Pijakan Pertama Untuk Membantah Shufi

Posted: 23 Juni 2010 in Kajian
Tag:,

Oleh : H Hartono Ahmad Jaiz

Sebagian  banyak taman-teman dari kalangan Muslimin  yang  tak suka  pada tasawwuf dan  penyelewangan-penyelewengannya,  mereka memulai  bantahannya terhadap  shufi dengan  pijakan  awal  yang salah.  Mereka mendebat shufi mengenai perkara-perkara  pinggiran dan  cabang-cabangnya,  seperti  bid’ahnya shufi  dalam  dzikir-dzikir, penamaan mereka dengan shufi, pengadaan perayaan-perayaan maulid  atau  bawaan tasbeh-tasbeh mereka,  atau  pakaian-pakaian mereka  yang tambal-tambalan dan semacamnya berupa  gejala-gejala aneh yang tampak.

Memulai  bantahan  dengan perkara-perkara sekitar  ini  adalah langkah  awal yang salah total. Walaupun perkara (yang  disandang shufi) ini semuanya adalah bid’ah yang menyelisihi syari’at,  dan mengada-adakan  kebohongan dalam agama, namun (memulai  bantahan dengan  perkara-perkara  cabang itu) menyamarkan hal  yang lebih penting  dan lebih besar. Artinya, cabang-cabang ini tidak  boleh untuk pijakan awal dalam mendebat shufi, dan meninggalkan hal-hal pokok.  Memang benar, (cabang-cabang bid’ah shufiyah)  itu  tadi adalah  dosa-dosa  dan penyelewengan-penyelewangan,  tetapi  ia adalah  kecil  sekali apabila dibanding dengan  dosa-dosa  besar, kebohongan-kebohongan,  kekafiran-kekafiran  yang dahsyat,   dan tujuan-tujuan hina dina yang berjalan dalam pemikiran shufi. Oleh karena  itu wajib bagi orang yang membantah shufi  untuk  memulai dengan hal-hal pokok, dan induk-induk, bukan dengan cabang-cabang dan sub-sub bentuk. (Fadhoihus Shufiyyah, hal 49-50).

Barangkali  dengan Anda telah membaca perbedaan  pokok  antara Al-Islam  dan tasawwuf, Anda telah tahu apa yang seyogyanya  Anda mulai dalam berdebat, yaitu tentang manhaj talaqqi (pola  pengam­bilan  –pemahaman) dan penetapan agama. Yaitu isi  dari  jawaban pertanyaan: Bagaimana kita mengambil (sumber) agama? Dan bagaima­na  kita menetapkan aqidah dan ibadah, dan apa itu  sumber-sumber pemahamannya?

Islam  menjadikan sumber pemahaman terbatas pada Al-Quran  dan As-Sunnah saja. Dan tidak boleh menetapkan aqidah kecuali  dengan nash/ teks dari Al-Quran dan perkataan Rasul. Dan tidak ada pene­tapan syari’at kecuali dengan kitab dan Sunnah, dan ijtihad  yang sesuai  dengan keduanya. Ijtihad itu benar dan salah, tidak  ada yang ma’shum (terjaga dari kesalahan) kecuali Al-Quran dan Sunnah RasulNya saja.

Adapun  tasawwuf,  maka agama   mereka  (didapatkan)  melalui klaim syeikh-syeikh, bahwa mereka mengambilnya dari Allah  secara langsung,  tanpa perantaraan, dan dari Rasul yang  mereka  klaim bahwa  Rasul  selalu datang ke majlis-majlis,  dan  tempat-tempat dzikir mereka.  Juga  dari malaikat,  dari jin yang mereka  nama­kan dengan badan halus (ruhaniyyin), dan dengan kasyf yang mereka klaim  bahwa keghaiban-keghaiban tersingkap oleh hati wali,  maka wali itu melihat apa-apa yang di langit-langit dan bumi, dan hal-hal yang telah lalu serta yang akan datang. Maka wali bagi mereka tidak  ada  sebijipun  apa-apa yang di langit dan  di  bumi  yang terlewat dari ilmu wali.
Oleh karena itu, jadikanlah pertanyaan pertama kepada shufi:

Bagaimana  kalian menetapkan agama itu? Dan dari  mana  kalian mengambil sumber aqidah kalian?

Apabila shufi menjawab padamu: “Dari Al-Quran dan  As-Sunnah,” maka katakanlah padanya: Al-Quran dan As-Sunnah menyaksikan bahwa iblis itu kafir, dia dan pengikut-pengikutnya akan dimasukkan  ke dalam neraka, sebagaimana Allah Ta’ala firmankan:

“Dan berkatalah syetan, tatkala perkara (hisab) telah  disele­saikan: “Sesungguhnya Allah telah menjanjikan kepadamu janji yang benar,  dan akupun telah menjanjikan kepadamu tetapi  aku  menya­lahinya.  Sekali-kali  tidak  ada  kekuasaan  bagiku terhadapmu, melainkan (sekadar) aku menyeru kamu, lalu kamu mematuhi seruanku.  Oleh  sebab  itu janganlah kamu mencerca  aku,  akan  tetapi cercalah dirimu sendiri. Aku sekali-kali tidak dapat  menolongmu, dan kamupun sekali-kali tidak dapat menolongku. Sesungguhnya  aku tidak membenarkan perbuatanmu mempersekutukan aku (dengan  Allah) sejak dahulu.”  Sesungguhnya orang-orang yang zalim itu  mendapat siksaan yang pedih.” (QS Ibrahim/ 14:22).

