Kepahlawanan Imam Ali Bin Abu Thalib Dalam Perang Ahzab (Kandhaq)

Posted: 29 Juli 2010 in Para Imam
Tag:, , ,

Perang Ahzab (Kandhaq)

Perang ini menjadi abadi dan masyhur dalam sejarah Islam, antara lain karena diikuti dengan turunnya firman Allah s.w.t. sebagaimana tercantum dalam Al-Qur’an (Surah Al-Ahzab). Untuk pertama kalinya dalam usia yang masih muda, kaum mus­limin di Madinah dikepung oleh kurang lebih 10.000 orang pa­sukan musyrikin, yang terdiri dari berbagai suku dan qabilah. Pasukan itu diperkuat lagi oleh kaum Yahudi Banu Quraidhah, yang mengkhianati perjanjian perdamaian dengan Rasul Allah s.a.w. Mereka ini bergabung dengan pasukan musyrikin Qureiys yang membeludak dari Makkah guna mengepung kota Madinah.

Peperangan tersebut dinamakan juga perang Khandaq (Parit), karena untuk menanggulangi penyerbuan kaum musyrikin Qureiys atas usul dan prakarsa Salman Al Farisi, dengan persetujuan Rasul Allah s.a.w., kaum muslimin menggali parit-parit yang cukup lebar dan dalam di sekitar pinggiran kota Madinah

Di perang Khandaq ini keampuhan dan ketangkasan Imam Ali r.a. juga teruji dalam perang tanding melawan seorang pende­kar Qureiys yang terkenal ulung, yaitu ‘Amr bin Abdu Wudd Al’Amiri. ‘Amr seorang prajurit berkuda yang gesit dan lincah bermain pedang atau tombak. Dengan congkak dan sombong ‘Amr bin Abdu Wudd berani maju ke depan menyeberangi parit pertahanan kaum muslimin, lewat bagian yang agak dangkal dan sempit. Sambil membanggakan kebolehannya mengendalikan kuda, ia berteriak menantang: “Hai . . . Apakah tak seorang pun yang berani keluar untuk bertanding?”

Tantangan dari seorang jagoan yang garang itu tidak ditang­gapi oleh pasukan muslimin. Kaum muslimin banyak yang menge­nal siapa ‘Amr bin Abdu Wudd itu dan betapa tenar namanya se­bagai pendekar yang mahir berperang tanding.

Setelah melihat kenyataan tak ada seorang pun yang me­nanggapi tantangan ‘Amr, Imam Ali r.a. tidak tahan lagi menahan perasaan geramnya. Ia segera berdiri dan berkata kepada Rasul Allah s.a.w.: “Ya Rasul Allah, biarlah saya yang menandingi dia!”

Rasul Allah s.a.w. yang mengetahui benar ‘ Amr itu seorang pendekar yang kenyang makan “garam” perang tanding, ber­anggapan, bahwa ‘Amr bukanlah tandingan bagi saudara misannya yang baru berusia kurang dari 30 tahun. Karena itu maka beliau menyahut: “Duduk sajalah engkau, dia adalah ‘Amr!”

Karena tidak ada juga jawaban dari fihak muslimin, mak ‘Amr yang beringas itu berkoar lagi: “Mana itu sorga yang akan kalian masuki bila kalian mati terbunuh, hah?!”

Ejekan itu terasa seperti sembilu yang sangat mengiris-­iris hati kaum muslimin, tetapi mereka tetap diam. Dengan darah muda yang mendidih laksana lahar yang menyembur dari kepun­dan, Imam Ali r.a. tidak dapat lagi menahan gejolak hatinya men­dengar penghinaan yang sangat menyakitkan itu. Ia mendesak lagi kepada Rasul Allah s.a.w.: “Biarlah saya yang menghadapinya; ya Rasul Allah!”

