Posts Tagged ‘Iman Dan Islam’

Cukup banyak himbauan dalam al-Qur’an dan as-Sunnah untuk menjalin hubungan persahabatan dan persaudaraan diantara kaum Muslimin, antara lain bisa dilihat misalnya dalam :

“Sesungguhnya orang-orang Mukmin itu saling bersaudara.”
(Qs. al-Hujurat 49:10)

“Dan orang-orang Mukmin, laki-laki dan perempuan, sebagian dari mereka adalah penolong [wali] bagi sebagian yang lain.” (Qs. at-Taubah 9:71)

Dalam beberapa Haditsnya Rasulullah Saw pun bersabda :

“Janji keselamatan bagi kaum Muslim berlaku atas mereka semua, dan mereka semua seia-sekata dalam menghadapi orang-orang selain mereka. Barangsiapa melanggar janji keamanan seorang Muslim, maka kutukan Allah, Malaikat dan manusia sekalian tertuju kepadanya dan tidak diterima darinya tebusan atau pengganti apapun pada hari kiamah kelak.”

“Seorang Muslim adalah saudara bagi Muslim lainnya. Tidak boleh ia menganiayanya dan tidak pula membiarkannya dianiaya. Barangsiapa mengurusi keperluan saudaranya sesama Muslim, niscaya Allah akan memenuhi keperluannya sendiri. Dan barangsiapa membebaskan beban penderitaan seorang Muslim, maka Allah akan membebaskan penderitaannya dihari kiamat kelak. Dan barangsiapa menutupi aib seorang Mukmin, maka Allah akan menutupi aibnya dihari kiamat.”

“Hindarkan dirimu dari persangkaan buruk, sesungguhnya yang demikian itu adalah sebohong-bohong perkataan. Jangan mencari-cari aib orang lain, jangan memata-matai, jangan bersaingan menawar barang dengan maksud merugikan orang lain, jangan saling menghasut, jangan saling bermusuhan dan jangan saling membenci. Jadilah kalian hamba-hamba Allah yang bersaudara. Dan tidaklah halal bagi seorang Muslim mendiamkan saudaranya sesama Muslim lebih dari 3 hari.”

“…Lantaran itu, damaikanlah diantara dua saudara kamu dan berbaktilah kepada Allah agar kamu diberi rahmat.”
(Qs. al-Hujurat 49:10)

“Hai orang-orang yang beriman, jauhilah kebanyakan dari prasangka, sesungguhnya sebagian dari prasangka itu adalah dosa; dan janganlah kamu mengintai-intai dan janganlah sebagian dari kamu mengumpat sebagian yang lain; apakah suka seseorang dari kamu memakan daging bangkai saudaranya ? Tentu kamu akan merasa jijik kepadanya ! Bertakwalah kepada Allah, sesungguhnya Allah itu Pengampun, Penyayang.”
(Qs. al-Hujurat 49:12)

Telah diketahui secara pasti bahwa hanya dengan Islam dan beriman secara sungguh-sungguh, seorang hamba dapat meraih puncak keridhoan Allah azza wajalla. Ulama-ulama dari Ahlus-Sunnah bersepakat bahwa hakikat Islam dan Iman adalah pengucapan 2 kalimah syahadat, pembenaran adanya hari kebangkitan, mendirikan sholat 5 waktu karena Allah, melaksanakan ibadah Haji bila mampu, berpuasa dibulan Ramadhan serta mengeluarkan zakat.

Bukhari dalam kumpulan hadistnya telah meriwayatkan beberapa sabda Rasulullah Saw :

“Barangsiapa bersaksi bahwa Tiada Tuhan selain Allah, menghadap kiblat kita, mengerjakan sholat kita dan memakan hasil sembelihan kita, maka ia adalah seorang Muslim. Baginya berlaku hak dan kewajiban yang sama sebagai Muslim lainnya.”

Berdasarkan ayat-ayat Allah dan fatwa Nabi Muhammad Saw diatas, adalah tidak pada tempatnya kita selaku manusia yang mengaku beragama Islam dan mengaku telah beriman secara Kaffah menciptakan suasana rusuh dan mengobarkan semangat perpecahan dikalangan sesama Muslim.

Maukah kita mendapatkan kecaman dari Allah dan Rasul-Nya ?

Umat Islam sudah cukup lama terombang-ambing dalam gelombang perpecahan aneka ragam alirannya dan masing-masing pihak merasa hanya kaumnya sajalah yang paling benar serta layak memasuki syurga dan selain kaum mereka ini maka kaum lainnya berada pada posisi salah dan halal neraka baginya.