Syetan di sini adalah iblis menurut ijma’ para mufassir  salaf (tiga  generasi  awal: shahabat, tabi’in, dan  tabi’it  tabi’in). Arti wamaa antum bimushrikhi adalah kamu tidak dapat membebaskanku dan menyelamatkanku. Itu artinya iblis adalah bersama  mereka di  neraka. Maka apakah kalian yakin wahai orang-orang tasawwuf/shufi yang demikian itu?

Kalau  orang shufi mengatakan padamu, “Ya, kami percaya  bahwa iblis  dan pengikut-pengikutnya itu di dalam neraka,”  maka  dia (shufi)  telah  berbohong padamu. Dan kalau  ia  berkata  padamu, “Kami tidak percaya bahwa iblis di neraka, dan kami percaya bahwa iblis  tobat dari apa yang telah lalu darinya, atau iblis  adalah hamba yang meng-esakan Tuhan (muwahhid) lagi mu’min seperti  kata guru mereka Al-Hallaj”; maka katakanlah padanya (shufi):  Sungguh kalian  telah kafir karena kalian telah menyelisihi Al-Quran  dan Hadits-hadits  Rasul  dan ijma’ ummat bahwa iblis itu  kafir  dan termasuk  penghuni neraka (ahlin naar). Maka katakanlah  padanya: Syeikh  akbar kamu, Ibnu Arabi, telah menghukumi bahwa Iblis  di dalam  surga, dan Fir’aun juga di surga (seperti dalam  kitabnya, Fushushul Hukm).  Dan guru besarmu, Al-Hallaj, bahwa  iblis  itu adalah  penuntunnya, sedang syeikhnya  adalah  Fir’aun,  seperti tercantum dalam kitab At-Thawwasin halaman 52. Lalu apa yang kamu katakan dalam hal itu (wahai orang shufi)?

Apabila ia (orang shufi) mengingkarinya maka dia adalah  orang  pembesar  yang ngeyel (ngotot), atau jahil  (orang  bodoh)  yang tidak  tahu. Sedangkan kalau dia mengakui yang demikian dan  men­gikuti  Al-Hallaj  dan Ibnu Arabi maka sungguh dia  telah  kafir seperti  mereka kafir, dan jadilah ia termasuk teman-teman  Iblis dan  Fir’aun, cukuplah yang demikian itu sebagai teman  di  dalam neraka. (Fadhoihus Shufiyyah, hal 51-52).

Dan  apabila  ia  ingin menipumu  dan  berkata:  “Sesungguhnya perkataan  mereka ini adalah dalam keadaan syathah (mengeluarkan kata-kata  aneh dalam keadaan tidak sadar)” yang  mereka  katakan bahwa  itu dikuasai keadaan dan mabuk, maka katakanlah  padanya: Bohong  kamu.  Karena perkataan ini ada  dalam  kitab-kitab yang dikarang, dan Ibnu Arabi telah mengeluarkan kitab Fushushul  Hukm dengan ucapannya:  “Sesungguhnya aku  telah  melihat  Rasulullah dalam  mimpi di Mahrusah Damsik dan beliau memberiku  kitab  ini, dan  beliau  bersabda padaku, ‘keluarlah  dengannya  (kitab  ini) kepada para manusia’.”

Padahal kitab ini lah yang menyebutkan bahwa Iblis dan Fir’aun itu termasuk orang-orang yang arif lagi selamat, dan Fir’aun  itu lebih  tahu tentang Allah daripada Musa. Dan bahwa  setiap  orang yang  menyembah  sesuatu (apapun) maka dia  itu  tidak  menyembah kecuali (menyembah) Allah.

Al-Hallaj   pun   demikian,  ia  menulis   segala   kekafiran-kekafirannya  dalam kitabnya,  sedang dia  tidak  dalam  keadaan syathah (mengeluarkan kata-kata aneh dalam keadaan tidak  sadar) atau dikuasai keadaan seperti yang mereka katakan.

Apabila orang shufi mengatakan padamu: “Mereka itu telah berbi­cara dengan bahasa yang kita tidak tahu,” maka katakalah pada  si shufi itu: Sungguh mereka telah menulis pembicaraan mereka dengan Bahasa Arab dan disyarahkan (dijelaskan) oleh murid-murid  mereka dan telah mereka tulis/ uraiakan hal itu.

Apabila  si shufi mengatakan, “Sesungguhnya ini adalah  bahasa khusus  untuk  ahli tasawwuf yang tidak  diketahui  oleh  selain mereka,” maka katakanlah padanya (si shufi): Sesungguhnya  bahasa mereka  ini adalah Bahasa Arab, dan mereka  telah menyebarkannya kepada  para manusia dan tidak menjadikannya khusus bagi mereka, sedangkan  para Ulama Muslimin telah menghukumi Al-Hallaj  dengan kafir, dan dia disalib di atas jembatan Baghdad tahun 309H dengan sebab makalahnya. Dan demikian pula Ulama Muslimin telah  menghu­kumi kafir dan zindiq terhadap Ibnu Arabi.

Apabila si shufi mengatakan padamu: “Saya tidak mengakui peng­hukuman  Ulama Syari’at karena mereka itu ulama lahir yang  tidak tahu  hakekat,” maka jawablah padanya (si Shufi): Yang lahir  ini adalah  (sesuai  dengan) Al-Quran dan As-Sunnah/  Al-Hadits,  dan setiap hakekat yang berbeda dengan yang lahir ini maka dia batil. Dan apakah hakekat yang mereka dakawakan itu?

