Posts Tagged ‘Perang Onta’

night kaligrafiPerang Unta

Sekalipun sebenarnya peperangan sudah tak dapat dihindar­kan lagi, namun Imam Ali r.a. masih tetap berusaha untuk dapat mencegah berkobarnya peperangan sesama muslimin. Ia teringat kenangan lama yang indah, ketika bersama Thalhah dan Zubair berjuang bahu membahu menegakkan Islam di bawah pimpinan Rasul Allah s.a.w.

Imam Ali r.a. berusaha bertemu muka dengan dua tokoh bekas sahabatnya, yang saat itu telah mengangkat senjata untuk menentangnya. Pada pertemuan muka dengan Thalhah, Imam Ali r.a. berkata: “Sahabatku Thalhah! Engkau menyimpan isteri­mu sendiri di rumahmu, tetapi engkau datang ke tempat ini mem­bawa isteri Rasul Allah s.a.w. Dengan mempergunakan diakah engkau berperang?”

Pertanyaan Imam Ali r.a. ini nampaknya sangat mengenai hati Thalhah. Ia tak bisa menjawabnya sama sekali dan hanya da­pat menundukkan kepala untuk kemudian pelan-pelan menarik diri dari barisan yang dipimpinnya.

Ketika Marwan bin Al-Hakam melihat Thalhah memisahkan diri dari pasukan dan meninggalkan medan pertempuran (ia ter­gabung dalam pasukan Thalhah), segera mengikuti sambil berka­ta: “Demi Allah, aku tak akan melepaskan tekadku untuk menebus darah Utsman. Aku tidak akan membiarkan dia (Thalhah) lolos. Akan kubunuh dia, karena dia juga turut membunuh Utsman!”

Beberapa saat kemudian ia membidikkan anak panahnya ke arah Thalhah. Ketika anak panah itu lepas dari busurnya, lambung Thalhah menjadi sasaran. Gugurlah salah seorang sahabat Rasul Allah s.a.w. tertembus panah yang dilepaskan oleh anggota pa­sukannya sendiri.

Sementara itu ketika Imam Ali r.a. berhasil bertemu muka dengan Zubair, ia bertanya: “Hai Abdullah, apakah yang mendo­rongmu sampai datang ke tempat ini?”

“Untuk menuntut balas atas kematian Utsman,” jawab Zu­bair dengan terus terang.

“Engkau menuntut balas atas kematian Utsman?” tanya Imam Ali r.a. menanggapi jawaban Zubair tadi. “Allah mengutuk orang yang membunuhnya! Hai Zubair, engkau kuingatkan. Ingat­kah dahulu ketika engkau berjalan bersama Rasul Allah s.a.w. ­waktu itu beliau bertopang pada tanganmu, melewati aku, ke­mudian beliau tersenyum padaku, lalu menoleh kepadamu sambil berkata: “Hai Zubair, engkau kelak akan memerangi Ali secara dzalim!”

“Oh, ya,” jawab Zubair, setelah beberapa saat mengingat-­ingat.

“Mengapa engkau sekarang memerangi aku?” tanya Imam Ali r.a. pula.

“Demi Allah,” sahut Zubair, “aku lupa. Seandainya aku ingat aku tidak akan keluar untuk memerangimu.”

Selesai mengucapkan kata-kata itu, Zubair cepat-cepat ke­luar meninggalkan pasukan dengan air mata membasahi pipi. Tetapi malang bagi Zubair. Salah seorang anggota pasukan Imam Ali yang bernama Ammar bin Jarmuz ketika melihat Zubair ter­pisah dari pasukannya, segera diikuti dan kemudian dibunuh.

Perang Unta, atau Waq’atul Jamal, antara sesama kaum mus­limin, sudah tak dapat dihindarkan lagi. Dalam tulisannya tentang Waq’atul Jamal, Al-Madainiy dan Al-Waqidiy antara lain mengata­kan, bahwa dua pasukan saling berhadapan, pasukan Thalhah dan penduduk Bashrah, terus menerus dibakar semangatnya dengan syair-syair agitasi. Mereka dikerahkan untuk mengarungi pertem­puran sengit melawan Imam Ali r.a. dan pasukannya.

Di tengah-tengah pertempuran sedang berlangsung sengit, muncul Auf bin Qhatan Adh Dhabiy. Ia berteriak: “Tidak ada fihak yang harus dituntut atas kematian Utsman selain Ali bin Abi Thalib dan anak-anaknya!” Sejalan dengan itu ia menarik tali kekang unta yang dikendarai Sitti Aisyah r.a. sambil bersyair:

Hai ibu…, hai ibu, tanah air telah lepas dariku

Aku tak ingin kuburan dan tak ingin kain kafan

Disinilah medan laga bagi Auf bin Qhatan

Jika Ali lepas dari tangan, matilah aku

Atau jika dua anaknya, Hasan dan Husein, lepas…

Baiklah aku mati merintih bagaikan pahlawan!

