Posts Tagged ‘Sikap Akhlus Sunnah’

Syubhat kedua :
Perbuatan atau ucapan para shahabat adalah hujjah

Banyak hadits-hadits Nabi shalallahu \’alaihi wa sallam yang dijadikan dalil oleh mereka. Salah satu di antaranya adalah hadits shahih, tetapi mereka salah dalam memahaminya. Sedangkan yang lainnya adalah hadits-hadits maudlu

Berikut ini saya sebutkan syubhat mereka setelah itu saya nukilkan keterangan ulama sebagai jawaban syubhat tersebut.

Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam bersabda[24] :

Aku wasiatkan kepada kalian agar bertaqwa kepada Allah, mendengar dan taat meskipun (yang memerintah kalian) seorang budak dari Habasyah (Ethiopia). Sesungguhnya siapa yang hidup sesudahku di antara kalian, maka kelak ia akan menjumpai perselisihan yang banyak. Maka haruslah kalian mengikuti sunnahku (jalanku) dan sunnah para khalifah yang mendapat petunjuk dan bimbingan. Berpegang teguhlah kalian dengannya, gigitlah dengan gigi geraham atas sunnah tersebut ¡¦

Syaikh Salim bin Ied Al Hilali berkata[25] : Ketahuilah saudara-saudara seiman, semoga Allah membimbingmu kepada kebenaran, bahwasanya ‘athaf ini (kata penyambung “dan” dalam sabdanya : Haruslah kalian mengikuti sunnahku dan sunnah para kulafaur rasyidin, pent) tidaklah berarti bahwa sunnah khulafaur rasyidin diikuti tanpa mengikuti sunnah Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam. Melainkan mereka senantiasa mengikuti sunnah beliau shalallahu ‘alaihi wa sallam dalam setiap jejak langkahnya. Oleh karena itu mereka dijuluki sebagai orang yang mendapatkan petunjuk dan bimbingan. Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam menisbahkan sunnah kepada mereka dikarenakan merekalah yang paling berhak dan seutama-utama manusia yang memahami sunnah tersebut. Pemahaman seperti ini mutawatir dari ulama-ulama rabbani umat yang dirahmati ini, di antara mereka adalah[26] :

  1. Ibnu Hazm Al Andalusi rahimahullah dalam kitabnya Al Ihkam fi Ushuhlil Ahkam juz 6 hal. 76-78)
  2. Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah dalam kitabnya Majmu¡¦Al Fatawa juz 1 hal. 282
  3. Al Fullani rahimahullah dalam kitabnya Iqadhul Himam Ulil Abshar hal. 23)
  4. Al Qari rahimahullah dalam kitab Mirqatil Mafatih juz 1 hal. 199 Al Alamah Al Mubarak Furi rahimahullah dalam Syarah Sunan at Tirmidzi Tuhfatul Ahwadzi juz 3 hal. 50 dan juz 7 hal. 420. Begitu pula Imam Syaukani dan Imam As Shan’ani rahimahumallah berkata demikian.

Berkenaan dengan masalah ini ada hadits maudlu yang berbunyi :

Shahabat-shahabatku seperti bintang, dengan siapa saja kalian mengikuti di antara mereka, kalian mesti mendapatkan hidayah.

Berikut ini adalah petikan dari Syaikh Al Albani dalam Silsilah Hadits Dlaifah wal Maudlu’ah juz I no. 58 dari halaman 144-145 : Hadits ini diriwayatkan oleh Ibnu Abdil Barr dalam Jami’ul Ilmi 2/91 dan oleh Ibnu Hazm dalam Al Ihkam 6/82 (kemudian beliau menjelaskan tentang sebab maudlunya hadits ini, pent). Sedangkan orang yang menshahihkan hadits ini bersandar dengan ucapan As Syan’ani dalam Al Mizan I/28 : Hadits ini meskipun ada pembicaraan (kelemahan) menurut para muhadits, tetapi hadits ini shahih menurut ahli kasyf. Ucapan ini bathil dan sepantasnya tidak ditengok, karena cara menshahihkan hadits dengan jalan kasyf adalah bid’ah shufi yang amat dibenci.

Kemudian Syaikh Al Albani menjelaskan bahwa cara al kasyf itu paling tidak menggunakan pikiran (tidak secara ilmiyah, pent)!. Belum lagi kalau hawa nafsu yang masuk, sehingga banyak hadits-hadits palsu dan yang tidak ada asalnya menjadi shahih menurut keinginan hawa nafsu mereka.

