Memahami Iyyaka Na’budu wa Iyyaka Nasta’in

Posted: 24 Juni 2010 in Kajian
Tag:

Memahami Iyyaka Na’budu wa Iyyaka Nasta’in

Oleh : H Hartono Ahmad Jaiz

(Membantah Penjaja Kesesatan Tasawuf)

“Hanya kepada Engkaulah kami menyembah dan hanya kepada Engkaulah
kami mohon pertolongan.” (Al-Fatihah: 6).

Dalam  Tafsir Tanwirul Miqbas min Tafsiir Ibn Abbas  dijelaskan,  iyyaaka na’budu maksudnya: kepadaMu-lah  kami  mentauhidkan dan  kepadaMu-lah  kami mentaati. Waiyyaka nasta’iin  kami  minta tolong padaMu untuk beribadah padaMu, dan kapadaMu-lah kami minta keteguhan untuk taat padaMu. (Tanwiirul Miqbas, hal 2).

Imam  Ibnu  Katsir menjelaskan, Iyyaaka na’budu  itu  berlepas diri  dari  kemusyrikan, waiyyaaka nasta’iin berlepas  diri  dari daya  dan  kekuatan; dan pemberian kekuasaan  kepada  Allah  (at-tafwiidh  ilallaah) Azza wa Jalla. Makna ini ada pada  ayat  lain dalam  Al-Qur’an  sebagaimana Allah SWT  berfirman:

“…maka  sembahlah  Dia, dan bertawakkallah  kepadaNya.  Dan sekali-kali Tuhanmu tidak lalai dari apa yang kamu kerjakan”.  (QS Huud/ 11:123).

“Katakanlah: “Dia-lah Allah Yang Maha Penyayang, kami  beri man  kepada-Nya dan kepada-Nya-lah kami  bertawakkal.”  (Al-Mulk/ 67: 29).

“Dia-lah  Tuhan masyriq dan maghrib, tiada Tuhan (yang  berhak disembah)  melainkan Dia, maka ambillah Dia  sebagai  pelindung.” (QS Al-Muzzammil/ 73:9).

Demikian  pula  ayat yang mulia ini:

“Hanya kepada Engkaulah kami menyembah dan hanya kepada Engkaulah kami  mohon pertolongan.” {Al-Fatihah: 6). (Tafsir  Ibnu  Katsir, juz 1, hal 36).

Dalam Tafsir Al-Qayyim dijelaskan, didahulukannya ibadah  atas isti’anah (minta  tolong) dalam surat  Al-Fatihah  itu  termasuk dalam  bab mendahulukan ghooyaat (tujuan) atas wasaail  (sarana).

Karena, ibadah itu adalah tujuan hamba-hamba yang (memang) diciptakan untuknya. Sedang isti’anah (minta tolong) itu adalah  wasilah  (sarana)  untuk ibadah. (Tafsir Al-Qayyim,  lil  Imam  Ibnul Qayyim, Darul Fikr, 1988/ 1408H, hal 66).

Dalam Tafsir Quran Karim Prof  Dr H Mahmud Yunus mengartikan, “Hanya  Engkaulah  (ya Allah) yang kami sembah dan  hanya  kepada Engkaulah  kami  minta  pertolongan.”   Selanjutnya   dijelaskan, “Karena  Allah  amat banyak memberi kita  bermacam-macam  ni’mat, maka  wajiblah kita menyembahNya. Dan tiada yang disembah  selain daripadaNya.  Wajiblah  kita  minta tolong  kepada  Allah,  untuk menyampaikan  cita-cita  kita dan mensukseskan  amalan  perbuatan

kita,  karena  Dia yang berkuasa menghilangkan segala  aral  yang melintangi.

Adapun  minta tolong sesama manusia dalam batas  kemampuannya, seperti  minta  obat ke dokter, maka tiadalah  terlarang,  bahkan dianjurkan bertolong-tolongan itu. Tetapi jika kita minta  tolong kepada  manusia di luar batas kemampuannya, seperti  minta  masuk surga,  murah rezeki, berbahagia di dunia akhirat dsb, maka  yang demikian  itu  amat terlarang dalam Islam.  Begitu  juga  meminta kepada batu-batu, kayu-kayu, kubur-kubur dan sebagainya, karena pekerjaan ini mempersekutukan Allah dengan lain-Nya.” (Prof Dr H Mahmud  Yunus, Tafsir  Quran  Karim, PT Hidakarya Agung Jakarta, cet  27,  1988/ 1409H, hal 1).

