, boikot tidaklah tepat dan pas untuk diterapkan. Dengan demikian, tidaklah tepat meniru metode yang digunakan oleh para ulama terdahulu pada hari ini, sebab mereka (para ulama terdahulu, pent.) dapat melakukan demikian dikarenakan posisi dan kekuatan yang mereka miliki dan adanya kemampuan untuk menanggulangi (kemaksiatan ataupun kebid’ahan, pent.).

Saat ini, lihatlah bagaimana keadaan kaum muslimin kini… mereka lemah dalam segala hal, tidak hanya dari sektor pemerintahan namun juga dari segi individunya. Keadaan ini, sebagaimana yang telah digambarkan oleh Nabi Shallallahu ‘alaihi wa Salam ketika beliau bersabda, “Islam bermula dalam keadaan asing dan akan kembali menjadi asing  sebagaimana permulaannya, maka berbahagialah orang-orang yang asing (ghurobaa’)”, beliau ditanya, “siapakah ghuroba’ itu wahai Rasulullah?”, beliau menjawab, “mereka adalah orang-orang yang shalih di tengah-tengah orang banyak, orang-orang yang menyelisihi mereka lebih banyak daripada yang mengikuti mereka.” (HR Muslim).

Jadi, jika kita membuka pintu pemboikotan dan mudah menvonis manusia sebagai mubtadi’, maka sebaiknya kita pergi dan menyepi di gunung-gunung. Karena yang wajib bagi kita sekarang adalah berdakwah mengajak ke jalan Rabb kita dengan cara yang hikmah dan mau`idhoh (pelajaran) yang baik serta jidal (berdiskusi) dengan mereka dengan cara yang lebih baik.[17]

HAKIKAT BID’AH DAN KUFUR

TANYA JAWAB BERSAMA
AL-IMAM AL-MUHADDITS

MUHAMMAD NASHIRUDDIN AL-ALBANI RAHIMAHULLAHU

Kita memiliki tiga sesi pertemuan yang berbeda. Sesi pertama terjadi di antara waktu maghrib dan isya’ dan mereka menolak sholat bersama kami –salafiyun-. Mereka berkata tentang diriku, “kami tidak bersandar (tidak mengakui, pent.) pada buku-bukumu”, oleh karena itulah mereka tidak mau sholat di belakangku. Kenapa??? Karena kami tidak melakukan takfir (menvonis kafir) terhadap orang-orang yang mereka kafirkan. Ini dalam pertemuan pertama.

Pertemuan kedua terjadi di hadapan pemimpin mereka dan diskusi berlangsung hingga tengah malam. Untungnya –alhamdulillah– dengan diskusi ini mulai tampak tanda-tanda kebaikan pada mereka, dimana mereka sedikit demi sedikit mulai menerima dakwah kita yang menyeru kepada al-Haq ini. Jadi, ketika kami memberitahukan bahwa kami akan melakukan sholat malam pada paruh malam terakhir, mereka mau sholat di belakang kami. Ini terjadi pada pertemuan kedua.

Adapun pertemuan ketiga… diskusi ini berlangsung mulai ba’da sholat isya’ sampai adzan fajar. Pertemuan ini adalah pertemuan yang menentukan dan semenjak saat itulah mereka senantiasa menyertai kami, selama hampir dua belas tahun, alhamdulillah. Semua ini terjadi disebabkan oleh syubuhat belaka yang berangkat dari dangkalnya pemahaman mereka terhadap Kitabullah dan as-Sunnah.

Mungkin Anda dapat memahaminya wahai al-Akh Khalid (saudara penanya, pent.), bahwa fiqh (pemahaman) al-Qur’an dan as-Sunnah tidaklah mudah di zaman kita sekarang ini, terlebih setelah kita mewarisi beraneka ragam madzhab yang beraneka ragam dan banyaknya aliran-aliran di dalam aqidah sebagaimana beranekaragamnya aliran-aliran (madzahib) di dalam fiqh.