Kalau si shufi mengatakan padamu, “Hakekat yaitu sesuatu  dari rahasia-rahasia yang  tidak disebarkan dan tidak  kita  dengar”; maka katakanlah: Sungguh kalian telah menyebarkannya dan  memper­dengarkannya, yaitu bahwa setiap yang wujud menurut klaim  kalian adalah  Allah,  sedang surga dan neraka itu sama, dan  Iblis dan Muhammad  itu sama, dan Allah adalah makhluk dan  makhluk  adalah Allah, seperti kata Imammu dan Syeikh Akbarmu:

Al-‘abdu robbun wa robbu ‘abdun
ya laita syi’ri manil mukallaf?
In qultu ‘abdun fadzaka robbun
wa in qultu robbun an yukallaf?

(Hamba itu Tuhan dan Tuhan itu hamba
Aduhai siapakah yang dibebani hukum?
Apabila aku katakan hamba maka itu adalah Tuhan
Dan apabila aku katakan Tuhan maka akan dibebani hukum?).

Apabila  si  shufi mengakui yang demikian  itu  dan  mengikuti mereka yang zindiq-zindiq itu maka dia kafir seperti mereka.  Dan apabila  si shufi berkata: “Saya tidak tahu tentang perkatan  ini dan  tidak  mengerti tetapi aku  mempercayai keimanan  pengucap-pengucapnya, kebersihan mereka, dan kewalian mereka”; maka  katakanlah pada si shufi itu: Sesungguhnya ungkapan ini adalah ungka­pan berbahasa Arab yang jelas, tidak ada samar padanya.  Dan ia mengkhabarkan tentang aqidah yang dikenal yaitu wihdatul wujud, yakni  kepercayaan Hindu dan zindiq yang kalian nukil/pindahkan ke  Islam dan kalian campuradukkannya dengan  ayat-ayat Al-Quran dan hadits-hadits Nabi Saw.

Lalu apabila si shufi mengatakan padamu: “Jangan kamu  menentang para wali sehingga mereka tidak menyakitimu, karena Rasulul­lah Saw bersabda, telah berfirman  Allah  Ta’ala:

“Barangsiapa memusuhi  seorang wali maka sungguh Aku izinkan dia  untuk  dipe­rangi”;  maka  katakanlah pada si shufi: Mereka itu  bukan wali, tetapi  mereka hanyalah orang-orang zindiq yang  berkedok  Islam. Dan  saya mengingkari kalian dan tuhan-tuhan kalian, “sebab  itu jalankanlah  tipu dayamu semuanya terhadapku dan  janganlah  kamu memberi  tangguh  kepadaku. Sesungguhnya aku  bertawakkal  kepada Allah  Tuhanku  dan Tuhanmu. Tidak ada suatu  binatang  melatapun melainkan Dialah yang memegang ubun-ubunnya, sesungguhnya Tuhanku (ada) di atas jalan yang lurus. (lihat QS Hud/ 11:55-56).

Apabila si shufi mengatakan padamu: “Wajib atas kita menyerah­kan  kepada orang-orang shufi keadaan mereka. Karena  mereka  me­nyaksikan  hakekat dan mengetahui batin agama!!” maka  katakanlah pada  si shufi:  Bohong kamu. Kita tidak boleh  bungkam  terhadap seseorang tentang ucapan yang menyelisihi Al-Quran dan As-Sunnah, dan menyebarkan kekafiran dan kezindiqan di antara kaum Muslimin, karena Allah Ta’ala berfirman:

“Sesungguhnya orang-orang  yang menyembunyikan apa  yang  telah kami turunkan berupa keterangan-keterangan (yang  jelas) dan petunjuk,  setelah Kami menerangkannya kepada manusia  dalam  Al-Kitab, mereka itu dila’nat Allah dan dila’nati (pula) oleh  semua (makhluk) yang dapat mela’nati. Kecuali mereka yang telah  taubat dan mengadakan perbaikan dan menerangkan (kebenaran), maka terha­dap  mereka  itulah Aku menerima taubatnya dan Akulah  yang  Maha Penerima taubat lagi Maha Penyayang.” (LIhat QS Al-Baqarah:  159-160).

Oleh karena itu tidak boleh bungkam terhadap kebatilan  kalian dan  barang murahan  serta zindiq kalian,  karena  kalian  telah merusak Dunia Islam, baik dulu maupun sekarang, dan kondisimu itu masih  berlangsung sampai hari ini, kalian mengeluarkan  manusia dari  ibadah kepada Allah ke ibadah pada syaikh-syaikh, dan  dari tauhid  ke  syirik dan penyembahan kuburan, dan  dari  sunnah  ke bid’ah. Juga mengeluarkan manusia dari pemahaman Al-Quran dan As-Sunnah  ke pemahaman bid’ah, khurafat, dan takhayul  dari  orang-orang yang mengaku-aku melihat Allah, malaikat, Rasul, dan surga. Kalian  orang-orang shufi selam hidup telah membantu  gerombolan-gerombolan  kebatinan, dan mengabdi kepada penjajah. Oleh  karena itu  sama sekali tidak boleh bungkam terhadap  kesesatan kalian, kesyirikan  kalian, dan upaya pengalihan kalian terhadap  manusia dari Al-Quranul Karim ke dzikir-dzikir bid’ah kalian dan  ibadah-ibadah  yang  tidak  lebih dari tepuk  tangan  dan  siulan-siulan seperti ibadah musyrikin. (Fadhoihus Shufiyyah, halaman 55).