Adapun hadits-hadits maudlu¡¦yang semakna dengan hadits di atas terdapat dalam Silisilah Dlai’ifah juz 1 no 59-62 dan penjelasannya dari halaman 146-153.

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah telah menjelaskan tentang kaidah Ucapan seorang shahabat bukan sebagai hujjah dalam Al Majmu¡¦Al Fatawa.

Beliau memberikan contoh yang banyak sekali mengenai pendapat shahabat yang bertentangan dengan nash-nash yang jelas. Kemudian beliau juga menjelaskan bahwa Ucapan seorang shahabat sebagai hujjah dapat berlaku apabila memenuhi dua persyaratan, yaitu :

Pertama : Tidak ada nash yang bertentangan dengan ucapan tersebut.

Kedua : Tidak ada shahabat lain yang mengingkarinya.[27] (lihat Majmu¡¦Al Fatawa juz I hal. 282-284)

Syubhat ketiga :
Syaikh Al Albani menunjukkan sebuah syubhat ketika beliau menjelaskan bahwa kebenaran itu satu

Apabila seorang berkata : Apa yang engkau katakan tentang perkataan Imam Malik bahwa kebenaran itu satu tidak berbilang adalah bertentangan dengan apa yang terdapat di dalam kitab Al Madkhal Al Fiqhi tulisan Al Ustadz Az Zarqa I/89 :

Abu Ja’far Al Manshur dan Ar Rasyid menginginkan memilih madzhab Imam Malik dan kitabnya Al Muwatha¡¦sebagai undang-undang peradilan bagi daulah Abbasiyah. Kemudian Imam Malik mencegah mereka berdua melakukan hal yang demikian. Beliau berkata : Sesungguhnya para shahabat Rasulullah shalallahu \’alaihi wa sallam ini telah berselisih di dalam masalah furu dan mereka tersebar di berbagai negeri dan masing-masing mereka adalah benar.

Saya (Syaikh Al Albani) mengatakan : Kisah ini telah dikenal dan masyhur dari Imam Malik rahimahullah. Tetapi kata-kata terakhir yang berbunyi : Masing-masing mereka adalah benar, tidak saya ketahuhi asalnya berdasarkan penelitian saya dari riwayat-riwayat dan sumber-sumber yang saya dapatkan[28]. Kecuali satu riwayat yang dikeluarkan oleh Abu Nu’aim dalam Al Hilyah 6/332, dengan isnad yang terdapat di dalamnya Al Miqdam bin Daud. Ia adalah salah seorang yang disebutkan Adz Dzahabi dalam kitabnya Ad Dlu’afa. Itupun dengan lafadh : Dan masing-masing menurut dirinya adalah benar. Ini menunjukkan bahwa riwayat yang terdapat dalam Al Madkhal telah mengalami perubahan lafadh.

Bagaimana tidak, padahal ini bertentangan dengan apa yang diriwayatkan oleh orang-orang tsiqat (terpecaya) dari Imam Malik bahwa kebenaran itu satu tidak berbilang, sebagaimana telah diterangkan terdahulu. Hal ini juga dipegag oleh setiap Imam dari para shahabat, tabi’in serta imam-imam Mujtahid yang empat dan lain-lainnya[29].


[24] HR. Abu Dawud 4607, At Tirmidzi 2/112-113, Ad Darimi 1/44-45, Ibnu Majah 43 dan 44, Ibnu Nashr dalam As Sunnah hal. 21, Ibnu Hibban dalam Shahihnya 1/4/4 Al Farisi dan lain-lain, Syaikh Al Albani menyatakan hadits shahih (Lihat Irwa’ul Ghalil juz 8 hal. 107, hadits no. 2455)

[25] Dar’ul Irtiyab hal. 17

[26] Keterangan para ulama tersebut dapat dilihat dalam Dar’ul Irtiyab hal. 17-25.

[27] Majmu Fatawa juz 1 hal. 282-284.

[28] Syaikh Al Albani menulis di dalam catatan kakinya : Lihat Al Intiqa oleh Ibnu Abdil Barr hal. 41, Kasyful Muqaththa fi Fadhlil Muwaththa oleh Ibnu Asakir (6-7), dan Tadzkiratul Huffadh oleh Imam Adz Dzahabi 1/195.

