Kepercayaan Tentang Nur Muhammad Atau Hakikat Muhammad Dan Wihdatul Wujud

Posted: 23 Juni 2010 in Kajian
Tag:, , , ,

KEPERCAYAAN TENTANG NUR MUHAMMAD
ATAU HAKEKAT MUHAMMAD DAN WIHDATUL WUJUD

Oleh : H Hartono Ahmad Jaiz
Mustahil  bagi  kita untuk memahami apa  yang  dimaksud  oleh orang tasawwuf dengan ucapan mereka tentang “Hakikat  Muhammadiy­yah” atau “Nur Muhammad”, kecuali dengan mengetahui aqidah  mere­ka.  Teori tasawwuf falsafi pada abad ke tiga belas Masehi  telah sampai  pada pendapat bahwa Allah ialah wujud yang  berdiri  ini, yang diperbarui, yang berubah, maka Dia yaitu langit, bumi, arsy, kursi, malaikat, manusia, hewan, dan tumbuh-tumbuhan. Dan dia itu lah yang azali dan abadi.

Maha  Suci Allah, jauh dari ucapan mereka (sufi falsafi),  Dia Maha Tinggi dan Maha Besar.

Mereka berbeda-beda dalam ucapannya. Kadang mereka katakan Dia itu  ruh  yang berjalan di dalam hal-hal yang wujud,  dan  mereka menyerupakan  ini  dengan  dua hal yang berjalan  bahwa  Dia  itu seperti aroma bunga dalam bunga, dan adanya roh dalam jasad  yang hidup.

Dan  kadang-kadang mereka mengatakan, nafsu  wujudil  maujudat (adanya makhluk itu sendiri) ialah wujud Allah. Maka  tidak  ada dua dalam wujud, pencipta dan makhluk, tetapi makhluk itu sendiri adalah pencipta itu. Dan pencipta itu sendiri adalah makhluk itu.

Kepercayaan batil yang demikian itu disebarkan kepada  manusia oleh  penggede-penggede  tasawwuf  dari ahli  zindiq  dan  mulhid (murtad)  seperti Ibnu ‘Arabi, Al-Hallaj, Al-Jili, Ibnu  Sab’ien, dan  orang-orang  yang model mereka. Orang-orang sufi  itu  dalam kitab-kitab  mereka mengingkari orang yang bersaksi  bahwa Allah Ta’ala itu adalah Tuhan yang Berdiri dengan SendiriNya Yang  Maha Sempurna  di atas Arsy yang Dia bangun. Dan itulah  yang  menjadi keyakinan ummat Islam tentang Tuhan SWT. (Al-Fikrus  Shufi,  hal 175).

Ibnu ‘Arabi dalam kitabnya, At-Tajalliyyaat, mengaku bahwa  ia bertemu  dengan tokoh-tokoh  tasawwuf  terdahulu  dalam  Barzakh (kubur)  dan  mendiskusikan/ membantah kepada  mereka  dalam  hal aqidah  Tauhid  mereka  (Yaitu Allah di atas  Arsy  dan  mencipta makhluk), dan Ibnu Arabi menjelaskan, menyalahkan dan memberitahukan  kepada mereka pada puncaknya bahwa laa  maujud  illallaah, (tidak  ada  yang wujud kecuali Allah), wa annallaaha  wal  ‘abda syai’un  waahid, (dan sesungguhnya Allah dan hamba  itu  adalah sesuatu  yang satu). Dan mereka semuanya mengakui itu, semua  itu ada di kitab At-Tajalliyyaat. (Al-Fikrus Shufi, hal 176).

Yang  penting,  orang-orang  tasawwuf  itu  menukil/  mengutip kepercayaan wihdatul wujud (manunggaling kawula Gusti, bersatunya makhluk  dengan Tuhan) dari filsafat Platonisme, dan mereka  mem­percayai  dan  menjadikannya sebagai hakekat sufisme  dan  sirril asror  (rahasianya  rahasia), dan itulah  aqidah  pengikut Islam menurut pengakuan mereka.

Orang-orang  Sufi  menukil pendapat para filosof  dalam  teori mereka  mengenai awal penciptaan. Para filosof  kuno  mengatakan “bahwa awal penciptaam itu adalah haba’/ debu (atom), dan  perta­ma-tama  yang wujud itu adalah “akal awal” yang  dinamakan  “akal kreator”  (akal  fa’aal). Dan dari “akal awal”  ini  tumbuh  alam atas,  langit-langit dan bintang-bintang, kemudian alam  bawah… dst. (Al-Fikrus Shufi, hal 176).

