Posts Tagged ‘Kesesatan’

السلام عليكم ورحمة الله وبركاته

Selamat Rahmad lagi Berkah ALLAH Ta’ala, semoga tetap padamu..

Bismillahirrohmanirrohim..

https://tausyah.wordpress.com/membaca-al-quran

Membaca Al-Qur'an

يُؤتِي الْحِكْمَةَ مَن يَشَاءُ وَمَن يُؤْتَ الْحِكْمَةَ فَقَدْ أُوتِيَ خَيْراً كَثِيراً وَمَا يَذَّكَّرُ إِلاَّ أُوْلُواْ الأَلْبَابِ. ٢٦٩

“Allah menganugrahkan al hikmah (kefahaman yang dalam tentang Al Qur’an dan As Sunnah) kepada siapa yang Dia kehendaki. Dan barangsiapa yang dianugrahi al hikmah itu, ia benar-benar telah dianugrahi karunia yang banyak. Dan hanya orang-orang yang berakallah yang dapat mengambil pelajaran (dari firman Allah).”  Al:Baqarah:269

Demikianlah suatu ketentuan dari sisi ALLAH Ta’ala, yang menganugerahi Al – Hikmah kepada hamba – hamba yang Ia kehendaki dan sekali – kali tidak terhadap orang – orang yang aniaya. Dan adalah suatu perkabaran yang buruk di antara (lebih…)

Sholat dalam al-Quran

Secara kontekstual dan tersurat, tidak akan ditemukan adanya ayat yang memerintahkan sholat lima waktu didalam al-Qur’an. Akan tetapi ketiadaan keterangan mengenainya bukan berarti perintah sholat lima waktu sebagaimana dilakukan oleh umat Islam sekarang ini bertentangan dengan al-Qur’an. Karena waktu yang lima untuk sholat ini dijelaskan secara tersirat dalam beberapa ayat.

Kaum anti hadis, yaitu mereka yang enggan menggunakan sunnah ataupun hadis Nabi dengan alasan bahwa hadis telah mengalami distorsi dan susahnya memilah manakah yang benar-benar berasal dari Nabi dan mana yang buatan atau rekayasa pihak-pihak tertentu sembari mengemukakan bahwa al-Qur’an sudah cukup jelas dan terperinci sehingga tidak lagi memerlukan penafsiran ataupun tambahan dari hadis, biasanya akan mengatakan bahwa waktu sholat didalam al-Qur’an itu hanya tiga waktu bukan lima waktu, yaitu Fajar, Wusthaa dan Isya, berikut akan coba kita kemukakan bahwa pendapat yang demikian ini keliru.

Dan dirikanlah shalat itu pada dua bagian siang (dzuhur dan ashar) dan disebagian dari malam (isya) – Qs. Huud 11 : 114

Ayat ini menunjukkan adanya dua waktu sholat pada dua bagian bagian siang, kita semua tahu yang disebut siang itu adalah saat matahari masih bersinar dan melampaui titik zenithnya. Kedua waktu ini bersesuaian dengan hadis mengenai adanya sholat dzuhur dan ashar. Selanjutnya diujung ayat disebut satu lagi waktu sholat yaitu pada sebagian malam, dan ini bisa merujuk pada sholat isya, sehingga dari ayat ini saja bisa diperoleh tiga waktu sholat, yaitu dzhuhur, ashar dan isya.

Hendaklah engkau mendirikan sholat diwaktu tergelincirnya matahari (maghrib) sampai kelam malam (isya) dan dirikanlah sholat subuh …
– Qs. al-Israa 17:78

Saat matahari tergelincir yaitu saat yang disebut dengan syafaq atau senja, ayat ini merujuk akan adanya kewajiban mendirikan sholat maghrib pada waktu tersebut. Sedangkan kelam malam adalah waktu dimana matahari sudah tenggelam dan kegelapan pekat menyelimuti bumi dimana waktu-waktu ini sangat baik untuk melaksanakan sholat (lihat pula surah al-Muzammil 73 ayat 2 s/d 4) dan sholat yang demikian bisa juga kita pahami sebagai sholat isya. Sedangkan akhir ayat secara jelas merujuk pada sholat fajar atau sholat subuh, sehingga tidak perlu kita bahas lebih jauh.