[29] Sifat Shalat Nabi shalallahu ‘alaihi wa sallam, hal. 62-63.

https://tausyah.wordpress.com

BEBERAPA SYUBHAT DAN JAWABANNYA

Ada beberapa syubhat yang sering dijadikan dalil oleh sebagian orang yang tidak sependapat dengan kaidah Kebenaran itu hanya satu.

Saya nukilkan jawaban terhadap syubhat-syubhat tersebut dan beberapa faedah lainnya dari tulisan para ahli ilmu :

Syubhat pertama :
Perbedaan pendapat umatku adalah rahmat.

Syubhat ini sering dibawakan oleh sebagian orang dan mereka mengatakannya sebagai sabda Nabi shalallahu ‘alaihi wa sallam. Jika engkau cinta kepada Nabi Muhammad shalallahu ‘alaihi wa sallam, tentu engkau tidak akan berdusta atas namanya. Apalagi beliau telah bersabda[19] :

Barangsiapa yang berdusta atas namaku dengan sengaja maka hendaklah ia menempatkan tempat duduknya dari api neraka. (Hadits Mutawatir, diriwayatkan oleh Imam Bukhari dan lainnya)

Seseorang yang takut terjerumus kepada perbuatan dusta atas nama Nabinya maka ia akan hati-hati dalam membawakan hadits, dengan mencari keterangan terlebih dahulu dari ulama hadits. Apabila ulama hadits pun berbeda pendapat tentang keshahihan suatu hadits, maka ia berusaha sesuai dengan kemampuannya untuk meneliti dan memilih mana di antara mereka yang alasannya lebih kuat, bukan memilih pendapat yang sesuai dengan hawa nafsunya. Apalagi kalau para ulama hadits telah sepakat akan kelemahan atau kepalsuan suatu hadits maka kita harus mengikuti kesepakatan mereka.

Di bawah ini saya nukilkan tulisan Syaikh Muhammad Nasiruddin Al Albani rahimahullah dalam Silsilah Al Hadits Ad Dhaifah mengenai hadits :

Perbedaan pendapat umatku adalah rahmat.

Hadits ini tidak ada asalnya. Para muhadits telah berusaha keras untuk mendapatkan sanad hadits ini, tetapi mereka tidak mendapatkannya. Sampai beliau berkata : Al Munawi menukil dari As Subki bahwa ia berkata : Hadits ini tidak dikenal oleh para muhadits, dan saya belum mendapatkannya baik dalam sanad yang shahih, dhaif, maupun mudlu. Syaikh Zakaria Al Anshari menyetujui dalam tahqiq atas Tafsir Al Baidlawi 2/92/Qaaf (masih dalam manuskrip, pent.)

Makna hadits ini pun diingkari oleh para ulama peneliti. Al Allamah Ibnu Hazm berkata dalam kitabnya Al Ihkam fi Ushulil Ahkam juz V/hal. 64 setelah beliau mengisyaratkan bahwasannya ucapan itu bukan hadits : Ini adalah ucapan yang paling rusak. Karena kalau perselisihan itu rahmat, tentu kesepakatan itu sesuatu yang dibenci dan tidak ada seorang Muslim pun yang mengatakan demikian. Yang ada hanya kesepakatan atau perselisihan, rahmat atau dibenci.Di tempat lain beliau mengatakan : Batil dan dusta.¡¦

Sesungguhnya di antara sebagian dampak buruk dari hadits ini bahwa banyak dari kaum Muslimin menyetujui perbedaan pendapat yang sangat tajam di antara madzhab yang empat. Mereka tidak berupaya sama sekali untuk kembali kepada Al Qur’an dan As Sunnah yang shahih sebagaimna hal ini telah diperintahkan oleh imam-imam mereka sendiri semoga Allah meridhai mereka. Bahkan mereka berpendapat bahwa madzhab-madzhab Imam radhiallahu ‘anhum tersebut sebagai syariat-syariat yang bermacam-macam. Mereka mengatakan demikian, padahal mereka tahu bahwa pertentangan dan kontradiksi itu tidak mungkin dipadukan kecuali dengan menolak sebagian yang bertentangan dengan dalil dan menerima yang lain yang sesuai dengan dalil. Tetapi hal ini tidak mereka lakukan! Dengan ini mereka telah menisbatkan kepada syariat akan adanya kontradiksi. Ini adalah bukti satu-satunya bahwa pertentangan bukanlah dari Allah subhanahu wa ta’ala apabila mereka memperhatikan firman Allah :

Kalau sekiranya Al Qur’an bukan dari Allah niscaya mereka mendapatkan pertentangan yang banyak di dalamnya. (An Nisa: 82)

Ayat di atas menyatakan dengan tegas bahwa pertentangan bukan dari Allah. Maka tidaklah benar menjadikan pertentangan sebagai syariat yang diikuti atau rahmat yang turun.

