Posts Tagged ‘Jesus’

Kontroversi Trinitas

oleh : Armansyah

Banyak hal sudah terjadi pada masa lalu sehubungan dengan perbedaan sudut pandang terhadap konsep Trinitas yang berakhir dengan pembantaian terhadap mereka yang menolak doktrin tersebut.

Berikut beberapa tokoh anti-Trinitas yang hidupnya harus berakhir secara mengenaskan itu.

1. Iranaeus (130-200 M), dia lahir disaat ajaran Kristen Antiokia sudah menyebar ke Afrika Utara, Spanyol hingga ke Prancis Selatan. Tidak banyak catatan sejarah mengenai asal-usul dan kedewasaannya, sejarah mulai mencatat masa dimana Iranaeus membawa surat petisi dari Uskup Lyons Pothinus kepada Paus Elutherus di Roma.

Petisi itu berupa permohonan Pothinus kepada Paus untuk menghentikan pengejaran, penyiksaan dan pembunuhan terhadap orang-orang Kristen yang tidak menyetujui doktrin gereja Pauline.

Ketika masih berada di Roma, Iranaeus mendapat berita bahwa semua orang Kristen yang tidak sepaham dengan Paulus yang ada di Lyons Antiochia termasuk uskup Pothinus sendiri telah tewas dibunuh. Dan pada waktu kembali ke Lyons, Iranaeus menggantikan Ponthinus untuk menjabat sebagai uskup dinegrinya.

Ditahun 190 M, Iranaeus sendiri menulis surat kepada Paus Victor agar menghentikan pembantaian terhadap orang-orang Kristen yang dibunuh karena keyakinan mereka yang berbeda dengan keyakinan gereja Paulus.

Cerita lama kembali terulang, Iranaeus sendiri terbunuh pada tahun 200 M karena tidak bersedia mengikuti keyakinan Paus, Iranaeus hanya beriman dan mengakui kepada satu Tuhan, yaitu Allah, dan dia mendukung pengajaran kemanusiaan Jesus yang diangkat oleh Allah menjadi utusan-Nya.

Iranaeus banyak melakukan kritikan terhadap Paulus karena dianggapnya sebagai orang yang paling bertanggung jawab didalam memasukkan doktrin-doktrin dari agama berhala dan filsafat Plato kedalam ajaran sejati Jesus.

Didalam bukunya, “Universalism The Prevailing Doctrine Of The Christian Church During Its First Five Hundred Years” ditulis oleh J.W. HANSON, D. D menyatakan mengenai Iranaeus ini sebagai berikut :

In a germinal form of the Apostle’s Creed, Irenæus, A.D. 180, says that the judge, at the final assize, will cast the wicked into aionian fire. It is supposed that he used the word aionian, for the Greek in which he wrote has perished, and the Latin translation reads, “ignem aeternum.”

2. “Tertullian” (160-220 M), dia adalah seorang penduduk asli Carthage (Kartago).
Tertullian sebagaimana juga dengan Iranaeus, meyakini ke-Esaan Allah dan mengidentifikasikan Jesus sebagai juru selamat (Messiah) bangsa Yahudi. Dia menentang Paus Callistus karena mengajarkan “dosa asal” telah diampuni setelah melaksanakan penebusan dosa resmi dibawah gereja.

Tertullian menekankan tentang kesatuan jiwa dan eksistensi dan mengatakan bahwa orang-orang yang sehat akalnya pasti meyakini bahwa Jesus hanyalah manusia belaka.

Paus Callistuslah yang memperkenalkan istilah “Trinitas” kedalam tulisan-tulisan “ecclesiastical” (gerejawi) Latin ketika ia membahas doktrin baru yang aneh tersebut. Istilah Trinitas sendiri sama sekali tidak pernah digunakan dalam kitab-kitab suci.

3. “Origen” (185-254 M). Ayahnya bernama “Leonidas” dan mendirikan pusat pendidikan teologi dengan mengangkat seorang guru Teologi terkemuka bernama Clement sebagai kepala lembaga tersebut. Origen sendiri mendapatkan pendidikan ditempat itu.

Leonidas adalah seorang pengikut Kristen Apostolik, yaitu ajaran monotheisme (ke-Esaan Tuhan) dan mengakui kehambaan dari Jesus.

Sebagaimana kita tahu, gereja Paulus tidak mau menerima kepercayaan seperti yang dipegang oleh Leonidas ini, dan sebagai konsekwensinya pada tahun 208 Leonidas tewas dibunuh oleh orang-orang Paus.

Karena merasa dirinya juga terancam, Clement segera meninggalkan Alexandria. Dan sebagai gantinya, Origen meneruskan kepemimpinan Clement sebagai kepala sekolah Teologi.

Pada tahun 230 M, Origen dinobatkan sebagai seorang Pendeta di Palestina, namun karena Origen telah mengajarkan konsep Monotheisme didalam gereja, Uskup Demerius akhirnya memecat Origen dan mengusirnya dari gereja (persis seperti yang dinubuatkan Jesus dalam Yoh 16:1-3 -pen).

Origen mengungsi ke Caesarea dan mendirikan pusat pendidikan Teologi ditempat itu pada tahun 231 M yang akhirnya membawa nama harum kepadanya.

Jerome, seorang penulis Injil pertama dalam bahasa Latin, pada mulanya merupakan orang yang sangat mendukung Origen, namun akhirnya Jerome berbalik kepada gereja Paulus dan menarik garis permusuhan terhadap Origen.

Jerome berusaha agar Origen mendapatkan kecaman dan pengadilan dari gereja setempat, namun popularitas Origen terlampau besar dan tidak memungkinkan bagi Uskup John untuk melakukannya, sehingga atas rencananya ini mengakibatkan Jerome sendiri tersingkir dari kalangan gereja.

Namun pada tahun 250 M, Origen dikecam oleh Konsili Alexandria dan dijebloskan kedalam penjara serta mendapatkan penyiksaan yang terus menerus oleh pihak gereja Paulus sehingga mengakibatkan kematiannya pada tahun 254 M.

Origen telah menulis sekitar 600 buah karangan dan risalah. Dia adalah salah seorang yang paling berperan dalam sejarah gereja dan telah gugur sebagai seorang syuhada yang membela ajaran Allah sejati.

Dimasa mudanya sampai menjelang akhir hayatnya, Origen tetap mempertahankan pengajaran ke-Esaan Tuhan (The Unity of God), meyakini bahwa hanya Allah saja yang berkuasa dan Jesus adalah manusia biasa dan hamba Allah, bukan Allah itu sendiri.

4. “Diodorus”, seorang Uskup yang berasal dari negri Tarsus, tanah kelahiran Paulus.
Diodorus merupakan tokoh Kristen terkemuka di Antiochia, dia berpendapat bahwa dunia ini selalu berubah-ubah, perubahan itu sudah ada sejak dahulu. Dan itu menunjukkan ada sesuatu yang tetap dibalik perubahan itu.

Lebih jauh lagi, keberagaman eksistensi dan kebijaksanaan yang diperlihatkan dalam setiap proses perubahan itu sendiri, menunjukkan terhadap kesatuan asal yang mendasarinya dan memperlihatkan kehadiran Sang Pencipta dan Pemelihara. Inilah menunjukkannya adanya satu Pencipta Yang Maha Esa.

Diodorus menekankan sifat kemanusiaan secara menyeluruh dalam diri Jesus yang memiliki jiwa manusia dan daging manusia, tidak ada unsur ketuhanan sama sekali.

5. “Lucian”, seorang yang dikenal keluasan ilmunya terhadap bahasa Ibrani dan Yunani. Lucian tidak menginduk terhadap salah satu gereja dari tahun 220 sampai 290 M. Pengajaran Lucian adalah Monotheisme, yaitu pengesaan Allah dalam segala bentuk-Nya.

