Arsip untuk 23 Juni 2010

Yahudinisasi Lewat Tasawuf

Posted: 23 Juni 2010 in Kajian
Tag:
Mendeteksi Sumber Penyimpangan:
Yahudinisasi Lewat Tasawuf

Oleh : H Hartono Ahmad Jaiz
1. Orang yang dikuasai Syetan

“Barangsiapa berpaling dari pengajaran Tuhan Yang Maha Pemurah (Al-Quran), kami adakan baginya syaitan, maka syaitan itulah yang menjadi teman yang selalu menyertainya. Syaitan-syaitan itu benar-benar menghalangi mereka dari jalan kebenaran dan mereka menyangka bahwa mereka mendapat petunjuk.” (QS Az-Zuhruf/43: 36-37).

Ayat ini menerangkan bahwa barangsiapa yang tidak mau membiasakan diri mengingat Allah, dan (juga) berpaling dari ajaran Al-Quran yang telah disampaikan kepada Muhammad SAW, serta berusaha untuk tidak memperhatikannya, dan telah terpengaruh oleh kesenangan hidup di dunia, maka Allah akan menjadikan syaitan sebagai teman eratnya, baik berupa jin maupun manusia.

Syaitan itulah yang selalu mendampingi dan mempengaruhinya, sehingga tertanamlah dalam pikirannya anggapan yang tidak baik, yaitu memandang perbuatan buruk sebagai perbuatan baik. Karena itu, hatinya makin lama makin tertutup, tidak mau menerima kebenaran. Semakin lama tutupan itu semakin kuat dan rapat, sehingga tidak ada suatu celah pun yang mungkin dimasuki cahaya Ilahi. Ayat yang lain yang sama artinya dengan ayat ini, ialah firman Allah SWT:

Artinya: “Dan (begitu pula) Kami memalingkan hati dan penglihatan mereka, seperti mereka tidak beriman kepadanya (Al-Quran) pada permulaan nya dan Kami biarkan mereka bergelimang dalam kesesatan yang sangat.” (QS Al-An’aam [6]:110).

Makin lama syaitan mendampingi seseorang, makin lama pula ia bergelimang dalam kesesatan dan semakin kuat pula tutupan yang menutup hatinya. (Al-Quran dan Tafsirnya, Depag RI, juz 25, hal 117).

Di dalam hadits dijelaskan sebagai berikut:

Qoola Rasuulullahi SAW: “Innal mu’mina idzaa adznaba dzanban kaanat nuqthotun saudaau fii qolbihii, fain taaba wa naza’a wasta’taba tsaqula qolbuhuu, wa in zaada zaadat hattaa ta’luwa qolbuhuu.”

Artinya:
Nabi SAW bersabda: “Sesungguhnya orang yang beriman, apabila ia mengerjakan perbuatan dosa maka terjadilah satu titik hitam di dalam hatinya. Lalu apabila ia bertobat, mencabut perbuatannya, dan menyesal, maka cemerlanglah hatinya. Dan jika ia tambah (berdosa) maka bertambahlah titik hitam itu sehingga tertutuplah hatinya.” (HR At-Tirmidzi, Ibnu Jarir – At-Thabari dari Abu Hurairah, Tafsir Depag RI, Juz 25, halaman 118).

Menurut Az-Zajzaj, arti ayat ini (QS Az-Zukhruf: 36) ialah: “Barangsiapa yang berpaling dari Al-Quran dan tidak mengikuti petunjuknya, pasti ia mendapatkan siksaan dari Allah SWT; akan didekatkan kepadanya syaitan yang terus menerus menggodanya agar ia menempuh jalan yang sesat.”

Riwayat lain menyebutkan, ayat itu turun berkenaan dengan tingkah orang-orang kafir Quraisy:

Diriwayatkan oleh Ibnu Abi Hatim dari Muhammad bin Utsman Al-Makhzumi bahwa orang-orang Quraisy berkata, “Dampingkanlah kepada setiap sahabat Muhammad seorang dari kita untuk mempengaruhinya.”

Maka mereka mendampingkan Thalhah bin Ubaidillah (orang kafir Quraisy) kepada Abu Bakar. Maka datanglah Thalhah kepada Abu Bakar, waktu itu ia sedang berada di tengah-tengah kaum Quraisy, lalu Abu Bakar bertanya:

“Apa yang kamu serukan kepadaku?”
Thalhah menjawab: “Aku menyeru engkau untuk menyembah Al-Laata dan Al-‘Uzza.”
Abu Bakar bertanya:”Apa Al-Laata itu?”
Thalhah menjawab: “Anak-anak laki-laki Allah.”
Abu Bakar bertanya: “Apa Al-‘Uzza itu?”
Thalhah menjawab: “Anak-anak perempuan Allah.”
Abu Bakar bertanya lagi: “Siapa ibu mereka?”
Thalhah terdiam dan tidak dapat menjawabnya.
Lalu Thalhah berkata kepada teman-temannya: “Jawablah pertanyaan orang ini.”
Teman-temannya itu terdiam pula. Maka Thalhah berkata: “Berdirilah hai Abu Bakar, aku mengakui bahwa tidak ada Tuhan yang berhak disembah selain Allah, dan bahwa Muhammad adalah Rasul Allah.” Maka turunlah ayat ini (yaitu QS Az-Zukhruf: 36). (ibid, hal 118-119).

Dalam ayat 37 QS Az-Zukhruf dijelaskan, akibat bagi seseorang yang selalu didampingi syaitan, yaitu syaitan itu selalu berusaha menghambat mereka (agar tidak bisa) menempuh jalan lurus, jalan yang diridhai Allah, serta berusaha menimbulkan keyakinan dan anggapan pada pikiran orang itu bahwa jalan sesat yang dtempuhnya itu adalah jalan yang benar, dan setiap kebenaran yang disampaikan kepadanya dianggap sebagai jalan yang sesat. (ibid, hal 119).

2. Mengaku Muslim sambil memusuhi Islam

Meskipun dalam riwayat asbabun nuzul (sebab turunnya ayat) itu mengenai orang kafir Quraisy, namun bukan berarti yang bisa dikuasai syaitan itu hanya orang-orang kafir. Bahkan orang Islam yang kurang taat pun dikuasai syaitan. seperti ditegaskan oleh Nabi SAW:

“Maa min tsalaatsatin fii qoryatin walaa badwin laa tuqoomu fiihim sholaatul jamaa’ati illas tahwadza ‘alaihimus syaithoonu. Fa’alaikum bil jamaa’ati, fainnamaa ya’kuludz dzi’bu minal ghonamil qooshiyah.”

“Tidaklah dari tiga orang di suatu kampung atau pedusunan yang di dalam mereka itu tidak ditegakkan shalat jama’ah, kecuali mereka pasti akan dikuasai oleh syetan. Maka wajib atas kamu shalat jama’ah. Karena sesungguhnya srigala itu hanya akan menerkam kambing yang jauh dari kawannya.” (HR Ahmad, Abu Dawud, An-Nasai, dan Al-Hakim, berderajat shahih).

Betapa banyaknya kampung-kampung yang mungkin sekali dihuni oleh orang-orang Muslim namun di sana sepi dari shalat berjama ‘ah. Maka pantas sekali kalau hati mereka telah dikuasai oleh syaitan, hingga kebringasan, kejahatan, penipuan, penghalangan terhadap Islam terjadi di mana-mana. Padahal mereka mengaku Islam, namun tidak jarang mereka pula yang mati-matian mengganjal dan mempecundangi Islam, bahkan sekuat-kuatnya untuk memberantas orang-orang mu’min yang bercita-cita menegakkan Islam.

Bahkan ada dedengkot-dedengkot perusak Islam yang terang-terangan membela non Muslim dalam berbagai hal, padahal dirinya tidak mau kalau disebut antek Yahudi, Zionis, antek Nasrani, atau antek Konghu chu. Padahal mereka jelas-jelas ikut memeriahkan bahkan menghadiri perayaan hari-hari raya orang-orang kafir atau musyrik musuh Allah SWT itu, dan memperjuangkan aspirasi musyrikin dan kafirin itu.

Mereka tidak malu-malu mengaku dirinya sebagai tokoh Islam, bahkan mulutnya bisa berdalih dengan dalih nasionalisme, demokrasi, dan sebagainya yang telah mereka jadikan berhala, sehingga syaitan telah menguasai mereka, dan mereka menganggap bahwa diri mereka itu mendapat petunjuk, sebagaimana difirmankan oleh Allah SWT tersebut. Sehingga, sifat syaitan sebagai musuh Allah yang nyata dan musuh mukminin telah hinggap dan bersarang di dada-dada mereka, di antaranya mereka lego lilo/ tulus ikhlas bila yang dibantai itu ummat Islam.

Padahal, kalau mereka mau meneladani sikap Rasulullah saw yang beliau itu dijamin oleh Allah SWT sebagai uswatun hasanah (teladan yang baik) tentu mereka faham bahwa Rasulullah saw tidak pernah mengucapi selamat Natal kepada para pendeta maupun rahib. Padahal Rasulullah saw juga sebagai pemimpin bangsa, negara, bahkan Ummat Islam sedunia. Mengucapi selamat Natal pun tidak, apalagi menghadiri upacara Natalan, dan lebih tidak lagi berpidato pada upacara orang-orang kafirin musyrikin itu.

Tetapi kenapa Presiden Gus Dur hadir pada upacara Natalan, bahkan berpidato menyambutnya? Padahal, dia dijuluki kiai, bahkan ada yang menyebutnya wali, meski dia sendiri menganggap orang yang menyebutnya wali itu orang yang tak bertanggung jawab. Kenapa pula Amien Rais (ketua MPR, bekas ketua organisasi Islam Muhammadiyah), Akbar Tanjung (ketua DPR, bekas ketua umum organisasi mahasiswa HMI), dan Megawati anaknya Soekarno (wakil presiden, dan sudah pernah berhaji) hadir pada upacara kemusyrikan itu.

Kalau memang mereka benar-benar percaya kepada Nabi Muhammad saw, apakah pernah Nabi mencontohi hadir, berpidato, atau mengucapi selamat Natal seperti yang mereka lakukan itu? Dan kenapa pula Prof Dr HM Quraish Shihab yang disebut ahli tafsir lulusan Mesir itu ngotot menulis fatwanya tentang bolehnya mengucapi selamat Natal kepada orang Nasrani? Adakah contoh dari Nabi Muhammad saw yang seperti itu? Mau dibawa ke mana Ummat Islam Indonesia ini oleh para tokoh yang mengaku dirinya Muslim bahkan sebagai ketua-ketua atau mantan ketua lembaga atau organisasi Islam, namun memberi contoh yang sama sekali tidak pernah dicontohkan oleh Rasulullah saw itu?

Yang dicontohkan oleh Nabi saw justru tantangan untuk mubahalah, atas perintah dari Allah SWT:

“Siapa yang membantahmu tentang kisah ‘Isa setelah datang ilmu (yang meyakinkan kamu), maka katakanlah (kepadanya): “Marilah kita memanggil anak-anak kami dan anak-anak kamu, isteri-isteri kami dan isteri-isteri kamu, diri kami dan diri kamu; kemudian marilah kita bermubahalah kepada Allah dan kita minta supaya laknat Allah ditimpakan kepada orang-orang yang dusta.” (QS Ali ‘Imran: 61).

Mubahalah ialah masing-masing pihak di antara orang-orang yang berpendapat, mendo’a kepada Allah dengan sungguh-sungguh agar Allah menjatuhkan laknat kepada pihak yang berdusta. Nabi mengajak utusan Nasrani Najran bermubahalah tetapi mereka tidak berani, dan ini menjadi bukti kebenaran Nabi Muhammad.(Al-Qur’an dan Terjemahnya, Depag RI, hal 85).

Contoh dari Nabi saw dan merupakan perintah langsung dari Allah SWT adalah seperti tersebut di atas. Namun sebaliknya, sebagian tokoh Islam Indonesia sekarang justru sangat jauh dari keteladanan Nabi saw tersebut. Keberpihakannya malahan nampak berbalik kepada pihak kafirin walmusyrikin. Hingga ketika ada gereja yang dirusak orang, tidak diselidiki dulu penyebab-penyebabnya, dan tidak dicari dulu hukum keabsahan berdirinya menurut Islam, langsung orang-orang yang masih tak malu mengaku Islam itu berani bilang “tembak di tempat” bagi perusak gereja. Padahal, puluhan masjid yang dibakar, dan juga ratusan (mungkin ribuan?) masjid dan musholla yang digusur oleh orang-orang anti Islam, mereka tidak mau tahu, dan pura-pura tidak tahu. Karena memang mereka sendiri, di markas besarnya pun kemungkinan sekali tidak ada masjidnya.

Ada organisasi besar yang mengaku dirinya Muslim, bahkan ulama, namun di markasnya tidak ada masjidnya, dan hanya ada musholla sempit sekali, kotor, dan “dihiasi” dengan sangkar-sangkar burung. Pantas saja kalau mereka ada yang lebih krasan (lebih merasa ni’mat) berkarib-karib dengan orang gereja ataupun memperjuangkan gereja, klenteng dsb. Akibatnya, sangat parah. Yang muda-muda atau pun mahasiswa kelompok mereka tidak malu-malu mencari proyek-proyek dengan bantuan gereja. Bila ditegur temannya sesama Muslim, jawab mereka enteng, “Ah… saya kan tinggal ngikuti saja pemimpin-pemimpin yang di atas.

Orang pimpinan-pimpinan saya (maksudnya para pemimpinnya) juga suka blusak-blusuk (keluar masuk) ke gereja, apa salahnya saya sebagai muqollidnya “berittiba'” (pengikut buta-nya mengikut) kepada mereka?” jawabnya cengengesan (sikap tak bertanggung jawab). Na’udzubillaahi min dzaalik (kita berlindung kepada Allah dari yang demikian itu). Benarlah syaitan telah memperdaya hati mereka, sehingga mereka pandang baik apa-apa yang buruk, dan amat buruk. Memang syaitan sangat berusaha keras untuk menjerumuskan mereka, yaitu siapa saja yang menjadi teman syaitan.

3. Merubah agama Allah

Firman Allah Ta’ala tentang ucapan Syetan;
“… dan akan aku suruh mereka (merubah ciptaan Allah), lalu benar-benar mereka merubahnya.” (An-Nisaa’: 119).

Dalam tafsir Ibnu katsir, merubah ciptaan Allah itu menurut Ibnu Abbas dan lain-lain, berarti merubah diinullaah, agama Allah. (Tafsir Ibnu Katsir, jilid I, halaman 686).

Para ahli bid’ah telah memporak porandakan Islam, diinullah. Dan mereka secara terang-terangan berani menyatakan permusuhannya terhadap mukminin yang menegakkan Islam dengan benar. Musuh besar mereka adalah orang Islam yang konsekuen dan konsisten (istiqomah) dengan Islamnya. Sehingga kalau ahli bid’ah atau orang yang merubah agama Allah itu berkuasa, maka diangkatlah orang-orang yang lihai dalam memusuhi Islam. Dan dibabatlah siapa-siapa yang kira-kira jelas menegakkan Islam.

Karena orang-orang yang merubah diinullah itu di antaranya adalah orang Yahudi dan Nasrani –menurut Al-Quran– maka kaum Ahli Bid’ah pun bergabung dengan Yahudi dan Nasrani serta musyri kin dan kafirin dalam memusuhi Muslimin. Di situ peran munafiqin sangat strategis, berupaya menghancurkan Islam dengan bersekongkol bersama Yahudi cs itu. Akibatnya, orang-orang Islam yang tak kuat imannya akan ikut-ikut pula menjadi munafiq. Dan semakin banyak munafiqnya semakin subur pula pembunuhan terhadap orang Islam ataupun aturan Islam itu sendiri.

Selama ini munafiqin, kafirin, musyrikin, ahli bid’ah dan syaitan-syaitannya telah berhasil membunuh hukum-hukum Islam, hingga tinggal hukum keluarga, yakni nikah, talak, rujuk, waris, hibah, shodaqoh, dan waqaf. Munafiqin, Yahudi, Nasrani, kuffar, musyrikin dan syaitan-syaitannya kini sudah siap dan beraksi lebih lagi. Hukum perkawinan pun mulai diugrag-ugrag (dikutik-kutik) lagi. Kata mereka, hukum perkawinan yang berlaku ini diskriminatif.

Orang-orang yang tidak rela adanya hukum Islam yang masih “tersisa” sedikit itu justru biasanya tidak rela pula kalau pelacuran dihapus. Jadi benar-benar pikiran syaitanlah yang telah menguasai jiwa mereka; menggempur hukum Islam tentang perkawinan, sambil “memperjuangkan” berlangsung tumbuh suburnya pelacuran. Itulah misi mereka, misi syaitan. Benar-benar mereka itu musuh orang Muslim, yaitu syaitan yang berujud manusia, artinya manusia yang telah menjadi syaitan.

Meskipun demikian, orang Muslim yang sejati tidak usah berkecil hati. Ada penjelasan sebagai berikut.

4. Orang yang menegakkan kebenaran Islam:

“Maka bersabarlah kamu untuk melaksanakan ketetapan Tuhanmu, dan janganlah kamu ikuti orang yang berdosa dan orang yang kafir di antara mereka.” (QS Al-Insaan/76: 24).

Nabi SAW bersabda: “Laa tazaalu thooifatun min ummatii dhoohiriina ‘alal haqqi laa yadhurruhum man khodzalahum hattaa ya’tiya amrulloohi wahum kadzaalika.”

“Senantiasa masih ada sekelompok dari ummatku yang selalu menang/unggul dalam menegakkan kebenaran. Mereka tak peduli dengan orang-orang yang menghinakan mereka sehingga datang perintah Allah (hari kiamat)dan mereka tetap demikian.” (HR Al-Bukhari 3641, dan Muslim 1920,) dari Hadits Mu’awiyah ra. Selain Mu’awiyah ada beberapa orang shahabat lainnya meriwayatkan hadits Thaifah Manshuroh ini. Syaikh Al-Albani menjelaskan takhrij hadits ini dalam kitabnya Silsilah Ahadits As-Shahihah, juz 1 nomor 270.

Sabda Nabi SAW:

“Innal Islaama bada’a ghariiban wa saya’uudu ghoriiban kamaa bada’a, fathuubaa lilghurobaa’i.”
“Sesungguhnya Islam pada permulaannya adalah asing dan akan kembali menjadi asing seperti pada permulaannya. Maka keuntungan besar bagi orang-orang yang asing.” (HR Muslim)

Dalam riwayat lain disebutkan:
Maka keuntungan besar bagi orang-orang yang asing: yaitu orang-orang yang (tetap) berbuat baik ketika manusia sudah rusak.” (Al-Albani berkata: “Hadits ini diriwayatkan oleh Abu Amr Ad-Dani dengan sanad shahih, lihat Syaikh Muhammad bin Jamil Zainu, Minhajul Firqoh an-Najiyah wat Thoifah al-Manshuroh, diterjemahkan menjadi Jalan Golongan yang Selamat, Darul Haq, Jakarta, cet I, 1419H, halaman 7-8).

Sabda Nabi SAW:
“Maka keuntungan besar bagi orang-orang yang asing, yaitu orang-orang sholeh yang hidup di tengah orang banyak yang buruk perangainya, di mana orang yang mendurhakainya lebih banyak daripada orang yang mentatatinya.” (HR Ahmad, shahih).

Nabi SAW bersabda: “Orang yang paling pedih musibahnya di dunia ini ialah para nabi, kemudian orang-orang sholeh.” (HR Ibnu Majah).
Nabi SAW bersabda:
“Tidak boleh taat kepada pemimpin dalam hal ma’siat kepada Allah, karena kewajiban taat hanya dalam urusan yang baik.” (HR Al-Bukhari).

5. Siapakah yang menegakkan kebenaran Islam itu?

Orang-orang yang dikuasai syetan (yaitu yang berpaling dari Al-Quran, tidak shalat berjama’ah, dan merubah agama Allah) berhadapan dengan orang-orang yang menegakkan kebenaran Islam.

Yang menegakkan kebenaran Islam itu siapa?
Apakah yang memahami Islam dengan filsafat, dengan sosiologi, antropologi, metodologi Barat, demokrasi, nasionalisme, kebudayaan, adat dsb? Bukan.
Hanya dengan Al-Quran? Bukan Hanya dengan Al-Hadits? Bukan. Dengan Al-Quran dan Hadits namun menurut pendapat masing-masing? Bukan. Tetapi dengan Al-Quran dan As-Sunnah sesuai dengan penjelasan Rasulullah SAW yang diwarisi oleh generasi terbaik, yaitu salaful ummah, ummat terdahulu, yaitu tiga generasi pertama, alias sahabat Nabi SAW, Tabi’in, dan Tabi’it Tabi’en.

Apa-apa yang dibawa oleh Rasulullah saw dan diwarisis serta dilaksanakan oleh para sahabat itu apabila ditentang, dan bahkan mengambil jalan lain maka diancam oleh Allah SWT:

“Dan barangsiapa yang menentang Rasul sesudah jelas kebenaran baginya, dan mengikuti jalan yang bukan jalan orang-orang mu’min, Kami biarkan ia leluasa terhadap kesesatan yang telah dikuasainya itu, dan Kami masukkan ia ke dalam Jahannam, dan Jahannam itu seburuk-buruk tempat kembali.” (An-Nisaa: 115).

Untuk mempertahankan diri agar tetap menjadi orang mukmin yang menegakkan Islam secara benar, maka perlu mengetahui di mana sumber-sumber penyimpangan Islam terjadi. Berikut ini penjelasannya.

6. Sumber-sumber penyimpangan

6.1. Akal yang tidak tunduk kepada wahyu

Kata Iblis: “Ana Khairun minhu, kholaqtanii min naarin wa kholaqtahuu min thiin”.
Kata Iblis: “Saya lebih baik daripada Adam, Engkau ciptakan saya dari api sedang dia Engkau ciptakan dari tanah.” (Al-A’raaf:12).

6.2. Al-hawa’: hawa nafsu dan sikap ghuluw

Ada serombongan sahabat nabi datang menanyakan ibadah Nabi kepada isteri-isterinya, lalu mereka menganggap diri mereka masih sangat sedikit ibadahnya dibanding dengan Rasulullah SAW. Lalu yang pertama, mau puasa terus sepanjang tahun tidak berbuka. Yang kedua akan bangun malam dan tidak tidur. Yang ketiga akan menjauhkan diri dari perempuan dan tidak akan kawin selama-lamanya. Maka setelah berita itu sampai kepada Rasulullah SAW beliau menjelaskan kekeliruan dan tidak lurusnya jalan mereka, dan beliau bersabda:

“Innamaa ana a’lamukum billaahi wa akhsyaakum lahu, walaakinnii aquumu wa anaamu, wa ashuumu wa ufthiru, wa atazawwajun nisaa’a, faman roghiba ‘an sunnatii falaisa minnii.”

Saya adalah orang yang kenal Allah dan paling takut kepada-Nya, namun saya bangun dan tidur, puasa dan berbuka, dan saya beristerikan wanita-wanita. Oleh karena itu barangsiapa membenci sunnahku maka dia bukan dari golonganku.” (HR Al-Bukhari).

“Iyyaakum wal-ghuluw fid diini fainnamaa halaka man kaana qoblakum bil ghuluwwi.”

“Jauhilah oleh kalian ghuluw (berlebih-lebihan) dalam agama. Karena sesungguhnya rusaknya orang sebelum kamu sekalian itu hanyalah karena ghuluw.” (HR Ahmad, An-nasaa’i, Ibnu Majah, dan Al-Hakim, dari Ibnu Abbas, shahih).

Allah SWT berfirman: “Walaa tuthi’ man aghfalnaa qolbahuu ‘an dzikrinaa wattaba’a hawaahu wakaana amruhu furuthoo.” Dan janganlah kamu ikuti orang yang hatinya telah Kami lalaikan dari mengingati Kami, dan menuruti hawa nafsunya dan adalah keadaannya itu melewati batas. (Al-Kahfi:28).

6.3. Karena pengaruh agama-agama terdahulu

Nabi SAW bersabda: “Latarkabunna sunana man kaana qoblakum syibron bi syibrin wa dziroo’an bi dziroo’in hattaa lau anna ahadahum dakhola juhro dhobbin ladakholtum wa hatta lau anna ahadahum jaama’amroatahu bit thoriiqi lafa’altumuuhu.”

Pastilah benar-benar kamu sekalian akan melakukan kelakuan-kelakuan orang dulu sebelum kamu, sejengkal demi sejengkal dan sehasta demi sehasta, sehingga seandainya salahsatu mereka masuk lobang biawak pasti kalian masuk (pula), sampai-sampai seandainya salahsatu mereka menyetubuhi isterinya di jalan pasti kalian melakukan (pula). (HR Al-Hakim dari Ibnu abbas, shahih).

– Contoh, berpakaian, bergaya hidup, dan bahkan dalam memusuhi Islam atau meremehkan Islam, mereka telah meniru-niru Yahudi dan Nasrani.

6.4. Mengikuti adat istiadat yang bertentangan dengan Islam

Misalnya judi, selamatan orang mati dsb.

Qoola Jarir RA: “Kunnaa narol ijtimaa’a ilaa ahlil mayyiti wa shonii’atat tho’aami ba’da dafnihi lighoirihim minan niyaahah.”

Jarir RA berkata: “Kita berpendapat bahwa mengadakan kumpulan bersama-sama pergi ke keluarga orang mati dan membuat makanan untuk disajikan kepada para tamu setelah dikuburnya/ ditanamnya mayit, hukumnya termasuk meratapi mayit.” (Riwayat Ahmad).

Di Zaman sahabat Nabi SAW tingkah kumpul-kumpul, makan-makan setelah dikuburnya mayat itu dinilai sebagai niyahah/meratap. Sedang meratap adalah perbuatan jahiliyah yang diharamkan oleh Nabi SAW. Namun, kini para ahli bid’ah dan pengikutnya sangat doyan menggede-gedekan acara tahlilan selamatan orang mati. Setelah kita tahu orang-orang yang dikuasai syetan dengan sifat-sifatnya, orang-orang yang menegakkan Islam yang benar dengan sifat-sifatnya, dan juga mengetahui sumber-sumber penyimpangan, maka ketahuilah bahwa tasawwuf itu ada dalam jalur yang diliputi sumber-sumber penyimpangan itu.

7. Yahudinisasi lewat Tasawwuf

Ada penyimpangan lewat akal. Ada yang lewat hawa nafsu. Ada yang karena ghuluw atau berlebih-lebihan, ada yang karena meniru-niru Yahudi dan Nasrani, dan ada yang karena adat istiadat yang bertentangan dengan Islam. Dan itu semua kini didukung oleh Yahudi internasional, dengan cara membelajarkan dosen-dosen perguruan tinggi Islam (IAIN) ke Barat dengan istilah studi Islam, dengan hujjah belajar metodologi kritis. Padahal, studi Islam di Barat itu menurut hasil seminar pakar-pakar Islam di London, hanyalah menganggap Islam sebagai budaya Timur yang tidak sampai sebesar Hindu dan Budha. Sedang materi yang diajarkan Barat dalam studi Islam itu hanyalah sufisme (tasawwuf). Sedang tujuannya adalah tahwidiyyah / Yahudinisasi, menurut hasil seminar tersebut.

Mari kita simak kutipan berikut:

Bukti dari Al-Ghazwul Fikri (serangan pemikiran) yang dilangsungkan Barat terhadap dunia Islam pun diseminarkan di London Oktober 1993. Inti pembahasan tentang studi Islam di Barat, dalam seminar internasional Islam II itu, bahwa seluruh program studi Islam di perguruan tinggi Barat arahnya adalah Yahudinisasi ataupun Yudhaisme, yang memandang Islam itu perannya tak sebesar Yahudi, dan bahkan tak sampai setarap dengan agama-agama di Timur seperti Hindu dan Budha. Sedang para guru besar Studi Islam di Barat tidak faham tentang Islam, ajaran yang disebut studi Islam hanya melulu tentang sufisme (tasawuf), dan guru besar yang mengerti bahasa Arab sebagai sumber utama untuk merujuk kitab-kitab Islam hanya 15% (Lihat buku Bila Hak Muslimin Dirampas, Pustaka Al-Kautsar, Jakarta, 1994, hal 107-108).

Apa itu Yahudinisasi? Secara mudahnya adalah apa yang kini disebut pluralisme atau kadang dengan halus disebut agama Ibrahim (Ini sejalan pula dengan istilah inklusivisme dan pluralisme, baca pada bab yang membahas masalah itu di buku ini). Yaitu penyebaran keyakinan yang tidak membolehkan ummat Islam ini “mengklaim kebenaran”. Hingga para antek yang menyebarkan Yahudinisasi ini tidak membenarkan ummat Islam yang mengakui bahwa agama Islam sajalah yang benar. Mereka terang-terangan menyalahkan Muslimin yang meyakini bahwa Islam sajalah yang benar di sisi Allah.