Disebabkan hadits (yang tidak ada asalnya) ini dan yang lainnya, kebanyakan kaum Muslimin setelah imam yang empat terus menerus sampai hari ini bertentangan dalam banyak masalah, baik masalah aqidah maupun muamalah. Seandainya mereka menganggap bahwa pertentangan itu buruk Sebagaimana ucapan Ibnu Mas’ud[20] dan selainnya radhiallahu ‘anhum dan begitu juga banyak terdapat dalam Al Qur’an dan hadits-hadits Nabi shalallahu ‘alaihi wa sallam yang menunjukkan betapa buruknya pertentangan itu tentu mereka akan bersegera untuk mencapai kata sepakat. Hal ini mungkin terjadi dalam banyak permasalahan karena Allah subhanahu wa ta’ala telah menjelaskan berupa dalil-dalil untuk mengetahui mana yang benar dan mana yang salah, mana yang haq dan mana yang bathil. Setelah itu baru bertoleransi sebagian terhadap yang lainnya dalam hal-hal yang masih diperselisihkan[21]. Akan tetapi untuk apa berusaha mencari kata sepakat kalau mereka berpendapat Ikhtilaf itu rahmat¡¦ dan madzhab yang berbeda-beda itu sebagai syariat yang bermacam-macam? ¡¦. Dan kesimpulannya : sesungguhnya ikhtilaf itu tercela dalam syariat. Maka wajib berusaha untuk menunntaskan darinya sebisa mungkin, dikarenakan pertentangan itu merupakan salah satu sebab kelemahan umat. Allah berfirman :

Dan janganlah kalian berbantah-bantahan yang menyebabkan kalian menjadi gentar dan hilang kekuatanmu.¡¦ (Al Anfal : 46)

Sedang sikap ridha dengan pertentangan dan menamakannya sebagai rahmah maka hal ini menyalahi ayat-ayat Al Qur’an yang tegas-tegas mencelanya. Ia tidak bersandar kecuali kepada hadits yang tidak ada asalnya dari Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam.

Sampai di sini mungkin ada pertanyaan, yaitu : Kadang terjadi pertentangan di antara shahabat. Padahal mereka seutama-utama manusia, apakah celaan di atas mengenai mereka?

Ibnu Hazm rahimahullah menjawabnya dalam Al Ihkam fi Ushulil Ahkam juz V/67-68, ia berkata : Sama sekali tidak. Celaan di atas tidaklah mengenai shahabat sedikitpun, dikarenakan mereka telah berjuang keras mencari jalan Allah dan pendapat yang benar. Maka jika ada di antara mereka kesalahan, mereka mendapatkan satu pahala dikarenakan niatnya yang baik dalam menghendaki kebenaran. Terhapuslah dosa mereka dalam kesalahannya, karena mereka tidak bermaksud dan tidak sengaja serta tidak meremehkan dalam mencari kebenaran. Sedangkan yang benar di antara mereka mendapatkan dua pahala. Begitu pula bagi setiap Muslim sampai hari kiamat dalam hal-hal yang tidak diketahui dan belum sampai kepadanya hujjah (dalil).

Celaan dan ancaman tersebut, sebagaimana tertuang dalam nash, berlaku bagi orang yang meninggalkan kewajiban berpegang pada tali Allah Al Qur’an dan As Sunnah setelah datang nash kepadanya dan telah tegak hujjah atasnya. Kemudian setelah itu ia tetap bergantung kepada fulan dan fulan, taklid, sengaja untuk berselisih, mengajak kepada fanatik dan kebanggaan jahiliyah, bermaksud untuk berpecah belah, berupaya dalam pengakuannya untuk selalu mengembalikan (urusannya) kepada Al Qur’an As Sunnah apabila nash sesuai dengan keinginannya. Tetapi jika menyelisihi (antara nafsu dan nash), maka ia bergantung pada kejahilannya, meninggalkan Al Qur’an dan As Sunnah Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam. Mereka itulah orang-orang yang selalu berselisih dan orang-orang yang tercela.