Tidak urung ayat-ayat al-Qur’an dan Hadist-hadist Nabi justru dijadikan ujung tombak untuk menghantam lawan bicaranya sesama Muslim, entah itu mereka yang menisbatkan diri dalam jemaah Ahlus-Sunnah, Syi’ah, Muktazilah, Khawarij, Ahmadiyah dan sebagainya.

Tidakkah mereka sadar bahwa yang mereka perdebatkan ini tidak lain adalah sesuatu penafsiran terhadap hal yang sama dalam sudut pandang yang berbeda.

Imam Ali bin Abu Thalib r.a, adalah contoh teladan kedua sesudah Rasulullah Saw yang mengajarkan mengenai hakikat persaudaraan sesama Muslim, menghargai keutuhan persatuan umat dibawah panji-panji kebenaran Tauhid.

Beliau menolak mengikuti keinginan sebagian dari para sahabat untuk melakukan pemberontakan terhadap pemerintahan Khalifah Abu Bakar sepeninggal Rasulullah Saw, dan disaat ia menjabat selaku Khalifah, sikap ini terus dipertahankannya bahkan dalam medan pertempurannya menghadapi gerakan ‘Aisyah pada peristiwa perang Jamal dan disaat menghadapi pemberontakan kelompok Muawiyah.

Imam Ali bin Abu Thalib r.a, begitu mengedepankan rasa persaudaraan antar umat Muslim diatas perasaan dirinya pribadi sehingga beliaupun rela mendapat kecaman dari sejumlah orang atas sikapnya yang lunak dengan Muawiyah yang mengakibatkan pecahnya pemberontakan kaum Khawarij sampai terbunuhnya beliau dalam salah satu kesempatan.

Tindakan dan sikap yang diambil oleh Khalifah ke-4 yang juga menantu Nabi Muhammad Saw ini sudah pasti bukan tindakan yang tidak disertai pertimbangan dan kearifan yang tinggi, sebagai salah seorang sahabat dan keluarga terdekat dari Rasulullah, Imam Ali bin Abu Thalib r.a, tentunya merupakan orang yang paling mengerti mengenai Islam dan ia bukan seorang yang pengecut.

Dengan demikian, hendaklah kiranya kaum Muslimin sekarang ini sudi untuk merenung dan menganalisa secara bijak mengenai perpecahan yang terjadi diantara mereka, perpecahan yang mengarah kepada permusuhan dan kebencian bukan menjadi satu rahmat namun justru merupakan malapetaka.

Kehormatan seorang Muslim haruslah dijunjung tinggi meskipun mungkin Muslim tersebut memiliki sudut pandang berbeda dengan kita terhadap hal-hal tertentu, ini bukan alasan untuk mengkafirkan mereka apalagi menumpahkan darahnya dengan mengatasnamakan kebenaran.

Diriwayatkan oleh Bukhari dari Abdu Dzar :
“Telah berkata Nabi Saw kepadaku, bahwa malaikat Jibril berkata: ‘Barangsiapa diantara umatmu meninggal dunia dalam keadaan tiada menyekutukan Allah dengan sesuatu apapun, maka ia akan masuk syurga.”; kemudian aku bertanya: ‘Kendatipun ia pernah berzina dan mencuri ?”; Jawab Nabi Muhammad Saw: “Ya, walaupun ia pernah berbuat hal itu.”

Hadist diatas ini bukan bertendensikan menghalalkan tindakan kejahatan atas umat Muhammad Saw akan tetapi memiliki orientasi kepada pengagungan harkat dan martabat seorang Muslim.

Jelas bahwa Allah tidak lalai dari apa yang kita kerjakan, suatu perbuatan yang negatif, apabila dilakukan secara terus menerus tentunya akan menyebabkan ketergeseran derajat kemanusiaan seseorang dihadapan Allah, dan lambat laun seorang Muslim-pun dapat menjadi seorang yang fasik atau munafik dan tidak menutup kemungkinan dia malah menjadi kafir kepada Allah sehingga jaminan Allah ini menjadi hilang atas dirinya.

Diberbagai tempat kita meributkan masalah ke-Khalifahan, orang Syi’ah merasa lebih tinggi dari ahlus-Sunnah dan sebaliknya kaum ahli-Sunnah pun tidak jarang malah memperolok-olokkan kaum Syi’ah dan bahkan beberapa diantaranya sampai mengkafirkan mereka hanya karena mereka lebih mencintai ahli Bait Nabi Muhammad Saw dan mengeluarkan kritikan-kritikan pedas atas beberapa Muslim generasi awal.