Di antara yang menyalahkan Ummat Islam yang berkeyakinan bahwa Islam sajalah yang benar, contohnya adalah Dr Alwi Shihab. Ia menuduh ummat Islam tak sedikit yang gagal dalam menangkap makna dari kata Islam, dan dengan sendirinya (menurut tuduhan Alwi Shihab yang kini Menteri Luar Negeri RI itu) membenarkan sikap eklusivisme. Ini menyangkut Al-Quran dalam surah Ali Imran ayat 19 dan 85. Alwi Shihab menulis tuduhan terhadap Muslimin itu di Majalah Gatra No 9 Tahun V, 16 Januari 1999 dengan judul Muslim-Kristen.

Kepada Dr Alwi Shihab perlu dikomentari, dengan liciknya dia telah menyembunyikan keterangan tentang kafirnya orang non Muslim setelah diutusnya Nabi Muhammad saw. Alwi Shihab dengan mengecam Muslimin, ditambah dengan menyembunyikan keterangan yang haq tentang kafirnya pemeluk agama apapun selain Islam setelah diutusnya Nabi Muhammad saw, itulah cara Alwi Shihab dalam menjajakan sikap mengimani sebagian ayat-ayat Allah dan mengingkari sebagian lainnya. Dalam hadits shahih riwayat Imam Muslim ditegaskan:
‘An Abii Hurairota ‘an Rasuulillahi saw annahu qoola: “Walladzii nafsi Muhammadin biyadihi, laa yasma’u bii ahadun min haadzihil Ummati Yahuudiyyun walaa nashrooniyyun tsumma yamuutu walam yu’min billadzii ursiltu bihii illaa kaana min ash-haabin naari.” (Muslim).

Diriwayatkan dari Abu Hurairah dari Rasulullah saw bahwa beliau bersabda: “Demi Dzat yang jiwa Muhammad ada di tanganNya, tidaklah seseorang dari Ummat ini yang mendengar (agama)ku, baik dia itu seorang Yahudi maupun Nasrani, kemudian dia mati dan belum beriman dengan apa yang aku diutus dengannya, kecuali dia termasuk penghuni neraka.” (Hadits Riwayat Muslim bab Wujubul Iimaan birisaalati nabiyyinaa saw ilaa jamii’in naasi wa naskhul milal bimillatihi, wajibnya beriman kepada risalah nabi kita saw bagi seluruh manusia dan penghapusan agama-agama dengan agama beliau).

Yang perlu ditegaskan pula adalah: lafal min ash-haabin naari (termasuk penghuni neraka), di situ orang-orang yang tidak mau masuk Islam itu statusnya bukan sekadar mampir ke neraka, namun justru penghuni neraka. Dalam uraian lain di buku ini dijelaskan, orang-orang yang kekal di neraka itu adalah orang-orang kafir, karena yang masih ada imannya maka akan dientas dari neraka dan dimasukkan ke surga. (lihat buku ini pada bab Kebohongan dan kesesatan Islam Jama’ah, Lemkari, LDII). Hadits shahih dan jelas maknanya semacam ini pun masih disembunyikan oleh orang-orang semacam Dr Alwi Shihab dan konco-konconya. (lihat tanggapan terhadap Dr Alwi Shihab itu dalam Buku ”Di Bawah Bayang-bayang Soekarno Soeharto, Tragedi Politik Islam Indonesia dari Orde Lama hingga Orde Baru,” oleh Hartono Ahmad Jaiz, terbitan Darul Falah Jakarta, 1420H, hal 153).

Kembali ke masalah penikaman terhadap Islam, biasanya alumni Barat yang menyebarkan Yahudinisasi itu kini rajin sekali menjajakan tasawwuf. Dari sanalah di antaranya Islam itu ditikam, setelah upaya Yahudinisasi itu ramai-ramai dihujat oleh majalah Media Dakwah sejak 1992 selama 19 bulan bertutrut-turut. Hingga ada judul cover majalah itu: Ujung Pemikiran Nurcholish, dengan gambar ujungnya adalah Zionisme.

Sehabis itu mereka yang menjajakan Yahudinisasi itu menikam Islam lewat tasawwuf bersama orang Syi’ah dan lainnya. Maka tak mengherankan, sosok dedengkot Syi’ah di Indonesia seperti Jalaluddin Rachmat sangat getol (bersemangat) menjajakan tasawuf di mana-mana, bahkan bagai kemaruk. Contohnya, di Bulan Ramadhan 1421H, kadang Jalaluddin Rachmat itu menyebarkan tasawuf lewat dua televisi dalam waktu bersamaan, yang satu siaran langsung, dan yang lain rekaman.

Padahal, apa-apa yang ditampilkan di televisi yang disebut acara tasawuf misalnya di Anteve itu merupakan acara yang sangat menyesatkan dan merusak Islam. Contohnya, seorang dosen perempuan dari Bandung yang biasa membawakan acara tasawuf di Anteve, ketika berbincang-bincang dengan nara sumber seorang doktor perempuan dosen di Bogor, lalu pembawa acara itu mengemukakan cerita sufi yang kaitannya dengan feminisme. Pembawa acara itu mengemukakan cerita sufi, katanya ada seorang syaikh yang masuk ke hutan, lalu binatang-binatang hutan semuanya tunduk, sampai-sampai ular pun bersedia jadi tongkatnya. Maka syaikh itu ditanya oleh muridnya, apa rahasianya? Ternyata rahasianya adalah: Syaikh ini senantiasa diam saja (sabar) ketika dia diomeli oleh isterinya.

Nah, cerita-cerita yang sangat tidak mutu model inilah yang menjadi landasan tasawuf itu dari berbagai seginya. Yang hal itu di zaman Ali bin Abi Thalib saja tukang ceritanya sudah diusir dari masjid, dilarang masuk masjid. Memang timbulnya tukang nasihat dengan cerita-cerita itu sejak zaman Khalifah Ali bin Abi Thalib, dan mereka pun dilarang masuk masjid untuk bercerita oleh Khalifah. Bahkan Khalifah Umar bin Abdul Aziz memerintahkan untuk memenjarakan tukang-tukang cerita dan para pendengarnya. Berikut ini penjelasannya:

Munculnya bid’ah dongeng

Munculnya bid’ah tukang-tukang cerita (pendongeng/ qosshosh) adalah pada masa Ali RA, lalu mereka itu ditolak oleh para sahabat dan tabi’in.

Muhammad bin Waddhoh meriwayatkan dari Musa bin Mu’awiyah, ia berkata, telah menceritakan kepada kami Ibnu Mahdi dari Sufyan:

“Dari Ubaidillah bin Nafi’, ia berkata: Belum ada orang berkisah (mendongeng) pada masa Nabi SAW, tidak pula di masa Abu Bakar, tidak di masa Umar, dan tidak di masa Utsman. Dan pertama kali adanya dongeng itu ketika adanya fitnah (pembunuhan terhadap Utsman 35H).

Pendongeng (qosshosh) adalah juru nasihat yang mengadakan majelis-majelis untuk nasihat meniru majelis ta’lim. Pendongeng itu menasihati orang-orang di majelis dengan cerita-cerita dan kisah-kisah Israiliyyat dan semacamnya, berupa cerita yang tidak mempunyai sumber asalnya, atau suatu tema/ judul, atau berupa cerita yang tidak bisa dijangkau akal umum.

Sungguh Ali bin Abi Thalib RA telah melarang mereka –lihat Tahdzirul Khowas oleh As-Suyuti 213, dan Al-Bida’ wan nahyu ‘anha 16– karena mereka mulai mendongengi orang-orang dengan yang aneh-aneh dan hal-hal yang samar (mutasyabihat) dan cerita yang tidak terjangkau oleh akal mereka dan yang tidak mereka kenal.

Ibnu Umar telah memerintahkan polisi untuk mengeluarkan (mengusir) tukang-tukang cerita dari masjid-masjid. Dan Umar bin Abdul Aziz telah memenjarakan tukang-tukang cerita dan orang-orang yang duduk bersama mereka.

Yang demikian itu bukan berarti terlarang menasihati. Dahulu Nabi SAW telah memberikan nasihat kepada para sahabat. Dan para sahabatnya pun demikian pula, serta generasi salafus shalih sesudahnya. Yang dilarang hanyalah menasihati dengan cerita-cerita yang tidak ada sumber asalnya (al-Quran atau al-Hadits atau riwayat yang shahih), dan bercerita dengan keanehan-keanehan dan perkara-perkara yang kacau, yang samar-samar, dan yang tidak terjangkau akal manusia pada umumnya, berupa masalah-masalah ghaib, tentang qadar, dan hal-hal yang membingungkan akal. Dan dilarang pula penasihat-penasihat yang bodoh yang membinasakan.Wallahu a’lam.

( Sumber:
1. Dr Nashir bin Abdul Karim Al-‘Aql, Al-Ahwa’ wal Firaq wal Bida’ ‘Ibra Tarikh al-Islami Masirotu Rokbi as-Syaithan, Darul wathan, Riyadh, Cetakan I, 1415H.
2. Syaikh Shalih bin Fauzan bin Abdullah Al-Fauzan, Al-Bid’atu; ta’rifuha, anwa’uha, ahkamuha, Darul ‘Ashimah, Riyadh, cetakan I, 1412H.
3. Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah, Al-Wasithah bainal Haqqi wal Khalq, dimuraja’ah Muhammad Jamil Zainu, Percetakan Universitas Islam Madinah, cetakan pertama).

Adapun contoh lain penyesatan tasawuf yang ditikamkan kepada Islam secara sistematis oleh intelektualnya di Indonesia di antaranya silakan baca tanggapan buku ini pada judul Iyyaka na’budu wa iyyaka nasta’in. Isinya menanggapi tikaman Nurcholish Madjid yang menafsiri ayat Iyyaka na’budu wa iyyaka nasta’in menurut tasawuf, yang sangat menyesatkan.

Memang tasawwuf itu sendiri bibit utamanya di antaranya dari filsafat Yunani, Nasrani, dan Hindu; maka pas lah untuk sarana menikam Islam dari dalam, karena orang yang tertipu selama ini menganggap bahwa tasawwuf itu bagian dari ajaran Islam.

Padahal justru penyimpangan, sebenarnya. Kalau toh mau mentolerir tasawuf itu hanyalah bisa terhadap bagian yang sedikit, pada awal-awal ketika masih sekadar tazkiyatun nafs (penyucian jiwa) yang belum tercemar oleh filsafat dan macam-macam bid’ah.

Kalau memang masih sekadar tazkiyatun nafs dan tidak ada unsur bid’ah dan lebih-lebih pula bid’ah aqidah yang dibawa oleh filsafat, maka masih bisa ditolerir. Tetapi, dari segi manhaj (pola, jalan, sistem) tasawuf itu sendiri yang sedemikian longgar dalam mengambil sumber (di antaranya mimpi-mimpi syaikh, alamat-alamat dikait-kaitkan dengan keghaiban dan bahkan cerita-cerita aneh seperti tersebut di atas) maka sejatinya tasawuf itu sudah jauh dari manhaj Islam yang shahih.

Dan justru di situlah pintu masuk yang dianggap paling strategis oleh musuh-musuh Islam terutama Yahudi. Mereka tidak menyia-nyiakan pintu bahaya itu, hingga dibikinlah program canggih secara sistematis dan tingkatnya internasional dengan mengkader putra-putra bangsa Muslimin sedunia yang cerdas untuk menjadi antek-antek Yahudi yang merusak Islam dari dalam, lewat tasawuf, demi menghancurkan Islam, dengan kedok membangun Islam. (Lebih lengkapnya, baca buku penulis yang berjudul Mendudukkan Tasawwuf, Gus Dur Wali? Darul Falah, Jakarta, Ramadhan 1420H).

Bahkan tasawwuf yang menikan Islam dan kini dijadikan sarana empuk untuk menikam Islam oleh Yahudi dan antek-anteknya itu kini digencarkan lewat televisi-televisi segala, di samping kurus-kursus yang mereka sebut paket-paket kajian tasawwuf.

Untuk lebih “memantapkan” program itu, tampaknya pemerintahan Indonesia sekarang masih merasa belum cukup hanya mengirim 300-an dosen-dosen IAIN ke Barat untuk “studi sufisme” yang bertujuan Yahudinisasi itu. Maka “dengan lapor dan minta restu” (?) kepada Boss Katolik, Paus Yohannes II, Presiden Gus Dur berkunjung ke Vatikan untuk mengemukakan bahwa (saat itu akan) diadakan dialog tiga agama (Yahudi, Nasrani, dan Islam) di Jakarta, Senin 14 Februari 2000M.

Sebuah sumber mengatakan, ketika pihak sumber ini berkeinginan untuk ikut dalam “dialog” maka dijawab oleh panitia, seorang cewek dari Yayasan Paramadina di Jakarta, bahwa acara di Departemen Agama RI itu tertutup. Dan orang-orangnya sudah tertentu.

Siapa mereka? Dari Islam, menurut sumber itu, pembicaranya adalah orang-orang IAIN Jakarta, yaitu Dr Azzyumardi Azra (rektor IAIN Jakarta), Dr Bachtiar Effendi, dan Dr Kautsar Azhari Noer.

8. Mengikuti jejak Annie Besant

Program t kecil dan T besar yang dilontarkan Dr Nurcholish Madjid tahun 1985 untuk mengaburkan makna kalimah thoyyibah, Laailaaha illallaah (Tiada Tuhan selain Allah) menjadi: Tiada tuhan selain Tuhan –t kecil dan T besar– ternyata tidak berhenti sampai di situ. Walaupun sudah terpeleset-peleset sampai untuk menghindari lafal Allah itu dengan kilah bawa Allah itu sebutan bagi Dewa Air, hingga diledek oleh Drs H Ridwan Saidi: Kalau Allah itu Dewa Air, lantas kutu airnya mana?; namun program Yahudinisasi atau pendangkalan Islam, atau tasykik alias peragu-raguan terhadap kebenaran Islam tetap digencarkan.

Drs H Ridwan Saidi pernah menyindir secara telak terhadap rekannya, Dr Nurcholish Madjid, bahwa pemikiran-pemikiran Nur cholish itu tidak jauh beda dengan pemikiran Annie Besant.

Untuk lebih jelasnya, sindiran itu bisa dicari sumber lain, sebenarnya bagaimanakah pemikiran dan missi Annie Besant itu. Prof Dr Hamka dalam tafsirnya, Tafsir Al-Azhar, menjelaskan tentang shobi’un, di sana tertera nama Annie Besant. Tulis Hamka: “…Di dalam al-Quran kita bertemu nama-nama Shabi’un ini sampai tiga kali. Yaitu pada ayat 62 dari Surat al-Baqarah, ayat 69 dari Surat Al-Maidah, dan ayat 17 dari surat Al-Hajj.

Diambil kepada pokok pangkal kata-nya, yaitu shabi’, berarti bahwa shabi’un ialah orang-orang yang keluar dari Nasrani, atau sebagai Muslim dia keluar dari agama Islam, lalu membuat agama sendiri. Inilah pula artinya seketika Rasulullah mencela agama nenek moyangnya kaum Quraisy, maka kaum Quraisy menuduh beliau shabi’ dari agama yang dipeluk oleh nenek moyangnya.

Di negeri Irak sampai sekarang ini masih terdapat satu golongan agama yang dipanggilkan orang shabi’in. Mereka percaya kepada Tuhan Yang Maha Esa tetapi oleh karena terlalu memperturutkan fikiran sendiri, mereka tidak lagi memeluk agama yang telah ada, lalu memeluk atau membuat agama sendiri. Kaum shabi’in di Irak itu dalam beberapa hal mempercayai ajaran Kristen, tetapi merekapun mempercayai kekuatan bintang-bintang (astrologi), bahwa perjalanan bintang-bintang ada pengaruhnya kepada manusia, sehingga kebanyakan mereka menjadi tukang tenung nasib orang.

Menilik kepada pokok ambilan bahasa ini, maka penulis tafsir ini (Prof Dr Hamka, pen) berpendapat bahwasanya gerakan-gerakan agama yang dicoba orang menyusun di zaman modern ini, seumpama Theosofi yang digerakkan oleh Annie Besant dan Madame Balavatsky di India beberapa puluh tahun yang lalu boleh juga dimasukkan dalam shabi ‘in ini. Sebab maksud gerakan Theosofi ialah hendak mempersatukan atau mencari titik-titik pertemuan segala agama yang ada, lalu Hikmat Ketuhanan. Mulanya mereka tidak bermaksud hendak membuat agama baru, melainkan hendak mempertemukan intisari segala agama, memperdalam rasa kerohanian, tetapi akhirnya mereka tinggalkanlah segala agama yang pernah mereka peluk dan tekun dalam Theosofi.

Pada pendapat saya (Hamka, pen) meskipun dalam tafsir-tafsir lama tidak bertemu pendapat seperti ini, Theosofi adalah semacam Shabi’in juga. Sultan Jalaluddin Muhammad Akbar, Sultan Mongol Islam yang Agung di Hindustan yang terkenal itupun mencoba pula mencari titik-titik pertemuan agama, lalu membangun agama baru, dinamai Din Ilahi (agama Tuhan). Maka disuruhnyalah menyalin Perjanjian Lama dan Perjanjian Baru ke dalam bahasa Persia, dan dipasangnya Api Suci Iran dalam istana di Agra dan beliau suruh menghormati sapi dan meninggalkan memakan dagingnya, dan beliau bertekun ibadat di dalam bulan puasa. Dan inipun semacam shabi ‘in. (Prof Dr Hamka, Tafsir Al-Azhar juz 6, hal 322-323).

Model Theosofi, dengan istilah-istilah yang sering mereka lontarkan yakni mencari titik temu antar agama-agama, memang sering diucapkan oleh kader-kader dari Barat yang belajar “Islam” dari orang-orang Yahudi dan Nasrani. Tidak syak lagi, apa yang mereka sebut universalisme, pluralisme, atau agama Ibrahim, tidak lain adalah pencabutan dari agama Islam, agar keluar dari Islam. Di sinilah
letak bahayanya.

Anehnya, kini bahkan merupakan proyek dan program besar yang didukung oleh penguasa dhalim yang tidak ada pembelaannya terhadap Islam, dan didukung aneka pihak dengan dipayungi oleh Yahudi internasional yang telah menggodok para intelektual dari negeri-negeri Islam lewat “studi Islam di Barat” dengan menggunakan kendaraan tasawwuf untuk menikam Islam.

Maka waspadalah wahai saudara-saudaraku ummat Islam, termasuk pula para intelektual Muslim yang kini terperangkap ke arah sana. Tidak usah anda berbangga sebagaimana bangganya “londo ireng” (Belanda Hitam –pribumi yang jadi antek penjajah dan lebih galak ketimbang penjajahnya sendiri) di zaman penjajahan Belanda.

Akibatnya, mereka (antek-antek penjajah kafir itu) pun hancur, sedang nama busuk pun tertancap pada diri-diri mereka. Sadarilah bahwa tidak mungkin musuh Islam itu tulus ikhlas ingin memajukan Islam, atau mengembangkan Islam. Sebaliknya lah yang ada. Itu sudah hukum alam, menurut istilah saudara. Kalau istilah Islam, ya ayat itu tadi, tentang program-program syetan untuk menipu manusia dengan merubah ciptaan Allah, yaitu merubah diinullaah, agama Allah. Relakah anda disebut sebagai antek syetan?

Oleh : H Hartono Ahmad Jaiz

Cara Menghadapinya dengan Karangan

Islam menjadi sasaran perusakan yang dilakukan orang dengan berbagai cara. Ada yang mendirikan lembaga pendidikan/ pengkajian tetapi tujuannya demi   pendangkalan Islam atau tasykik  (membuat  keragu-raguan).

Ada  yang  mengkutak-kutik istilah Islam  yang  sudah  baku untuk diselewengkan maknanya.

Contohnya, istilah  “hamba  Allah yang sholeh” itu dalam Islam adalah orang yang beriman. Dan istilah itu ada riwayatnya jelas, As-Suddi (ulama besar ahli tafsir masa tabi’in) menjelaskan makna hamba Allah yang sholeh itu adalah orang-orang mukmin. (lihat Tafsir Ibnu Katsir, juz 3 halaman 245 dalam menafsiri QS Al-An-Biyaa’/ 21: 105). Namun istilah yang sudah mapan itu  oleh Dr Ir Imaduddin  Abdul  Rahiem tiba-tiba mau dirubah, bahwa hamba Allah yang sholeh itu  tidak mesti beriman. Hingga dia katakan, Presiden Amerika, Bill Clinton, –yang kelak ramai dibicarakan orang sedunia karena skandal seksnya dengan sekretaris kepresidenan, Monica Lewinsky- itu oleh Dr Ir Imaduddin Abdul Rahiem (sebelumnya telah) dianggap sebagai hamba Allah yang sholeh, bahkan dia sebut sebagai Khalifatullah fil ardh (Khalifah/ pengganti atau wakil Allah di bumi). Padahal menurut Islam,  orang  yang sholeh  itu syarat utamanya adalah iman. Sedang Muslimin terpilih bahkan terbaik setelah Nabi Muhammad saw yaitu Abu Bakar As-Shiddiq saja pangkatnya hanya khalifah Nabi, namun Clinton yang non Muslim dan kelak heboh skandal seksnya itu telah dinyatakan oleh Imaduddin sebagai hamba Allah yang sholeh dan khalifah Allah.

Pernyataan Imaduddin itu dia kaitkan dengan Al-Qur’an S Al-Anbiyaa’/ 21:105

“Dan sungguh telah Kami tulis di dalam Zabur sesudah (Kami tulis dalam) Lauh Mahfudh, bahwasanya bumi ini dipusakai hamba-hamba-Ku yang shaleh.(Al-Anbiyaa’/ 21:105).

Keruan saja pernyataan Imaduddin yang dimaksudkan sebagai penafsiran Al-Quran itu menjadi ramai ketika dia kemukakan dalam pidatonya saat ia menyajikan makalah  di dalam “Seminar Internasional VI Mukjizat Al-Qur’an dan As-Sunnah tentang Iptek”, yang diselenggarakan oleh Rabithah Alam Islami (Liga Dunia Islam) dan ICMI (Ikatan Cendekiawan Muslim se-Indonesia), 29 Agustus – 1 September 1994, di IPTN (Industri Pesawat Terbang Nusantara) Bandung. Sampai-sampai, Dr Al-Muslih dari Rabithah Alam Islami (Liga Dunia Islam) Makkah, ketua penyelenggara seminar internasional yang sudah berpengalaman di berbagai negeri dalam menyelenggarakan acara yang sama di hadapan para cendekiawan Islam sedunia, saat itu meminta waktu seketika, dan mengemukakan bahwa seminar internasional semacam ini telah diselenggarakan selama 6 kali, namun baru di Indonesia ini makalah-makalah yang tidak bermutu bisa ditampilkan. Saat itu Dr HM Quraish Shihab selaku pembawa acara tampak klimpungan, lalu ingin membela diri (rekannya sebangsa, Indonesia) bahwa pihaknya telah berupaya keras untuk menampilkan makalah-makalah yang bagus, dan ini telah diusahakan dari sekian banyak, hanya beberapa makalah yang bisa diloloskan untuk tampil dalam forum internasional ini.

Ungkapan Quraish Shihab itu justru bermakna terbalik. Maunya membela rekannya sebangsa, namun justru terperosok, dan secara tidak langsung sama dengan mengatakan, yang sudah dianggap bagus saja seperti itu mutunya, apalagi yang tidak lolos. Maka suasana seminar pun kacau, ramai sekali, akhirnya dibubarkan sementara alias istirahat sementara. Sedang para peserta saling berbantah-bantahan satu sama lain. Tampak KH Sa’id Hilaby (almarhum, Ulama Al-Irsyad) ingin meleraikan para ilmuwan Islam sedunia yang sedang ribut itu di waktu “istirahat-terpaksa” itu. Namun tetap saja suara-suara nada protes terhadap pendapat Imaduddin itu bermunculan secara gaduh, hanya saja bukan dalam suasana sidang, karena memang sidangnya diskors sementara. Pakar-pakar tafsir Al-Qur’an seperti Dr Ahsin Muhammad Asyrofuddin alumni Saudi Arabia ketika saya wawancarai, beliau mengemukakan belum pernah mendengar ulasan seperti yang dikemukakan Imaduddin itu. Sementara itu Dr Sa’id Aqil Al-Munawar (bukan Said Aqil Siraj yang di buku ini disebut termasuk yang mempelopori do’a bersama antar agama, satu bid’ah yang sangat tercela) yang juga alumni Saudi Arabia ketika saya wawancarai, Pak Aqil Al-Munawar menjawab, barangkali Pak Imaduddin hanya keliru saja.

Saat itulah Imaduddin, salah satu orang Indonesia yang dianggap pakar Islam dan dari kelompok yang  suka melontarkan penafsiran sak gaduk-gaduke (seterjangkau-jangkaunya), ternyata mengalami musibah langsung, kena batunya di forum internasional, di hadapan para ahlinya.

Omong-omong tentang “kena batunya” di depan para halinya, kalau yang sifatnya tidak di forum internasional tetapi skup nasional agaknya sering juga terjadi. Misalnya, Prof Dawam Rahardjo ketika berpidato tentang hukum waris Islam tahun 1987 –zaman KH Munawir Sjadzali jadi menteri agama dan ingin merubah hukum waris Islam antara laki-laki dan perempuan untuk disamakan satu banding satu– di depan para utusan Himpunan Peminat Ilmu-ilmu Syari’at yang rata-rata adalah para pejabat dari Peradilan Agama, Prof Dawam Rahardjo mengemukakan, kalau mau membagi harta warisan dua banding satu antara lelaki dan perempuan, bagaimana menghitungnya?

Ungkapan Prof Dawam Rahardjo itu tampaknya membela Pak Munawir yang ingin merubah hukum waris Islam dari hukum aslinya: bagian lelaki dibanding wanita adalah  dua banding satu, lalu ingin dirubah jadi satu banding satu. Arah pembicaraan Dawam Raharjo adalah: Kalau satu banding satu kan mudah menghitungnya. Kalau dua banding satu, bagaimana menghitungnya?

Nah, hadirin yang memenuhi aula di suatu gedung di Kaliurang Yogyakarta itu secara spontan tampak menertawakan kepicikan Dawam Rahardjo, ketika mereka mendengar ungkapannya yang aneh itu. Seketika itu pula Prof Dawam Rahardjo  tampaknya merasa kalau dirinya ditertawakan secara serempak oleh para ahli. Dalam hal ini ahli memberikan fatwa waris. Rupanya Prof Dawam Rahardjo ini seketika langsung merasa bahwa dirinya sedang “menggarami laut” dan bahkan tanpa persediaan garam yang banyak, maka pidato yang baru 10 menit itu terpaksa dia hentikan sendiri, dia ucapkan: wassalamu’alaikum warohmatullah…. lantas ia ngibrit pulang langsung ke Jakarta, tidak pakai tengak-tengok kanan kiri lagi.

Peristiwa itu berbeda dengan Dr Ir Imaduddin Abdul Rahiem. Meskipun Imaduddin sudah kena batunya di forum internasional di IPTN (Industri Pesawat Terbang Nusantara) Bandung, namun ia masih pula berani-beraninya khutbah di masjid IPTN itu saat itu pula. Keruan saja, KH Ahmad Khalil Ridwan alumni Madinah, kemudian berpidato keras-keras di Masjid Agung Al-Azhar Kebayoran Baru Jakarta, meyakinkan jama’ah bahwa Dr Ir Imaduddin Abdul Rahiem tidak bisa berbahasa Arab, dengan bukti khutbah jum’atnya di Masjid IPTN Bandung salah-salah dalam membacanya. Kenapa KH Ahmad Khalil Ridwan sampai mempidatokan diri orang lain semacam itu, menurutnya karena orang yang disebut tidak bisa berbahasa Arab itu telah berani menafsiri ayat Al-Qur’an semaunya.

Demikianlah secuil suasana percaturan penyebaran ilmu Islam di Indonesia, keadaannya menyangkut-nyangkut hal-hal yang bisa merusak Islam alias merusak pemahaman Islam. Itu saja baru mengenai hal yang berkaitan dengan seluk beluk bahasa.

Kembali kepada masalah awal tentang perusakan Islam,  ada lagi yang  merusak  Islam lewat praktek perbuatan, dan ada yang lewat bahasa dan karangan.

Merusak  Islam  lewat bahasa itu hal yang  berbahaya.  Bahkan ucapan  yang  kadang  dianggap biasa  saja,  bisa  mencemplungkan pengucapnya ke neraka selama 70 tahun.

Kita simak sabda Nabi SAW:

“Innar rojula layatakallamu bil kalimati laa yaro bihaa ba’san yahwii bihaa sab’iina khoriifan fin naari.”