Tingkatan yang lain adalah mereka yang mempunyai agama yang tipis dan taqwa yang sedikit. Mereka mencari perkara yang cocok dengan hawa nafsu mereka dari tiap pendapat yang ada. Mereka mengambil rukhsah dalam ucapan setiap ulama, taklid kepadanya. Bukan mencari apa-apa yang diwajibkan oleh nash-nash dari Allah dan Rasul shalallahu ‘alaihi wa sallam.

Di akhir ucapannya, Ibnu Hazm mengisyaratkan tentang talfiq yang dikenal oleh para ahli fiqh, yaitu mengambil pendapat seorang alim tanpa dalil, melainkan mengikuti hawa nafsu atau rukhsah. Para ulama berbeda pendapat tentang kebolehannya. Tetapi yang benar adalah haram disebabkan beberapa alasan tertentu. Namun di sini bukan tempatnya untuk menjelaskan permasalahan itu.

Mereka yang membolehkan talfiq ini mengambil dalil dari hadits yang tidak ada asalnya dan ada juga yang bersandar dengannya, sehingga ia menyatakan : Barangsiapa bertaklid kepada seorang alim, ia akan menemui Allah dalam keadaan selamat!¡¦

Semua ini merupakan sebagian dampak yang buruk dari hadits-hadits dlaif (termasuk di dalamnya hadits-hadits maudlu¡¦ pent). Maka berhati-hatilah darinya apabila engkau mengharapkan keselamatan :

Di hari di mana tidak bermanfaat harta maupun anak- anak kecuali yang menghadap Allah dengan hati yang sejahtera.(Asy Syuy’araa, 88-89)[22]

Syaikh Al Albani menjelaskan pula dalam bukunya Shifatu Shalat Nabi shalallahu ‘alaihi wa sallam mengenai perbedaan pendapat di kalangan shahabat dengan ikhtilaf di antara muqallidin (orang-orang yang taqlid), dia berkata : Para shahabat berbeda pendapat sebagai suatu keterpaksaan, tetapi mereka mengingkari perselisihan dan menghindarinya apabila mereka mendapatkan jalan keluarnya. Sedangkan muqallidin tidak sepakat dan tidak berusaha untuk sepakat. Padahal besar kemungkinan kata sepakat itu bisa dicapai dalam sebagian besar permasalahan yang ada. Akan tetapi mereka menyetujui adanya perbedaan pendapat. Maka sungguh jauh berbeda antara keduanya. Ini dari segi sebab.

Adapun dari segi pengaruhnya, meskipun para shahabat berbeda pendapat dalam masalah-masalah furu¡¦tetapi mereka benar-benar menjaga persatuan. Sangat jauh sekali dari hal-hal yang memecah belah persatuan dan memorak-porandakan barisan. Umpamanya di antara mereka ada yang berpendapat bahwa membaca basmalah disyariatkan dengan jahr. Di antara mereka ada yang berpendapat batalnya wudlu¡¦disebabkan bersentuhan dengan wanita, sebagian yang lain tidak. Meskipun demikian mereka semua shalat di belakang imam hanya yang satu. Tidak seorangpun di antara mereka menolak shalat di belakang imam dikarenakan ada perbedaan madzhab [23]


[19] Fathul Bari juz 1, hal. 271, hadits no. 107, Ibnu Hajar menjelaskan masalah ini dari hal. 270-275.

[20] HR. Abu Dawud no. 1960 dengan sanad shahih.

[21] Setelah berusaha semaksimal mungkin untuk mendapatkan kebenaran dan tidak didapat kepastian pendapat mana yang benar dalam masalah-masalah yang diperselisihkan. Sedangkan ucapan yang sebagian mereka lontarkan secara mutlak, Kami bekerjasama dalam hal yang kami sepakati dan saling bertoleransi dalam hal yang kami perselisihkan.¡¦Maka ini adalah kesalahan yang nyata sekali (Syaikh Ali Hasan Abdul Hamid dalam Ilmu Ushulil Bida¡¦.

[22] Silsilah Al Ahadits Dlaifah juz 1, hadits no. 57, hal. 141-144.

[23] Sifat Shalat Nabi shalallahu ‘alaihi wa sallam, hal. 64-65.

https://tausyah.wordpress.com