Lucian percaya kepada penafsiran gramatikal dan literal (sesuai dengan bunyi lahir suatu kata) dari kitab-kitab suci (Bible). Dia menentang kecenderungan untuk mencari-cari makna symbolis dan kiasan dari teks-teks Injil, dan percaya kepada suatu pendekatan empiris dan kritis terhadap kitab-kitab tersebut. Dia mengatakan bahwa dengan mencari-cari makna symbolis tersebut, dapat berakibatkan dengan penambahan dan pengurangan pada Injil yang berarti hilangnya kemurnian ajaran Jesus.

Lucian menghilangkan perubahan-perubahan yang terjadi pada kitab Injil yang diterjemahkan kedalam bahasa Yunani (Septuaginta), beliau telah mengadakan revisi terhadap empat Injil yang menjadikannya berbeda dengan Injil-Injil yang dipergunakan oleh gereja Paulus.

Lucian menolak paham trinitas dan sebaliknya begitu menekankan ajaran Tauhid, bahwa hanya Allah saja Tuhan alam semesta yang patut disembah, sedangkan Jesus hanyalah manusia biasa yang diangkat menjadi Utusan-Nya.

Atas sikapnya ini, Lucian menjalani penyiksaan dari pihak gereja Paulus dan dihukum mati pada tahun 312 M.

Perselisihan pendapat terbesar di kalangan pemikir Trinitas yang akhirnya menjadi satu legenda menyangkut dunia ketuhanan Kristen adalah kontroversi ‘Aryan Heresy’ atau pernyataan anti-trinitas yang dikemukakan oleh Arius (256-336 M).

Arius adalah salah seorang murid utama Lucian berkebangsaan Lybia yang juga pernah bersama-sama dengan gurunya menegakkan Monotheisme, Arius sendiri merupakan seorang presbyter (ketua majelis gereja) digereja Baucalis Alexandria, salah satu gereja tertua dan terpenting dikota itu pada tahun 318 M.

Sejak wafatnya Lucian pada tahun 312 M ditangan orang-orang gereja Paulus, perlawanan Arius terhadap doktrin Trinitas semakin mengkristal, dan dalam perjuangannya ini, Arius justru mendapatkan dukungan dari dua orang saudari Kaisar Constantin yang bernama Constantina dan Licunes.

Arius dianggap sebagai seorang pemberontak Trinitas dengan mempergunakan argumen logika :

“Jika Jesus itu benar-benar anak Tuhan, maka Bapa harus ada lebih dahulu. Oleh karena itu harus ada “masa” sebelum adanya anak. Berarti anak adalah makhluk. Maka dari itu anak tidak selamanya ada atau tidak abadi. Sedangkan Tuhan yang sebenarnya adalah abadi, berarti Jesus tidaklah sama dengan Tuhan.”

Atas argumentasi Arius tersebut, sekitar seratus orang Pastur Mesir dan Lybia berkumpul untuk mendengarkan pertanggung jawaban Arius. Dan diwaktu itu juga Arius mengemukakan kembali pemandangannya :

“Ada masa sebelum adanya Jesus, sedangkan Tuhan sudah ada sebelumnya. Jesus ada kemudian, dan Jesus hanyalah makhluk biasa yang bisa binasa seperti makhluk-makhluk lainnya. Tetapi Tuhan tidak akan binasa.”

Arius juga memperkuat argumentasinya dengan sejumlah ayat-ayat Bible seperti Yohanes 14:8: “Bapa lebih besar daripada Jesus”; Seandainya kita mengakui bahwa Jesus adalah sama dengan Tuhan, maka kita harus menolak kebenaran ayat Yohanes tersebut.

Argumen Arius ini secara sederhana dapat dijelaskan sebagai berikut :

Jika Jesus memang “anak Tuhan”, maka akan segera disertai pengertian bahwa “Bapak Tuhan” haruslah ada terlebih dahulu sebelum adanya sang “Anak”.

Oleh sebab itu tentulah akan terdapat rentang waktu ketika “Anak” belum ada.
Oleh karenanya, “Anak” adalah makhluk yang tersusun dari sebuah “esensi” atau makhluk yang tidak selalu ada.

Karena Tuhan merupakan suatu zat yang bersifat mutlak (abadi, alpha dan omega), maka Jesus tidak mungkin bisa menjadi “esensi” yang sama sebagaimana “esensi” Tuhan.

Kesimpulan pendapat Arius, bahwa hanya ada satu Tuhan, yaitu Tuhan yang selalu Ada dan tidak mempunyai asal usul, Dia Ada tanpa keberadaan sebelumnya. Dalam hal ini Arius membedakan antara unsur keistimewaan yang tetap ada di dalam Tuhan, yang merupakan kekuatan yang kekal dengan unsur keistimewaan Jesus sebagai suatu kelebihan yang diberikan oleh Tuhan selayaknya seorang Nabi dan itu tidak bersifat kekal.

Arius menjabarkan bahwa Jesus yang disebut Tuhan anak ini merupakan makhluk, sebab ia telah diciptakan oleh Tuhan Bapa sekalipun umpamanya benar diri Jesus sendiri diciptakan sebelum proses penciptaan Abraham (Nabi Ibrahim) sebagaimana yang diriwayatkan dalam kitab Perjanjian Baru -Injil Johanes pasal 8 ayat 58, namun dalam hal ini, status Jesus tetaplah merupakan makhluk ciptaan dan dia bukan Tuhan.

Argumen Arius ini tidak bisa terbantahkan, dan mulai tahun 321 M, Arius dikenal sebagai seorang presbyter pembangkang dan mendapatkan banyak dukungan dari Uskup-uskup daerah Timur.

Untuk mendukung pandangan-pandangannya, Arius mengemukakan sejumlah ayat didalam kitab Perjanjian Baru yang memperlihatkan Jesus selaku anak dari Tuhan Bapa berkedudukan di bawah Tuhan Bapa seperti kitab Matius 28:18, kitab Markus 13:32, kitab Lukas 18:19, kitab Johannes 5:19; pasal 14:28, serta surat kiriman 1 Korintus pasal 15 ayat 28.

Konflik ini semakin menjadi memanas setelah Athanasius (293-373 M), salah seorang tokoh agama dan cendikiawan besar yang mendukung doktrin Trinitas turut dalam perselisihan tajam dengan Arius.

Untuk menengahi pertentangan ini lebih jauh, maka oleh Kaisar Konstantin (280-337 M) dibentuklah suatu konsili (musyawarah besar) di Nicea (Asia Kecil – dekat kota Konstantinopel) pada tahun 325 M (abad ke-IV) dengan diikuti oleh para Uskup, tokoh-tokoh Theologi kenamaan dan banyak Sarjana Gereja, Konsili tersebut dikenal juga dengan nama Konsili Oikumonis I (Oikumene berarti seluruh dunia yang didiami bangsa manusia).

Dalam musyawarah itu, pengikut Arius menolak pandangan tentang penciptaan eternal (penciptaan yang bebas dari dimensi waktu), sementara Athanasius mempertahankannya. Pengikut Arius mengatakan bahwa anak diciptakan dari tidak ada, sementara Athanasius mengatakan bahwa anak diciptakan dari esensi Tuhan Bapak. Pengikut Arius berpendapat bahwa Tuhan anak tidak sama substansinya dengan Tuhan Bapa sementara Athanasius berpendapat sebaliknya.

Setelah titik penyatuan pandangan tidak juga berhasil dicapai dari kedua belah pihak yang berdebat, akhirnya kaisar Konstantin memberikan pernyataan bersayap (keputusan yang sifatnya bebas untuk ditafsirkan oleh pihak manapun) demi untuk menjaga kestabilitasan keadaan negrinya.