Teori filsafat kuno ini kemudian pada masa Ibnu Arabi  (abad 13  M)  ia nukil sendiri ke pemikiran sufi tetapi  diganti  nama, “akal fa”aal” yang disebutkan filosof kuno itu ia sebut “Haqiqat Muhammadiyyah”  (Hakekat Muhammad). Maka sangkaan  filosof  bahwa awal  kejadian  itu adalah haba’/ debu  (atom)  –ucapan filosof sendiri–  lalu Ibnu ‘Arabi menyebutnya awal kejadian itu  adalah “hakekat Muhammad”, dan menurut ungkapan Ibnu Arabi, awal  ta’yi­naat (awal kejadian yang dibentuk dari atom). Ibnu Arabi  berpan­jang kalam dalam hal ini, dan ia mengatakan bahwa “Hakekat Muham­madi”  ini lah yang bersemayam di atas arsy Tuhan. Dan  dari  nur (cahaya)  dzat inilah Allah menciptakan makhluk semuanya setelah itu. Maka malaikat, langit, dan bumi semuanya itu diciptakan dari Nur Dzat yang pertama, yaitu Dzat Muhammadi, menurut Ibnu  Arabi, dan “aqal fa”aal” menurut pemikiran falsafi.

Demikianlah,  Ibnu Arabi mampu memindahkan barang murahan  dan khayalan filsafat  yang sakit, ke dunia Muslimin dan  ke  aqidah ummat  Islam.  Bahkan  Ibnu Arabi  menjadikan  aqidah  ilhadiyah (murtad, anti Tuhan) sebagai aqidah asasi/ pokok dasar yang untuk tempat berdirinya pemikiran sufi seluruhnya setelah itu.

Dari  rekayasa sufi mulhid (murtad) itulah maka kita tahu  apa yang  dimaksud oleh orang sufi falsafi tentang wihdatul  wujud, bahwa menurut mereka Allah bukanlah Dzat yang nanti dilihat  oleh orang-orang Mu’min di akherat dan bersemayam di atas Arsy. Tetapi Allah  menurut  mereka hanyalah wujud (alam) ini  sendiri dengan seluruh tingkatan dan pertentangannya. Maka Allah menurut  mereka adalah  adanya wujud malaikat, syetan, manusia, jin,  hewan,  dan tumbuh-tumbuhan.

Pengarang Al-Fikrus  Shufi berkomentar, apabila  kita  telah tahu  hakekat  teori falsafah kafir yang dipindahkan  oleh  orang tasawwuf mulhid (murtad) ke Islam ini maka kita tahu setelah itu, apa yang dimaksud orang sufi tentang perkataan mereka mengenai ” Hakekat  Muhammadi” yang bersemayam di Arsy, dan menjadikan Nabi Muhammad SAW sebagai makhluk pertama sebelum adanya alam seluruhnya. Dan dialah yang bersemayam di atas Arsy. Dan dari Nur Muham­mad SAW itu Allah menciptakan seluruh alam, setelah  itu,  yaitu langit-langit, bumi, malaikat, manusia, jin, dan seluruh makhluk. Maka  ” Hakekat Muhammadi”, menurut tuduhan mereka adalah  bentuk sempurna  yang  baru bagi Dzat Tuhan yang tidak  terlihat  dengan dzatnya dan tidak terpisahkan dari wujud ini… Maka Nabi  Muham­mad SAW menurut Ibnu Arabi dan syaikh-syaikh tasawwuf yang datang setelahnya,  dialah  Allah  yang Mutajalli  di  atas  Arsy,  atau –katakanlah– dia  (Muhammad  SAW) itu  Allah  yang  dikecilkan (dalam bentuk kecil). Dan kepada dialah, kejadian segala  makhluk yang  ada ini bertumpu padanya, dan segala cahaya terbelah  dari­nya, dan segala alam, dan segala yang ada…

