Posts Tagged ‘Pembentukan’

Tausiyah In Tilawatun Islamiyah - Islamic LightBenih Perang Saudara

Tidak berapa lama sesudah Imam Ali r.a. mengucapkan amanatnya yang pertama, muncullah persoalan baru. Waktu itu hanyak orang sedang berkerumun untuk menerima pembagian harta ghanimah dari Baitul Mal.

Kepada seorang jurutulis, Ubaidillah bin Abi Rafi’, Amirul Mukminin memerintahkan supaya pembagian dimulai dari kaum Muhajirin, dengan masing-masing diberi 3 dinar. Kemudian menyusul kaum Anshar. Semuanya mendapat jumlah yang sama, yaitu 3 dinar.

Waktu itu, seorang bernama Sahl bin Hanif bertanya: apakah dua budaknya yang baru dimerdekakan hari itu, juga akan menerima jumlah yang sama? Dengan tegas Imam Ali r.a. mengatakan, bahwa semua orang menerima hak yang sama yaitu 3 dinar.

Ketika pembagian ghanimah berlangsung, beberapa orang tokoh penting tidak hadir. Di antara yang tidak hadir itu ialah Thalhah bin Ubaidillah, Zubair bin Al-‘Awwam, Abdullah bin Umar, Said bin Al-Ash.

Perobahan Drastis

Beberapa waktu setelah pembagian ghanimah dilaksanakan, timbullah ketegangan antara Imam Ali r.a. dengan sekelompok orang-orang Qureiys. Peristiwanya terjadi di masjid Madinah, sehabis shalat subuh. Selesai mengimami shalat, Amirul Mukminin duduk seorang diri. Kemudian ia didekati oleh Al-Walid bin Uqbah bin Abi Mu’aith.

Atas nama teman-temannya (termasuk yang tidak hadir pada saat pembagian ghanimah) ia mengatakan kepada Imam Ali: “Ya Abal Hasan (nama panggilan Imam Ali ra.), hati kami semua sudah pernah anda sakiti. Tentang aku sendiri, ayahku telah anda tewaskan dalam perang Badr, tetapi aku tetap dapat bersabar. Lalu dalam peristiwa lain, anda tidak mau menolong saudaraku. Tentaug Sa’id, dalam perang Badr juga ayahnya telah anda tewaskan. Sedang mengenai Marwan, anda juga pernah menghina ayahnya di depan Khalifah Utsman bin Affan, yaitu ketika Marwan diangkat sebagai pembantunya.”

Setelah berhenti sejenak untuk mengubah gaya duduknya, Al-Walid melanjutkan: “Mereka itu semuanya adalah kaum kerabat anda sendiri dan di antara mereka itu bahkan terdapat beberapa orang terkemuka dari Bani Abdi Manaf. Sekarang kami telah membai’at anda, tetapi kami mengajukan syarat. Yaitu agar anda tetap memberikan kepada kami jumlah pembagian ghanimah yang selama ini sudah diberikan oleh Khalifah Utsman kepada kami.”

Setelah berfikir sejenak, Al-Walid meneruskan: “Selain itu, anda harus dapat menjatuhkan hukuman mati kepada orang yang telah membunuh Utsman bin Affan. Ketahuilah, jika kami ini merasa takut kepada anda, tentu anda sudah kami tinggalkan dan kami bergabung dengan Muawiyah di Syam.”

Kalimat yang terakhir ini jelas merupakan intimidasi politik yang dapat dikaitkan dengan rencana gelap Muawiyah bin Abi Sofyan di Syam.

Tanpa ragu-ragu Imam Ali r.a. secara terus terang menjawab intimidasi politik Al-Walid itu. Ia berkata: “Tentang tindakan-tindakan yang kalian sebut sebagai menyakiti hati kalian, sebenarnya kebenaran Allah-lah yang menyakiti hati kalian. Tentang jumlah pembagian harta yang selama ini kalian terima dari Khalifah Utsman, kutegaskan, bahwa aku tidak akan mengurangi atau menambah hak yang telah ditetapkan Allah bagi kalian dan bagi orang-orang lain. Adapun mengenai keinginan kalian supaya aku menjatuhkan hukuman mati kepada orang yang membunuh Utsman, jika aku memang wajib membunuhnya, tentu sudah kubunuh sejak kemarin-kemarin. Jika kalian takut kepadaku, akulah yang akan menjamin keselamatan kalian. Tetapi jika aku yang takut kepada kalian, kalian akan kusuruh pergi!”

Mendengar jawaban Imam Ali r.a. yang begitu tegas, Al-Walid beranjak meninggalkan tempat, kemudian mendekati teman-temannya yang sedang bergerombol di sudut lain dalam masjid. Kepada mereka Al-Walid menyampaikan apa yang baru didengarnya sendiri dari Amirul Mukminin. Tampaknya mereka tidak mempunyai persamaan pendapat tentang bagaimana cara menunjukkan sikap menentang Imam Ali r.a. dan bagaimana cara menyebarkan rasa permusuhan terhadapnya.

Perbedaan pendapat di antara kelompok Al-Walid itu didengar oleh Ammar bin Yasir, yang kemudian segera menyampaikannya kepada teman-temannya. Ammar mengajak beberapa orang temannya untuk menentukan tindakan sendiri terhadap kelompok Al-Wa¬lid, guna membuktikan kesetiaannya kepada Imam Ali r.a. Akan tetapi setelah dipertimbangkan masak-masak, akhirnya mereka berpendapat lebih baik melaporkan kejadian itu kepada Amirul Mukminin.

Bersama-sama dengan Abul Haitsam, Abu Ayub bin Hanif dan beberapa orang lainnya lagi, Ammar bin Yasir mendatangi Imam Ali r.a. Setelah melaporkan apa yang didengarnya, ia mendorong agar Imam Ali r.a. cepat bertindak untuk memperkokoh kepemimpinannya. Kata Ammar kepada Imam Ali r.a.

“Marahilah kaum anda itu. Mereka itu ialah orang-orang Qureiys yang telah menciderai janji setia kepada anda. Secara diam-diam mereka membisikkan supaya kami melawan anda. Mereka tidak menyukai anda, hanya karena anda menjalankan kebijaksanaan sesuai dengan tauladan yang telah diberikan Rasul Allah s.a.w. Mereka merasa kehilangan sesuatu yang selama ini dirasakan enak dan menguntungkan mereka. Pada saat anda memperlakukan mereka sama dengan orang-orang lain, mereka menentang. Kemudian mereka mengadakan hubungan-hubungan dengan musuh-musuhmu dan memuji-mujinya. Secara terang-terangan mereka telah mengambil sikap yang berlainan dengan orang banyak. Mereka ikut-ikut menuntut balas atas kematian Utsman bin Affan. Mereka bersekongkol dengan orang-orang sesat. Sekarang bagaimana sikap anda?”