Kilah-kilah pendukung tasawwuf

Dalam buku Ensiklopedi Islam ditampilkan pendapat Harun  Nasu­tion, dekan pasca sarjana IAIN (Institut Agama  Islam  Negeri) Jakarta  mengenai  tasawwuf. Harun Nasution  ini  menurut  murid-muridnya (di antaranya yang bercerita di sutu perkuliahan  adalah Drs Hamdan Rasyid MA yang dia waktu itu berkuliah di Pasca Sarjana IAIN Jakarta), bahwa Dr Harun Nasution (pada akhir-akhir umur­nya) sering ke Abah Anom di Tasik Malaya Jawa Barat, tokoh  tare­kat  Naqsyabandiyah yang digabung dengan Qodiriyyah.  Bisa  kita simak  pendapatnya  yang dikutip buku Ensiklopedi  Islam  sebagai berikut:

Bagi Harun Nasution, teori-teori yang mengatakan bahwa  ajaran tasawuf dipengaruhi oleh unsur asing sulit dibuktikan  kebenaran­nya.  Karena dalam ajaran Islam sendiri terdapat ayat-ayat  dalam Al-Quran  dan  hadis-hadis yang menggambarkan  dekatnya  manusia dengan  Tuhan. Di antaranya surah al-Baqarah ayat 186 yang artinya;  “Dan apabila hamba-hamba-Ku bertanya kepadamu tentang Aku, maka  (jawablah),  bahwasanya Aku adalah dekat,  Aku  mengabulkan permohonan orang yang mendoa kepada-Ku.

Dalam  ayat  lain disebutkan pula: “Dan kepunyaan Allah-lah timur dan barat, maka ke mana pun kamu menghadap di situlah wajah Allah. Sesungguhnya Allah Maha Luas (rahmat-Nya) lagi maha Menge­tahui.” (QS 2:115).

Disebutkan  pula  dalam surah Qaf ayat 16 yang artinya: “Dan sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia dan  mengetahui  apa yang dibisikkan oleh hatinya, dan Kami lebih dekat kepadanya dari urat lehernya.”

Dalam  hadis qudsi (hadis yang maksudnya berasal dari Allah SWT,  lafalnya berasal dari Nabi SAW) disebutkan bahwa Allah  SWT berfirman:
“Barangsiapa memusuhi seseorang  wali-Ku,  maka  Aku mengumumkan  permusuhan-Ku terhadapnya. Tidak ada  sesuatu  yang mendekatkan hamba-Ku kepada-Ku yang lebih kusukai daripada pengamalan  segala  yang Kufardukan atasnya. Kemudian, hamba-Ku  yang senantiasa  mendekatkan diri kepada-Ku dengan melaksanakan amal-amal  sunnah,  maka Aku senantiasa menyintainya. Bila  Aku  telah cinta kepadanya,  jadilah Aku pendengarannya yang  dengannya  ia mendengar,  Aku penglihatannya yang dengannya  ia  melihat,  aku tangannya yang dengannya ia memukul, dan Aku kakinya yang  dengan itu  ia  berjalan.  Bila ia memohon kepada-Ku,  Aku  perkenankan permohonannya, jika ia meminta perlindungan, ia Kulindungi.” (HR. Bukhari).

Demikian kutipan Ensiklopedi Islam, halaman 75-76.

Sanggahan terhadap pendapat Harun Nasution

Benarkah  pendapat atau kilah Harun Nasution yang  dikenal  tidak memasukkan qodho’ dan qodar ke dalam rukun iman, dan yang  dalam hal  ini tampak memperkuat barisan shufi, baik  secara  pemikiran maupun praktek itu?

Kita simak syarah atau penjelasan Hadits Qudsi yang dia  jadi­kan  kilah itu, sebenarnya apakah ada kaitannya dengan  tasawwuf, mari kita simak  sebagai berikut:

Al-walayah dengan difathah wawunya artinya  adalah almahabbah, kecintaan, dan lawannya adalah al’adawah, permusuhan. Sedang “wali” adalah lawan kata dari “musuh”, dan wali-wali  Allah  itu adalah  orang-orang  yang  beriman lagi bertaqwa. Allah Ta’ala berfirman:

“Ingatlah, sesungguhnya wali-wali Allah itu, tidak ada  kekha­watiran  terhadap mereka dan tidak (pula) mereka  bersedih  hati. (Yaitu) orang-orang yang beriman dan mereka selalu bertaqwa.” (QS Yunus/ 10:62-63).

Maka setiap orang mukmin yang bertaqwa dialah wali Allah sesuai dengan keimanan dan ketaqwaannya. Sedang  orang yang  kafir  maka dialah musuh Allah. Lantas  orang  mukmin  yang bermaksiat  maka  berkumpul pada dirinya dua perkara  –dia  wali Allah  sesuai dengan iman yang ada dalam dirinya, dan  dia  musuh Allah  sesuai  dengan maksiat yang ada dalam  dirinya.  Wali  itu bukan  orang  yang maksum (terjaga) dari kesalahan  seperti  yang dikira/diklaim oleh sebagian orang fanatik terhadap orang  yang mereka  namakan auliya’. Dan auliya’ (para wali)  tidak  memiliki kemampuan mengatur alam, tidak mampu menarik manfaat dan  menolak bahaya dan menyembuhkan penyakit, dan  menghilangkan  keruwetan, seperti yang disangka oleh banyak orang ahli khurofat yang  meng­gantungkan  diri pada auliya’ dan menyembah mereka selain  Allah, dan  meminta tolong pada mereka dalam musibah-musibah berat,  dan meminta pada mereka untuk mencukupi kebutuhan, dan  menghilangkan keruwetan,  juga  meminta berkah  dengan  mengusap  bagian-bagian badan mereka, tanah-tanah mereka, dan kuburan-kuburan mereka, dan bernadzar  untuk  mereka, dan menyembelih  kurban  untuk  mereka, seperti yang dulu telah dilakukan orang-orang musyrik  jahiliyah.