Fenomena Ahmadiyah juga menggelitik sejumlah umat Islam untuk mendeskreditkan sebagian dari mereka sampai mengeluarkan fatwa tidak syahnya status ke-Islaman semua Jemaah ini.

Dikalangan ahlus-Sunnah terdapat banyak Madzhab yang dipimpin oleh Imamnya masing-masing, diantaranya yang terbesar adalah Imam Hambali, Syafi’i, Maliki dan Hanafi, ke-4 Jemaah ini memiliki banyak sekali perbedaan-perbedaan didalam penafsiran atas ayat-ayat Allah dan juga petunjuk Rasul-Nya, dimulai dari masalah Thaharah, Sholat, Puasa, Nikah, Talak dan seterusnya.

Dibalik beberapa kesamaannya, masing-masing mereka memberikan argumen dari sudut pandang yang berbeda tentang banyak hal yang sama.

Padahal, apabila kita ingin berbicara jujur, perselisihan yang terjadi antar umat Islam dan antar Jemaah maupun Mazhab hanyalah karena masing-masing memiliki penafsiran berbeda tentang al-Qur’an dan Hadist Rasul, namun apakah hal ini bisa menjadikan satu alasan untuk memberikan vonis kekafiran kepada mereka ?

Andaikanlah diantara penafsiran sebagian dari mereka ini menyimpang dari apa yang seharusnya, namun ini tetap saja belum mengeluarkan status ke-Islaman yang melekat pada diri mereka, tentunya selama mereka tetap berpegangkan kepada satu Kalimah “Tidak ada Tuhan tempat mengabdi selain Allah, Tuhan yang memiliki nama-nama terbaik dan memiliki sifat-sifat suci, yang tidak beranak dan tidak diperanakkan.”

Kehormatan seorang Muslim tetap terjamin meskipun dia mengucapkan kalimah “La ilaha illa Allah” sebagai penyelamat dari suatu usaha pembunuhan, dan ini diceritakan oleh banyak perawi Hadist.

Muslim dalam salah satu hadist yang diriwayatkannya dari berbagai saluran ada menceritakan :

“Bahwa suatu hari ‘Utban bin Malik al-Anshari mengunjungi Rasulullah Saw dan meminta agar beliau mau singgah kerumahnya dan sholat didalamnya, karena ia ingin menjadikannya Musholla. Dalam satu pembicaraan diantara mereka, Nabi menanyakan keberadaan salah seorang dari sahabat ‘Utban yang bernama Malik bin Ad-Dukhsyun bin Ghunm bin ‘Auf bin ‘Amr bin ‘Auf yang diketahui sebagai orang yang munafik.

Beberapa sahabat keheranan dan mencoba mengingatkan Nabi bahwa ‘Utban itu adalah orang yang munafik, tapi Nabi mengeluarkan jawaban : “Jangan berkata demikian, tidakkah kamu melihatnya telah berucap “La ilaha illa Allah” semata-mata demi keridhoan Allah ?”; diantara para sahabat masih ada yang penasaran dan mencoba kembali mengeluarkan argumennya : “Memang benar ia mengucapkan yang demikian, namun tidak disertai dengan ketulusan hatinya, sungguh kami sering melihatnya pergi dan berkawan dengan orang-orang munafik.”
Nabi menjawab : “Tiada seorangpun bersaksi bahwa Tiada Tuhan melainkan Allah dan bahwa aku adalah Rasul Allah yang akan dimasukkan kedalam api neraka atau menjadi umpannya.”

Demikianlah seharusnya kita didalam berpijak, tidak mudah melemparkan tuduhan kepada seseorang atau sekelompok kaum hanya karena berbeda pendapat dengan diri kita, sedangkan bagi orang yang jelas-jelas seperti Malik bin Ad-Dukhsyun saja Rasulullah Saw tidak melemparkan ucapan kekafiran atasnya dan malah mengedepankan rasa baik sangka sebagaimana yang diajarkan oleh Allah.