Mendengar apa yang dikatakan Ammar dan kawan-kawannya, Imam Ali r.a. langsung keluar menuju masjid. Dengan menyandang pedang dan bertongkat busur, ia naik ke mimbar menghadapi orang banyak yang sedang berkumpul. Setelah mengucap syukur atas nikmat yang dilimpahkan Allah s.w.t., Amirul Mukminin memperingatkan kepada semua yang hadir, bahwa nikmat yang diterima oleh manusia dari Al Khalik sekaligus juga merupakan ujian: apakah kita bersyukur atau berkufur.

Barang siapa bersyukur, kata Imam Ali r.a., akan memperoleh tambahan nikmat lebih banyak lagi. Sedang siapa yang berkufur, ia pasti akan mendapat siksa berat. Orang yang paling mulia di sisi Allah dan yang terdekat hubungannya dengan Dia, ialah orang yang paling taqwa dan patuh kepada perintah dan larangan-Nya, yang paling setia kepada-Nya, yang paling ikhlas mengikuti Sunnah Rasul-Nya dan yang paling teguh melaksanakan Kitab-Nya.

Di antara kita, kata Imam Ali r.a. seterusnya, tidak ada orang yang memperoleh kelebihan dan keutamaan, kecuali mereka yang paling taat kepada Allah dan Rasul-Nya.

Untuk memperkuat kata-katanya itu Imam Ali r.a. memperingatkan hadirin kepada bunyi Surah Al-Hujurat ayat 13, yang artinya: “Hai manusia, sesungguhnya kami menciptakan kamu dari seorang pria dan seorang wanita, kemudian menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku agar kamu saling kenal mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah, ialah orang yang paling bertaqwa di antara kamu.”

Selanjutnya dengan nada keras Amirul Mukminin memperingatkan kelompok-kelompok kaum Muhajirin dan Anshar yang sudah tergiur oleh harta kekayaan dan kesenangan-kesenangan duniawi lainnya. Ia menegaskan, bahwa masalah pembagian harta ghanimah, kepada seorang tidak akan diberikan lebih banyak dari yang lain. Dikatakannya juga: “Allah telah mengizinkan harta tersebut dibagi-bagi. Harta itu adalah milik Allah, sedang kalian adalah hamba-hamba-Nya yang berserah diri kepada-Nya.”

Seusai menjelaskan prinsip kebijaksanaannya, Amirul Mukminin memerintahkan Ammar bin Yasir dan Abdurrahrnan bin Hazal Al-Qureysiy supaya memanggil Thalhah dan Zubair yang waktu itu duduk agak jauh. Sambil memandang tajam kepada kedua orang tersebut, setelah berada dekatnya, Imam Ali r.a. berkata: “Katakan terus terang, bukankah kalian telah membai’atku dan berjanji setia kepadaku? Bukankah kalian telah minta kepadaku agar aku bersedia dibai’at, padahal waktu itu aku sen¬diri tidak berminat?

“Ya, benar,” jawab kedua orang itu.

“Benarkah waktu itu kalian tidak dipaksa oleh siapa pun? Bukankah dengan pernyataan bai’at kalian itu, kalian telah menyatakan janji setia dan taat kepadaku?” tanya Imam Ali r.a. lagi.

“Ya, benar,” jawab kedua orang itu pula.

“Lantas, sesudah semuanya itu apakah yang membuat kalian sampai bersikap seperti yang kuketahui itu?” tanya Imam Ali r.a. lagi untuk mendapat jawaban pasti.

“Kami membai’atmu dengan syarat,” jawab kedua orang itu. “Bahwa anda tidak akan mengambil keputusan atau tindakan tanpa persetujuan kami, dan anda akan selalu mengajak kami bermusyawarah, serta tidak akan memaksakan sesuatu kepada kami. Sebab sebagaimana anda ketahui, kami ini mempunyai kelebihan dibanding dengan orang lain. Tetapi anda melaksanakan pembagian harta ghanimah berdasarkan keputusan sendiri tanpa bermusyawarah dan tanpa sepengetahuan kami.”

“Kalian sebenarnya dendam karena soal yang amat kecil dan mengharapkan sesuatu yang sangat besar,” kata Amirul Mukminin sambil menekan perasaan, menanggapi jawaban Thalhah dan Zubair tadi. “Mohonlah pengampunan kepada Allah, Dia akan mengam¬puni kalian! Bukankah dengan ucapan itu kalian bermaksud hendak mengatakan, bahwa aku ini telah menghapus hak kalian dan aku berlaku dzalim terhadap kalian mengenai hal itu? Apakah aku meremehkan atau menutup muka terhadap hukum atau terhadap sesuatu yang sudah menjadi hak kaum muslimin?”

“Na’udzubillah,” sela Thalhah dan Zubair.

“Lantas, apa sebab kalian tidak menyukai perintahku dan mempunyai pendirian lain?” tanya Imam Ali r.a. pula sebelum meneruskan penjelasannya.

“Kami tidak sependapat dengan anda,” ujar kedua orang itu, “karena anda tidak melaksanakan pembagian seperti yang telah dilakukan oleh Utsman bin Affan.Hak kami anda samakan saja dengan hak orang lain. Kami ini anda sama-ratakan dengan orang¬orang yang tidak seperti kami, sedang kami ini adalah orang-orang yang sudah berjuang dengan pedang, tombak dan senjata-senjata lainnya. Kami telah berjuang sampai da’wah risalah berhasil ditegakkan dan dimenangkan. Kami telah berhasil pula menundukkan mereka yang tidak menyukai Islam…”

Demikian tangkisan dua orang itu, terhadap desakan pertanyaan bertubi-tubi yang diajukan Imam Ali r.a. Dengan tidak menanggapi secara langsung pembicaraan tentang jasa-jasa mereka, Imam Ali r.a. berkata lebih jauh:

“Setelah kepemimpinan itu kuterima, aku selalu berpegang dan tidak pernah berpaling dari Kitab Allah dan Sunnah Rasul-Nya. Kujalankan dan kuikuti apa saja yang ditunjukkan oleh kedua-duanya. Apa yang sudah ditunjukkan oleh Allah dan Rasul-Nya, aku tidak memerlukan pendapat kalian. Jika ada masalah hukum yang tidak kutemui penjelasannya, baik di dalam Kitab Allah maupun dalam Sunnah Rasul-Nya, dan hal itu memang perlu dimusyawarahkan, kalian tentu kuajak bermusyawarah.

“Tentang pembagian harta ghanimah secara merata, bukan aku yang mula-mula menetapkan hukumnya. Aku dan kalian berdua sama-sama menyaksikan bahwa Rasul Allah s.a.w. sendirilah yang menetapkannya. Kitab Allah juga menyebutkan hal itu, yaitu Kitab Suci yang tidak mengandung kebatilan sedikitpun, baik secara terang maupun samar.