Oleh karena itulah, seorang penuntut ilmu pemula tidak akan mampu menuntun diri mereka sendiri kepada akar dari segala perselisihan ini, kecuali hingga ia melewati waktu yang cukup panjang di dalam mempelajari –apa yang disebut dengan- al-Fiqh al-Muqooron (fikih perbandingan madzhab) dan mempelajari pula dalil-dalil mereka yang berbeda-beda dalam ushul dan furu’nya yang berasal dari berbagai kelompok madzhab.

Pada hakikatnya, perkara ini memerlukan waktu yang panjang, ini yang pertama. Dan yang kedua, hal ini memerlukan taufiq dari Alloh Rabbul ‘Alamin, sebelum Alloh mengizinkan seorang muslim untuk mengaktualisasikan do’a yang ditinggalkan oleh Rasulullah sebagai suatu sunnah yang patut kita teladani. Beliau Shallallahu ‘alaihi wa Salam biasa membaca do’a ini di sebagian sholat malam beliau, yaitu : Allahumma ihdinii fiima-khtulifa fiihi minal haqqi biidznika innaka laa tahdii man tasyaa’u ilaa shiroothol mustaqiima (“Ya Alloh, tunjukilah saya kepada yang benar dari apa-apa yang diperselisihkan manusia dengan izin-Mu. Sesungguhnya Engkau menunjuki siapa saja yang Engkau kehendaki kepada jalan yang lurus”).

Karena semua inilah, kami menasehatkan kepada para pemuda kami yang sedang tumbuh sekarang, yang berada di atas madzhab al-Qur’an dan as-Sunnah, agar mereka tidak boleh tergesa-gesa dan mau merenungkan masalah ini secara lebih mendalam, dan tidak menghukumi hanya semata-mata dari dhahir teks semata. Hal ini dikarenakan, tidak selayaknya seorang muslim berhenti pada setiap makna yang tampak lahiriah (dhahir) semata, atau jika tidak, kita akan menjadi bingung terhadap ilmu yang tidak akan ada habisnya…

Saya rasa Anda pasti tahu bahwa madzhab yang terdekat dengan al-Qur’an dan as-Sunnah adalah madzhabnya ahlul hadits. Andapun tahu bahwa para ulama hadits mendasarkan periwayatannya kepada beberapa mubtadi’ selama mereka tsiqoh, jujur dan kuat hafalannya. Ini menunjukkan bahwa para ulama hadits tidak menganggap mereka termasuk golongan kafir atau golongan yang kita diharamkan bertarahum kepada mereka. Namun kenyataannya, ada ulama-ulama terkenal yang diikuti saat ini dan tidak diragukan lagi akan keutamaannya, dan mereka dianggap sebagai ulama yang ‘alim, walaupun demikian mereka menyelisihi al-Qur’an dan as-Sunnah serta menyelisihi as-Salaf as-Shalih dalam beberapa hal.

Yang kumaksudkan, sebagai contohnya adalah, an-Nu’man bin Tsabit Abu Hanifah rahimahullahu yang menyatakan bahwa iman tidak bertambah dan tidak pula berkurang.[11] Beliau juga mengatakan, tidak boleh bagi seorang mukmin mengatakan “saya mukmin insya Alloh”. Jika orang tersebut mengatakan demikian –“saya mukmin insya Alloh”- maka ia bukanlah seorang muslim. Tidak ragu lagi ini adalah pendapat yang baru –bid’ah- di dalam agama[12], karena pendapat ini menyelisihi al-Qur’an dan as-Sunnah. Kendati demikian, beliau tidaklah bermaksud mengutarakannya sebagai kebid’ahan, namun beliau berusaha mencari al-Haq namun beliau tergelincir (kepada kebid’ahan ed.).