Dari kedua ayat ini saja, kita sudah memperoleh gambaran bahwa sholat itu sebenarnya memang ada lima waktu, sama seperti yang bisa ditemui dalam hadis-hadis Nabi serta yang menjadi tradisi kaum muslim dari jaman kejamannya. Yaitu sholat Subuh, Maghrib dan Isya tercantum dalam surah al-Israa’ 17 ayat 78 dan sholat Dzuhur dan Ashar tercantum pada surah Huud 11 ayat 114.

Selanjutnya kita akan membahas pula surah an-Nuur yang menyatakan adanya 3 waktu sholat.

…. meminta izin kepadamu pada 3 waktu, sebelum sholat subuh dan ketika kamu melepaskan pakaianmu ditengah hari (dzuhur) dan setelah sholat Isya’, itulah 3 aurat bagimu. Tidak ada larangan atas kamu selain dari itu. – Qs. an-Nuur 24 : 58

Pertama, dalam ayat ini ada istilah malakat aimanukum ada yang menterjemahkannya sebagai hamba sahaya, ada yang menterjemahkan sebagai budak dan ada pula yang menterjemahkan sebagai orang-orang yang berada dibawah tata hukum kita seperti misalnya pembantu, tukang kebun, anak-anak yang belum cukup umur dan semacamnya.

Hal yang kedua, bahwa ayat ini berbicara juga mengenai aurat yang terbuka, dimana harus dipahami berkenaan dengan tata krama yang harus dilakukan oleh mereka-mereka yang ada dalam istilah malakat aimanukum untuk menemui Nabi (konteks waktu itu) atau untuk bertemu dengan kita (dalam konteks sekarang) dimana ketiga waktu ini bila kita telusuri dengan logika merupakan waktu-waktu dimana kita memang secara umum sedang dalam keadaan beristirahat.

Misalnya waktu sebelum subuh, adalah waktu dimana sebagian dari kita masih ada yang terlelap dalam tidur panjang, dan sudah sama-sama dimaklumi bila kita tidur maka keadaan pakaian yang kita pakaipun akan acak-acakan, ada yang tidur dengan buka baju, ada yang hanya pakai celana pendek, ada juga yang pakai baju tidur ada juga yang memakai rok longgar yang mana bagi kaum wanita saat itu bisa saja posisinya sedang dalam keadaan tertentu sehingga dikhawatirkan pula dapat membuat syahwat bergolak. Karenanya alasan meminta izin sebelum langsung masuk menemui kita bisa diterima secara baik.

Lalu tengah hari disebutkan saat kita menanggalkan pakaian, ini secara umum dalam konteks masa kini adalah waktu dimana kita sedang beristirahat melepas lelah, habis bersantap siang jika tidak sedang berpuasa, dan saat kita mengaso yang mana ada diantara kita melakukannya sambil tidur-tiduran, buka baju atau menggantinya dengan baju dalam karena siang hari biasanya keadaan diluar rumah sangat panas menyengat.

Demikian pula dengan waktu setelah sholat Isya’, dimana kita biasanya sudah bersiap untuk tidur dan auratpun sudah tidak menjadi perhatian lagi, misalnya wanita ada yang sudah buka jilbab, ada yang menggunakan pakaian tidur longgar, yang lelaki dengan alasan panas menggunakan celana pendek, melepas baju dan sebagainya.

Jadi ketiga waktu yang disebut dalam al-Qur’an sebagai waktu terbukanya aurat ini tidak mengindikasikan masalah waktunya tiga sholat wajib melainkan tiga waktu dimana orang-orang dalam kategori malakat aimanukum harus meminta izin sebelum masuk menemui kita.

https://tausyah.wordpress.com

Kesesatan Jahmiyah

Posted: 22 Juni 2010 in Kajian
Tag:,

HAKIKAT BID’AH DAN KUFUR

TANYA JAWAB BERSAMA
AL-IMAM AL-MUHADDITS

MUHAMMAD NASHIRUDDIN AL-ALBANI RAHIMAHULLAHU

Penanya :

Benar wahai syaikh.