“Adapun pernyataan kalian yang mengatakan kalian berhak menerima pembagian lebih banyak dari orang lain, karena kalian telah berjuang dengan pedang dan tombak, ketahuilah…, bahwa se¬belum kalian sudah ada orang-orang yang memeluk Islam lebih dahulu. Mereka pun berjuang membela Islam dengan pedang dan tombak. Walaupun demikian, Rasul Allah s.a.w. tidak memberi kepada mereka jumlah yang lebih banyak daripada orang lain. Rasul Allah s.a.w. tidak memberi keistimewaan kepada mereka hanya karena memeluk Islam lebih dini. Allah sendirilah pada hari kiyamat kelak akan melimpahkan pahala kepada mereka.”

Penjelasan Imam Ali r.a. yang dramatis itu didengarkan oleh semua yang berada di dalam masjid. Mengakhiri penjelasannya, Imam Ali r.a. berkata: “Kalian berdua dan juga orang lain, dari aku tidak akan memperoleh lebih dari yang sudah menjadi hak masing-masing. Semoga Allah s.w.t. berkenan membuka hatiku dan hati kalian untuk dapat menerima kebenaran. Semoga pula Ia melimpahkan kesabaran kepadaku dan kepada kalian. Allah akan memberikan rahmat-Nya kepada setiap orang yang setelah mengetahui kebenaran lalu bersedia membelanya, dan yang setelah mengetahui kedzaliman lalu bersedia menolaknya…”

Dialog tersebut kami kutip dari tulisan salah seorang tokoh kaum Mu’tazilah, Abu Ja’far Al-Iskafiy, yang berasal dari Bagdad. Dalam tanggapannya, Al-Iskafiy mengungkapkan, bahwa pembagian harta ghanimah yang dilakukan oleh Imam Ali r.a. itu sama seperti yang dahulu dilakukan oleh Khalifah Abu Bakar r.a. Al-Iskafiy bertanya: Mengapa Thalhah dan kawan-kawannya itu dulu tidak pernah menolak? Perbedaan apakah yang mereka tentang sekarang ini? Al-Iskafiy kemudian menjawab pertanyaan sendiri:

“Apa yang dulu dilakukan oleh Abu Bakar r.a. sepenuhnya sesuai dengan kebijaksanaan yang telah ditempuh oleh Rasul Allah s.a.w. semasa hidupnya. Tetapi pada masa Khalifah Umar Ibnul Khattab, ia melaksanakan pembagian yang berbeda. Yaitu memberi kepada segolongan orang lebih banyak daripada yang diberikan kepada golongan lain. Dengan demikian mereka yang menerima lebih banyak itu menjadi terbiasa dimanjakan, sampai lupa kepada cara pembagian sebelumnya.

“Masa pemerintahan Umar r.a. relatif lama, sehingga fikiran orang-orang itu cukup terpengaruh oleh kesenangan akan harta yang mendatangkan kenikmatan duniawi. Sementara itu orang lain yang menerima lebih sedikit, menjadi terbiasa pula menerima apa adanya. Tidak ada di antara dua golongan itu yang menduga bakal dikembalikannya sistim pembagian seperti yang dulu dilakukan oleh Rasul Allah s.a.w. dan Abu Bakar r.a. Pada masa pemerintahan Khalifah Utsman bin Affan, ia melaksanakan sistim pembagian sama seperti yang dilaksanakan Khalifah Umar. Oleh karena itu kaum muslimin bertambah yakin tentang benarnya sistim pembagian yang dilaksanakan oleh Umar dan Utsman r.a.

“Dengan mengembalikan sistim pembagian seperti yang berlaku pada masa Rasul Allah s.a.w. dan Abu Bakar, sama artinya Imam Ali telah menghapuskan sistim pembagian yang dilakukan Khalifah Umar dan Khalifah Utsman. Sebagaimanan diketahui, kurun waktu yang memisahkan antara kekhalifahan Abu Bakar dan kekhalifahan Ali bin Abi Thalib ialah 22 tahun. Jadi hampir satu generasi! Itulah sebabnya mengapa perubahan drastis yang dilakukan oleh Imam Ali r.a. sangat menyentak hati mereka yang sudah terbiasa menerima pembagian lebih banyak selama 22 tahun.”

Masalah pembagian harta ghanimah tersebut, ternyata telah mencuramkan jurang pertentangan antara Imam Ali r.a. di satu fihak dengan Thalhah Zubair dan kawan-kawannya di fihak lain. Perselisihan mengenai hal itu kemudian berkembang menjadi pertentangan politik, sehingga meningkat sedemikian rupa tajamnya, sampai membahayakan keutuhan persatuan ummat Islam. Terutama setelah perselisihan itu ditunggangi oleh Muawiyah bin Abu Sufvan dari Syam, yang berhasil mengalihkan persoalan dari masalah sistim pembagian harta ghanimah, menjadi menuntut balas atas kematian Khalifah Utsman r.a.

Pertentangan terbuka

Kehidupan kenegaraan dan tata kemasyarakatan yang ditingalkan Khalifah Utsman bin Affan r.a. memang berada dalam situasi dan kondisi yang tidak menguntungkan Imam Ali r.a. sebagai Khalifah. Sejak sebelum dibai’at Imam Ali r.a. sudah membayangkan adanya kesulitan-kesulitan besar yang bakal dihadapi. Berbagai macam problema sosial, politik dan ekonomi ternyata muncul dalam waktu yang bersamaan.

Langkah pertama untuk membenahi keadaan yang serba tak mantap, tentu saja memulihkan ketertiban, khususnya di ibukota, Madinah. Ribuan kaum pemberontak yang bertebaran di ibukota berhasil dihimbau dan dijinakkan sampai mereka berhasil dipulihkan kembali ke dalam kehidupan normal. Bagi Imam Ali r.a. tidak ada kemungkinan untuk bertindak terhadap ribuan kaum pemberontak yang telah mengakibatkan terbunuhnya Khalifah Utsman r.a. Bertindak terhadap mereka, berarti menyulut api perang saudara.

Bagi Imam Ali r.a. memang tidak ada pilihan lain yang lebih baik. Daripada bermusuhan dengan kaum muslimin yang menuntut terlaksananya kebenaran dan keadilan, lebih baik berhadap hadapan dengan tokoh-tokoh Bani Umayyah, betapa pun besarnya resiko yang akan dipikul.

Dan ternyata, tidak bertindaknya Imam Ali r.a. terhadap kaum mulimin yang memberontak terhadap Khalifah Utsman r.a., dijadikan alasan dan dalih oleh lawan-lawan politiknya untuk menggerakan kekuatan oposisi dan perlawanan. Kemungkinan itu pun telah diperhitungkan oleh Imam Ali r.a.

