Arsip untuk 30 Juli 2010

Beberapa waktu sesudah perang Ahzab, Rasul Allah s.a.w. berangkat membawa kaum muslimin kurang lebih 1500 orang. Beliau berangkat ke Makkah bukan dengan maksud untuk berperang, melainkan untuk menunaikan ibadah haji. Tak ada sebilah pedang yang terhunus. Berita tentang keberangkatan Rasul Allah s.a.w. ini sampai juga kepada kaum Qureiys. Mendengar berita itu kaum Qureiys segera membikin persiapan. Mereka khawatir kalau-kalau kebe­rangkatan Rasul Allah s.a.w. itu hanya merupakan tipu muslihat untuk menyerbu Makkah. Khalid bin Al Walid dan pasukannya menghadang kaum muslimin di tempat beberapa mil jauhnya di luar kota Makkah. Rasul Allah s.a.w. setelah mendengar berita gerak-gerik pa­sukan Qureiys itu tetap melanjutkan perjalanan.

Untuk meng­hindari konflik senjata beliau dengan sejumlah sahabat menempuh jalan lain, meskipun jalan itu agak sulit dilewati. Akhirnya beliau tiba di sebuah tempat bernama Hudaibiyah. Mengetahui perkembangan baru yang ditempuh oleh rombo­ngan Rasul Allah s.a.w. Khalid bin A1 Walid dan pasukannya se­gera kembali ke Makkah untuk mempertahankan kota. Ketika itu semua orang Qureiys sudah dihinggapi kegelisahan dan kha­watir menghadapi kaum muslimin. Walaupun begitu mereka tetap bertekad hendak mencegah masuknya rombongan Rasul Allah s.a.w. dengan cara apa saja. Selang beberapa hari, fihak Qureiys mengirim utusan kepada Nabi Muhammad s.a.w. guna mengetahui benar-benar apa yang sesungguhnya menjadi maksud kedatangan beliau dan rombongan. Setelah melakukan dialog seperlunya, perutusan itupun kembali.

Mereka percaya, bahwa kedatangan kaum musli­min benar-benar hendak menunaikan ibadah haji. Sewaktu hal itu dilaporkan, kaum musyrikin Qureiys tak mempercayainya. Ma­lahan perutusan itu dituduh berkhianat hendak membantu Rasul Allah s.a.w. Kaum musyrikin mengirim utusan lagi dipimpin seorang gembong terkemuka. Hasilnya sama saja dengan perutusan yang pertama: Kaum musyrikin Qureiys masih tak percaya. Kini diki­rim utusan seorang saja, yaitu ‘Urwah bin Mas’ud Ats Tsaqafiy. Sekembalinya dari perundingan dengan Nabi Muhammad s.a.w., ‘Urwah mengemukakan kepada kaum musyrikin Qureiys, bahwa “Rasul Allah s.a.w. menawarkan satu rencana yang baik, oleh se­bab itu terimalah!” Sejalan dengan itu Rasul Allah sendiri kemudian mengirim seorang utusan, yaitu Kharrasiy Al Khuza’iy guna menemui orang Qureiys.

Musyrikin Qureiys tidak mau menerima utusan itu. Bahkan unta kendaraannya dibantai dan hampir saja ia dibu­nuh, kalau tidak dicegah oleh salah seorang gembong Qureiys. Rasul Allah s.a.w. berusaha terus. Kali ini yang dikirim Utsman bin Affan r.a. Ia baru masuk Makkah setelah ada jaminan dari anak pamannya, Aban bin Sa’id Al Ash. Dalam pertemuannya dengan orang-orang Qureiys, Utsman bin Affan menjelaskan mak­sud kedatangan Rasul Allah s.a.w. dan rombongan tidak lain hanya ingin menunaikan ibadah haji. Kaum musyrikin Qureiys memang kepala batu. Utsman bin Affan mereka tahan selama 3 hari.

Di kalangan kaum muslimin terdengar desas-desus bahwa Utsman bin Affan telah mati di­bunuh. Untuk menghadapi kemungkinan Utsman bin Affan r.a. benar-benar dibunuh oleh orang-orang Qureiys, Nabi Muham­mad berseru kepada para sahabatnya supaya menyatakan janji setia (bai’at) guna melancarkan serangan menuntut bela melawan penghianatan Qureiys.

Kaum muslimin berlomba-lomba menyam­but seruan beliau. Mereka siap memanggul senjata untuk berperang melawan Qureiys. Janji setia kaum muslimin kepada Rasul Allah s.a.w. yang bersejarah itu dilakukan oleh mereka di bawah sebatang pohon. Peristiwa itu dikenal dengan nama “Bai’atur Ridhwan” (janji setia yang diridhoi Allah). Satu peristiwa yang dipuji Allah s.w.t., seperti yang termuat dalam S. Al Fath:l8 (A1 Qur’an).

Mendengarkan kebulatan tekad kaum muslimin di bawah pimpinan Rasul Allah s.a.w. itu, kaum musyrikin Qureiys merasa gentar. Mereka sudah mengenal betapa gigihnya kaum muslimin berperang, seperti yang telah dibuktikan pada masa-masa yang lalu. Musyrikin Qureiys mengirim utusan yang dipimpin oleh Suhail bin Amr. Setelah perutusan itu mengadakan perundingan dengan Rasul Allah s.a.w., dua belah fihak sepakat untuk menan­da-tangani sebuah perjanjian gencatan senjata.

Nabi Muhammad s.a.w. memerintahkan Imam Ali r.a. supaya menuliskan naskah perjanjian yang akan ditanda-tangani oleh kedua belah fihak. Sedangkan beliau sendiri mendiktekan syarat­syarat yang telah disetujui bersama. Pertama-tama beliau berkata: “Tulislah: “Bismillaahi ar-Rahman ar-Rahim . . .” Mendengar kalimat itu Suhail menukas: “Berhenti dulu. Aku tidak mengerti apa ar-Rahman ar-Rahim” itu! Tulis saja “Dengan nama-Mu, ya Allah. . .” Tanpa menyangkal lagi Rasul Allah s.a.w. memerintahkan Imam Ali r.a. supaya menulis apa yang diminta oleh Suhail.

Kemudian beliau meneruskan, “Tulislah: ‘Inilah perjanjian yang diadakan oleh Muhammad Rasul Allah dengan Suhail bin ‘Amr’…” Suhail memotong “Berhenti dulu. Kalau aku percaya engkau Rasul Allah, tentu aku tidak akan memerangimu. Tuliskan saja na­mamu dan nama ayahmu…!” Rasul Allah menuruti apa yang diminta oleh Suhail. Beliau memerintahkan Imam Ali r.a. supaya menuliskan kalimat: “Ini­lah perjanjian yang telah disepakati Muhammad bin Abdullah…” dst.

Kemudian dilanjutkan dengan penulisan teks syarat-syarat perjanjian yang terdiri dari empat pokok:

1. Perjanjian gencatan senjata antara kedua belah fihak ber­laku selama masa 10 tahun.

2. Jika ada orang dari fihak Qureiys memeluk Islam kemu­dian bergabung dengan Rasul Allah s.a.w. tanpa seizin Qureiys, orang itu akan dikembalikan oleh Rasul Allah kepada Qureiys. Sebaliknya jika ada orang dari fihak Rasul Allah yang murtad dan kembali ke fihak Qureiys, orang itu oleh Qureiys tidak akan dikembalikan kepada Rasul Allah.

3. Jika ada orang Arab ingin bersekutu dengan Rasul Allah, dibolehkan. Dan apabila ada orang-orang Arab lain ingin bersekutu dengan kaum Qureiys, ia bebas berbuat demikian.

4. Rasul Allah dengan para pengikutnya harus pulang me­ninggalkan Makkah. Mereka berhak untuk kembali lagi ke Makkah pada musim haji yang akan datang untuk ber­ziarah ke Baitul Haram, dengan syarat: mereka hanya akan tinggal di Makkah selama 3 hari, dan tidak akan me­ngeluarkan pedang dari sarungnya. Tidak lama setelah “Perjanjian Hudaibiyah” itu ditanda­tangani, Banu Khuza’ah segera menyatakan bersekutu dengan Rasul Allah s.a.w. Sedangkan Banu Bakr menyatakan bersekutu dengan fihak Qureiys. Dengan perjanjian tersebut kaum muslimin memperoleh ke­sempatan leluasa untuk menyiarkan agama Islam kepada orang-­orang Arab di luar kaum musyrikin Qureiys, dan memperoleh waktu yang cukup untuk membangun dan memperkuat negeri.

Perang Khaibar Walaupun Rasul Allah s.a.w. telah mengadakan perjanjian perdamaian dengan musyrikin Qureiys (Perjanjian Hudaibiyah), namun beliau berfikir, bahwa keamanan dan keselamatan kaum muslimin belum terjamin, selama masih ada kekuatan-kekuatan anti Islam yang bercokol di utara Madinah. Kekuatan itu ialah ka­um Yahudi yang mempunyai beberapa benteng di Khaibar. Berdasarkan pengalaman yang sudah-sudah, orang-orang Yahudi memang tidak dapat dipercaya kejujurannya dalam melak­sanakan perjanjian perdamaian.