Adapun keputusan kaisar Konstantin ini menyebutkan bahwa Jesus memiliki sifat yang “Homousius” dengan Tuhan Bapa, istilah “Homousius” sendiri bisa berartikan satu hakekat, satu keadaan atau juga memiliki hubungan yang rapat satu sama lainnya.

Keputusan Konsili itu juga berhasil merumuskan “SYMBOLUM APOSTOLICUM” (Syahadat para Rasul) kata “syahadat” sendiri berasal dari kata bahasa Latin “credo” yang artinya “aku percaya”, dimana inti dari rumusan ini menggaris bawahi tentang ketiga pribadi dalam Tuhan yang satu itu adalah sejajar, walaupun digunakan istilah Bapa dan Anak.

“Credoin Deo Patri omnipotentem
(aku percaya akan Allah Bapa Yang Maha Kuasa)
Creatorem coeli et terrae
(pencipta Langit dan Bumi)
Et in Iesum Christum, Fillium eius unicum, Dominium nostrum
(dan akan Jesus Kristus, PutraNya yang Tunggal Tuhan kita)
Qui conceptus est de Spiritu Sancto, natus ex Maria Virgine
(yang dikandung dari Roh Kudus, dilahirkan oleh Perawan Maria)
Passus sub Pontio Pilato, crucifixus, mortuus et sepultus
(yang menderita sengsara dalam Pemerintahan Ponsius Pilatus; disalibkan wafat dan dimakamkan)
Descendit ad inferna (inferos)
(yang turun ketempat penantian)
Tertia die resurrexit a mortuis
(pada hari ketiga bangkit dari antara orang mati)
Acendit ad coelos, sedet ad dexteram Dei Patris omnipotentis
(yang naik ke surga, duduk di sebelah kanan Allah Bapa yang Maha Kuasa)
Inde venturus est iudicare vivos et mortuos
(dari situ Dia akan datang mengadili orang yang hidup dan mati)
Credo in Spiritum Sanctum
(aku percaya akan Roh Kudus)
Sanctam Ecclesiam catholicam, sanctorum communionem
(Gereja Katolik yang Kudus, persekutuan para kudus)
Remisionem peccatorum
(pengampunan dosa)
Carnis resurrectionem
(kebangkitan badan)
Vitam eternam
(kehidupan kekal)
Amen
(Amin)”.

(Sumber Credo dari http://www.katolik.net/)

Pasca Konsili Nicea I, Athanasius berhasil membujuk kaisar untuk membuang Arius kesatu tempat yang jauh serta membakar semua tulisan-tulisan pemikiran Monotheismenya dengan alasan bahwa Arius masih tidak puas terhadap keputusan Kaisar. Hal ini tidak berlangsung lama sebab Kaisar Konstantin dengan dukungan Uskup Eusebius yang menentang paham Trinitas memanggil pulang Arius dari pengasingannya dan mengakui bahwa konsepnya mengenai Monotheisme lebih bisa diterima ketimbang paham Trinitas.

Pada tahun 336 Arius diangkat menjadi Pastur di Constantinopel dan dalam satu muslihat yang licik, dia berhasil dibunuh.

Semenjak tahun 340 M (tiga tahun setelah kematian Kaisar Konstantin pada tahun 337 M dan digantikan oleh Kaisar Theodosius), perselisihan antara Monotheisme dengan Trinitas kembali mencuat kepermukaan dan penyelesaian yang diberlakukan Gereja dengan dukungan pihak-pihak kerajaan tidaklah memuaskan semua pihak serta hanya bersifat sementara, sebab keyakinan pihak Istana sendiri tidak mempercayai pengajaran Injil sehingga setiap kali ada pergantian kaisar maka selalu ada perubahan suasana, dan ini bisa mengubah setiap titik dari keputusan Dewan Nicea sebelumnya. Pihak yang menang saat itu bisa berbalik menjadi pihak yang dikalahkan atau dipersalahkan di kemudian hari oleh kerajaan. Dan sejarah inilah yang akhirnya paling sering terjadi dalam kontroversi doktrin Trinitas dimasa lalu.

Empat puluh lima tahun setelah kematian Arius, Konsili Nicea (Nicene Creed) yang pernah digelar pada tahun 325 M kemudian diadakan lagi pada tahun 381 M, yang menghasilkan pernyataan “Syahadat Konsili Nicea Konstantinopel”, yang mana isinya adalah :

“Aku percaya akan satu Allah
Bapa yang Maha Kuasa
Pencipta langit dan bumi
Dan segala sesuatu yang kelihatan
Dan tidak kelihatan.
Dan akan satu Tuhan, Yesus Kristus,
Putra Allah yang tunggal.
Ia lahir sebelum segala abad.
Allah dari Allah,
Terang dari Terang.
Allah benar dari Allah benar.
Ia dilahirkan, bukan dijadikan
Sehakikat dengan Bapa.
Segala sesuatu dijadikan olehNya.
Ia turun dari surga untuk kita manusia
Dan untuk keselamatan kita.
Ia dikandung dari roh Kudus,
Dilahirkan oleh perawan Maria,
Dan menjadi manusia
Iapun disalibkan untuk kita, waktu Pontius Pilatus.
Ia wafat kesengsaraan dan dimakamkan.
Pada hari ketiga Ia bangkit, menurut Kitab Suci.
Ia naik ke surga, duduk di sisi Bapa.
Ia akan kembali dengan mulia,
Mengadili orang yang hidup dan yang mati.
KerajaanNya takkan berakhir.
Aku percaya akan Roh Kudus,
Ia Tuhan yang menghidupkan,
Ia berasal dari Bapa dan Putra
Yang serta Bapa dan Putra disembah dan dimuliakan.
Ia bersabda dengan perantaraan para nabi.
Aku percaya akan Gereja yang satu, kudus, katolik dan apostolik,
Aku mengakui satu pembaptisan, akan pengampunan dosa.
Aku menantikan kebangkitan orang mati
Dan hidup di akhirat.
Amin.”

Dalam sejarah internal gereja Trinitas sendiri, semenjak kerajaan Romawi Barat dan Romawi Timur berpisah, gereja-gereja penganut paham ketuhanan Trinitas pun terpisah menjadi gereja barat dan gereja timur.

Kata “gereja” sebenarnya berasal dari kata “igraja” yang diperkenalkan di Indonesia oleh para misionaris Portugis. Kata “igraja” tersebut berasal dari kata Latin “ecclesia” yang pada awalnya berasal dari bahasa Yunani kuno yaitu “ekklesia” yang artinya “kumpulan” atau “pertemuan”, sehingga makna umum dari gereja itu adalah tempat berkumpul orang-orang tertentu dan dalam hal ini adalah orang-orang yang meyakini asas ketuhanan Trinitas.

Adanya gereja Barat dan gereja Timur ini akhirnya membawa perpecahan-perpecahan sendiri yang mengakibatkan ajaran Trinitas terbagi dalam banyak sekte atau aliran, perpecahan awalnya adalah larangan yang dibuat oleh Kaisar Romawi Leo III pada tahun 726 M kepada umat Trinitas agar jangan mengkuduskan dan membuat patung-patung atau gambar-gambar (Icono Clasts) berkenaan dengan keyakinan dunia Kristen Trinitas seperti gambaran Jesus, Mariah atau orang-orang yang dianggap suci lainnya.

Perintah Kaisar Leo III ini dikukuhkannya lagi pada tahun 730 M dengan pemikiran bahwa hal ini merupakan perbuatan keberhalaan dan bertentangan dengan Perjanjian Lama maupun Perjanjian Baru sendiri.

Larangan ini diberlakukan sampai pemerintahan Kaisar Konstantin IV dan Kaisar Leo IV, sementara pemimpin gereja Timur yang disebut Paus Gregori II dan Paus Gregori III serta Germanius dengan dukungan gereja Konstantinopel dan Kaisar Irene justru memberikan persetujuan pemujaan gambar-gambar keagamaan, perselisihan yang panjang dan lama ini akhirnya diselesaikan dengan dicabutnya larangan ini pada Sidang Umum ketujuh yang berlangsung di Nicaea tahun 787 M.

