Posts Tagged ‘Kaum Muslim’

Peristiwa yang berlangsung secara wajar menurut norma ka­um muslimin pada masa itu, ternyata ditanggapi secara lain oleh tokoh-tokoh Bani Umayyah. Peristiwa terbai’atnya Utsman bin Affan r.a. sebagai Khalifah, diartikan oleh mereka, sebagai awal ke­menangan Bani Umayyah atas orang-orang Bani Hasyim.

Padahal Rasul Allah s.a.w. sendiri tidak pernah memandang ummatnya dari kaum apa atau dari keturunan mana. Semua kaum muslimin adalah saudara. Prinsip yang mulia itu nampaknya tidak mudah direalisasi, karena adat istiadat dan tradisi kuat yang ber­abad-abad bercokol di kalangan orang-orang Arab.

Waktu Utsman bin Affan r.a. terpilih sebagai Khalifah, pe­nyakit sukuisme dan keqabilahan muncul kembali dan malah dibesar-besarkan oleh orang-orang Bani Umayyah. Imam Ali r.a. dan orang-orang dari Bani Hasyim lainnya, mereka nilai seba­gai mengalami kekalahan dalam persaingan melawan Utsman bin Affan r.a.; yang berasal dari Bani Umayyah.

Padahal Utsman bin Affan r.a. sendiri pada saat terbai’at sebagai Khalifah, sama sekali tidak menyimpan fikiran seperti yang diteriakkan oleh kaum kerabatnya. Utsman bin Affan r.a. seorang sahabat terdekat Rasul Allah s.a.w., bahkan sampai dua kali ia menjadi menantu Nabi. Pertama kali ia nikah dengan Roqayah binti Muhammad Rasul Allah s.a.w. Kemudian setelah Roqayah r.a. meninggal, ia nikah lagi dengan Ummu Kaltsum binti Muham­mad Rasul Allah s.a.w. Oleh karena itu Utsman bin Affan r.a. terkenal dengan sebutan “Dzun Nurain” (pemilik dua cahaya). Ia memeluk Islam di tangan Abu Bakar r.a. dan setelah menjadi orang beriman, ia sangat besar taqwanya kepada Allah dan setia kepada Rasul-Nya.

Dalam perjuangan untuk kepentingan agama Allah dan per­juangan Rasul-Nya, Utsman bin Affan r.a. tidak pernah menghi­tung-hitung untung rugi. Hampir semua kekayaannya, harta ben­da dan jiwanya diserahkan untuk kepentingan menegakkan agama Allah. Ia terkenal pula dengan amal perbuatannya, yang dengan uang dari kantong sendiri membeli sumber air jernih “Bir Romah” untuk kepentingan semua kaum muslimin.

Utsman bin Affan r.a. jugalah yang dengan uangnya sendiri membayar harga tanah sekitar masjid Rasul Allah s.a.w., ketika masjid itu sudah terlampau sempit untuk menampung jemaah yang bertambah membeludak. Pada waktu kaum muslimin meng­hadapi paceklik hebat, pada saat mana Rasul Allah s.a.w. telah mengambil keputusan untuk memberangkatkan pasukan guna menghantam perlawanan Romawi, Utsman bin Affan r.a. lah yang mengeluarkan uang dari koceknya untuk membeli senjata dan per­lengkapan perang lainnya. Ia memang seorang hartawan dan harta­nya dihabiskan untuk kepentingan Islam dan kaum muslimin.

Pada saat menerima tugas dan tanggung jawab sebagai Kha­lifah, Utsman bin Affan sudah lanjut usia. Kesempatan ini diper­gunakan sebaik-baiknya oleh tokoh-tokoh Bani Umayyah yang ada di sekelilingnya. Dalam hal ini yang paling menonjol peranannya ialah Marwan bin Al Hakam, misanannya, yang menjadi pem­bantu utama paling dipercaya. Demikian juga Muawiyyah bin Abi Sufyan, seorang Gubernur atau Kepala Daerah Syam, daerah yang sangat makmur dan subur di sebelah utara jazirah Arab. Kedua tokoh Bani Umayyah itu mempergunakan peluang se­cara maksimal ketika usia Khalifah Utsman r.a. makin lanjut dan tidak lagi aktif sepenuhnya mengatur kehidupan negara, pe­merintahan dan ummat. Secara pandai orang-orang itu merebut hati Khalifah, menanamkan pengaruh dan memperkuat posisi mereka di bidang kekuasaan.