“Sesungguhnya ada seorang laki-laki mengucapkan satu perkataan yang dianggap tidak apa-apa (tetapi ternyata) menjerumuskannya ke dalam neraka sampai 70 tahun.” (Hadits Shahih Riwayat At-Tirmidzi dalam Az-Zuhd 4/604 dari Abu Hurairah)

Berikut  ini   insya Allah akan diuraian tentang perusakan Islam  lewat  bahasa. Kemudian disambung   dengan cara menanggulanginya yaitu dengan memaparkan teknik pemakaian bahasa dalam  mengarang,  dan rangsangan  agar ummat Islam menanggulangi perusakan  Islam  yang dilancarkan musuh. Marilah kita bicarakan satu demi satu.

Tentang bahasa

Bahasa  ialah  ungkapan pikiran dan  perasaan  manusia  yang secara teratur dinyatakan dengan memakai alat bunyi. Perasaan dan pikiran merupakan isi bahasa, sedangkan bunyi yang teratur  merupakan bentuk bahasa.

Ada dua macam bentuk bahasa: bahasa lisan dan bahasa tulisan.

Bahasa  tulisan dianggap merupakan sistim yang sangat  bergantung kepada ujaran. (Lihat Ensiklopedi Umum, hal 116)

Asal bahasa

Bahasa  itu sendiri, secara sekuler, disebut tidak  diketahui asalnya. Sedangkan di dalam Islam, Al-Quran telah menjelaskan, Nabi Adam AS  diajari oleh Allah SWT tentang nama-nama semuanya. Jadi, bahasa itu jelas asalnya dari Allah SWT.

“Dan  Dia  mengajarkan  kepada  Adam  nama-nama  (benda-benda) seluruhnya,… (QS Al-Baqarah/ 2: 31).

Bahasa Indonesia

Menurut Ensiklopedi Umum, Bahasa Indonesia berasal dan tumbuh dari  bahasa  Melayu Riau, Johor, daerah  sekitar  Selat  Malaka. Sekurang-kurangnya  sejak 6 abad lalu bahasa Melayu  itu  menjadi bahasa  perhubungan.

Istilah-istilah  Islam tentu masuk ke dalam bahasa  Indonesia sebagaimana  masuk ke bahasa-bahasa bangsa lain. Lebih dari  itu, Bahasa  Arab  sebagai  bahasa Al-Quran dan  Al-Hadits  (sumber  Islam) terbukti  masuk  dan banyak yang menjadi kosa kata  dalam  bahasa Indonesia bahkan bahasa-bahasa daerah di Indonesia, terutama yang berkaitan dengan agama, wabil khusus istilah hukum. Karena,  pada dasarnya hukum yang berlaku di kerajaan-kerajaan Islam  Nusantara dan  Melayu (Jawi) adalah hukum Islam. Sampai  sekarang,  istilah nikah,  talak, ruju’, waris, waqaf, hibah dsb yang  berasal  dari bahasa  Arab  (Islam) menjadi bahasa resmi di Indonesia.  Itu  disamping istilah-istilah umum  biasa seperti: sabun, fikir, kursi, huruf, hukum dsb.

Upaya menghapus istilah-istilah Islam

Pengaruh bahasa Arab yang cukup dominan ini tak disukai  oleh pihak  yang  kurang  senang dengan Islam, atau  oleh  orang  yang mengaku  Islam  namun  dalam hatinya  mengandung  penyakit  ingin merusak Islam. Hingga gedung MPR (Majelis Permusyawaratan Rakyat) yang  istilahnya  itu sendiri dari kata-kata Arab  Islam (yaitu Majelis Permusyawaratan Rakyat, tiga kata itu semuanya dari kata-kata Arab), namun pada waktu jaya-jayanya Soeharto sebagai presiden RI ke2 menggulkan aliran kemusyrikan (kebatinan) dalam GBHN 1978, lantas nama ruangan-ruangan gedung MPR itu diganti dengan bahasa  Sanskerta, bahasa usang yang sudah tak terpakai.  Seperti ada  ruang  wirashaba dsb yang hampir  seluruh  masyarakat  sulit mengucapkannya,  apalagi  untuk tahu artinya. Juga  memberi  nama “kereta  api  cepat” dengan nama Argo (gunung)  Gede,  Argo  Bromo, Argo Lawu; sedang  pesawat terbang dinamai Tetuko (nama wayang)  dsb.  Belum lagi  masalah  penghapusan tulisan Arab dari uang  resmi  setelah tahun 1960-an, dan penghapusan pelajaran menulis dan membaca Arab- Melayu sejak 1970-an. Padahal tulisan Arab itu sampai kini justru digalakkan  di  negeri jiran seperti di Brunei Darus  Salam  yang setiap  plang (papan nama)jalan ataupun plang-plang di bandar udara/ lapangan terbang ditulis dengan tulisan  Arab. Namun  di Indonesia, plang IAIN (Institut Agama Islam Negeri) pun dihapus dari tulisan  Arabnya (Al-Jami’ah  Al-Islamiyyah Al-Hukumiyyah/ )sejak  menjelang  tahun 1990-an (?).Masjid-masjid  pun plangnya sudah banyak yang  tidak  memakai huruf  Hijaiyyah  lagi. Sementara di balik itu  ada  yang  ghuluw (ekstrem) hingga tembok di dalam masjid ditulisi dengan apa  yang disebut kaligrafi aneka macam tulisan.

Penyesatan dengan bahasa yang tampak Islami

Sementara itu ada juga yang mengambil kesempatan  menggunakan tulisan Arab dan Bahasa Arab yang tampaknya Islami, untuk  karangan-karangan  yang  menyesatkan ummat  Islam,  bahkan  menjajakan kemusyrikan  secara terbuka. Misalnya buku-buku Mujarobat yang isinya bercampur dengan kemusyrikan,  primbon-primbon  (ramalan-ramalan,   khurofat,  tathoyyur,  takhayyul dsb),  tafsir-tafsir  mimpi yang tidak shohih dan  bahkan  kitab-kitab  kuning (Arab Gundul, hurufnya tidak pakai baris/ harokat dan kertasnya biasa berwarna kuning) pun tidak terbebas dari hal-hal  yang menjerumuskan  aqidah  ummat Islam. Misalnya  kitab  tentang  Nur Muhammad,  yang hal itu intinya: Tidak dijadikan  dunia  seisinya ini  kecuali  karena  Nur Muhammad. Itu adalah keyakinan orang shufi (tasawuf) sesat yang bercampur filsafat Yunani dan kepercayaan bathil Nasrani. Lalu diberi dalil berupa hadits  palsu/ maudhu’:

Laulaaka lamaa kholaqtul aflaaq (Seandainya bukan karena engkau  Muhammad, maka pasti tidak Aku ciptakan planet-planet ini). Ini sangat dipegangi di  kalangan shufi  (orang  tasawuf) sesat. Setiap mereka  memperingati  maulid Nabi  SAW –yang tidak ada perintahnya samasekali dalam  Islam–, selalu  mereka kemukakan hadits palsu itu (baca rangkaian ini pada bab mengenai tasawuf di buku ini, atau selengkapnya baca tentang Nur Muhammad di Buku Mendudukan Tasawuf, Gus Dur Wali?). Juga kitab-kitab  lain yang dipakai kalangan shufi bahkan pesantren umum di Indonesia  di antaranya Kitab Durratun Nashihien yang mengandung banyak  hadits palsu dan bahkan khayalan yang jauh dari ajaran Islam. Semua  itu menggunakan tulisan Arab dan Bahasa Arab, namun kini di-Indonesiakan oleh orang-orang yang hanya mengejar duit, tidak  menggubris sesatnya ummat.

Istilah Islami diselewengkan kaum sekuler

Ada  juga  istilah yang asalnya  Islam  diselewengkan  kepada kemusyrikan, misalnya upacara sesaji kemusyrikan dinamai  sedekah   bumi.  Lafal sedekah itu dari shodaqoh. Ada juga perkataan  lokal yang secara haqiqi bermakna biasa, namun secara maknawi- kemusyrikan  dimaknakan lain, seperti: wedus gembel itu artinya adalah kambing  kibas, namun oleh pihak tertentu dijadikan sebagai nama (lambang  kepercayaan  syirik) penyebab  timbulnya  angin panas  yang  menghanguskan manusia dan hewan di Kaliurang Yogyakarta  1994.  Hingga koran (Islam?) Republika pun ikut-ikutan mempublikasikan istilah kemusyrikan itu.

Kaum  sekuler  pun  bertingkah pula.  Mereka  gigih  mengganti istilah-istilah Islam-Arab dengan istilah Barat. Misalnya, mereka alergi menggunakan istilah [1]akhlaq[1] hingga mereka ingin  menggusurnya dengan istilah etika atau moral, sedang Aqidah-Tauhid diganti dengan  Teologi. Istilah tahkim diganti dengan arbitrase.  Mereka tak mau menggunakan istilah Ahad, lalu diganti dengan Minggu, dan bahkan bukan sekadar harinya yang diganti namun tanggal qomariyah yang  merupakan  penanggalan yang berkaitan dengan  ibadah  telah mereka upayakan untuk ditinggalkan, hanya memakai tanggal syamsiyah. Hingga generasi Islam pun tidak hafal nama-nama bulan Hijriyah/  qomariyah.

Itu semua adalah upaya mengikis Islam  dari  segi bahasa dan istilah.

Orang-orang jahil pun ikut-ikutan merusak Islam secara  sadar ataupun  tidak, dalam hal memompakan istilah. Pernah ada  pejabat tinggi  negara yang ingin menamakan pelacur dengan “wanita  harapan” di masa jaya-jayanya Presiden Soeharto. Bahkan selama pemerintahan  Soeharto, istilah pelacur telah diganti  dengan  “wanita tuna susila” kemudian disingkat dengan WTS. Hingga orang tua dari gudang  WTS di Indramayu Jawa Barat pernah dikhabarkan  ada  yang bangga anaknya jadi WTS di Jakarta karena duitnya banyak,  sedang ia tak tahu apa arti kata “WTS” itu.

Menghalalkan perzinaan lewat bahasa

Untuk menghalalkan pelacuran, dimunculkan pula istilah pekerja  seks. Seakan perbuatan yang melawan hukum Allah  itu  menjadi salah  satu jenis pekerjaan yang perlu disahkan.  Na’udzubillaahi min dzaalik.

Setelah  perzinaan  merajalela, wanita-wanita  karier  banyak yang dikhabarkan menyeleweng, maka dimunculkan pula istilah  yang seolah-olah  bukan larangan agama. Pasangan zina laki-laki  cukup disebut  PIL (Pria Idaman Lain), sedang pasangan  zina  perempuan disebut WIL (Wanita Idaman Lain). Artinya, para pezina itu  sudah punya isteri atau suami namun kemudian berzina. Mereka itu  seharusnya  dirajam,  yakni  dihukum mati  oleh  pengadilan,  caranya ditanam setengah badan di depan umum (misalnya di depan  masjid), lalu dilempari batu kecil-kecil sampai mati. Namun yang dimunculkan dalam istilah yang merusak Islam itu justru istilah menggiurkan  yaitu pria idaman, dan wanitaidaman. Sehingga pasangan  zina justru disebut idaman. Na’udzubillahi min dzaalik.

Para pengomando seks bebas entah itu berkedok sebagai  dokter ahli seks ataupun lainnya mempromosikan istilah itu secara gencar sebagai  penyambung  lidah aspirasi syetan  yang  merusak  Islam. Belum  lagi iklan kondom yang digencarkan dengan  suara  mendayu-dayu  yang  intinya menghalalkan zina asal  pakai  kondom.  Suatu penentangan  agama  yang  terang-terangan,  namun  tidak  diambil tindakan oleh pemerintah. Padahal, diturunkannya ayat yang  artinya  Barangsiapa  tidak berhukum dengan apa yang  Allah  turunkan maka  mereka itu adalah orang-orang kafir, itu  adalah  berkaitan dengan  enggannya kaum Yahudi menerapkan hukum rajam atas  pezina yang  telah diwahyukan Allah SWT dalam Taurat. Malahan  kini  ada   gejala  yang lebih bandel lagi ketimbang Yahudi itu.  Kini  bukan hanya tidak mau melaksanakan hukum rajam, namun bahkan menghalalkan  perzinaan dengan aneka bahasa dan  dalih.  Astaghfirullaahal ‘Adhiem. Kadang penghalalnya itu perempuan lagi, dengan  membela-bela diteruskannya lokalisasi pelacuran, dan mereka tak rela akan dibubarkannya, dengan aneka dalih.

Wanita-wanita murahan yang kerjaannya suka dipotret telanjang pun berani berkilah-kilah dengan bahasa, katanya ketelanjangannya itu  hanya  trik kamera. Lalu pihak-pihak yang  mendukung  sarana perzinaan  dengan  menyebarkan gambar-gambar porno  pun  tak  mau kalah,  mereka  menyebut  yang porno itu  dengan  istilah  keren, estetika  alias seni keindahan. Syetan telah mengomandoi  mereka, maka menganggap baik kejorokan yang mereka lakukan.

Golongan ahli rancu terjerumus

Satu partai yang didirikan oleh organisasi berlabel Ulama  pun konon berkampanye di daerah pelacuran, dan para pelacur  merengek agar  tidak dibubarkan sarang pelacurannya. Bisa diucapi,  memang babi atau tikus got (pecren,Jw) itu lebih suka hidup di comberan. Apakah  ini  sudah salah kedaden (salah pola  dasarnya)?  Wallahu a’lam.  Yang  jelas,  trend sikap suatu  gerombolan,  geng,  atau bahkan golongan tertentu, sering berkait berkelindan dengan lakon para penggedenya.

Ada  orang  terkemuka dari golongan itu  yang  dikenal  dengan sebutan  Gus Anu.  Dia ini hafal Al-Quran  dan  sering  mengadakan sima’an  Al-Quran, pembacaan Al-Quran secara hafalan, dan didengarkan banyak orang di suatu majlis. Gus Anu itu konon suka  datang ke daerah remang-remang, hingga wanita-wanita pelacur yang disebut  penghibur  (ini  istilah  yang mengelabui pula)  banyak  yang  kenal. Diberitakan,  si hafal Quran itu minum minuman bir hitam  segala.

Lalu  sampai pada usianya pun meninggallah ia. Lakon seperti  itu kemudian  dipuji-puji pula oleh seseorang –yang  terkemuka  dan pernah saya tulis buku khusus tentang bahaya pemikirannya– untuk mengenang  kematiannya  di koran Katolik  tempat  menggedekan  si pemikir bahaya itu. Lha kalau lakon seperti itu saja dipuji, maka lakon  berkampanye  di  tempat pelacuran oleh  partainya  itu  ya dianggap lumrah (biasa, wajar). Padahal, kalau orang yang  sedang kampanye di tempat pelacuran itu tiba-tiba mati di sana, dan atau ada adzab jatuh di sana, maka suu-ul khotimah (buruk akhir hayatnya) lah mereka. Kenapa? Karena,  pada hakekatnya sama dengan sudah rela terhadap  keberadaan  tempat maksiat itu sendiri. Namun berhubung  cara  berfikir mereka  sudah  rancu dan sering menolak nasihat  kebenaran  alias sombong, maka begitulah adanya. Terjadilah apa yang terjadi.  Itu di antaranya gara-gara pengelabuan istilah berupa apa yang mereka sebut “wali”. Istilah “wali”, bagi mereka bisa kalis (terkena  tapi tak  berbekas) dari kesalahan, hatta kesalahan  yang  jelas-jelas amat  sangat mencolok secara syar’i. Imbasnya, muballigh  kondang

Zaenuddin  MZ pun pernah terpeleset pula, ia berpidato dengan bangga bahwa dirinya berceramah di  tempat  pelacuran. Keterpelesetan semacam itu mudah-mudahan tak terulang, dan hendaknya beliau tidak mengulangi ketidak cermatannya dalam memahami Islam.

Seorang  bekas  bajingan seperti Anton Medan  pun  mendirikan lembaga  yang di antara programnya mengkhususkan penerjunan  para da’inya untuk berda’wah ke tempat pelacuran. Giliran tempat mesum itu  diliburkan oleh Gubernur DKI Jakarta  Surjadi Sudirja  untuk pertama  kalinya  pada Ramadhan 1417H, maka  program  yang  sudah dirancang  rapi oleh Anton dan anak buahnya itu  gagallah.  Boleh   diperkirakan,  justru  mereka  “menyesal”  dengan   diliburkannya tempat pelacuran itu. (Lihat buku Di Bawah Bayang-bayang Soekarno Soeharto, Tragedi Politik Islam….. Darul Falah Jakarta, 1420H).

Kenapa Anton berprogram seperti itu? Wallahu a’lam. Tetapi  gurunya,  kita kenal adalah seorang terkemuka dari  golongan  seperti tersebut  di atas, tidak lain adalah Kiai Haji Noer Muhammad  Iskandar  SQ tokoh PKB (Partai Kebangkitan Bangsa) pembela utama Gus Dur,

yang telah punya pemahaman rancu mengenai pernikahan,  dipraktekkan pula hingga pernah heboh dan memalukan.

Jadi  istilah “wali” yang disalah artikan seperti tersebut  di atas,  ternyata  rangkaiannya sangat jauh, dan  pengaruhnya  amat jauh dari ajaran Islam, secara melembaga di suatu organisasi dan kalangan pesantren yang mengaku Ahlus Sunnah namun seringkali belepotan dengan bid’ah.

Gerombolan dukun dengan istilah mentereng

Dari segi pelanggaran aqidah yang amat tinggi pun  diciptakan istilah  yang sangat merusak aqidah. Dukun santet,  dukun  nujum, dukun  ramal  dsb diganti dengan istilah  para  normal.  Kemudian secara  terang-terangan mereka mengiklankan diri  dan  disponsori oleh  media massa yang dalam hal ini merusak Islam  di  antaranya koran Pos  Kota  untuk diadakan praktek secara  nasional  dengan  iklan besar-besaran.  Lalu diberitakan pula dengan cara  yang  menarik.

Sehingga seakan sebagai hiburan belaka, sedang para dukun  itupun telah   menjerumuskan  ummat  dengan  mengeruk   duit   per-orang Rp300.000,-.  Padahal, menurut Nabi Muhammad SAW,  mendatangi dukun untuk  bertanya  sesuatu saja  sudah  ditolak  sholatnya 40 hari.  Sedang  kalau  bertanya kepada dukun tentang sesuatu dan (lantas) meyakininya maka dihukumi  telah kafir  terhadap  Islam  yang dibawa Nabi  Muhammad  SAW,  menurut hadits  shahih.  Namun justru kini  secara  terang-terangan  para dukun  perusak  aqidah  itu membuat apa  yang  mereka  sebut  PPI

(Paguyuban  Para  Normal Indonesia) yang  konon  anggotanya  telah mencapai  60.000 dukun. Jadi penjaja kemusyrikan yang dulu  masih  ngumpet-ngumpet (sembunyi-sembunyi), kini telah  terang-terangan. Padahal,  bahayanya bagi ummat tidak kalah dengan bahaya  garong, copet, maling ataupun gedor, kecu, bangsat, dan bajingan lainnya. Hanya  saja para bajingan itu merugikan secara harta,  namun  apa yang  disebut  para normal itu merusak total aqidah  ummat,  yang justru lebih sangat-sangat berbahaya. Namun penguasa tampak diam-diam  saja, bahkan pernah ada pejabat kabupaten di Bantul  Yogyakarta yang dikhabarkan membayar dukun sampai satu miliar rupiah.

Aneh bin ajaib, di kalangan orang Islam sendiri menyetujui apa  yang disebut  “orang  pinter”. Padahal, hakekatnya  sami  mawon  (sama saja),  dukun-dukun juga. Walaupun yang disebut orang pinter  itu berlabel  kiai, tetap sama juga dengan dukun Mbah Jambrong,  kalau prakteknya  dukun-dukun  juga.  Namun  masyarakat  mengidentikkan dukun  itu  dengan kiai. Hingga ribuan orang dari  golongan  yang sering rancu aqidahnya berduyun-duyun ke dukun yang disebut  kiai untuk  minta  ilmu kebal. Suatu bentuk  pelanggaran  aqidah  yang terang-terangan, namun dilakukan secara demonstratip oleh  golongan  bid’ah dan khurofat. Ini satu kerancuan  akibat  pengelabuan lewat bahasa.

Karena  kemusyrikan perdukunan makin dianggap biasa, maka  di saat tumbuh reformasi dan bermunculan media massa baru, lalu  ada yang justru rajin mengiklankan kemusyrikan. Contohnya, koran Duta yang dikenal koran kaum NU (Nahdlatul Ulama) yang berhaluan PKB (Partai Kebangkitan Bangsa)  tampak  bersemangat mengiklankan  susuk,  yaitu  aji-aji kemusyrikan, dengan disebut ratu susuk asmara. Itu jelas menjerumuskan,  seolah aji-aji susuk kemusyrikan itu  boleh-boleh  saja.

Demikian  pula  koran yang konon SIUPP-nya Islam  seperti  Harian Terbit  suka mengiklankan kemusyrikan itu pula.  Televisi  swasta pun  ada yang mengobral kemusyrikan model itu. Semua itu  dikemas dengan bahasa yang seakan tidak ada masalah menurut agama.

Membredel lafal-lafal Islami

Di  balik itu semua, anak-anak kita pun telah  kita  lepaskan ikatannya terhadap lafal Allah. Hingga mereka tidak kita biasakan mendekat pada-Nya. Justru kita jauhkan dari Allah sejengkal  demi sejengkal.  Yang  semula anak kita masih mengucap:  “Ya  Allah… kini  kita  jauhkan  dari kata-kata itu.  Kita  ganti  dengan  Ya ampun….,  Ya amplop… dan sebagainya. Yang  tadinya  anak-anak kita diajari ustadznya agar membaca alhamdulillaah ketika  bersin atau bangkis, kini telah kita jauhkan dari puji syukur itu.  Yang tadinya  masyarakat kita fasih mengucapkan astaghfirullah  ketika terperanjat, kini kita jauhkan dari istighfar itu dengan  ucapan: astaga,   atau  bahkan astaganaga yang tidak  punya  makna  minta ampun pada Allah sama sekali.

Semua  sedekah-sedekah  yang bisa kita  lakukan  dengan  mulut seperti  membaca alhamdulillaah, astaghfirullaah,  Allahu  akbar, innaa  lillaahi  wa innaa ilaihi rooji’uun,  dan  sebagainya  itu telah  kita  bredel dari diri kita,  masyarakat  kita,  anak-anak kita, bahkan cucu kita. Jadilah kita ini orang-orang yang  sekuler, tidak mau menyebut nama Allah, apalagi berdzikir. (Lihat Buku Bila Hak Muslimin Dirampas, Pustaka Al-Kautsar Jakarta, 1994, hal 41).

Penerjemahan

Sejak tahun 1980-an tumbuh subur penerbit-penerbit Islam yang mencetak  buku-buku  terjemahan  dari bahasa  Arab,  buku  Islam. Pengaruhnya  cukup luas karena sambutan generasi muda  Islam  dan kaum  terpelajar  cukup baik. Hanya saja kadang  timbul  beberapa masalah  di  antaranya tentang bahasa, misalnya  kurang  tepatnya penerjemahan.  Dan  masalah lain lagi tentang belum  tentu  kitab yang  diterjemahkan itu baik dan benar secara Islam.  Sedang  penerjemah pun belum tentu tahu persis ilmu atau maksud dari  penulisan buku yang diterjemahkan itu. Sehingga pada hakekatnya buku-buku terjemah itu baru merupakan alternatif terendah ketika  kita belum menguasai bahasa aslinya yakni Arab.

Mengenai  bahasa, sering ada idiom kata-kata Arab yang  sulit diterjemahkan. Misalnya, lafal Tsakilatka ummuk, waihaka, taribat yadaaka,  ‘aqro  halqo dsb yang semua itu ada  di  dalam  hadits. Suatu ungkapan yang ditujukan kepada mukhotob (orang yang  diajak bicara)  secara lahiriyah berisi dzam (celaan) atau  bahkan  do’a maut, namun bukan dimaksudkan demikian.

Bahasa dalam mengarang

Bahasa ini sangat penting bagi penulis naskah, karena pada dasarnya  menulis karangan itu adalah mengemukakan  buah  pikiran dengan bahasa.

Bahasa  tulis ini sifatnya lebih tinggi dibanding bahasa  pergaulan sehari-hari. Sehingga, di samping pengarang itu gagasannya (fikroh dan tashowwurnya/ pemikiran dan persepsinya) jelas, masih pula dituntut mampu mengemukakan  buah  pikirannya itu dengan bahasa  yang  sesuai  dengan kaidah-kaidah pemahaman umum. Karena bahasa memang sifatnya umum.  Hanya  saja, orang yang kreatif kemungkinan bisa  memasyarakatkan buah pikiran sekaligus memasyarakatkan istilah-istilah dalam  bahasa sesuai  dengan ideologinya. Hingga tidak terasa, orang akan  ikut   mengucapkannya,  padahal istilah itu menyalahi aqidah.  Misalnya, dimunculkan  istilah [1]  “di bumi pancasila ini”,  “hari  kesaktian pancasila”, “padamu negeri jiwa raga kami”[1] dsb. Istilah itu tidak sesuai  dengan aqidah Islam, namun banyak orang Islam yang  ikut-ikutan  mengucapkannya.  Bahkan, dalam upacara  penguburan  mayat konon diucapkan, “Kita serahkan jenazah ini kepada ibu  pertiwi”.

Kata-kata itu bertentangan dengan Islam yang menuntun ummat untuk mengucapkan:

“Bismillahi wa ‘alaa millati Rasulillaah”

“Dengan nama Allah, dan atas agama rasul Allah.”  (HR At-Tirmidzi  dan Abu Daud). Bukan menyerahkan mayat  kepada  bumi.

Ini menyangkut aqidah yang sifatnya prinsipil, namun bisa dimainkan penyelewengannya lewat bahasa.

Tata bahasa

Masalah-masalah  seperti  itu perlu dicermati  bagi  pengarang Muslim,  penceramah, atau da’i. Di samping itu, tata  bahasa  pun harus  dikuasai,  agar karangan yang ditulis  tidak  bertentangan dengan kaidah bahasa yang berlaku.

Kaidah  itu misalnya dalam bahasa Indonesia memakai  hukum  DM (diterangkan menerangkan). Contohnya, kata “hijau lumut”, maksudnya warna hijau seperti lumut. Hal ini biasanya berbalikan dengan bahasa  Inggeris.  Sedangkan dengan Bahasa Arab,  biasanya  sama. Hanya  saja,  dalam bahasa Arab yang relatif hukum  DM  ini  sama dengan Bahasa Indonesia pun  kadang-kadang akan timbul penerjemahan yang berbeda, karena beda persepsi dalam hal mana yang diterangkan. Contohnya, Surat Al-An’aam ayat 123:

————————-

Dan  demikianlah Kami adakan pada tiap-tiap negeri akaabiro  mujrimiihaa agar mereka melakukan tipu daya dalam negeri  itu.  Dan mereka  tidak  memperdayakan melainkan  dirinya  sendiri,  sedang mereka tidak menyadarinya. (QS Al-An’aam/ 6: 123).

Lafal akaabiro mujrimiihaa itu terjemah Depag sendiri ada  dua macam.  1,  penjahat-penjahat yang terbesar (dalam  Al-Quran  dan Terjemahnya,  Depag  RI  1971, halaman  208),  dan  2,  pembesar-pembesar  yang  jahat  (dalam Al-Quran dan  Tafsirnya,  Depag  RI 1985/1986, juz 8 halaman 266). Dua makna itu berbeda  pengertiannya. Yang satu pembesar-pembesarnya yang jahat, sedang yang satunya lagi penjahat-penjahatnya yang besar.

Memilih kata dan kalimat

Menggunakan bahasa dalam mengarang, berarti memilih kata  dan kalimat. Jadi, membuat karangan itu pada pokoknya adalah:

1. Memilih kata-kata.

2. membuat kalimat.

3. Membuat kerangka (outline)

4. Menuntaskan satu bentuk karangan.

5. Mengoreksi kebenaran bahasa, tulisan, alur, dan isi karangan.

Memilih  kata-kata  dan membuat kalimat dalam  suatu  karangan hendaknya  diupayakan agar bahasanya benar dan baik. Bahasa  yang benar yaitu yang sesuai dengan kaidah-kaidah bahasa yang dipakai.

Adapun kalimat dan kata-kata yang baik, artinya kata-kata yang tingkatannya  tinggi, bahasa sopan atau resmi. Dalam Bahasa  Arab disebut bahasa  fush-haa bukan bahasa ‘aamiyyah, pasaran.