Namun perpecahan di antara keduanya tidak akan diatasi oleh sidang tersebut dan masalah ini mengemuka pada abad ke 11 M pada waktu Roma menerima pemberian suatu tambahan ke dalam Nicene Creed, suatu hal yang tidak disetujui Gereja Timur. Tambahan itu adalah “dan anak” setelah frasa “kami percaya dalam Roh Kudus, Tuhan pemberi kehidupan, yang diturunkan dari Tuhan Bapa…” Jadi, Gereja-gereja Timur tidak menerima bahwa Roh Kudus diturunkan dari Tuhan Bapak dan Anak, melainkan hanya dari Tuhan Bapa saja.

Tentang masalah ini Timur dan Barat sama sekali tidak mempunyai titik temu dan menimbulkan pemisahan tahun 1054, karena wakil Paus menempatkan surat-surat ekskomunikasi pada altar St. Sophia di Konstantinopel. Sejak itulah muncul Gereja Katolik Roma dan Gereja Ortodoks Yunani.

Kata “Katolik” berarti “univeral”, “memiliki sifat-sifat totalitas” atau “utuh”. Dengan demikian Gereja Katolik adalah tempat berkumpul universal, dimana setiap orang telah dipanggil untuk membawa kabar sukacita Injil kepada setiap orang, kepada setiap bangsa, kepada setiap penjuru dunia.

Pusat gereja Katolik di dunia, gereja Santo Petrus Basilica (St. Peter’s Basilica) yang dibangun di Vatikan, adalah tempat dimana Petrus (Symeon -salah seorang murid Jesus) dimakamkan. Saat ini, kuburan dari Petrus berada di dalam tanah, persis dibawah altar utama di antara tiang-tiang penopang kubah Bernini.

Unsur-unsur doktrinal membuat mereka tetap terpisah: Gereja Katolik dipimpin oleh satu tampuk pimpinan yang disebut Paus, sementara Gereja Ortodoks menyerahkan kepemimpinan di tangan para bishop atau patriark (berarti Uskup); pandangan tentang Roh Kudus juga berbeda, Gereja Ortodoks tetap memberikan kedudukan penting bagi ikon-ikon dalam pemujaan, para pelayan gerejanya dibolehkan menikah, dan lain-lain.

Kata “Paus” (“Pope”) artinya “Bapa” yang diambil dari bahasa Yunani. Didalam penggunaan bahasa Latin, kata ini lebih menunjukkan rasa hormat. Pada jaman Reformasi, kaum Protestan tidak setuju dengan istilah yang terkesan eksklusif tersebut, maka istilah “Paus” lebih sering disebut sebagai “Uskup Roma” (Bishop of Rome) seperti istilah pertamanya di jaman awal; Paus adalah pemimpin tertinggi Gereja Katolik dan sekaligus merupakan Ketua dari Dewan Para Uskup.

Walaupun pada mulanya kota Yerusalem dianggap sebagai pusat kesucian (karena disana terletak Bait al-Maqdis), namun sikap permusuhan yang diperlihatkan orang-orang Yahudi sendiri yang menguasai Yerusalem terhadap hal-hal yang berbau Jesus, mendorong pemindahan pusat Kristen; mula-mula ke Antiokia, lalu bergeser kekota Roma.

Paus memegang kekuasaan tertinggi, yang melampaui kekuasaan raja dan ratu. Namun sejak akhir abad keempat belas mulailah timbul tantangan terhadap kekuasaan Paus yang begitu besar. Timbullah gerakan reformasi yang dimulai Lollards dan Hussites; gerakan ini berubah menjadi ancaman serius terhadap supremasi Gereja Katolik ketika tahun 1617, seorang imam bernama Martin Luther menentang keras penjualan surat aflat (pengampunan dosa) oleh gereja.

Dia lalu menolak supremasi Paus, serta menghasut para bangsawan Jerman untuk memberontak dan memisahkan kekuasaan mereka. Para bangsawan, yang sebelumnya terdisilusi dengan kontrol oleh Gereja dan Paus, membutuhkan sedikit dorongan dan banyak diantara mereka segera bergabung dengan Martin Luther serta mendirikan gereja tersendiri, mereka dikenal sebagai Kristen Protestan (yaitu orang-orang Kristen yang memprotes).

Seiring dengan perjalanan sang waktu, hingga kini ada banyak sekali aliran dalam ajaran Trinitas, terlepas dari semua itu, kontroversi mengenai doktrin Trinitas sendiri sampai sekarang tidak pernah berhenti dan selesai dari dunia Kristen.

Sehubungan dengan doktrin Trinitas sendiri, “The Catholic Encyclopedia” mengomentari: “Dalam naskah alkitab belum terdapat satu istilah pun untuk menyatakan ke-Tiga Pribadi Tuhan tersebut secara bersama. Kata trias [tri’as]yaitu asal kata dari trinitas dalam bahasa Latin mula-mula ditemukan dalam karya Teofilus dari Antiokhia kira-kira tahun 180 M…. Tidak lama kemudian kata itu muncul dalam bentuk Latinnya dalam tulisan Tertullian.” (http://www.newadvent.org/cathen/15047a.htm)

Dan sebagaimana akhir dari tulisan Bab sebelumnya, maka pada akhir dari Bab inipun akan diberikan pengantar pemikiran kritis bagi orang-orang yang meyakini ide Trinitas.

Pertama, orang-orang penganut paham ketuhanan ini berkata: “Tritunggal adalah istilah yang digunakan untuk menyatakan doktrin utama agama Kristen…” tetapi sayangnya kitab Perjanjian Lama serta kitab Perjanjian Baru sendiri sebagai kitab sucinya justru sama sekali tidak pernah menyinggung ide ketuhanan Trinitas ini, kemunculannya hanyalah disebabkan penafsiran orang atas kata Bapa, Anak, Roh Kudus serta penafsiran atas beberapa kisah yang pernah terjadi pada masa kehidupan Jesus.

Bersikukuh bahwa Tritunggal adalah misteri yang begitu membingungkan karena berasal dari wahyu Tuhan hanyalah menciptakan problem besar. Sebab dalam kitab Bible yang disebut sebagai wahyu Tuhan itu sendiri tidak ada pandangan demikian mengenai Tuhan:

“Allah adalah Allah yang suka akan ketertiban; Ia bukan Allah yang suka pada kekacauan. Seperti yang berlaku di dalam semua jemaat Allah.” (1 Korintus 14:33 Bahasa Indonesia sehari-hari)

Berangkat dari pernyataan itu, mungkinkah Allah akan mencetuskan doktrin mengenai diri-Nya sendiri yang begitu membingungkan sehingga bahkan para cendikiawan dan Teolog dari Ibrani, Yunani, dan Latin serta Barat yang sarat dengan pemikiran dan ilmu pengetahuannya tidak dapat menjelaskannya?

https://tausyah.wordpress.com

Pengantar kepada Perjanjian Terakhir

“He who has My commandments and keeps them, he it is who loves Me; and he who loves Me shall be loved by My Father, and I will love him, and will disclose Myself to him.”
(John 14:21 from New American Standard Bible)

Terjemahannya : “Siapa yang mengikuti perintahku dan mematuhinya, dialah yang mencintaiku; dan dia yang mencintaiku itu akan dikasihi oleh Bapa (Allah) ku dan akupun akan menyatakan diriku kepadanya.”
(Yohanes 14:21)

Apa perintah Jesus ini ?
Berikut ini kita lihat dalam 2 buah ayat Bible yang saya ambil dari “The Restored Name King James Version of the Scriptures” dengan alamat web site
http://www.eliyah.com/Scripture/books/mark12.htm :

“And Yahshua answered him, The first of all the commandments is, Hear, O Israel; Yahweh is our Elohim, Yahweh is one.”
(Mark 12:29)

Terjemahannya:
“Dan YAOHÚSHUA menjawabnya, Hukum yang terutama adalah, dengarlah wahai Israel, adapun YÁOHU UL adalah Ulhim kita, YÁOHU UL itu satu adanya.”
(Markus 12:29)

“And this is life eternal, that they might know thee, the only true Elohim, and Yahshua the Messiah, whom thou hast sent.”
(John 17:3)

Terjemahnya adalah :
“Dan inilah hidup yang abadi, bahwa mereka mengenal Engkau, ULHÍM yang benar, dan YAOHÚSHUA hol-MEHUSHKHÁY yang telah Engkau utus.”
(Yohanes 17:3)

(Mengenai penamaan YAOHÚSHUA hol-MEHUSHKHÁY dan Ulhim lihat alamat http://www.yauhushua.org/yao-indo.html dalam tajuknya : “Yang Terkasih Pencari Kebenaran Sejati.

