Arsip untuk 29 Juli 2010

Perang Ahzab (Kandhaq)

Perang ini menjadi abadi dan masyhur dalam sejarah Islam, antara lain karena diikuti dengan turunnya firman Allah s.w.t. sebagaimana tercantum dalam Al-Qur’an (Surah Al-Ahzab). Untuk pertama kalinya dalam usia yang masih muda, kaum mus­limin di Madinah dikepung oleh kurang lebih 10.000 orang pa­sukan musyrikin, yang terdiri dari berbagai suku dan qabilah. Pasukan itu diperkuat lagi oleh kaum Yahudi Banu Quraidhah, yang mengkhianati perjanjian perdamaian dengan Rasul Allah s.a.w. Mereka ini bergabung dengan pasukan musyrikin Qureiys yang membeludak dari Makkah guna mengepung kota Madinah.

Peperangan tersebut dinamakan juga perang Khandaq (Parit), karena untuk menanggulangi penyerbuan kaum musyrikin Qureiys atas usul dan prakarsa Salman Al Farisi, dengan persetujuan Rasul Allah s.a.w., kaum muslimin menggali parit-parit yang cukup lebar dan dalam di sekitar pinggiran kota Madinah

Di perang Khandaq ini keampuhan dan ketangkasan Imam Ali r.a. juga teruji dalam perang tanding melawan seorang pende­kar Qureiys yang terkenal ulung, yaitu ‘Amr bin Abdu Wudd Al’Amiri. ‘Amr seorang prajurit berkuda yang gesit dan lincah bermain pedang atau tombak. Dengan congkak dan sombong ‘Amr bin Abdu Wudd berani maju ke depan menyeberangi parit pertahanan kaum muslimin, lewat bagian yang agak dangkal dan sempit. Sambil membanggakan kebolehannya mengendalikan kuda, ia berteriak menantang: “Hai . . . Apakah tak seorang pun yang berani keluar untuk bertanding?”

Tantangan dari seorang jagoan yang garang itu tidak ditang­gapi oleh pasukan muslimin. Kaum muslimin banyak yang menge­nal siapa ‘Amr bin Abdu Wudd itu dan betapa tenar namanya se­bagai pendekar yang mahir berperang tanding.

Setelah melihat kenyataan tak ada seorang pun yang me­nanggapi tantangan ‘Amr, Imam Ali r.a. tidak tahan lagi menahan perasaan geramnya. Ia segera berdiri dan berkata kepada Rasul Allah s.a.w.: “Ya Rasul Allah, biarlah saya yang menandingi dia!”

Rasul Allah s.a.w. yang mengetahui benar ‘ Amr itu seorang pendekar yang kenyang makan “garam” perang tanding, ber­anggapan, bahwa ‘Amr bukanlah tandingan bagi saudara misannya yang baru berusia kurang dari 30 tahun. Karena itu maka beliau menyahut: “Duduk sajalah engkau, dia adalah ‘Amr!”

Karena tidak ada juga jawaban dari fihak muslimin, mak ‘Amr yang beringas itu berkoar lagi: “Mana itu sorga yang akan kalian masuki bila kalian mati terbunuh, hah?!”

Ejekan itu terasa seperti sembilu yang sangat mengiris-­iris hati kaum muslimin, tetapi mereka tetap diam. Dengan darah muda yang mendidih laksana lahar yang menyembur dari kepun­dan, Imam Ali r.a. tidak dapat lagi menahan gejolak hatinya men­dengar penghinaan yang sangat menyakitkan itu. Ia mendesak lagi kepada Rasul Allah s.a.w.: “Biarlah saya yang menghadapinya; ya Rasul Allah!”

Tetapi Rasul Allah s.a.w. kembali memerintahkan supaya Imam Ali r.a. duduk dan tenang, sebab yang akan dihadapinya bukan sembarang orang. Dengan perasaan yang sudah terbakar dan dengan nada gemas, Imam Ali r.a. berusaha meyakinkan Rasul Allah s.a.w. bahwa ia sanggup melawan dedengkot kaum musy­rikin itu: “Biar ‘Amr sekalipun ya Rasul Allah!”

Mengingat tekad Imam Ali r.a. yang begitu bulat, dan mengi­ngat pula perlu membangkitkan keberanian kaum muslimin, akhirnya Rasul Allah s.a.w. memberi izin dan restu kepada Imam Ali r.a. untuk tampil ke depan. Imam Ali r.a. dengan hangat menyambut persetujuan dan idzin Rasul Allah s.a.w. Ia segera me­loncat ke depan menyongsong tantangan seorang lawan yang bu­kan sembarangan. Dengan mengenakan baju besi dan menghunus pedangnya yang tersohor dengan nama “Dzul Fiqar”, Imam Ali r.a. maju dengan ayunan langkah yang tegap dan diiringi doa Ra­sul Allah s.a.w.: “Ya Allah, dia adalah saudaraku dan putera pamanku. Janganlah Kaubiarkan aku seorang diri tanpa dia. Se­sungguhnya Engkau tempat aku berserah diri yang sebaik-baiknya.”

Setelah berhadap-hadapan dengan ‘Amr, tanpa perasaan gen­tar sedikit pun Imam Ali r.a. bertanya kepada ‘Amr: “Hai ‘Amr, bukankah engkau pernah berjanji, bahwa engkau akan menerima ajakan seorang dari Qureiys untuk menempuh salah satu di an­tara dua jalan hidup?”

