Imam Ali Bin Abu Thalib dan Kepahlawanannya Dalam Perang Uhud

Posted: 28 Juli 2010 in Para Imam
Tag:, ,

Dalam peperangan yang kedua ini, Rasul Allah s.a.w. me­nyerahkan panji kaum muhajirin kepada Imam Ali r.a. Sedangkan panji kum Anshar diserahkan kepada salah seorang di antara mereka sendiri. Peperangan Uhud terkenal dalam sejarah sebagai peperangan yang amat gawat. 700 pasukan muslimin harus berhadapan dengan 3.000 pasukan kafir Qureiys yang dipersiapkan dengan perbekalan dan persenjataan serba lengkap. Kecuali itu di­perkuat pula dengan pasukan wanita di bawah pimpinan Hindun binti ‘Utbah, isteri Abu Sufyan bin Harb, guna memberikan doro­ngan moril, agar orang-orang kafir Qureiys jangan sampai lari meninggalkan medan tempur.

Untuk menghadapi kaum musyrikin yang sudah memusat­kan kekuatan di Uhud, pasukan muslimin di bawah pimpinan Rasul Allah s.a.w. menuju ke tempat itu, dengan memotong jalan sedemikian rupa, sehingga gunung Uhud berada di belakang me­reka. Kemudian Rasul Allah s.a.w. mulai mengatur barisan. 50 orang pasukan pemanah ditempatkan pada sebuah lembah di an­tara dua bukit. Kepada mereka diperintahkan supaya menjaga pasukan yang ada di belakang mereka. Ditekankan jangan sampai meninggalkan tempat, walau dalam keadaan bagaimanapun juga. Sebab hanya dengan senjata panah sajalah serbuan pasukan ber­kuda musuh dari belakang dapat ditahan.

Perang Uhud mulai berkobar dengan tampilnya Imam Ali r.a. ke depan melayani tantangan Thalhah bin Abi Thalhah yang ber­koar menantang-nantang: “Siapakah yang akan maju berduel?”

Seperti api disiram minyak semangat Imam Ali r.a. membara. Dengan ayunan langkah tegap dan tenang, serta sambil menge­retakkan gigi, ia maju dengan pedang terhunus. Baru saja Thalhah bin Abi Thalhah menggerakan tangan hendak mengayun pedang, secepat kilat pedang Imam Ali r.a. “Dzul Fikar” menyambarnya hingga terbelah dua. Betapa bangga Rasul Allah s.a.w. me­nyaksikan ketangkasan putera pamannya itu. Ketika itu kaum muslimin yang menyaksikan kesigapan Imam Ali r.a., menguman­dangkan takbir berulang-ulang.

Dengan tewasnya Thalhah bin Ahi Thalhah, pertarungan se­ngit berkecamuk antara dua pasukan. Sekarang Abu Dujanah tampil dengan memakai pita maut di kepala dan pedang terhunus di tangan kanan yang baru saja diserahkan oleh Rasul Allah s.a.w. kepadanya. Ia seorang yang sangat berani. Laksana harimau ke­luar dari semak belukar ia maju menyerang musuh dan mem­bunuh siapa saja dari kaum musyrikin yang berani mendekatinya. Bersama Abu Dujanah, Imam Ali r.a. mengobrak-abrik baris­an musuh.

Dalam pertempuran ini Hamzah bin Abdul Mutthalib tidak kalah semangat dibanding dengan putera saudaranya sendiri, Imam Ali r.a., dan Abu Dujanah. Hamzah demikian lincah dan tangkas melabrak pasukan musyrikin dan menewaskan tiap orang yang berani mendekat. Ia terkenal sebagai pahlawan besar da­lam menghadapi musuh. Sama seperti dalam perang Badr, da­lam perang Uhud ini Hamzah benar-benar menjadi singa dan merupakan pedang Allah yang sangat ampuh. Banyak musuh yang mati di ujung pedangnya.

Dalam pertempuran antara 700 pasukan muslimin melawan 3000 pastikan musyrikin itu, kita saksikan kejantanan trio Imam Ali r.a., Hamzah dan Abu Dujanah. Mereka merupakan tauladan dan wujud dari kekuatan moril yang sangat tinggi. Suatu kekuatan yang membuat pasukan Qureiys menderita kehancuran mental, mundur dan surut.

Tiap panji mereka lepas dari tangan pemegangnya dan digan­ti oleh pemegang panji yang lain, tiap kali itu juga dipangkas habis oleh tiga sejoli pahlawan Islam itu. Thalhah bin Abi Thal­hah kepalanya dibelah dua oleh Imam Ali r.a. Utsman bin Abi Thalhah dipotong gembungnya oleh Hamzah, Abu Saad lolos dari ujung pedang Abu Dujanah dan berusaha merebut panji musyrikin Qureiys yang sudah dirobek-robek oleh Abu Dujanah, tetapi keburu dipisahkan kepalanya dari batang tubuhnya oleh Imam Ali r.a. Sembilan orang pemegang panji musyrikin Qureiys tewas berturut-turut di ujung pedang Imam Ali r.a., Hamzah dan Abu Dujanah.