Ada lagi tindakan dan langkah Imam Ali r.a: yang sangat menjengkelkan lawan-lawan politiknya. Yaitu tindakan menertibkan aparatur pemerintahan. Penguasa-penguasa daerah yang selama 6 tahun terakhir masa pemerintahan Khalifah Utsman r.a. terbukti telah menyalah-gunakan wewenang untuk kepentingan pribadi dan golongan, digeser seorang demi seorang. Banyak pejabat tinggi yang tidak dipakai lagi. Di antara mereka ialah Marwan bin Al Hakam, seorang pembantu Khalifah Utsman r.a. yang sangat dominan kekuasaannya, yang kemudian lari meninggalkan Madinah. Juga Abdullah bin Abi Sarah digeser dari kedudukkannya sebagai penguasa daerah Mesir. Imam Ali r.a. juga berniat hendak mengganti penguasa daerah Syam yang berpengaruh itu, Muawiyah bin Abi Sufyan.

Sebelum bertindak melaksanakan penertiban, Imam Ali r.a. telah mengadakan pertukaran pendapat dengan para pemuka kaum Muhajirin dan Anshar. Ia yakin, bahwa hanya dengan aparatur yang bersih dan sepenuhnya mengabdi kepentingan agama dan ummat saja, pemerintahnya akan dapat berjalan dengan lancar dan kebenaran serta keadilan dapat ditegakkan. Imam Ali r.a. tidak tanggung-tanggung dalam bertindak menjalankan penertiban. Siapa saja yang terbukti tidak mengabdikan amalnya kepada agama Allah dan ummat Islam, digeser tanpa tawar-menawar. Satu persatu tokoh-tokoh yang tidak atau kurang jujur tersingkir tanpa diberi kesempatan sedikit pun untuk membela diri.

Tetapi ada seorang tokoh dan pejabat teras yang pantang menyerah. Ia adalah Muawiyah bin Abi Sufyan, yang dalam waktu relatif panjang menjadi seorang penguasa di daerah Syam. Ia bukan hanya membangkang, bahkan menentang kekhalifahan Imam Ali r.a. secara terang-terangan.

Sejak mendengar Imam Ali r.a. terbai’at sebagai Amirul Mukminin, Muawiyah telah memasang kuda-kuda untuk menjegal kepemimpinan Imam Ali r.a. Apa yang disiapkan oleh Muawiyah bukannya tidak dimengerti oleh Amirul Mukminin, dan justru itulah motivasinya hendak menggeser Muawiyah.

Banyak sahabat Imam Ali r.a. yang mengemukakan kekhawatiran bila Imam Ali r.a. melaksanakan niatnya. Mereka menasehatkan agar Imam Ali r.a. tidak cepat-cepat mengambil tindakan terhadap Muawiyah. Mereka mengatakan: “Kami yakin Muawiyah tidak akan tinggal diam bila dia disingkirkan dari kedudukannya. Sebaliknya, ada kemungkinan ia merasa cukup puas jika sementara dibiarkan memegang jabatan itu.”

Tetapi Imam Ali r.a. sebagai seorang pemimpin yang selalu bersikap prinsipal, tak mau mundur sejengkal pun. Ia menegaskan pendiriannya: “Aku tidak dapat lagi memakai Muawiyah, sekalipun hanya untuk dua hari! Aku tidak akan mempergunakannya dalam tugas apa pun juga. Bahkan ia tidak akan kuperbolehkan menghadiri peristiwa upacara penting. Ia juga tidak akan mendapat kedudukan dalam pasukan muslimin!”

Pendirian Imam Ali r.a. sudah tidak dapat ditawar lagi, Keputusan diambil: mengganti Muawiyah dengan Sahl bin Hunaif, seorang dari kaum Anshar.

Tindakan yang diambil Imam Ali r.a. ini mengawali pertentangan terbuka dengan Muawiyah bin Abi Sufyan. Pada waktu Sahl bin Hunaif tiba di Damsyik, Muawiyah secara terang-terangan menolaknya. Malahan ia berani memerintahkan agar Sahl cepat kembali ke Madinah. Peristiwa ini membuat para sahabat Imam Ali r.a. bertambah khawatir.

Penolakan dan pembangkangan Muawiyah ternyata sama sekali tidak menggetarkan fikiran Imam Ali r.a. Ia berpegang teguh pada firman Allah yang menegaskan, bahwa tiap muslim wajib taat kepada Waliyyul Amri (pemegang kekuasaan) selama Waliyyul Amri tidak berlaku durhaka terhadap Allah dan Rasul-Nya. Bagi Imam Ali r.a., perintah Allah dan ajaran Rasul-Nya adalah di atas segala-galanya.

Untuk melaksanakan dan membela perintah Allah dan ajaran Rasul-Nya ia tidak menghitung untung rugi. Di saat banyak sekali orang yang merasa gelisah, ia tetap tenang menghadapi pembangkangan Muawiyah. Ia mengirim utusan ke Damsyik, membawa surat perintah, agar seterimanya surat itu Muawiyah datang ke Madinah untuk menyatakan bai’atnya kepada Amirul Mukminin.

bersambung..

Disadur dari buku :

Sejarah Hidup Imam Ali bin Abi Thalib r.a.
Oleh H.M.H. Al Hamid Al Husaini
Penerbit: Lembaga Penyelidikan Islam

https://tausyah.wordpress.com

MENURUT AHLI SEJARAH NON-MUSLIM
(dikutip dari SEJARAH HIDUP MUHAMMAD oleh MUHAMMAD HUSAIN HAEKAL)

PENDAPAT MUIR

Sebenarnya apa yang diterangkan kaum  Orientalis  dalam  hal ini cukup banyak. Tapi coba kita ambil apa yang ditulis oleh Sir William Muir dalam The Life of  Mohammad  supaya  mereka yang  sangat  berlebih-lebihan  dalam  memandang sejarah dan dalam memandang diri mereka yang  biasanya  menerima  begitu saja   apa   yang  dikatakan  orang  tentang  pemalsuan  dan perubahan Qur’an itu, dapat  melihat  sendiri.  Muir  adalah seorang  penganut Kristen yang teguh dan yang juga berdakwah untuk itu. Diapun ingin sekali tidak akan membiarkan  setiap kesempatan  melakukan  kritik  terhadap Nabi dan Qur’an, dan berusaha memperkuat kritiknya.