“Ya!” jawab ‘Amr dengan singkat dan angkuh.

“Engkau kuajak. ke jalan Allah dan Rasul-Nya, ke jalan Is­lam”, kata Imam Ali r.a. melanjutkan. Kata-kata Imam Ali r.a. ini diucapkan dengan suara lantang yang memecahkan kesunyian garis pertempuran. Hampir semua mata dua pasukan yang siap tempur tertuju kepada dua sosok tubuh yang sedang berhadap-­hadapan.

‘Amr bin Abdu Wudd yang sudah cukup usia, garang dan ba­nyak pengalaman menghadapi perang tanding kini bertatap muka dengan seorang anak muda yang berdiri tegak di hadapannya. Pe­muda pemberani, jantan dan perkasa, berbaju besi dengan pedang terhunus di tangan. Sungguh anggun kelihatannya. Konfrontasi an­tara dua orang itu melambangkan konfrontasi dari dua kekuatan yang berlawanan. Kekuatan lama yang sudah lapuk dan kekuatan baru yang sedang tumbuh, yaitu kekuatan jahiliyah dan kekuatan lslam.

Mendengar pertanyaan yang bernada desakan itu, dengan ce­pat ‘Amr menyahut: “Aku tidak membutuhkan itu!”

“Kalau begitu, mari kita mulai bertanding!” tantang Imam Ali r.a. sambil siaga menghadapi gerakan ‘Amr. Akan tetapi tan­tangan Imam Ali r.a. yang serius itu diremehkan saja oleh ‘Amr: “Aku tak suka menumpahkan darahmu. Ayahmu kan teman ka­ribku!”

Tanpa memperdulikan ucapan ‘Amr, Imam Ali r.a. dengan perasaan tak sabar lagi berucap: “Tetapi, demi Allah, aku justru ingin membunuhmu!”

Ucapan seorang muda yang dianggap ketus oleh ‘Amr itu, ternyata membangkitkan amarah dan meluapkan emosinya. Cepat saja darah perang yang mengalir dalam tubuh ‘Amr mendi­dih. Naluri keprajuritannya secara cepat menyentakkan gerak refleksi dan langsung seketika itu juga Imam Ali r.a. diserang. Demikian gesit dan tangkasnya ‘Amr mengayunkan pedang de­ngan dorongan tenaga yang luar biasa. Tetapi Imam Ali r.a. tidak kalah tinggi nalurinya dan gerak refleksinya.

‘Amr yang sejak semula meremehkan lawan, ternyata sia-­sia belaka dalam mengerahkan segala kekuatan ototnya untuk menebas leher Imam Ali r.a. Kesempatan yang meleset itu di­pergunakan sebaik-baiknya oleh Imam Ali r.a. Ia mengelak, me­nangkis dan menyerang dalam gerak beruntun secara kilat. Pada saat ‘Amr kehilangan keseimbangan badan, Pedang Dzul Fiqar yang diayun kuat-kuat oleh Imam Ali r.a. menyambar bahu kanan ‘Amr sampai terbelah dua. Pendekar kebanggaan Qureiys itu jatuh dari atas kuda menggelepar di tanah mandi darah dan debu.

Perang tanding berlangsung demikian cepat dan selesai jauh lebih cepat dari yang diperkirakan orang. Pada mulanya ba­nyak yang menduga bahwa Imam Ali r.a. yang “masih hijau” itu akan “dibelah dua” oleh pedang ‘Amr. Oleh karena itu ketika jagoan Qureiys itu tersungkur tidak bangkit kembali, banyak orang dari kedua pasukan terkesima. Hampir saja mereka, tidak mempercayai apa yang sudah terjadi. Baru setelah Imam Ali r.a. menyerukan takbir, kaum muslimin menyambutnya dengan me­ngumandangkan kebesaran Allah: Allaahu Akbar …Allaahu Akbar…. !

Tanpa perasaan sombong dan tinggi hati Imam Ali r.a. ke­mudian menuju ke tempat Rasul Allah s.a.w. Dengan perasaan haru dan syukur ke hadirat Allah s.w.t., Rasul Allah s.a.w. menge­luarkan pernyataan singkat: “Perang tanding yang dilaksanakan oleh Ali bin Abi Thalib melawan ‘Amr bin Abdu Wudd itu meru­pakan perbuatan paling mulia yang dilakukan umatku sampai hari kiyamat.”

Akan tetapi terbunuhnya jagoan Qureiys belum menyelesai­kan jalannya perang Khandaq. Namun terbunuhnya tokoh Qureiys itu menimbulkan kegoncangan yang hebat di kalangan pasukan penyerbu. Semangat pasukan penyerbu makin merosot, setelah harapan mereka untuk dapat menerobos parit makin tipis.

Dalam keadaan seperti itu terjadilah angin ribut dan hujan de­ras diiringi suara petir sambar-menyambar. Kemah-kemah dan per­kakas-perkakas masak kaum musyrikin beterbangan dilanda a­ngin kencang. Kubu pertahanan mereka menjadi porak poranda dan banyak sekali diantara mereka yang tak tahan menghadapi tekanan udara dingin.