Peristiwa pengkhianatan itu telah terjadi beberapa kali dilakukan oleh orang-orang Yahudi dari Banu Quraidah, Bani Qainuqa’ dan Bani Nadhir. Sekarang tibalah saatnya untuk mematahkan kekuatan terakhir kaum Yahudi, yang selama ini dirasakan sebagai duri di dalam daging. Tanpa membuang-buang waktu, Rasul Allah mempersiapkan pasukan sebanyak 1600 orang dan 100 pasukan berkuda guna diberangkatkan ke Khaibar. Setelah berjalan tiga hari tibalah pasukan muslimin di depan perbentengan Khaibar. Mereka telah berada di depan benteng Natat.

Esok paginya pertempuran mati-matian mulai berkobar. 50 orang dari pasukan muslimin gugur dan dari fihak Yahudi lebih banyak lagi, termasuk pemimpin Yahudi Khaibar, yaitu Salam bin Misykam. Setelah Salam terbunuh pimpinan Yahudi dipegang oleh Harits bin Abi Zainab. Ia keluar dari benteng Na’im bersama sejumlah pasukan dengan maksud hendak menggempur kaum muslimin. Pasukan Muslimin yang terdiri dari orang-orang Khazraj berhasil memukul mundur pasukan Harits sampai mereka masuk ke dalam benteng. Pasukan muslimin makin memperketat pengepungan atas beberapa benteng Khaibar.

Pihak Yahudi ber­tahan mati-matian. Bagi mereka, jika kali ini kalah, berarti penum­pasan terakhir Bani Israil di negeri Arab. Pengepungan itu berlangsung selama beberapa hari. Untuk melancarkan serangan, Rasul Allah s.a.w. menyerahkan panji peperangan kepada Abu Bakar As Shiddiq r.a. Dengan tugas supaya menyerbu dan merebut benteng Na’im. Setelah terjadi pertempuran, Abu bakar r.a. kembali tanpa berhasil mendobrak benteng tersebut. Keesokan harinya, Rasul Allah s.a.w. menugas­kan Umar Ibnul Khattab r.a. Iapun mengalami nasib yang sama seperti Abu Bakar Ash Shiddiq r.a. Sekarang Imam Ali r.a. dipanggil oleh Rasul Allah s.a.w. seraya berkata: “Pegang panji ini dan bawa terus sampai Allah memberikan kemenangan ke­padamu!” Imam Ali r.a. berangkat membawa panji Rasul Allah s.a.w. Setibanya dekat benteng, penghuni benteng itu keluar serentak menghadapinya. Ketika itu juga terjadi pertempuran.

Salah se­orang Yahudi berhasil memukul Imam Ali r.a. sampai perisai yang ada di tangannya terpental. Tetapi dengan gerakan kilat Imam Ali r.a. segera menjebol salah sebuah daun pintu yang ada di benteng dan dengan berperisaikan daun pintu itu terus me­nerjang dan menggempur. Akhirnya benteng itu dapat didobrak, dan daun pintu yang dipegangnya dijadikan jembatan. Dengan jembatan itu kaum muslimin menyeberang serentak dan menyer­bu ke dalam benteng. Kaum Yahudi bertahan mati-matian. Benteng Na’im itu baru jatuh sepenuhnya, setelah komandan pasukan Yahudi, Harits bin Abi Zainab mati terbunuh. Peristiwa pertempuran itu menunjukkan betapa uletnya kaum Yahudi bertahan, dan menunjukan pula tingginya semangat juang kaum muslimin dalam perang Khaibar.

Dengan jatuhnva benteng Na’im, praktis tidak banyak lagi kesukaran bagi kaum muslimin untuk menjebol dan mengobrak-abrik benteng-benteng Khaibar lainnya yang masih tinggal, seperti benteng Qamus, ben­teng Sha’b dan lain-lain yang tidak seberapa kokoh. Dengan jatuhnya semua benteng Yahudi di Khaibar, perasaan putus asa merayap di dalam hati mereka, kemudian mereka minta damai. Semua harta benda yang ada di dalam perbentengan diserahkan kepada Rasul Allah s.a.w. sebagai barang ghanimah, dengan syarat mereka diselamatkan. Rasul Allah s.a.w. menerima usul dan menyetujui permintaan mereka itu. Mereka dibiarkan tetap tinggal di kampung-halaman mereka, mengerjakan tanah yang kini menjadi milik kaum muslimin. Sebagai imbalan mereka mendapat upah separuh dari hasil tanaman.

https://tausyah.wordpress.com

Beberapa waktu sesudah perang Ahzab, Rasul Allah s.a.w. berangkat membawa kaum muslimin kurang lebih 1500 orang. Beliau berangkat ke Makkah bukan dengan maksud untuk berperang, melainkan untuk menunaikan ibadah haji. Tak ada sebilah pedang yang terhunus.

Berita tentang keberangkatan Rasul Allah s.a.w. ini sampai juga kepada kaum Qureiys. Mendengar berita itu kaum Qureiys segera membikin persiapan. Mereka khawatir kalau-kalau kebe­rangkatan Rasul Allah s.a.w. itu hanya merupakan tipu muslihat untuk menyerbu Makkah. Khalid bin Al Walid dan pasukannya menghadang kaum muslimin di tempat beberapa mil jauhnya di luar kota Makkah.

Rasul Allah s.a.w. setelah mendengar berita gerak-gerik pa­sukan Qureiys itu tetap melanjutkan perjalanan. Untuk meng­hindari konflik senjata beliau dengan sejumlah sahabat menempuh jalan lain, meskipun jalan itu agak sulit dilewati. Akhirnya beliau tiba di sebuah tempat bernama Hudaibiyah.

Mengetahui perkembangan baru yang ditempuh oleh rombo­ngan Rasul Allah s.a.w. Khalid bin A1 Walid dan pasukannya se­gera kembali ke Makkah untuk mempertahankan kota. Ketika itu semua orang Qureiys sudah dihinggapi kegelisahan dan kha­watir menghadapi kaum muslimin. Walaupun begitu mereka tetap bertekad hendak mencegah masuknya rombongan Rasul Allah s.a.w. dengan cara apa saja.

Selang beberapa hari, fihak Qureiys mengirim utusan kepada Nabi Muhammad s.a.w. guna mengetahui benar-benar apa yang sesungguhnya menjadi maksud kedatangan beliau dan rombongan. Setelah melakukan dialog seperlunya, perutusan itupun kembali. Mereka percaya, bahwa kedatangan kaum musli­min benar-benar hendak menunaikan ibadah haji. Sewaktu hal itu dilaporkan, kaum musyrikin Qureiys tak mempercayainya. Ma­lahan perutusan itu dituduh berkhianat hendak membantu Rasul Allah s.a.w.

Kaum musyrikin mengirim utusan lagi dipimpin seorang gembong terkemuka. Hasilnya sama saja dengan perutusan yang pertama: Kaum musyrikin Qureiys masih tak percaya. Kini diki­rim utusan seorang saja, yaitu ‘Urwah bin Mas’ud Ats Tsaqafiy. Sekembalinya dari perundingan dengan Nabi Muhammad s.a.w., ‘Urwah mengemukakan kepada kaum musyrikin Qureiys, bahwa “Rasul Allah s.a.w. menawarkan satu rencana yang baik, oleh se­bab itu terimalah!”

Sejalan dengan itu Rasul Allah sendiri kemudian mengirim seorang utusan, yaitu Kharrasiy Al Khuza’iy guna menemui orang Qureiys. Musyrikin Qureiys tidak mau menerima utusan itu. Bahkan unta kendaraannya dibantai dan hampir saja ia dibu­nuh, kalau tidak dicegah oleh salah seorang gembong Qureiys.

Rasul Allah s.a.w. berusaha terus. Kali ini yang dikirim Utsman bin Affan r.a. Ia baru masuk Makkah setelah ada jaminan dari anak pamannya, Aban bin Sa’id Al Ash. Dalam pertemuannya dengan orang-orang Qureiys, Utsman bin Affan menjelaskan mak­sud kedatangan Rasul Allah s.a.w. dan rombongan tidak lain hanya ingin menunaikan ibadah haji.

Kaum musyrikin Qureiys memang kepala batu. Utsman bin Affan mereka tahan selama 3 hari. Di kalangan kaum muslimin terdengar desas-desus bahwa Utsman bin Affan telah mati di­bunuh. Untuk menghadapi kemungkinan Utsman bin Affan r.a. benar-benar dibunuh oleh orang-orang Qureiys, Nabi Muham­mad berseru kepada para sahabatnya supaya menyatakan janji setia (bai’at) guna melancarkan serangan menuntut bela melawan penghianatan Qureiys. Kaum muslimin berlomba-lomba menyam­but seruan beliau. Mereka siap memanggul senjata untuk berperang melawan Qureiys.