Oleh karena itulah, membuka jalan keragu-raguan kepada para ulama –baik salaf maupun kholaf– adalah menyelisihi jalannya orang mukminin. Rabb kita, Alloh Azza wa Jalla berfirman di dalam Kitab-Nya:

Dan barangsiapa yang menentang Rasul sesudah jelas kebenaran baginya, dan mengikuti jalan yang bukan jalan orang-orang mukmin, kami biarkan ia leluasa terhadap kesesatan yang telah dikuasainya itu dan kami masukkan ia ke dalam Jahannam, dan Jahannam itu seburuk-buruk tempat kembali.” (QS An-Nisa’ : 115).


[11]. Ahlus Sunnah berpendapat bahwa : Iman adalah keyakinan dalam hati, ucapan dengan lisan dan perbuatan dengan anggota tubuh. Amal perbuatan dengan segala macamnya, baik amalan hati maupun amalan anggota tubuh termasuk hakikat keimanan. Kami tidak mengeluarkan perbuatan, baik besar maupun kecil, dari definisi keimanan. Bukanlah termasuk ucapan Ahlus Sunnah yang menyatakan bahwa Iman adalah pembenaran hati saja, atau pembenaran dengan ucapan lisan saja, tanpa perbuatan anggota badan. Barangsiapa yang berkata demikian maka ia telah sesat! Dan inilah dia madzhabnya Murji’ah yang buruk!!! Iman itu bercabang-cabang dan bertingkat-tingkat. Diantaranya jika ditinggalkan dapat menjadikan kafir, ada pula yang menyebabkannya berdosa, baik dosa besar maupun kecil, dan ada pula yang jika ditinggalkan akan kehilangan ganjaran dan pahala yang berlipat. Iman itu akan bertambah dengan ketaatan hingga dapat mencapai kesempurnaannya dan akan berkurang dengan kemaksiatan hingga bisa hilang sama sekali, tak tersisa sedikitpun. (Lihat : Mujmal Masa’ilil Iman, Masyaikh Markaz Imam Al-Albani, 1421 H.)

[12]. Pendapat ini adalah pendapat murji’ah yang digolongkan sebagai Murji’ah Fuqoha’. Murji’ah ada tiga jenis –sebagaimana disebutkan oleh Masyaikh Markaz Imam al-Albani dalam bookletnya yang berjudul : Mujmal Masa’ilil Iman yang disetujui oleh 16 ulama ahli sunnah- sebagai berikut :

  1. Jahmiyah Murji’ah yang berpendapat bahwa Iman sebatas pengetahuan (ma’rifat) belaka. Sebagian Imam Salaf mengkafirkan mereka.
  2. Karramiyyah yang membatasi keimanan hanya dengan ucapan lisan saja tanpa perlu diyakini dalam hati.
  3. Murji’ah Fuqoha’ yang berpendapat bahwa iman itu keyakinan dengan hati dan ucapan dengan lisan, namun mereka mengeluarkan amalan dari yang namanya keimanan.
    Mereka semua di atas kesesatan walaupun tingkat kesesatannya berbeda-beda, sebagaimana yang telah diperinci oleh Syaikhul Islam -rahimahullahu-.

HAKIKAT BID’AH DAN KUFUR

TANYA JAWAB BERSAMA
AL-IMAM AL-MUHADDITS

MUHAMMAD NASHIRUDDIN AL-ALBANI RAHIMAHULLAHU

Penanya :

Penolakan Nabi yang lebih penting!!!

Syaikh :

Hasan (baik). Penolakan Nabi Shallallahu ‘alaihi wa Salam-lah yang lebih penting. Penolakan Nabi Shallallahu ‘alaihi wa Salam menshalati seorang muslim tadi tidak menunjukkan bahwa menshalati muslim tersebut adalah dilarang. Maka jelaslah, bahwa para ulama salaf yang meninggalkan sholat jenazah tidaklah menunjukkan larangan mensholatinya.

Selanjutnya, taruhlah seandainya sholat jenazah tadi tidak boleh dilaksanakan, apakah ini juga berarti seseorang tidak boleh memohon rahmat dan maghfirah baginya –berdasarkan pandangan kita bahwa dia masih seorang muslim-.