Jesus pun berkata dalam ayat yang lain :

“THESE things have I spoken to you, that you may not be scandalized. They will put you out of the synagogues: yea, the hour cometh, that whosoever killeth you, will think that he doth a service to God. And these things will they do to you; because they have not known the Father, nor me.”
(John 16:1-3 from The Holy Gospel of Jesus Christ, According to St. John -Douay-)

Terjemahannya :

“Semua perkara ini sudah aku katakan padamu, agar jangan kamu kecewa. Mereka akan menolakmu dari rumah peribadatan. Waktunya akan tiba, dimana siapa yang membunuh kamu, dia akan berpikir sudah melakukan bakti terhadap Allah; dan semuanya dilakukan mereka kepadamu sebab mereka tidak mengenal Bapa itu (Allah) dan (mereka juga tidak mengenal) aku.”
(Yohanes 16:1-3)

Kita semua tahu, orang yang senantiasa berada dalam jalur kebenaran akan mendapatkan tantangan dan godaan dari lingkungan disekitarnya, bahkan tidak jarang keberadaan orang-orang seperti ini ditamsilkan dengan memegang sebuah bara api.

Mereka akan menjumpai sikap permusuhan yang dilancarkan dari orang-orang yang tidak senang terhadap kebenaran dan kejujuran sampai orang-orang saleh tersebut berbalik meninggalkan kebenaran yang diyakininya selama ini.

Untuk menghadapi semua itu, Jesus Kristus telah memberikan satu petunjuk kepada umatnya, bahwa siapa diantara mereka yang menjaga serta tetap mematuhi ajaran yang telah diajarkannya kepada mereka, maka mereka itulah yang akan mendapatkan kecintaan dari Jesus serta mendapatkan pula kasih dari Allah ; Dan sebagai konsekwensinya, mereka-mereka ini akan mendapatkan kenyataan mengenai kebenaran Jesus…. mereka inilah sebenarnya orang-orang yang terselamatkan.

Lebih jauh Jesus memberikan satu gambaran kepada murid-muridnya, bahwa mereka yang tetap memegang teguh ajaran yang disampaikannya itu kelak akan mendapatkan perlawanan sengit dari orang-orang yang mengaku beriman kepadanya namun pada dasarnya mereka tidaklah beriman sebagaimana ucapan mereka, sebab mereka sama sekali tidak mengenal sosok Jesus dan juga tidak mengenal Allah yang benar.

Akibatnya, mereka akan melakukan bermacam cara untuk memusuhi orang-orang yang mengikuti Jesus, dimulai dengan tidak diterimanya mereka dari rumah tempat beribadah hingga pembunuhan-pembunuhan atas diri mereka. Semuanya disebabkan kesalah kaprahan manusia akan pemahamannya tentang Jesus dan Allah, sehingga seluruh perbuatan mereka kepada orang-orang saleh itu akan dianggap sebagai suatu perbuatan baik dimata Tuhan.

Sejarah mencatat sejumlah tokoh-tokoh Unitarian yang mempertahankan kebenaran ajaran Jesus yang telah gugur sebagai syuhada didalam mempertahankan keyakinannya terhadap orang-orang kafir.

Iranaeus (130-200 M), dia lahir disaat ajaran Kristen Antiokia sudah menyebar ke Afrika Utara, Spanyol hingga ke Prancis Selatan. Tidak banyak catatan sejarah mengenai asal-usul dan kedewasaannya, sejarah mulai mencatat masa dimana Iranaeus membawa surat petisi dari Uskup Lyons Pothinus kepada Paus Elutherus di Roma.

Petisi itu berupa permohonan Pothinus kepada Paus untuk menghentikan pengejaran, penyiksaan dan pembunuhan terhadap orang-orang Kristen yang tidak menyetujui doktrin gereja Pauline.

Ketika masih berada di Roma, Iranaeus mendapat berita bahwa semua orang Kristen yang tidak sepaham dengan Paulus yang ada di Lyons Antiochia termasuk uskup Pothinus sendiri telah tewas dibunuh. Dan pada waktu kembali ke Lyons, Iranaeus menggantikan Ponthinus untuk menjabat sebagai uskup dinegrinya.

Ditahun 190 M, Iranaeus sendiri menulis surat kepada Paus Victor agar menghentikan pembantaian terhadap orang-orang Kristen yang dibunuh karena keyakinan mereka yang berbeda dengan keyakinan gereja Paulus.

Cerita lama kembali terulang, Iranaeus sendiri terbunuh pada tahun 200 M karena tidak bersedia mengikuti keyakinan Paus, Iranaeus hanya beriman dan mengakui kepada satu Tuhan, yaitu Allah, dan dia mendukung pengajaran kemanusiaan Jesus yang diangkat oleh Allah menjadi utusan-Nya.

Iranaeus banyak melakukan kritikan terhadap Paulus karena dianggapnya sebagai orang yang paling bertanggung jawab didalam memasukkan doktrin-doktrin dari agama berhala dan filsafat Plato kedalam ajaran sejati Jesus.

Didalam bukunya, “Universalism The Prevailing Doctrine Of The Christian Church During Its First Five Hundred Years” ditulis oleh J.W. HANSON, D. D menyatakan mengenai Iranaeus ini sebagai berikut :

In a germinal form of the Apostle’s Creed, Irenæus, A.D. 180, says that the judge, at the final assize, will cast the wicked into aionian fire. It is supposed that he used the word aionian, for the Greek in which he wrote has perished, and the Latin translation reads, “ignem aeternum.”

Selain Iranaeus, didalam tubuh gereja Afrika muncul pula seorang unitarian bernama “Tertullian” (160-220 M), dia adalah seorang penduduk asli Carthage (Kartago).

Tertullian sebagaimana juga dengan Iranaeus, meyakini ke-Esaan Allah dan mengidentifikasikan Jesus sebagai juru selamat (Messiah) bangsa Yahudi. Dia menentang Paus Callistus karena mengajarkan “dosa asal” telah diampuni setelah melaksanakan penebusan dosa resmi dibawah gereja.

Tertullian menekankan tentang kesatuan jiwa dan eksistensi dan mengatakan bahwa orang-orang yang sehat akalnya pasti meyakini bahwa Jesus hanyalah manusia belaka.

Paus Callistuslah yang memperkenalkan istilah “Trinitas” kedalam tulisan-tulisan “ecclesiastical” (gerejawi) Latin ketika ia membahas doktrin baru yang aneh tersebut. Istilah Trinitas sendiri sama sekali tidak pernah digunakan dalam kitab-kitab suci.

Selain Iranaeus dan Tertullian, seorang Unitarian lainnya pun muncul dari Mesir bernama “Origen” (185-254 M). Ayahnya bernama “Leonidas” dan mendirikan pusat pendidikan teologi dengan mengangkat seorang guru Teologi terkemuka bernama Clement sebagai kepala lembaga tersebut. Origen sendiri mendapatkan pendidikan ditempat itu.