Janji setia kaum muslimin kepada Rasul Allah s.a.w. yang bersejarah itu dilakukan oleh mereka di bawah sebatang pohon. Peristiwa itu dikenal dengan nama “Bai’atur Ridhwan” (janji setia yang diridhoi Allah). Satu peristiwa yang dipuji Allah s.w.t., seperti yang termuat dalam S. Al Fath:l8 (A1 Qur’an).

Mendengarkan kebulatan tekad kaum muslimin di bawah pimpinan Rasul Allah s.a.w. itu, kaum musyrikin Qureiys merasa gentar. Mereka sudah mengenal betapa gigihnya kaum muslimin berperang, seperti yang telah dibuktikan pada masa-masa yang lalu. Musyrikin Qureiys mengirim utusan yang dipimpin oleh Suhail bin Amr. Setelah perutusan itu mengadakan perundingan dengan Rasul Allah s.a.w., dua belah fihak sepakat untuk menan­da-tangani sebuah perjanjian gencatan senjata.

Nabi Muhammad s.a.w. memerintahkan Imam Ali r.a. supaya menuliskan naskah perjanjian yang akan ditanda-tangani oleh kedua belah fihak. Sedangkan beliau sendiri mendiktekan syarat­syarat yang telah disetujui bersama. Pertama-tama beliau berkata: “Tulislah: “Bismillaahi ar-Rahman ar-Rahim . . .”

Mendengar kalimat itu Suhail menukas: “Berhenti dulu. Aku tidak mengerti apa ar-Rahman ar-Rahim” itu! Tulis saja “Dengan nama-Mu, ya Allah. . .”

Tanpa menyangkal lagi Rasul Allah s.a.w. memerintahkan Imam Ali r.a. supaya menulis apa yang diminta oleh Suhail. Kemudian beliau meneruskan, “Tulislah: ‘Inilah perjanjian yang diadakan oleh Muhammad Rasul Allah dengan Suhail bin ‘Amr’…”

Suhail memotong “Berhenti dulu. Kalau aku percaya engkau Rasul Allah, tentu aku tidak akan memerangimu. Tuliskan saja na­mamu dan nama ayahmu…!”

Rasul Allah menuruti apa yang diminta oleh Suhail. Beliau memerintahkan Imam Ali r.a. supaya menuliskan kalimat: “Ini­lah perjanjian yang telah disepakati Muhammad bin Abdullah…” dst. Kemudian dilanjutkan dengan penulisan teks syarat-syarat perjanjian yang terdiri dari empat pokok:

1. Perjanjian gencatan senjata antara kedua belah fihak ber­laku selama masa 10 tahun.

2. Jika ada orang dari fihak Qureiys memeluk Islam kemu­dian bergabung dengan Rasul Allah s.a.w. tanpa seizin Qureiys, orang itu akan dikembalikan oleh Rasul Allah kepada Qureiys. Sebaliknya jika ada orang dari fihak Rasul Allah yang murtad dan kembali ke fihak Qureiys, orang itu oleh Qureiys tidak akan dikembalikan kepada Rasul Allah.

3. Jika ada orang Arab ingin bersekutu dengan Rasul Allah, dibolehkan. Dan apabila ada orang-orang Arab lain ingin bersekutu dengan kaum Qureiys, ia bebas berbuat demikian.

4. Rasul Allah dengan para pengikutnya harus pulang me­ninggalkan Makkah. Mereka berhak untuk kembali lagi ke Makkah pada musim haji yang akan datang untuk ber­ziarah ke Baitul Haram, dengan syarat: mereka hanya akan tinggal di Makkah selama 3 hari, dan tidak akan me­ngeluarkan pedang dari sarungnya.

Tidak lama setelah “Perjanjian Hudaibiyah” itu ditanda­tangani, Banu Khuza’ah segera menyatakan bersekutu dengan Rasul Allah s.a.w. Sedangkan Banu Bakr menyatakan bersekutu dengan fihak Qureiys.

Dengan perjanjian tersebut kaum muslimin memperoleh ke­sempatan leluasa untuk menyiarkan agama Islam kepada orang-­orang Arab di luar kaum musyrikin Qureiys, dan memperoleh waktu yang cukup untuk membangun dan memperkuat negeri.

Perang Khaibar

Walaupun Rasul Allah s.a.w. telah mengadakan perjanjian perdamaian dengan musyrikin Qureiys (Perjanjian Hudaibiyah), namun beliau berfikir, bahwa keamanan dan keselamatan kaum muslimin belum terjamin, selama masih ada kekuatan-kekuatan anti Islam yang bercokol di utara Madinah. Kekuatan itu ialah ka­um Yahudi yang mempunyai beberapa benteng di Khaibar.

Berdasarkan pengalaman yang sudah-sudah, orang-orang Yahudi memang tidak dapat dipercaya kejujurannya dalam melak­sanakan perjanjian perdamaian. Peristiwa pengkhianatan itu telah terjadi beberapa kali dilakukan oleh orang-orang Yahudi dari Banu Quraidah, Bani Qainuqa’ dan Bani Nadhir.

Sekarang tibalah saatnya untuk mematahkan kekuatan terakhir kaum Yahudi, yang selama ini dirasakan sebagai duri di dalam daging. Tanpa membuang-buang waktu, Rasul Allah mempersiapkan pasukan sebanyak 1600 orang dan 100 pasukan berkuda guna diberangkatkan ke Khaibar. Setelah berjalan tiga hari tibalah pasukan muslimin di depan perbentengan Khaibar. Mereka telah berada di depan benteng Natat.

Esok paginya pertempuran mati-matian mulai berkobar. 50 orang dari pasukan muslimin gugur dan dari fihak Yahudi lebih banyak lagi, termasuk pemimpin Yahudi Khaibar, yaitu Salam bin Misykam. Setelah Salam terbunuh pimpinan Yahudi dipegang oleh Harits bin Abi Zainab. Ia keluar dari benteng Na’im bersama sejumlah pasukan dengan maksud hendak menggempur kaum muslimin.

Pasukan Muslimin yang terdiri dari orang-orang Khazraj berhasil memukul mundur pasukan Harits sampai mereka masuk ke dalam benteng. Pasukan muslimin makin memperketat pengepungan atas beberapa benteng Khaibar. Pihak Yahudi ber­tahan mati-matian. Bagi mereka, jika kali ini kalah, berarti penum­pasan terakhir Bani Israil di negeri Arab.

Pengepungan itu berlangsung selama beberapa hari. Untuk melancarkan serangan, Rasul Allah s.a.w. menyerahkan panji peperangan kepada Abu Bakar As Shiddiq r.a. Dengan tugas supaya menyerbu dan merebut benteng Na’im. Setelah terjadi pertempuran, Abu bakar r.a. kembali tanpa berhasil mendobrak benteng tersebut. Keesokan harinya, Rasul Allah s.a.w. menugas­kan Umar Ibnul Khattab r.a. Iapun mengalami nasib yang sama seperti Abu Bakar Ash Shiddiq r.a. Sekarang Imam Ali r.a. dipanggil oleh Rasul Allah s.a.w. seraya berkata: “Pegang panji ini dan bawa terus sampai Allah memberikan kemenangan ke­padamu!”

Imam Ali r.a. berangkat membawa panji Rasul Allah s.a.w. Setibanya dekat benteng, penghuni benteng itu keluar serentak menghadapinya. Ketika itu juga terjadi pertempuran. Salah se­orang Yahudi berhasil memukul Imam Ali r.a. sampai perisai yang ada di tangannya terpental. Tetapi dengan gerakan kilat Imam Ali r.a. segera menjebol salah sebuah daun pintu yang ada di benteng dan dengan berperisaikan daun pintu itu terus me­nerjang dan menggempur. Akhirnya benteng itu dapat didobrak, dan daun pintu yang dipegangnya dijadikan jembatan. Dengan jembatan itu kaum muslimin menyeberang serentak dan menyer­bu ke dalam benteng.

Kaum Yahudi bertahan mati-matian. Benteng Na’im itu baru jatuh sepenuhnya, setelah komandan pasukan Yahudi, Harits bin Abi Zainab mati terbunuh.

Peristiwa pertempuran itu menunjukkan betapa uletnya kaum Yahudi bertahan, dan menunjukan pula tingginya semangat juang kaum muslimin dalam perang Khaibar. Dengan jatuhnva benteng Na’im, praktis tidak banyak lagi kesukaran bagi kaum muslimin untuk menjebol dan mengobrak-abrik benteng-benteng Khaibar lainnya yang masih tinggal, seperti benteng Qamus, ben­teng Sha’b dan lain-lain yang tidak seberapa kokoh.