Satu keselarasan yang bisa kita kemukakan disini satu ayat al-Qur’an :

“Sesungguhnya orang-orang Mu’min, orang-orang Yahudi, orang-orang Nasrani dan orang-orang Shabiin, siapa saja diantara mereka yang benar-benar beriman kepada Allah, Hari kemudian dan beramal saleh, mereka akan menerima ganjaran dari Tuhan mereka, tidak ada ketakutan terhadap mereka, dan tidak berduka cita.”
(Qs. al-Baqarah 2:62)

Nyata sekali bahwa jangankan kepada orang yang mengakui ke-Rasulan Muhammad Saw bin Abdullah, bahkan bagi mereka yang tidak mengakui kenabian Muhammad pun yang dalam istilah kita sekarang ini termasuk dalam kategori Unitarian tetap mendapatkan jaminan dari Allah untuk memperoleh ganjaran disisi-Nya selama mereka tidak mengadakan Tuhan-Tuhan dalam bentuk apapun selain Allah yang Maha Esa, yang Tidak beranak dan tidak diperanakkan, yang tidak memiliki kesetaraan dengan apapun dalam keyakinan mereka.

Kita seringkali terlalu banyak memperturutkan rasa ke-egoismean semata didalam menghadapi orang yang tidak sejalan dengan kita yang akibat dari semua ini akan menyulut konflik berkepanjangan dan tidak berkesudahan.

al-Qur’an dalam surah ali Imran (3) ayat ke 159 menganjurkan untuk mengadakan musyawarah didalam mencapai jalan keluar terbaik, selain itu ; juga dalam Surah yang lain, al-Qur’an pun memberikan kebebasan bagi manusia untuk melakukan dialog pertukar pikiran secara baik-baik dan saling menghargai.

Seorang manusia dilarang mencemooh manusia lainnya berdasarkan firman Allah dalam surah al-Hujurat (49) ayat 11 dan beberapa firman Allah berikut ini pun harus menjadi renungan tambahan bagi kita :

“Sesungguhnya mereka yang suka akan tersebarnya keburukan dikalangan kaum beriman akan mendapatkan azab yang pedih didunia dan akhirat…”
(Qs. an-Nur 24:19)

“Hai orang-orang yang beriman, hendaklah kamu menjadi manusia yang lurus karena Allah, menjadi saksi dengan adil; dan janganlah kebencian kamu atas satu kaum menyebabkan kamu berlaku tidak adil.
Berbuatlah adil, ini lebih mendekatkan kamu kepada ketakwaan; takutlah kamu kepada Allah sebab Allah amat mengetahui apa yang kamu kerjakan.”

(Qs. al-Maidah 5:8)

Kita acapkali jengkel dengan penafsiran segelintir jemaah terhadap ayat-ayat al-Qur’an dan juga al-Hadist, mereka memutar balikkan semuanya sekehendak hati mereka sehingga masing-masing merasa bahwa ayat-ayat dan Hadist-hadist tersebut memperkuat aliran mereka, namun sesuai amanat al-Qur’an, yang demikian tidak berarti harus kita sikapi dengan anarkis dan menghilangkan sudut keobjektifitasan kita.

Marilah kita saling bahu membahu antar sesama saudara seiman didalam menegakkan ajaran Allah, para pengikut ahli Bait menjalin hubungan baik dengan mereka yang mengaku sebagai pengikut sunnah Nabi; dan keduanya ini pun haruslah mau untuk tidak memutuskan tali silaturahmi terhadap mereka yang berasal dari jemaah Ahmadiyah dan begitulah seterusnya secara wajar.

Kita boleh bertukar pikiran dan kita juga tidak dilarang untuk saling berdebat, mari kita kemukakan dalil-dalil yang kita miliki dan kita yakini menunjang apa yang kita jalani, jikapun tidak terdapat jalan keluar terbaik, marilah kita benci pendapatnya saja namun bukan orangnya.

“Apabila kamu berbantahan disatu permasalahan, hendaklah kamu mengembalikannya kepada Allah dan Rasul apabila adalah kamu beriman kepada Allah dan hari kemudian.”
(Qs. an-Nisa’ 4:59)

Banyak orang mengatakan bahwa melakukan Bai’at terhadap pemimpin itu wajib hukumnya, namun ber-bai’at terhadap Allah dan Rasul-Nya Muhammad Saw jauh melebihi dari kewajiban berbai’at kepada siapapun.

Jika mencintai ahli Bait adalah suatu keharusan, maka berpegang kepada Sunnah itu pun merupakan bagian dari keimanan.

Mari kita hargai hasil ijtihad dari masing-masing manusia sebagaimana kita juga ingin orang lain menghargai pendirian yang kita yakini.