Mental pasukan Qureiys sudah patah sama sekali. Pasukan wanita mereka lari terbirit-birit. Berhala-berhala yang mereka bawa untuk dimintai restu dalam peperangan, sekarang sudah jatuh terpelanting dari punggung unta. Dalam keadaan masing-ma­sing lari untuk menyelamatkan diri, semua perbekalan yang mereka bawa dari Makkah ditinggalkan dan senjata-senjata di ­buang di kiri-kanan jalan.

Alangkah banyaknya barang-barang itu. Hal ini membuat pasukan muslimin lengah dan lupa daratan. Fikiran mereka sudah teralih kepada kekayaan duniawi. Pasukan pemanah yang di wanti-wanti supaya jangan sampai meninggalkan tempat, walau dalam keadaan bagaimanapun juga, sekarang mulai mengarah­kan pandangan-mata kepada teman-teman yang sedang sibuk mengangkuti barang-barang rampasan. Melihat barang-barang se­demikian banyaknya, mereka tak dapat lagi menahan air liur. Bahkan khawatir kalau-kalau tak akan mendapat bagian!

Sebagian besar pasukan pemanah itu turun meninggalkan lereng gunung untuk ikut ambil bagian dalam kesibukan mengum­pulkan barang-barang peninggalan musuh. Pesan Rasul Allah s.a.w. mereka lupakan. Apalagi yang harus dikerjakan, tokoh pe­perangan sudah kita menangkan? Begitulah fikir mereka. Pada saat itulah Khalid bin Al Walid, seorang komandan pasukan ber­kuda Qureiys, mengambil kesempatan untuk menyerbu dari be­lakang kaum muslimin yang sedang memperebutkan barang rampasan.

Khalid bin Al Walid melancarkan serangan sengit. Bencana berbalik menimpa kaum muslimin. Setelah melihat situasi be­rubah, orang-orang kafir Qureiys yang lari kembali lagi dan me­lakukan serangan dahsyat, hingga pasukan muslimin terpaksa melemparkan barang-barang dan senjata rampasan yang baru di­kumpulkan. Mau tidak mau kaum muslimin sekarang harus meng­hunus pedang guna menangkis.

Sayang seribu sayang. Mereka hanya berjuang untuk menye­lamatkan diri dari ancaman maut. Iman mereka menjadi kendor, barisan tercerai-berai, terpisah dari pimpinan Rasul Allah s.a.w. Keadaan mereka sudah sedemikian kacau dirangsek oleh serangan musuh, sehingga tak aneh kalau sampai terjadi pedang seorang muslim tanpa disengaja mengenai saudaranya sendiri.

Di saat-saat yang genting seperti itu, Imam Ali r.a. dan para sahabat lainnya segera melindungi Rasul Allah s.a.w. Dengan se­genap kekuatan yang ada mereka menangkis tiap serangan yang datang, guna menyelamatkan Rasul Allah s.a.w. Semua sudah bertekad hendak mati syahid, lebih-lebih setelah melihat Rasul Allah s.a.w. terkena lemparan batu besar yang dicampakkan oleh ‘Utbah bin Abi Waqqash. Akibat lemparan batu itu geraham Ra­sul Allah s.a.w. patah, wajahnya pecah-pecah, bibirnya luka ­parah, dan dua buah kepingan rantai topi besi yang melindungi wajah beliau menembus pipinya.

Setelah dapat menguasai diri kembali, Rasul Allah s.a.w. berjalan perlahan-lahan dikelilingi oleh sejumlah sahabat. Tiba-­tiba beliau terperosok ke dalam sebuah liang yang sengaja digali oleh Abu ‘Amir untuk menjebak pasukan muslimin. Imam Ali r.a. bersama beberapa orang sahabat lainnya cepat-cepat mengangkat beliau. Kemudian dibawa naik ke gunung Uhud untuk disela­matkan dari pengejaran musuh. Di celah-celah bukit, Imam Ali r.a. mengambil air untuk membasuh wajah Rasul Allah s.a.w. dan menyirami kepala beliau. Dua buah kepingan rantai besi yang me­nancap dan menembus pipi beliau dicabut oleh Abu Ubaidah bin Al Jarrah dengan giginya, sampai dua buah gigi-serinya tanggal.

Kaum musyrikin Qureiys dengan kemenangan itu merasa sudah sungguh-sungguh berhasil menebus kekalahan dalam pe­rang Badr. Seperti yang dikatakan oleh Abu Sufyan: “Yang se­karang ini untuk menebus peristiwa perang Badr. Sampai jumpa lagi tahun depan!”

Akan tetapi isterinya yang bernama Hindun binti ‘Utbah belum merasa cukup dengan kemenangan itu. Dan belum puas kalau hanya mendengar berita tentang tewasnya Hamzah bin Ab­dul Mutthalib, yang telah membunuh seorang saudaranya da­lam perang Badr. Bersama beberapa orang wanita lain ia mencari-­cari mayat kaum muslimin. Mereka memotongi telinga dan hidung mayat-mayat itu dan dijadikan barang mainan. Tidak itu saja, mayat Hamzah dibedah perutnya, dikeluarkan jantungnya (hati­nya), lalu dikunyah-kunyah, tetapi ia tak sampai dapat menelan­nya. Demikian kejam dan sadisnya Hindun itu, yang kemudian ditiru oleh teman-temannya, bahkan tidak sedikit pula orang le­laki musyrikin Qureiys meniru sadisme Hindun.