Leonidas adalah seorang pengikut Kristen Apostolik, yaitu ajaran yang mentauhidkan Tuhan dan mengakui kehambaan dari Jesus.

Sebagaimana kita tahu, gereja Paulus tidak mau menerima kepercayaan seperti yang dipegang oleh Leonidas ini, dan sebagai konsekwensinya pada tahun 208 Leonidas tewas dibunuh oleh orang-orang Paus.

Karena merasa dirinya juga terancam, Clement segera meninggalkan Alexandria. Dan sebagai gantinya, Origen meneruskan kepemimpinan Clement sebagai kepala sekolah Teologi.

Pada tahun 230 M, Origen dinobatkan sebagai seorang Pendeta di Palestina, namun karena Origen telah mengajarkan tauhid didalam gereja, Uskup Demerius akhirnya memecat Origen dan mengusirnya dari gereja (persis seperti yang dinubuatkan Jesus dalam Yoh 16:1-3 -pen).

Origen mengungsi ke Caesarea dan mendirikan pusat pendidikan Teologi ditempat itu pada tahun 231 M yang akhirnya membawa nama harum kepadanya.

Jerome, seorang penulis Injil pertama dalam bahasa Latin, pada mulanya merupakan orang yang sangat mendukung Origen, namun akhirnya Jerome berbalik kepada gereja Paulus dan menarik garis permusuhan terhadap Origen.

Jerome berusaha agar Origen mendapatkan kecaman dan pengadilan dari gereja setempat, namun popularitas Origen terlampau besar dan tidak memungkinkan bagi Uskup John untuk melakukannya, sehingga atas rencananya ini mengakibatkan Jerome sendiri tersingkir dari kalangan gereja.

Namun pada tahun 250 M, Origen dikecam oleh Konsili Alexandria dan dijebloskan kedalam penjara serta mendapatkan penyiksaan yang terus menerus oleh pihak gereja Paulus sehingga mengakibatkan kematiannya pada tahun 254 M.

Origen telah menulis sekitar 600 buah karangan dan risalah. Dia adalah salah seorang yang paling berperan dalam sejarah gereja dan telah gugur sebagai seorang syuhada yang membela ajaran Allah sejati.

Dimasa mudanya sampai menjelang akhir hayatnya, Origen tetap mempertahankan pengajaran ke-Esaan Tuhan (The Unity of God), meyakini bahwa hanya Allah saja yang berkuasa dan Jesus adalah manusia biasa dan hamba Allah, bukan Allah itu sendiri.

Apa yang diyakini oleh Origen mengenai konsep ketuhanan sama sekali bersesuaian dengan apa yang diajarkan oleh para Nabi (termasuk konsep dari Jesus sendiri) dan tidak ada perbedaan dengan apa yang sudah ditegaskan oleh Allah kepada Nabi Muhammad Saw sang Paraclete agung yang dinubuatkan kedatangannya oleh Jesus Kristus.

Tokoh Unitarian berikutnya adalah Diodorus, seorang Uskup yang berasal dari negri Tarsus, tanah kelahiran Paulus. Diodorus merupakan tokoh Kristen terkemuka di Antiochia, dia berpendapat bahwa dunia ini selalu berubah-ubah, perubahan itu sudah ada sejak dahulu. Dan itu menunjukkan ada sesuatu yang tetap dibalik perubahan itu.

Lebih jauh lagi, keberagaman eksistensi dan kebijaksanaan yang diperlihatkan dalam setiap proses perubahan itu sendiri, menunjukkan terhadap kesatuan asal yang mendasarinya dan memperlihatkan kehadiran Sang Pencipta dan Pemelihara. Inilah menunjukkannya adanya satu Pencipta Yang Maha Esa.

Diodorus menekankan sifat kemanusiaan secara menyeluruh dalam diri Jesus yang memiliki jiwa manusia dan daging manusia, tidak ada unsur ketuhanan sama sekali.

Selain Iranaeus, Tertullian, Leonidas, Origen dan juga Diodorus, telah muncul pula “Lucian”, seorang yang dikenal keluasan ilmunya terhadap bahasa Ibrani dan Yunani. Lucian tidak menginduk terhadap salah satu gereja dari tahun 220 sampai 290 M.Pengajaran Lucian adalah Tauhid, yaitu pengesaan Allah dalam segala bentuk-Nya.

Lucian percaya kepada penafsiran gramatikal dan literal (sesuai dengan bunyi lahir suatu kata) dari kitab-kitab suci (Bible). Dia menentang kecenderungan untuk mencari-cari makna symbolis dan kiasan dari teks-teks Injil, dan percaya kepada suatu pendekatan empiris dan kritis terhadap kitab-kitab tersebut. Dia mengatakan bahwa dengan mencari-cari makna symbolis tersebut, dapat berakibatkan dengan penambahan dan pengurangan pada Injil yang berarti hilangnya kemurnian ajaran Jesus.

Lucian menghilangkan perubahan-perubahan yang terjadi pada kitab Injil yang diterjemahkan kedalam bahasa Yunani (Septuaginta), beliau telah mengadakan revisi terhadap empat Injil yang menjadikannya berbeda dengan Injil-Injil yang dipergunakan oleh gereja Paulus.

Lucian menolak paham trinitas dan sebaliknya begitu menekankan ajaran Tauhid, bahwa hanya Allah saja Tuhan alam semesta yang patut disembah, sedangkan Jesus hanyalah manusia biasa yang diangkat menjadi Utusan-Nya.

Atas sikapnya ini, Lucian menjalani penyiksaan dari pihak gereja Paulus dan dihukum mati pada tahun 312 M.

Arius (250-336 M) adalah salah seorang murid utama Lucian berkebangsaan Lybia yang juga bersama-sama dengan gurunya menegakkan ajaran Tauhid kepada Allah, Arius merupakan seorang presbyter (ketua majelis agama/gereja) digereja Baucalis Alexandria, salah satu gereja tertua dan terpenting dikota itu pada tahun 318 M.

Sejak wafatnya Lucian pada tahun 312 M ditangan orang-orang gereja Paulus, perlawanan Arius terhadap doktrin Trinitas semakin mengkristal, dan dalam perjuangannya ini, Arius justru mendapatkan dukungan dari dua orang saudari Kaisar Constantin yang bernama Constantina dan Licunes.

Arius dianggap sebagai seorang pemberontak Trinitas dengan mempergunakan argumen logika :

“Jika Jesus itu benar-benar anak Tuhan, maka Bapa harus ada lebih dahulu. Oleh karena itu harus ada “masa” sebelum adanya anak. Berarti anak adalah makhluk. Maka dari itu anak tidak selamanya ada atau tidak abadi. Sedangkan Tuhan yang sebenarnya adalah abadi, berarti Jesus tidaklah sama dengan Tuhan.”

Atas argumentasi Arius tersebut, sekitar seratus orang Pastur Mesir dan Lybia berkumpul untuk mendengarkan pertanggung jawaban Arius. Dan diwaktu itu juga Arius mengemukakan kembali pemandangannya :

“Ada masa sebelum adanya Jesus, sedangkan Tuhan sudah ada sebelumnya. Jesus ada kemudian, dan Jesus hanyalah makhluk biasa yang bisa binasa seperti makhluk-makhluk lainnya. Tetapi Tuhan tidak akan binasa.”

Arius juga memperkuat argumentasinya dengan sejumlah ayat-ayat Bible seperti Yohanes 14:8: “Bapa lebih besar daripada Jesus”; Seandainya kita mengakui bahwa Jesus adalah sama dengan Tuhan, maka kita harus menolak kebenaran ayat Yohanes tersebut.