Seperti firman Allah Ta’ala tentang mereka:
“Dan mereka menyembah selain dari Allah apa  yang  tidak  dapat mendatangkan kemudharatan kepada mereka dan tidak (pula)  kemanf­aatan,  dan  mereka berkata: “Mereka itu adalah pemberi syafaat kepada kami di sisi Allah.” (QS Yunus/ 10:18).

Dan Allah Ta’ala berfirman:
“Dan orang-orang yang mengambil pelindung selain Allah (berkata): “Kami tidak menyembah mereka melainkan supaya mereka  mendekatkan kami kepada Allah dengan sedekat-dekatnya.” (QS Az-Zumar/  39:3).

Dan ayat-ayat lainnya.

Tidaklah   setiap  yang diklaim sebagai wali  itu  jadi  wali. Sesungguhnya  wali itu tidak lain hanya orang yang  beriman  lagi bertaqwa, sedangkan wali itu orang yang butuh dan berhajat kepada Tuhannya, dia tidak mampu memberikan mudharat dan manfaat  kepada dirinya  ataupun  kepada orang lain. Wali-wali  Allah  itu  wajib dicintai  dan  dihormati tanpa ghuluw (berlebih-lebihan) dalam menghormati mereka  dan tidak berlebihan dalam  mendudukkan  hak mereka dengan meminta sesuatu kepada mereka yang sebenarnya tidak boleh  diminta  kecuali  kepada Allah.

Diharamkan memusuhi mereka (wali-wali), mengurangi hak  mereka, dan menyakiti mereka. Allah telah mengancam orang yang  mengerja­kan hal itu dengan firmanNya dalam hadits: “Barangsiapa  memusuhi wali-Ku maka sungguh Aku telah umumkan perang dengannya” artinya sungguh  telah  aku  beritahukan bahwa aku memusuhi orang yang memusuhiKu  dengan  (lantaran) memusuhi wali-waliKu.  Ini  sesuai dengan  tingkatan pertama atas orang yang memusuhi  para sahabat Radhiyallahu ‘anhum dan orang-orang yang memarahi para sahabat di antaranya orang-orang Syi’ah dan ahli bid’ah. Nabi Saw  bersabda: “Janganlah kalian  mencaci shabat-sahabtku. Karena,  demi  Allah yang  diriku ada di tanganNya, seandainya seseorang kamu  mengin­faqkan emas seberat Gunung Uhud maka tidak sampai sepanjang salah satu mereka dan tidak separuhnya.”

Nabi Saw juga bersabda: Allah, Allah, mengenai sahabt-sahabat­ku.  Janganlah kalian menjadikan mereka sebagai  sasaran,  karena barangsiapa  menyakiti mereka maka sungguh ia telah  menyakitiku, dan  barangsiapa  menyakitiku  maka sungguh ia  telah  menyakiti Allah,  dan  barangsiapa menyakiti Allah maka hampir  saja Allah menimpakan  adzab  padanya.” (dikeluarkan  oleh  At-Tirmidzi  dan lainnya.)

Ibnu  Daqiq rahimahullah berkata: “Wali Allah  Ta’ala  adalah yang mengikuti apa yang disyari’atkan Allah. Maka berhati-hatilah manusia  dari  menyakiti hati-wali Allah ‘Azza  wa  Jalla.”  Arti memusuhi  itu kalau menjadikannya musuh, dan saya tidak  melihat arti  selain  memusuhinya  lantaran dia itu  wali  Allah.  Adapun apabila  keadaan  memang menuntut  adanya  perselisihan  pendapat antara dua wali Allah secara kehakiman ataupun pertengkaran  maka dikembalikan  kepada upaya mengeluarkan hak  yang  samar  (untuk menentukan  kebenaran), karena hal (pertentangan antar  dua  wali Allah)  itu tidak termasuk dalam hadits ini. Karena sesungguhnya telah berlangsung pertengkaran antara Abu Bakar dan Umar radhiyallahu  ‘anhuma, dan antara Abbas dan Ali ra, antar banyak  sahabat, sedangkan mereka semua itu adalah wali-wali Allah ‘Azza  wa Jalla.  (Dr shalih bin Fauzan bin Abdullah Al-fauzan, Ad-Dhiyaa’ al-Laami’ minal Ahaadiits al-Qudsiyyah al-Jawaami’, 1990, hal 18-21).

Kemudian  Allah  SWT menjelaskan sebab-sebab  yang  menjadikan orang memperoleh  kewalian Allah Ta’ala, dan hamba  itu  menjadi wali  Allah  –artinya dicintai dan haram  dimusuhi,  maka  Allah berfirman: Tidak ada sesuatu yang mendekatkan hamba-Ku  kepada-Ku yang lebih Aku sukai daripada pengamalan segala yang  Kufardhukan atasnya, dan hamba-Ku yang senantiasa mendekatkan diri  kepada-Ku dengan melaksanakan amal-amal sunnah, maka Aku senantiasa mencin­tainya.” Maka Allah menjelaskan bahwa sebab kewalian itu  adalah mendekatkan diri kepadaNya SWT dengan mentaatiNya. Dan  wali-wali Allah  itu adalah mereka yang mengerjakan perbuatan dengan  ta’at yang mendekatkan diri kepada-Nya dan meninggalkan maksiat  terha­dap-Nya. Ini membatalkan dakwaan-dakwaan yang mengklaim  kewalian bagi manusia-manusia yang menyelisihi syari’at Allah dan  berbuat bid’ah, khurafat, dan syirik.

Mereka  itu  justru musuh-musuh Allah yang  sebenarnya,  bukan wali-wali-Nya.