Dengan jatuhnya semua benteng Yahudi di Khaibar, perasaan putus asa merayap di dalam hati mereka, kemudian mereka minta damai. Semua harta benda yang ada di dalam perbentengan diserahkan kepada Rasul Allah s.a.w. sebagai barang ghanimah, dengan syarat mereka diselamatkan. Rasul Allah s.a.w. menerima usul dan menyetujui permintaan mereka itu. Mereka dibiarkan tetap tinggal di kampung-halaman mereka, mengerjakan tanah yang kini menjadi milik kaum muslimin. Sebagai imbalan mereka mendapat upah separuh dari hasil tanaman.

https://tausyah.wordpress.com

Bunda Maria (mariyam)

Oleh : Armansyah

Berbicara mengenai pribadi Isa al-Masih, kita tidak akan bisa menghindari pembahasan terhadap diri ibundanya, Maryam. Bahkan latar belakang ketokohan Isa al-Masih sepanjang sejarah agama-agama langit bertitik tolak dari peranan Maryam yang namanya menjadi salah satu pujaan ditengah masyarakat Kristiani Trinitas melalui devosi Maria dan Islam sendiri menyatakan bahwa ia salah satu dari empat wanita termulia yang pernah hidup didunia.

Siti Maryam atau dikenal juga sebagai bunda maria diduga dilahirkan dikota Sepphoris yang terletak disebelah utara kota Palestina. Kota Sepphoris adalah sebuah kota besar dimana bangsa Yahudi dan bangsa Romawi hidup berdampingan dengan damai. Sepphoris juga merupakan ibu kota Galilea yang terkenal dengan rumah-rumahnya yang indah dan gedung teaternya yang besar.

Kota ini hancur luluh dilanda gempa bumi besar ketika Maria masih anak-anak sehingga keluarganya pindah beberapa mil jauhnya ke Nazareth, sebuah desa kecil yang berpenduduk sekitar 150 hingga 300 orang. Istilah Nazareth sendiri dalam bahasa Ibrani memiliki dua arti berbeda, yaitu bunga bakung dan arti lainnya adalah keturunan.

Tidak banyak cerita dalam versi yang lebih lengkap mengenai perjalanan hidupnya dari awal hingga akhir, data yang kita dapatkan dari al-Qur’an bahwa dia merupakan puteri dari Imran, salah satu keluarga yang terhormat dimasyarakatnya, namun meski begitu semenjak kecilnya Maria berada dibawah pengawasan Zakaria, salah seorang Nabi Allah, adapun latar belakang pengambil alihan pengawasan Maria kepada Zakaria tidak lain karena ibu Maria pernah bernazar kepada Allah untuk mengabdikan puterinya tersebut terhadap Allah. Dan Nabi Zakaria sendiri adalah seorang yang hingga usia tuanya belum juga dikarunia seorang anak, baik itu putera maupun puteri. Selama dalam pengawasan Zakaria itu, maka Maria tinggal dirumah peribadatan (kira-kira sejenis masjid atau gereja).

Ketika isteri ‘Imran berkata:”Ya Tuhanku, sesungguhnya aku telah nazarkan anak yang dalam perutku ini untuk mengabdi kepada-Mu, karena itu, terimalah nazarku itu, sebab Engkau sungguh Maha Mendengar dan Mengetahui.” ; Lalu saat tiba waktu melahirkannya, berkatalah ia : “Ya Tuhanku, ternyata aku melahirkan seorang anak wanita ! -padahal Allah lebih tahu apa yang dilahirkannya, sebab laki-laki memang tidak sama seperti wanita- ; “Dan aku namakan dirinya Maryam, dan aku mohonkan perlindungan bagi dirinya dan keturunannya kepada-Mu dari setan yang terkutuk !” ; Maka Tuhan menerima nazarnya dengan cara yang baik, dan Dia besarkan Maryam dengan cara yang baik pula, dan Dia jadikan Zakaria sebagai pemeliharanya.” – Qs. 3 ali Imron : 35 s/d 37

Sebagai keturunan orang baik-baik dan sholeh, Maryam senantiasa menjaga kehormatan dirinya, meskipun ia tinggal didalam rumah suci tempat banyak orang datang untuk beribadah kepada Tuhan dan menyalurkan zakatnya, dia membuat semacam pembatas ditempat itu agar mereka tidak bisa bertindak kurang ajar ataupun memancing suatu perbuatan negatip terhadap dirinya.

Dan ingatlah kisah Maryam yang diceritakan didalam kitab, saat dia menjauhkan diri dari keluarganya kesebuah tempat disebelah timur; dan ia mengadakan pembatas antara dirinya dan mereka … – Qs. 19 Maryam 16 s/d 17

Dengan demikian, al-Quran mengadakan klarifikasi atas status kesucian Maryam dari semua tuduhan dan fitnahan yang memojokkannya seolah Maryam adalah seorang wanita murahan yang bisa dengan bebas bertemu dan bercengkarama dengannya.

al-Masih putera Maryam itu hanyalah seorang Rasul yang sungguh telah berlalu sebelumnya beberapa rasul, dan ibunya seorang yang sangat benar.

– Qs. 5 al-Maaidah : 75

Karenanya, bisa dipertanyakan kembali otentisitas cerita didalam alkitab mengenai kisah pertunangan yang terjadi antara diri Maryam dengan Yusuf si tukang kayu (lihat Matius 1:18 dan Lukas 1:27), sebab bagaimana Maryam bisa melakukan pertunangan jika dirinya sejak kecil sudah berada dalam pengawasan Nabi Zakaria dirumah suci peribadatan yang jauh dari pergaulan dunia luar ? Apakah Maryam melakukannya secara diam-diam tanpa sepengetahuan siapapun ? Jika ini yang terjadi maka semua klaim kesucian Maryam yang diceritakan oleh al-Quran akan menjadi gugur dan benarlah dakwaan orang-orang Yahudi bahwa Maryam bukan wanita baik-baik, dan benar juga akhirnya pernyataan alkitab yang merunut silsilah Isa al-Masih dengan leluhur yang penuh perzinaan sepanjang sejarahnya.

Ini semua tidak bisa dibenarkan secara akal sehat, al-Quran sendiri memberikan beberapa kali pengulangan terhadap status kesucian Maryam dari semua perbuatan yang bisa mendatangkan aib baginya.

Bagi wanita yang menjaga kehormatannya …
– Qs. 21 al-anbiyaa : 91

Dan Maryam puteri Imran yang menjaga kehormatannya …
– Qs. 66 at-Tahrim :12

Nama Yusuf si tukang kayu seolah disisipkan untuk membenarkan silsilah keturunan Isa al-Masih atas Nabi Daud, raja bangsa Yahudi dimasa silam, padahal fakta sejarah berbicara bahwa Isa al-Masih tidak dilahirkan atas hubungan phisik Yusuf dan Maryam sehingga penisbatan ini akan menjadi kesia-siaan belaka, apalagi bila terus dirunut maka silsilah tersebut akan saling kontradiksi satu dengan yang lain, dimana menurut Matius pasal 1 ayat 6 Isa al-Masih merupakan benih keturunan dari Nabi Sulaiman sedangkan dalam Lukas pasal 3 ayat 31 dinyatakan Isa al-Masih merupakan benih keturunan dari Natan, saudara Nabi Sulaiman.

Bahkan mengenai silsilah Yusuf situkang kayu itupun terdapat kontradiksi, dimana dalam Lukas pasal 3 ayat 23 disebutkan sebagai putera dari Eli sedangkan menurut Matius pasal 1 ayat 16 dinyatakan sebagai putera dari Yakub.

Eliud memperanakkan Eleazar, Eleazar memperanakkan Matan, Matan memperanakkan Yakub, Yakub memperanakkan Yusuf suami Maria, yang melahirkan Yesus yang disebut Kristus. Jadi seluruhnya ada: empat belas keturunan dari Abraham sampai Daud, empat belas keturunan dari Daud sampai pembuangan ke Babel, dan empat belas keturunan dari pembuangan ke Babel sampai Kristus. – Matius 1 ayat 15 s/d 17

Ketika Yesus memulai pekerjaannya, Ia berumur kira-kira tiga puluh tahun dan menurut anggapan orang, Ia adalah anak Yusuf, anak Eli anak Matat, anak Lewi, anak Malkhi, anak Yanai, anak Yusuf – Lukas 3 ayat 23 s/d 24

Nama dan cerita mengenai diri Yusuf si tukang kayu yang didalam alkitab disebut-sebut sebagai suami Maryam justru sama sekali tidak mendapatkan validitas sedikitpun meski dalam satu ayat didalam kitab al-Qur’an, sebaliknya al-Quran hanya menonjolkan kesucian dan ketokohan pribadi Maryam dan Isa al-Masih.

Kembali pada kisah Maryam diawal pembahasan, hak asuh Maryam ada dibawah pengawasan Nabi Zakaria didalam rumah peribadatan. Sebagai orang yang membesarkan dan mengasuhnya sejak kecil, secara logika, semua kebutuhan sandang pangan Maryam pasti disiapkan oleh Zakaria dan keluarganya, tidak ada kebutuhan-kebutuhan primer dan skunder Maryam terpenuhi secara abrakadabra (terjadi spontanitas bagaikan dalam sulap dan sihir). Tentunya setiap hari kebutuhan akan makanan dan minuman diantarkan kepada Maryam, begitu pula dengan kebutuhan pakaian, obat-obatan dan sebagainya sesuai kebutuhannya selama ia tinggal disana.