Singkat kata, penolakan sebagian ulama salaf dalam menshalati sebagian kaum muslimin pelaku bid’ah, tidaklah membatalkan keabsahan mensholatkan mereka. Sebenarnya mereka (ulama salaf) melakukan hal ini (tidak turut menshalati, pent.) dikarenakan termasuk dalam kategori umum tahdzir (peringatan) dari kejahatan si mayit agar orang-orang yang sepertinya mendapatkan pelajaran.

Sebagaimana yang dilakukan oleh Nabi Shallallahu ‘alaihi wa Salam terhadap seorang lelaki yang tidak disholatinya. Mengapa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Salam tidak menshalatinya? Sebabnya adalah, karena si mayit itu menyembunyikan beberapa bagian dari harta ghanimah untuk dirinya sendiri. Keengganan Nabi Shallallahu ‘alaihi wa Salam untuk mensholatinya adalah lebih penting daripada keengganan para ulama salaf yang melaksanakan hal ini, namun hal ini tidaklah meniadakan atau membatalkan keabsahan mensholati muslim pelaku bid’ah.

Dari sini, kiranya perlulah diteliti siapakah yang dimaksud dengan mubtadi’ itu dan siapakah orang kafir itu. Ada pertanyaan yang muncul dalam pembahasan kali ini, yaitu apakah setiap orang yang jatuh ke dalam amalan kafir maka dengan serta merta ia menjadi kafir?? Dan apakah setiap orang yang jatuh kepada amalan bid’ah dengan serta merta ia menjadi mubtadi’ ataukah tidak???

Jika jawabannya tidak, maka kita dapat lanjut melihat kepada subyeknya. Jika subyeknya tidak jelas maka perlu diklarifikasi. Saya akan mengulang permasalahan yang menyangkut pertanyaan ini dengan beberapa tambahan terperinci…

Apakah yang dimaksud dengan bid’ah??? Bid’ah ialah perkara baru yang menyelisihi sunnah Nabi Shallallahu ‘alaihi wa Salam dan pelakunya melakukan bid’ah ini dengan bermaksud menambah taqarub (pendekatan diri) kepada Alloh Jalla wa ‘Ala.

Lantas, apakah setiap orang yang melakukan kebid’ahan dengan serta merta menjadi mubtadi’??? Saya ingin jawaban singkat, ya atau tidak???

Penanya :

Tidak!

Syaikh :

Kalau begitu siapakah mubtadi’ itu???

Penanya :

Seseorang yang telah didatangkan padanya hujjah yang nyata dan meyakinkan, namun ia tetap bersikeras melaksanakan bid’ahnya.

Syaikh :

Ahsan (baik). Jadi, orang yang disebutkan di dalam pertanyaan tadi –yang disebutkan tidak boleh kita bertarahum kepada mereka-, apakah hujjah telah ditegakkan kepada mereka??? Allohu a’lam. Lantas apa dasar prinsip tentang mereka??? Apakah mereka muslim atau kafir???

Penanya :

Muslim…

Syaikh :

Prinsip dasarnya adalah mereka muslim! Oleh karena itu boleh bertarahum kepada mereka. Prinsip dasarnya sekali lagi adalah kita boleh memohon maghfiroh dan rahmat bagi mereka. Bukankah ini masalahnya??? Jadi –dengan demikian- masalah ini telah selesai. Kita tidak boleh mengadopsi madzhab baru ini, yaitu madzhab bahwa tarahum terhadap fulan dan polan, atau ulama ini dan itu dari kaum muslimin adalah tidak boleh, baik secara umum maupun mu’ayan (spesifik).

Mengapa??? Dengan dua alasan yang tersimpulkan dari jawabanku tadi. Alasan pertama adalah mereka muslim. Alasan kedua adalah, kalaupun seandainya kita telah tahu bahwa mereka adalah pelaku bid’ah, namun kita belum tahu apakah hujjah sudah ditegakkan atas mereka ataukah belum, dan kita tidak tahu apakah mereka masih bersikeras melakukan kebid’ahannya dan melanjutkan kesesatannya ataukah tidak.