Tulisan ini tidak untuk ditujukan pembenaran suatu klaim dari jemaah tertentu dan tidak pula dimaksudkan untuk menyudutkan suatu pandangan tertentu pula, semua ini hanyalah karena terdorong rasa kerinduan terhadap hadirnya kembali ruh-ruh Muhammad maupun sosok Ali bin Abu Thalib r.a yang mencintai persaudaraan dan kesatuan umat Islam.

“Sesungguhnya mereka yang memperdebatkan ayat-ayat Allah dengan tidak ada alasan yang datang kepada mereka, tidak ada didada-dada mereka melainkan kesombongan yang mereka tidak akan sampai kepadanya.”
(Qs. al-Mu’min 40:56)

“Dan janganlah kamu mengikuti apa yang kamu tidak mempunyai pengetahuan didalamnya. Sesungguhnya pendengaran, penglihatan dan hati, semuanya itu akan diminta pertanggunganjawabnya.”
(Qs. al-Israa 17:36)

https://tausyah.wordpress.com

Saudara saudariku..katahuilah olehmu, bahwasanya pergaulan antara kamu dengan sebahagian kamu yang lain termatlah sangat besar pengaruhnya bagi akhlak dan terlebih agamamu. Maka hendaklah kamu berhati – hati, layaknya iblis yang sejak dahulu telah berjanji pada Allah Azza wa Jalla hendak menyesatkan ummat manusia. Demikian pula dengan manusia – manusia yang sesat lagi keluar dari jalur agama, niscaya tiadalah ia berkehendak sesat dengan sendirinya melainkan ia akan mencari dan mengumpulkan sebanyak – banyaknya teman agar kiranya juga sesat sebagaimana dirinya.

Rasulullah sholallahu ‘alaihi wa salam bersabda;
“Seseorang itu tergantung agama temannya. Maka hendaknya salah seorang dari kalian melihat siapa temannya.” (HR. Ahmad dan Tirmidzi).

Maka saudara – saudariku, janganlah sekali – kali kamu terperdaya dengan tipu muslihat iblis yang telah merajai segenap akhlak dan tingkah laku manusia. Bisik – bisik baying – baying kesesatan yang teramat halus gerangannya pada dirimu, demikianlah..mereka (iblis) menjadi – jadikan sesuatu yang buruk itu baik dalam perkataan maupun perbuatan adalah seolah tiada salahnya bagimu sampai kemudian engkau sesat lagi menyesatkan.

Rasulullah Shalallaahu’ alaihi wasalam bersabda;
“Jangan berteman, kecuali dengan orang mukmin, dan jangan memakan makananmu kecuali orang yang bertakwa.” (HR. Ahmad dihasankan oleh al-Albani)

Jika ia seorang ahli maksiat, maka jauhilah ia..sedang jika ia adalah seorang alim lagi beramal ibadah yang baik maka hampirilah ia. Janganlah kamu takut untuk benar melainkan takutilah segala apa – apa yang kiranya hendak menyesatkanmu, sesungguhnya yang sedemikian itu adalah terlebih besar mudharatnya dari atas apa – apa yang kamu sangka – sangkakan.
Maka cintailah saudara saudarimu yang seiman dalam islam karena Allah Azza wa Jalla, niscaya engkau akan merasakan manis lagi nikmatnya iman yang Allah limpahkan atas kamu.

Rasulullah Shalallaahu alaihi wasalam bersabda;
“Sesungguhnya Allah pada Hari Kiamat berseru, ‘Di mana orang-orang yang saling mencintai karena keagungan-Ku? Pada hari ini akan Aku lindungi mereka dalam lindungan-Ku, pada hari yang tidak ada perlindungan, kecuali per-lindungan-Ku.” (HR. Muslim)

Dari Mu’adz bin Jabal Rodhiyallohu ‘anhu berkata, “Aku mendengar Rasulullah Shalallaahu ‘alaihi wasalam bersabda; Allah Tabaraka wa Ta’ala berfirman, “Wajib untuk mendapatkan kecintaan-Ku orang-orang yang saling mencintai karena Aku dan yang saling berkunjung karena Aku dan yang saling berkorban karena Aku.” (HR. Ahmad).

Sebagaimana diriwayatkan oleh Imam Muslim dalam hadits Abu Hurairah Rodhiyallaahu ‘anhu , diceritakan, “Dahulu ada seorang laki-laki yang berkunjung kepada saudara (temannya) di desa lain. Lalu ditanyakan kepadanya, ‘Ke mana anda hendak pergi? Saya akan mengunjungi teman saya di desa ini’, jawabnya, ‘Adakah suatu kenikmatan yang anda harap darinya?’ ‘Tidak ada, selain bahwa saya mencintainya karena Allah Azza wa Jalla’, jawabnya. Maka orang yang bertanya ini mengaku, “Sesungguhnya saya ini adalah utusan Allah kepadamu (untuk menyampaikan) bahwasanya Allah telah mencintaimu sebagaimana engkau telah mencintai temanmu karena Dia.”