Dan  Muhammad SAW itulah biji pertama bagi seluruh  yang  ada, maka  dia seperti biji bagi pohon, dari biji itulah kemudian  ada pokok,  cabang,  daun, buah, dan duri-duri.  Maka  demikian  pula permulaan yang ada itu dengan adanya Muhammad SAW kemudian   dari nurnya (Nur Muhammad) itu diciptakan  Arsy, kursi, langit-langit, bumi, Adam dan keturunannya, dan cabang-cabang makhluk dan  sete­lah  itu berangsur-angsur adanya makhluk-makhluk yang  diciptakan dari Nur  Nabi  Muhammad SAW. Maka semua yang  ada  ini  menurut aqidah tasawwuf adalah sesuatu yang satu  yang  bercabang-cabang dari asal yang satu, atau katakanlah pohon yang satu yang  berca­bang-cabang dari biji yang satu. (Al-Fikrus Shufi, hal 178).

Dari berbagai uraian itu bisa disimpulkan, kepercayaan sufisme mengenai Nabi Muhammad SAW ada tiga tingkatan:

1. Orang-orang yang berpendapat dengan wihdatil  wujud,  menganggap bahwa Allah adalah dzat alam yang ada (dzatul  maujudat), maka  mereka menjadikan Rasul sebagai makhluk pertama. Lalu  dari dia  (Rasul) lah muncul makhluk semuanya, dan dia (Rasul)  itulah tuhan  yang  bersemayam di atas Arasy.  Inilah kepercayaan  Ibnu Arabi  dan  orang-orang model dia (yang telah  dikafirkan banyak ulama).

2. Orang-orang yang mengatakan bahwa Nur Muhammad adalah  awal yang  ada secara benar-benar (fi’lan), dan  darinyalah  terbelah cahaya-cahaya  dan  diciptakan makhluk  semuanya.  Tetapi  mereka tidak mengatakan bahwa dzat rasul bersemayam di atas Arsy.

3. Orang-orang yang mengatakan bahwa Nur Muhammad adalah  awal yang  ada dan  dialah yang paling  mulia-mulianya  makhluk,  dan karena  dialah  Allah menciptakan alam seluruhnya,  tanpa  mereka jelaskan bahwa alam-alam telah dibuat dari nurnya, mereka  hanya­lah  mengatakan  diciptakan alam ini karena  Nur Muhammad.  (Al-Fikrus Shufi, hal 180-181).

Tasawwuf terpengaruh filsafat kuno dan kepercayaan Nasrani

Tidak  diragukan lagi bahwa orang-orang tasawwuf yang  percaya seperti itu mengenai Rasululah SAW, mereka bukan hanya  terpenga­ruh oleh teori filosof-filosof kuno tentang teori penciptaan  dan pendapat  mereka  bahwa  ciptaan awal itu dengan haba’ / debu (atom),  dan  akal pertama, atau akal fa”aal  (akal  kreator)… tetapi  mereka  (orang tasawwuf) juga terpengaruh oleh  apa  yang dikatakan orang-orang Nasrani mengenai Nabi Isa. Dan tidak dirag­ukan  lagi bahwa teori Nasrani mengenai Al-Masih itu  terpengaruh pula  dengan  pendapat falasifah dalam hal “akal  fa”aal”  (akal kreator).

Orang-orang  tasawwuf  telah dapat menukil  /  mengambil  alih teori ini walaupun diambil dari kesamarannya secara filsafat, dan sulitnya mendalili dengan dalil mantiq (logika) yang bisa diteri­ma  akal, dan dengan keringnya teori ini dari aqidah  Islam  yang jelas lagi mudah.

Walaupun  demikian (amburadulnya), namun orang tasawwuf  dapat menjadikan kepercayaan  (sesat dan syirik)  ini  menjadi  akidah orang awam dan kebanyakan kaum Muslimin. Yang demikian itu karena dibuat  ungkapan-ungkapan yang mudah, dan dalam syair yang  mudah diucapkan dengan cepat seperti ucapan mereka:

“Laulaaka  laulaaka maa kholaqtul aflaak!!  (Seandainya  tidak karena  kamu (Muhammad), seandainya tidak karena kamu  (Muhammad) pasti Aku tidak menciptakan planet-planet/ alam ini).  (Al-Fikrus Shufi, hal 192).