Wali-walinya  tidak  lain hanya orang-orang  yang  taqwa.”  (Al-Anfaal/  8:34).  Sedangkan  mereka itu  musuh-musuh  Allah  yang menjauhkan diri dariNya dengan perbuatan-perbuatan yang  mengaki­batkan  mereka terusir dan terjauhkan. Dan kalau  mereka  mengaku wali  atau diklaim sebagai wali Allah pasti mereka membuat  lahan mata  pencaharian yang mengacaukan manusia dengan klaim kewalian itu, dan mereka mengeruk duit orang-orang awam. Julukan wali atau auliya’  telah  menjadi sumber menangguk rezeki  pada  masa  kini dengan membangun kuburan-kuburan dan membuka  kotak-kotak  amal/nadzar, lalu di sekelilingnya dijaga oleh karyawan-karyawan  yang mengawasi lahan-lahan pencarian itu dengan bayaran dari uang yang jalannya tidak benar.

Sesungguhnya auliya’ullah wahai orang-orang ahli khurafat, tidak pernah mereka mendakwakan diri mereka sebagai auliya’, dan juga orang-orang Muslim tidak mendakwakan kewalian terhadap orang tertentu kecuali ada kesaksian Rasul Saw padanya tentang kewalian itu.  Tetapi orang Muslim mengharapkan kepada mukmin lain suatu kebaikan,  dan khawatir terhadap orang jahat mengenai kejahatannya, dan mereka mencintai orang-orang baik, dan membenci orang-orang jahat.

Mengenai  firman Allah Ta’ala: Tidak ada sesuatu yang  mendekatkan hamba-Ku kepada-Ku yang lebih Aku sukai daripada  pengamalan  segala yang Kufardhukan atasnya, adalah dalil atas wajibnya memperhatikan  kewajiban-kewajiban  dan melaksanakannya sebelum hal-hal yang sunnat. Karena yang sunnat itu tidak diterima kecuali dengan syarat pelaksanaan yang wajib. Dan mengenai firmaNya: dan  hamba-Ku yang senantiasa mendekatkan diri  kepada-Ku  dengan melaksanakan amal-amal sunnah, maka Aku senantiasa mencintainya.” Itu menunjukkan atas keutamaan amal sunnat dan  memperbanyaknya, karena  akan menyebabkan  kecintaan  Allah  terhadap  pelakunya. Makanya yang wajib-wajib itu akan menjadi sempurna karena  dilak­sanakannya  yang  sunnat  itu apabila ada kekurangan  pada  yang wajib.

Firman Allah Ta’ala: “Bila Aku telah cinta kepadanya, jadilah Aku pendengarannya yang dengannya ia mendengar, Aku pengliha­tannya yang dengannya ia melihat, aku tangannya yang dengannya ia memukul,  dan  Aku kakinya yang dengan itu ia berjalan.  Bila  ia memohon kepada-Ku, Aku perkenankan permohonannya, jika ia meminta perlindungan,  ia Kulindungi.” Itu artinya bahwa Allah  membenarkannya, menjaganya  mengenai  pendengarannya,   penglihatannya, tangannya, dan kakinya, maka ia tidak menggunakan anggota-anggota badannya ini untuk bermaksiat, dan ia hanya menggunakannya  dalam ketaatan pada Allah Azza wa Jalla.

Ibnu Daqiq  Al-Ied berkata: “Arti firman Allah itu  bahwa  ia (yang  dicintai  Allah ini) tidak mendengarkan  apa  yang  tidak diizinkan  Allah  baginya untuk mendengarnya, dan  tidak  melihat sesuatu  yang tidak diizinkan Allah untuk melihatnya,  dan  tidak mengulurkan  tangannya kepada sesuatu yang tidak diizinkan  Allah untuk  menjangkaunya, dan tidak berjalan kecuali kepada hal  yang diizinkan Allah baginya untuk menuju padanya…” selesailah arti­nya  itu, dan tafsiran itu ditunjukkan pula oleh  firmaNya  dalam akhir  hadits  Qudsi  tersebut: Bila ia  memohon  kepada-Ku, Aku perkenankan  permohonannya,  jika  ia meminta  perlindungan,  ia Kulindungi.”  Artinya, Allah Ta’ala menyertainya dengan menyetujuinya,  menolongnya, dan menjaga anggota-anggota  badannya dari segala larangan, karena balasan itu adalah setimpal dengan perbu­atan.

Dan Allah Ta’ala berfirman:
“Sesungguhnya Allah beserta orang-orang yang bertaqwa dan orang-orang yang berbuat  kebaikan.” (QS An-Nahl/  16:128). (Dr  Al-Fauzan, ibid, hal 22-23).

Jawaban atas syubhat/ kesamaran

Hadits tersebut di atas menjadi salah satu syubhat/ kesamaran yang  dijawab oleh Syaikh Muhammad bin Shalih Al-‘Utsaimin  dalam kitabnya, Al-Qowaa’id al-Mutslaa fii Shifaatillaah wa  Asmaa-ihil Husna.

Menurut Syaikh ‘Utsaimin, hadits tersebut shahih,  diriwayat­kan oleh Al-Bukhari dalam Kitab ar-Riqaq, bab tawadhu’.

Golongan Salaf, Ahlus Sunnah wal Jama’ah, telah memahami hadits ini menurut dhahirnya dan memberlakukannya  menurut apa adanya.

Akan tetapi, apakah dhahir dari hadits ini?

Apakah dikatakan: Dhahir hadits ini bahwa Allah  SWT  menjadi telinga,  mata, tangan dan kaki si Wali? Ataukah dikatakan: Dhahirnya bahwa Allah SWT meluruskan atau membenarkan si Wali  dalam pendengaran,  penglihatan,  gerakan tangan dan  langkah  kakinya, sehingga pengetahuan dan amal perbuatannya lillaah (ikhlas karena Allah), billaah (dengan memohon pertolongan Allah), dan fillaah (menuruti syari’at Allah)?