Syaikh  Muhammad  bin Jamil Zainu dalam  Minhajul  Firqoh  An-Najiyah wat Thoifah Al-Manshuroh membahas makna iyyaka na’budu waiyyaka  nasta’in dalam satu fasal tersendiri. Dia jelaskan,  ayat itu maksudnya, kami mengkhususkan hanya kepadaMu dalam beribadah, berdo’a, dan memohon pertolongan.

Dia  jelaskan, didahulukannya obyek (maf’ul bih) iyyaaka  atas subyek  na’budu dimaksudkan agar ibadah dan  memohon  pertolongan itu hanya kepada Allah saja, tidak kepada lainnya.

Ibadah  yang dimaksud adalah ibadah dalam arti luas,  termasuk shalat, nadzar, menyembelih kurban, juga do’a. Karena  Rasulullah SAW  bersabda: Ad-Du’aau huwal ‘ibaadah. Do’a adalah ibadah.  (HR At-Tirmidzi, ia berkata hadits hasan shahih).

Sebagaimana  shalat adalah ibadah yang tidak  boleh  ditujukan kepada  rasul  atau wali, demikian pula halnya dengan  do’a.   Ia adalah ibadah yang hanya boleh ditujukan kepada Allah saja. Allah SWT berfirman:

“Katakanlah, ‘Sesungguhnya aku hanya menyembah Tuhanku dan akutidak mempersekutukan suatu apapun denganNya.'” (QS Al-Jin: 20).

Tentang  memohon pertolongan yang disyari’atkan  Allah  adalah dengan  hanya memintanya kepada Allah agar Ia  melepaskanmu  dari berbagai kesulitan yang engkau hadapi.

Adapun memohon pertolongan yang tergolong syirik adalah dengan memintanya  kepada  selain Allah. Misalnya kepada para  nabi  dan wali  yang  telah meninggal atau kepada orang  yang  masih  hidup tetapi  tidak  dalam  keadaan hadir. Mereka  itu  tidak  memiliki manfaat atau madharat, tidak mendengar do’a, dan kalaupun  mereka mendengar  tentu tak akan mengabulkan permohonan  kita.  Demikian seperti dikisahkan oleh Al-Qur’an tentang mereka. (Syaikh  Muhammad  bin  Jamil  Zainu, Jalan Golongan yang  Selamat  Darul  Haq, Jakarta, 1419H, hal 28-31).

Adakah pertentangan makna?

Ayat  tersebut menegaskan, hanya kepada Allah lah  kami  minta pertolongan. Namun di ayat lain kita disuruh  bertolong-tolongan.

“Dan  tolong-menolonglah  kamu dalam (mengerjakan)  kebaikan  dan taqwa.” (QS Al-Maaidah: 2).

Adakah pertentangan antara  keduanya?

Tidak.

Dalam Al-Qur’an dan Tafsirnya dijelaskan:

Tercapainya sesuatu maksud, atau terlaksananya sesuatu  pekerjaan dengan baik adalah bergantung kepada cukupnya  syarat-syarat yang  dibutuhkan  dalam  melaksanakan pekerjaan  itu,  dan  tidak adanya rintangan-rintangan yang akan menghalanginya.

Manusia  telah  diberi  oleh Allah tenaga,  baik  yang  berupa fikiran,  maupun yang berupa kekuatan tubuh, untuk  dipakai  guna mencukupkan syarat-syarat, atau menolak rintangan-rintangan dalam menuju suatu maksud, atau mengerjakan suatu pekerjaan. Tetapi ada di antara syarat-syarat itu yang tidak kuasa menusia mencukupkannya, sebagaimana di antara rintangan itu ada yang di luar  kekuasaan manusia untuk menolaknya. Begitu pula ada di antara  syarat-syarat itu atau di antara halangan-halangan itu yang tidak  dapat diketahui. Maka kendatipun menurut fikirannya dia telah mencukupkan  semua  syarat-syarat yang diperlukan, dan  telah  menjauhkan semua  rintangan-rintangan yang menghalangi, tetapi hasil  pekerjaannya  itu belum lagi sebagai yang dicita-citakannya. Jadi  ada hal-hal  yang  tidak masuk dalam batas  kekuasaan  dan  kemampuan manusia. Itulah yang dimintakan pertolongan khusus kepada  Allah.