Gejala individualisme, mementingkan diri sendiri dan go­longan, yang pada masa Khalifah Umar r.a. berhasil dipangkas tunas-tunasnya, ternyata tumbuh kembali dengan suburnya, ter­utama pada masa-masa terakhir Khalifah Utsman r.a. Sistem pemerintahan yang sangat demokratis yang telah dirintis oleh Rasul Allah s.a.w., Khalifah Abu Bakar r.a. dan Khalifah Umar r.a. setapak demi setapak digantikan dengan sistem oligarki (pemerin­tahan keluarga) oleh para pembantu Khalifah Utsman r.a. Harta Baitul Mal yang seharusnya digunakan untuk kemaslahatan ummat Islam, mulai banyak disalahgunakan. Muncullah penguasa-­penguasa hartawan yang mempunyai ratusan ekor unta, kuda dan hamba sahaya, serta rumah-rumah indah di Bashrah, Kufah dan Iskandariyah.

Melihat perkembangan ummat meluncur ke bawah ini, Imam Ali r.a. tidak dapat berdiam diri. Sebagai sahabat baik, dengan tu­lus ikhlas, diminta atau tidak diminta, ia menyampaikan saran-sa­ran, nasehat-nasehat serta gagasan-gagasan kepada Khalifah Uts­man r.a. Tentu saja sikap dan tindakan yang diambil Imam Ali r.a. menimbulkan rasa tidak senang, bahkan sikap permusuhan, dari mereka-mereka yang sedang menikmati hasil perjuangan ummat Islam untuk kepentingan diri mereka sendiri.

Cara hidup yang mementingkan kesenangan duniawi di kalangan para penguasa pemerintahan Khalifah, dan sistem ke­kuasaan yang berdasarkan kerabat dan keluarga, telah membang­kitkan rasa tidak puas yang semakin merata di kalangan ummat Islam, khususnya di kalangan qabilah-qabilah tertentu yang hidup merana.

Khalifah Utsman r.a. sendiri dalam batas kemampuan yang ada pada dirinya, telah berusaha untuk mengatasi keadaan yang semakin kritis itu, karena ia menyadari bahayanya bilamana dibiarkan begitu saja. Akan tetapi karena usianya yang telah lanjut ia tidak berdaya menghadapi “permainan” Marwan bin Al-Ha­kam dan Muawiyah bin Abi Sufyan. Khalifah Utsman praktis sudah tidak dapat lagi mengendalikan aparaturnya.

Dikorbankan

Apa yang di ramalkan oleh Khalifah Umar r.a. pada saat menjelang ajalnya, ternyata memang benar-benar terjadi. Beberapa waktu setelah terbai’at sebagai Khalifah, Utsman bin Affan r.a. mengangkat orang-orang dari kalangan Bani Umayyah dan di ­tempatkan pada kedudukan-kedudukan penting atau lebih penting dibanding dengan orang-orang dari qabilah lain. Posisi-posisi pen­ting dalam kekuasaan negara dibagi-bagikan kepada mereka. Kalau tidak sebagai Kepala Daerah atau Gubernur, mereka diangkat sebagai panglima-panglima pasukan, atau diserahi tanah-tanah yang sangat luas.

Salah satu prestasi besar selama kakhalifahan Utsman r.a., ummat lslam berhasil membebaskan Afrika Utara dari kekuasaan Byzantium. Sayangnya, seperlima dari hasil harta jarahan (gha­nimah) yang didapat oleh kaum muslimin dari daerah-daerah Afrika Utara, banyak yang dihadiahkan oleh Khalifah Utsman r.a. kepada para pembantunya, terutama Marwan bin Al Hakam. Marwan ini adalah kerabatnya dan kemudian dipungut sebagai menantu.

Ibnu Abil Hadid dalam bukunya Syarh Nahjil Balaghah, jilid I, halaman 97-152 telah mengungkapkan kebijaksanaan Khalifah Utsman r.a. yang dikendalikan oleh Marwan dan kawan-­kawannya, yang sangat meresahkan kaum muslimin.