Ketika bicara tentang  Qur’an  dan  akurasinya  yang  sampai kepada kita, Sir William Muir menyebutkan:

“Wahyu  Ilahi itu adalah dasar rukun Islam. Membaca beberapa ayat merupakan bagian pokok dari sembahyang sehari-hari yang bersifat  umum  atau  khusus. Melakukan pembacaan ini adalah wajib dan sunah, yang dalam arti agama adalah perbuatan baik yang  akan  mendapat  pahala  bagi yang melakukannya. Inilah sunah pertama yang sudah merupakan konsensus. Dan  itu  pula yang  telah  diberitakan  oleh  wahyu.  Oleh karena itu yang hafal Qur’an di kalangan Muslimin yang mula-mula itu  banyak sekali, kalau bukan semuanya. Sampai-sampai di antara mereka pada awal masa kekuasaan Islam itu ada  yang  dapat  membaca sampai  pada  ciri-cirinya  yang  khas.  Tradisi  Arab telah membantu pula mempermudah pekerjaan  ini.  Kecintaan  mereka luar  biasa  besarnya. Oleh karena untuk memburu segala yang datang  dari  para  penyairnya  tidak  mudah  dicapai,  maka seperti  dalam  mencatat  segala  sesuatu  yang  berhubungan dengan nasab keturunan  dan  kabilah-kabilah  mereka,  sudah biasa  pula  mereka  mencatat sajak-sajak itu dalam lembaran hati mereka sendiri. Oleh karena  itu  daya  ingat  (memori) mereka  tumbuh  dengan  subur. Kemudian pada masa itu mereka menerima Qur’an dengan persiapan dan dengan jiwa yang hidup. Begitu  kuatnya  daya  ingat  sahabat-sahabat Nabi, disertai pula  dengan  kemauan  yang  luar  biasa  hendak  nnenghafal Qur’an,  sehingga  mereka,  bersama-sama  dengan  Nabi dapat mengulang kembali dengan ketelitian yang  meyakinkan  sekali segala  yang  diketahui  dari  pada  Nabi  sampai pada waktu mereka membacanya itu.”

“Sungguhpun dengan tenaga yang sudah menjadi ciri khas  daya ingatnya   itu,  kita  juga  bebas  untuk  tidak  melepaskan kepercayaan kita  bahwa  kumpulan  itu  adalah  satu-satunya sumber. Tetapi ada alasan kita yang akan membuat kita yakin, bahwa sahabat-sahabat Nabi  menulis  beberapa  macam  naskah selama  masa  hidupnya  dari  berbagai  macam  bagian  dalam Qur’an. Dengan naskah-naskah inilah hampir seluruhnya Qur’an itu  ditulis.  Pada  umumnya  tulis-menulis  di  Mekah sudah dikenal orang jauh sebelum masa  kerasulan  Muhammad.  Tidak hanya  seorang  saja yang diminta oleh Nabi untuk menuliskan kitab-kitab dan surat-surat itu. Tawanan  perang  Badr  yang dapat mengajarkan tulis-menulis di Mekah sudah dikenal orang jauh sebelum masa kerasulan Muhammad.  Tidak  hanya  seorang saja yang diminta oleh Nabi untuk menuliskan kitab-kitab dan surat-surat itu. Tawanan perang Badr yang dapat  mengajarkan tulis-menulis   kepada   kaum  Anshar  di  Medinah,  sebagai imbalannya  mereka  dibebaskan.  Meskipun  penduduk  Medinah dalam pendidikan tidak sepandai penduduk Mekah, namun banyak juga  di  antara  mereka  yang  pandai  tulis-menulis  sejak sebelum  Islam.  Dengan adanya kepandaian menulis ini, mudah saja kita mengambil kesimpulan tanpa salah, bahwa  ayat-ayat yang  dihafal  menurut  ingatan  yang sangat teliti itu, itu juga yang dituliskan dengan ketelitian yang sama pula.”

“Kemudian kitapun mengetahui, bahwa Muhammad telah  mengutus seorang sahabat atau lebih kepada kabilah-kabilah yang sudah menganut Islam,  supaya  mengajarkan  Qur’an  dan  mendalami agama.  Sering  pula  kita  membaca, bahwa ada utusan-utusan yang    pergi    membawa    perintah    tertulis    mengenai masalah-masalah  agama  itu.  Sudah tentu mereka membawa apa yang  diturunkan  oleh  wahyu,  khususnya  yang  berhubungan dengan  upacara-upacara  dan peraturan-peraturan Islam serta apa yang harus dibaca selama melakukan ibadat.”

PENULISAN QUR’AN PADA ZAMAN NABI

“Qur’an  sendiripun  menentukan  adanya  itu  dalam   bentuk tulisan.  Begitu  juga  buku-buku  sejarah  sudah menentukan demikian, ketika menerangkan tentang Islamnya Umar,  tentang adanya   sebuah   naskah  Surat  ke-20  [Surah  Taha]  milik saudaranya yang perempuan dan keluarganya. Umar masuk  Islam tiga  atau  empat  tahun  sebelum  Hijrah.  Kalau  pada masa permulaan Islam wahyu itu ditulis dan saling  dipertukarkan, tatkala  jumlah  kaum  Muslimin  masih sedikit dan mengalami pelbagai macam siksaan, maka sudah dapat dipastikan  sekali, bahwa  naskah-naskah tertulis itu sudah banyak jumlahnya dan sudah banyak pula beredar, ketika Nabi sudah mencapai puncak kekuasaannya  dan  kitab  itu  sudah  menjadi  undang-undang seluruh bangsa Arab.”

BILA BERSELISIH KEMBALI KEPADA NABI

“Demikian halnya Qur’an itu semasa hidup Nabi, dan  demikian juga  halnya  kemudian  sesudah  Nabi wafat; tetap tercantum dalam kalbu kaum  mukmin.  Berbagai  macam  bagiannya  sudah tercatat  belaka  dalam  naskah-naskah yang makin hari makin bertambah jumlahnya itu. Kedua sumber itu  sudah  seharusnya benar-benar  cocok.  Pada  waktu itu pun Qur’an sudah sangat dilindungi sekali, meskipun  pada  masa  Nabi  masih  hidup, dengan  keyakinan  yang  luarbiasa  bahwa  itu  adalah kalam Allah. Oleh karena  itu  setiap  ada  perselisihan  mengenai isinya,  untuk  menghindarkan  adanya  perselisihan demikian itu, selalu dibawa kepada Nabi sendiri. Dalam  hal  ini  ada beberapa  contoh  pada  kita:  ‘Amr bin Mas’ud dan Ubayy bin Ka’b membawa hal itu kepada Nabi. Sesudah Nabi  wafat,  bila ada  perselisihan,  selalu  kembali  kepada  teks yang sudah tertulis  dan  kepada  ingatan  sahabat-sahabat  Nabi   yang terdekat serta penulis-penulis wahyu.”