Tidak diragukan lagi, ungkap Syaikh Utsaimin, bahwa  perkataan pertama bukanlah dhahir dari hadits tersebut. Bahkan, bagi  orang yang memperhatikan lafadznya, hadits ini tidak menunjukkan  peng­ertian itu. Soalnya, terdapat dalam lafadh hadits ini dua  alasan yang menolak pengertian tadi (Allah menjadi telinga dst):

Pertama: bahwa Allah SWT berfirman dalam hadits Qudsi ini:

Dan hamba-Ku yang senantiasa mendekatkan diri kepada-Ku dengan melaksanakan amal-amal sunnah, maka Aku senantiasa mencintainya.”  dan berfirman pula:

Bila  ia memohon kepada-Ku, Aku perkenankan permohonannya,  jika ia meminta perlindungan, ia Kulindungi.”

Ditetapkan  dalam hadits tersebut adanya penghamba  dan  yang dihambai, yang mendekatkan diri dan yang didekati, yang mencintai dan  yang dicintai, yang memohon dan yang dimohoni, yang  memberi dan yang diberi, yang minta perlindungan dan yang dimintai,  yang memberi perlindungan dan yang diberi. Jadi konteks hadits  menun­jukkan adanya dua dzat yang saling berbeda, masing-masing berdiri sendiri. Ini berarti bahwa yang satu mustahil menjadi sifat  bagi yang lain, atau menjadi salah satu bagiannya.

Kedua: telinga si Wali, matanya, tangannya, dan kakinya, semua itu  merupakan sifat atau anggota tubuh pada makhluk yang hadits (baru) yang menjadi ada setelah tidak ada sebelumnya. Bagi orang yang berakal tidak mungkin memahami bahwa Al-Khaliq (Maha Pencipta) Yang Maha pertama, yang sebelumnya tidak ada satu makhlukpun, lalu  menjadi  alat mendengar, alat melihat, tangan dan  kaki  si makhluk. Bahkan hati merasa muak untuk  membayangkan  pengertian ini,  dan lisan pun terasa kelu untuk  mengucapkannya,  sekalipun hanya sekadar pengendalian saja. Oleh karena itu, bagaimana bisa dikatakan  bahwa pengertian inilah dhahir hadits qudsi  tersebut, dan  bahwa  pengertian hadits di atas telah dirubah  dari  dhahir ini. Maha Suci Engkau Ya Allah. Segala puji bagi Engkau. (Syaikh Utsaimin, Kaidah-kaidah Utama Masalah Asma’ dan Sifat Allah  SWT, CV MUS Jakarta, 1998, hal. 108-110).

Selanjutnya, Syaiklh Utsaimin menjelaskan, setelah ternyata bahwa perkataan pertama salah dan tidak dapat dibenarkan,  sudah barang  tentu yang benar adalah perkatan yang kedua  yaitu  bahwa Allah SWT meluruskan atau membenarkan si Wali dalam  pendengaran, penglihatan, gerakan tangan dan langkah kakinya, sehingga  dengan demikian pengetahuannya melalui pendengaran dan penglihatan serta perbuatan  dengan  tangan dan kaki, semua  itu lillaah  –ikhlas untuk  Allah, billaah –dengan memohon  pertolonganNya, fillaah–menuruti dan mengikuti syari’atNya.

Dengan demikian, dia benar-benar telah mewujudkan ikhlas, minta pertolonganNya (isti’anah), dan mengikuti syari’atnya (mutaba’ah) secara sempurna. Inilah taufiq (persetujuan/pertolongan Allah) yang sesungguhnya. Dan inilah tafsiran yang diberikan oleh ulama Salaf, tafsiran yang sesuai dengan dhahir  lafadh­nya,  menurut hakekatnya dan tepat dengan konteksnya. Tidak ada ta’wil di dalamnya atau alterasi (perubahan) nash/teks dari dhahirnya. Hanya milik Allah segala puji dan karunia.

Tentang Allah dekat

Allah berfirman:
Apabila hamba-hambaKu bertanya kepadamu tentang Aku, maka  (jawa­blah), bahwasanya aku adalah dekat. Aku  mengabulkan permohonan orang yang mendo’a apabila ia berdo’a kepada-Ku…(QS Al-Baqarah: 186).

Para ulama Salaf, Ahlus Sunnah wal Jama’ah, memberlakukan nash ini menurut dhahirnya dan hakekat maknanya yang layak bagi  Allah Azza wa Jalla, tanpa takyif (bagaimana caranya) dan tanpa tamtsil (permisalan).

Syaikhul  Islam Ibnu Taimiyyah dalam komentarnya  atas  hadits nuzul  (turunnya Allah ke langit dunia/  terendah),  mengatakan: “Adapun mendekatnya Allah kepada sebagian hamba-Nya maka hal  ini ditetapkan oleh mereka yang menetapkan datangnya Allah pada  hari kiamat,  turunnya  Allah ke langit terendah, dan  bersemayamnya Allah  di  atas ‘arsy. Inilah madzhab Salaf,  madzhab  para imam Islam  yang  terkenal dan Madzhab Ahlul Hadits.  Dan  pemberitaan mengenai  hal ini dari mereka adalah mutawatir.” (Majmu’  Fatawa, jilid 5, halaman 466).

Jika  demikian halnya, lalu apakah halangannya bila  dikatakan bahwa  Allah mendekat  kepada hamba-Nya yang  Dia  kehendaki  di samping  Dia  berada di atas ‘Arsy. Dan apakah  halangannya  bila dikatakan  Dia menurut yang Dia kehendaki tanpa takyif dan  tanpa tamsil?