Diantara tindakan-tindakan itu disebut pemberian uang sebanyak 400.000 dirham kepada Abdullah bin Khalid bin Asid. Khalifah Utsman r.a. juga merehabilitasi dan membolehkan Al-Hakam bin Al-Ash kembali bermukim di Madinah. Padahal Al-Hakam ini dahulu telah diusir oleh Rasul Allah s.a.w. dari kota suci itu, karena penghianatannya terhadap kaum muslimin. Bah­kan oleh Khalifah ia diberi modal hidup berupa uang sebesar 100.000 dirham. Sedangkan Khalifah-khalifah yang terdahulu tidak ada yang berani melanggar keputusan yang telah diambil oleh Rasul Allah s.a.w. mengenai pengusiran Al-Hakam.

Masih ada lagi serentetan tindakan atau kebijaksanaan yang dilakukan oleh Khalifah Utsman r.a. atas desakan para penasehat dan pembantunya. Yaitu tindakan atau kebijaksanaan yang menyuburkan benih-benih ke-tidak-puasan di kalangan kaum muslimin. Sebuah tempat pusat perdagangan di kota Madinah, yang waktu itu terkenal dengan nama “Mazhur”, oleh Khalifah Utsman dikuasakan kepada Al-Harits bin Al-Hakam, saudara Marwan bin Al-Hakam. Padahal tempat itu dahulunya oleh Rasul Allah s.a.w. telah diserahkan kepada kaum muslimin sebagai milik umum.

Begitu pula daerah Fadak, yang dahulunya berupa tanah hak-guna Rasul Allah s.a.w.; oleh Khalifah diserahkan kepada pembantu dekatnya. Padahal tanah Fadak ini menurut hukum di bawah kekuasaan pribadi Rasul Allah s.a.w.

Dalam sejarah Islam, daerah Fadak ini menjadi sangat ter­kenal, karena tuntutan dan gugatan yang diajukan oleh Sitti Fatimah r.a. kepada Khalifah Abu Bakar r.a., untuk memperoleh hak atas tanah yang dahulu berada di bawah kekuasaan ayah­andanya.

Khalifah Utsman r.a. juga mengeluarkan sebuah peraturan yang menggelisahkan penduduk Madinah. Di dalam peraturan itu ditetapkan, bahwa padang ilalang sekitar kota, yang secara tradi­sional sudah menjadi padang penggembalaan umum, dinyatakan tertutup kecuali bagi ternak milik orang-orang Bani Umayyah.

Lebih dari itu, daerah Afrika Barat bagian utara, yang se­karang dikenal dengan wilayah-wilayah Marokko, Aljazair, Tunisia, Libya dan terus ke timur sampai Mesir, dikuasakan seluruhnya kepada Abdullah bin Abi Sarah dengan wewenang penuh. Ab­dullah adalah saudara sesusuan dengan Khalifah. Dengan kekua­saan penuh itu Abdullah mempunyai posisi penguasa mutlak di ­daerah itu, seolah-olah seorang penguasa negara di dalam negara.

Kepada Abu Sufyan bin Harb, yang dahulu terkenal peranan­nya sebagai salah seorang tokoh paling getol memerangi Rasul Allah s.a.w., dan baru terpaksa masuk Islam setelah jatuhnya kota Makkah ke tangan kaum muslimin, oleh Khalifah Utsman r.a. di­beri hadiah sebesar 200.000 dirham. Uang itu diambil dari Baitul Mal. Sedangkan ketika Marwan bin Al-Hakam dipungut sebagai menantu untuk dinikahkan dengan puterinya yang bernama Aban, Khalifah Utsman r.a. membekalinya lagi dengan uang sebesar 100.000 dirham, juga diambil dari Baitul Mal.

Sebenarnya semua kebijaksanaan yang dilakukan Khalifah Utsman r.a. merupakan pelaksanaan imla (dikte) yang disodorkan para pembantu yang diberi kepercayaan penuh. Khalifah Uts­man r.a. menyadari bahwa pribadinya ditunggangi sedemikian rupa dan sedang digiring ke marabahaya yang sangat fatal oleh orang-orang kepercayaannya. Seorang Khalifah yang kurang lebih berusia 80 tahun itu, oleh tokoh-tokoh Bani Umayyah dikorbankan untuk kepentingan pribadi-pribadi, golongan dan qabilah.