Syaikh :

Lantas, bagaimanakah kita menjawab ucapan Imam Ahmad yang mengatakan, “barang siapa yang mengatakan bahwa bacaan al-Qur’an adalah makhluk, maka ia adalah seorang jahmiy”? Apa yang kita katakan terhadap ucapan ini? Tidak ada jawaban melainkan dengan apa yang telah kusebutkan pada kalian sebelumnya, yaitu hal ini bermakna sebagai peringatan terhadap kaum muslimin untuk menjauhi ucapan yang dapat digunakan oleh ahlul bid’ah dan para pengikut kesesatan –jahmiyah– untuk menjajakan pemahamannya. Hal ini dikarenakan seseorang boleh jadi mengatakan “bacaan al-Qur’anku adalah makhluk” dalam rangka menjebak orang-orang yang ada di sekitarnya, dengan maksud bahwa al-Qur’an itu sendirilah yang makhluk.

Namun, tidak mesti setiap orang yang mengatakan demikian –“bacaan al-Qur’anku adalah makhluk” memiliki maksud yang sama buruknya, sebagaimana ucapan Imam Bukhari tadi, yang mana beliau tidak perlu tazkiyah (pujian) dari kita karena Alloh Subhanahu wa Ta’ala sendiri yang telah melakukannya (memujinya, ed.) dengan menjadikan bukunya sebagai buku yang diterima menurut kesepakatan kaum muslimin setelah kitabullah terhadap segala perkara yang mereka perselisihkan di tengah-tengah mereka.

Oleh karena itu, ketika beliau mengatakan “bacaan al-Qur’anku adalah makhluk”, maka sesungguhnya yang beliau maksudkan adalah maksud yang benar. Sedangkan Imam Ahmad, beliau mengatakan perkataan yang keluar dari rasa takut beliau, yaitu ‘barangsiapa yang mengatakan demikian dan demikian maka ia adalah demikian’, maka yang beliau maksudkan adalah sebuah bentuk peringatan bukan suatu prinsip keimanan… prinsip keimanan yang jika ada orang mengatakan demikian dan demikian maka ia adalah seorang jahmiy. Apabila kita dapatkan ada sebagian pernyataan sebagian ulama salaf yang menghukumi seseorang yang jatuh kepada kebid’ahan sebagai mubtadi’, maka pernyataan ini harus diambil dari sudut pandang bahwa pernyataan tersebut adalah suatu bentuk peringatan, bukan suatu pernyataan I’tiqodiyah.

Mungkin, layak kiranya saya sebutkan suatu kejadian tentang ucapan Imam Malik yang telah ma’ruf (diketahui) dengan baik, ketika beliau ditanya ‘bagaimana istiwa’ (bersemayam)-nya Alloh?’ beliau berkata, “Istiwa’ itu telah ma’lum (diketahui maknanya), kaifiat (bentuk)-nya tidak diketahui dan mempertanyakan tentang kaifiyatnya adalah bid’ah serta mengimani (maknanya) adalah wajib. Usir orang ini karena dia adalah seorang mubtadi’!!!”. Riwayat terkenal ini terjadi ketika seseorang datang kepada Imam Malik dan menanyakan tentang kaifiyat istiwa’ Alloh. Imam Malik menjawab, “Istiwa’ itu telah ma’lum (diketahui maknanya), kaifiat (bentuk)-nya tidak diketahui dan mempertanyakan tentang kaifiyatnya adalah bid’ah serta mengimani (maknanya) adalah wajib. Usir orang ini karena dia adalah seorang mubtadi’!!!”. Penanya ini tidak dengan serta merta menjadi seorang mubtadi’ hanya dengan sekedar bertanya tentang hal ini. Imam Malik ingin memahamkan orang ini bahwa ia telah menyelisihi prinsip-prinsip aqidah salaf dengan mempertanyakan hakikat sifat-sifat Alloh. Makanya beliau memerintahkan untuk mengusir orang tersebut dari majlisnya, “Usirlah karena dia adalah seorang mubtadi’!!!”.

Perhatikanlah, bagaimana maksudnya berbeda… apa yang akan Anda fikirkan seandainya saya atau ulama lainnya ditanya tentang hal yang sama oleh kaum muslimin yang awam ataupun suatu kelompok tertentu dari kaum muslimin yang lebih berilmu, apakah menurut Anda kami harus memberi jawaban sebagaimana yang diberikan oleh Imam Malik? Apakah kita akan mengatakan kepada orang-orang untuk mengeluarkan dia dari majlis kita karena menganggap dia seorang mubtadi’?? tidak!!! Karena masanya berbeda.