Di tengah-tengah hembusan angin puyuh seribut itu, Abu Sufyan yang dalam perang Khandaq ini bertindak selaku pimpinan pasukan penyerbu, berkata kepada anak buahnya: “Saudara-­saudara, kita tak perlu lama lagi tinggal di tempat ini. Banyak kuda dan unta kita yang sudah binasa. Bani Quraidah sudah tak mene­pati janjinya lagi dengan kita. Bahkan kita mendengar hal-hal dari mereka yang tidak menyenangkan hati. Tambah lagi kita meng­hadapi angin kencang begini ributnya. Maka itu lebih baik kita pulang saja. Aku sendiri akan berangkat pulang!”

Di tengah-tengah angin puyuh yang begitu kencangnya, Abu Sufyan dan rombongan secara bergelombang meninggal­kan tempat dan kembali ke Makkah. Keesokan harinya sudah tak ada lagi seorang Qureiys atau Yahudi yang masih tinggal. Semuanya sudah jauh meninggalkan parit. Rasul Allah bersama kaum muslimin lainnya dengan tenang kembali ke tempat kedi­aman masing-masing. Semuanya memanjatkan syukur sedalam-da­lamnya kepada Allah s.w.t. yang telah menghindarkan mereka dari marabahaya.

https://tausyah.wordpress.com

Kontroversi Trinitas

oleh : Armansyah

Banyak hal sudah terjadi pada masa lalu sehubungan dengan perbedaan sudut pandang terhadap konsep Trinitas yang berakhir dengan pembantaian terhadap mereka yang menolak doktrin tersebut.

Berikut beberapa tokoh anti-Trinitas yang hidupnya harus berakhir secara mengenaskan itu.

1. Iranaeus (130-200 M), dia lahir disaat ajaran Kristen Antiokia sudah menyebar ke Afrika Utara, Spanyol hingga ke Prancis Selatan. Tidak banyak catatan sejarah mengenai asal-usul dan kedewasaannya, sejarah mulai mencatat masa dimana Iranaeus membawa surat petisi dari Uskup Lyons Pothinus kepada Paus Elutherus di Roma.

Petisi itu berupa permohonan Pothinus kepada Paus untuk menghentikan pengejaran, penyiksaan dan pembunuhan terhadap orang-orang Kristen yang tidak menyetujui doktrin gereja Pauline.

Ketika masih berada di Roma, Iranaeus mendapat berita bahwa semua orang Kristen yang tidak sepaham dengan Paulus yang ada di Lyons Antiochia termasuk uskup Pothinus sendiri telah tewas dibunuh. Dan pada waktu kembali ke Lyons, Iranaeus menggantikan Ponthinus untuk menjabat sebagai uskup dinegrinya.

Ditahun 190 M, Iranaeus sendiri menulis surat kepada Paus Victor agar menghentikan pembantaian terhadap orang-orang Kristen yang dibunuh karena keyakinan mereka yang berbeda dengan keyakinan gereja Paulus.

Cerita lama kembali terulang, Iranaeus sendiri terbunuh pada tahun 200 M karena tidak bersedia mengikuti keyakinan Paus, Iranaeus hanya beriman dan mengakui kepada satu Tuhan, yaitu Allah, dan dia mendukung pengajaran kemanusiaan Jesus yang diangkat oleh Allah menjadi utusan-Nya.

Iranaeus banyak melakukan kritikan terhadap Paulus karena dianggapnya sebagai orang yang paling bertanggung jawab didalam memasukkan doktrin-doktrin dari agama berhala dan filsafat Plato kedalam ajaran sejati Jesus.

Didalam bukunya, “Universalism The Prevailing Doctrine Of The Christian Church During Its First Five Hundred Years” ditulis oleh J.W. HANSON, D. D menyatakan mengenai Iranaeus ini sebagai berikut :

In a germinal form of the Apostle’s Creed, Irenæus, A.D. 180, says that the judge, at the final assize, will cast the wicked into aionian fire. It is supposed that he used the word aionian, for the Greek in which he wrote has perished, and the Latin translation reads, “ignem aeternum.”

2. “Tertullian” (160-220 M), dia adalah seorang penduduk asli Carthage (Kartago).
Tertullian sebagaimana juga dengan Iranaeus, meyakini ke-Esaan Allah dan mengidentifikasikan Jesus sebagai juru selamat (Messiah) bangsa Yahudi. Dia menentang Paus Callistus karena mengajarkan “dosa asal” telah diampuni setelah melaksanakan penebusan dosa resmi dibawah gereja.

Tertullian menekankan tentang kesatuan jiwa dan eksistensi dan mengatakan bahwa orang-orang yang sehat akalnya pasti meyakini bahwa Jesus hanyalah manusia belaka.

Paus Callistuslah yang memperkenalkan istilah “Trinitas” kedalam tulisan-tulisan “ecclesiastical” (gerejawi) Latin ketika ia membahas doktrin baru yang aneh tersebut. Istilah Trinitas sendiri sama sekali tidak pernah digunakan dalam kitab-kitab suci.

3. “Origen” (185-254 M). Ayahnya bernama “Leonidas” dan mendirikan pusat pendidikan teologi dengan mengangkat seorang guru Teologi terkemuka bernama Clement sebagai kepala lembaga tersebut. Origen sendiri mendapatkan pendidikan ditempat itu.