Penyalahgunaan harta Baitul Mal seperti tersebut di atas, sudah tentu menimbulkan kegelisahan masyarakat muslimin pada masa itu. Sebuah riwayat mengisahkan, ketika Khalifah Utsman r.a. mengambil uang 100.000 dirham dari Baitul Mal untuk diserahkan kepada menantunya, Marwan bin Al Hakam, datanglah pengurus Baitul Mal bernama Zaid bin Arqam, menghadap Kha­lifah. Ia datang sambil menangis untuk menyerahkan kunci Baitul Mal.

Dengan keheran-heranan. Khalifah bertanya kepada Zaid bin Arqam: “Mengapa engkau menangis? Apakah karena aku hendak memungut Marwan bin Al-Hakam jadi menantu?”

“Tidak”, jawab Zaid sambil menundukkan kepala dan me­ngusap air mata. “Aku menangis karena aku menduga anda me­ngambil harta Baitul Mal itu sebagai pengganti kekayaan anda yang dahulu anda infakkan di jalan Allah, yaitu pada masa Rasul Allah s.a.w. masih hidup. Demi Allah, uang 100.000 dirham yang anda berikan kepada Marwan itu sungguh terlampau banyak.”

“Hai Ibnu Arqam, letakkan kunci itu!” hardik Khalifah de­ngan wajah merah padam. “Kami bisa mendapatkan orang lain yang tidak seperti engkau.”

Pada masa itu kaum muslimin benar-benar merasakan adanya perbedaan yang sangat menyolok antara kebijaksanaan yang di­lakukan Khalifah-khalifah terdahulu dengan penerusnya yang sekarang ini. Aparatur pemerintahan Khalifah tidak mau me­nanggulangi, sehingga keamanan dan ketertiban sangat terganggu. Ini menambah keresahan dan kecemasan penduduk.

Banyak para sahabat Rasul Allah s.a.w. yang heran menyaksi­kan tindakan-tindakan Khalifah Utsman r.a. Sebab mereka tahu, ia terkenal sebagai seorang sahabat terdekat Nabi Muhammad. Seorang mukmin yang taqwa dan shaleh, tidak pernah memen­tingkan diri sendiri atau golongannya. Dermawan besar yang tak pernah menghitung-hitung untung-rugi dan resiko dalam berjuang untuk kejayaan Islam dan kaum muslimin.

https://tausyah.wordpress.com

Cukup banyak himbauan dalam al-Qur’an dan as-Sunnah untuk menjalin hubungan persahabatan dan persaudaraan diantara kaum Muslimin, antara lain bisa dilihat misalnya dalam :

“Sesungguhnya orang-orang Mukmin itu saling bersaudara.”
(Qs. al-Hujurat 49:10)

“Dan orang-orang Mukmin, laki-laki dan perempuan, sebagian dari mereka adalah penolong [wali] bagi sebagian yang lain.” (Qs. at-Taubah 9:71)

Dalam beberapa Haditsnya Rasulullah Saw pun bersabda :

“Janji keselamatan bagi kaum Muslim berlaku atas mereka semua, dan mereka semua seia-sekata dalam menghadapi orang-orang selain mereka. Barangsiapa melanggar janji keamanan seorang Muslim, maka kutukan Allah, Malaikat dan manusia sekalian tertuju kepadanya dan tidak diterima darinya tebusan atau pengganti apapun pada hari kiamah kelak.”

“Seorang Muslim adalah saudara bagi Muslim lainnya. Tidak boleh ia menganiayanya dan tidak pula membiarkannya dianiaya. Barangsiapa mengurusi keperluan saudaranya sesama Muslim, niscaya Allah akan memenuhi keperluannya sendiri. Dan barangsiapa membebaskan beban penderitaan seorang Muslim, maka Allah akan membebaskan penderitaannya dihari kiamat kelak. Dan barangsiapa menutupi aib seorang Mukmin, maka Allah akan menutupi aibnya dihari kiamat.”