Sebaliknya  tentang sesuatu yang termasuk dalam  batas  kekuasaan dan  kemampuan  manusia, dia disuruh  bertolong-tolongan,  supaya tenaga  menjadi  kuat, dan agar ada  pada  masing-masing  manusia sifat cinta mencintai, harga menghargai, dan gotong royong.

Dengan  perkataan  lain, manusia disuruh  oleh  Allah  berusaha dengan  sekuat  tenaganya,  dan disuruh  tolong  menolong,  bantu membantu, di samping menjalankan ikhtiar dan usaha-usahanya  itu, dia  harus  pula berdo’a, memohon taufiq,  hidayat,  dan  ma’unah (pertolongan,  pen).  Ini hendaklah dimohonkannya  khusus  kepada Allah, karena hanyalah Dia Yang berkuasa memberinya. Sesudah  itu semua, barulah ia bertawakkal kepadaNya.

Ibadat  itu sendiri pun adalah sesuatu pekerjaan  yang  berat, sebab  itu  haruslah dimintakan ma’unah (pertolongan,  pen)  dari Allah, supaya semua ibadat terlaksana sebagai yang dimaksud  oleh agama.  Maka  seseorang menuturkan bahwa hanya kepada  Allah  lah kita  beribadah, diikuti lagi dengan pernyataan  bahwa  kepadaNya saja  meminta pertolongan, terutama pertolongan agar amal  ibadah terlaksana  sebagaimana  mestinya. Ayat di  atas,  sebagai  telah disebutkan,  mengandung  tauhid,  karena  beribadah   semata-mata kepada  Allah dan meminta ma’unah khusus kepadaNya, adalah  inti sari  agama, dan kesempurnaan Tauhid. (Al-Qur’an  dan  Tafsirnya, Depag RI, I, hal 28-29).

Upaya menghancurkan Tauhid

Dari  berbagai sumber tersebut telah jelas bahwa  ayat  iyyaaka

na’budu  wa iyyaaka nasta’iin itu adalah intisari agama dan  sempurnanya Tauhid. Namun ada upaya-upaya untuk menjadikannya  sebagai  landasan  kemusyrikan. Contohnya, Nurcholish  Madjid  dengan pengakuan merujuk pada penafsiran tasawuf ia menulis: “Kalau kita baru sampai pada iyyaka na’budu berarti kita masih mengklaim diri kita  mampu  dan aktif menyembah. Tetapi kalau  sudah  wa  iyyaka nasta’in, maka kita lebur. Menyatu dengan Tuhan.” (Tabloid  Tekad 44/II, 4-10 September 2000, hal 11).

Dilihat  dari segi penafsiran, Nurcholish Madjid  jelas  telah jauh  berbeda dengan apa yang dikemukakan Ibnul  Qoyyim.  Menurut Ibnul  Qoyyim,  ulama terkemuka kaliber dunia  (691-751H),  lafal nasta’iin  itu adalah wasilah (sarana) sedang na’budu itu  adalah ghoyah  (tujuan). Karena makhluk –jin dan manusia–  ini  memang diciptakannya  hanyalah  untuk  beribadah  kepada  Allah.  Sedang penafsiran Nurcholish Madjid (“Kalau kita baru sampai pada iyyaka na’budu  berarti kita masih mengklaim diri kita mampu  dan  aktif menyembah.  Tetapi  kalau  sudah wa iyyaka  nasta’in,  maka  kita lebur.

Menyatu dengan Tuhan.”) itu jelas-jelas berlawanan  dengan penafsiran  Ibnul  Qoyyim.  Nasta’in yang  menurut  Ibnul  Qoyyim adalah wasilah (sarana), namun oleh Nurcholish diletakkan sebagai ghoyah (tujuan) dan diartikan menurut ghoyah faham tasawuf  sesat yaitu  al-hulul wal ittihad, lebur dan menyatu dengan Tuhan.  Ini dari segi materi sudah terbalik-balik, sedang dari segi pemahaman sudah  sangat  menyimpang. Padahal tokoh sufi  sesat,  Al-Hallaj, yang berfaham al-hulul wal ittihad itu telah dihukumi kafir  oleh para ulama dan dihukum bunuh di Baghdad 309H/ 922M. (Lihat Hartono  Ahmad Jaiz, Mendudukkan Tasawuf, Darul Falah  Jakarta,  2000,hal 28).