Inilah kiranya yang menjadi awal dari keanehan Zakaria terhadap Maryam, sebab setiap kali ia menemuinya dimihrab, Zakaria pasti menemukan makanan lain diluar dari apa yang disiapkan oleh keluarganya, kejadian ini terus berulang dan berulang, sampai akhirnya Zakaria mengajukan pertanyaan kepada Maryam :

Zakariya bertanya : “Hai Maryam dari mana engkau memperolehnya ?” ; Maryam menjawab:”Semuanya itu dari sisi Allah, Allah memberi rezeki kepada siapa yang dikehendaki tanpa pilih kasih.” – Qs 3 ali Imran : 37

Sebelum kita membahas lebih jauh, adalah maklum bagi kita bahwa kalimat jawaban dari Maryam diatas adalah umum sekali. Saat kita mendapatkan rezeki, entah itu berupa makanan, uang, kedudukan dan kesenangan lainnya, kita akan mengatakan bahwa semuanya datang dari sisi Allah. Sehingga kalimat Maryam ini tidak perlu kita tafsirkan pada hal-hal yang bersifat luar biasa dan irrasional. Rasyid Ridha dalam Tafsir al-Manar III/293 menulis sehubungan dengan ayat ini :

“Bahwa ayat tersebut tidak menjelaskan jika rezeki yang datangnya dari sisi Allah itu suatu hal yang mustahil diakal dan menyalahi kebiasaan…..al-Quran diwahyukan kepada Nabi Muhammad adalah suatu kitab yang mudah dan jelas untuk dimengerti oleh siapa saja tanpa menghabiskan tenaga dengan penjabaran yang berbelit-belit atau mempergunakan arti yang menyalahi kebiasaan.”

Kita harus ingat bahwa rumah peribadatan tidak hanya digunakan sebagai tempat melakukan sholat berupa ruku dan sujud semata, namun juga berfungsi sebagai tempat untuk berkumpul, berdakwah dan menyantuni orang-orang yang dalam perjalanan atau mereka-mereka yang tinggal dan mengurus tempat ibadah tersebut sebagaimana berlaku pada kaum sufa dimasjid Madinah pada jaman kenabian Muhammad, hal ini tentunya sudah menjadi kebiasaan yang diwariskan oleh para Nabi dan Rasul sepanjang masa seiring dengan perintah Tauhid dan Sholat itu sendiri (ingat bahwa perintah zakat pun sudah ada sejak sebelum Muhammad menjadi Nabi, bukti bahwa Nabi Ismail dan Nabi Isa al-Masih sendiri sebagaimana disitir oleh al-Qur’an memiliki kewajiban menunaikan zakat.

Dia menjadikan aku orang yang berbakti dimana saja aku berada dan Dia mewajibkan aku Sholat dan zakat selama aku hidup – Qs. 19 Maryam 31

Dan ingatlah cerita mengenai Ismail yang ada didalam kitab, sungguh dia adalah orang yang benar dalam berjanji dan ia salah seorang Rasul dan Nabi, dia menyuruh ahlinya (keluarga dan umatnya) untuk melakukan sholat dan berzakat, dan dia adalah orang yang diridhoi disisi Tuhannya. – Qs. 19 maryam 54 s/d 55

Zakat artinya menyisihkan sedikit bagian dari rezeki yang kita miliki bagi kepentingan orang lain yang memang dirasakan membutuhkannya. Dalam kasus Maryam tadi maka adalah sesuatu hal yang bisa diterima dengan baik apabila rezeki yang ada diterimanya yang menjadi pertanyaan dari Zakaria adalah dari hasil pemberian orang-orang atau jemaah tempat ibadah dimana dia tinggal. Tentunya Zakaria tidak setiap menit berada disisi Maryam sehingga dia mengetahui apa, darimana dan siapa yang memberikannya itu.

Kita harus mampu berpikir luas didalam memahami ayat-ayat al-Qur’an, sebab al-Qur’an bukan seperti buku cerita yang isinya saling sambung menyambung antara satu ayat dengan ayat yang lain, apabila anda melihat terjemahan secara letterlyknya maka ayat-ayat al-Quran pun sering menyatukan satu kalimat yang sebenarnya tidak diucapkan oleh subyek yang sama, dan memang seperti itulah sebagian dari gaya al-Qur’an bercerita. Kita harus melepaskan pemikiran penuh keajaiban dalam roman Harry Poeter, komik Doraemon atau dongeng-dongeng alkitabiah didalam memahami maksud ayat-ayat al-Quran agar bisa menerimanya dengan wajar, mari kita gunakan akal untuk memahaminya.

Akal adalah sebuah perlengkapan manusia yang memiliki nilai yang tinggi. Akal pulalah yang membedakan antara manusia dengan binatang. Pada manusia, akal berfungsi untuk membuat analisa-analisa logis sebagai dasar bagi pengambilan keputusan. Dengan demikian, akal juga memiliki nilai-nilai khusus. Nilai-nilai ini digunakan sebagai sebagai suatu ketetapan-ketetapan. Ketetapan-ketetapan atau hukum-hukum atau penilaian-penilaian yang ditetapkan oleh akal disebut sebagai HUKUM AKAL dalam ilmu tauhid.

Secara singkat hukum akal bisa dibagi dalam tiga bagian yang mendasar, yaitu :

1. WAJIB, yaitu ketetapan akal akan MESTI adanya sesuatu pada sesuatu yang lain. artinya, akal tidak dapat menerima TIDAK ADANYA sesuatu pada sesuatu yang lain itu. Misalnya, secara akal kita telah sepakat bahwa ADANYA TULISAN ini karena ADA yang MENULISnya. Jadi dengan melihatnya adanya sesuatu tulisan, akal menetapkan bahwa PASTI ADA PENULISNYA.

2. MUSTAHIL, yaitu mesti tidak adanya sesuatu pada sesuatu yang lain. Artinya akal tidak dapat menerima ADANYA sesuatu pada sesuatu yang lain.Sebagai contoh adalah tulisan ini pasti tidak ada kalau tidak ada yang menulisnya. Kepastian tidak adanya tulisan ini karena akal telah memiliki nilai bahwa tulisan ini pasti ada yang menulisnya.

3. JAIZ (Mungkin), yaitu boleh jadi adanya sesuatu pada sesuatu yang lain. Artinya, akal dapat menerima ada atau tidak adanya sesuatu pada sesuatu yang lain. Misalnya, untuk sampai kepada anda, tulisan ini bisa jadi diantarkan oleh seorang kurir atau bisa jadi juga bukan kurir yang mengantarkannya. Kalau jaman dahulu orang mengkhayalkan peristiwa Isra dan Mi’raj Nabi seperti seorang ksatria penunggang kuda sembrani terbang menembus langit tinggi, maka boleh jadi jaman sekarang orang bisa mengkhayalkan peristiwa tersebut tidak ubahnya seperti seorang astronot didalam pesawat berkecepatan tinggi.

Kisah hamilnya Maryam tanpa proses perkawinan dan hubungan phisik laki-laki dengan wanita tidak bisa dijustifikasi sebagai hal yang diluar nalar, sebab pemikiran seperti ini akan mengantarkan pada penafsiran model Kristen Trinitas yang karena jumudnya berpikir akhirnya menganggap Isa al-Masih sebagai anak Tuhan yang lahir tanpa bapak jasmani.

Ilmu kedokteran modern sudah berhasil menjelaskan proses Parthenogenesis, yaitu kehamilan tanpa proses pembuahan oleh sperma laki-laki. Istilah Parthenogenesis sendiri berasal dari bahasa Yunani (greek) : Partheno-genesis παρθενος, “perawan”, + γενεσις, “kelahiran/lahir”). Proses ini kurang lebih memiliki persamaan dengan model asexual reproduction. (Informasi lengkap silahkan baca di Wikipedia online : http://en.wikipedia.org/wiki/Parthenogenesis).

Memang proses Parthenogenesis ini lebih banyak terjadi dalam dunia hewan akan tetapi beberapa kali juga pernah terjadi pada manusia sebagaimana dilansir oleh majalah Kartini no.5 tahun 1975 halaman 32 :

“Pada tanggal 30 September tahun lalu, lahirlah anak perempuan saya melalui pembedahan Keizersnee, seorang bayi cantik gemuk dengan mata biru seperti mata saya, dengan rambut sawo matang seperti rambut saya dan halus seperti kulit saya juga.

Dokter spesialis mengatakan bahwa dia segera akan melakukan penyelidikan medis terhadap saya dan anak saya itu. Dan pada akhir Desember, dokter memberitahukan sesuatu yang penting kepada saya : “Nona Young,” katanya: “Anda ini dapat dikatakan sebagai suatu keajaiban medis. Anda merupakan kejadian yang ketiga kalinya dalam sejarah ilmu pengobatan dimana dengan pasti dapat ditentukan tentang terjadinya suatu parthenogenese.” ; Suatu PARTHENOGENESE ialah suatu kelahiran perawan. Seorang wanita menjadi hamil tanpa ada hubungan seks dengan seorang pria. Itu pernah terdapat di Jerman pada tahun 1945 dan sebelum itu juga di Brazilia.”