Tetapi Rasul Allah s.a.w. kembali memerintahkan supaya Imam Ali r.a. duduk dan tenang, sebab yang akan dihadapinya bukan sembarang orang. Dengan perasaan yang sudah terbakar dan dengan nada gemas, Imam Ali r.a. berusaha meyakinkan Rasul Allah s.a.w. bahwa ia sanggup melawan dedengkot kaum musy­rikin itu: “Biar ‘Amr sekalipun ya Rasul Allah!”

Mengingat tekad Imam Ali r.a. yang begitu bulat, dan mengi­ngat pula perlu membangkitkan keberanian kaum muslimin, akhirnya Rasul Allah s.a.w. memberi izin dan restu kepada Imam Ali r.a. untuk tampil ke depan. Imam Ali r.a. dengan hangat menyambut persetujuan dan idzin Rasul Allah s.a.w. Ia segera me­loncat ke depan menyongsong tantangan seorang lawan yang bu­kan sembarangan. Dengan mengenakan baju besi dan menghunus pedangnya yang tersohor dengan nama “Dzul Fiqar”, Imam Ali r.a. maju dengan ayunan langkah yang tegap dan diiringi doa Ra­sul Allah s.a.w.: “Ya Allah, dia adalah saudaraku dan putera pamanku. Janganlah Kaubiarkan aku seorang diri tanpa dia. Se­sungguhnya Engkau tempat aku berserah diri yang sebaik-baiknya.”

Setelah berhadap-hadapan dengan ‘Amr, tanpa perasaan gen­tar sedikit pun Imam Ali r.a. bertanya kepada ‘Amr: “Hai ‘Amr, bukankah engkau pernah berjanji, bahwa engkau akan menerima ajakan seorang dari Qureiys untuk menempuh salah satu di an­tara dua jalan hidup?”

“Ya!” jawab ‘Amr dengan singkat dan angkuh.

“Engkau kuajak. ke jalan Allah dan Rasul-Nya, ke jalan Is­lam”, kata Imam Ali r.a. melanjutkan. Kata-kata Imam Ali r.a. ini diucapkan dengan suara lantang yang memecahkan kesunyian garis pertempuran. Hampir semua mata dua pasukan yang siap tempur tertuju kepada dua sosok tubuh yang sedang berhadap-­hadapan.

‘Amr bin Abdu Wudd yang sudah cukup usia, garang dan ba­nyak pengalaman menghadapi perang tanding kini bertatap muka dengan seorang anak muda yang berdiri tegak di hadapannya. Pe­muda pemberani, jantan dan perkasa, berbaju besi dengan pedang terhunus di tangan. Sungguh anggun kelihatannya. Konfrontasi an­tara dua orang itu melambangkan konfrontasi dari dua kekuatan yang berlawanan. Kekuatan lama yang sudah lapuk dan kekuatan baru yang sedang tumbuh, yaitu kekuatan jahiliyah dan kekuatan lslam.

Mendengar pertanyaan yang bernada desakan itu, dengan ce­pat ‘Amr menyahut: “Aku tidak membutuhkan itu!”

“Kalau begitu, mari kita mulai bertanding!” tantang Imam Ali r.a. sambil siaga menghadapi gerakan ‘Amr. Akan tetapi tan­tangan Imam Ali r.a. yang serius itu diremehkan saja oleh ‘Amr: “Aku tak suka menumpahkan darahmu. Ayahmu kan teman ka­ribku!”

Tanpa memperdulikan ucapan ‘Amr, Imam Ali r.a. dengan perasaan tak sabar lagi berucap: “Tetapi, demi Allah, aku justru ingin membunuhmu!”

Ucapan seorang muda yang dianggap ketus oleh ‘Amr itu, ternyata membangkitkan amarah dan meluapkan emosinya. Cepat saja darah perang yang mengalir dalam tubuh ‘Amr mendi­dih. Naluri keprajuritannya secara cepat menyentakkan gerak refleksi dan langsung seketika itu juga Imam Ali r.a. diserang. Demikian gesit dan tangkasnya ‘Amr mengayunkan pedang de­ngan dorongan tenaga yang luar biasa. Tetapi Imam Ali r.a. tidak kalah tinggi nalurinya dan gerak refleksinya.