Dari  sini bisa dimaklumi bahwa mengarang itu  bukan  sekadar mengeluarkan  ide atau pemikiran, namun juga bagaimana  cara  menyajikan  buah  pikiran itu lewat bahasa  tulisan.  Secara  mudah ibaratnya orang mau menyajikan makanan, maka ia harus menyediakan bahan makan, lalu berupaya memasaknya, kemudian menyajikannya  ke meja makan untuk dimakan.  Sehingga, karangan yang buah  pikirannya  bagus mesti didukung dengan bahasa penulisan yang bagus  dan   benar.  Karangan yang bagus adalah yang isinya bagus  dan  benar, bahasanya bagus dan benar, dan alurnya bagus hingga tidak  bolak-balik.

Karangan yang baik dan menarik

Karangan  yang bagus dan benar itu belum tentu menarik  untuk dibaca.  Untuk lebih bisa punya daya tarik perlu  dukungan  kata-kata yang menarik, dan teknik-teknik lainnya, di antaranya dengan memilih  judul  yang menarik, mengawali karangan  dengan  kalimat yang jelas dan ungkapan yang menarik, dan persoalan yang  dikemukakan  itu  sendiri ditonjolkan lebih dulu  segi-segi  mana  yang menarik.

Bahasa  yang  menarik  itu berbeda-beda  antara  satu  bangsa dengan bangsa lainnya, satu suku dengan suku lainnya, bahkan satu lapisan masyarakat dengan lapisan lainnya. Orang awam tidak  suka bahasa-bahasa  asing, orang terpelajar tak suka  bahasa  pejabat, sedang  orang  Islam  harus menjauhi  bahasa-bahasa  sekuler  dan musyrik.

Misal,  sebuah teks khutbah tidak layak diawali dengan  kisah:

Dengan diiringi gendang serta gamelan yang bertalu-talu  disertai bau kemenyan yang mewangi, jenazah pelawak Gepeng  diberangkatkan dari rumah duka siang itu.

Bahasa  dan  isi  kalimat tersebut sarat  dengan  makna  yang mengandung  ideologi  kepercayaan berbau  kemusyrikan.  Pintarnya orang meramu berita, pidato, kisah, laporan dsb dengan  kata-kata yang indah dan menarik, sering menjerumuskan orang ke arah  sesat yang  jauh. Justru di situ tantangan ummat Islam, khususnya  para da’i.  Mampukah  dan maukah mengimbangi kegigihan  mereka?  Ummat Islam ditantang adu canggih, sampai dalam hal kecanggihan  meramu kata-kata untuk mengungkapkan buah pikiran lewat teks. Entah  itu sekadar  slogan  di spanduk, di iklan, di  siaran-siaran  singkat dsb,  maupun yang sifatnya teks serius seperti khutbah,  makalah, artikel, paper, buku ilmiah dan sebagainya.

Menangkal serangan

Teori itu perlu sekali kita praktekkan dalam menangkal berbagai serangan yang merusak Islam seperti uraian tersebut di atas.

Perlu  diingat, kalimah syahadat pun  diacak-acak  Nurcholish Madjid dengan cara menerjemahkannya menjadi Tiada tuhan (t kecil) selain Tuhan (T besar). Sedang lafal Assalamu’alaikum  diinginkan Gus  Dur  untuk diganti dengan selamat pagi. Kuburan  pun  diberi istilah  “keramat”  entah  oleh siapa,  yang  kandungannya  rawan syirik. Lalu Gus Dur menghidupkan Sunnah Sayyi’ah (jalan  keburukan)  tentang  pengeramatan itu dengan  menghadiri  kuburan  Joko Tingkir di Lamongan Jawa Timur yang tak banyak dikenal orang, akibatnya praktek rawan kemusyrikan itu marak kembali sejak Juli 1999. (Tulisan ini bukan berarti anti ziarah kubur, namun dalam hal ini jelas kaitannya dengan pengeramatan kuburan yang jelas mengandung kerawanan syirik). Sementara itu pihak Nasrani  lewat  Nehemia-nya  mengacak-acak  Islam  dengan  menyebarkan lembaran-lembaran  yang  disebut [1]Dakwah  Ukhuwah[1]  padahal  isinya memutar balikkan ayat-ayat Al-Quran dan Al-Hadits.

Ya! Itu semua adalah serangan gencar yang merusak Islam. Maka Islam pun terhadap ummat ini  senantiasa  minta bukti, apa yang telah  kita  upayakan dalam  kancah peperangan yang menuntut kecanggihan dan  kegigihan ini.

Oleh : H Hartono Ahmad Jaiz

Tidak diragukan,  Islam adalah agama yang haq dari Allah, dan sumbernya jelas berupa wahyu yang tercantum dalam  Al-Quran dan As-Sunnah. Untuk mengetahui bagaimana sebenarnya pemahaman Islam yang benar, maka perlu diketahui kaidah-kaidah pokok tentang pengambilan sumber Islam dan cara menggunakan atau mencari dalil yang benar.

Berikut ini penjelasan singkat tentang kaidah-kaidah pokok mengenai manhaj pengambilan sumber aqidah Islam dan pengambilan dalil menurut Dr Nashir Abdul Karim Al-Aql.

1.  Sumber aqidah adalah Kitab Allah (Al-Qur’anul Karim), Sunnah Rasul-Nya saw yang shahih, dan ijma’ salafus shalih (kesepakatan generasi terdahulu yang baik).

2.  Setiap Sunnah Rasul saw yang shahih wajib diterima, walaupun sifatnya hadits ahad (setiap jenjang, periwayatnya tidak mencapai jumlah mutawatir, sekalipun 3 orang lebih. Kalau hadits mutawatir setiap jenjang diriwayatkan oleh banyak orang).

3.  Yang menjadi rujukan dalam memahami Al-Quran dan As-Sunnah adalah nash-nash penjelas (teks ayat ataupun hadits yang menjelaskan maksud-maksud ayat atau hadits). Rujukan lainnya adalah pemahaman salafus shalih, dan pemahaman imam-imam  yang berjalan di atas manhaj (jalan) salafus shalih. Dan apa yang telah ditetapkan dari Al-Quran dan As-Sunnah tidak dipertentangkan dengan pengertian (lain) yang semata-mata kemungkinan-kemungkianan dari segi bahasa.

4.  Dasar-dasar agama semuanya telah dijelaskan oleh Nabi saw, maka tidak ada hak bagi seorang pun untuk mengadakan sesuatu yang baru dengan anggapan bahwa itu termasuk dalam agama.

5.  Pasrah kepada Allah dan kepada Rasul-Nya saw (dalam hal penetapan Islam ini) secara lahir maupun batin. Maka tidak ada hak untuk mempertentangkan satu hal pun dari Al-Quran ataupun dari As-Sunnah  yang shahih (baik mempertentangkannya itu)  dengan qiyas, ataupun dengan perasaan, kasyf (klaim tersingkapnya hijab/ tabir hingga melihat yang batin/ ghaib), ucapan syaikh, pendapat imam dan sebagainya.

6.  Akal yang obyektif dan benar akan sesuai dengan naql (ayat ataupun hadits) yang shahih. Keduanya tidak akan bertentangan selamanya. Dan ketika terjadi kebimbangan yang bertentangan maka didahulukanlah naql (ayat ataupun hadits).

7.  Wajib memegangi lafal-lafal syar’i dalam aqidah, dan menjauhi lafal-lafal bid’ah (bikinan baru). Sedangkan lafal-lafal yang mujmal (garis besar/ global) yang mengandung kemungkinan benar dan salah maka ditafsirkan dari makna (lafal)nya, lantas hal yang keadaannya benar maka ditetapkanlah dengan lafal kebenarannya yang syar’i, sedang hal yang batil maka ditolak.

8.  Al-’Ishmah (keterpeliharaan dari kesalahan) itu tetap bagi Rasul saw, sedang ummat ini terjaga tidak akan bersepakat atas kesesatan. Adapun orang perorangnya maka tidak ada ‘ishmah (keterpeliharaan dari kesalahan) bagi seseorang pun dari ummat Islam ini. Sedang hal-hal yang ada perselisihan di kalangan para imam dan lainnya maka tempat kembalinya adalah kepada Al-Quran dan As-Sunnah; kemudian mujtahid ummat  yang bersalah agar meminta ampun.

9.  Di kalangan ummat ada muhaddatsun (orang-orang yang mendapatkan bisikan ghaib), mulahhamun (orang-orang yang mendapatkan ilham), dan mimpi yang benar itu adalah haq/ benar; dan itu adalah sebagian dari nubuwwah (kenabian), dan firasat yang benar itu adalah haq/ benar. Ini semua adalah karomah (kemuliaan) dan mubassyaroot (khabar-khabar gembira) –dengan syarat hal itu sesuai dengan syara’—dan itu semua bukanlah merupakan sumber bagi aqidah dan bukan pula sumber bagi syari’at.

10.       Bertengkar dalam agama itu tercela, tetapi berbantahan (mujadalah) dengan baik itu masyru’ah (disyari’atkan). Dalam hal yang jelas dilarang menceburkan diri dalam pembicaraan panjang tentangnya, maka wajib mengikuti larangan itu. Dan wajib mencegah diri dari menceburkan diri untuk berbicara mengenai hal yang memang tidak ada ilmu bagi seorang muslim (misalanya tentang ruh yang ditegaskan bahwa itu termasuk urusan Allah SWT) maka menyerahkan hal itu kepada Allah SWT.

11.       Wajib memegangi manhaj wahyu dalam menolak sesuatu, sebagaimana wajib pula memegangi manhaj wahyu itu dalam mempercayai dan menetapkan sesuatu. Maka tidak boleh menolak bid’ah dengan bid’ah, dan tidak boleh melawan tafrith (kelengahan, gegabah/ sembrono, sekenanya saja) dengan ghuluw (berlebih-lebihan, ekstrem), tidak pula sebaliknya, ghuluw dilawan dengan tafrith, itu tidak boleh.

12.       Setiap bikinan baru dalam agama itu bid’ah, dan setiap bid’ah tu sesat, dan setiap kesesatan itu di neraka.[1]

Sumber dan penyebab menyimpangnya aqidah

Aqidah itu wajib dijaga kemurniannya, tidak boleh ada penyimpangan atau penyelewengan. Karena, kalau aqidahnya menyimpang berarti keimanannya rusak, akibatnya semua amal tidak diterima. Sebab syarat diterimanya amal itu adalah iman, dalam arti iman yang benar, yang tidak menyimpang.

Sumber dan penyebab menyimpangnya aqidah perlu diketahui, di antaranya sebagai berikut.

1.  Akal yang tidak sesuai dengan Al-Quran dan As-Sunnah. Juga kebodohan terhadap aqidah shahihah. Contoh akal yang tak sesuai dengan Al-Quran dan As-Sunnah adalah akal Iblis, yaitu dengan akalnya iblis menentang Allah SWT.

قال ما منعك ألا تسجد إذ أمرتك قال أنا خير منه خلقتني من نار وخلقته من طين.

“Allah berfirman: “Apakah yang menghalangimu untuk bersujud (kepada Adam) di waktu Aku menyuruhmu?” Menjawab iblis: “Saya lebih baik daripadanya: Engkau ciptakan saya dari api sedang dia Engkau ciptakan dari tanah.” (QS Al-A’raaf: 12).

Di samping itu, kebodohan terhadap aqidah yang benar mengakibatkan tidak bisa membedakan mana yang haq dan mana yang bathil. Kebodohan itu disebabkan beberapa faktor di antaranya karena tidak mau mempelajari, tidak diajari sejak kecil hingga tua, bahkan di kalangan Muslimin belum tentu diajarkan aqidah yang benar, karena enggan, karena kurang perhatian, dan ada pula karena desakan yang dahsyat dari pengaruh aqidah-aqidah yang bathil. Maka para ulama, ustadz, da’i dan para orang tua hendaknya memperhatikan ummat dan generasi Muslim agar mereka mengenal aqidah yang benar, supaya tidak tersesat.

2.  Mengikuti hawa nafsu. Allah SWT berfirman:

ولا تطع من ……………………………………… أمره فرطا.

“Dan janganlah kamu ikuti orang yang hatinya telah kami lalaikan dari mengingati Kami, dan menuruti hawa nafsunya, dan adalah keadaannya itu melewati batas.” (QS Al-Kahfi: 28).

Nabi Muhammad Saw bersabda:

إياكم والغلو في الدين فإنما هلك من كان قبلكم بالغلو.

“Iyyaakum walghuluwwa fid diini fainnamaa halaka man kaana qoblakum bilghuluwwi.”

Artinya:

“Jauhilah oleh kamu sekalian sikap ghuluw (berlebih-lebihan) dalam agama karena sesungguhnya rusaknya orang dulu sebelum kamu itu hanyalah karena ghuluw.[2]

3.  Karena menirukan penyelewengan tingkah laku pemeluk  agama-agama  terdahulu. Nabi Saw bersabda:

لتركبن سنن من كان قبلكم شبرا بشبر وذراعا بذراع حتى لو أن أحدهم دخل جحر ضب لدخلتم وحتى لو أن أحدهم جامع امرأته بالطريق لفعلتموه.

“Latarkabunna sunana man kaana qoblakum syibron bi syibrin wadziroo’an bi dziroo’in hattaa lau anna ahadahum dakhola juhro dhobbin ladakholtum wa hattaa lau anna ahadahum jaama’am-ro’atahuu bit-thoriiqi lafa’altumuuhu.”

Artinya:

Pasti kamu sekalian benar-benar akan melakukan perbuatan-perbuatan orang yang telah ada sebelum kamu, sejengkal demi sejengkal dan sehasta demi sehasta, sehingga seandainya salahsatu mereka masuk lobang biawak pasti kamu masuk (pula), dan sampai-sampai seandainya salahsatu mereka menyetubuhi perempuannya di jalan pasti kamu sekalian melakukannya (pula).[3] Mengikuti kelakuan orang-orang dahulu (Ahli Kitab: Yahudi dan Nasrani) dalam kasus yang dikemukakan Nabi Saw itu tentang keburukan. Sedang mengenai hal-hal yang disyari’atkan untuk umat-umat terdahulu pun tidak boleh dilakukan, kecuali kalau dibolehkan oleh Nabi SAW. Karena Nabi SAW bersabda:

“…والله لو كان موسى حيا لما وسعه إلا أن يتبعني.”

“…Walloohi lau kaana Muusaa hayyan lamaa wasa’ahu illaa an yattabi’anii.”

Artinya:

“…Demi Allah, seandainya Musa hidup (sekarang ini) pasti dia tidak ada kelonggarannya kecuali dia harus mengikutiku.” [4]

4.  Adat istiadat yang bertentangan dengan Islam, ta’asshub (fanatik suku, golongan dsb), dan taklid buta (mengikuti tanpa tahu dalilnya).

وإذا قيل لهم اتبعوا …………………………………….. ولا يهتدون.

“Dan apabila dikatakan kepada mereka, Ikutilah apa yang telah diturunkan Allah, mereka menjawab: (Tidak), tetapi kami hanya mengikuti apa yang telah kami dapati dari (perbuatan) nenek moyang kami.” (Apakah mereka akan mengikuti juga), walaupun nenek moyang mereka itu tidak mengetahui suatu apapun, dan tidak mendapat peunjuk?” (QS Al-Baqarah: 170).

Setelah kita bicarakan  sumber-sumber pokok pengambilan dan manhaj Islam, demikian pula kita waspadai sumber-sumber penyelewengan aqidah Islam, mudah-mudahan kita terbebas dari segala penyelewengan. Sehingga iman dan Islam kita benar-benar lurus sesuai tuntunan Rasulullah SAW.  Mudah-mudahan. Amien.

Sumber:

..Dr. Nashir bin Abdul Karim Al-Aql, Mujmal Ushul Ahl As-Sunnah wal Jama’ah fil ‘Aqidah, Darul Wathan, Riyadh, cet I, Syawwal 1411H

·      Mendudukkan Tasawuf, Darul Falah Jakarta, Ramadhan 1420H/ Desember 1999.

·      Dr Shaleh bin Fauzan bin Abdullah Al-Fauzan, Kitab Tauhid I, Darul Haq Jakarta, cetakan I, Rajab 420H.


[1] (Dr. Nashir bin Abdul Karim Al-Aql, Mujmal Ushul Ahl As-Sunnah wal Jama’ah fil ‘Aqidah, Darul Wathan, Riyadh, cet I, Syawwal 1411H, hal 7-9).

[2] (HR Ahmad, An-Nasaa’i, Ibnu Majah, dan Al-Hakim, dari Ibnu Abbas, berderajat Shahih).

[3] (HR Al-Hakim dari Ibnu Abbas, berderajat shahih menurut As-Suyuthi dalam Al-Jami’ as-Shaghir).

[4] (Diriwayatkan Imam Ahmad dalam Musnadnya, dan Al-Baihaqi dalam Syu’bul Iman, dan Ad-Darimi dengan lebih sempurna, berderajat Hasan, karena punya banyak jalan menurut Al-Lalkai dan Al-Harawi dan lainnya).

Oleh : H Hartono Ahmad Jaiz

Alhamdulillaahi Robbil ‘Aalamien. Pembahasan yang diawali dengan menegaskan ketatnya penjagaan aqidah Islamiyah, kemudian bahaya bid’ah, dan diteruskan dengan aneka borok-borok orang shufi atau ajaran tasawwuf, kini sampai akhirnya kami tutup pembahasan ini.
Penjelasan-penjelasan telah kami sampaikan dengan mengutip berbagai sumber yang punya landasan kuat dari Al-Quran dan As-Sunnah Shahihah guna membuktikan mana yang benar dan mana yang batil.
Para hamba Allah yang mendapat rahmat hidayah, insya Allah akan mendapatkan apa yang dijanjikanNya. Sebagaimana Allah mengk­habarkan dengan firman-Nya:

“Maka sampaikanlah khabar gembira kepada hamba-hamba-Ku, yang mendengar perkataan lalu mengikuti apa yang paling baik di anta­ranya. Mereka itulah orang-orang yang telah diberi Allah petunjuk dan mereka itulah orang-orang yang mempunyai akal.” (QS Az-Zumar/39: 17-18).

Sebaliknya, apabila sudah ada penjelasan yang benar dan sha­hih, yaitu berlandaskan Al-Quran dan as-Sunnah Shahihah dengan manhaj (jalan) yang shahih pula, yakni manhaj salaf yang telah ditempuh oleh generasi awal Islam yakni sahabat, tabi’in, dan tabi’it tabi’ien; namun mereka tetap memegangi ajaran atau kebia­saan yang tidak sesuai dengan kebenaran Islam, maka kecaman dan ancaman Allah pun mengarah kepada mereka sebagaimana ditujukan kepada orang-orang sebelumnya. Allah berfirman:

Dan demikianlah, kami tidak mengutus sebelum kamu seorang pemberi peringatan pun dalam suatu negeri, melainkan orang-orang yang hidup mewah di negeri itu berkata: “Sesungguhnya kami mendapati bapak-bapak kami menganut suatu agama dan sesungguhnya kami adalah pengikut jejak-jejak mereka.”

Rasul itu berkara: “Apakah (kamu akan mengikutinya juga) sekali­pun aku membawa untukmu (agama) yang lebih (nyata) memberi petun­juk daripada apa yang kamu dapati bapak-bapakmu menganutnya?”

Mereka menjawab: “Sesungguhnya kami mengingkari agama yang kamu diutus untuk menyampaikannya.” (Az-Zukhruf/ 43:23-24).

Al-Ustadz Umar Hubeis dalam bukunya Fatawa, berkomentar, “Maka barangsiapa yang menolak keterangan yang jelas dari Al-Quran atau dari hadits shahih, dianggap mengikuti jejak mereka itu dan akan dijatuhi hukuman yang setimpal dan akan dimasukkan ke neraka, dan di sana kelak akan merasa betapa besar dosa orang-orang yang menyia-nyiakan akal mereka dan mereka akan berkata:

“Dan Mereka berkata: “Sekiranya kami mendengarkan atau memikirkan (peringatan itu) niscaya tidaklah kami termasuk penghuni-penghuni neraka yang menyala-nyala.” (QS Al-Mulk/ 67:10).

Sedang pada Surah Al-Ahzaab, Allah mengabarkan bahwa mereka akan berkata pula:

“Dan mereka berkata: “Ya Tuhan kami, sesungguhnya kami telah mentaati pemimpin-pemimpin dan pembesar-pembesar kami, lalu mereka menyesatkan kami dari jalan (yang benar). Ya Tuhan kami, timpakanlah kepada mereka adzab dua kali lipat dan kutuklah mereka dengan kutukan yang besar.” (Al-Ahzab/ 33:67-68).

Begitulah nasib orang yang ikut-ikutan tanpa pengertian, hanya terdorong oleh ta’aashub, fanatisme semata-mata. (Umar Hubeis, Fatawa, PP Al-Irsyad Al-Islamiyah Jakarta, cet kedelapan, 1994, hal. 21).

Cukuplah sudah keterangan-keterangan yang menjelaskan bahwa apapun yang tidak sesuai dengan Al-Quran dan As-Sunnah Shahihah maka wajib ditinggalkan atau ditolak.

Bila seseorang tetap mengikuti ajaran yang bertentangan atau tak sesuai dengan Al-Quran dan as-Sunnah Shahihah maka akibatnya akan menyesal dan merugi di akherat, walaupun di dunia kemungki­nan justru banyak temannya, banyak pengikutnya, atau banyak pelindung-pelindungnya yang mengayomi atau mempertahankan kesesa­tan itu. Wabil khusus/ lebih-lebih bagi para pemrakarsa dan

pendukung utama serta penganjurnya, maka akan menerima balasan dari Allah yang setimpal dengan kebangkangannya, dan mendapatkan la’nat dari para pengikutnya yang mereka sesatkan.

Perintah untuk tetap memegang teguh Al-Quran dan As-Sunnah Shahihah ditegaskan dalam Al-Quran dan As-Sunah dalam beberapa penegasan, sehingga tidak bisa diragukan lagi. Bahkan, ketika Nabi SAW berkhutbah pada haji wada’ (pamitan) pun menegaskan:

Innas syaithoona qod yaisa an yu’bada bi ardhikum walaakin rod­hiya an yuthoo’a fiimaa siwaa dzaalika mimmaa tahaaqoruuna min a’maalikum fahdzaruu innii taroktu fiikum maa ini’tashomtum bihii falan tadhilluu abadan kitaabulloohi wa sunnati nabiyyihi. (Al-Hakim)

“Sesungguhnya syaitan telah berputus asa untuk disembah di bumimu ini, tetapi senang ditaati pada sesuatu yang lain daripada (penyembahan) itu dari apa yang menyia-nyiakan amal-amalmu, maka waspadalah. Sesungguhnya aku telah meninggalkan padamu sesuatu, kalau kamu sekalian berpegang teguh kepadanya maka kamu tidak akan sesat selama-lamanya, yaitu kitab Allah (Al-Quran) dan sunnah nabiNya (Al-Hadits).”  (HR Al-Hakim).

Apabila ada yang berkilah bahwa kini sulit untuk mengikuti Al-Quran dan As-Sunnah karena banyak tantangan dan godaan, maka tingkat kesulitan itupun dihargai oleh Allah, sebagaimana diri­wayatkan dalam hadits:Abu Hurairah berkata, bahwa Rasulullah SAW bersabda:

Man tamassaka bisunnatii ‘inda fasaadi ummatii falahu ajru miata syahiid.”

Barangsiapa yang berpegang teguh dengan sunnahku di kala kerusa­kan umatku, maka baginya ganjaran 100 syahid/ mati dalam perang jihad. (HR At-Thabrani dan Al-Baihaqi).

Akhirnya, hanya kepada Allah lah kami bertawakkal, dan hanya kepadaNyalah kami memohon pertolongan. Mudah-mudahan Allah men­gampuni dosa dan kesalahan kami, hamba yang lemah ini.

Oleh : H Hartono Ahmad Jaiz

Sekarang ini banyak lembaga yang menjajakan paket-paket kajian ini itu yang seolah untuk memberikan bimbingan keislaman namun sebenarnya belum tentu merujuk kepada Islam yang benar.

Gatra edisi 31 Januari 1998 menurunkan laporan khusus sekitar kecenderungan bertasawuf di beberapa kalangan di antaranya sebagian pejabat atau ibu-ibu pejabat. Juga komentar-komentar mengenai tasawuf dari beberapa tokoh, serta adanya lembaga-lembaga yang menjajakan kajian tasawuf.

Dalam hal kajian Islam, sejak 1985-an banyak lontaran yang bernada mengkritik Islam terutama syari’ahnya atau hukum Islam dan fiqhnya. Kritik-kritik itu sambil memojokkan syari’ah atupun fiqh atau juga para ahli fiqh dengan cap-cap “miring” misalnya Syari’ah minded, fiqh sentris, tekstual tidak kontekstual, bahkan ada yang melontarkan cap skripturalis dipinjam dari istilah dari agama tertentu.

Sikap menyindir-nyindir syari’ah dan fiqh serta ahlinya itu sudah dikenal sejak dulu, paling tidak, Imam Ghozali dari kalangan sufi menyebut ulama fiqh sebagai ulama dunia. Di kalangan kaum kebatinan ataupun kejawen pun Mangkunegoro IV yang mengaku dirinya meninggalkan sholat (dalam salah satu puisinya) itu berani mengkritik para ahli syari’ah demi membela kebatinannya.

Belakangan orang-orang yang miring-miring ke sekuler, Mu’tazilah, Syi’ah dan semacamnya ramai-ramai pula mengkritik syari’ah dan fiqh serta ahlinya dengan cap-cap “miring” tersebut. Bahkan ada yang berani menghujat hadits shohih meniru-niru orientalis atau anak buah orientalis seperti Abu Rayah di Mesir dan sebagainya.

Sebagai bukti, ada orang dari Bandung (Jalaluddin Rakhmat) yang berani mengkritik hadits shahih riwayat Imam Muslim (Antum a’lamu bi umuuri dunyaakum– kalian lebih tahu dengan perkara-perkara dunia kalian) dengan argumen-argumen tidak ilmiah menurut ilmu Hadits, namun justru kini sebagai pelaku utama menjajakan paket tasawuf, suatu kajian yang justru membahas sesuatu yang tanpa landasan jelas.

Padahal tasawuf itu bukan hanya belum tentu berlandaskan Hadits shahih, namun justru mengandung unsur-unsur”dari ajaran luar Islam. Demikian pula Prof Dr Harun Nasution yang cenderung menolak Hadits Ahad (periwayatnya tiap jenjang tidak banyak orang) walaupun shahih untuk jadi landasan aqidah (misalnya rukun iman), namun sebaliknya ia khabarnya malah berguru tentang tasawuf.”Ini”salah
satu bentuk kerancuan berfikir yang nyata, Hadits shahih ditolak namun tasawuf yang tak jelas landasannya itu ditekuni.

Siapapun yang mengetahui apa itu tasawuf — bagi yang obyektif– tentu akan mengakui bahwa tasawuf itu ada unsur dari luar Islam dan ada unsur dari Islam. Maka siapapun yang mengetahui masalah itu dan masih bersikap obyektif akan
mengatakan: “Islam itu sudah sempurna, maka tidak butuh kepada tasawuf yang mengandung unsur-unsur ajaran dari luar Islam itu.”

Kalau memang seorang dari Bandung yang tadinya menghujat-hujat Hadits shahih itu hujatannya dimaksudkan untuk memurnikan Islam, maka seharusnya dia justru sama sekali tidak mengadakan pengakjian tasawuf dalam arti menyebarkan tasawuf di Jakarta atau di manapun. Karena, dengan menyebarkan tasawuf kepada orang-orang ataupun ibu-ibu pejabat yang sangat awam agama itu bukannya mengembalikan Islam kepada yang benar namun mencampuradukkan hal-
hal dari luar ajaran Islam kepada Islam.

Sungguh ironis tindakan orang semacam ini. Masyarakat yang awam agama tentu akan terseret, apalagi penyebar itu seorang ahli komunikasi, maka apa yang disampaikan walau sebenarnya adalah limbah namun”bisa dianggap sebagai emas.

Dengan kenyataan itu, umat Islam hendaknya hati-hati dan waspada. Kalau ada orang atau lembaga mengadakan kajian-kajian Islam, hendaknya dilihat, benarkah kajiannya itu berlandaskan ayat-ayat Al-Quran dan Hadits-hadits yang shahih. Kalau tidak, maka lebih baik ditinggalkan, dan lebih afdhol mencari kajian yang berlandaskan Al-Quran dan Hadits shohih.

Kasus itu sungguh ironis, menghujat Hadits shahih tetapi kemudian menjajakan paket kajian tasawuf yang tasawuf itu sendiri akar katanya saja tidak diketemukan secara pasti dalam Islam. Apalagi ajaran dan prakteknya banyak yang menyimpang dari Islam

Oleh : H Hartono Ahmad Jaiz

Pada hakekatnya ajaran tasawuf yang dianut umat Islam bercorak panteistis, hasil dari konsepsi filsafat yang disebut monisme. Yaitu konsepsi yang menyatakan bahwa Tuhan dan alam adalah satu. Bahkan jika diurut-urut lebih jauh, konsepsi monisme dengan panteismenya ternyata bersumber dari ajaran Hindu.