PENGUMPULAN QUR’AN LANGKAH PERTAMA

“Sesudah  selesai  menghadapi  peristiwa  Musailima  – dalam perang Ridda – penyembelihan Yamama telah  menyebabkan  kaum Muslimin banyak yang mati, di antaranya tidak sedikit mereka yang telah menghafal Qur’an dengan  baik.  Ketika  itu  Umar merasa  kuatir  akan  nasib  Qur’an dan teksnya itu; mungkin nanti akan menimbulkan keragu-raguan orang bila mereka  yang telah  menyimpannya  dalam  ingatan itu, mengalami suatu hal lalu meninggal semua. Waktu itulah ia pergi menemui Khalifah Abu  Bakr  dengan mengatakan: “Saya kuatir sekali pembunuhan terhadap mereka yang sudah hafal  Qur’an  itu  akan  terjadi lagi di medan pertempuran lain selain Yamama dan akan banyak lagi dari mereka  yang  akan  hilang.  Menurut  hemat  saya, cepat-cepatlah    kita    bertindak   dengan   memerintahkan pengumpulan Qur’an.”

“Abu Bakr segera  menyetujui  pendapat  itu.  Dengan  maksud tersebut  ia  berkata  kepada Zaid bin Thabit, salah seorang Sekretaris Nabi yang besar: “Engkau pemuda yang  cerdas  dan saya  tidak  meragukan kau. Engkau adalah penulis wahyu pada Rasulullah  s.a.w.  dan  kau  mengikuti  Qur’an  itu;   maka sekarang kumpulkanlah.”

“Oleh  karena  pekerjaan ini terasa tiba-tiba sekali di luar dugaan, mula-mula Zaid gelisah sekali.  Ia  masih  meragukan gunanya melakukan hal itu dan tidak pula menyuruh orang lain melakukannya. Akan tetapi akhirnya  ia  mengalah  juga  pada kehendak  Abu  Bakr dan Umar yang begitu mendesak. Dia mulai berusaha  sungguh-sungguh   mengumpulkan   surah-surah   dan bagian-bagiannya  dari segenap penjuru, sampai dapat juga ia mengumpulkan yang tadinya di atas daun-daunan, di atas  batu putih,   dan   yang  dihafal  orang.  Setengahnya  ada  yang menambahkan, bahwa dia juga mengumpulkannya  dari  yang  ada pada  lembaran-lembaran,  tulang-tulang  bahu dan rusuk unta dan kambing. Usaha Zaid ini mendapat sukses.”

“Ia melakukan itu selama dua atau tiga tahun  terus-menerus, mengumpulkan   semua   bahan-bahan  serta  menyusun  kembali seperti yang ada sekarang ini, atau seperti  yang  dilakukan Zaid  sendiri membaca Qur’an itu di depan Muhammad, demikian orang mengatakan. Sesudah  naskah  pertama  lengkap  adanya, oleh  Umar  itu  dipercayakan  penyimpanannya kepada Hafsha, puterinya dan isteri Nabi. Kitab yang  sudah  dihimpun  oleh Zaid  ini  tetap  berlaku selama khilafat Umar, sebagai teks yang otentik dan sah.

“Tetapi kemudian terjadi perselisihan mengenai cara membaca, yang timbul baik karena perbedaan naskah Zaid yang tadi atau karena perubahan yang dimasukkan ke dalam naskah-naskah  itu yang  disalin  dari  naskah  Zaid.  Dunia Islam cemas sekali melihat hal ini. Wahyu  yang  didatangkan  dari  langit  itu “satu,”  lalu  dimanakah sekarang kesatuannya? Hudhaifa yang pernah berjuang di Armenia dan di Azerbaijan,  juga  melihat adanya perbedaan Qur’an orang Suria dengan orang Irak.”

MUSHAF USMAN

“Karena  banyaknya  dan  jauhnya  perbedaan  itu,  ia merasa gelisah sekali. Ketika itu ia lalu meminta agar Usman  turun tangan.  “Supaya  jangan  ada  lagi orang berselisih tentang kitab  mereka  sendiri  seperti   orang-orang   Yahudi   dan Nasrani.”   Khalifahpun  dapat  menerima  saran  itu.  Untuk menghindarkan bahaya, sekali lagi Zaid bin  Thabit  dimintai bantuannya  dengan  diperkuat  oleh tiga orang dari Quraisy. Naskah pertama yang ada di tangan Hafsha  lalu  dibawa,  dan cara  membaca yang berbeda-beda dari seluruh persekemakmuran Islam itupun dikemukakan, lalu  semuanya  diperiksa  kembali dengan  pengamatan  yang  luarbiasa,  untuk  kali  terakhir. Kalaupun Zaid berselisih juga dengan ketiga sahabatnya  dari Quraisy  itu,  ia  lebih condong pada suara mereka mengingat turunnya wahyu itu menurut logat Quraisy, meskipun dikatakan wahyu   itu   diturunkan   dengan  tujuh  dialek  Arab  yang bermacam-macam.”

“Selesai dihimpun, naskah-naskah  menurut  Qur’an  ini  lalu dikirimkan  ke seluruh kota persekemakmuran. Yang selebihnya naskah-naskah itu dikumpulkan lagi  atas  perintah  Khalifah lalu dibakar. Sedang naskah yang pertama dikembalikan kepada Hafsha.”

PERSATUAN ISLAM ZAMAN USMAN

“Maka yang sampai kepada kita adalah Mushhaf  Usman.  Begitu cermat  pemeliharaan  atas Qur’an itu, sehingga hampir tidak kita dapati -bahkan  memang  tidak  kita  dapati-  perbedaan apapun dari naskah-naskah yang tak terbilang banyaknya, yang tersebar ke seluruh  penjuru  dunia  Islam  yang  luas  itu. Sekalipun akibat terbunuhnya Usman sendiri – seperempat abad kemudian sesudah Muhammad wafat – telah  menimbulkan  adanya kelompok-kelompok  yang marah dan memberontak sehingga dapat menggoncangkan kesatuan dunia Islam –  dan  memang  demikian adanya  – namun Qur’an yang satu, itu juga yang selalu tetap menjadi Qur’an bagi semuanya. Demikianlah, Islam yang  hanya mengenal satu kitab itu ialah bukti yang nyata sekali, bahwa apa yang ada di depan kita sekarang ini  tidak  lain  adalah teks  yang  telah  dihimpun  atas perintah Usman yang malang itu.

“Agaknya di seluruh dunia ini tak ada sebuah kitabpun selain Qur’an  yang  sampai empatbelas  abad  lamanya  tetap lengkap dengan teks yang begitu murni  dan  cermatnya.  Adanya  cara membaca  yang  berbeda-beda  itu sedikit sekali untuk sampai menimbulkan keheranan. Perbedaan ini kebanyakannya  terbatas hanya  pada  cara  mengucapkan  huruf  hidup  saja atau pada tempat-tempat tanda berhenti, yang sebenarnya  timbul  hanya belakangan  saja  dalam  sejarah,  yang  tak ada hubungannya dengan Mushhaf Usman.”