Karena itu saya katakan : diantara kesalahan fatal pada hari ini adalah, para pemuda muslim yang multazim (komitmen) dan mutamassikin (berpegang teguh) dengan al-Qur’an dan as-Sunnah, disebabkan mengadopsi madzhab baru ini, mereka telah menyelisihi al-Qur’an dan as-Sunnah tanpa mereka sadari. Secara otomatis, berdasarkan madzhab mereka ini pula, saya berhak untuk menvonis mereka sebagai mubtadi’ dikarenakan mereka menyelisihi al-Qur’an dan as-Sunnah (karena madzhab baru yang mereka adopsi ini, pent.)[8]. Kendati demikian, saya takkan menyelisihi madzhabku sendiri [9]

Prinsip dasar yang berkenaan dengan pernyataan mereka (orang-orang yang disebutkan di dalam pertanyaan tadi, pent.) adalah, bahwa mereka masih muslim dan mereka tidak bermaksud untuk mengada-adakan suatu bid’ah serta mereka tidak menolak hujjah yang ditegakkan kepada mereka. Sesungguhnya kami berpendapat bahwa mereka melakukan kesalahan di saat mereka mencari kebenaran. Jika kita sadar dan faham akan hal ini, niscaya kita akan selamat dari masalah yang tengah merebak dewasa ini.

Serupa dengan keadaan (para pemuda ini, pent.) adalah jama’ah yang dikenal dengan jama’ah takfir wal hijrah[10] di Mesir, yang fikrahnya tersebar sampai masuk ke Suriah di saat saya masih di sana, bahkan hingga saat ini. Kami memiliki beberapa ikhwan di sana yang (manhajnya) berada di atas al-Qur’an dan as-Sunnah –atau yang kita sebut sebagai salafiy– yang turut terpengaruh oleh dakwah batil ini, sampai-sampai mereka meninggalkan sholat jama’ah, bahkan juga sholat jum’at. Mereka biasanya sholat di rumah-rumah mereka sampai pada suatu hari kami mengadakan pertemuan dan berdiskusi dengan mereka.


[8]. Sungguh benar apa yang dikatakan oleh Syaikh Albani rahimahullahu. Mereka pada hakikatnya bermaksud untuk membela sunnah dan memerangi bid’ah, namun mereka melakukannya dengan menyelisihi al-Qur’an dan as-Sunnah, dan amalan yang menyelisihi al-Qur’an dan as-Sunnah ini adalah suatu kebid’ahan. Jadi, mereka berupaya memerangi bid’ah dengan bid’ah pula. Mereka menuduh kepada orang yang terjerumus kepada perbuatan bid’ah sebagai ahlul bid’ah padahal mereka sendiri juga terjerumus ke dalam kebid’ahan. Lantas, dengan demikian maka suatu hal yang konsisten dan logis apabila mereka juga digolongkan sebagai ahlul bid’ah, walaupun mereka tidak bermaksud melakukannya, bahkan mereka berupaya memeranginya. Jadi, apa bedanya mereka dengan orang-orang yang terjerumus ke dalam kebid’ahan yang mana mereka juga tidak sadar akan kebid’ahannya, mereka mencari al-Haq namun mereka terjerumus. Mudah-mudahan mereka mau berfikir…
[9]. Yakni madzhab ahlus sunnah, yang telah ditegaskan oleh syaikh bahwa “tidak setiap orang yang jatuh ke dalam kekufuran atau kebid’ahan maka dengan serta merta orang itu menjadi kafir atau mubtadi’