Adapun bagaimana detil proses kehamilan secara Parthenogenesis ini bukan pada tempatnya untuk dijabarkan panjang lebar disini, poin terpenting yang akan kita ambil adalah fakta bahwa karya besar Tuhan pada dasarnya tidak lepas dari unsur ilmiah dan kausalita sebagaimana juga misalnya Dia menciptakan alam semesta yang menurut firman-Nya jauh lebih rumit proses pembuatannya yang menggunakan proses dan waktu secara alamiah, dan memang seperti itulah makna Kun Fayakunnya Allah, bertujuan untuk pembelajaran bagi kreatifitas berpikir manusia.

Kamu sekali-kali tiada akan mendapati perubahan pada sunnah Allah. – Qs. 33 al-Ahzaab : 62

Jika memang ada suatu hal yang belum bisa terpecahkan saat ini, itu pasti hanya menunggu waktu saja, Allah akan membuka rahasia-rahasia tersebut melalui perjalanan tahapan ilmu pengetahuan dan cara berpikir manusianya. Ini juga kiranya kenapa Allah menurunkan wahyu dalam dua model, yaitu muhkamat dan mutasyabihat atau wahyu yang jelas dan tegas serta wahyu yang memerlukan penafsiran lebih luas dan membutuhkan ilmu pengetahuan serta teknologi dalam menganalisanya.

Dia-lah yang menurunkan Kitab kepada kamu. Di antaranya ada ayat-ayat yang muhkamat itulah pokok-pokok isi al-Qur’an, dan yang lain mutasyaabihaat. Adapun orang-orang yang dalam hatinya condong kepada kesesatan, maka mereka mengikuti sebahagian ayat-ayat yang mutasyabihat untuk menimbulkan fitnah /perselisihan/ dan untuk mencari-cari pengertiannya, padahal tidak ada yang mengetahui pengertiannya melainkan Allah serta orang-orang yang mendalam ilmunya. Katakanlah:”Kami beriman kepada yang semua ayat-ayatnya itu dari sisi Tuhan kami”. Dan tidak dapat mengambil pelajaran melainkan orang yang mau memikirkan. – Qs. 3 ali Imran :7

Sebagaimana sebelumnya pernah saya postingkan seri artikel LE Qur’an Et La Science 1 s/d 8, bahwa terbukti ayat-ayat al-Quran sangat penuh dengan ilmu pengetahuan dan memang meskipun al-Quran sendiri bukan buku manual cara mendesain pesawat atau membuat hujan buatan namun al-Quran sudah mendirikan dasar bagi kreatifitas berpikir dan mengolah ilmu pengetahuan Allah untuk bekal sebagai Khalifah-Nya dibumi.

Kami akan memperlihatkan kepada mereka tanda-tanda Kami di segenap ufuk dan pada diri mereka sendiri, sehingga jelaslah bagi mereka kebenaran itu. – Qs. 41 Fushilaat :53

Orang yang mengatakan Islam bukan agama ilmu pengetahuan tidak ubahnya dengan orang yang berjilbab tetapi memakai rok mini dibagian kakinya, dia belum mengenal Islam dengan sebenarnya, menutup matanya hanya karena dia tidak mampu dan tidak memiliki keberanian untuk berpikir realistis terhadap keyakinannya kecuali hanya bersikap jumud dan taklid buta, padahal ini sudah ditentang Allah sendiri :

Dan janganlah kamu mengikuti apa yang kamu tidak mempunyai pengetahuan tentangnya. sesungguhnya pendengaran, penglihatan dan hati, semuanya itu akan diminta pertanggunganjawabnya. Qs. al-Israa 17:36

Dan tidak ada seorangpun akan beriman kecuali dengan izin Allah; dan Allah menimpakan kemurkaan kepada orang-orang yang tidak mempergunakan akalnya. – Qs. 10:100

Sementara bagi mereka diluar Islam yang mengabaikan kebenaran absolut dari Allah disinggung melalui ayat-Nya :

“Maka apakah mereka tidak berjalan di muka bumi, lalu mereka mempunyai hati yang dengan itu mereka dapat memahami atau mempunyai telinga yang dengan itu mereka dapat mendengar Karena sesungguhnya bukanlah mata itu yang buta, tetapi yang buta, ialah hati yang di dalam dada.”
(Qs. 22:46)

“Dan sesungguhnya Kami telah menjadikan isi neraka itu beberapa banyak dari Jin dan manusia, yang mempunyai hati tetapi tidak untuk mengerti dengannya, mempunyai mata tidak untuk melihat dengannya dan mempunyai telinga tidak dipergunakan untuk mendengarkan; mereka itu seperti binatang, malah mereka lebih sesat.” (Qs. 7:179)

Kembali kita pada kisah Maryam, bahwa kehamilannya secara Parthenogenesis tanpa melalui pernikahan sudah menjadi kehendak Allah yang Maha berkehendak, Allah tidak berlaku zalim kepadanya dengan semua kejadian tersebut tetapi justru ini yang membuat derajat Maryam lebih tinggi dihadapan Tuhannya.

Hai Maryam, sesungguhnya Allah telah memlih kamu, mensucikan kamu dan melebihkan kamu atas segala wanita di dunia – Qs. 3 ali Imran : 42

Saat dia sedang berada dimihrab, malaikat Jibril datang mendekatinya menjelma dalam perwujudan laki-laki sehingga Maryam yang memang sebelumnya sangat menjaga dirinya itu menjadi terkejut dan merasa takut, khawatir jika laki-laki tersebut akan berbuat sesuatu yang tidak senonoh padanya.

“Lalu Kami mengutus roh Kami kepadanya, maka ia menjelma di hadapannya sebagai manusia yang sempurna” ; Maryam berkata: “Sesungguhnya aku berlindung dari dirimu kepada Tuhan Yang Maha Pemurah, jika kamu orang yang takut terhadap Tuhan …! Dia (malaikat) menjawab : Aku ini adalah utusan Tuhanmu, untuk memberimu seorang anak laki-laki yang suci ..! Maryam berkata : Bagaimana mungkin aku bisa memiliki anak laki-laki sedangkan aku tidak pernah disentuh siapapun dan aku juga bukan seorang tukang zina? Dia (malaikat) menjawab : Seperti itulah kehendak Tuhanmu, Dia berkata : Hal ini mudah untuk-Ku dan agar Kami jadikan peristiwa ini sebagai tanda untuk manusia dan rahmat dari sisi Kami, dan ini semua sudah ditetapkan. Maka Maryampun mengandungnya dan ia menyisihkan dirinya berikut kehamilannya itu ketempat yang jauh. – Qs. 19 maryam 18 s/d 22

Kisah diatas bisa ditemui dengan sedikit perbedaan didalam alkitab :

Dalam bulan yang keenam Allah menyuruh malaikat Gabriel pergi ke sebuah kota di Galilea bernama Nazaret, kepada seorang perawan yang bertunangan dengan seorang bernama Yusuf dari keluarga Daud; nama perawan itu Maria.
Ketika malaikat itu masuk ke rumah Maria, ia berkata: “Salam, hai engkau yang dikaruniai, Tuhan menyertai engkau.” Maria terkejut mendengar perkataan itu, lalu bertanya di dalam hatinya, apakah arti salam itu.
Kata malaikat itu kepadanya: “Jangan takut, hai Maria, sebab engkau beroleh kasih karunia di hadapan Allah. Sesungguhnya engkau akan mengandung dan akan melahirkan seorang anak laki-laki dan hendaklah engkau menamai Dia Yesus. Ia akan menjadi besar dan akan disebut Anak Allah Yang Mahatinggi. Dan Tuhan Allah akan mengaruniakan kepada-Nya takhta Daud, bapa leluhur-Nya, dan Ia akan menjadi raja atas kaum keturunan Yakub sampai selama-lamanya dan Kerajaan-Nya tidak akan berkesudahan.”
Kata Maria kepada malaikat itu: “Bagaimana hal itu mungkin terjadi, karena aku belum bersuami?” Jawab malaikat itu kepadanya: “Roh Kudus akan turun atasmu dan kuasa Allah Yang Mahatinggi akan menaungi engkau; sebab itu anak yang akan kaulahirkan itu akan disebut kudus, Anak Allah. – Lukas 1 ayat 26 s/d 35

Istilah anak Allah pada ayat tersebut tidak bisa diartikan sebagai anak dalam wujud phisik sebagaimana berlaku pada manusia dengan manusia, sebab dalam alkitab, baik itu Perjanjian Lama maupun Perjanjian Baru penyebutan manusia sebagai anak Allah ataupun sebaliknya penyebutan Bapa terhadap Tuhan sebagai sesuatu hal yang lumrah, sebab itu hanya bersifat metafora bukan dalam makna sesungguhnya.