Dari sangat kejinya perbuatan mereka itu, sampai pemimpin mereka, yakni suaminya Hindun, yaitu Abu Sufyan tidak mau bertanggung-jawab dan berusaha mencuci-tangan. Meskipun Abu Sufyan telah mencuci-tangan, namun kekotoran dirinya tak da­pat disembunyikan. Inilah kata-kata Abu Sufyan: “Mayat-mayat kalian mengalami penganiayaan. Aku sungguh tidak senang, te­tapi juga tidak benci. Aku tidak memerintahkan, tetapi juga ti­dak melarang.”

Perang Uhud benar-benar memberi pelajaran berharga kepada kaum muslimin. Daya tarik keduniaan hampir saja menghancur­kan kaum muslimin yang masih pada awal pertumbuhannya.

Disadur dari buku :

Sejarah Hidup Imam Ali bin Abi Thalib r.a.
Oleh H.M.H. Al Hamid Al Husaini
Penerbit: Lembaga Penyelidikan Islam

https://tausyah.wordpress.com

Komentar
  1. […] mengenalmu sejak jari-jarimu luka pada waktu perang Uhud,“ kata Khalifah Umar r.a. kepada Thalhah. “Dan aku juga mengenal kecongkakan yang pernah […]

    Suka

  2. […] Sitti Aisyah r.a. tiba di Harf Abi Musa, dekat Bash­rah, penguasa daerah Bashrah yang diangkat oleh Khalifah Imam Ali r.a., bernama Utsman bin Hanif, mengirim Abul Aswad Ad Du­aliy guna menemui […]

    Suka

  3. […] merawat  luka  Nabi  sepulangnya  dari  Perang  Uhud. Fatima juga ikut bersama Nabi ketika merebut Mekkah, begitu juga ia ikut ketika Nabi melaksanakan […]

    Suka

  4. […] berbagai beban rumahnya. Thabrani menceritakan, bahwa ketika kaum Musyrikin telah meninggalkan medan perang Uhud, wanita-wanita sahabah keluar untuk memberikan pertolongan kepada kaum Muslimin. Di antara mereka  […]

    Suka

  5. […] berjihad dan mengibarkan bendera Islam. Abu Salamah mengikuti perang Badar dan perang Uhud. Pada Perang Uhud inilah beliau terkena luka yang parah. Beliau terkena panah pada begian lengan dan tinggal untuk […]

    Suka

  6. […] merawat  luka  Nabi  sepulangnya  dari  Perang  Uhud. Fatima juga ikut bersama Nabi ketika merebut Mekkah, begitu juga ia ikut ketika Nabi melaksanakan […]

    Suka

  7. […] 0 Arab Dalam sebuah riwayat dikisahkan, bahwasanya di waktu Rasulullah s.a.w. sedang asyik bertawaf di Ka’bah, beliau  mendengar  seseorang  di  hadapannya bertawaf,  sambil berzikir: […]

    Suka

  8. […] di sampingnya … dan inilah ucapan ibu bar’ah kepadanya “Bar`ah aku akan pergi ke  surga di depan Anda, tapi aku ingin kamu selalu membaca Al- Quran dan menghafalkannya setiap hari karena […]

    Suka

  9. […] dan amal perbuatannya , yang dua kembali dan yang satu tetap bersamanya yaitu keluarga dan harta bendanya kembali dan amal perbuatannya tetap bersamanya (Hr Bukhari dan […]

    Suka

  10. […] ISLAM 0 Dalam sebuah riwayat dikisahkan, bahwasanya di waktu Rasulullah s.a.w. sedang asyik bertawaf di Ka’bah, beliau  mendengar  seseorang  di  hadapannya bertawaf,  sambil berzikir: […]

    Suka

  11. […] berbagai beban rumahnya. Thabrani menceritakan, bahwa ketika kaum Musyrikin telah meninggalkan medan perang Uhud, wanita-wanita sahabah keluar untuk memberikan pertolongan kepada kaum Muslimin. Di antara mereka  […]

    Suka

  12. […] berbagai beban rumahnya. Thabrani menceritakan, bahwa ketika kaum Musyrikin telah meninggalkan medan perang Uhud, wanita-wanita sahabah keluar untuk memberikan pertolongan kepada kaum Muslimin. Di antara mereka  […]

    Suka

  13. […] berbagai beban rumahnya. Thabrani menceritakan, bahwa ketika kaum Musyrikin telah meninggalkan medan perang Uhud, wanita-wanita sahabah keluar untuk memberikan pertolongan kepada kaum Muslimin. Di antara mereka  […]

    Suka

  14. […] dan amal perbuatannya , yang dua kembali dan yang satu tetap bersamanya yaitu keluarga dan harta bendanya kembali dan amal perbuatannya tetap bersamanya (Hr Bukhari dan […]

    Suka

Tinggalkan komentar