“Sekarang, sesudah ternyata  bahwa  Qur’an  yang  kita  baca ialah  teks  Mushhaf  Usman yang tidak berubah-ubah, baiklah kita  bahas  lagi:  Adakah  teks  ini  yang  memang   persis bentuknya  seperti  yang  dihimpun  oleh Zaid sesudah adanya persetujuan menghilangkan segi perbedaan dalam cara  membaca yang  hanya  sedikit sekali jumlahnya dan tidak pula penting itu? Segala pembuktian yang ada pada kita meyakinkan sekali, bahwa  memang  demikian.  Tidak ada dalam berita-berita lama atau  yang  patut  dipercaya  yang  melemparkan   kesangsian terhadap  Usman  sedikitpun,  bahwa  dia  bermaksud mengubah Qur’an guna memperkuat tujuannya. Memang benar, bahwa Syi’ah kemudian  menuduh  bahwa  dia mengabaikan beberapa ayat yang mengagungkan Ali. Akan tetapi dugaan ini tak dapat  diterima akal.  Ketika  Mushhaf ini diakui, antara pihak Umawi dengan pihak Alawi  (golongan  Mu’awiya  dan  golongan  Ali)  belum terjadi  sesuatu  perselisihan faham. Bahkan persatuan Islam masa  itu   benar-benar   kuat   tanpa   ada   bahaya   yang mengancamnya.  Di  samping  itu  juga  Ali  belum melukiskan tuntutannya dalam bentuknya yang lengkap.  Jadi  tak  adalah maksud-maksud   tertentu  yang  akan  membuat  Usman  sampai melakukan pelanggaran yang akan  sangat  dibenci  oleh  kaum Muslimin  itu.  Orang-orang  yang  memahami  dan hafal benar Qur’an  seperti  yang  mereka  dengar  sendiri  waktu   Nabi membacanya  mereka  masih  hidup  tatkala Usman mengumpulkan Mushhaf itu. Andaikata ayat-ayat yang mengagungkan  Ali  itu sudah   ada,   tentu   terdapat   juga   teksnya  di  tangan pengikut-pengikutnya yang banyak itu. Dua  alasan  ini  saja sudah  cukup untuk menghapus setiap usaha guna menghilangkan ayat-ayat  itu.  Lagi  pula,  pengikut-pengikut  Ali   sudah berdiri  sendiri sesudah Usman wafat, lalu mereka mengangkat Ali sebagai Pengganti.”

“Dapatkah diterima akal – pada waktu kemudian  mereka  sudah memegang kekuasaan – bahwa mereka akan sudi menerima Qur ‘an yang sudah terpotong-potong, dan  terpotong  yang  disengaja pula untuk menghilangkan tujuan pemimpin mereka?! Sungguhpun begitu mereka tetap membaca Qur’an  yang  juga  dibaca  oleh lawan-lawan mereka. Tak ada bayangan sedikitpun bahwa mereka akan menentangnya. Bahkan Ali sendiripun telah memerintahkan supaya  menyebarkan naskah itu sebanyak-banyaknya. Malah ada diberitakan, bahwa ada beberapa di antaranya yang ditulisnya dengan tangannya sendiri.”

“Memang  benar  bahwa  para  pemberontak  itu  telah membuat pangkal pemberontakan mereka karena Usman telah mengumpulkan Qur’an  lalu  memerintahkan  supaya semua naskah dimusnahkan selain Mushhaf Usman. Jadi tantangan mereka ditujukan kepada langkah-langkah  Usman  dalam  hal  itu  saja,  yang menurut anggapan mereka tidak boleh dilakukan. Tetapi di  balik  itu tidak  seorangpun yang menunjukkan adanya usaha mau mengubah atau menukar isi Qur’an. Tuduhan  demikian  pada  waktu  itu adalah suatu usaha perusakan terang-terangan. Hanya kemudian golongan Syi’ah saja yang mengatakan itu  untuk  kepentingan mereka sendiri.”

“Sekarang kita dapat mengambil kesimpulan dengan meyakinkan, bahwa Mushhaf Usman itu tetap dalam  bentuknya  yang  persis seperti  yang  dihimpun  oleh  Zaid bin Thabit, dengan lebih disesuaikan bahan-bahannya yang sudah ada lebih dulu  dengan dialek Quraisy. Kemudian menyisihkan jauh-jauh bacaan-bacaan selebihnya yang pada waktu itu terpencar-pencar  di  seluruh daerah itu.”

MUSHAF USMAN CERMAT DAN LENGKAP

“Tetapi  sungguhpun begitu masih ada suatu soal penting lain yang  terpampang  di  depan   kita,   yakni:   adakah   yang dikumpulkan  oleh  Zaid itu merupakan bentuk yang sebenarnya dan  lengkap  seperti  yang  diwahyukan   kepada   Muhammad? Pertimbangan-pertimbangan  di  bawah  ini  cukup  memberikan keyakinan, bahwa itu adalah susunan  sebenarnya  yang  telah selengkapnya dicapai waktu itu:”

“Pertama  –  Pengumpulan pertama selesai di bawah pengawasan Abu Bakr. Sedang Abu Bakr seorang  sahabat  yang  jujur  dan setia kepada Muhammad. Juga dia adalah orang yang sepenuhnya beriman pada kesucian sumber Qur’an, orang yang  hubungannya begitu  erat  sekali dengan Nabi selama waktu duapuluh tahun terakhir dalam hayatnya, serta  kelakuannya  dalam  khilafat dengan cara yang begitu sederhana, bijaksana dan bersih dari gejala ambisi, sehingga baginya  memang  tak  adalah  tempat buat  mencari  kepentingan lain. Ia beriman sekali bahwa apa yang diwahyukan kepada kawannya itu adalah wahyu dari Allah, sehingga  tujuan utamanya ialah memelihara pengumpulan wahyu itu semua dalam keadaan murni sepenuhnya.”

Pernyataan semacam ini berlaku juga terhadap Umar yang sudah menyelesaikan   pengumpulan   itu   pada  masa  khilafatnya. Pernyataan semacam ini juga yang berlaku terhadap semua kaum Muslimin  waktu  itu,  tak ada perbedaan antara para penulis yang membantu  melakukan  pengumpulan  itu,  dengan  seorang mu’min  biasa  yang  miskin, yang memiliki wahyu tertulis di atas tulang-tulang atau daun-daunan, lalu  membawanya  semua kepada    Zaid.    Semangat   mereka   semua   sama,   ingin memperlihatkan kalimat-kalimat dan  kata-kata  seperti  yang dibacakan  oleh  Nabi,  bahwa itu adalah risalah dari Tuhan. Keinginan  mereka  hendak  memelihara  kemurnian  itu  sudah menjadi  perasaan  semua  orang,  sebab tak ada sesuatu yang lebih dalam tertanam dalam jiwa mereka  seperti  rasa  kudus yang  agung  itu,  yang  sudah  mereka  percayai  sepenuhnya sebagai    firman    Allah.    Dalam     Qur’an     terdapat peringatan-peringatan   bagi   barangsiapa  yang  mengadakan kebohongan  atas  Allah  atau  menyembunyikan  sesuatu  dari wahyuNya.  Kita  tidak  akan dapat menerima, bahwa pada kaum Muslimin yang  mula-mula  dengan  semangat  mereka  terhadap agama  yang  begitu  rupa mereka sucikan itu, akan terlintas pikiran yang akan membawa akibat  begitu  jauh  membelakangi iman.”