“Hindarkan dirimu dari persangkaan buruk, sesungguhnya yang demikian itu adalah sebohong-bohong perkataan. Jangan mencari-cari aib orang lain, jangan memata-matai, jangan bersaingan menawar barang dengan maksud merugikan orang lain, jangan saling menghasut, jangan saling bermusuhan dan jangan saling membenci. Jadilah kalian hamba-hamba Allah yang bersaudara. Dan tidaklah halal bagi seorang Muslim mendiamkan saudaranya sesama Muslim lebih dari 3 hari.”

“…Lantaran itu, damaikanlah diantara dua saudara kamu dan berbaktilah kepada Allah agar kamu diberi rahmat.”
(Qs. al-Hujurat 49:10)

“Hai orang-orang yang beriman, jauhilah kebanyakan dari prasangka, sesungguhnya sebagian dari prasangka itu adalah dosa; dan janganlah kamu mengintai-intai dan janganlah sebagian dari kamu mengumpat sebagian yang lain; apakah suka seseorang dari kamu memakan daging bangkai saudaranya ? Tentu kamu akan merasa jijik kepadanya ! Bertakwalah kepada Allah, sesungguhnya Allah itu Pengampun, Penyayang.”
(Qs. al-Hujurat 49:12)

Telah diketahui secara pasti bahwa hanya dengan Islam dan beriman secara sungguh-sungguh, seorang hamba dapat meraih puncak keridhoan Allah azza wajalla. Ulama-ulama dari Ahlus-Sunnah bersepakat bahwa hakikat Islam dan Iman adalah pengucapan 2 kalimah syahadat, pembenaran adanya hari kebangkitan, mendirikan sholat 5 waktu karena Allah, melaksanakan ibadah Haji bila mampu, berpuasa dibulan Ramadhan serta mengeluarkan zakat.

Bukhari dalam kumpulan hadistnya telah meriwayatkan beberapa sabda Rasulullah Saw :

“Barangsiapa bersaksi bahwa Tiada Tuhan selain Allah, menghadap kiblat kita, mengerjakan sholat kita dan memakan hasil sembelihan kita, maka ia adalah seorang Muslim. Baginya berlaku hak dan kewajiban yang sama sebagai Muslim lainnya.”

Berdasarkan ayat-ayat Allah dan fatwa Nabi Muhammad Saw diatas, adalah tidak pada tempatnya kita selaku manusia yang mengaku beragama Islam dan mengaku telah beriman secara Kaffah menciptakan suasana rusuh dan mengobarkan semangat perpecahan dikalangan sesama Muslim.

Maukah kita mendapatkan kecaman dari Allah dan Rasul-Nya ?

Umat Islam sudah cukup lama terombang-ambing dalam gelombang perpecahan aneka ragam alirannya dan masing-masing pihak merasa hanya kaumnya sajalah yang paling benar serta layak memasuki syurga dan selain kaum mereka ini maka kaum lainnya berada pada posisi salah dan halal neraka baginya.

Tidak urung ayat-ayat al-Qur’an dan Hadist-hadist Nabi justru dijadikan ujung tombak untuk menghantam lawan bicaranya sesama Muslim, entah itu mereka yang menisbatkan diri dalam jemaah Ahlus-Sunnah, Syi’ah, Muktazilah, Khawarij, Ahmadiyah dan sebagainya.

Tidakkah mereka sadar bahwa yang mereka perdebatkan ini tidak lain adalah sesuatu penafsiran terhadap hal yang sama dalam sudut pandang yang berbeda.

Imam Ali bin Abu Thalib r.a, adalah contoh teladan kedua sesudah Rasulullah Saw yang mengajarkan mengenai hakikat persaudaraan sesama Muslim, menghargai keutuhan persatuan umat dibawah panji-panji kebenaran Tauhid.

Beliau menolak mengikuti keinginan sebagian dari para sahabat untuk melakukan pemberontakan terhadap pemerintahan Khalifah Abu Bakar sepeninggal Rasulullah Saw, dan disaat ia menjabat selaku Khalifah, sikap ini terus dipertahankannya bahkan dalam medan pertempurannya menghadapi gerakan ‘Aisyah pada peristiwa perang Jamal dan disaat menghadapi pemberontakan kelompok Muawiyah.

Imam Ali bin Abu Thalib r.a, begitu mengedepankan rasa persaudaraan antar umat Muslim diatas perasaan dirinya pribadi sehingga beliaupun rela mendapat kecaman dari sejumlah orang atas sikapnya yang lunak dengan Muawiyah yang mengakibatkan pecahnya pemberontakan kaum Khawarij sampai terbunuhnya beliau dalam salah satu kesempatan.