Drs H Abdul Qadir Djaelani seorang da’i yang pernah mendekam di penjara di masa Soeharto akibat menentang asa tunggal Pancasila dsb, produktif menulis buku (kini sekitar 14 buku diantaranya menanggapi pendapat-pendapat pembaharu/ neomodernis) ini merasa gemas melihat merebaknya tasawuf dan tarekat di kalangan umat Islam. Dia menulis kritik tajam terhadap tasawuf dalam buku yang berjudul Koreksi terhadap Ajaran Tasawuf diterbitkan GIP Jakarta, cet I 1996, 240 halaman. Dia menohok tokoh-tokoh tasawwuf yang ia nilai melenceng dari Islam seperti Al-Hallaj yang dibunuh oleh para ulama dan Ibnu Arabi yang dikafirkan oleh para ulama.

Berbagai metode ajaran tasawuf dibelejeti dalam buku ini, yang menurut Abdul Qadir (AQ) menyimpang dari Islam seperti zuhud, bai’at dan ketaatan mutlak, wasilah dan rabithah, serta uzlah dan khalwat. Ia juga menghujat praktik ekstase (junun) yang dilakukan para sufi (orang tasawuf).
Secara tegas, AQ mengawali bukunya dengan ungkapan yang menyentak, bahwa teori-teori yang diajarkan oleh berbagai macam aliran tasawuf, baik teori wihdatil wujud, wihdatus syuhud, al-ittihad, al-ittishal, al-hulul, atau al-liqa’, semuanya bersifat panteistis. Itu ujung-ujungnya adalah ajaran Hindu yang berpengaruh terhadap Yunani kuno dan kemudian diambil ke tasawuf Islam lewat penerjemahan-penerjemahan yang kebanyakan dilakukan oleh orang-orang Kristen zaman kekhalifahan abad kedua Hijriah.

Istilah Sufi

Jika istilah “sufi” ini diduga berasal dari kata shophia (bahasa Yunani), maka hal ini lebih dapat diterima. Sebab, sumber pemikiran Islam yang kedua setelah Al-Quran dan al-Hadits berasal dari negeri-negeri seperti Syria, Mesir, dan Persia, dengan pikiran-pikiran Yunani menjadi induk pemikiran di negeri-negeri tersebut. Pikiran neoplatonisme (Plotinus, wafat 269M), filosof Kristen yang mengajarkan tentang emanasi dan panteisme –yang sangat berpengaruh di dunia Kristen– juga berasal dari pikiran Yunani, khususnya pikiran Aristoteles dan Prophiry. (hal 13).

Sementara itu, dari data yang terungkap, orang pertama yang mendapat gelar “sufi” adalah Abu Hasyim Al-Kufi (wafat 150 H/ 761M) dari Kufah, bukan dari Makkah atau Madinah, dan ia dari generasi tabi’in, bukan dari generasi sahabat. Sedangkan di sisi lain, masa terjemahan telah terjadi terlebih dahulu, paling tidak
beberapa puluh tahun sebelum munculnya orang pertama yang bergelar sufi itu.
Jika istilah “sufi” itu juga dianggap berasal dari kata shuf (bulu domba, wol kasar) yang biasa dipakai oleh para sufi Kristen, hal ini bisa diterima, bahkan antara kata shophia dan shuf saling menguatkan. Sebab ajaran sufi di dunia Kristen yang paling berpengaruh berasal dari Plotinus, sehingga sangat logis jika aliran ini berpengaruh pada kaum sufi Kristen di Syria, Mesir, Baghdad dan Yaman. Lebih memperkuat lagi ialah bahwa kaum sufi muslim pada umumnya memakai kain shuf. (hal 14).

Selanjutnya AQ mengemukakan definisi tasawuf dengan mengutip beberapa orang di antaranya pendapat Bandar bin al-Husein, Sahal bin Abdullah at-Turturi, dan Al-Junaid (wafat 910M, tokoh tasawuf yang resmi dianut oleh orang tradisionalis di Indonesia, pen). Al-Junaid berkata: “Tasawuf berarti bahwa Tuhan menjadikan kamu mati, untuk hidup kembali di dalam-Nya.” (hal 15). Sedangkan Abu Yazid Busthami berkata: “Jika aku terhapus, maka Tuhan adalah kaca-Nya sendiri dalam aku.” (hal 15).
Lalu AQ menyimpulkan, pengertian tasawuf menurut istilah, tidak lain yaitu suatu usaha yang sungguh-sungguh dengan jalan mengasingkan diri sambil bertafakur (kontemplasi), melepaskan diri dari segala yang bersifat duniawi dan memusatkan diri hanya kepada Tuhan sehingga bersatu dengan-Nya.

Tasawuf dari Hindu

AQ berkeyakinan bahwa tasawuf itu berasal dari Hindu di antaranya dengan bukti: tujuan akhir dari peribadatan dalam agama Hindu adalah bersatunya kembali antara atman (ruh atau substansi) dengan brahman (ruh alam semesta atau Tuhan). Ajaran Hindu sangat berpengaruh terhadap bangsa Yunani kuno, baik dalam bentuk mitologi, filsafat, maupun mistik. Sehingga kita ketahui bahwa Plato dan Pythagoras adalah dua tokoh penganut ajaran reinkarnasi yang berasal dari ajaran Hindu. (hal 9).

Menurut M Horten (yang didukung R Hartman), tasawuf berasal dari alam pemikiran India. Dalam hal ini Horten telah melakukan penelitian yang lama untuk menguatkan pendapatnya itu. Akan tetapi pendapat tersebut kemudian ia revisi setelah ia melakukan analisis terhadap tasawuf al-Hallaj, al-Busthami, dan al-Junaid, dengan mengatakan bahwa tasawuf abad ketiga Hijriah-lah yang sangat dipengaruhi alam pemikiran India, terutama ajaran al-Hallaj. Horten pun berusaha keras mengokohkan teorinya ini dengan salah satu penelitiannya untuk menetapkan bahwa tasawuf berasal dari sumber India. Penelitian fisiologis yang dilakukannya terhadap berbagai terminologi para sufi Persia akhirnya membuatnya berkesimpulan bahwa tasawuf berasal dari aliran Vedanta di India. (hal 18).
Sementara itu Hartman, yang berusaha keras pula, membuktikan asal usul atau sumber tasawuf dari India. Ia mengemukakan pendapatnya sebagai berikut:

1. Kebanyakan angkatan pertama sufi berasal bukan dari Arab. Misalnya Ibrahim bin Adham, Syaqiq al-Balakhi, Abu Yazid al-Busthami, dan Yahya ibn Ma’az ar Radzi.
2. Kemunculan dan penyebaran tasawuf untuk pertama kalinya adalah di Khurasan (Parsi).
3. Pada masa sebelum Islam, Turkestan merupakan pusat pertama berbagai agama dan kebudayaan Timur dan Barat. Dan ketika para penduduk kawasan itu memeluk agama Islam, mereka mewarnainya dengan corak mistisisme lama.
4. Kaum muslim sendiri mengakui adanya pengaruh India tersebut.
5. Aksetisisme Islam (kebatinan) yang pertama adalah bercorak India, baik dalam kecenderungannya maupun metode-metodenya. Keluasan batin, pemakaian tasbih, misalnya, merupakan gagasan dan praktik yang berasal dari India. (hal 19).

Berasal dari Yunani dan asing

Kemudian cukup banyak para orientalis yang berpendapat bahwa tasawuf berasal dari tradisi pemikiran Yunani. Para orientalis yang berpendapat seperti ini lebih menaruh perhatian terhadap tasawuf yang mulai muncul pada abad ketiga Hijriah, lewat Dzun Nun al-Mishri, wafat 245H. (hal 19).
Muhammad Al-Bahiy (intelektual Islam Mesir, pen) menyatakan tentang adanya intervensi (penyusupan) alam pikiran asing, seperti paganisme Mesir, agama Budha, agama Hindu, agama Zaratrusta, ajaran Manu, Kristen, Yahudi, dan filsafat Yunani.

Dalam kaitan ini secara khusus filsafat Yunani telah:
1. Menimbulkan aliran-aliran filsafat di antaranya:
a. filsafat metafisika yang diwakili oleh Ibnu Sina di Timur dan Ibnu Rusyd di Barat; b. filsafat alam (fisika) yang diwakili oleh Abu Bakar ar-Razi. c. filsafat emanasi yang diwakili oleh Suhrawardi.
2. Membantu kelahiran:
a. tasawuf zuhud yang diwakili oleh Abdul Haris al-Muhasibi;
b. tasawuf filsafat yang diwakili oleh al-Ghazali; c. tasawuf India, Kristen, dan neoplatonisme yang diwakili oleh Ibnu Arabi, Ibnu Sab’in, dan al-Hallaj. (hal 23).
Selanjutnya, AQ membuktikan bahwa esensi ajaran tasawuf dan praktik-praktik amaliahnya berasal dari asing, yakni Kristen, Yunani, dan Hindu, maka secara prinsipil bertentangan dengan Islam.
Kalau Abdul Qadir Djaelani membuktikannya dengan buku setebal 240 halaman, maka secara mudah ulama tua KH Ghofar Isma’il (almarhum, ayah penyair dr Taufik Isma’il) dalam ceramah-ceramah pengajian tafsirnya cukup menjelaskan pada umat, kalau ada guru yang memberikan amalan-amalan (lafal-lafal dzikir) untuk dibaca sekian kali, itu harus dilandasi hadits yang shohih. Bila tidak, maka perlu diragukan kebenarannya.

Tarikat

Posted: 23 Juni 2010 in Kajian
Tag:

TARIKAT
Oleh : H Hartono Ahmad Jaiz
Tarikat atau tarekat berasal dari lafal Arab thariqah artinya jalan. Kemudian mereka maksudkan sebagai jalan menuju Tuhan; Ilmu batin, Tasawuf.

Perkataan Tarikat (“jalan” bertasawuf yang bersifat praktis) lebih dikenal ketimbang tasawuf, khususnya dalam kalangan para pengikut awam yang merupakan bagian terbesar.

Tarikat tidak membicarakan filsafat tasawuf, tetapi merupakan amalan (tasawuf) atau prakarsanya. Pengalaman tarikat merupakan suatu kepatuhan secara ketat kepada peraturan-peraturan syariat Islam dan mengamalkannya dengan sebaik-baiknya, baik yang bersi­fat ritual maupun sosial, yaitu dengan menjalankan praktek-prak­tek dan mengerjakan amalan yang bersifat sunat, baik sebelum maupun sesudah sholat wajib, dan mempratekkan riyadah. Para kyai menganggap dirinya sebagai ahli tarikat. (Leksikon Islam, Pustaka Azet Perkasa Jakarta 1988, II, hal 707).

Selanjutnya, tentang tarikat ini kami kutip dari buku tersebut (leksikon Islam), karena sudah dirangkum dengan kondisi Indonesia sehingga mudah dicerna. Setelah itu baru kami ambilkan komentar tentang tarikat dari berbagai sumber lain. Sehingga pembeberan tarikat yang kami kutip berikut ini merupakan bahan yang akan dikomentari sesudahnya.

Dalam tradisi pesantren terdapat dua bentuk tarikat: (1) yang dipratekkan menurut cara-cara yang dilakukan oleh organisasi-organisasi tarikat, (2) yang dipratekkan menurut cara di luar ketentuan organisasi-organisasi tarikat.

Tidak semua organisasi tarikat menganut sistem kepercayaan dan praktek keagamaan yang sama. Terdapat dua kelompok (a) yang sepenuhnya sejalan dengan ajaran-ajaran Al-Qur`an dan hadis; (b) yang tidak memiliki kaitan yang cukup kuat dengan Al-Qur`an dan hadis.

Berikut ini ada beberapa tarikat-tarikat yang menerangkan nama pendirinya, wafat pendirinya, tempat tarikatnya, pengaruhnya, asal-usulnya dan keterangan-keterangan yang perlu.

Tarikat Haddadiah
Tarikat yang didirikan oleh Habib Abdullah bin Alwi Al-Haddad yang wafat 1095M di Yaman. Banyak orang yang takut ikut tarikat­nya berhubung ratibnya yang terkenal, Ratib Al-Haddad, dipercayai sebagai doa selamat yang bermantera. Pengaruhnya tak hanya di Aceh, tapi hampir di seluruh negara Indonesia.

Tarikat Khalwatiah
Tarikat yang diprogandakan dalam abad-18 oleh Syaikh Mustafa Al-Bakri di Mesir dan Suriah. Salah seorang tokoh tarikat ini ialah Ahmad At-Tijani yang berasal dari Aljazair.

Tarikat Maulawiah
Tarikat yang didirikan oleh Maulwi Jalaluddin Ar-Rumi, meninggal dunia di Anatoila, Turki. Zikirnya disertai tarian mistik dengan cara keadaan tak sadar, agar dapat bersatu dengan Tuhan. Penga­nut-penganutnya bersifat pengasih dan tidak mengharapkan kepen­tingan diri sendiri, serta hidup sederahana menjadi teladan bagi orang lain.

Tarikat Mu`tabarah Nahdliyin
Para kyai pada tanggal 10 Oktober 1957 mendirikan suatu badan federasi bernama Pucuk Pimpinan Jam`iyah Ahli Tariqah Mu`tabarah, sebagai tindak lanjut keputusan Muktamar N.U. (nahdlatul Ulama) 1957 di Magelang. Belakangan dalam Muktamar N.U. 1979 di Semarang ditambahkan kata Nahdliyin, untuk menegaskan bahwa badan ini tetap berafiliasi kepada NU. Sejak berdirinya pimpinan tert­inggi badan ini ialah para kyai ternama dari pesantren-pesantren besar.

Dalam anggaran dasarnya dinyatakan bahwa badan ini bertujuan:

(1) meningkatkan pengamalan syariat Islam di kalangan masyarakat;
(2) mempertebal kesetiaan masyarakat kepada ajaran-ajaran dari salah satu Mazhab yang empat; dan
(3) menganjurkan para anggota agar meningkatkan amalan-amalan Ibadah dan Muamalah, sesuai dengan yang dicontohkan para ulama salihin.

Pasal 4 menyatakan bahwa badan ini akan tetap setia kepada paham Ahlussunnah wal-Jama`ah.
Alasan utama mendirikan badan federasi ini adalah:

(1) untuk membimbing organisasi-organisasi tarikat yang dinilai belum mengajarkan amalan-amalan yang sesuai dengan Al-Qur`an dan hadis;
(2)  untuk mengawasi organisasi-organisasi tarikat agar tidak menyalahgunakan pengaruhnya untuk kepentingan yang tidak dibenar kan oleh ajaran-ajaran agama.

Tarikat Naqsyabandiah
Tarikat ini mula-mula didirikan di Turkestan oleh Bahiruddin Naqsyabandi (sumber lain menyebutkan, Muhammad bin Muhammad Bahauddin al-Bukhari 1317-1389M, bukan Imam Al-Bukhari perawi Hadits, pen) dan di Indonesia termasuk tarikat yang paling ber­pengaruh. Pimpinannya, Sulaiman Effendi, mempunyai markas besar yang terletak di kaki gunung Abu Qubbais di pnggiran kota Makkah. Pengikut-pengikutnya kebanyakan dari Turki dan wilayah-wilayah Hindia Belanda dulu, serta di bekas jajahan Inggris di daerah Melayu.
Pada umumnya tarikat ini paling banyak pengikutnya di Jawa sejak abad ke-19 sampai saat ini.
Tarikat ini adalah tarikat terbesar di dunia, juga di Indonesia, dan dianggap paling terawat baik. Ada seleksi untuk jadi pengi­kutnya. Markasnya di Jawa ada di Jombang, Semarang, Sukabumi, Labuhan Haji (Aceh) di pesantren Syaikh Waly, Khalidi.

Tarikat Qadiriah
Asal mulanya di Bagdad, dan dipandang paling tua. Pendirinya ialah Syaikh Abdul Qadir Al-Jilani (1077-1166M). Mula-mula ia seorang ahli bahasa dan ahli Fiqih dari mazhab Hambali. Tulisannya pada umumnya berdasarkan ajaran Ahlus-Sunnah wal-Jama`ah. Ada sejumlah bukunya yang ditulis oleh murid-muridnya yang menceritakan kesaktiannya.

Pelajaran Tarikat Qadiriah tidak jauh berbeda dari pelajaran Islam umum. Hanya saja tarikat ini mementingkan kasih sayang terhadap semua makhluk, rendah hati dan menjauhi fanatisme dalam keagamaan maupun politik. Keistimewaan tarikatnya ialah zikir dengan menyebut-nyebut nama Tuhan.

Kaum Qadiriah terlalu menyamakan Tuhan dengan manusia. Paham Qadiriah pada hakikatnya adalah sebagian dari faham Mu`tazilah, karena imam-imamnya orang mu`tazilah. (Apa yang ditulis di Leksikon Islam ini, agaknya rancu dengan aliran Qada­riyah, yaitu aliran yang menganggap bahwa manusia ini bebas dan berkuasa penuh untuk menentukan dirinya, tidak ada campur tangan Tuhan, lawan dari aliran Jabbariyah yang menganggap manusia hanya bagai wayang yang seluruhnya dijalankan oleh dalang, semuanya digerakkan oleh Tuhan tanpa ada upaya manusia, pen. Selanjutnya, Leksikon Islam itu menulis:)

Ada anggapan membaca Manaqib Syaikh Abdul Qadir Jilani pada tanggal 10 malam tiap bulan bisa melepaskan kemiskinan. Karena itu manaqibnya populer, baik di Jawa maupun Sumatra. (Ini jelas bid’ah dan sesat, lihat Sorotan terhadap Kissah Maulid, Nisfu Sya’ban, Manakib Syaikh AK Jailany oleh HSAAl-Hamdany, Pekalon­gan, 1971, dan Kitab Manakib Syekh AbdulQadir Jaelani Merusak Aqidah Islam oleh Drs Imron AM, Yayasan Al-Muslimun Bangil Jatim, cetakan keenam, 1411H/ 1990, pen).
Kadang kala tarikat ini digabung dengan Naqsyabandiah menjadi Tarikat Qadiriyah Naqsyabandiyah. Seperti halnya di Suryalaya (Tasikmalaya Jawa Barat, dipimpin Abah Anom, yang sering dikun­jungi Harun Nasution, pen) dan Jombang (Jawa Timur, daerah kelah­iran Presiden Gus Dur, pen).

Tarikat Qadiriah Naqsyabandiah
Gabungan ajaran dua tarikat, yaitu Tarikat Qadiriah dan Tarikat Naqsyabandiah. Pendirinya Syaikh Khatib Sambas. Tarikat ini merupakan sarana yang sangat penting bagi penyebaran agama Islam di Indonesia dan Malaya dari pusatnya di Makkah antara pertenga­han abad ke-19 sampai dengan perempat pertama abad ke-20.

Tarikat Rifa’iah
Didirikan oleh Syaikh Ahmad bin Ali-Abul Abbas (wafat 578H/1183M). Syaikh Ahmad, yang konon guru Syaikh Abdul Qadir Jilani, begitu asyik berzikir hingga tubuhnya terangkat ke atas, ke angkasa. Tangannya menepuk-nepuk dadanya. Kemudian Allah memerintahkan kepada bidadari untuk memberinya rebana di dadanya, daripada menepuk-nepuk dada.
Tapi Syaikh Ahmad tidak ingat apa-apa; begitu khusuknya, sehingga ia tak mendengar suara rebananya yang nyaring itu. Padahal selu­ruh dunia mendengar suara rebana itu.
Tarikat ini agak fanatik dan anggotanya dapat melakukan hal-hal yang ajaib, misalnya makan pecahan kaca, berjalan di atas api, dan sebagainya. Rifa`iah,  yang memang merinci tarikatnya dengan rebana, di Aceh dulu pernah berkembang besar dan disebut Rapa’i sudah sulit mencarinya yang asli, yang masih berpegang teguh pada ajaran.

Tarikat Samaniah
Tarikat yang dikenal di Jawa Barat dan Aceh, didirikan oleh Syaikh Muhammad Saman Dari Madinah, Arab Saudi, yang wafat tahun 1702 M. Manaqib (riwayat hidup) Syaikh Saman banyak dibaca orang yang mengharap berkah. Manaqib itu ditulis oleh Syaikh Siddiq Al-Madani, murid beliau.
Di situ tertulis: “barang siapa berziarah ke makam Rasullah tanpa meminta izin kepada Syaikh Saman ziarahnya sia-sia.” (Ini contoh kebatilan yang nyata, pen).
Juga disebutkan: “Siapa yang menyeru nama Syaikh tiga kali, hilang kesedihannya. Siapa yang makan-makanannya masuk surga. Siapa yang berziarah ke makamnya serta membaca doa-doa untuknya, diampuni dosanya.” (ini benar-benar mengada-ada atas nama agama, na’udzubillahi min dzaalik, pen). Tarikat Saman sekarang menjadi tari Seudati di Aceh. Zikir Saman mulanya hampir sama dengan zikir-zikir yang lain. Namun kemudian berkembang menjadi zikir yang ekstrim.

Tarikat Sanusiah
Tarikat yang didirikan oleh Syaikh Muhammad bin Ali As-Sanusi, tahun 1837, di Aljazair, meninggal dunia tahun 1957. Pusat tari­kat ini di Libia.

Tarikat Siddiqiah
Asal-usul tarikat ini tidak begitu jelas, dan tidak terdapat di negara-negara lain. Muncul dan berkembang di Jombang, Jawa Timur, dimulai oleh kegiatan Kiyai Mukhtar Mukti yang mendirikan tarikat ini tahun 1953.

Tarikat Syattariah
Tarikat yang dibangun oleh Syaikh Abdullah Syattari di India. Tarikat ini di Jawa masih ada, misalnya di sekitar Madiun. Di Aceh dulu mengalami puncaknya di zaman Sultanah (Ratu) Safiatud­din. Tarikat ini dibawa oleh Syaikh Abdurra’uf Sinkil yang kemudian bergelar Syiah Kuala.

Tarikat Syaziliah
Tarikat yang didirikan oleh Ali As-Syazili, terdapat di Afrika Utara, dan Arab, juga Indonesia, walaupun tidak luas tersebarnya dan pengaruhnya relatif kecil.

Tarikat Tijaniah
Tarikat yang didirikan oleh Ahmad At-Tijani. Tarikat ini dengan cepat meluas di Afrika Barat dan di negara-negara lain, antaranya Indonesia. Di Afrika tarikat ini telah banyak yang mengislamkan orang-orang Negro. (Ahmad At-Tijani ini mengaku dirinya adalah al-qothbul maktum yang menjadi perantara/ penengah antara semua anbiya’ (para nabi) dan auliya’ (para wali). Lihat Ilat Tashawwuf ya ‘Ibadallah oleh Abu Bakar Jabir Al-Jazairi, Jam’iyyah Ihyait Turats al-Islami, hal 42, pen).

Tarikat Wahidiah
Tarikat yang ini didirikan oleh Kyai Majid Ma`ruf di Kedonglo, Kediri (Jawa Timur), 1963. Teoritis tarikat ini terbuka sifatnya, karena orang tidak usah mengucapkan sumpah untuk menjadi anggota: siapa saja yang mengamalkan zikir salawat wahidiah sudah dianggap sebagai anggota.

Motivasi mendirikan tarikat ini adalah meningkatkan ketaatan orang Islam kepada perintah-perintah agama. Pendirinya menganggap masyarakat Jawa dewasa ini mengalami kekosongan agama dan keji­waan. Itulah sebabnya ia mengajak masyarakat Islam agar mening­katkan ketakwaannya kepada Tuhan dengan setiap kali mengucapkan zikir “fafirruu ilallaah”, artinya: “marilah kita kembali ke jalan Allah.”

Begitulah beberapa tarikat dari buku Leksikon Islam 2.

Bantahan terhadap Tarikat

Ulama dan ilmuwan Indonesia yang gigih meluruskan bahkan membantah keras tentang tarekat di antaranya HSA Al-Hamdani dari Pekalongan Jawa Tengah dengan bukunya Bantahan Singkat terhadap Kelantjangan Pembela Tashawuf dan Tarekat, 1972; Sorotan-sorotan terhadap Kitab-kitab Wirid -Dzikir- Hizb Doa dan Sholawat; juga Sanggahan terhadap Tashawuf dan Ahli Shufi dan Sorotan terhadap Kissah Maulid, Nishfu Sya’ban, manakib Sjaich AK Djailany. Sang­gahan lain juga ditulis oleh Drs Yunasril Ali, dengan judul Membersihkan Tashawwuf dari Syirik, Bid’ah, dan Khurafat. Sedang Abdul Qadir Jaelani da’i dari Bogor Jawa Barat menulis bantahan dengan judul Koreksi terhadap Tasawuf. Juga bantahan-batahan yang ditulis dalam tanya jawab, misalnya oleh Ustadz Umar Hubeis dalam kitabnya, Fatawa dll.

Berikut ini kami kutip sebagian bantahan Drs Yunasril Ali, kemudian HSA Al-Hamdany. Sedang bantahan dari kitab-kitab Arab banyak pula, namun karena masalah tarekat ini orang Indonesia juga ikut-ikut mendirikannya (menciptakannya) bahkan mengorgani­sasikannya, maka kami kemukakan bantahan dari ulama dan ilmuwan Indonesia.

Drs Yunasril Ali dalam bukunya Membersihkan Tashawwuf dari Syirik, Bid’ah, dan Khurafat menjelaskan, masing-masing tarekat itu merumuskan amalan-amalannya sendiri-sendiri, sehingga antara satu dengan yang lain saling berbeda cara amaliahnya. Namun demikian amaliah yang berbeda-beda itu semuanya mereka nisbahkan kepada dua sahabat besar: Ali bin Abi Thalib dan Abu Bakar Shid­diq. Entah mana yang benar di antara tarekat-tarekat itu yang berasal dari Ali dan Abu Bakar, wallahu a’lam.

Dasar mereka mendirikan tarekat ialah:

1. Firman Allah SWT:
Artinya: “Dan bahwasanya jikalau mereka tetap berjalan lurus di atas jalan itu, benar-benar Kami akan memberi minum mereka dengan air yang segar. ” (QS Al-Jinn/ 72:16).

2.  Firman Allah SWT:
Artinya: “Maka barangsiapa yang ingin berjumpa dengan Allah, hendaklah ia mengerjakan amal shalih dan janganlah ia memperseku­tukan siapa pun dalam beribadah kepada Tuhan.” (QS Al-Kahfi/ 18:110).

3. Hadits:
Qoola ‘Aliyyubnu Abii Thoolib: Qultu: Yaa Rasuulallaah, ayyut thoriiqoti aqrobu ilallooh? Faqoola Rasuulullaahi SAW: Dzikrul­loohi.

Artinya: Ali bin Abi Thalib berkata: saya bertanya: Ya Rasulal­lah, “Manakah tarekat yang sedekat-dekatnya mencapai Tuhan? Maka Rasulullah SAW menjawab, “dzikir kepada Allah.” (Dr Mustafazahri, Kunci Memahami Tasawwuf, halaman 87, seperti dikutip Drs Yunasril Ali halaman 54).

Koreksi (dari Drs Yunasril Ali): Di dalam Al-Quran didapati kata “thariqah” dan musytaqnya  (pecahan kata yang berasal darinya) di sembilan tempat yaitu:

1. firman Allah SWT:
Artinya: “Mereka berkata: hai kaum kami, sesungguhnya kami men­dengar kitab (Al-Quran) yang telah diturunkan sesudah Musa, yang membenarkan kitab-kitab yang sebelumnya lagi memimpin kepada kebenaran dan kepada jalan yang lurus.” (QS Al-Ahqaaf/ 46:30).

2. Firman Allah SWT:
Artinya: “Sesungguhnya orang-orang yang kafir dan melakukan kedhaliman, Allah sekali-kali tidak akan mengampuni (dosa-dosa) mereka dan tidaklah akan menunjukkan jalan kepada mereka.” (QS An-Nisaa/ 4:168).

3.  Firman Allah SWT (sambungan ayat no.2):
Artinya: “Kecuali jalan ke neraka jahannam; mereka kekal di dalamnya selama-lamanya. Dan yang demikian itu adalah mudah bagi Allah”. (QS An-Nisaa’/ 4:169).

4. Firman Allah SWT:
Artinya: “Kami lebih mengetahui apa yang mereka katakan, ketika berkata orang yang paling lurus jalannya di antara mereka!” Kamu tidak berdiam (di dunia) melainkan sehari saja.” (QS Thaha/ 20:104).

5. Firman Allah SWT:
Artinya: “Dan sesungguhnya telah Kami wahyukan kepada Musa: “Pergilah kamu dengan hamba-hambaKu (Bani Israel) di malam hari, maka bikinlah untuk mereka [1]jalan[1] yang kering di laut itu, kamu tidak usah khawatir akan tersusul dan tidak usah takut (akan tenggelam).” (QS Thah/ 20:77).