Jadi, metode yang digunakan di  masa itu (Imam Malik, pent.) adalah diterima namun tidak diterima di masa sekarang ini. Karena menerapkan metode itu di zaman ini akan lebih mendatangkan madharat daripada maslahat. Kami dapat tambahkan dalam pembahasan ini mengenai prinsip muqotho’ah (isolir) atau hajr (boikot) yang telah dikenal di dalam Islam. Kami sering ditanya ini dan itu, ada seorang teman yang tidak sholat, merokok dan melakukan ini dan itu, apakah kita boikot dirinya? Saya katakan, tidak!! Anda jangan memboikotnya, karena boikotmu adalah hal yang ia inginkan darimu dan boikotmu takkan mendatangkan kemaslahatan bagi dirinya. Bahkan kenyataannya adalah hal yang sebaliknya, boikotmu akan menyebabkan dirinya gembira dan ia dapat lebih leluasa meneruskan penyimpangannya.

Tidak jauh berbeda dengan hal ini adalah ucapan seorang Syaami (dari negeri Syam) berkenaan tentang adanya seorang fasik yang gemar meninggalkan sholat. Orang ini kemudian bertaubat dan akan melaksanakan sholat di Masjid untuk kali pertama, namun hanya karena ia mendapatkan pintu masjid terkunci, ia berkata, “pintunya tertutup, maka aku tidak jadi sholat”.

Orang fasik yang meninggalkan sholat ini, apakah ia ingin seorang muslim yang ta’at memboikotnya?? Hal ini serupa dengan misal ucapannya, “pintunya tertutup, maka aku tidak jadi sholat”, orang yang diboikot pun akan mengatakan hal yang serupa, “aku tidak perlu persahabatannya, aku tidak menghendaki bersama dengannya.” Hal ini dikarenakan persahabatan orang yang shalih dengan orang yang fasik akan mencegah diri si fasik bebas melakukan apa yang ia kehendaki nantinya, sedangkan orang fasik ini tidak menghendaki hal ini (ia tidak bebas melakukan kehendaknya, pent.). Jadi, boikot terhadap orang yang tidak shalih oleh orang yang shalih adalah hal yang diinginkan oleh orang yang tidak sholih tadi.

Oleh karena itu, hukum boikot di dalam Islam dimaksudkan untuk memenuhi suatu kemaslahatan, yaitu mendidik orang tersebut. Jadi, jika boikot tidak lagi memberi dia pelajaran, namun malah menambah kesesatannya, maka dalam kondisi seperti ini, boikot tidaklah tepat dan pas untuk diterapkan. Dengan demikian, tidaklah tepat meniru metode yang digunakan oleh para ulama terdahulu pada hari ini, sebab mereka (para ulama terdahulu, pent.) dapat melakukan demikian dikarenakan posisi dan kekuatan yang mereka miliki dan adanya kemampuan untuk menanggulangi (kemaksiatan ataupun kebid’ahan, pent.).

Saat ini, lihatlah bagaimana keadaan kaum muslimin kini… mereka lemah dalam segala hal, tidak hanya dari sektor pemerintahan namun juga dari segi individunya. Keadaan ini, sebagaimana yang telah digambarkan oleh Nabi Shallallahu ‘alaihi wa Salam ketika beliau bersabda, “Islam bermula dalam keadaan asing dan akan kembali menjadi asing  sebagaimana permulaannya, maka berbahagialah orang-orang yang asing (ghurobaa’)”, beliau ditanya, “siapakah ghuroba’ itu wahai Rasulullah?”, beliau menjawab, “mereka adalah orang-orang yang shalih di tengah-tengah orang banyak, orang-orang yang menyelisihi mereka lebih banyak daripada yang mengikuti mereka.” (HR Muslim).

Jadi, jika kita membuka pintu pemboikotan dan mudah menvonis manusia sebagai mubtadi’, maka sebaiknya kita pergi dan menyepi di gunung-gunung. Karena yang wajib bagi kita sekarang adalah berdakwah mengajak ke jalan Rabb kita dengan cara yang hikmah dan mau`idhoh (pelajaran) yang baik serta jidal (berdiskusi) dengan mereka dengan cara yang lebih baik.[17]