Tindakan dan sikap yang diambil oleh Khalifah ke-4 yang juga menantu Nabi Muhammad Saw ini sudah pasti bukan tindakan yang tidak disertai pertimbangan dan kearifan yang tinggi, sebagai salah seorang sahabat dan keluarga terdekat dari Rasulullah, Imam Ali bin Abu Thalib r.a, tentunya merupakan orang yang paling mengerti mengenai Islam dan ia bukan seorang yang pengecut.

Dengan demikian, hendaklah kiranya kaum Muslimin sekarang ini sudi untuk merenung dan menganalisa secara bijak mengenai perpecahan yang terjadi diantara mereka, perpecahan yang mengarah kepada permusuhan dan kebencian bukan menjadi satu rahmat namun justru merupakan malapetaka.

Kehormatan seorang Muslim haruslah dijunjung tinggi meskipun mungkin Muslim tersebut memiliki sudut pandang berbeda dengan kita terhadap hal-hal tertentu, ini bukan alasan untuk mengkafirkan mereka apalagi menumpahkan darahnya dengan mengatasnamakan kebenaran.

Diriwayatkan oleh Bukhari dari Abdu Dzar :
“Telah berkata Nabi Saw kepadaku, bahwa malaikat Jibril berkata: ‘Barangsiapa diantara umatmu meninggal dunia dalam keadaan tiada menyekutukan Allah dengan sesuatu apapun, maka ia akan masuk syurga.”; kemudian aku bertanya: ‘Kendatipun ia pernah berzina dan mencuri ?”; Jawab Nabi Muhammad Saw: “Ya, walaupun ia pernah berbuat hal itu.”

Hadist diatas ini bukan bertendensikan menghalalkan tindakan kejahatan atas umat Muhammad Saw akan tetapi memiliki orientasi kepada pengagungan harkat dan martabat seorang Muslim.

Jelas bahwa Allah tidak lalai dari apa yang kita kerjakan, suatu perbuatan yang negatif, apabila dilakukan secara terus menerus tentunya akan menyebabkan ketergeseran derajat kemanusiaan seseorang dihadapan Allah, dan lambat laun seorang Muslim-pun dapat menjadi seorang yang fasik atau munafik dan tidak menutup kemungkinan dia malah menjadi kafir kepada Allah sehingga jaminan Allah ini menjadi hilang atas dirinya.

Diberbagai tempat kita meributkan masalah ke-Khalifahan, orang Syi’ah merasa lebih tinggi dari ahlus-Sunnah dan sebaliknya kaum ahli-Sunnah pun tidak jarang malah memperolok-olokkan kaum Syi’ah dan bahkan beberapa diantaranya sampai mengkafirkan mereka hanya karena mereka lebih mencintai ahli Bait Nabi Muhammad Saw dan mengeluarkan kritikan-kritikan pedas atas beberapa Muslim generasi awal.

Fenomena Ahmadiyah juga menggelitik sejumlah umat Islam untuk mendeskreditkan sebagian dari mereka sampai mengeluarkan fatwa tidak syahnya status ke-Islaman semua Jemaah ini.

Dikalangan ahlus-Sunnah terdapat banyak Madzhab yang dipimpin oleh Imamnya masing-masing, diantaranya yang terbesar adalah Imam Hambali, Syafi’i, Maliki dan Hanafi, ke-4 Jemaah ini memiliki banyak sekali perbedaan-perbedaan didalam penafsiran atas ayat-ayat Allah dan juga petunjuk Rasul-Nya, dimulai dari masalah Thaharah, Sholat, Puasa, Nikah, Talak dan seterusnya.

Dibalik beberapa kesamaannya, masing-masing mereka memberikan argumen dari sudut pandang yang berbeda tentang banyak hal yang sama.

Padahal, apabila kita ingin berbicara jujur, perselisihan yang terjadi antar umat Islam dan antar Jemaah maupun Mazhab hanyalah karena masing-masing memiliki penafsiran berbeda tentang al-Qur’an dan Hadist Rasul, namun apakah hal ini bisa menjadikan satu alasan untuk memberikan vonis kekafiran kepada mereka ?