Leonidas adalah seorang pengikut Kristen Apostolik, yaitu ajaran monotheisme (ke-Esaan Tuhan) dan mengakui kehambaan dari Jesus.

Sebagaimana kita tahu, gereja Paulus tidak mau menerima kepercayaan seperti yang dipegang oleh Leonidas ini, dan sebagai konsekwensinya pada tahun 208 Leonidas tewas dibunuh oleh orang-orang Paus.

Karena merasa dirinya juga terancam, Clement segera meninggalkan Alexandria. Dan sebagai gantinya, Origen meneruskan kepemimpinan Clement sebagai kepala sekolah Teologi.

Pada tahun 230 M, Origen dinobatkan sebagai seorang Pendeta di Palestina, namun karena Origen telah mengajarkan konsep Monotheisme didalam gereja, Uskup Demerius akhirnya memecat Origen dan mengusirnya dari gereja (persis seperti yang dinubuatkan Jesus dalam Yoh 16:1-3 -pen).

Origen mengungsi ke Caesarea dan mendirikan pusat pendidikan Teologi ditempat itu pada tahun 231 M yang akhirnya membawa nama harum kepadanya.

Jerome, seorang penulis Injil pertama dalam bahasa Latin, pada mulanya merupakan orang yang sangat mendukung Origen, namun akhirnya Jerome berbalik kepada gereja Paulus dan menarik garis permusuhan terhadap Origen.

Jerome berusaha agar Origen mendapatkan kecaman dan pengadilan dari gereja setempat, namun popularitas Origen terlampau besar dan tidak memungkinkan bagi Uskup John untuk melakukannya, sehingga atas rencananya ini mengakibatkan Jerome sendiri tersingkir dari kalangan gereja.

Namun pada tahun 250 M, Origen dikecam oleh Konsili Alexandria dan dijebloskan kedalam penjara serta mendapatkan penyiksaan yang terus menerus oleh pihak gereja Paulus sehingga mengakibatkan kematiannya pada tahun 254 M.

Origen telah menulis sekitar 600 buah karangan dan risalah. Dia adalah salah seorang yang paling berperan dalam sejarah gereja dan telah gugur sebagai seorang syuhada yang membela ajaran Allah sejati.

Dimasa mudanya sampai menjelang akhir hayatnya, Origen tetap mempertahankan pengajaran ke-Esaan Tuhan (The Unity of God), meyakini bahwa hanya Allah saja yang berkuasa dan Jesus adalah manusia biasa dan hamba Allah, bukan Allah itu sendiri.

4. “Diodorus”, seorang Uskup yang berasal dari negri Tarsus, tanah kelahiran Paulus.
Diodorus merupakan tokoh Kristen terkemuka di Antiochia, dia berpendapat bahwa dunia ini selalu berubah-ubah, perubahan itu sudah ada sejak dahulu. Dan itu menunjukkan ada sesuatu yang tetap dibalik perubahan itu.

Lebih jauh lagi, keberagaman eksistensi dan kebijaksanaan yang diperlihatkan dalam setiap proses perubahan itu sendiri, menunjukkan terhadap kesatuan asal yang mendasarinya dan memperlihatkan kehadiran Sang Pencipta dan Pemelihara. Inilah menunjukkannya adanya satu Pencipta Yang Maha Esa.

Diodorus menekankan sifat kemanusiaan secara menyeluruh dalam diri Jesus yang memiliki jiwa manusia dan daging manusia, tidak ada unsur ketuhanan sama sekali.

5. “Lucian”, seorang yang dikenal keluasan ilmunya terhadap bahasa Ibrani dan Yunani. Lucian tidak menginduk terhadap salah satu gereja dari tahun 220 sampai 290 M. Pengajaran Lucian adalah Monotheisme, yaitu pengesaan Allah dalam segala bentuk-Nya.

Lucian percaya kepada penafsiran gramatikal dan literal (sesuai dengan bunyi lahir suatu kata) dari kitab-kitab suci (Bible). Dia menentang kecenderungan untuk mencari-cari makna symbolis dan kiasan dari teks-teks Injil, dan percaya kepada suatu pendekatan empiris dan kritis terhadap kitab-kitab tersebut. Dia mengatakan bahwa dengan mencari-cari makna symbolis tersebut, dapat berakibatkan dengan penambahan dan pengurangan pada Injil yang berarti hilangnya kemurnian ajaran Jesus.

Lucian menghilangkan perubahan-perubahan yang terjadi pada kitab Injil yang diterjemahkan kedalam bahasa Yunani (Septuaginta), beliau telah mengadakan revisi terhadap empat Injil yang menjadikannya berbeda dengan Injil-Injil yang dipergunakan oleh gereja Paulus.

Lucian menolak paham trinitas dan sebaliknya begitu menekankan ajaran Tauhid, bahwa hanya Allah saja Tuhan alam semesta yang patut disembah, sedangkan Jesus hanyalah manusia biasa yang diangkat menjadi Utusan-Nya.

Atas sikapnya ini, Lucian menjalani penyiksaan dari pihak gereja Paulus dan dihukum mati pada tahun 312 M.

Perselisihan pendapat terbesar di kalangan pemikir Trinitas yang akhirnya menjadi satu legenda menyangkut dunia ketuhanan Kristen adalah kontroversi ‘Aryan Heresy’ atau pernyataan anti-trinitas yang dikemukakan oleh Arius (256-336 M).