6.  Firman Allah SWT:
Artinya: “Mereka berkata: “Sesungguhnya dua orang ini adalah benar-benar ahli sihir yang hendak mengusir kamu dari negeri kamu dengan sihirnya dan hendak melenyapkan kedudukan kamu yang utama.” (QS Thaha/ 20:63).

7. Firman Allah SWT:
Artinya: “Dan bahwasanya jikalau mereka tetap berjalan lurus di atas jalan itu benar-benar Kami akan memberi minum mereka dengan air yang segar.” (QS Al-Jinn/ 72:16).

8. Firman Allah SWT:
Artinya: “Dan sesungguhnya Kami telah menciptakan di atas kamu tujuh buah jalan (tujuh langit); dan Kami tidaklah lengah terha­dap ciptaan (Kami)”. (QS Al-Mu’minuun/ 23:17).

9. Dan Firman Allah SWT:
Artinya: “Dan sesungguhnya di antara Kami ada orang-orang yang shalih dan di antara Kami ada pula orang yang tidak demikian halnya. Adalah kami menempuh jalan yang berbeda-beda.” (QS Al-Jinn/ 72:11).

Demikianlah penulis kutip di sini 9 buah kata “thariqah” dan musytaqnya yang terdapat dalam kitab suci Al-Quran. Tidak satupun yang menunjukkan kepada tarekat yang dipropagandakan oleh penga­nutnya, yang mereka berdzikir tanpa sadar diri dan tidak pula ingat kepada Tuhan lagi.

Untuk lebih jelas, penulis kemukakan arti thoriqoh dalam ayat-ayat di atas dengan mengutipnya dari tafsir-tafsir yang mu’tabar, sebagai berikut:

1. Kata “thariqin” dalam surat al-Ahqaf ayat 30 artinya ialah “Agama Islam” (Al-Qasimy, Tafsir Mahasinut Ta’wil, juz XV hal. 94).
2. Kata “thariqon” dalam surat An-Nisaa’ ayat 168 artinya ialah “satu jalan dari jalan-jalan menuju jahannam”. (Al-Jalalain, Tafsir Al-Quranil Kariem, juz I, hal. 94).
3. Kata “thoriqo jahannam” dalam Surat An-Nisaa’ ayat 169 artinya ialah “jalan yang menyampaikan orang menuju jahannam”. (ibid).
4. Kata “thoriqoh” dalam Surat Thaha ayat 104 artinya ialah “jalan” (ibid, juz II, hal 26). Ada pula ahli tafsir yang mengatakan “jalan yang lurus” di sini ialah orang yang agak lurus pikirannya atau amalnya di antara orang-orang yang berdosa itu.

(Departemen Agama RI, Al-Quran dan Terjemahnya, note hal. 488).

5. Kata “thoriqon” dalam S Thaha ayat 77 berarti “Allah menger­ingkan bumi sebagai jalan bagi Musa dan kaumnya.” (Al-Jalalain, opcit, juz II, hal. 24).
6. Kata “thoriqoh” dalam S Thaha ayat 63 ada yang mengartikannya dengan “keyakinan (agama)” (Departemen Agama RI, Opcit, hal. 482). Dan ada pula yang menafsirkannya dengan “Bani Israel”. (Az-Zamakhsyary, Tafsir Al-Kassyaf, Jilid II, hal. 543).
7. Kata “thoriqoh” dalam S Al-Jinn ayat 16 artinya “jalan kebena­ran dan keadilan”. (Al-Qasimi, Tafsir Mahasinut Ta’wil, juz XVI, hal. 5950).
8. Kata “thoroiq” dalam surat al-Mu’minun ayat 17 artinya “lan­git”, thoroiq kata jama’ dari thoriqoh, karena dia adalah jalan-jalan malaikat.” (Al-Jalalain, opcit, juz II, hal. 45).
9. Kata “thoroiq” dalam S Al-Jinn ayat 11 artinya “Golongan yang berbeda pendapat di kalangan muslimin dan kafir.” (ibid, hal. 240).

Inilah artinya kata “thoriqoh” dan musytaqnya yang ada dalam Al-Quran. Tidak satupun dari kata-kata itu yang menunjukkan metode ibadah dalam tasawwuf. Memang ada thoriqoh yang berarti golongan-golongan di kalangan kaum muslimin, tetapi maksudnya ialah golongan yang berbeda pendapat dalam menafsirkan Al-Quran dan Al-Hadits. Bukan golongan yang membuat-buat tarekat tertentu yang dihasilkan oleh renungan guru.

Kalaulah benar bahwa yang dimaskud dengan tariqat di dalam ayat-ayat itu ialah penjelasan dari Al-Quran dan As-Sunnah yang secara langsung dituntunkan dan dipraktekkan oleh seorang guru kepada muridnya, seperti menuntun bagaimana cara berdiri betul dalam shalat, bagaimana cara takbir, ruku’, sujud, duduk antara dua sujud, duduk tahiyyat, cara membaca bacaan-bacan shalat, dan lain-lain; sesuai dengan cara yang ditentukan oleh Rasul SAW. kepada para shahabatnya, maka tarekat seperti ini dapat penulis terima, karena tarekat ini adalah sebahagian dari as-sunnah, yang disebut dengan sunnah fi’liyah. Jadi tarekat dalam pengertian seperti ini termasuk sunnah. Dan memang tarekat (sunnah fi’liyah) yang seperti inilah yang disuruh dalam mengajarkan agama. Rasu­lullah SAW pernah membimbing seorang Badwi dalam pelaksanaan shalat, karena orang Badwi tersebut belum tepat cara ia melaksa­nakan shalat. (Lihat Ibnu Qudamah Al-Maqdisi, al-Muharrar, hal. 42).

Adapun membuat-buat ibadah dengan cara baru, lantas dinamakan tarekat, ini bid’ah. Contohnya ialah seperti mengadakan dzikir lisan, dzikir qolbu dan dzikir sirr; semuanya itu tidak pernah ada diriwayatkan dari Rasul SAW. atau dari para shahabat beliau. Jadi perbuatan ibadat seperti itu adalah bid’ah yang dibuat-buat oleh para penganut tarekat untuk mendekatkan diri kepada Allah. Padahal agama Islam, baik aqidah maupun tatacara ibadatnya sudah sempurna, tidak usah ditambah-tambah. (Drs Yunasril Ali, Member­sihkan Tasawwuf dari Syirik, Bid’ah, dan Khurafat, Pedoman Ilmu Jaya, Jakarta, cet. III 1992, hal. 53-59).

Bantahan terhadap tarekat dalam polemik

Bantahan terhadap tarekat lainnya, bisa disimak polemik antara HSA Al-Hamdani dengan doktor (thabib) Rohani Sjech H Djalaluddin Ketua Umum seumur hidup Pengurus Besar PPTI di Medan.

HSA Al-Hamdani membantah orang yang menjadikan Surat Al-Fajr ayat 28 sebagai landasan tarekat sebagai berikut:

“…Anda (Thabib-Rohani Djamaluddin) antara lain menulis: Arti ma’na Tharekat pada istilah (adalah) perjalanan rohani (nurani, jiwa, hati robani) berjalan mencari Allah. Perjalanan yang bertingkat-tingkat dari satu tingkat demi satu tingkat, hingga ia bertemu Allah. Lihatlah QS al-Fajari ayat no. 28; maksudnya kira-kira: kembali (pergilah, berjalanlah, bertarekatlah kepada Tuhanmu (Allah). Kemudian Anda menulis: Mengingat ayat yang tersebut merupakan amar wajib, tentulah wajib bagi kita ber-Tharekat.”

Komentar HSA Al-Hamdani ulama Al-Irsyad Pekalongan terhadap lawan polemiknya, Thabib Djamaluddin, itu sebagai berikut:

Semoga Allah mengampuni dosa anda (Thabib-Rohani Djamaluddin), karena anda telah menafsirkan ayat Tuhan semau anda sendiri! Bacalah tafsir ayat itu menurut rangkaian ayat sebelum­nya, jangan terus mendabik dada dan berkata: Saya sudah hafal bertahun-tahun di dalam fikiran saya di waktu saya mempertahankan tasawuf di masa silam… dan seterusnya. Jangan anda menafsirkan se-enaknya sendiri, dan jangan pula semau-maunya menta’wilkan arti ayat al-Quran menurut selera yang dikehendaki nafsu anda! Sebab bisa tak keruan dan bisa runyam!
Tahukah anda bahwa ayat itu (yang anda buat dalil perintah ber­tarekat) adalah kelanjutan daripada ayat yang sebelumnya yang berbunyi:

Yaa ayyatuhan nafsul muthmainnah, irji’ii ilaa robbiki roodhiyatam mardhiyyah, fadkhulii fii ‘ibaadii wadkhulii jan­natii.

Yang artinya: Hai jiwa yang tenang (suci). Kembalilah kepada Tuhanmu dengan hati yang puas (karena amal-amalmu yang baik semasa hidup) lagi diridhoinya (oleh Allah). Maka masuklah ke dalam jama’ah hamba-hambaku (yang sholeh) dan masuklah ke dalam sorgaKu. (QS Al-Fajri).

Jelas bahwa khitob (ajakan bicara) itu ditujukan kepada jiwa-jiwa manusia yang sempurna imannya yang muslimin mukminin dan muttaqin pada nanti hari kiamat kelak sebagai penghargaan Allah atas amalan mereka yang baik dan sholeh. Dan kalau ayat itu anda katakan sebagai amar wajib bertarekat, maka wajib bertarekatkah anda pada hari kiamat nanti untuk mencari Allah?

HSA Hamdani melanjutkan tulisannya: Memang orang-orang ahli tharekat atau ahli shufi suka lancang dalam menafsirkan ayat-ayat semaunya sendiri seperti yang anda katakan: “Di Pakistan Barat dikatakan sulukan naksyabandi, unsurnya QS An-Nahl no. 69, mak­sudnya kira-kira: Dan laluilah jalan (Tharekat) Allah dengan patuh. Sedang ayat yang dimaksud artinya sebagai berikut:

Ayat 68 S An-Nahl: Tuhanmu telah mewahyukan kepada lebah: Buatlah rumah di atas bukit dan di atas pohon kayu dan pada apa-apa yang mereka jadikan atap.

Ayat 69: Kemudian makanlah berma­cam-macam buah-buahan dan laluilah jalan Tuhanmu, dengan mudah akan keluar dari dalam perutnya minuman (madu) yang berlain-lainan warnanya, untuk menyembuhkan penyakit manusia. Sesungguh­nya pada yang demikian itu menjadi keterangan (atas kekuasaan Allah) bagi kaum yang memikirkan.

Jelas khitob ayat itu menyatakan bahwa Allah memerintahkan kepada lebah untuk mengikuti ilham yang diberikan oleh Allah kepadanya, sehingga lebah itu dapat menghasilkan madu. Maka oleh anda digunakan untuk dalil tarekat? (HSA Al-Hamdani, bantahan Singkat terhadap Kelantjangan pembela Tashawuf dan Tarekat,

Penerbit HSA Al-Hamdani, Pekalongan, cetakan pertama, 1972, halaman 14-15).

Pertanyaan selanjutnya, pembaca bisa mengajukan sendiri, misalnya: Kenapa tarekat-tarekat yang ternyata tidak ada landa­sannya dari Al-Quran maupun al-Hadits itu justru dihidup-hidup­kan? Dan kenapa justru ada organisasi yang memayungi dengan bentuk organisasi pula seperti tersebut di atas? Tugas para alim

ulama –yang istiqomah mengikuti Al-Quran dan As-Sunnah– lah untuk melanjutkan dakwah terhadap mereka dengan hikmah dan mau­’idhah hasanah, dan kalau perlu dengan wajadilhum, yaitu mendebat mereka dengan hujjah yang lebih baik.

Kasyf, Khurafat dari Shufi

Posted: 23 Juni 2010 in Kajian
Tag:, ,

Oleh : H Hartono Ahmad Jaiz


Tingkatan atau derajat tinggi yang diklaim oleh orang shufi ada pula yang mereka namakan kasyf (tersingkapnya tabir).

Kasyf, menurut kaum shufi adalah melihat hal yang ghaib dan menyaksikannya dengan tegas. Dengan demikian mereka mengaku atau meyakini, kalau sampai pada derajat kasyf itu maka mereka dapat mengetahui hal-hal yang gelap, rahasia-rahasia yang tersembunyi, dan memecahkan segala soal-soal yang pelik. (lihat HSA Al-Hamda­ni, Sanggahan terhadap Tashawuf dan Ahli Sufi, PT Al-Ma’arif

Bandung, cet. kedua, 1972, hal. 16).

Di antaranya ialah kepandaian membedakan hadits yang shahih dari yang dha’if (lemah). Maksud tujuannya ialah memperkuat madzhab dan kepercayaannya dengan hadits-hadits yang dibikin-bikin dan hadits-hadits yang dha’if, lalu dianggap sebagai hadits shahih dengan perantaraan kasyf itu. (ibid, hal 16).

Orang-orang yang meyakini kasyf membantah ulama yang tidak mau menjadikan lintasan-lintasan hati kaum shufi dan ilham-ilham mereka sebagai hujjah dalam hukum Islam. Karena kaum shufi meyak­ini bahwa ilham-ilham, lintasan-lintasan hati shufi, dan kasyfnya itu tidak mungkin akan salah. Hingga seorang pengarang kitab Fawatihur rahamaut syarah musallamits tsubut di dalam ushul fiqh, dan dia termasuk salah seorang yang memiliki kecenderungan shufi yang dhahir, menyanggah Al-Allamah Ibnul Hammam Al-Hanafi, yang menafikan atau menolak ilham sama sekali sebagai hujjah. Penga­rang kitab Fawatih (yang shufi itu) mengatakan:

“Sesungguhnya ilham tidak akan terjadi kecuali disertai penciptaan ilmu dharuri (ilmu yang ada dengan sendirinya) yang datang dari sisi Allah SWT, atau dari ruh Muhammady (ruh Nabi Muhammad). Maka pada saat itu tidak akan ada keraguan yang timbul akibat adanya kesalahan padanya (ilham). Ilmu seperti ini dera­jatnya lebih tinggi dibanding ilmu yang dihasilkan dengan dalil-dalil yang tidak qoth’i (tidak pasti). Maka aneh sekali, seorang syeikh seperti Al-Allamah Ibnul Hammam Al Hanafy menolak salah satu bejana ilmu. Barangkali beliau beranggapan bahwasanya ilham itu adalah sesuatu yang terjadi di dalam hati yang berasal dari

lintasan-lintasan hati, padahal bukan demikian. Apakah kamu belum mendengar atau mengetahui apa yang telah ditulis oleh Syaikh Quthbu Waqtihi (wali quthub pada zamannya) yaitu Abu Yazid Al-Bustamy -semoga Allah mensucikan kerahasiaannya yang mulia- terhadap sebagian ahli hadits: ‘Kamu mengambil ilmu dari yang telah menjadi mayit, kemudian kalian kaitkan kepada Rasulullah saw, sedangkan kami mengambil ilmu dari Yang Maha Hidup dan Tidak

Pernah Akan Mati (Allah)!’ (kitab Fawatihur Rahamaut, dicetak menjadi satu dengan kitab Al Mustashfa karya Imam Ghazaly: 2/372, seperti dikutip Dr Yusuf Al-Qardhawy dalam Mawaqiful Islam minal Ilham wal Kasyf….. diterjemahkan menjadi Sifat Islam terhadap Ilham, Kasyf, Mimpi, Jimat, Perdukunan, dan Jampi, Bina Tsaqafah Jakarta, cet I, 1417H/ 1997, hal 79-80).

Kemudian Dr Yusuf Al-Qardhawi menukil bantahan dari Ibnu Taimiyah terhadap klaim ilham dan kasyf yang dianggap ma’shum (terjaga dari kesalahan) itu sebagai berikut:

“Umat ini tidak membutuhkan kepada muhaddatsun dan mulhamun disebabkan telah sempurnanya risalah nabi umat ini dan telah sempurnanya syari’at beliau saw. Oleh karena itu bentuk lafadz (shighoh) hadits tersebut:

“Fain yakun fii ummatii ahadun fa ‘umar”

“Jika ada di antara umatku seseorang (seperti mereka) maka Umar-lah orangnya.”

Sedangkan apa yang disebutkan oleh pengarang kitab Al Fawatih merupakan pendapat subyektif dan tidak ilmiah, dan semata-mata merupakan klaim-klaim yang menyimpang tanpa ada buktinya. Dia telah mencampur adukkan di dalam nama-nama yang telah dia kumpul­kan itu, antara orang-orang yang bodoh dan orang-orang yang cer­das, antara ahlus sunnah dan ahli bid’ah, antara orang yang bertauhid dan orang yang berfaham hululi (kepercayaan bahwa Tuhan dapat menitis ke dalam makhluk) serta ittihady (kepercayaan bahwa dunia dan seisinya adalah Tuhan). Dan yang lebih mengherankan mengapa hal seperti ini ditulis dalam ilmu ushul (fiqh), padahal ilmu ushul merupakan timbangan akal dan logika manqul (penalaran yang masuk akal dan berdasarkan dalil-dalil naqli)!

Apa yang dikatakan oleh pengarang kitab Al-Fawatih ini dan orang-orang yang seperti dia, mirip dengan apa yang dikatakan oleh kaum syi’ah tentang imam-imam mereka, padahal perkataan seperti ini amat sangat diingkari oleh ahlus sunnah.

Pendapat kaum syi’ah itsna ‘asyariyah telah sampai kepada puncaknya dengan menyatakan kema’shuman ilham para imam mereka yang dua belas. Maka, apa saja yang diilhamkan kepada mereka (para imam yang 12) tidak mungkin akan berlaku padanya kemungki­nan salah, karena apa yang diilhamkan kepada mereka bukan tumbuh dari hasil ijtihad, seperti hasil ijtihadnya para imam madzhab fiqh, yang kemungkinan benar dan kemungkinan salah, sehingga yang benar diberikan pahala dengan dua pahala, dan yang salah diberi satu pahala. Sesungguhnya ilham mereka adalah ilham yang datang dari Allah untuk seorang imam, dimana Allah akan menyingkapkan baginya dengan ilham tersebut perkara yang gaib bagi orang lain, dan ilham tersebut pasti benar, baik berupa kabar ataupun hukum. Jika berupa kabar maka pasti benar dan jika berupa hukum maka pasti adil dan tidak perlu dibantah lagi!

Dengan keyakinan seperti ini mereka pada hakekatnya telah menetapkan sifat ‘Isham (suci dari kesalahan) kepada selain Rasulullah saw dan juga berarti telah mewajibkan ketaatan kepada selain Allah dan Rasul-Nya, yang mana keyakinan demikian tentu bertolak belakang dengan apa yang telah diputuskan oleh hukum-hukum yang sudah jelas (muhkamat) di dalam al-Quranul Karim, dan penjelasan-penjelasan hadits yang mulia.

Kemudian Ibnu Taimiyah seperti dikutip Dr Yusuf Al-Qardhawi menegaskan bahwa tidak ada yang suci dari kesalahan (Ishmah) selain Al-Quran dan As-Sunnah. Penjelasannya sebagai berikut:

Di antara kewajiban yang mesti kami putuskan di sini dengan sejelas-jelasnya dan seyakin-yakinnya, yang tidak tercampuri oleh keraguan adalah: Bahwasanya tidak ada yang suci dari kesalahan (‘ishmah) selain sesuatu yang telah Allah dan Rasul-Nya tetapkan. Dan setiap orang setelah itu perkataannya (pendapatnya) bisa diambil (diterima) dan bisa ditolak. Sesungguhnya Allah telah memerintahkan kepada kita untuk merujuk kepada kitab-Nya dan sunnah nabi-Nya dalam rangka mengetahui hukum-hukum syari’at-Nya. Allah swt berfirman:

“Ikutilah apa yang diturunkan kepadamu dari Tuhanmu dan janganlah kamu mengikuti pemimpin-pemimpin selain-Nya.” (QS 7:3).

Dan Allah berfirman: “Katakanlah” ‘Taatlah kepada Allah dan taatlah kepada Rasul…” (QS 24:54).

Dan Allah berfirman: “Dan jika kamu taat kepadanya (Rasul), niscaya kamu pasti akan mendapat petunjuk…” (QS 24:54).

Dan Allah berfirman: “Apa yang diberikan Rasul kepadamu maka terimalah dia. Dan apa yang dilarangnya bagimu maka tinggalkanlah.” (QS 59:7).

Dan Allah berfrman: “Maka hendaklah orang-orang yang menyalahi perintah Rasul takut akan ditimpa cobaan atau ditimpa adzab yang pedih.” (QS 24:63).

Dan Allah berfirman: “Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al-Quran) dan Rasul-Nya (Sunnah­nya).” (QS 4:59).

Selanjutnya, Ibnu Taimiyah seperti dikutip Al-Qardhawi mene­gaskan: Dan Allah swt tidak memerintahkan kepada kita untuk merujuk (kembali) kepada hati-hati kita, atau perasaan batin kita (dzauq), atau kepada lintasan-lintasan hati kita, serta perkara gaib yang tersingkap bagi kita. Karena sesuatu yang berasal dari hal demikian itu tidak ada jaminan suci dari kesalahan baginya, karena suatu saat bisa benar dan pada saat yang lain bisa salah.

Syaikh Abul Hasan Asy Syadzily mengatakan:

“Sungguh telah ada bagi kita jaminan ‘ishmah (suci dari kesala­han) dalam hal yang datang dari Al-Kitab (Al-Quran) dan As-Snnah, dan tidak ada bagi kita jaminan ‘ishmah (suci dari kesalahan) dalam hal kasyf dan ilham.” (Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah menukil dari Syaikh Abul Hasan Asy Syadzili di dalam fatwa-fatwanya (Al-Hikam), Majmu’ul Fatawa: 2/91, dikutip oleh Dr Yusuf Al-Qardhawy, Sikap Islam terhadap Ilham, Kasyf… hal 82-84).

Tentang keyakinan shufi mengenai kasyf itu di antaranya dije­laskan oleh Ibnu ‘Arabi dalam kitab Futuhatnya dan Al-Jili dalam Insanul Kamil-nya. Sedangkan al-Ghazali sendiri telah mengakui bahwa ia tidak memperoleh keyakinan sesudah dihinggapi syak dan kesangsian kecuali dengan perantaraan kasyf. Yaitu setelah ia beri’tikaf beberapa tahun di menara Masjid Damaskus dan di Masjid Baitul Maqdis. (Lihat kitab Al-Ghazali, Al-Munqidzu minaddholaal, dan Al-lamus Syamikh hal. 370, dan Akhlaq, hal. 42, seperti dikutip HSA Al-Hamdani dalam Sanggahan terhadap tashawuf… hal 16).

Kasyf Syaithani dan Kasyf Haqiqi

Sorotan yang tajam terhadap batilnya kasyf ini juga ditulis oleh Al Allamah Muhammad Rasyid Ridha dalam Tafsir Al-Manar. Dr Yusuf Al-Qardhawi mengutipnya sebagai berikut:

Bahwa ilham atau kasyf semata-mata merupakan salah satu contoh dari pengetahuan jiwa yang berbicara, tidak tetap (baku) dan tidak teratur. Dan bukan merupakan pengetahuan yang berlandaskan kepada akal dan tidak pula bersandarkan kepada dalil syar’i, akan tetapi cuma merupakan pengetahuan yang kurang, yang terkadang salah terkadang benar, dan sebab-sebabnya yang alamiah pun mudah untuk diketahui. Sebagian ada yang bersifat bawaan (fithry), sebagian ada yang diperoleh dengan usaha (kasby) dan sebagian lagi hasil ciptaan (shina’i), seperti hipnotis yang dikenal di abad ini, dan apa yang mereka namakan dengan membaca fikiran, komunikasi fikiran, dan yang mereka serupakan dengan transfer berita lewat kawat listrik maupun transfer berita tanpa kawat listrik.

Pengetahuan seperti ini tentu bisa dikuasai oleh orang mu’min maupun orang kafir, orang yang baik maupun orang yang jahat, sebagaimana diakui oleh para shufi muslim bahwa pengetahuan semacam ini dikuasai pula oleh shufi beragama hindu. Para shufi muslim mengakui bahwa pengetahuan yang dikuasai oleh mereka bercampur aduk dengan pengelabuan syetan, dan sedikit sekali orang yang mempunyai kemampuan untuk membedakan antara kasyf syaithani (kasyf yang berasal dari syetan) dan kasyf haqiqi (sesungguhnya), dan tidaklah boleh dinamakan kasyf haqiqi kecuali jika bersesuaian dengan nash yang qoth’i (nash/ teks ayat atau hadits yang pasti).

Di antara berbagai bukti kesalahan dan kepalsuan serta khaya­lan yang ada pada kasyf mereka, yang biasa mereka namakan dengan An-Nurany (yang berkilauan), dan apa yang mereka sebutkan di dalam kasyf mereka berupa pengetahuan mereka yang bermacam-macam, berdasarkan keberagaman pengetahuan mereka tentang seni, kekhura­fatan dan syari’ah adalah terjadinya pertentangan para ahlinya dan saling salah menyalahkan satu sama lain dalam hal ini. Oleh karena itu, anda akan mengetahui sebagian dari mereka menyebutkan di dalam kasyfnya Jabal Qof (gunung qof) yang mengelilingi bumi!

Dan Al hayyah (ular) yang mengelilinginya! Sebagaimana dapat anda ketahui dalam biografi Asy Sya’rani oleh Syaikh Abu Madyan, yang isinya merupakan kekhurafatan-kekhurafatan yang tidak ada hake­katnya.

Di antara mereka ada pula yang menyebutkan di dalam kasyfnya bintang-bintang dan tempat peredarannya dengan cara Yunani yang batil. Dan kebanyakan mereka menyebutkan di dalam ksyf mereka hadits-hadits yang maudhu’ (palsu), walaupun mereka dan orang-orang yang terfitnah dengan kasyf mereka ditentang oleh ulama

hadits. Mereka mengatakan: ‘Sesungguhnya sebuah hadits terkadang dianggap shahih dalam kasyf kami, walaupun hadits tersebut tidak shahih menurut riwayat-riwayat kalian (ahli hadits), dan kasyf kamilah yang lebih benar, karena kasyf kami berasal dari ilmul yaqin sedangkan ilmu kalian berasal dari dugaan (dhon)!’

Kesimpulannya adalah, bahwa kasyf ini adalah urusannya sendiri dan urusan para ahlinya, jika sah bagi kita untuk membenarkannya tentu ketika tidak terjadi pertentangan dengan syari’at, aqidah-aqidahnya serta hukum-hukumnya. Maka tidak dibenarkan bagi orang yang beriman kepada kitabullah dan sunnah rasul-Nya membenarkan sebagian dari kasyf yang jelas-jelas bertentangan dengan Al-Quran

dan Sunnah. Dan tidak dibenarkan pula menetapkan kasyf dengan didasari perintah dari alam gaib selama tidak ditetapkan oleh Al-Quran dan Sunnah. lagi pula kita tidak membutuhkan semua ini (kasyf seperti ini). (Tafsir Al-Manar oleh Al Allamah Muhammad Rasyid Ridha, Jilid 11/447, cetakan keempat, seperti dikutip Dr Yusuf Al-Qardhawi, Sikap Islam terhadap Ilham, Kasyf… hal. 86-87).

Penjelasan-penjelasan tersebut sangat gamblang bahwa kasyf shufi itu batil. Orang mu’min maupun kafir bisa memperolehnya, orang jahat maupun shalih dapat juga, sebagaimana hasil kasyf itu ada yang dari syaitan, dan ada yang mengandung kebenaran, tidak ada patokannya. Maka ketika ungkapan semacam ini saya ajukan

kepada guru besar tasawwuf dengan ungkapan bahwa Joyoboyo yang bukan Islam pun bisa mendapatkan kasyf itu; ternyata Pak Guru Besar Tasawwuf itu marah, dan tidak ada jawaban pasti, seperti sudah kami kemukakan di atas. Masihkah mereka mau mengklaim kebenaran kasyf dengan cara lain lagi selain marah-marah dan bicara ngaco (tidak teratur)?