Bukankah  ini merupakan kesempurnaan Allah, jika  Dia  berbuat apa  yang dikehendaki-Nya menurut pengertian yang  sesuai  dengan keagungan dan kemuliaan-Nya?

Perpaduan antara ma’iyah (kebersamaan) dan ‘uluw (keberadaan di atas) bisa terjadi pada makhluk. Soalnya, dikatakan: “Kami  masih meneruskan  perjalanan dan rembulan pun bersama kami”. Ini  tidak dianggap bertentangan, padahal sudah barang tentu bahwa orang yang melakukan perjalanan itu berada di bumi sedangkan rembulan berada di langit. Apabila hal ini bisa terjadi pada makhluk, maka bagaimana pikiran Anda dengan Al-Khaliq yang meliputi segala sesuatu?

Bagi Allah yang demikian itu hal-Nya, apakah tidak bisa dikatakan  bahwa  Dia bersama Makhluk-Nya di  samping  Dia  Maha Tinggi berada di atas mereka, terpisah dari mereka, bersemayam di atas ‘arsy-Nya.” (Kaidah-kaidah Utama…, hal. 156).

Maka lemahlah alasan-alasan orang shufi dan pendukungnya  yang menganggap bahwa  ayat-ayat dan hadits-hadits  tersebut  sebagai landasan tasawwuf.

Syeikh  ‘Utsaimin menegaskan, ayat …Dan Dia bersama kamu  di manapun kamu berada.” (QS 57:4); ma’iyah (kebersamaan) ini  tidak berarti  Allah SWT bercampur dengan makhluk atau tinggal  bersama di  tempat mereka. Sama sekali tidak menunjukkan pengertian  ini.

Karena  ini adalah makna bathil yang mustahil bagi Allah Azza  wa Jalla, padahal tidak mungkin makna dari firman Allah  dan  sabda Rasul-Nya adalah sesuatu yang mustahil lagi bathil.

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah dalam Al-‘Aqidah Al-Waasithiyah (hal. 115, cetakan ketiga, komentar Muhammad Khalil  Al-Harras), mengatakan:

“Dan  pengertian  dari  firman-Nya: “Dan  Dia  bersama  kamu”, bukanlah  berarti bahwa Allah itu bercampur  dengan  makhluk-Nya karena hal ini tidak dibenarkan oleh bahasa. Bahkan, bulan  seba­gai  satu tanda dari tanda-tanda (kemahatinggian dan  kebesaran) Ilahi,  yang  termasuk di antara makhluk-Nya  yang  terkecil  dan terletak di langit itu, tetapi dia dikatakan bersama musafir  dan yang bukan musafir di mana saja berada.”

Komentar  Syeikh ‘Utsaimin: Tidak ada orang  yang  berpendapat dengan makna bathil (Allah bercampur dengan makhluk atau  tinggal bersama di tempat mereka) ini kecuali Al-Hululiyah (Pantheisme) seperti orang-orang  terdahulu dari Jahmiyah dan  selain  mereka yang  mengatakan  bahwa Allah dengan dzat-Nya  berada  di setiap tempat.  Maha  suci Allah dari perkataan mereka  dan  amat  besar dosanya ucapan  yang keluar dari mulut mereka. Apa  yang  mereka katakan tiada lain adalah kebatilan.

Perkataan mereka ini telah dibantah oleh para ulama Salaf  dan imam  yang sempat menjumpainya, karena perkataan tersebut  menim­bulkan  beberapa  konsekwensi yang tidak  dapat  dibenarkan  yang menunjukkan  bahwa  Allah mempunyai  sifat-sifat  kekurangan  dan mengingkari keberadaan Allah di atas makhluk-Nya.

Bagaimana  seseorang bisa mengatakan bahwa dzat  Allah  berada pada setiap tempat, atau Allah bercampur dengan makhluk,  padahal Allah SWT itu “KursiNya meliputi langit dan bumi” (QS 2:255), dan “Bumi seluruhnya dalam genggaman-Nya pada hari kiamat dan  langit digulung  dengan  tangan kanan-Nya”  (QS 39:67)?  (Kaidah-kaidah Utama… (hal.152).

Kebatilan dalih  kaum  shufi dan  pendukungnya  telah  nyata. Masihkah akan diikuti, didukung, dan dipertahankan?

Komentar
  1. […] mana kau peroleh hartamu di dunia?” Anda akan menjawab, “harta itu kuperoleh dengan kolusi dan korupsi, dengan memalsu kuitansi, dengan mendapat cipratan […]

    Suka

  2. […] jawabannya. Tetap saja kita diperintahkan untuk beramal sholih, walaupun celaka atau bahagianya kita telah ditentukan sejak kita masih di rahim ibu. […]

    Suka

  3. […] Jangan sekali-kali seorang laki-laki bersendirian dengan seorang wanita, melainkan si wanita itu bersama mahramnya” [Hadits Shahih Riwayat Ahmad, Bukhari 1862 dan Muslim 4/104 atau 1341 dan lafadz […]

    Suka

  4. […] Jangan sekali-kali seorang laki-laki bersendirian dengan seorang wanita, melainkan si wanita itu bersama mahramnya” [Hadits Shahih Riwayat Ahmad, Bukhari 1862 dan Muslim 4/104 atau 1341 dan lafadz […]

    Suka

  5. […] Tabaraka wa Ta’ala yang telah mengkabarkan kepada kita para ummat-Nya, bahwasanya tiap-tiap sesuatu bermula adalah mesti ada awal dan adapula akhirnya, jika ada hidup maka tentu ada mati, jika ada […]

    Suka

Tinggalkan komentar