Arius adalah salah seorang murid utama Lucian berkebangsaan Lybia yang juga pernah bersama-sama dengan gurunya menegakkan Monotheisme, Arius sendiri merupakan seorang presbyter (ketua majelis gereja) digereja Baucalis Alexandria, salah satu gereja tertua dan terpenting dikota itu pada tahun 318 M.

Sejak wafatnya Lucian pada tahun 312 M ditangan orang-orang gereja Paulus, perlawanan Arius terhadap doktrin Trinitas semakin mengkristal, dan dalam perjuangannya ini, Arius justru mendapatkan dukungan dari dua orang saudari Kaisar Constantin yang bernama Constantina dan Licunes.

Arius dianggap sebagai seorang pemberontak Trinitas dengan mempergunakan argumen logika :

“Jika Jesus itu benar-benar anak Tuhan, maka Bapa harus ada lebih dahulu. Oleh karena itu harus ada “masa” sebelum adanya anak. Berarti anak adalah makhluk. Maka dari itu anak tidak selamanya ada atau tidak abadi. Sedangkan Tuhan yang sebenarnya adalah abadi, berarti Jesus tidaklah sama dengan Tuhan.”

Atas argumentasi Arius tersebut, sekitar seratus orang Pastur Mesir dan Lybia berkumpul untuk mendengarkan pertanggung jawaban Arius. Dan diwaktu itu juga Arius mengemukakan kembali pemandangannya :

“Ada masa sebelum adanya Jesus, sedangkan Tuhan sudah ada sebelumnya. Jesus ada kemudian, dan Jesus hanyalah makhluk biasa yang bisa binasa seperti makhluk-makhluk lainnya. Tetapi Tuhan tidak akan binasa.”

Arius juga memperkuat argumentasinya dengan sejumlah ayat-ayat Bible seperti Yohanes 14:8: “Bapa lebih besar daripada Jesus”; Seandainya kita mengakui bahwa Jesus adalah sama dengan Tuhan, maka kita harus menolak kebenaran ayat Yohanes tersebut.

Argumen Arius ini secara sederhana dapat dijelaskan sebagai berikut :

Jika Jesus memang “anak Tuhan”, maka akan segera disertai pengertian bahwa “Bapak Tuhan” haruslah ada terlebih dahulu sebelum adanya sang “Anak”.

Oleh sebab itu tentulah akan terdapat rentang waktu ketika “Anak” belum ada.
Oleh karenanya, “Anak” adalah makhluk yang tersusun dari sebuah “esensi” atau makhluk yang tidak selalu ada.

Karena Tuhan merupakan suatu zat yang bersifat mutlak (abadi, alpha dan omega), maka Jesus tidak mungkin bisa menjadi “esensi” yang sama sebagaimana “esensi” Tuhan.

Kesimpulan pendapat Arius, bahwa hanya ada satu Tuhan, yaitu Tuhan yang selalu Ada dan tidak mempunyai asal usul, Dia Ada tanpa keberadaan sebelumnya. Dalam hal ini Arius membedakan antara unsur keistimewaan yang tetap ada di dalam Tuhan, yang merupakan kekuatan yang kekal dengan unsur keistimewaan Jesus sebagai suatu kelebihan yang diberikan oleh Tuhan selayaknya seorang Nabi dan itu tidak bersifat kekal.

Arius menjabarkan bahwa Jesus yang disebut Tuhan anak ini merupakan makhluk, sebab ia telah diciptakan oleh Tuhan Bapa sekalipun umpamanya benar diri Jesus sendiri diciptakan sebelum proses penciptaan Abraham (Nabi Ibrahim) sebagaimana yang diriwayatkan dalam kitab Perjanjian Baru -Injil Johanes pasal 8 ayat 58, namun dalam hal ini, status Jesus tetaplah merupakan makhluk ciptaan dan dia bukan Tuhan.

Argumen Arius ini tidak bisa terbantahkan, dan mulai tahun 321 M, Arius dikenal sebagai seorang presbyter pembangkang dan mendapatkan banyak dukungan dari Uskup-uskup daerah Timur.

Untuk mendukung pandangan-pandangannya, Arius mengemukakan sejumlah ayat didalam kitab Perjanjian Baru yang memperlihatkan Jesus selaku anak dari Tuhan Bapa berkedudukan di bawah Tuhan Bapa seperti kitab Matius 28:18, kitab Markus 13:32, kitab Lukas 18:19, kitab Johannes 5:19; pasal 14:28, serta surat kiriman 1 Korintus pasal 15 ayat 28.

Konflik ini semakin menjadi memanas setelah Athanasius (293-373 M), salah seorang tokoh agama dan cendikiawan besar yang mendukung doktrin Trinitas turut dalam perselisihan tajam dengan Arius.

Untuk menengahi pertentangan ini lebih jauh, maka oleh Kaisar Konstantin (280-337 M) dibentuklah suatu konsili (musyawarah besar) di Nicea (Asia Kecil – dekat kota Konstantinopel) pada tahun 325 M (abad ke-IV) dengan diikuti oleh para Uskup, tokoh-tokoh Theologi kenamaan dan banyak Sarjana Gereja, Konsili tersebut dikenal juga dengan nama Konsili Oikumonis I (Oikumene berarti seluruh dunia yang didiami bangsa manusia).