Dan dari sinilah bisa kita fahami, kenapa orang-orang Syi’ah, sekluer, dan pengacau Islam kini justru ramai-ramai menjajakan tasawwuf. Ternyata, dalam hal kepercayaan/ aqidah maupun sikap mereka terhadap hadits adalah sama-sama, yaitu mengacaukan. Hingga ketatnya aqidah dalam Islam ini jelas-jelas mereka tabrak, sedang ketatnya pembatasan tentang keshahihan hadits pun terang-terang mereka tabrak pula. Bila aqidah, suatu fondasi tempat berdirinya Islam, telah mereka kacaukan, dan hadits sebagai landasan utama yang kedua setelah Al-Quran telah mereka halalkan untuk dipalsukan dengan cara mengklaim ke-kasyf-an untuk mensha­hihkan kepalsuan, maka hancurlah Islam ini. Masih pula ditambahi dengan tabiat shufi yang tunduk patuh bahkan sering mendukung kepada penguasa dhalim –walaupun menghancurkan Islam– maka sempurnalah konspirasi dan konvigurasi mereka (shufi, syi’ah, sekluer, munafiqin, kafirin, musyrikin, pengacau agama, dukun, paranormal, ahli bid’ah, politikus licik anti Islam, dan penguasa dhalim) dalam menghancurkan Islam dengan wajah yang pura-pura teduh karena berkedok main batin. Maka waspadalah wahai saudara-saudaraku Ummat Islam, jangan sampai tertipu oleh permainan mereka yang sudah dibabat oleh para ulama pada awal abad keempat Hijriyah dengan dibunuh dan disalibnya dedengkot shufi bernama Al-Hallaj, namun kemudian digali dan dihidup-hidupkan lagi oleh para orientalis Barat antek penjajah anti Islam, kemudian dikem­bangkan lagi oleh antek-antek orientalis di mana-mana sampai kini lewat aneka sarana. Mudah-mudahan Allah memberi kekuatan kepada para pengamal Islam dan penyerunya yang setia dan istiqomah hingga mampu menghancurkan kebatilan mereka yang mengancam Islam itu.
Amien.

Oleh : H Hartono Ahmad Jaiz

Sebagian  banyak taman-teman dari kalangan Muslimin  yang  tak suka  pada tasawwuf dan  penyelewangan-penyelewengannya,  mereka memulai  bantahannya terhadap  shufi dengan  pijakan  awal  yang salah.  Mereka mendebat shufi mengenai perkara-perkara  pinggiran dan  cabang-cabangnya,  seperti  bid’ahnya shufi  dalam  dzikir-dzikir, penamaan mereka dengan shufi, pengadaan perayaan-perayaan maulid  atau  bawaan tasbeh-tasbeh mereka,  atau  pakaian-pakaian mereka  yang tambal-tambalan dan semacamnya berupa  gejala-gejala aneh yang tampak.

Memulai  bantahan  dengan perkara-perkara sekitar  ini  adalah langkah  awal yang salah total. Walaupun perkara (yang  disandang shufi) ini semuanya adalah bid’ah yang menyelisihi syari’at,  dan mengada-adakan  kebohongan dalam agama, namun (memulai  bantahan dengan  perkara-perkara  cabang itu) menyamarkan hal  yang lebih penting  dan lebih besar. Artinya, cabang-cabang ini tidak  boleh untuk pijakan awal dalam mendebat shufi, dan meninggalkan hal-hal pokok.  Memang benar, (cabang-cabang bid’ah shufiyah)  itu  tadi adalah  dosa-dosa  dan penyelewengan-penyelewangan,  tetapi  ia adalah  kecil  sekali apabila dibanding dengan  dosa-dosa  besar, kebohongan-kebohongan,  kekafiran-kekafiran  yang dahsyat,   dan tujuan-tujuan hina dina yang berjalan dalam pemikiran shufi. Oleh karena  itu wajib bagi orang yang membantah shufi  untuk  memulai dengan hal-hal pokok, dan induk-induk, bukan dengan cabang-cabang dan sub-sub bentuk. (Fadhoihus Shufiyyah, hal 49-50).

Barangkali  dengan Anda telah membaca perbedaan  pokok  antara Al-Islam  dan tasawwuf, Anda telah tahu apa yang seyogyanya  Anda mulai dalam berdebat, yaitu tentang manhaj talaqqi (pola  pengam­bilan  –pemahaman) dan penetapan agama. Yaitu isi  dari  jawaban pertanyaan: Bagaimana kita mengambil (sumber) agama? Dan bagaima­na  kita menetapkan aqidah dan ibadah, dan apa itu  sumber-sumber pemahamannya?

Islam  menjadikan sumber pemahaman terbatas pada Al-Quran  dan As-Sunnah saja. Dan tidak boleh menetapkan aqidah kecuali  dengan nash/ teks dari Al-Quran dan perkataan Rasul. Dan tidak ada pene­tapan syari’at kecuali dengan kitab dan Sunnah, dan ijtihad  yang sesuai  dengan keduanya. Ijtihad itu benar dan salah, tidak  ada yang ma’shum (terjaga dari kesalahan) kecuali Al-Quran dan Sunnah RasulNya saja.

Adapun  tasawwuf,  maka agama   mereka  (didapatkan)  melalui klaim syeikh-syeikh, bahwa mereka mengambilnya dari Allah  secara langsung,  tanpa perantaraan, dan dari Rasul yang  mereka  klaim bahwa  Rasul  selalu datang ke majlis-majlis,  dan  tempat-tempat dzikir mereka.  Juga  dari malaikat,  dari jin yang mereka  nama­kan dengan badan halus (ruhaniyyin), dan dengan kasyf yang mereka klaim  bahwa keghaiban-keghaiban tersingkap oleh hati wali,  maka wali itu melihat apa-apa yang di langit-langit dan bumi, dan hal-hal yang telah lalu serta yang akan datang. Maka wali bagi mereka tidak  ada  sebijipun  apa-apa yang di langit dan  di  bumi  yang terlewat dari ilmu wali.
Oleh karena itu, jadikanlah pertanyaan pertama kepada shufi:

Bagaimana  kalian menetapkan agama itu? Dan dari  mana  kalian mengambil sumber aqidah kalian?

Apabila shufi menjawab padamu: “Dari Al-Quran dan  As-Sunnah,” maka katakanlah padanya: Al-Quran dan As-Sunnah menyaksikan bahwa iblis itu kafir, dia dan pengikut-pengikutnya akan dimasukkan  ke dalam neraka, sebagaimana Allah Ta’ala firmankan:

“Dan berkatalah syetan, tatkala perkara (hisab) telah  disele­saikan: “Sesungguhnya Allah telah menjanjikan kepadamu janji yang benar,  dan akupun telah menjanjikan kepadamu tetapi  aku  menya­lahinya.  Sekali-kali  tidak  ada  kekuasaan  bagiku terhadapmu, melainkan (sekadar) aku menyeru kamu, lalu kamu mematuhi seruanku.  Oleh  sebab  itu janganlah kamu mencerca  aku,  akan  tetapi cercalah dirimu sendiri. Aku sekali-kali tidak dapat  menolongmu, dan kamupun sekali-kali tidak dapat menolongku. Sesungguhnya  aku tidak membenarkan perbuatanmu mempersekutukan aku (dengan  Allah) sejak dahulu.”  Sesungguhnya orang-orang yang zalim itu  mendapat siksaan yang pedih.” (QS Ibrahim/ 14:22).

Syetan di sini adalah iblis menurut ijma’ para mufassir  salaf (tiga  generasi  awal: shahabat, tabi’in, dan  tabi’it  tabi’in). Arti wamaa antum bimushrikhi adalah kamu tidak dapat membebaskanku dan menyelamatkanku. Itu artinya iblis adalah bersama  mereka di  neraka. Maka apakah kalian yakin wahai orang-orang tasawwuf/shufi yang demikian itu?

Kalau  orang shufi mengatakan padamu, “Ya, kami percaya  bahwa iblis  dan pengikut-pengikutnya itu di dalam neraka,”  maka  dia (shufi)  telah  berbohong padamu. Dan kalau  ia  berkata  padamu, “Kami tidak percaya bahwa iblis di neraka, dan kami percaya bahwa iblis  tobat dari apa yang telah lalu darinya, atau iblis  adalah hamba yang meng-esakan Tuhan (muwahhid) lagi mu’min seperti  kata guru mereka Al-Hallaj”; maka katakanlah padanya (shufi):  Sungguh kalian  telah kafir karena kalian telah menyelisihi Al-Quran  dan Hadits-hadits  Rasul  dan ijma’ ummat bahwa iblis itu  kafir  dan termasuk  penghuni neraka (ahlin naar). Maka katakanlah  padanya: Syeikh  akbar kamu, Ibnu Arabi, telah menghukumi bahwa Iblis  di dalam  surga, dan Fir’aun juga di surga (seperti dalam  kitabnya, Fushushul Hukm).  Dan guru besarmu, Al-Hallaj, bahwa  iblis  itu adalah  penuntunnya, sedang syeikhnya  adalah  Fir’aun,  seperti tercantum dalam kitab At-Thawwasin halaman 52. Lalu apa yang kamu katakan dalam hal itu (wahai orang shufi)?

Apabila ia (orang shufi) mengingkarinya maka dia adalah  orang  pembesar  yang ngeyel (ngotot), atau jahil  (orang  bodoh)  yang tidak  tahu. Sedangkan kalau dia mengakui yang demikian dan  men­gikuti  Al-Hallaj  dan Ibnu Arabi maka sungguh dia  telah  kafir seperti  mereka kafir, dan jadilah ia termasuk teman-teman  Iblis dan  Fir’aun, cukuplah yang demikian itu sebagai teman  di  dalam neraka. (Fadhoihus Shufiyyah, hal 51-52).

Dan  apabila  ia  ingin menipumu  dan  berkata:  “Sesungguhnya perkataan  mereka ini adalah dalam keadaan syathah (mengeluarkan kata-kata  aneh dalam keadaan tidak sadar)” yang  mereka  katakan bahwa  itu dikuasai keadaan dan mabuk, maka katakanlah  padanya: Bohong  kamu.  Karena perkataan ini ada  dalam  kitab-kitab yang dikarang, dan Ibnu Arabi telah mengeluarkan kitab Fushushul  Hukm dengan ucapannya:  “Sesungguhnya aku  telah  melihat  Rasulullah dalam  mimpi di Mahrusah Damsik dan beliau memberiku  kitab  ini, dan  beliau  bersabda padaku, ‘keluarlah  dengannya  (kitab  ini) kepada para manusia’.”

Padahal kitab ini lah yang menyebutkan bahwa Iblis dan Fir’aun itu termasuk orang-orang yang arif lagi selamat, dan Fir’aun  itu lebih  tahu tentang Allah daripada Musa. Dan bahwa  setiap  orang yang  menyembah  sesuatu (apapun) maka dia  itu  tidak  menyembah kecuali (menyembah) Allah.

Al-Hallaj   pun   demikian,  ia  menulis   segala   kekafiran-kekafirannya  dalam kitabnya,  sedang dia  tidak  dalam  keadaan syathah (mengeluarkan kata-kata aneh dalam keadaan tidak  sadar) atau dikuasai keadaan seperti yang mereka katakan.

Apabila orang shufi mengatakan padamu: “Mereka itu telah berbi­cara dengan bahasa yang kita tidak tahu,” maka katakalah pada  si shufi itu: Sungguh mereka telah menulis pembicaraan mereka dengan Bahasa Arab dan disyarahkan (dijelaskan) oleh murid-murid  mereka dan telah mereka tulis/ uraiakan hal itu.

Apabila  si shufi mengatakan, “Sesungguhnya ini adalah  bahasa khusus  untuk  ahli tasawwuf yang tidak  diketahui  oleh  selain mereka,” maka katakanlah padanya (si shufi): Sesungguhnya  bahasa mereka  ini adalah Bahasa Arab, dan mereka  telah menyebarkannya kepada  para manusia dan tidak menjadikannya khusus bagi mereka, sedangkan  para Ulama Muslimin telah menghukumi Al-Hallaj  dengan kafir, dan dia disalib di atas jembatan Baghdad tahun 309H dengan sebab makalahnya. Dan demikian pula Ulama Muslimin telah  menghu­kumi kafir dan zindiq terhadap Ibnu Arabi.

Apabila si shufi mengatakan padamu: “Saya tidak mengakui peng­hukuman  Ulama Syari’at karena mereka itu ulama lahir yang  tidak tahu  hakekat,” maka jawablah padanya (si Shufi): Yang lahir  ini adalah  (sesuai  dengan) Al-Quran dan As-Sunnah/  Al-Hadits,  dan setiap hakekat yang berbeda dengan yang lahir ini maka dia batil. Dan apakah hakekat yang mereka dakawakan itu?

Kalau si shufi mengatakan padamu, “Hakekat yaitu sesuatu  dari rahasia-rahasia yang  tidak disebarkan dan tidak  kita  dengar”; maka katakanlah: Sungguh kalian telah menyebarkannya dan  memper­dengarkannya, yaitu bahwa setiap yang wujud menurut klaim  kalian adalah  Allah,  sedang surga dan neraka itu sama, dan  Iblis dan Muhammad  itu sama, dan Allah adalah makhluk dan  makhluk  adalah Allah, seperti kata Imammu dan Syeikh Akbarmu:

Al-‘abdu robbun wa robbu ‘abdun
ya laita syi’ri manil mukallaf?
In qultu ‘abdun fadzaka robbun
wa in qultu robbun an yukallaf?

(Hamba itu Tuhan dan Tuhan itu hamba
Aduhai siapakah yang dibebani hukum?
Apabila aku katakan hamba maka itu adalah Tuhan
Dan apabila aku katakan Tuhan maka akan dibebani hukum?).

Apabila  si  shufi mengakui yang demikian  itu  dan  mengikuti mereka yang zindiq-zindiq itu maka dia kafir seperti mereka.  Dan apabila  si shufi berkata: “Saya tidak tahu tentang perkatan  ini dan  tidak  mengerti tetapi aku  mempercayai keimanan  pengucap-pengucapnya, kebersihan mereka, dan kewalian mereka”; maka  katakanlah pada si shufi itu: Sesungguhnya ungkapan ini adalah ungka­pan berbahasa Arab yang jelas, tidak ada samar padanya.  Dan ia mengkhabarkan tentang aqidah yang dikenal yaitu wihdatul wujud, yakni  kepercayaan Hindu dan zindiq yang kalian nukil/pindahkan ke  Islam dan kalian campuradukkannya dengan  ayat-ayat Al-Quran dan hadits-hadits Nabi Saw.

Lalu apabila si shufi mengatakan padamu: “Jangan kamu  menentang para wali sehingga mereka tidak menyakitimu, karena Rasulul­lah Saw bersabda, telah berfirman  Allah  Ta’ala:

“Barangsiapa memusuhi  seorang wali maka sungguh Aku izinkan dia  untuk  dipe­rangi”;  maka  katakanlah pada si shufi: Mereka itu  bukan wali, tetapi  mereka hanyalah orang-orang zindiq yang  berkedok  Islam. Dan  saya mengingkari kalian dan tuhan-tuhan kalian, “sebab  itu jalankanlah  tipu dayamu semuanya terhadapku dan  janganlah  kamu memberi  tangguh  kepadaku. Sesungguhnya aku  bertawakkal  kepada Allah  Tuhanku  dan Tuhanmu. Tidak ada suatu  binatang  melatapun melainkan Dialah yang memegang ubun-ubunnya, sesungguhnya Tuhanku (ada) di atas jalan yang lurus. (lihat QS Hud/ 11:55-56).

Apabila si shufi mengatakan padamu: “Wajib atas kita menyerah­kan  kepada orang-orang shufi keadaan mereka. Karena  mereka  me­nyaksikan  hakekat dan mengetahui batin agama!!” maka  katakanlah pada  si shufi:  Bohong kamu. Kita tidak boleh  bungkam  terhadap seseorang tentang ucapan yang menyelisihi Al-Quran dan As-Sunnah, dan menyebarkan kekafiran dan kezindiqan di antara kaum Muslimin, karena Allah Ta’ala berfirman:

“Sesungguhnya orang-orang  yang menyembunyikan apa  yang  telah kami turunkan berupa keterangan-keterangan (yang  jelas) dan petunjuk,  setelah Kami menerangkannya kepada manusia  dalam  Al-Kitab, mereka itu dila’nat Allah dan dila’nati (pula) oleh  semua (makhluk) yang dapat mela’nati. Kecuali mereka yang telah  taubat dan mengadakan perbaikan dan menerangkan (kebenaran), maka terha­dap  mereka  itulah Aku menerima taubatnya dan Akulah  yang  Maha Penerima taubat lagi Maha Penyayang.” (LIhat QS Al-Baqarah:  159-160).

Oleh karena itu tidak boleh bungkam terhadap kebatilan  kalian dan  barang murahan  serta zindiq kalian,  karena  kalian  telah merusak Dunia Islam, baik dulu maupun sekarang, dan kondisimu itu masih  berlangsung sampai hari ini, kalian mengeluarkan  manusia dari  ibadah kepada Allah ke ibadah pada syaikh-syaikh, dan  dari tauhid  ke  syirik dan penyembahan kuburan, dan  dari  sunnah  ke bid’ah. Juga mengeluarkan manusia dari pemahaman Al-Quran dan As-Sunnah  ke pemahaman bid’ah, khurafat, dan takhayul  dari  orang-orang yang mengaku-aku melihat Allah, malaikat, Rasul, dan surga. Kalian  orang-orang shufi selam hidup telah membantu  gerombolan-gerombolan  kebatinan, dan mengabdi kepada penjajah. Oleh  karena itu  sama sekali tidak boleh bungkam terhadap  kesesatan kalian, kesyirikan  kalian, dan upaya pengalihan kalian terhadap  manusia dari Al-Quranul Karim ke dzikir-dzikir bid’ah kalian dan  ibadah-ibadah  yang  tidak  lebih dari tepuk  tangan  dan  siulan-siulan seperti ibadah musyrikin. (Fadhoihus Shufiyyah, halaman 55).

Kilah-kilah pendukung tasawwuf

Dalam buku Ensiklopedi Islam ditampilkan pendapat Harun  Nasu­tion, dekan pasca sarjana IAIN (Institut Agama  Islam  Negeri) Jakarta  mengenai  tasawwuf. Harun Nasution  ini  menurut  murid-muridnya (di antaranya yang bercerita di sutu perkuliahan  adalah Drs Hamdan Rasyid MA yang dia waktu itu berkuliah di Pasca Sarjana IAIN Jakarta), bahwa Dr Harun Nasution (pada akhir-akhir umur­nya) sering ke Abah Anom di Tasik Malaya Jawa Barat, tokoh  tare­kat  Naqsyabandiyah yang digabung dengan Qodiriyyah.  Bisa  kita simak  pendapatnya  yang dikutip buku Ensiklopedi  Islam  sebagai berikut:

Bagi Harun Nasution, teori-teori yang mengatakan bahwa  ajaran tasawuf dipengaruhi oleh unsur asing sulit dibuktikan  kebenaran­nya.  Karena dalam ajaran Islam sendiri terdapat ayat-ayat  dalam Al-Quran  dan  hadis-hadis yang menggambarkan  dekatnya  manusia dengan  Tuhan. Di antaranya surah al-Baqarah ayat 186 yang artinya;  “Dan apabila hamba-hamba-Ku bertanya kepadamu tentang Aku, maka  (jawablah),  bahwasanya Aku adalah dekat,  Aku  mengabulkan permohonan orang yang mendoa kepada-Ku.

Dalam  ayat  lain disebutkan pula: “Dan kepunyaan Allah-lah timur dan barat, maka ke mana pun kamu menghadap di situlah wajah Allah. Sesungguhnya Allah Maha Luas (rahmat-Nya) lagi maha Menge­tahui.” (QS 2:115).

Disebutkan  pula  dalam surah Qaf ayat 16 yang artinya: “Dan sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia dan  mengetahui  apa yang dibisikkan oleh hatinya, dan Kami lebih dekat kepadanya dari urat lehernya.”

Dalam  hadis qudsi (hadis yang maksudnya berasal dari Allah SWT,  lafalnya berasal dari Nabi SAW) disebutkan bahwa Allah  SWT berfirman:
“Barangsiapa memusuhi seseorang  wali-Ku,  maka  Aku mengumumkan  permusuhan-Ku terhadapnya. Tidak ada  sesuatu  yang mendekatkan hamba-Ku kepada-Ku yang lebih kusukai daripada pengamalan  segala  yang Kufardukan atasnya. Kemudian, hamba-Ku  yang senantiasa  mendekatkan diri kepada-Ku dengan melaksanakan amal-amal  sunnah,  maka Aku senantiasa menyintainya. Bila  Aku  telah cinta kepadanya,  jadilah Aku pendengarannya yang  dengannya  ia mendengar,  Aku penglihatannya yang dengannya  ia  melihat,  aku tangannya yang dengannya ia memukul, dan Aku kakinya yang  dengan itu  ia  berjalan.  Bila ia memohon kepada-Ku,  Aku  perkenankan permohonannya, jika ia meminta perlindungan, ia Kulindungi.” (HR. Bukhari).

Demikian kutipan Ensiklopedi Islam, halaman 75-76.

Sanggahan terhadap pendapat Harun Nasution

Benarkah  pendapat atau kilah Harun Nasution yang  dikenal  tidak memasukkan qodho’ dan qodar ke dalam rukun iman, dan yang  dalam hal  ini tampak memperkuat barisan shufi, baik  secara  pemikiran maupun praktek itu?

Kita simak syarah atau penjelasan Hadits Qudsi yang dia  jadi­kan  kilah itu, sebenarnya apakah ada kaitannya dengan  tasawwuf, mari kita simak  sebagai berikut:

Al-walayah dengan difathah wawunya artinya  adalah almahabbah, kecintaan, dan lawannya adalah al’adawah, permusuhan. Sedang “wali” adalah lawan kata dari “musuh”, dan wali-wali  Allah  itu adalah  orang-orang  yang  beriman lagi bertaqwa. Allah Ta’ala berfirman:

“Ingatlah, sesungguhnya wali-wali Allah itu, tidak ada  kekha­watiran  terhadap mereka dan tidak (pula) mereka  bersedih  hati. (Yaitu) orang-orang yang beriman dan mereka selalu bertaqwa.” (QS Yunus/ 10:62-63).

Maka setiap orang mukmin yang bertaqwa dialah wali Allah sesuai dengan keimanan dan ketaqwaannya. Sedang  orang yang  kafir  maka dialah musuh Allah. Lantas  orang  mukmin  yang bermaksiat  maka  berkumpul pada dirinya dua perkara  –dia  wali Allah  sesuai dengan iman yang ada dalam dirinya, dan  dia  musuh Allah  sesuai  dengan maksiat yang ada dalam  dirinya.  Wali  itu bukan  orang  yang maksum (terjaga) dari kesalahan  seperti  yang dikira/diklaim oleh sebagian orang fanatik terhadap orang  yang mereka  namakan auliya’. Dan auliya’ (para wali)  tidak  memiliki kemampuan mengatur alam, tidak mampu menarik manfaat dan  menolak bahaya dan menyembuhkan penyakit, dan  menghilangkan  keruwetan, seperti yang disangka oleh banyak orang ahli khurofat yang  meng­gantungkan  diri pada auliya’ dan menyembah mereka selain  Allah, dan  meminta tolong pada mereka dalam musibah-musibah berat,  dan meminta pada mereka untuk mencukupi kebutuhan, dan  menghilangkan keruwetan,  juga  meminta berkah  dengan  mengusap  bagian-bagian badan mereka, tanah-tanah mereka, dan kuburan-kuburan mereka, dan bernadzar  untuk  mereka, dan menyembelih  kurban  untuk  mereka, seperti yang dulu telah dilakukan orang-orang musyrik  jahiliyah.

Seperti firman Allah Ta’ala tentang mereka:
“Dan mereka menyembah selain dari Allah apa  yang  tidak  dapat mendatangkan kemudharatan kepada mereka dan tidak (pula)  kemanf­aatan,  dan  mereka berkata: “Mereka itu adalah pemberi syafaat kepada kami di sisi Allah.” (QS Yunus/ 10:18).

Dan Allah Ta’ala berfirman:
“Dan orang-orang yang mengambil pelindung selain Allah (berkata): “Kami tidak menyembah mereka melainkan supaya mereka  mendekatkan kami kepada Allah dengan sedekat-dekatnya.” (QS Az-Zumar/  39:3).

Dan ayat-ayat lainnya.

Tidaklah   setiap  yang diklaim sebagai wali  itu  jadi  wali. Sesungguhnya  wali itu tidak lain hanya orang yang  beriman  lagi bertaqwa, sedangkan wali itu orang yang butuh dan berhajat kepada Tuhannya, dia tidak mampu memberikan mudharat dan manfaat  kepada dirinya  ataupun  kepada orang lain. Wali-wali  Allah  itu  wajib dicintai  dan  dihormati tanpa ghuluw (berlebih-lebihan) dalam menghormati mereka  dan tidak berlebihan dalam  mendudukkan  hak mereka dengan meminta sesuatu kepada mereka yang sebenarnya tidak boleh  diminta  kecuali  kepada Allah.

Diharamkan memusuhi mereka (wali-wali), mengurangi hak  mereka, dan menyakiti mereka. Allah telah mengancam orang yang  mengerja­kan hal itu dengan firmanNya dalam hadits: “Barangsiapa  memusuhi wali-Ku maka sungguh Aku telah umumkan perang dengannya” artinya sungguh  telah  aku  beritahukan bahwa aku memusuhi orang yang memusuhiKu  dengan  (lantaran) memusuhi wali-waliKu.  Ini  sesuai dengan  tingkatan pertama atas orang yang memusuhi  para sahabat Radhiyallahu ‘anhum dan orang-orang yang memarahi para sahabat di antaranya orang-orang Syi’ah dan ahli bid’ah. Nabi Saw  bersabda: “Janganlah kalian  mencaci shabat-sahabtku. Karena,  demi  Allah yang  diriku ada di tanganNya, seandainya seseorang kamu  mengin­faqkan emas seberat Gunung Uhud maka tidak sampai sepanjang salah satu mereka dan tidak separuhnya.”

Nabi Saw juga bersabda: Allah, Allah, mengenai sahabt-sahabat­ku.  Janganlah kalian menjadikan mereka sebagai  sasaran,  karena barangsiapa  menyakiti mereka maka sungguh ia telah  menyakitiku, dan  barangsiapa  menyakitiku  maka sungguh ia  telah  menyakiti Allah,  dan  barangsiapa menyakiti Allah maka hampir  saja Allah menimpakan  adzab  padanya.” (dikeluarkan  oleh  At-Tirmidzi  dan lainnya.)

Ibnu  Daqiq rahimahullah berkata: “Wali Allah  Ta’ala  adalah yang mengikuti apa yang disyari’atkan Allah. Maka berhati-hatilah manusia  dari  menyakiti hati-wali Allah ‘Azza  wa  Jalla.”  Arti memusuhi  itu kalau menjadikannya musuh, dan saya tidak  melihat arti  selain  memusuhinya  lantaran dia itu  wali  Allah.  Adapun apabila  keadaan  memang menuntut  adanya  perselisihan  pendapat antara dua wali Allah secara kehakiman ataupun pertengkaran  maka dikembalikan  kepada upaya mengeluarkan hak  yang  samar  (untuk menentukan  kebenaran), karena hal (pertentangan antar  dua  wali Allah)  itu tidak termasuk dalam hadits ini. Karena sesungguhnya telah berlangsung pertengkaran antara Abu Bakar dan Umar radhiyallahu  ‘anhuma, dan antara Abbas dan Ali ra, antar banyak  sahabat, sedangkan mereka semua itu adalah wali-wali Allah ‘Azza  wa Jalla.  (Dr shalih bin Fauzan bin Abdullah Al-fauzan, Ad-Dhiyaa’ al-Laami’ minal Ahaadiits al-Qudsiyyah al-Jawaami’, 1990, hal 18-21).

Kemudian  Allah  SWT menjelaskan sebab-sebab  yang  menjadikan orang memperoleh  kewalian Allah Ta’ala, dan hamba  itu  menjadi wali  Allah  –artinya dicintai dan haram  dimusuhi,  maka  Allah berfirman: Tidak ada sesuatu yang mendekatkan hamba-Ku  kepada-Ku yang lebih Aku sukai daripada pengamalan segala yang  Kufardhukan atasnya, dan hamba-Ku yang senantiasa mendekatkan diri  kepada-Ku dengan melaksanakan amal-amal sunnah, maka Aku senantiasa mencin­tainya.” Maka Allah menjelaskan bahwa sebab kewalian itu  adalah mendekatkan diri kepadaNya SWT dengan mentaatiNya. Dan  wali-wali Allah  itu adalah mereka yang mengerjakan perbuatan dengan  ta’at yang mendekatkan diri kepada-Nya dan meninggalkan maksiat  terha­dap-Nya. Ini membatalkan dakwaan-dakwaan yang mengklaim  kewalian bagi manusia-manusia yang menyelisihi syari’at Allah dan  berbuat bid’ah, khurafat, dan syirik.

Mereka  itu  justru musuh-musuh Allah yang  sebenarnya,  bukan wali-wali-Nya.