Anas bin malik Rodhiallaahu ‘anhu meriwayatkan, “Ada seorang laki-laki di sisi Nabi Shalallaahu alaihi wasalam. Tiba-tiba ada sahabat lain yang berlalu. Laki-laki tersebut lalu berkata, “Ya Rasulullah, sungguh saya mencintai orang itu (karena Allah)”. Maka Nabi Shalallaahu ‘alaihi wasalam bertanya “Apakah engkau telah memberitahukan kepadanya?” “Belum”, jawab laki-laki itu. Nabi bersabda, “Maka bangkit dan beritahukanlah padanya, niscaya akan mengokohkan kasih sayang di antara kalian.” Lalu ia bangkit dan memberitahukan, “Sungguh saya mencintai anda karena Allah.” Maka orang ini berkata, “Semoga Allah mencintaimu, yang engkau mencintaiku karena-Nya.” (HR. Ahmad, dihasankan oleh Al-Albani).

Dan hendaklah kamu jika sekiranya bertemu dengan saudara – saudarimu yang seiman dengan wajah yang cerah lagi mengkhiaskan kebaikan penuh cahaya senyum yang engkau pancarkan dari hatimu.

Rasulullah Shalallaahu ‘alaihi wasalam bersabda;
“Janganlah engkau rendahkan kebaikan itu walau sekecil apapun, meski hanya dengan menjumpai saudaramu dengan wajah berseri-seri.” (HR. Muslim dan Tirmidzi).

diriwayatkan oleh Aisyah Radhiallaahu ‘anha, bahwasanya “Allah mencintai kelemah-lembutan dalam segala sesuatu.” (HR. al-Bukhari).

“Allah itu Maha Lemah lagi Maha Lembut, senang kepada kelembut-an. Ia memberikan kepada kelembutan sesuatu yang tidak diberikan-Nya kepada kekerasan, juga tidak diberikan kepada selainnya.” (HR. Muslim)

Rasulullah Shalallaahu ‘alaihi wasalam bersabda;
“Saling berjabat tanganlah kalian, niscaya akan hilang kedengkian. Saling memberi hadiah lah kalian, niscaya kalian saling mencintai dan hilang (dari kalian) kebencian.” (HR. Imam Malik).

Rasulullah Shalallaahu ‘alaihi wasalam bersabda;
“Seorang mukmin itu tidak punya siasat untuk kejahatan dan selalu (berakhlak) mulia, sedang orang yang fajir (tukang maksiat) adalah orang yang bersiasat untuk kejahatan dan buruk akhlaknya.” (HR. HR. Tirmidzi, Al-Albani berkata “hasan”)

Dan hendaknya janganlah engkau bersangka – sangka yang buruk perihal saudara – saudarimu, karena sesungguhnya engkau tiada mengetahui kebenaran dari atas apa – apa yang engkau sangka – sangkakan.

Nabi Shalallaahu’ alaihi wasalam bersabda;
“Jauhilah oleh kalian berburuk sangka, karena buruk sangka adalah pembicaraan yang paling dusta” (HR.Bukhari dan Muslim).

Lagi engkau jagalah segala rahasia sekalipun aib yang engkau ketahui dari saudara – saudarimu dan berbaik – baiklah engkau dengannya sebagaimana yang di ajarkan atas kamu.

Anas Radhiallaahu anhu pernah diberi tahu tentang suatu rahasia oleh Nabi Shalallaahu ‘alaihi wasalam.Anas Radhiallaahu ‘anhu berkata, ” Nabi Shalallaahu’ alaihi wasalam merahasiakan kepadaku suatu rahasia. Saya tidak menceritakan tentang rahasia itu kepada seorang pun setelah beliau (wafat). Ummu Sulaim pernah menanyakannya, tetapi aku tidak memberitahukannya.” (HR. Al-Bukhari).

Alloh ta’ala berfirman;
“Teman-teman akrab pada hari itu sebagiannya menjadi musuh bagi sebagian yang lain kecuali orang-orang yang bertakwa.” (QS. Az-Zukhruf: 67)
Sumber:
Buletin al-barkah edisi 06/thn1/1430

https://tausyah.wordpress.com/