Dalam musyawarah itu, pengikut Arius menolak pandangan tentang penciptaan eternal (penciptaan yang bebas dari dimensi waktu), sementara Athanasius mempertahankannya. Pengikut Arius mengatakan bahwa anak diciptakan dari tidak ada, sementara Athanasius mengatakan bahwa anak diciptakan dari esensi Tuhan Bapak. Pengikut Arius berpendapat bahwa Tuhan anak tidak sama substansinya dengan Tuhan Bapa sementara Athanasius berpendapat sebaliknya.

Setelah titik penyatuan pandangan tidak juga berhasil dicapai dari kedua belah pihak yang berdebat, akhirnya kaisar Konstantin memberikan pernyataan bersayap (keputusan yang sifatnya bebas untuk ditafsirkan oleh pihak manapun) demi untuk menjaga kestabilitasan keadaan negrinya.

Adapun keputusan kaisar Konstantin ini menyebutkan bahwa Jesus memiliki sifat yang “Homousius” dengan Tuhan Bapa, istilah “Homousius” sendiri bisa berartikan satu hakekat, satu keadaan atau juga memiliki hubungan yang rapat satu sama lainnya.

Keputusan Konsili itu juga berhasil merumuskan “SYMBOLUM APOSTOLICUM” (Syahadat para Rasul) kata “syahadat” sendiri berasal dari kata bahasa Latin “credo” yang artinya “aku percaya”, dimana inti dari rumusan ini menggaris bawahi tentang ketiga pribadi dalam Tuhan yang satu itu adalah sejajar, walaupun digunakan istilah Bapa dan Anak.

“Credoin Deo Patri omnipotentem
(aku percaya akan Allah Bapa Yang Maha Kuasa)
Creatorem coeli et terrae
(pencipta Langit dan Bumi)
Et in Iesum Christum, Fillium eius unicum, Dominium nostrum
(dan akan Jesus Kristus, PutraNya yang Tunggal Tuhan kita)
Qui conceptus est de Spiritu Sancto, natus ex Maria Virgine
(yang dikandung dari Roh Kudus, dilahirkan oleh Perawan Maria)
Passus sub Pontio Pilato, crucifixus, mortuus et sepultus
(yang menderita sengsara dalam Pemerintahan Ponsius Pilatus; disalibkan wafat dan dimakamkan)
Descendit ad inferna (inferos)
(yang turun ketempat penantian)
Tertia die resurrexit a mortuis
(pada hari ketiga bangkit dari antara orang mati)
Acendit ad coelos, sedet ad dexteram Dei Patris omnipotentis
(yang naik ke surga, duduk di sebelah kanan Allah Bapa yang Maha Kuasa)
Inde venturus est iudicare vivos et mortuos
(dari situ Dia akan datang mengadili orang yang hidup dan mati)
Credo in Spiritum Sanctum
(aku percaya akan Roh Kudus)
Sanctam Ecclesiam catholicam, sanctorum communionem
(Gereja Katolik yang Kudus, persekutuan para kudus)
Remisionem peccatorum
(pengampunan dosa)
Carnis resurrectionem
(kebangkitan badan)
Vitam eternam
(kehidupan kekal)
Amen
(Amin)”.

(Sumber Credo dari http://www.katolik.net/)

Pasca Konsili Nicea I, Athanasius berhasil membujuk kaisar untuk membuang Arius kesatu tempat yang jauh serta membakar semua tulisan-tulisan pemikiran Monotheismenya dengan alasan bahwa Arius masih tidak puas terhadap keputusan Kaisar. Hal ini tidak berlangsung lama sebab Kaisar Konstantin dengan dukungan Uskup Eusebius yang menentang paham Trinitas memanggil pulang Arius dari pengasingannya dan mengakui bahwa konsepnya mengenai Monotheisme lebih bisa diterima ketimbang paham Trinitas.

Pada tahun 336 Arius diangkat menjadi Pastur di Constantinopel dan dalam satu muslihat yang licik, dia berhasil dibunuh.

Semenjak tahun 340 M (tiga tahun setelah kematian Kaisar Konstantin pada tahun 337 M dan digantikan oleh Kaisar Theodosius), perselisihan antara Monotheisme dengan Trinitas kembali mencuat kepermukaan dan penyelesaian yang diberlakukan Gereja dengan dukungan pihak-pihak kerajaan tidaklah memuaskan semua pihak serta hanya bersifat sementara, sebab keyakinan pihak Istana sendiri tidak mempercayai pengajaran Injil sehingga setiap kali ada pergantian kaisar maka selalu ada perubahan suasana, dan ini bisa mengubah setiap titik dari keputusan Dewan Nicea sebelumnya. Pihak yang menang saat itu bisa berbalik menjadi pihak yang dikalahkan atau dipersalahkan di kemudian hari oleh kerajaan. Dan sejarah inilah yang akhirnya paling sering terjadi dalam kontroversi doktrin Trinitas dimasa lalu.