‘Amr yang sejak semula meremehkan lawan, ternyata sia-­sia belaka dalam mengerahkan segala kekuatan ototnya untuk menebas leher Imam Ali r.a. Kesempatan yang meleset itu di­pergunakan sebaik-baiknya oleh Imam Ali r.a. Ia mengelak, me­nangkis dan menyerang dalam gerak beruntun secara kilat. Pada saat ‘Amr kehilangan keseimbangan badan, Pedang Dzul Fiqar yang diayun kuat-kuat oleh Imam Ali r.a. menyambar bahu kanan ‘Amr sampai terbelah dua. Pendekar kebanggaan Qureiys itu jatuh dari atas kuda menggelepar di tanah mandi darah dan debu.

Perang tanding berlangsung demikian cepat dan selesai jauh lebih cepat dari yang diperkirakan orang. Pada mulanya ba­nyak yang menduga bahwa Imam Ali r.a. yang “masih hijau” itu akan “dibelah dua” oleh pedang ‘Amr. Oleh karena itu ketika jagoan Qureiys itu tersungkur tidak bangkit kembali, banyak orang dari kedua pasukan terkesima. Hampir saja mereka, tidak mempercayai apa yang sudah terjadi. Baru setelah Imam Ali r.a. menyerukan takbir, kaum muslimin menyambutnya dengan me­ngumandangkan kebesaran Allah: Allaahu Akbar …Allaahu Akbar…. !

Tanpa perasaan sombong dan tinggi hati Imam Ali r.a. ke­mudian menuju ke tempat Rasul Allah s.a.w. Dengan perasaan haru dan syukur ke hadirat Allah s.w.t., Rasul Allah s.a.w. menge­luarkan pernyataan singkat: “Perang tanding yang dilaksanakan oleh Ali bin Abi Thalib melawan ‘Amr bin Abdu Wudd itu meru­pakan perbuatan paling mulia yang dilakukan umatku sampai hari kiyamat.”

Akan tetapi terbunuhnya jagoan Qureiys belum menyelesai­kan jalannya perang Khandaq. Namun terbunuhnya tokoh Qureiys itu menimbulkan kegoncangan yang hebat di kalangan pasukan penyerbu. Semangat pasukan penyerbu makin merosot, setelah harapan mereka untuk dapat menerobos parit makin tipis.

Dalam keadaan seperti itu terjadilah angin ribut dan hujan de­ras diiringi suara petir sambar-menyambar. Kemah-kemah dan per­kakas-perkakas masak kaum musyrikin beterbangan dilanda a­ngin kencang. Kubu pertahanan mereka menjadi porak poranda dan banyak sekali diantara mereka yang tak tahan menghadapi tekanan udara dingin.

Di tengah-tengah hembusan angin puyuh seribut itu, Abu Sufyan yang dalam perang Khandaq ini bertindak selaku pimpinan pasukan penyerbu, berkata kepada anak buahnya: “Saudara-­saudara, kita tak perlu lama lagi tinggal di tempat ini. Banyak kuda dan unta kita yang sudah binasa. Bani Quraidah sudah tak mene­pati janjinya lagi dengan kita. Bahkan kita mendengar hal-hal dari mereka yang tidak menyenangkan hati. Tambah lagi kita meng­hadapi angin kencang begini ributnya. Maka itu lebih baik kita pulang saja. Aku sendiri akan berangkat pulang!”

Di tengah-tengah angin puyuh yang begitu kencangnya, Abu Sufyan dan rombongan secara bergelombang meninggal­kan tempat dan kembali ke Makkah. Keesokan harinya sudah tak ada lagi seorang Qureiys atau Yahudi yang masih tinggal. Semuanya sudah jauh meninggalkan parit. Rasul Allah bersama kaum muslimin lainnya dengan tenang kembali ke tempat kedi­aman masing-masing. Semuanya memanjatkan syukur sedalam-da­lamnya kepada Allah s.w.t. yang telah menghindarkan mereka dari marabahaya.