[10]. Jama’ah Takfir wal Hijrah pada hakikatnya adalah sempalan dari Ikhwanul Muslimin yang tidak puas melihat metode perjuangan Ikhwanul Muslimin yang keluar masuk parlemen dan bermajlis dengan kaum kuffar. Mereka ini adalah khowarij gaya baru yang mengkafirkan seluruh kaum muslimin yang tidak sepemahaman dengan mereka. Prinsip mereka sama dengan haddadiyah, yaitu mereka akan mengkafirkan siapa saja yang tidak mau mengkafirkan orang yang mereka kafirkan. Ciri khas mereka adalah takfir (pengkafiran) dan hajr (pemboikotan). Tokoh mereka adalah DR. Umar Abdurrahman yang kini sedang dipenjara di Mesir. Jama’ah ini berkaitan erat dengan gerakan-gerakan ekstrimis yang mengangkat slogan takfir dan tafjir dengan dalil jihad. Banyak sekali tokoh-tokoh yang dulunya salafiyin yang kini terpengaruh dengan dakwah ini, diantaranya adalah Abu Muhammad ‘Ashim al-Maqdisy, Abdul Mun’im Mustofa Halimah Abu Basyir, dan lain lain.

HAKIKAT BID’AH DAN KUFUR

TANYA JAWAB BERSAMA
AL-IMAM AL-MUHADDITS

MUHAMMAD NASHIRUDDIN AL-ALBANI RAHIMAHULLAHU

Penanya :

Jika dikatakan, kami tidak mensholatinya karena mereka termasuk mubtadi’, maka apa jawaban Anda???

Syaikh :

Apa dalilnya???

Penanya :

Mereka menggunakan af’alus salaf (amalan para salaf) sebagai dalil dan mereka membedakan antara pelaku kemaksiatan dengan pelaku bid’ah yang mengada-adakan kebid’ahan di dalam agama. Kaum salaf terdahulu, mereka tidak mau mensholati ahlul bid’ah ataupun bermajelis dengan mereka serta bermuamalah dengan mereka. Berdasarkan hal inilah mereka membangun dakwaannya.

Syaikh :

Pertanyaanku tadi apa?

Penanya :

Kita mensholati mereka ataukah tidak???

Syaikh :

Tidak! Anda meluaskan jawaban Anda dari pertanyaanku tadi dan Anda kehilangan maksud (melenceng ed.) dari pertanyaanku. Pertanyaanku barusan adalah, “Apakah dalilnya?” dan Anda menjawab dengan dalil “dakwaan’. Padahal “dakwaan” tidaklah sama dengan dalil. Sedangkan Anda menyatakan bahwa mereka mendakwakan sholat jenazah tidak dilakukan bagi mubtadi’.

Penanya :

Tidak ada dalilnya wahai syaikh, mereka berargumentasi dengan amalan para salaf.

Syaikh :

Apakah amalan para salaf itu dalil???

Penanya :

Itu yang mereka katakan (dakwakan).

Syaikh :

Manakah dalil dari dakwaan ini???

Penanya :

Dalilnya biasanya sangat umum pada perkara ini.

Syaikh :

Bukankah para ulama salaf ketika melakukan muqotho’ah (isolir /pemutusan hubungan) dengan individu-individu tertentu yang melakukan kemaksiatan dan kebid’ahan, lantas, apakah ini berarti mereka menghukumi mereka sebagai kafir?[6]

Penanya :

Tidak!

Syaikh :

Tidak! Sebab mereka masih menganggap mereka sebagai muslim. Kita tidak memiliki sikap pertengahan di antara muslim dan kafir. Apabila mereka ini muslim, maka harus diperlakukan sebagai muslim atau jika mereka kafir maka diperlakukan sebagai kafir. Kita tidak memiliki sikap pertengahan sebagaimana sikapnya mu’tazilah yang menyatakan adanya suatu tempat diantara dua tempat (manzilah bayna manzilatain), yaitu diantara muslim dan kafir.[7]

Selanjutnya, semoga Alloh memberkahimu, hal ini murni merupakan dakwaan belaka, yaitu para salaf tidak mensholati mubtadi’ secara umum. Ini merupakan dakwaan belaka yang diusung oleh para pemuda yang khoir (baik) –sebenarnya- namun mereka mengambil beberapa masalah dengan semangat yang meluap-luap tanpa disertai dengan ilmu yang benar berdasarkan Kitabullah dan Sunnah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Salam.