Empat puluh lima tahun setelah kematian Arius, Konsili Nicea (Nicene Creed) yang pernah digelar pada tahun 325 M kemudian diadakan lagi pada tahun 381 M, yang menghasilkan pernyataan “Syahadat Konsili Nicea Konstantinopel”, yang mana isinya adalah :

“Aku percaya akan satu Allah
Bapa yang Maha Kuasa
Pencipta langit dan bumi
Dan segala sesuatu yang kelihatan
Dan tidak kelihatan.
Dan akan satu Tuhan, Yesus Kristus,
Putra Allah yang tunggal.
Ia lahir sebelum segala abad.
Allah dari Allah,
Terang dari Terang.
Allah benar dari Allah benar.
Ia dilahirkan, bukan dijadikan
Sehakikat dengan Bapa.
Segala sesuatu dijadikan olehNya.
Ia turun dari surga untuk kita manusia
Dan untuk keselamatan kita.
Ia dikandung dari roh Kudus,
Dilahirkan oleh perawan Maria,
Dan menjadi manusia
Iapun disalibkan untuk kita, waktu Pontius Pilatus.
Ia wafat kesengsaraan dan dimakamkan.
Pada hari ketiga Ia bangkit, menurut Kitab Suci.
Ia naik ke surga, duduk di sisi Bapa.
Ia akan kembali dengan mulia,
Mengadili orang yang hidup dan yang mati.
KerajaanNya takkan berakhir.
Aku percaya akan Roh Kudus,
Ia Tuhan yang menghidupkan,
Ia berasal dari Bapa dan Putra
Yang serta Bapa dan Putra disembah dan dimuliakan.
Ia bersabda dengan perantaraan para nabi.
Aku percaya akan Gereja yang satu, kudus, katolik dan apostolik,
Aku mengakui satu pembaptisan, akan pengampunan dosa.
Aku menantikan kebangkitan orang mati
Dan hidup di akhirat.
Amin.”

Dalam sejarah internal gereja Trinitas sendiri, semenjak kerajaan Romawi Barat dan Romawi Timur berpisah, gereja-gereja penganut paham ketuhanan Trinitas pun terpisah menjadi gereja barat dan gereja timur.

Kata “gereja” sebenarnya berasal dari kata “igraja” yang diperkenalkan di Indonesia oleh para misionaris Portugis. Kata “igraja” tersebut berasal dari kata Latin “ecclesia” yang pada awalnya berasal dari bahasa Yunani kuno yaitu “ekklesia” yang artinya “kumpulan” atau “pertemuan”, sehingga makna umum dari gereja itu adalah tempat berkumpul orang-orang tertentu dan dalam hal ini adalah orang-orang yang meyakini asas ketuhanan Trinitas.

Adanya gereja Barat dan gereja Timur ini akhirnya membawa perpecahan-perpecahan sendiri yang mengakibatkan ajaran Trinitas terbagi dalam banyak sekte atau aliran, perpecahan awalnya adalah larangan yang dibuat oleh Kaisar Romawi Leo III pada tahun 726 M kepada umat Trinitas agar jangan mengkuduskan dan membuat patung-patung atau gambar-gambar (Icono Clasts) berkenaan dengan keyakinan dunia Kristen Trinitas seperti gambaran Jesus, Mariah atau orang-orang yang dianggap suci lainnya.

Perintah Kaisar Leo III ini dikukuhkannya lagi pada tahun 730 M dengan pemikiran bahwa hal ini merupakan perbuatan keberhalaan dan bertentangan dengan Perjanjian Lama maupun Perjanjian Baru sendiri.

Larangan ini diberlakukan sampai pemerintahan Kaisar Konstantin IV dan Kaisar Leo IV, sementara pemimpin gereja Timur yang disebut Paus Gregori II dan Paus Gregori III serta Germanius dengan dukungan gereja Konstantinopel dan Kaisar Irene justru memberikan persetujuan pemujaan gambar-gambar keagamaan, perselisihan yang panjang dan lama ini akhirnya diselesaikan dengan dicabutnya larangan ini pada Sidang Umum ketujuh yang berlangsung di Nicaea tahun 787 M.

Namun perpecahan di antara keduanya tidak akan diatasi oleh sidang tersebut dan masalah ini mengemuka pada abad ke 11 M pada waktu Roma menerima pemberian suatu tambahan ke dalam Nicene Creed, suatu hal yang tidak disetujui Gereja Timur. Tambahan itu adalah “dan anak” setelah frasa “kami percaya dalam Roh Kudus, Tuhan pemberi kehidupan, yang diturunkan dari Tuhan Bapa…” Jadi, Gereja-gereja Timur tidak menerima bahwa Roh Kudus diturunkan dari Tuhan Bapak dan Anak, melainkan hanya dari Tuhan Bapa saja.

Tentang masalah ini Timur dan Barat sama sekali tidak mempunyai titik temu dan menimbulkan pemisahan tahun 1054, karena wakil Paus menempatkan surat-surat ekskomunikasi pada altar St. Sophia di Konstantinopel. Sejak itulah muncul Gereja Katolik Roma dan Gereja Ortodoks Yunani.

Kata “Katolik” berarti “univeral”, “memiliki sifat-sifat totalitas” atau “utuh”. Dengan demikian Gereja Katolik adalah tempat berkumpul universal, dimana setiap orang telah dipanggil untuk membawa kabar sukacita Injil kepada setiap orang, kepada setiap bangsa, kepada setiap penjuru dunia.

Pusat gereja Katolik di dunia, gereja Santo Petrus Basilica (St. Peter’s Basilica) yang dibangun di Vatikan, adalah tempat dimana Petrus (Symeon -salah seorang murid Jesus) dimakamkan. Saat ini, kuburan dari Petrus berada di dalam tanah, persis dibawah altar utama di antara tiang-tiang penopang kubah Bernini.