Andaikanlah diantara penafsiran sebagian dari mereka ini menyimpang dari apa yang seharusnya, namun ini tetap saja belum mengeluarkan status ke-Islaman yang melekat pada diri mereka, tentunya selama mereka tetap berpegangkan kepada satu Kalimah “Tidak ada Tuhan tempat mengabdi selain Allah, Tuhan yang memiliki nama-nama terbaik dan memiliki sifat-sifat suci, yang tidak beranak dan tidak diperanakkan.”

Kehormatan seorang Muslim tetap terjamin meskipun dia mengucapkan kalimah “La ilaha illa Allah” sebagai penyelamat dari suatu usaha pembunuhan, dan ini diceritakan oleh banyak perawi Hadist.

Muslim dalam salah satu hadist yang diriwayatkannya dari berbagai saluran ada menceritakan :

“Bahwa suatu hari ‘Utban bin Malik al-Anshari mengunjungi Rasulullah Saw dan meminta agar beliau mau singgah kerumahnya dan sholat didalamnya, karena ia ingin menjadikannya Musholla. Dalam satu pembicaraan diantara mereka, Nabi menanyakan keberadaan salah seorang dari sahabat ‘Utban yang bernama Malik bin Ad-Dukhsyun bin Ghunm bin ‘Auf bin ‘Amr bin ‘Auf yang diketahui sebagai orang yang munafik.

Beberapa sahabat keheranan dan mencoba mengingatkan Nabi bahwa ‘Utban itu adalah orang yang munafik, tapi Nabi mengeluarkan jawaban : “Jangan berkata demikian, tidakkah kamu melihatnya telah berucap “La ilaha illa Allah” semata-mata demi keridhoan Allah ?”; diantara para sahabat masih ada yang penasaran dan mencoba kembali mengeluarkan argumennya : “Memang benar ia mengucapkan yang demikian, namun tidak disertai dengan ketulusan hatinya, sungguh kami sering melihatnya pergi dan berkawan dengan orang-orang munafik.”
Nabi menjawab : “Tiada seorangpun bersaksi bahwa Tiada Tuhan melainkan Allah dan bahwa aku adalah Rasul Allah yang akan dimasukkan kedalam api neraka atau menjadi umpannya.”

Demikianlah seharusnya kita didalam berpijak, tidak mudah melemparkan tuduhan kepada seseorang atau sekelompok kaum hanya karena berbeda pendapat dengan diri kita, sedangkan bagi orang yang jelas-jelas seperti Malik bin Ad-Dukhsyun saja Rasulullah Saw tidak melemparkan ucapan kekafiran atasnya dan malah mengedepankan rasa baik sangka sebagaimana yang diajarkan oleh Allah.

Satu keselarasan yang bisa kita kemukakan disini satu ayat al-Qur’an :

“Sesungguhnya orang-orang Mu’min, orang-orang Yahudi, orang-orang Nasrani dan orang-orang Shabiin, siapa saja diantara mereka yang benar-benar beriman kepada Allah, Hari kemudian dan beramal saleh, mereka akan menerima ganjaran dari Tuhan mereka, tidak ada ketakutan terhadap mereka, dan tidak berduka cita.”
(Qs. al-Baqarah 2:62)

Nyata sekali bahwa jangankan kepada orang yang mengakui ke-Rasulan Muhammad Saw bin Abdullah, bahkan bagi mereka yang tidak mengakui kenabian Muhammad pun yang dalam istilah kita sekarang ini termasuk dalam kategori Unitarian tetap mendapatkan jaminan dari Allah untuk memperoleh ganjaran disisi-Nya selama mereka tidak mengadakan Tuhan-Tuhan dalam bentuk apapun selain Allah yang Maha Esa, yang Tidak beranak dan tidak diperanakkan, yang tidak memiliki kesetaraan dengan apapun dalam keyakinan mereka.

Kita seringkali terlalu banyak memperturutkan rasa ke-egoismean semata didalam menghadapi orang yang tidak sejalan dengan kita yang akibat dari semua ini akan menyulut konflik berkepanjangan dan tidak berkesudahan.

al-Qur’an dalam surah ali Imran (3) ayat ke 159 menganjurkan untuk mengadakan musyawarah didalam mencapai jalan keluar terbaik, selain itu ; juga dalam Surah yang lain, al-Qur’an pun memberikan kebebasan bagi manusia untuk melakukan dialog pertukar pikiran secara baik-baik dan saling menghargai.