“Kedua  –  Pengumpulan tersebut selesai selama dua atau tiga tahun sesudah Muhammad wafat. Kita  sudah  melihat  beberapa orang  pengikutnya,  yang  sudah  hafal  wahyu  itu  di luar kepala, dan setiap Muslim sudah hafal sebagian,  juga  sudah ada   serombongan   ahli-ahli   Qur’an  yang  ditunjuk  oleh pemerintah dan dikirim ke segenap penjuru daerah Islam  guna melaksanakan  upacara-upacara dan mengajar orang memperdalam agama. Dari mereka semua itu terjalinlah suatu  mata  rantai penghubung  antara wahyu yang dibaca Muhammad pada waktu itu dengan yang dikumpulkan oleh Zaid. Kaum Muslimin bukan  saja bermaksud jujur dalam mengumpulkan Qur’an dalam satu Mushhaf itu,  tapi  juga  mempunyai  segala  fasilitas  yang   dapat menjamin    terlaksananya    maksud    tersebut,    menjamin terlaksananya segala yang sudah terkumpul dalam  kitab  itu, yang ada di tangan mereka sesudah dengan teliti dan sempurna dikumpulkan.”

“Ketiga – Juga  kita  mempunyai  jaminan  yang  lebih  dapat dipercaya  tentang  ketelitian dan kelengkapannya itu, yakni bagian-bagian Qur’an yang tertulis,  yang  sudah  ada  sejak masa  Muhammad  masih  hidup,  dan  yang  sudah tentu jumlah naskahnyapun sudah banyak sebelum  pengumpulan  Qur’an  itu. Naskah-naskah  demikian  ini  kebanyakan sudah ada di tangan mereka semua yang dapat membaca. Kita mengetahui, bahwa  apa yang  dikumpulkan Zaid itu sudah beredar di tangan orang dan langsung dibaca sesudah pengumpulannya.  Maka  logis  sekali kita mengambil kesimpulan, bahwa semua yang terkandung dalam bagian-bagian itu, sudah tercakup belaka.  Oleh  karena  itu keputusan mereka semua sudah tepat pada tempatnya. Tidak ada suatu sumber yang sampai kepada kita yang menyebutkan, bahwa para  penghimpun  itu  telah melalaikan sesuatu bagian, atau sesuatu ayat, atau kata-kata, ataupun apa yang  terdapat  di dalamnya  itu,  berbeda  dengan  yang ada dalam Mushhaf yang sudah dikumpulkan itu. Kalau yang demikian ini  memang  ada, maka tidak bisa tidak tentu terlihat juga, dan tentu dicatat pula dalam dokumen-dokumen lama yang sangat cermat itu;  tak ada sesuatu yang diabaikan sekalipun yang kurang penting.”

“Keempat   –   Isi  dan  susunan  Qur’an  itu  jelas  sekali menunjukkan  cermatnya   pengumpulan.   Bagian-bagian   yang bermacam-macarn  disusun  satu  sama  lain  secara sederhana tanpa dipaksa-paksa atau dibuat-buat.”

“Tak ada bekas tangan yang mencoba  mau  mengubah  atau  mau memperlihatkan  keahliannya  sendiri. Itu menunjukkan adanya iman dan kejujuran sipenghimpun dalam  menjalankan  tugasnya itu. Ia tidak berani lebih daripada mengambil ayat-ayat suci itu seperti apa adanya,  lalu  meletakkannya  yang  satu  di samping yang lain.”

“Jadi  kesimpulan yang dapat kita sebutkan dengan meyakinkan sekali ialah, bahwa Mushhaf Zaid dan Usman itu  bukan  hanya hasil  ketelitian  saja,  bahkan – seperti beberapa kejadian menunjukkan – adalah juga lengkap, dan  bahwa  penghimpunnya tidak bermaksud mengabaikan apapun dari wahyu itu. Juga kita dapat meyakinkan, berdasarkan bukti-bukti yang  kuat,  bahwa setiap  ayat  dari  Qur’an  itu, memang sangat teliti sekali dicocokkan seperti yang dibaca oleh Muhammad.”

Panjang juga kita mengutip kalimat-kalimat Sir William  Muir seperti  yang  disebutkan  dalam  kata pengantar The Life of Mohammad (p.xiv-xxix) itu. Dengan apa yang sudah kita  kutip itu  tidak  perlu  lagi  rasanya  kita  menyebutkan  tulisan Lammens atau  Von  Hammer  dan  Orientalis  lain  yang  sama sependapat.   Secara   positif   mereka  memastikan  tentang persisnya Qur’an yang kita baca sekarang,  serta  menegaskan bahwa  semua  yang  dibaca  oleh  Muhammad adalah wahyu yang benar  dan  sempurna  diterima  dari  Tuhan.  Kalaupun   ada sebagian   kecil   kaum   Orientalis  berpendapat  lain  dan beranggapan bahwa Qur’an sudah mengalami  perubahan,  dengan tidak menghiraukan alasan-alasan logis yang dikemukakan Muir dan sebagian besar  Orientalis,  yang  telah  mengutip  dari sejarah  Islam  dan  dari  sarjana-sarjana  Islam,  maka itu adalah suatu dakwaan yang hanya didorong  oleh  rasa  dengki saja terhadap Islam dan terhadap Nabi.

Betapapun   pandainya   tukang-tukang   tuduh  itu  menyusun tuduhannya,  namun  mereka  tidak  dapat  meniadakan   hasil penyelidikan  ilmiah  yang  murni. Dengan caranya itu mereka takkan dapat menipu kaum Muslimin, kecuali  beberapa  pemuda yang  masih  beranggapan  bahwa  penyelidikan yang bebas itu mengharuskan mereka mengingkari masa lampau mereka  sendiri, memalingkan  muka  dari kebenaran karena sudah terbujuk oleh kepalsuan yang indah-indah. Mereka percaya kepada semua yang mengecam   masa   lampau  sekalipun  pengecamnya  itu  tidak mempunyai dasar kebenaran ilmiah dan sejarah.

———————————————
S E J A R A H    H I D U P    M U H A M M A D

oleh MUHAMMAD HUSAIN HAEKAL
diterjemahkan dari bahasa Arab oleh Ali Audah