Unsur-unsur doktrinal membuat mereka tetap terpisah: Gereja Katolik dipimpin oleh satu tampuk pimpinan yang disebut Paus, sementara Gereja Ortodoks menyerahkan kepemimpinan di tangan para bishop atau patriark (berarti Uskup); pandangan tentang Roh Kudus juga berbeda, Gereja Ortodoks tetap memberikan kedudukan penting bagi ikon-ikon dalam pemujaan, para pelayan gerejanya dibolehkan menikah, dan lain-lain.

Kata “Paus” (“Pope”) artinya “Bapa” yang diambil dari bahasa Yunani. Didalam penggunaan bahasa Latin, kata ini lebih menunjukkan rasa hormat. Pada jaman Reformasi, kaum Protestan tidak setuju dengan istilah yang terkesan eksklusif tersebut, maka istilah “Paus” lebih sering disebut sebagai “Uskup Roma” (Bishop of Rome) seperti istilah pertamanya di jaman awal; Paus adalah pemimpin tertinggi Gereja Katolik dan sekaligus merupakan Ketua dari Dewan Para Uskup.

Walaupun pada mulanya kota Yerusalem dianggap sebagai pusat kesucian (karena disana terletak Bait al-Maqdis), namun sikap permusuhan yang diperlihatkan orang-orang Yahudi sendiri yang menguasai Yerusalem terhadap hal-hal yang berbau Jesus, mendorong pemindahan pusat Kristen; mula-mula ke Antiokia, lalu bergeser kekota Roma.

Paus memegang kekuasaan tertinggi, yang melampaui kekuasaan raja dan ratu. Namun sejak akhir abad keempat belas mulailah timbul tantangan terhadap kekuasaan Paus yang begitu besar. Timbullah gerakan reformasi yang dimulai Lollards dan Hussites; gerakan ini berubah menjadi ancaman serius terhadap supremasi Gereja Katolik ketika tahun 1617, seorang imam bernama Martin Luther menentang keras penjualan surat aflat (pengampunan dosa) oleh gereja.

Dia lalu menolak supremasi Paus, serta menghasut para bangsawan Jerman untuk memberontak dan memisahkan kekuasaan mereka. Para bangsawan, yang sebelumnya terdisilusi dengan kontrol oleh Gereja dan Paus, membutuhkan sedikit dorongan dan banyak diantara mereka segera bergabung dengan Martin Luther serta mendirikan gereja tersendiri, mereka dikenal sebagai Kristen Protestan (yaitu orang-orang Kristen yang memprotes).

Seiring dengan perjalanan sang waktu, hingga kini ada banyak sekali aliran dalam ajaran Trinitas, terlepas dari semua itu, kontroversi mengenai doktrin Trinitas sendiri sampai sekarang tidak pernah berhenti dan selesai dari dunia Kristen.

Sehubungan dengan doktrin Trinitas sendiri, “The Catholic Encyclopedia” mengomentari: “Dalam naskah alkitab belum terdapat satu istilah pun untuk menyatakan ke-Tiga Pribadi Tuhan tersebut secara bersama. Kata trias [tri’as]yaitu asal kata dari trinitas dalam bahasa Latin mula-mula ditemukan dalam karya Teofilus dari Antiokhia kira-kira tahun 180 M…. Tidak lama kemudian kata itu muncul dalam bentuk Latinnya dalam tulisan Tertullian.” (http://www.newadvent.org/cathen/15047a.htm)

Dan sebagaimana akhir dari tulisan Bab sebelumnya, maka pada akhir dari Bab inipun akan diberikan pengantar pemikiran kritis bagi orang-orang yang meyakini ide Trinitas.

Pertama, orang-orang penganut paham ketuhanan ini berkata: “Tritunggal adalah istilah yang digunakan untuk menyatakan doktrin utama agama Kristen…” tetapi sayangnya kitab Perjanjian Lama serta kitab Perjanjian Baru sendiri sebagai kitab sucinya justru sama sekali tidak pernah menyinggung ide ketuhanan Trinitas ini, kemunculannya hanyalah disebabkan penafsiran orang atas kata Bapa, Anak, Roh Kudus serta penafsiran atas beberapa kisah yang pernah terjadi pada masa kehidupan Jesus.

Bersikukuh bahwa Tritunggal adalah misteri yang begitu membingungkan karena berasal dari wahyu Tuhan hanyalah menciptakan problem besar. Sebab dalam kitab Bible yang disebut sebagai wahyu Tuhan itu sendiri tidak ada pandangan demikian mengenai Tuhan:

“Allah adalah Allah yang suka akan ketertiban; Ia bukan Allah yang suka pada kekacauan. Seperti yang berlaku di dalam semua jemaat Allah.” (1 Korintus 14:33 Bahasa Indonesia sehari-hari)

Berangkat dari pernyataan itu, mungkinkah Allah akan mencetuskan doktrin mengenai diri-Nya sendiri yang begitu membingungkan sehingga bahkan para cendikiawan dan Teolog dari Ibrani, Yunani, dan Latin serta Barat yang sarat dengan pemikiran dan ilmu pengetahuannya tidak dapat menjelaskannya?

https://tausyah.wordpress.com