Seorang manusia dilarang mencemooh manusia lainnya berdasarkan firman Allah dalam surah al-Hujurat (49) ayat 11 dan beberapa firman Allah berikut ini pun harus menjadi renungan tambahan bagi kita :

“Sesungguhnya mereka yang suka akan tersebarnya keburukan dikalangan kaum beriman akan mendapatkan azab yang pedih didunia dan akhirat…”
(Qs. an-Nur 24:19)

“Hai orang-orang yang beriman, hendaklah kamu menjadi manusia yang lurus karena Allah, menjadi saksi dengan adil; dan janganlah kebencian kamu atas satu kaum menyebabkan kamu berlaku tidak adil.
Berbuatlah adil, ini lebih mendekatkan kamu kepada ketakwaan; takutlah kamu kepada Allah sebab Allah amat mengetahui apa yang kamu kerjakan.”

(Qs. al-Maidah 5:8)

Kita acapkali jengkel dengan penafsiran segelintir jemaah terhadap ayat-ayat al-Qur’an dan juga al-Hadist, mereka memutar balikkan semuanya sekehendak hati mereka sehingga masing-masing merasa bahwa ayat-ayat dan Hadist-hadist tersebut memperkuat aliran mereka, namun sesuai amanat al-Qur’an, yang demikian tidak berarti harus kita sikapi dengan anarkis dan menghilangkan sudut keobjektifitasan kita.

Marilah kita saling bahu membahu antar sesama saudara seiman didalam menegakkan ajaran Allah, para pengikut ahli Bait menjalin hubungan baik dengan mereka yang mengaku sebagai pengikut sunnah Nabi; dan keduanya ini pun haruslah mau untuk tidak memutuskan tali silaturahmi terhadap mereka yang berasal dari jemaah Ahmadiyah dan begitulah seterusnya secara wajar.

Kita boleh bertukar pikiran dan kita juga tidak dilarang untuk saling berdebat, mari kita kemukakan dalil-dalil yang kita miliki dan kita yakini menunjang apa yang kita jalani, jikapun tidak terdapat jalan keluar terbaik, marilah kita benci pendapatnya saja namun bukan orangnya.

“Apabila kamu berbantahan disatu permasalahan, hendaklah kamu mengembalikannya kepada Allah dan Rasul apabila adalah kamu beriman kepada Allah dan hari kemudian.”
(Qs. an-Nisa’ 4:59)

Banyak orang mengatakan bahwa melakukan Bai’at terhadap pemimpin itu wajib hukumnya, namun ber-bai’at terhadap Allah dan Rasul-Nya Muhammad Saw jauh melebihi dari kewajiban berbai’at kepada siapapun.

Jika mencintai ahli Bait adalah suatu keharusan, maka berpegang kepada Sunnah itu pun merupakan bagian dari keimanan.

Mari kita hargai hasil ijtihad dari masing-masing manusia sebagaimana kita juga ingin orang lain menghargai pendirian yang kita yakini.

Tulisan ini tidak untuk ditujukan pembenaran suatu klaim dari jemaah tertentu dan tidak pula dimaksudkan untuk menyudutkan suatu pandangan tertentu pula, semua ini hanyalah karena terdorong rasa kerinduan terhadap hadirnya kembali ruh-ruh Muhammad maupun sosok Ali bin Abu Thalib r.a yang mencintai persaudaraan dan kesatuan umat Islam.

“Sesungguhnya mereka yang memperdebatkan ayat-ayat Allah dengan tidak ada alasan yang datang kepada mereka, tidak ada didada-dada mereka melainkan kesombongan yang mereka tidak akan sampai kepadanya.”
(Qs. al-Mu’min 40:56)

“Dan janganlah kamu mengikuti apa yang kamu tidak mempunyai pengetahuan didalamnya. Sesungguhnya pendengaran, penglihatan dan hati, semuanya itu akan diminta pertanggunganjawabnya.”
(Qs. al-Israa 17:36)

https://tausyah.wordpress.com