Maka engkau harus berkata kepada Firaun : Beginilah firman TUHAN : Israel ialah anak-Ku, anak-Ku yang sulung; sebab itu Aku berfirman kepadamu: Biarkanlah anak-Ku itu pergi, supaya ia beribadah kepada-Ku
– Perjanjian Lama : Kitab Keluaran 4 : 22-23

Aku akan memimpin mereka ke sungai-sungai, di jalan yang rata, di mana mereka tidak akan tersandung; sebab Aku telah menjadi bapa Israel – Perjanjian Lama : Kitab Yeremia 31 : 9

Hai anakku, janganlah engkau menolak didikan TUHAN, dan janganlah engkau bosan akan peringatan-Nya. Karena TUHAN memberi ajaran kepada yang dikasihi-Nya, seperti seorang ayah kepada anak yang disayangi. – Perjanjian Lama : Kitab Amsal 3:11-12

Maka Yesuspun mulai berbicara dan mengajar mereka, katanya :… Berbahagialah orang yang membawa damai, karena mereka akan disebut anak-anak Allah. – Perjanjian Baru : Kitab Injil Matius 5: ayat 2 dan 9

Tetapi semua orang yang menerimanya diberinya kuasa supaya menjadi anak-anak Allah, yaitu mereka yang percaya dalam namanya – Perjanjian Baru : Kitab Injil Yohanes 1:12

Dengan demikian istilah “Anak ALLAH” ditujukan bagi orang yang senantiasa membawa perdamaian ditengah masyarakat dan orang yang beriman kepada Tuhan dan Rasul-Nya, lebih jauh dia juga memaknainya bukan dalam arti hubungan darah atau jasmani biologis, akan tetapi hanya sebagai simbol kedekatan Tuhan dengan para hamba-Nya.

Supaya mereka semua menjadi satu, sama seperti Engkau, ya Bapa, di dalam aku dan aku di dalam Engkau, agar mereka juga di dalam kita, supaya dunia percaya, bahwa Engkaulah yang telah mengutus aku Dan aku telah memberikan kepada mereka kemuliaan yang Engkau berikan kepadaku, supaya mereka menjadi satu, sama seperti kita adalah satu Aku di dalam mereka dan Engkau di dalam aku supaya mereka sempurna menjadi satu agar dunia tahu, bahwa Engkau yang telah mengutus aku dan bahwa Engkau mengasihi mereka, sama seperti Engkau mengasihi aku. – Perjanjian Baru : Kitab Injil Yohanes 17 : 21-23

Ayat-ayat Injil diatas jelas sekali menceritakan kepada kita bahwa Nabi ‘Isa berkeinginan agar para sahabatnya memiliki hubungan yang dekat kepada sang Maha Pencipta sebagaimana kedekatan dirinya terhadap Tuhan dan pada kesempatan lain, beliau juga memberi penegasan bahwa dirinya hanyalah seorang Rasul Tuhan dan bukan Tuhan itu sendiri.

Demikianlah kata Yesus. Lalu Ia menengadah ke langit dan berkata : … Inilah hidup yang kekal itu, yaitu bahwa mereka mengenal Engkau, satu-satunya Allah yang benar, dan mengenal Yesus Kristus yang telah Engkau utus. – Perjanjian Baru : Kitab Injil Yohanes 17:3

Jawab Yesus: Hukum yang terutama ialah : Dengarlah, hai orang Israel, Tuhan Allah kita, Tuhan itu Esa. – Perjanjian Baru : Kitab Injil Markus 12:29

Rasa sakit pada perutnya menjelang melahirkan memaksa Maryam mengasingkan dirinya keluar dari tempat peribadatan yang selama ini ditempatinya.

Maka karena merasa sakit dikala akan melahirkan anaknya, memaksa ia menuju kepangkal pohon korma, seraya berkata : ‘Aduhai, alangkah baiknya jika aku mati saja sebelum melahirkan ini sehingga aku akan menjadi sesuatu yang tidak berarti dan akan dilupakan..! – Qs. 19 Maryam : 23

Ayat ini menjelaskan kepada kita mengenai penderitaan Maryam saat itu, dia seorang diri menjelang proses kelahiran anaknya, rasa sakit yang ia tanggung telah membangkitkan rintihan menyayat hati dan belas kasihan siapapun yang mampu merasakannya. Dua kali istri saya melahirkan anak, dan dua kali itu juga saya telah menyaksikan betapa sakitnya detik-detik menjelang proses persalinan tiba, inilah kenapa kita harus sangat mengasihi wanita, mencintai mereka dengan sepenuh hati, tidak membentak atau mengasari kaum wanita, penderitaan kita sebagai laki-laki yang mencari nafkah belum sebanding dengan apa yang mereka rasakan untuk melahirkan kita kedunia. Belum lagi sakit bulanannya yang selalu mendatangi, penat mengurus rumah tangga, bangun diwaktu malam untuk memberi susu pada anaknya, melayani suaminya bahkan sampai ada pula yang ikut mencari rezeki membantu sang suami menafkahi keluarga. Sungguh bila ada laki-laki yang zalim terhadap wanita, menyakiti hati mereka, mengasari tubuhnya maka ia tidak layak disebut sebagai manusia beragama bahkan mungkin dia justru tidak layak disebut sebagai manusia. Tidak salah bila Nabi bersabda syurga itu ada ditelapak kaki ibu. Maryam memang pantas dijadikan teladan bagi wanita manapun, setelah dia mengeluh atas rasa sakitnya, dia sadar bahwa semuanya terjadi atas keinginan Allah, dan manakala dia melihat kesekitar tempatnya berada dia membatin.

Maka ia diseru dari arah yang lebih rendah : ‘Jangan engkau berduka cita, Allah sudah menyiapkan bagimu sebuah mata air dan beristirahatlah dibawah pohon korma itu, disana akan berguguran buah-buahnya yang masak, maka makan dan minumlah serta bersenang hatilah engkau.; Jika engkau bertemu dengan seseorang maka jawablah bahwa aku sementara ini bernazar kepada Yang Maha Pengasih untuk diam, karenanya aku tidak akan berbicara dengan siapapun.’ – Qs. 19 Maryam : 24 s/d 26

Ayat ini pada konteks aslinya menggunakan kata TAHTI yang memiliki arti DIBAWAH, dan pada ayat ke-24 diatas maksudnya panggilan suara itu datangnya dari bawah sadarnya, seolah ia mendapat ilham ilahi yang menggerakkan dirinya untuk tidak terus larut dalam kesedihan. Memang ada sebagian mufassir memahaminya sebagai seruan malaikat kepadanya, namun ayat tersebut sama sekali tidak menunjukkan akan kehadiran malaikat menjelang proses persalinan itu.

Sedangkan istilah HUZZI ILAIKI sebagian penterjemah al-Quran memahaminya dengan menggoyang pohon korma namun menurut saya kita pun bisa memahami kata tersebut dengan arti bersandar atau beristirahat sebab kata HUZZI disambung dengan kata ILAA. Dari ayat ini bisa pula dipahami bahwa Isa al-Masih lahir pada awal musim gugur karena buah dan daun korma yang menjadi tempat sandaran Maryam berjatuhan saat itu, jadi sekitar tanggal 21 September hingga 21 Desember, sebab diakhir musim gugur didaerah Palestina dan sekitarnya tanggal 21 Desember buah-buahan dan daun-daunan tidak lagi rontok sebab sudah habis dan harus menunggu mulai musim dingin yaitu kurang lebih tanggal 21 Desember hingga 21 maret.

Dengan demikian Isa al-Masih lahir antara bulan September atau Nopember, tidak sebagaimana dongeng yang ada ditengah umat Kristen bahwa kelahirannya pada tanggal 25 Desember dan diperingati sebagai hari Natal. Untuk itu tidak ada yang namanya hari Natal, itu adalah perbuatan yang sama sekali tidak berdasarkan sejarah dan fakta, karenanya pula mengucapkan selamat Natal pada orang Kristen Trinitas tentu saja otomatis tidak dapat dibenarkan dalam aspek apapun.