Argumen Arius ini secara sederhana dapat dijelaskan sebagai berikut :

Jika Jesus memang “anak Tuhan”, maka akan segera disertai pengertian bahwa “Bapak Tuhan” haruslah ada terlebih dahulu sebelum adanya sang “Anak”.

Oleh sebab itu tetulah akan terdapat rentang waktu ketika “Anak” belum ada.
Oleh karenanya, “Anak” adalah makhluk yang tersusun dari sebuah “esensi” atau makhluk yang tidak selalu ada.

Karena Tuhan merupakan suatu zat yang bersifat mutlak (abadi, alpha dan omega), maka Jesus tidak mungkin bisa menjadi “esensi” yang sama sebagaimana “esensi” Tuhan.

Argumen Arius ini tidak bisa terbantahkan, dan mulai tahun 321 M, Arius dikenal sebagai seorang presbyter pembangkang dan mendapatkan banyak dukungan dari Uskup-uskup daerah Timur. Hal ini membuat Alexandria (yang pernah membuat keputusan hukuman mati atas Origen tahun 250 M) menjadi semakin marah.

Pada tahun 336 Arius diangkat menjadi Pastur di Constantinopel dan dalam satu muslihat yang licik, dia berhasil dibunuh.

Arius pula orangnya yang sangat menentang keras keputusan Nicea pada tahun 325 M, sebelum matinya, Arius sempat mengeluh mengenai keadaan dirinya yang senantiasa mendapatkan tantangan dari orang-orang gereja Paulus kepada salah seorang sahabatnya bernama Eusibius dari Nicomedia yang merupakan salah seorang sahabatnya ketika sama-sama belajar dengan Lucian.

Eusibius dari Nicomedia berasal dari keluarga aristokrat bangsawan. Kemasyurannya menentang doktrin Paulus pun tidak kalah dengan Arius, dia dipanggil “Bapak besar” oleh para pengikut Arius.

Pada mulanya Eusibius diangkat menjadi seorang Uskup di Beirut, kemudian dipindahkan ke Nicomedia yang merupakan ibukota kekaisaran Constantinopel wilayah timur. Dia bersahabat baik dengan saudari ipar dan saingan kekuasaan dari kaisar Constantin yang bernama Licinus.

Sebagaimana Arius, perjuangan Eusibius pun mendapatkan dukungan penuh dari Constantina, saudari kaisar Constantin dan merupakan salah seorang kerabat istana yang berpengaruh.

Demikianlah kiranya.
Semoga bisa membawa manfaat kepada kita semua.

“Sungguh, telah kafirlah orang-orang yang berkata :”Allah itu adalah al-Masih putera Maryam”. Tanyakanlah:”Siapakah yang dapat menghalang-halangi kehendak Allah, jika Dia hendak membinasakan al-Masih putera Maryam itu beserta ibunya dan siapa saja diatas bumi semuanya ?” Kepunyaan Allah kerajaan langit dan bumi dan apa yang diantara keduanya; Ia menciptakan apa yang Ia kendaki. Dan Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu.”
(Qs. Al-Ma’idah 5:17)

Dan ketika Allah berfirman: “Hai ‘Isa putera Maryam, adakah kamu mengatakan kepada manusia:”Jadikanlah aku dan ibuku dua orang Tuhan selain Allah ?”. ‘Isa menjawab:”Maha Suci Engkau, tidaklah patut bagiku mengatakan apa yang bukan hakku. Jika aku pernah mengatakannya maka tentulah Engkau telah mengetahui apa yang ada pada diriku dan aku sama sekali tiada mengetahui apa yang ada pada diri Engkau. Sesungguhnya Engkau Maha Mengetahui perkara yang ghaib-ghaib, Aku tidak pernah mengatakan kepada mereka kecuali apa yang Engkau perintahkan kepadaku yaitu:”Sembahlah Allah, Tuhanku dan Tuhanmu”, dan adalah aku menjadi saksi terhadap mereka.”.
(Qs. Al-Ma’idah 5:116-117)

Mereka berkata:”Allah mempunyai anak”. Maha Suci Allah; Dia-lah Yang Maha Kaya; kepunyaan-Nya apa yang ada di langit dan apa yang di bumi. Kamu tidak mempunyai pengetahuan tentang ini. Pantaskah kamu mengatakan terhadap Allah apa yang tidak kamu ketahui?
(Qs. Yunus 10:68)

“Katakan: Dialah Allâh yang Esa. Allâh tempat bergantung. Tidak beranak dan tidak diperanakkan. Dan tidak ada bagi-Nya kesetaraan dengan apapun.” (Qs. Al-Ikhlash 112:1-4)

Jesus (peace be upon him): A Prophet In Islam
Presentation by
Mark Hamza Dougherty
Blacksburg, VA – Dzul-Qa’idah 1420 A.H. – February 2000 C.E.

In the Name of God, the Most Gracious, the Most Merciful – Peace be upon him who is rightly guided.

I have been given a topic of some importance to both Christians and Muslims, namely, the teachings of Islam regarding the life, mission, and death of Jesus (peace be upon him). Before entering the topic, I would like to address the doctrines of Christianity against the backdrop of modern Western thought. My perspective is one who was brought up as a Christian in the US. I am not a scholar of either Islam or Christianity. In fact, my only qualification for standing in front of you is that I was once a Christian and now I am a Muslim. I would like to share selected passages from another Westerner, the former Leopold Weiss, statesman, journalist, and author, an Austrian Jew who converted to Islam. He wrote a book called “Islam at the Crossroads” under his adopted Muslim name, Muhammad Asad. Although the book was originally written in 1934, Mr. Asad’s comments regarding the historical background of Christian thought within the Western framework are insightful.

Muhammad Asad (from “Islam at the Crossroads”):
“Perhaps the most important intellectual factor which prevented Europe’s religious regeneration was the current conception of Jesus Christ as the Son of God. Philosophically-minded Christians, of course, never took this idea of sonship in its literal sense; they understood by it a manifestation of God’s Mercy in human form. For the overwhelming majority of Christians [however] the expression “son” had and has a very direct meaning, although there was always a mystical flavor attached to it. …This belief naturally led to an anthropomorphisation of God Himself who assumed the shape of a benignant old man with a white flowing beard…this shape, perpetrated by innumerable paintings….remained impressed upon European’s subconscious mind. …With the intellectual shackles of the Middle Ages….broken, the thinking among the Europeans could not reconcile themselves to a humanized God/Father.….After a period of enlightenment [at the end of the 18th and beginning of the 19th century], European thinkers instinctively shrunk back from the conception of God as presented in the teachings of the Church; and as this was the only conception to which they had been accustomed, they began to reject the very idea of God, and with it, religion.”

I would now like to move from Europe to America. Thomas Jefferson, the great proponent of religious freedom, was a child of this period (late 18th and early 19th century), having ties to enlightened European thinking through France. According to the 1983 book, “Jefferson’s Extracts from the Gospels,” which is the second in a published series called “The Papers of Thomas Jefferson,” Jefferson reached a religious crisis at some point during the 1760’s, and came to denounce the Anglican doctrine of his heritage. His personal views on religion were kept strictly private, except for members of his immediate family and close correspondents, for the most part, until after his death in 1826. According to the book’s 39-page introduction, written by Eugene Sheridan, foremost among Jefferson’s reasons for denouncing the Christian doctrine of his upbringing was the concept of the Trinity, which he found non-compatible with reason. A letter written by Jefferson in 1788 recounts his inability “from a very early part of my life” to accept the Christian doctrine of the Trinity owing to the “difficulty of reconciling the ideas of Unity and Trinity.”