Wali-walinya  tidak  lain hanya orang-orang  yang  taqwa.”  (Al-Anfaal/  8:34).  Sedangkan  mereka itu  musuh-musuh  Allah  yang menjauhkan diri dariNya dengan perbuatan-perbuatan yang  mengaki­batkan  mereka terusir dan terjauhkan. Dan kalau  mereka  mengaku wali  atau diklaim sebagai wali Allah pasti mereka membuat  lahan mata  pencaharian yang mengacaukan manusia dengan klaim kewalian itu, dan mereka mengeruk duit orang-orang awam. Julukan wali atau auliya’  telah  menjadi sumber menangguk rezeki  pada  masa  kini dengan membangun kuburan-kuburan dan membuka  kotak-kotak  amal/nadzar, lalu di sekelilingnya dijaga oleh karyawan-karyawan  yang mengawasi lahan-lahan pencarian itu dengan bayaran dari uang yang jalannya tidak benar.

Sesungguhnya auliya’ullah wahai orang-orang ahli khurafat, tidak pernah mereka mendakwakan diri mereka sebagai auliya’, dan juga orang-orang Muslim tidak mendakwakan kewalian terhadap orang tertentu kecuali ada kesaksian Rasul Saw padanya tentang kewalian itu.  Tetapi orang Muslim mengharapkan kepada mukmin lain suatu kebaikan,  dan khawatir terhadap orang jahat mengenai kejahatannya, dan mereka mencintai orang-orang baik, dan membenci orang-orang jahat.

Mengenai  firman Allah Ta’ala: Tidak ada sesuatu yang  mendekatkan hamba-Ku kepada-Ku yang lebih Aku sukai daripada  pengamalan  segala yang Kufardhukan atasnya, adalah dalil atas wajibnya memperhatikan  kewajiban-kewajiban  dan melaksanakannya sebelum hal-hal yang sunnat. Karena yang sunnat itu tidak diterima kecuali dengan syarat pelaksanaan yang wajib. Dan mengenai firmaNya: dan  hamba-Ku yang senantiasa mendekatkan diri  kepada-Ku  dengan melaksanakan amal-amal sunnah, maka Aku senantiasa mencintainya.” Itu menunjukkan atas keutamaan amal sunnat dan  memperbanyaknya, karena  akan menyebabkan  kecintaan  Allah  terhadap  pelakunya. Makanya yang wajib-wajib itu akan menjadi sempurna karena  dilak­sanakannya  yang  sunnat  itu apabila ada kekurangan  pada  yang wajib.

Firman Allah Ta’ala: “Bila Aku telah cinta kepadanya, jadilah Aku pendengarannya yang dengannya ia mendengar, Aku pengliha­tannya yang dengannya ia melihat, aku tangannya yang dengannya ia memukul,  dan  Aku kakinya yang dengan itu ia berjalan.  Bila  ia memohon kepada-Ku, Aku perkenankan permohonannya, jika ia meminta perlindungan,  ia Kulindungi.” Itu artinya bahwa Allah  membenarkannya, menjaganya  mengenai  pendengarannya,   penglihatannya, tangannya, dan kakinya, maka ia tidak menggunakan anggota-anggota badannya ini untuk bermaksiat, dan ia hanya menggunakannya  dalam ketaatan pada Allah Azza wa Jalla.

Ibnu Daqiq  Al-Ied berkata: “Arti firman Allah itu  bahwa  ia (yang  dicintai  Allah ini) tidak mendengarkan  apa  yang  tidak diizinkan  Allah  baginya untuk mendengarnya, dan  tidak  melihat sesuatu  yang tidak diizinkan Allah untuk melihatnya,  dan  tidak mengulurkan  tangannya kepada sesuatu yang tidak diizinkan  Allah untuk  menjangkaunya, dan tidak berjalan kecuali kepada hal  yang diizinkan Allah baginya untuk menuju padanya…” selesailah arti­nya  itu, dan tafsiran itu ditunjukkan pula oleh  firmaNya  dalam akhir  hadits  Qudsi  tersebut: Bila ia  memohon  kepada-Ku, Aku perkenankan  permohonannya,  jika  ia meminta  perlindungan,  ia Kulindungi.”  Artinya, Allah Ta’ala menyertainya dengan menyetujuinya,  menolongnya, dan menjaga anggota-anggota  badannya dari segala larangan, karena balasan itu adalah setimpal dengan perbu­atan.

Dan Allah Ta’ala berfirman:
“Sesungguhnya Allah beserta orang-orang yang bertaqwa dan orang-orang yang berbuat  kebaikan.” (QS An-Nahl/  16:128). (Dr  Al-Fauzan, ibid, hal 22-23).

Jawaban atas syubhat/ kesamaran

Hadits tersebut di atas menjadi salah satu syubhat/ kesamaran yang  dijawab oleh Syaikh Muhammad bin Shalih Al-‘Utsaimin  dalam kitabnya, Al-Qowaa’id al-Mutslaa fii Shifaatillaah wa  Asmaa-ihil Husna.

Menurut Syaikh ‘Utsaimin, hadits tersebut shahih,  diriwayat­kan oleh Al-Bukhari dalam Kitab ar-Riqaq, bab tawadhu’.

Golongan Salaf, Ahlus Sunnah wal Jama’ah, telah memahami hadits ini menurut dhahirnya dan memberlakukannya  menurut apa adanya.

Akan tetapi, apakah dhahir dari hadits ini?

Apakah dikatakan: Dhahir hadits ini bahwa Allah  SWT  menjadi telinga,  mata, tangan dan kaki si Wali? Ataukah dikatakan: Dhahirnya bahwa Allah SWT meluruskan atau membenarkan si Wali  dalam pendengaran,  penglihatan,  gerakan tangan dan  langkah  kakinya, sehingga pengetahuan dan amal perbuatannya lillaah (ikhlas karena Allah), billaah (dengan memohon pertolongan Allah), dan fillaah (menuruti syari’at Allah)?

Tidak diragukan lagi, ungkap Syaikh Utsaimin, bahwa  perkataan pertama bukanlah dhahir dari hadits tersebut. Bahkan, bagi  orang yang memperhatikan lafadznya, hadits ini tidak menunjukkan  peng­ertian itu. Soalnya, terdapat dalam lafadh hadits ini dua  alasan yang menolak pengertian tadi (Allah menjadi telinga dst):

Pertama: bahwa Allah SWT berfirman dalam hadits Qudsi ini:

Dan hamba-Ku yang senantiasa mendekatkan diri kepada-Ku dengan melaksanakan amal-amal sunnah, maka Aku senantiasa mencintainya.”  dan berfirman pula:

Bila  ia memohon kepada-Ku, Aku perkenankan permohonannya,  jika ia meminta perlindungan, ia Kulindungi.”

Ditetapkan  dalam hadits tersebut adanya penghamba  dan  yang dihambai, yang mendekatkan diri dan yang didekati, yang mencintai dan  yang dicintai, yang memohon dan yang dimohoni, yang  memberi dan yang diberi, yang minta perlindungan dan yang dimintai,  yang memberi perlindungan dan yang diberi. Jadi konteks hadits  menun­jukkan adanya dua dzat yang saling berbeda, masing-masing berdiri sendiri. Ini berarti bahwa yang satu mustahil menjadi sifat  bagi yang lain, atau menjadi salah satu bagiannya.

Kedua: telinga si Wali, matanya, tangannya, dan kakinya, semua itu  merupakan sifat atau anggota tubuh pada makhluk yang hadits (baru) yang menjadi ada setelah tidak ada sebelumnya. Bagi orang yang berakal tidak mungkin memahami bahwa Al-Khaliq (Maha Pencipta) Yang Maha pertama, yang sebelumnya tidak ada satu makhlukpun, lalu  menjadi  alat mendengar, alat melihat, tangan dan  kaki  si makhluk. Bahkan hati merasa muak untuk  membayangkan  pengertian ini,  dan lisan pun terasa kelu untuk  mengucapkannya,  sekalipun hanya sekadar pengendalian saja. Oleh karena itu, bagaimana bisa dikatakan  bahwa pengertian inilah dhahir hadits qudsi  tersebut, dan  bahwa  pengertian hadits di atas telah dirubah  dari  dhahir ini. Maha Suci Engkau Ya Allah. Segala puji bagi Engkau. (Syaikh Utsaimin, Kaidah-kaidah Utama Masalah Asma’ dan Sifat Allah  SWT, CV MUS Jakarta, 1998, hal. 108-110).

Selanjutnya, Syaiklh Utsaimin menjelaskan, setelah ternyata bahwa perkataan pertama salah dan tidak dapat dibenarkan,  sudah barang  tentu yang benar adalah perkatan yang kedua  yaitu  bahwa Allah SWT meluruskan atau membenarkan si Wali dalam  pendengaran, penglihatan, gerakan tangan dan langkah kakinya, sehingga  dengan demikian pengetahuannya melalui pendengaran dan penglihatan serta perbuatan  dengan  tangan dan kaki, semua  itu lillaah  –ikhlas untuk  Allah, billaah –dengan memohon  pertolonganNya, fillaah–menuruti dan mengikuti syari’atNya.

Dengan demikian, dia benar-benar telah mewujudkan ikhlas, minta pertolonganNya (isti’anah), dan mengikuti syari’atnya (mutaba’ah) secara sempurna. Inilah taufiq (persetujuan/pertolongan Allah) yang sesungguhnya. Dan inilah tafsiran yang diberikan oleh ulama Salaf, tafsiran yang sesuai dengan dhahir  lafadh­nya,  menurut hakekatnya dan tepat dengan konteksnya. Tidak ada ta’wil di dalamnya atau alterasi (perubahan) nash/teks dari dhahirnya. Hanya milik Allah segala puji dan karunia.

Tentang Allah dekat

Allah berfirman:
Apabila hamba-hambaKu bertanya kepadamu tentang Aku, maka  (jawa­blah), bahwasanya aku adalah dekat. Aku  mengabulkan permohonan orang yang mendo’a apabila ia berdo’a kepada-Ku…(QS Al-Baqarah: 186).

Para ulama Salaf, Ahlus Sunnah wal Jama’ah, memberlakukan nash ini menurut dhahirnya dan hakekat maknanya yang layak bagi  Allah Azza wa Jalla, tanpa takyif (bagaimana caranya) dan tanpa tamtsil (permisalan).

Syaikhul  Islam Ibnu Taimiyyah dalam komentarnya  atas  hadits nuzul  (turunnya Allah ke langit dunia/  terendah),  mengatakan: “Adapun mendekatnya Allah kepada sebagian hamba-Nya maka hal  ini ditetapkan oleh mereka yang menetapkan datangnya Allah pada  hari kiamat,  turunnya  Allah ke langit terendah, dan  bersemayamnya Allah  di  atas ‘arsy. Inilah madzhab Salaf,  madzhab  para imam Islam  yang  terkenal dan Madzhab Ahlul Hadits.  Dan  pemberitaan mengenai  hal ini dari mereka adalah mutawatir.” (Majmu’  Fatawa, jilid 5, halaman 466).

Jika  demikian halnya, lalu apakah halangannya bila  dikatakan bahwa  Allah mendekat  kepada hamba-Nya yang  Dia  kehendaki  di samping  Dia  berada di atas ‘Arsy. Dan apakah  halangannya  bila dikatakan  Dia menurut yang Dia kehendaki tanpa takyif dan  tanpa tamsil?

Bukankah  ini merupakan kesempurnaan Allah, jika  Dia  berbuat apa  yang dikehendaki-Nya menurut pengertian yang  sesuai  dengan keagungan dan kemuliaan-Nya?

Perpaduan antara ma’iyah (kebersamaan) dan ‘uluw (keberadaan di atas) bisa terjadi pada makhluk. Soalnya, dikatakan: “Kami  masih meneruskan  perjalanan dan rembulan pun bersama kami”. Ini  tidak dianggap bertentangan, padahal sudah barang tentu bahwa orang yang melakukan perjalanan itu berada di bumi sedangkan rembulan berada di langit. Apabila hal ini bisa terjadi pada makhluk, maka bagaimana pikiran Anda dengan Al-Khaliq yang meliputi segala sesuatu?

Bagi Allah yang demikian itu hal-Nya, apakah tidak bisa dikatakan  bahwa  Dia bersama Makhluk-Nya di  samping  Dia  Maha Tinggi berada di atas mereka, terpisah dari mereka, bersemayam di atas ‘arsy-Nya.” (Kaidah-kaidah Utama…, hal. 156).

Maka lemahlah alasan-alasan orang shufi dan pendukungnya  yang menganggap bahwa  ayat-ayat dan hadits-hadits  tersebut  sebagai landasan tasawwuf.

Syeikh  ‘Utsaimin menegaskan, ayat …Dan Dia bersama kamu  di manapun kamu berada.” (QS 57:4); ma’iyah (kebersamaan) ini  tidak berarti  Allah SWT bercampur dengan makhluk atau tinggal  bersama di  tempat mereka. Sama sekali tidak menunjukkan pengertian  ini.

Karena  ini adalah makna bathil yang mustahil bagi Allah Azza  wa Jalla, padahal tidak mungkin makna dari firman Allah  dan  sabda Rasul-Nya adalah sesuatu yang mustahil lagi bathil.

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah dalam Al-‘Aqidah Al-Waasithiyah (hal. 115, cetakan ketiga, komentar Muhammad Khalil  Al-Harras), mengatakan:

“Dan  pengertian  dari  firman-Nya: “Dan  Dia  bersama  kamu”, bukanlah  berarti bahwa Allah itu bercampur  dengan  makhluk-Nya karena hal ini tidak dibenarkan oleh bahasa. Bahkan, bulan  seba­gai  satu tanda dari tanda-tanda (kemahatinggian dan  kebesaran) Ilahi,  yang  termasuk di antara makhluk-Nya  yang  terkecil  dan terletak di langit itu, tetapi dia dikatakan bersama musafir  dan yang bukan musafir di mana saja berada.”

Komentar  Syeikh ‘Utsaimin: Tidak ada orang  yang  berpendapat dengan makna bathil (Allah bercampur dengan makhluk atau  tinggal bersama di tempat mereka) ini kecuali Al-Hululiyah (Pantheisme) seperti orang-orang  terdahulu dari Jahmiyah dan  selain  mereka yang  mengatakan  bahwa Allah dengan dzat-Nya  berada  di setiap tempat.  Maha  suci Allah dari perkataan mereka  dan  amat  besar dosanya ucapan  yang keluar dari mulut mereka. Apa  yang  mereka katakan tiada lain adalah kebatilan.

Perkataan mereka ini telah dibantah oleh para ulama Salaf  dan imam  yang sempat menjumpainya, karena perkataan tersebut  menim­bulkan  beberapa  konsekwensi yang tidak  dapat  dibenarkan  yang menunjukkan  bahwa  Allah mempunyai  sifat-sifat  kekurangan  dan mengingkari keberadaan Allah di atas makhluk-Nya.

Bagaimana  seseorang bisa mengatakan bahwa dzat  Allah  berada pada setiap tempat, atau Allah bercampur dengan makhluk,  padahal Allah SWT itu “KursiNya meliputi langit dan bumi” (QS 2:255), dan “Bumi seluruhnya dalam genggaman-Nya pada hari kiamat dan  langit digulung  dengan  tangan kanan-Nya”  (QS 39:67)?  (Kaidah-kaidah Utama… (hal.152).

Kebatilan dalih  kaum  shufi dan  pendukungnya  telah  nyata. Masihkah akan diikuti, didukung, dan dipertahankan?

Ibnu Arabi Dihukumi Kafir

Posted: 23 Juni 2010 in Kajian
Tag:

IBNU ARABI DIHUKUMI KAFIR

Oleh : H Hartono Ahmad Jaiz
Ajaran Ibnu  Arabi yang sangat menyimpang  dari  Islam  itu banyak mempengaruhi  ummat Islam. satu segi  karena  syair-syair bahkan  kata-kata yang dituduhkan sebagai Hadits (padahal  palsu) dibuat dengan ungkapan yang mudah dihafal dan enak didengar. Segi yang  lain, karena ummat Islam merasa perlu menghormati Nabi  SAW sedemikian  rupa, sedangkan syair-syair dan adat yang disebarkan justru banyak yang berbau ajaran tasawwuf model Ibnu Arabi.

Jauhnya kesesatan aqidah akibat tersebarnya faham Ibnu  Arabi itu  bukan hanya melanda ummat Islam awam, namun sampai ke  orang yang  disebut  cendekiawan Muslim. Hingga seorang  DR  Nurcholish Madjid ketua Yayasan Wakaf Paramadina di Jakarta pernah  mengemu­kakan  pendapat, mengutip Ibnu Arabi, hingga  mendapat  tanggapan keras dari ummat Islam.

Dr. Nurcholish  Majid  menjawab  pertanyaan  pada   Pengajian “Paramadina”  di Kebayoran Baru tanggal 23 Januari  1987.  Perta­nyaan  Lukman  berbunyi: “Salahkah Iblis, karena  dia  tidak  mau sujud kepada Adam, ketika Allah menyuruhnya. Bukankah sujud hanya boleh kepada Allah?”

Dr  Nurchalish Madjid, yang memimpin pengajian  itu,  menjawab –secara  sambil lalu– dengan satu kutipan dari  pendapat  Ibnu Arabi,  dari  salah satu majalah yang terbit di  Damascus,  Syria bahwa:

“Iblis kelak akan masuk syurga, bahkan di tempat yang terting­gi  karena  dia tidak mau sujud kecuali kepada  Allah  saja,  dan inilah tauhid yang murni.”

DR  Nurchalish Madjid tidak memberi komentar  apa-apa,  setuju atau  tidaknya dia sendiri, dengan ucapan Ibnu Arabi  itu,  tidak pula  diterangkannya,  siapa Ibnu Arabi itu. (Yayasan  Islam  Al-Qalam  Ma’had Ad-Diraasaatil Islamiyyah Jakarta, Jawaban  Tuntas untuk  Dr Nurchalish Madjid tentang Ibnu Arabi dan  Syetan Masuk Syurga, 1407H, hal 1).

Selanjutnya, Ma’had itu menjelaskan duduk soal kesesatan  Ibnu Arabi, dan sejumlah ulama yang telah mengkafirkan, atau memurtad­kannya, akibat tulisan-tulisan Ibnu Arabi yang sangat  bertentan­gan dengan aqidah Islam.

Ibnu Arabi dan pokok-pokok ajaran sesatnya

Ibnu Arabi, nama lengkapnya Abu Bakar Muhammad ibn Ali Muhyid­din  Al-Hatimi  at-Thai al-Andalusi, dikenal  dengan  Ibnu  Arabi (bukan  Ibnul  Arabi yang ahli tafsir). Ibnu Arabi  ini  dianggap sebagai  tokoh  tasawwuf  falsafi, lahir di  Murcia  Spanyol,  17 Ramadhan  560  H/ 28 Juli 1165M, dan mati di Damaskus, Rabi’uts Tsani 638H/ Oktober 1240M.

Inti  ajarannya didasarkan atas teori wihdatul wujud (manunggaling kawula Gusti/menyatunya makhluk dengan Tuhan) yang  menghasilkan wihdatul adyan (kesatuan agama, tauhid  maupun  syirik) sebagai  hasil dari gabungan teori-teori al-ittihad  (manunggal, melebur jadi satu antara si orang sufi dan Tuhan) dengan mengadakan al-ittishal atau emanasi. Atau sebagai hasil dari gabungan pemikiran tentang teori Nur Muhammadi (yang pertama kali diciptakan adalah Nur Muhammad, kemudian dari Nur Muhammad itu  diciptakan  makhluk-makhluk lain) dari Al-Khaliq dengan pemikiran Al-Aqlu  al-awwal (akal pertama) –seperti telah  diterangkan pada bab  Nur Muhammad atau Hakekat Muhammad tersebut di atas–.  Ibnu Arabi banyak dipengaruhi oleh filsafat Masehi atau Nasrani.

Berikut  ini ringkasan pandangan Ibnu Arabi  yang  nyata-nyata bertentangan dengan Islam, diringkas oleh Yayasan Islam Al-Qalam, satu  induk  dengan  LPPI (Lembaga  Pengkajian  dan  Pengembangan Islam) yang banyak menyoroti aliran-aliran sesat.

Pandangan Ibnu Arabi berkisar pada:

– Berusaha menghancurkan/ membatalkan agama dari dasarnya.

– Semua orang berada pada As-Shirath Al-Mustaqim (jalan lurus).

– Wa’ied (janji) dari Allah tidak ada sama sekali.

– Khatim  al-Awliya’ (penutup para wali) lebih  tinggi daripada Khatim Al-Anbiya’ (penutup para nabi), karena wilayah (kewalian) lebih tinggi daripada Nubuwwah (kenabian).

Ibnu Arabi banyak mengarang buku untuk  menyiarkan  ajaran-ajaran dan pendapatnya. Bukunya yang paling terkenal adalah  al-Futuhat al-Makkiyyah dan Fushul Al-Hukm.

Sorotan  tajam  terhadap pendapat Ibnu Arabi  telah  dilakukan oleh  para  ulama dan dituangkan dalam tulisan yang  cukup  mudah dideteksi  tentang penyelewengan yang disebarkan Ibnu Arabi  itu. Di  antara  pendapat  dari Ibnu Arabi  dan  pengikut-pengikutnya adalah:

– Wali lebih tinggi dari nabi (Masra’ At-Tasawwuf, 22).

–  Untuk sampai kepada Allah, tidak perlu mengikuti  ajaran  para nabi (syara’), (Masra’ At-Tasawwuf, 20).

– Semua ini adalah Allah, tidak ada nabi/rasul atau malaikat. Allah adalah manusia besar. ( Fushush Al-Hukm, 48,  Masra’  At-Tasawwuf, 38).

– Tidak sah khilafah kecuali kepada insan kamil.

– Allah membutuhkan pertolongan makhluk. (Fushush Al-Hukm, 58-59).

– Nabi Nuh as. termasuk orang kafir (Masra’ at-Tasawwuf, 46-47).

– Da’wah kepada Allah adalah tipu daya. (Fushush Al-Hukm,  772/Masra’ At-tasawwuf, 66).

– Al-haq adalah al-khalq/ makhluq (Masra’ At-Tasawwuf,  62).

– Hukum alam adalah Allah itu sendiri. (Masra’ At-Tasawwuf, 70).

– Hamba adalah Tuhan. (Fushush Al-Hukm, 92-93; Masra’ at-Tasaw­wuf, 75).

– Neraka adalah surga itu sendiri. (Fushush Al-Hukm, 93-94).

– Al-Quran mempunyai dua arti, lahir dan batin.

– Dalam anggapan Ibnu Arabi, dia berkumpul dengan para nabi.

– Perbuatan hamba adalah perbuatan Allah itu  sendiri.  (Fushush Al-Hukm, 143).

– Ad-dhal (orang yang sesat) adalah al-muhtadi (orang yang mendapat petunjuk), al-kafir adalah al-mu’min. (Masra’ at-Tasawwuf, 108).

– Hawa nafsu adalah tuhan terbesar.

– Fir’aun adalah mukmin dan terbebas dari siksa neraka. (Fushush Al-Hukm, 181; Masra’ At-Tasawwuf, 111).

– Wanita adalah tuhan. (Fushush Al-Hukm, 216; Masra’ at-tasawwuf, 143).

– Hakekat ketuhanan tampak jelas dan utuh pada nabi-nabi as.

– Fir’aun adalah tuhan Musa. (Fushush Al-Hukm, 209; Masra’ at-Tasawwuf, 122).

Setelah  mengemukakan pendapat-pendapat Ibnu Arabi  tersebut, yayasan Al-Qalam yang membantah Dr Nurchalish Madjid lewat  risalah  kecil itu berkomentar: “Demikianlah pendapat-pendapat Ibnu Arabi dan pengikut-pengikutnya yang kacau balau, dan jelas bertentangan dengan Al-Quran dan As-Sunnah, bertebaran dalam  kitab-kitab yang  mereka tulis.” (Jawaban Tuntas untuk Dr  Nurchalish Madjid, hal 4).

Semua pendapat yang kacau balau dari Ibnu Arabi itu, menurut Yayasan  Al-Qalam, tampak jelas pada tulisan-tulisan atau  syair-syair  yang  tercantum dalam kitab-kitab yang ditulis  oleh  Ibnu Arabi dan pengikut-pengikutnya antara lain Ibnu Faridh.

Menurut pengakuan Ibnu Arabi, kitab Futuhat al-Makiyyah adalah Imla’ (dikte) langsung dari Allah SWT kepadanya. Sementara itu Kitab Fushul Al-Hukm karangan Ibnu Arabi pula adalah pemberian langsung dari Rasulullah saw. kepadanya. (Ensyclopedi Britanica: 12/33). Padahal,  jarak waktunya sangat  jauh. Rasulullah  saw. wafat abad ke tujuh Masehi, sedang Ibnu Arabi hidup pada abad ke 13 Masehi.

Banyak ulama yang mengkafirkan Ibnu Arabi

Selanjutnya, risalah Jawaban Tuntas untuk Dr Nurchalish Madjid menjelaskan: Karena pendapat-pendapat Ibnu Arabi (yang bertentangan  dengan Islam) ini, maka banyak ulama yang mengkufurkan  atau mengilhadkannya  atau  menghukumi murtad, walaupun  ada  sebagian kecil yang menerima pendapatnya bahkan menyiarkannya.

Disebutkan  dalam daftar, ada 37 ulama yang  mengkafirkan  atau memurtadkan Ibnu Arabi.

Di antara ulama yang yang menghukumi Ibnu Arabi menjadi kafir, mulhid atau murtad adalah:

1. Ibnu Sayyid An-Nas (wafat 734H).
2. Ibnu Daqieq Al- ‘Ied (w 702H).
3. Ibnu Taimiyyah (w 728H).
4. Ibnu Al-Qayyim Al-Jauzi (w 751H).
5. Qadhi ‘Iyyadh (w 744H).
6. Al-‘Iraqi (w 826H).
7. Ibnu hajar Al-‘Asqalani (w 852H).
8. Alauddin al-Bukhari.
9. Abu Zur’ah.
10. Al-Udhd (w 757H).
11. Al-Jurjani (w 814H).
12. At-Taftazani (w 792H).
13. Muhammad ibnu Ali bin Yaqub (w 814H).
14. Abi Hayyan (w 654H).
15. Taqiyuddin As-Subqi
16. Isa Ibnu Mas’ud Az-Zawawi (w 743H).
17. Ali Ibnu Yaqub Al-Bakri
18. Al-Baalisi (w 829H).
19. Ibnu Nuqas (w 763H).
20. Ibnu Hisyam (w 761H).
21. Syamsuddin Ibnu Muhammad Al-Aizari.
22. Lisanuddin Ibnul Khatib (w 766H).
23. Muhammad Ibnu Ahmad al-Bishati.
24. Ibnu Khayyath (w 811H).
25. Ismail Ibn Abi Bakri Al-Muqri (w 875H).
26. Izzuddin Ibn Abdissalam (w 660H).
27. Ibrahim Ibnu daud Al-‘Amidi (w 797H).
28. Abu Bakar Ibnu ‘Ashim Al-Kinani.
29. Sulaiman Ibnu Yusuf Al-Yusufi (w 739H).
30. Ali Ibnu Abdillah Al-Ardabili (w 746H).
31. Musa Ibnu Muhammad Al-Anshari (w 803H).
32. Burhanuddin Al-Biqa’i (w 858H).
33. Ibnu Khaldun (w 808H).
34. An-Nawawi (w 676H).
35. Az-Zahabi (w 748H).
36. Al-Bulqini (w 805H).
37. Al-Maushili.

Dari  nama mereka di atas ini, jelas mereka  adalah  merupakan imam-imam  dunia dan  merupakan panutan dari  ummat  Islam,  dan mereka  ini merupakan tokoh-tokoh ulama dari segala  cabang  ilmu islamy: ‘Aqidah, tasawwuf, Hadits, Ushul Fiqh, Sejarah  ketatane­garaan,  Sosiologi dan lain-lain. (Jawaban Tuntas untuk  Dr Nurcholish Madjid, hal 6).

Cukup  jelas, sejumlah ulama tingkat dunia telah  mengkafirkan Ibnu Arabi karena pendapat-pendapatnya dalam buku-bukunya berten­tangan  dengan  aqidah Islam. Sayang sekali,  ummat  Islam  masih banyak yang aqidahnya tercemar oleh faham sufi falsafi model Ibnu Arabi.  Hingga ketika penulis menjelaskan masalah sesatnya faham Nur  Muhammadi  kepada jama’ah masjid dalam  pengajian,  ternyata mereka  bermuka merah sambil ada yang berkata bahwa banyak  orang yang mempercayai Nur Muhammad memang ciptaan awal makhluk. Kemudian mereka baru bisa memahami, bila ungkapan Hadits palsu Laulaaka laulaaka lama khalaqtul aflaak, (seandainya bukan karena  kamu (muhammad),  seandainya bukan karena kamu (Muhammad),  pasti  aku tidak menciptakan seluruh alam); itu artinya Allah terikat dengan makhluk.  Itu aqidah yang salah. Karena Allah tidak terikat  oleh siapapun. Dia Maha Mutlak, tidak terikat.