Betapa  berbahayanya  menafsiri ayat Al-Qur’an  (apalagi  ayat yang  merupakan  intisari agama dan  sempurnanya  Tauhid)  dengan sekenanya, dan berlawanan dengan kaidah-kaidah ilmu agama seperti itu.  Dan  masih pula betapa  rusaknya  mengubah  pemahaman  ayat   Tauhid  menjadi  faham  hulul dan ittihad  (melebur  dan  menyatu dengan Tuhan) yang mewarisi pemahaman tasawuf sesat itu.

Anehnya, faham tasawuf yang ghoyahnya (arah tujuannya) sangat berbeda dengan Islam itu kini digencarkan  oleh  orang-orang  tertentu  dan   kelompok-kelompok tertentu  secara intensip sekali di antaranya di  Yayasan  Iiman, Paramadina, televisi Anteve , Yayasan Sehati yang ditokohi  Jalaluddin  Rachmat  dll.  Ini merupakan PR  (pekerjaan  rumah)  yang diderakan terhadap Muslimin, di samping PR-PR lain yang merugikan dan bahkan merusak dan menyesatkan.

Persoalan kedua, tulisan Nurcholish Madjid di Tekad No 44, 4-10 September 2000, hal 11  itu ada yang  bunyinya:  “Perlu  diberi catatan di  sini  mengenai  sifat sombong (al-mutakabbir) Allah dalam asmaul husna, yang kita malah

diperintah menirunya. Memang kita harus punya juga sifat sombong, tapi  porsinya tidak besar, hanya sampai pada tingkat kita  punya harga diri.”

Tulisan  NM  itu  bertentangan sama  sekali  dengan  ayat-ayat maupun hadits. Di antaranya firman Allah:

“Sesungguhnya  Allah tidak menyukai orang-orang  yang  sombong.”(An-Nahl/ 16: 23).

Rasulullah SAW bersabda:

“Laa yadkhulul jannata man kaan fii qolbihi mitsqoola dzarrotin min kibrin.”

“Tidak akan masuk surga orang yang di dalam hatinya ada kesombongan sekalipun seberat dzarroh (atom).” (HR Muslim).

Rasulullah  SAW  bersabda:

“Neraka berkata:  ‘Aku  dipentingkan karena untuk orang-orang yang sombong’.” (HR Al-Bukhari dan  Muslim).

Demikianlah,  bisa  kita bandingkan antara  ajaran  NM  dengan ajaran Allah dan Rasul-Nya.

Komentar
  1. […] di padang mahsyar nanti Allah bertanya pada anda: “Dari mana kau peroleh hartamu di dunia?” Anda akan menjawab, “harta itu kuperoleh dengan kolusi dan korupsi, dengan memalsu […]

    Suka

  2. […] ditulis oleh Al-Ustadz Yazid binAbdul Qadir Jawasdengan udul “Bingkisan  Istimewa Menuju Keluarga Sakinah“, insya Allah jika anda para bujangan membaca buku tersebut, akan timbul keberanian […]

    Suka

  3. […] yang ditulis oleh Al-Ustadz Yazid binAbdul Qadir Jawasdengan udul “Bingkisan  Istimewa Menuju Keluarga Sakinah“, insya Allah jika anda para bujangan membaca buku tersebut, akan timbul keberanian baru […]

    Suka

  4. […] Laka Shumtu Wa Alla Rizqika Aftartu (artinya : Dengan nama Allah, Ya Allah karena-Mu aku berbuka puasa dan atas rizqi dari-Mu aku berbuka).(Riwayat : Thabrani di kitabnya Mu’jam Shogir hal 189 dan […]

    Suka

  5. […] Rasul yang ada disitu tentu saja kaget dengan pertanyaan Nabi. Umar yang sejak  tadi  menunggu  perintah  Rasulullah  untuk  membunuh  orang  ini  seakan  tidak percaya  dengan  apa  yang […]

    Suka

  6. […] Rasul yang ada disitu tentu saja kaget dengan pertanyaan Nabi. Umar yang sejak  tadi  menunggu  perintah  Rasulullah  untuk  membunuh  orang  ini  seakan  tidak percaya  dengan  apa  yang […]

    Suka

Tinggalkan komentar