Based on Jefferson’s correspondence and personal compilation of the four Gospels in an attempt to demythologize the man, Jesus, the following outline is offered by the authors about his religious beliefs. (And of course only God knows what is in men’s hearts). Thomas Jefferson was, according to his writings, an unwavering monotheist, who believed that God created the universe and all that is in it, sustaining it with mathematically precise natural laws. He also believed that God benefited man with an innate moral sense, as well as the intellectual capacity to rationally explain and deduce all that he needed for successful life on earth and hopefully in the next life. Jefferson did not accept the divinity of Jesus (pbuh), nor did he accept the belief that revelation from God to man is a part of God’s plan. Rather, he believed that God revealed Himself through the natural and majestic wonders of the universe. He accepted Jesus (pbuh) as the greatest of moral reformers, and devoted a great deal of time to critical examination of the four Gospels. At the end of his life, in retirement, after two terms as President of the United States, he produced a critical analysis of the Gospels by cutting and pasting together, in Greek, Latin, French, and English, a concise compilation called the “Life and Morals of Jesus.” A copy of Jefferson’s little book is presently housed in the Smithsonian Institute.

The reason I am relating this information about Thomas Jefferson is not to expose his religious views. God Alone knows what resides in any man or woman’s heart. I am relating this information, ostensibly from verified sources of Jefferson’s own writing, because it provides to me an example of a man who had the courage to disavow himself of doctrines that he found incompatible with the reason he believed his Creator had endowed him with. He rejected the religious doctrines of his upbringing, yet at the same time rejected the so-called enlightened rationalist’s outright denial of God. I personally see Thomas Jefferson as a man who struck his own path, trying to seek the truth somewhere between two extremes. In the end, according to the authors of the book “Jefferson’s Extracts from the Gospels,” Jefferson probably best described his own faith when he observed, somewhat somberly in my opinion, “I am a sect by myself, as far as I know.”

Although I see Jefferson as a man of strong faith and principle, it appears to me from what I have read that he didn’t hold a belief in Jesus (pbuh) that was wholly satisfying. What do I mean by this? In Jefferson’s day, I believe, much as in our day, two choices were offered to many people concerning Jesus (pbuh);

1. he was who he said he was, (according to the words attached to him in the Bible) God, and son of God, human, yet divine, sent to save the world from sin, or
2. he was, (God forbid), a madman or worse, a liar.

Thomas Jefferson refused both choices. In the end, he concluded that Jesus (pbuh) as a young person was the greatest moral teacher in history, a man who believed he was divinely inspired by God, but who never himself claimed to be God. Because of Jefferson’s twin beliefs that Jesus was merely a man, and that God does not speak to man through inspiration, Jefferson felt obliged to excuse Jesus’ claim to divine inspiration as the inevitable result of his having been brought up among superstitious people who regarded “fumes of the most disordered imaginations…as special communications of the deity.” May God protect all of us from this type of error. I only relate this story as an example of how one man, and only God knows, appears to have reconciled himself to one of the most passionately debated personalities in the history of religion, the one we are discussing tonight, Jesus, the son of Mary, peace be upon him.

I was presented with the two above choices concerning Jesus (pbuh) some 20 ago when I read the book “Mere Christianity,” by C.S. Lewis. My response, unlike Thomas Jefferson, was to accept the whole of the Christian doctrine (choice number 1). How could I do otherwise given the alternative that Jesus was, (God forbid), a madman, or worse, a liar? The point I would like to make is that many people it seems simply aren’t presented with any other choice but these two rather stark “all-or-nothing” alternatives regarding the person of Jesus (pbuh). We who have taken part in discussing these issues have tried to present a third choice regarding the life and mission of Jesus (pbuh). This is the Islamic alternative. As the Qur’an tells us in the 75th verse of Surah Al-Maidah (“The Table Spread”):

In the Name of Allah, the Most Gracious, the Most Merciful
“The Messiah (Jesus), son of Mary, was no more than a Messenger; many were the Messengers that passed away before him. His mother (Mary) was a believer. They both used to eat food (as any other human being). Look, how We make the Ayat (proofs, evidences, verses, lessons, signs, etc.) clear to them, yet look how they are deluded away (from the truth).”

In one sense, this verse from the Qur’an is really all that need to be said concerning the Islamic belief regarding the person of Jesus (pbuh).

Dr. Maneh Al-Johani (from his article “The Truth About Jesus (pbuh)”), which is available on the internet, states: “The controversy about the personality of Jesus Christ is the major difference between Islam and Christianity. This difference keeps the followers of the two religions apart. Muslims look at Jesus Christ as a great Prophet of God and love and respect him as much as they love and respect Abraham, Moses and Muhammad (peace be upon them all). Christians on the other hand consider Jesus (pbuh) as God or son of God, a concept that Muslims cannot accept. Islam teaches that Jesus (pbuh) never made such a claim for himself. As a matter of fact all the cardinal doctrines of Christianity that are rejected by Islam center around the personality of Jesus (pbuh). Specifically these are:

1. The Trinity
2. The Divinity of Jesus
3. The Divine Sonship of Christ
4. Original Sin, and
5. Atonement

Dr. Al-Johani continues, “Unfortunately, the differences focusing on the personality of Jesus (pbuh) have overshadowed the many similarities between Christianity and Islam. Some examples are the emphasis on the moral system and on human principles [shared by both Islam and Christianity], Muslim beliefs affirming the Virgin Birth of Jesus (pbuh), being able to speak in the cradle, performing miracles, and [his] second coming.”

“The Islamic view of Jesus (pbuh) lies between two extremes. The Jews, who rejected Jesus (pbuh) as a Prophet of God, called him an impostor. The Christians on the other hand, consider him to be the son of God and worship him as such. Islam [as we have stated] considers Jesus (pbuh) as one of the great Prophets of God …”

“Although the Qur’an does not present a detailed life-account of Jesus (pbuh), it highlights the important aspects of his birth, his mission, his ascension to heaven and passes judgements on the Christian beliefs concerning him.”

“The Unitarian concept and the humanness of Jesus (pbuh) is not only held by Muslims but also by Jews and by some early groups of Christianity such as the Ebonite’s, the Corinthians, the Basilidians, the Capocratians and the Hypisistarians to name several early sects. The Aryans, Paulicians and Goths also accepted Jesus (pbuh) as a prophet of God. Even in the modern age there are churches in Asia, in Africa, the Unitarian church, and others who do not worship Jesus (pbuh) as God.”

In present Christianity, Dr. Al-Johani continues, “the personality of Jesus (pbuh) … is completely misunderstood. Jesus’ (pbuh) nature, mission and claimed death and resurrection, have all been challenged by studies in the field. One of those is a book entitled “The Myth of God Incarnate,” which appeared in 1977 (edited by John Hick) and written by seven theological scholars in England. Their conclusion is that Jesus (pbuh) was “a man approved by God, for a special role within the divine purpose, and … the later conception of him as God incarnate … is a mythological or poetic way of expressing his significance for us.”

Continuing to read from Al-Johani’s article, “The best George Carey could say in his attempt to refute the findings of those theologians is that unless one takes Jesus (pbuh) as God Incarnate one won’t be able to understand Jesus’ (pbuh) mission or explain its impact on people. This definitely is a very weak argument because all great prophets such as Abraham, Moses, and Muhammad have had a tremendous impact on people and none of them claimed that he was God or a son of God.”

Dr. Al-Johani cites a January 5, 1978 article in the Washington Post, reporting that Dr. Robert Alley lost his post as the chairman of the Department of Religion at University of Richmond because of his view that Jesus (pbuh) never claimed to be the son of God. Reportedly, Dr. Alley’s conclusions were that: “The (Bible) passages where Jesus (pbuh) talks about the son of God are later additions…. what the church said about him. Such a claim of deity for himself would not have been consistent with his entire lifestyle as we can reconstruct. For the first three decades after Jesus’ (pbuh) death Christianity continued as a sect within Judaism. The first three decades of its existence of the church were within the synagogue. That would have been beyond belief if they (the followers) had boldly proclaimed the deity of Jesus (pbuh).”