Para muballigh di Indonesia, terutama orang sufi, hampir  bisa dipastikan,  mereka selalu  mempidatokan  bahkan  mengkhutbahkan hadits  palsu  (laulaaka…) tersebut,  dengan  mereka  sebutkan sebagai  Hadits. Lebih-lebih di bulan Rabi’ul Awwal, atau  ketika mereka  memperingati  Maulid Nabi SAW, suatu acara  yang asalnya bikinan  kaum  Syi’ah  itu. Pernah penulis  menegur  khatib  yang berkhutbah  membawakan  hadits palsu tersebut pada  tahun  1419H/1998M  di suatu Masjid di dekat rumah di Jakarta,  hingga  tahun berikutnya, alhamdulillah dia tidak mengemukakannya lagi.

Ahli  Hadits Syeikh Nasiruddin Al-Albani  rahimahullah  (wafat Jumadil  Akhir 1420H)  menjelaskan,  “Laulaaka  lamaa  kholaqtul aflaak  itu statusnya adalah hadits maudhu’ (palsu).  As-Shaghani menyatakannya  dalam kitab Al-Ahaditsul Maudhu’ah  (Hadits-hadits palsu)  halaman  7. Ibnu Asakir juga meriwayatkan hadits  serupa yang telah dikeluarkan oleh Ibnul Jauzi dalam kitab  Al-Maudhu’at (hadits-hadits  palsu) seraya memastikan sebagai  hadits maudhu’ (palsu).

Pemastian  Ibnul  Jauzi tersebut  juga  ditetapkan  dan diakui  oleh As-Suyuthi dalam kitab al-La’ali I/  272.  (Muhammad Nashiruddin Al-Albani, terjemah Silsilah Hadits Dha’if dan  Maudhu’, Gema Insani Press Jakarta, Jilid I, Hadits Nomor 282,  hala­man 229-230).

Syeikh  Abdur  Rahman Abdul Khaliq mengemukakan:  “Suatu  kali saya berkhutbah  di masjid Nabawi (Madinah) pada  sekitar  tahun 1381M/1960M menjelaskan aqidah yang wajib mengenai  Rasul  SAW. Lalu  seorang  jama’ah haji yang sudah tua berdiri  kepadaku  dan berkata padaku: “Bukankah Allah Ta’ala berfirman: “Laulaaka laulaaka  maa kholaqtul aflaak”. Maka aku jawab padanya: “Ini (laulaaka…)  bukan ayat Al-Quran, dan juga bukan hadits,  sedangkan kepercayaan (yang terkandung pada)nya itu adalah  syirik billah (menyekutukan Allah)!!” Lihatlah bagaimana  kepercayaan  (batil, kufur,  sesat dan syirik) ini berjalan pada  lisan-lisan  manusia dengan ucapan sajak yang dikira oleh orang awam sebagai Al-Quran, padahal bukan. (Al-Fikrus Shufi, hal 194).

Komentar
  1. […] ini telah melukiskan sebuah cara untuk mengukur cinta kita pada Allah. Sementara banyak orang yang berdo’a agar mendapat ini dan itu, seorang pencinta […]

    Suka

  2. […] terbaik (surga), maka Kami kelak akan menyiapkan baginya jalan yang mudah. Dan adapun orang-orang yang bakhil dan merasa dirinya cukup, serta mendustakan pahala yang terbaik, maka kelak Kami kan […]

    Suka

  3. […] seorang laki-laki bersendirian dengan seorang wanita, melainkan si wanita itu bersama mahramnya” [Hadits Shahih Riwayat Ahmad, Bukhari 1862 dan Muslim 4/104 atau 1341 dan lafadz inidari […]

    Suka

  4. […] seorang laki-laki bersendirian dengan seorang wanita, melainkan si wanita itu bersama mahramnya” [Hadits Shahih Riwayat Ahmad, Bukhari 1862 dan Muslim 4/104 atau 1341 dan lafadz inidari riwayat […]

    Suka

  5. […] pula halnya dengan kehidupan sekalian makhluk-Nya terlebih bagi jin dan manusia, dan berikut adalah lima  fase atau tahap kehidupan manusia yaitu  Tahapan  titik nol atau ketidak adaan,  tahapan  di […]

    Suka

  6. […] pula halnya dengan kehidupan sekalian makhluk-Nya terlebih bagi jin dan manusia, dan berikut adalah lima  fase atau tahap kehidupan manusia yaitu  Tahapan  titik nol atau ketidak adaan,  tahapan  di […]

    Suka

Tinggalkan komentar