Saya telah menunjukkan pada Anda suatu hakikat yang tidak mungkin ada dua orang berbeda pendapat tentangnya, yaitu tentang apakah orang tersebut muslim atau kafir. Jika ia muslim –menurut dari apa yang ia tampakkan- maka ia disholati, bahkan –sebagai tambahan- hartanya diwarisi oleh ahli warisnya, mayatnya dimandikan dan dikafani serta ia dikuburkan di pekuburan kaum muslimin. Namun jika ia kafir, maka ia dihempaskan seperti bebijian dan dikuburkan di pekuburan kaum kafir. Kita tidak punya pendapat pertengahan dalam hal ini.

Kendati demikian, apabila ada seseorang yang tidak turut menshalati seorang muslim –atau para ulama tidak mau mensholatinya-, hal ini tidaklah menunjukkan bahwa mensholati orang ini adalah terlarang. Hal ini mengindikasikan bahwa para salaf sedang menunjukkan suatu hikmah dan beberapa hal yang tidak dapat dipenuhi (dilakukan) oleh orang selainnya.

Sebagaimana kisah dalam  sebuah hadits –yang pasti Anda ingat- di dalam beberapa riwayat dimana Nabi Shallallahu ‘alaihi wa Salam bersabda, “Sholatilah saudara kalian ini” sedangkan beliau Shallallahu ‘alaihi wa Salam tidak turut menshalatinya. Bagaimana pendapat Anda tentang hal ini? Apakah Nabi yang tidak turut menshalati seorang muslim ini lebih penting (dijadikan dalil) ataukah ulama salafi yang menolak menshalati muslim? Katakan padaku, mana yang lebih utama???


[6]. Termasuk dasar prinsip aqidah salaf adalah tidak mengkafirkan ahli kiblat yang bertauhid, sebagaimana yang dinyatakan oleh para imam salaf. Imam Ahmad rahimahullahu berkata di dalam As-Sunnah allati tufiya ‘anha Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Salam, poin ke-11 : “Dan kami tidak mengkafirkan seorangpun dari Ahli Tauhid walaupun mereka melakukan dosa besar.” (Aqo’id A`immatis Salaf, hal. 39); Beliau juga berkata di dalam Shifatul Mu’miun min Ahlis Sunnah wal Jama’ah adalah : “Tidak mengkafirkan seorangpun dari ahli kiblat karena dosanya” (Aqo`id, hal. 40); Imam Abu Bakr al-Humaidi rahimahullahu berkata di dalam Ushulus Sunnah, poin ke-14 : “Dan tidaklah mengkafirkan karena sesuatu dari dosa” (Aqo`id, hal. 156); Imam Abu Zaid al-Qirwani di dalam al-I’tiqod, poin ke-18 : “Dan tidak mengkafirkan seorangpun dari ahli kiblat dikarenakan dosa.” (Aqo`id, hal. 168).

[7]. Mu’tazilah memiliki 5 dasar keyakinan pokok, yaitu : al-‘Adl (keadilan), at-Tauhid (yang dimaksud tauhid di sini adalah nafyu shifat / menafikan sifat-sifat Alloh), Infaazhul Waa’id (melaksanakan ancaman), amar ma’ruf nahi munkar (maksudnya memberontak terhadap penguasa) dan manzilah baina manzilatain yang maksudnya adalah seorang ahli maksiat itu bukanlah muslim dan bukanlah kafir, namun dia berada di pertengahannya, yakni manzilah bayna manzilatain (suatu tempat/posisi di antara dua tempat/posisi), yaitu tempat di antara muslim dan kafir, yaitu tidak terjerumus kepada kekafiran namun keluar dari keimanan mereka kekal di dalam neraka.