https://tausyah.wordpress.com

Komentar
  1. […] Kepahlawanan Imam Ali Bin Abu Thalib Dalam Perang Ahzab (Kandhaq) […]

    Suka

  2. […] Kepahlawanan Imam Ali Bin Abu Thalib Dalam Perang Ahzab (Kandhaq) […]

    Suka

  3. […] Sedang anda seorang dari kaum thulaqa, dan ayah anda pun dulu seorang pemimpin kaum musyrikin dalam perang Ahzab melawan kaum muslimin. Demi Allah, aku ingin berkata terus terang kepada anda, bahwa kami ini lebih […]

    Suka

  4. […] Allah Swt. berfirman: Yâ ayyuhâ alladzîna âmanu qâtilû al-ladzîna yalûnakum min al-kuffâr (Hai orang-orang yang beriman, perangilah orang-orang kafir yang ada di sekitar kalian itu). Kata qâtilû merupakan fi’l al-amr dari mashdar kata al-qitâl atau al-muqâtalah. Secara bahasa, kata al-muqâtalah berarti al-muhârabah (peperangan).2 Pengertian peperangan yang dimaksud tentulah perang fisik.3 […]

    Suka

  5. […] menambahkan: Abu Bakar memegang pemerintahan selama 2 tahun, Umar 10 tahun, Utsman 12 tahun dan Ali 6 tahun]. […]

    Suka

  6. […] Keempat Di dalam hadits ini terkandung pujian yang nyata bagi Ali dan Fathimah. […]

    Suka

  7. […] tidak berada dalam sebuah panggung yang besar, tetapi bekerja di antara tikaman- tikaman tombak dan pukulan-pukulan pedang serta hujan anak panah yang menimpa kaum Muslimin untuk menyampaikan makanan, obat dan air bagi […]

    Suka

  8. […] orang-orang yang beriman, ingatlah akan nikmat Allah (yang telah dikaruniakan) kepadamu ketika datang kepadamu tentara-tentara, lalu Kami kirimkan kepada mereka angin topan dan tentara yang tidak dapat kamu […]

    Suka

  9. […] orang Arab! janganlah berbuat seperti itu. Perbuatan seperti itu biasanya dilakukan oleh hamba sahaya kepada tuannnya, Ketahuilah, ALLAH mengutusku bukan untuk menjadi  seorang  yang  takabbur […]

    Suka

  10. […] harta benda, dan amal perbuatannya , yang dua kembali dan yang satu tetap bersamanya yaitu keluarga dan harta bendanya kembali dan amal perbuatannya tetap bersamanya (Hr Bukhari dan […]

    Suka

  11. […] orang Arab! janganlah berbuat seperti itu. Perbuatan seperti itu biasanya dilakukan oleh hamba sahaya kepada tuannnya, Ketahuilah, ALLAH mengutusku bukan untuk menjadi  seorang  yang  takabbur […]

    Suka

  12. […] berada dalam sebuah panggung yang besar, tetapi bekerja di antara tikaman- tikaman tombak dan pukulan-pukulan pedang serta hujan anak panah yang menimpa kaum Muslimin untuk menyampaikan makanan, obat dan air bagi […]

    Suka

  13. […] berada dalam sebuah panggung yang besar, tetapi bekerja di antara tikaman- tikaman tombak dan pukulan-pukulan pedang serta hujan anak panah yang menimpa kaum Muslimin untuk menyampaikan makanan, obat dan air bagi […]

    Suka

  14. […] tidak berada dalam sebuah panggung yang besar, tetapi bekerja di antara tikaman- tikaman tombak dan pukulan-pukulan pedang serta hujan anak panah yang menimpa kaum Muslimin untuk menyampaikan makanan, obat dan air bagi […]

    Suka

  15. […] harta benda, dan amal perbuatannya , yang dua kembali dan yang satu tetap bersamanya yaitu keluarga dan harta bendanya kembali dan amal perbuatannya tetap bersamanya (Hr Bukhari dan […]

    Suka

Tinggalkan komentar