Toleransi bisa diterima jika itu sesuai dengan fakta dan sejalan dengan nilai-nilai Tauhid Islam namun kasus Natal adalah kasus dimana orang Kristen Trinitas menganggapnya sebagai hari lahir Tuhan si juru selamat, dan jelas ini bertentangan dengan prinsip Qiyamuhu Binafsihi atau Lam Yalid Walam Yulad-nya Allah. Islam tidak memberikan tempat bagi penuhanan Yesus Kristus, Islam tidak memberikan ruang bagi penuhanan bunda Maria, penuhanan bagi Muhammad, bagi al-Quran dan sebagainya, karena itu : say no to other god ! say no to merry Chrismast. ini hanya memperbodoh diri kita saja, memperbudak akal dengan dalih toleransi dan membangkitkan amarah Allah terhadap bentuk penyekutuan terselubung. Toleransi tidak harus dengan saling mengirim selamat, atasan saya dikantor adalah orang Katholik, tetangga saya pun orang Kristen Trinitas, namun itu tidak membuat saya harus berkata : selamat natal kepada mereka.; al-Quran memberikan contoh yang lebih kompleks, lebih dari sekedar hubungan antar teman, antar atasan atau antar tetangga :

Dan Kami wajibkan manusia berbuat baik kepada dua orang ibu-bapaknya.Dan jika keduanya memaksamu untuk mempersekutukan Aku dengan sesuatu yang tidak ada pengetahuanmu tentang itu, maka janganlah kamu mengikuti keduanya. – Qs. 29 al-Ankabut :8 Katakanlah:”Inilah jalanku, aku dan orang-orang yang mengikutiku mengajak kepada Allah dengan alasan yang jelas, Maha Suci Allah, dan aku tidak termasuk orang-orang yang musyrik” ! – Qs. 12 Yusuf :108 Mereka tidak akan mengikuti kiblatmu, dan kamu pun tidak akan mengikuti kiblat mereka, dan sebagian dari mereka pun tidak mengikuti kiblat sebagian yang lain. Dan sesungguhnya jika kamu mengikuti keinginan mereka setelah datang ilmu kepadamu, sesungguhnya kamu kalau begitu termasuk golongan orang-orang yang zalim. – Qs. 2 al-Baqarah: 145

Setelah persalinan usai, Maryam dengan tertatih-tatih menggendong bayinya untuk kembali kekampung halamannya, Nazaret, dan sesuai nazar sebelumnya bahwa dia tidak akan bercakap-cakap kepada siapapun apabila bertemu baik mengenai dirinya maupun status anaknya itu. Ini bisa kita maklumi, betapa berat beban yang harus ia terima atas sikap kaumnya saat mereka mengetahui dirinya melahirkan tanpa melalui pernikahan, mereka pasti akan menuduhnya berbuat zina dan sejenisnya, melayani perkataan mereka hanya akan menimbulkan keributan yang menyakitkan hatinya. Dugaan ini ternyata benar adanya …

Maryam menggendong bayinya menuju kepada keluarganya, ‘ Hei Maryam ! Engkau sudah melakukan hal yang keji. Wahai saudara Harun, ayahmu bukan orang yang jahat dan ibumu pun bukan seorang pelacur ! ; Tetapi Maryam hanya menunjuk kepada anaknya. Maka mereka bertanya kembali : ‘Bagaimana mungkin kami bisa bertanya kepada seorang bayi yang masih dalam buaian ?’. – Qs. 19 Maryam : 27 s/d 29

Sepanjang sejarah kenabian, ada beberapa orang yang sudah diutus oleh Allah untuk menjadi Nabi sejak kecil atau saat mereka masih berada dalam asuhan orang tuanya. Misalnya Nabi Yahya.

Hai Yahya, ambillah kitab itu dengan sungguh-sungguh dan Kami berikan hukum kepadanya semenjak kecil – Qs. 19 Maryam : 12

Dalam terjemahan al-Quran versi Departemen Agama RI pada catatan kaki no 599 dituliskan sebagai penjelas ayat ini : ‘Pelajarilah Taurat itu dan amalkanlah isinya dan sampaikanlah kepada umat.’ ; Artinya Nabi Yahya sudah diutus menjadi Rasul sejak masih anak-anak hingga wafatnya. Kata MAHD dan KAHL oleh sebagian mufasirin diterjemahkan sebagai keadaan bayi merah yang baru lahir, akan tetapi jika kita lihat bahwa kata ini dirangkai dengan kata YUKALLIMU yang memiliki arti “berkata-kata dihadapan manusia” tentunya ini maksudnya adalah menyampaikan risalah, bertabligh atau berdakwah. Kata serupa juga bisa ditemui dalam kasus Nabi Zakaria.

Allah berfirman kepada Zakaria : Adapun yang menjadi tanda untukmu adalah engkau tidak akan berkata-kata dihadapan manusia (berdakwah) selama tiga malam berturut-turut.’ – Qs. 19 Maryam : 10

Ayat diatas menggunakan kata YUKALLIMUNNASA artinya Zakaria selama tiga hari tiga malam tidak bertabligh dihadapan umum sebagai pertanda bahwa dirinya akan mendapatkan karunia seorang putera sebagaimana doanya kepada Allah. Bila Isa al-Masih disebutkan telah berkata-kata saat masih berupa bayi merah 0 hari, maka ini akan menentang hukum kausalita Tuhan, padahal dari persamaan kasus Zakaria diatas kita bisa menyimpulkan bahwa Isa al-Masih mulai melakukan dakwah dihadapan manusia sejak ia masih anak-anak, bukan saat ia masih berbentuk orok.; Jikapun Isa al-Masih berkata-kata dalam kondisi bayi merah, maka kalimat pada ayat tersebut akan berbunyi YATAKALLMU atau TATAKALLAMU. Muhammad Abduh dalam tafsir al-Manar III/307 menjelaskan :

Kata KAHL adalah seorang lelaki yang gagah perkasa, tidak terbatas pada umur tertentu, sedang kata MAHD ditujukan kepada orang yang sudah bisa berkata-kata, yaitu yang sudah berumur setahun keatas. Sedangkan orang yang usianya dibawah satu tahun tidak termasuk dalam pengertian MAHD ini. Apalagi diayat tersebut kata MAHD dilanjutkan dengan kata ANNAAS (manusia), sehingga mengandung pengertian yang diucapkan Isa al-Masih adalah perkataan yang bisa dimengerti oleh manusia, sebab perkataan bayi merah tidak mungkin bisa dipahami.

Dus, ucapan orang-orang terhadap Maryam saat ia menunjuk bayinya : ‘Bagaimana mungkin kami bisa bertanya kepada seorang bayi yang masih dalam buaian ?’. kata buaian dalam teks tersebut adalah SHABIYYA bukan MAHD, sedangkan arti SHABIYYA adalah bayi, dan ini tidak sinonim dengan MAHD (berada dalam asuhan). Mari kita lihat juga ucapan Isa al-Masih :

Ia berkata : aku ini adalah hamba Allah, diberi kitab dan dijadikan seorang Nabi, aku diberkati dimanapun berada serta diperintahkan untuk Sholat dan mengeluarkan zakat sepanjang hidupku, berbakti kepada ibuku dan aku juga tidak diperintahkan menjadi orang yang durhaka dan sombong. Kesejahteraan semoga dilimpahkan atas diriku, saat aku lahir, mati dan saat aku dibangkitkan kembali (dihari kiamat).’ ; Itulah Isa putera Maryam, yaitu ucapan yang haq …- Qs. 19 Maryam 30 s/d 34

Sekarang, dari perkataan Isa tersebut : 1. Tidak mungkin seorang bayi bisa melakukan sholat dan mengeluarkan zakat 2. Tidak mungkin seorang bayi berlaku sombong dan durhaka kepada ibunya Kedua poin diatas tidak bisa ditujukan kepada seorang bayi yang baru lahir, namun lebih tepat dinisbahkan kepada seorang yang sudah lebih dewasa, paling tidak usianya tidak dibawah 1 tahun apalagi 0 hari. Bila kita meninjau lagi kedalam alkitab, akan kita dapati informasi bahwa Isa al-Masih memang pernah menyampaikan risalah Tuhan sejak ia masih anak-anak :

Dan setelah selesai semua yang harus dilakukan menurut hukum Tuhan, kembalilah mereka ke kota kediamannya, yaitu kota Nazaret di Galilea.
Anak itu bertambah besar dan menjadi kuat, penuh hikmat, dan kasih karunia Allah ada padanya. Tiap-tiap tahun orang tua Yesus pergi ke Yerusalem pada hari raya Paskah. Ketika Yesus telah berumur dua belas tahun pergilah mereka ke Yerusalem seperti yang lazim pada hari raya itu.
Sehabis hari-hari perayaan itu, ketika mereka berjalan pulang, tinggallah Yesus di Yerusalem tanpa diketahui orang tuanya.
Karena mereka menyangka bahwa Ia ada di antara orang-orang seperjalanan mereka, berjalanlah mereka sehari perjalanan jauhnya, lalu mencari dia di antara kaum keluarga dan kenalan mereka. Karena mereka tidak menemukan Dia, kembalilah mereka ke Yerusalem sambil terus mencari dia. Sesudah tiga hari mereka menemukan dia dalam Bait Allah; Ia sedang duduk di tengah-tengah alim ulama, sambil mendengarkan mereka dan mengajukan pertanyaan-pertanyaan kepada mereka. Dan semua orang yang mendengar dia sangat heran akan kecerdasannya dan segala jawab yang diberikannya
– Lukas 2 ayat 39 s/d 47

Akhirnya, semuanya kembali kepada kita, apa dan bagaimana cara memahami al-Quran berikut kisah-kisah yang ada didalamnya …

Http://tausyah.wordpress.com