Dengan pedang teracung di tangan ia maju menerjang. Belum sempat pedangnya menjatuhkan korban di fihak lawan, ia sen­diri sudah tersungkur terbelah setengah badan dan menggelepar bergumul dengan pasir. Tali kekang yang lepas dari tangannya, segera diambil oleh Abdullah bin Abza. Ketika itu barang siapa yang benar-benar berani bertempur sampai mati, ia pasti maju mendekati unta Sitti Aisyah r.a. dan memegang tali kekangnya. Sambil mendendangkan syair Abdullah bin Abza tampil meng­hunus pedang dan mulai menyerang pasukan Imam Ali r.a. Dengan syair juga ia menantang Imam Ali r.a. :

Mereka kuserang, tetapi tak kulihat ayah si Hasan

Aduhai….itu merupakan kesedihan di atas kesedihan

Mendengar tantangan Abdullah bin Abza, Imam Ali r.a. segera keluar dari barisan untuk melakukan serangan dengan tom­bak. Beberapa saat perang tanding berlangsung. Setelah beberapa kali ayunan pedang Abdullah bin Abza gagal menyentuh tubuh Imam Ali r.a., tiba-tiba ujung tombak yang runcing mengkilat sudah menancap di tengah-tengah dada Abdullah bin Abza. Ia jatuh tersungkur. Beberapa detik sebelum Abdullah menarik nafas terakhir, Imam Ali r.a. menghampirinya sambil bertanya: “Sudah­kah engkau melihat ayah si Hasan? Bagaimana engkau lihat dia?” Habis mengucapkan pertanyaan itu Imam Ali r.a. kembali ke pasukan.

Sementara pasukan kedua belah fihak sedang bergulat meng­adu senjata, banyak kepala dan tangan berjatuhan terpisah dari batang tubuhnya, Sitti Aisyah r.a. turun dari unta. Ia mengambil segenggam kerikil, lalu dicampakkan kepada pengikut-pengikut Imam Ali r.a. seraya berteriak: “Hancurlah muka kalian!” Hal semacam itu dilakukan Sitti Aisyah r.a., meniru perbuatan Rasul Allah s.a.w. dalam perang Hunain.[1]

Melihat peperangan semakin dahsyat, bersama regu pasukan yang mengenakan serban hijau, terdiri dari kaum Muhajirin dan Anshar, Imam Ali r.a. maju memimpin serangan. Ia diapit oleh tiga orang puteranya: Al Hasan, Al Husein dan Muhammad Al Ha­nafiyah. Sebelum tampil sendiri memimpin serangan, Imam Ali r.a. bermaksud hendak menguji ketangguhan puteranya yang ber­nama Muhammad Al Hanafiyah. Sambil menyerahkan panji pasu­kan, Imam Ali r.a. berkata kepada puteranya itu: “Majulah dengan panji ini dan pancangkanlah di depan mata unta itu! Jangan ber­henti di tempat lain!”

Baru saja Muhammad mengayunkan kaki beberapa langkah, ia sudah dihujani anak-panah yang beterbangan dari arah lawan. Melihat itu, ia memerintahkan regunya supaya berhenti sejenak: “Tunggu dulu, sampai mereka kehabisan anak-panah!”

Mengetahui hal itu, Imam Ali r.a. segera menyuruh orang lain guna mendekati puteranya. Kepada orang yang disuruhnya itu, dipesan agar mendorong Muhammad Al Hanafiyah maju terus melancarkan serangan terbuka dan besar-besaran. Karena gerak Muhammad lamban, Imam Ali menghampirinya sendiri dari be­lakang. Sambil menepukkan tangan kiri ke bahu puteranya, Ia membentak: “Hayo maju!”

Meskipun sudah dibentak ayahnya agar maju terus, namun Muhammad Al Hanafiyah masih juga lamban bergerak. Sebagai seorang ayah, Imam Ali r.a. merasa kasihan. Kemudian panji yang di tangan puteranya diambil kembali dengan tangan kiri, sedang pedang yang terkenal dengan nama “Dzul Fiqar” terhunus di tangan kanannya. Tanpa membuang-buang waktu Imam Ali r.a. memimpin serbuan ke tengah pasukan “Jamal”. Setelah melaku­kan serangan beberapa saat lamanya, menangkis dan memukul musuh, Imam Ali r.a. kembali ke induk pasukan. Sahabat-sahabat dan putera-puteranya berkerumun.

“Ya Amirul Mukminin,” desak Al Asytar, “cukuplah kami saja yang melaksanakan tugas itu!”

Desakan Al Asytar itu tak ditanggapi oleh Imam Ali r.a. Me­noleh saja pun tidak, darahnya masih mendidih. Sedemikian me­luapnya sampai semua orang yang ada di sekitarnya ketakutan. Pandangan matanya yang berapi-api tetap mengarah ke pasukan musuh. Tak lama kemudian ia menyerahkan kembali panji pa­sukan kepada puteranya, Muhammad A1 Hanafiyah.

Segera ia maju lagi menyerang musuh untuk kedua kalinya. Dengan gagah berani Imam Ali r.a. menerjang pasukan lawan sam­bil memainkan pedang dengan gesit dan cekatan. Anggota-ang­gota pasukan Thalhah yang menjadi sasaran serangannya lari ter­birit-birit menyelamatkan diri. Banyak yang mati terbunuh di ujung pedangnya. Tanah menjadi merah dibasahi darah. Selesai melancarkan serangan kedua, Imam Ali r.a. kembali lagi ke induk pasukan.

“Kalau anda sampai gugur,” puji sahabatnya, setelah Imam Ali r.a. berada di tengah barisannya, “barangkali akan lenyap agama Islam. Berhentilah, cukup kami saja yang menyerang dan bertempur!”

“Demi Allah,” jawab Imam Ali r.a. atas pujian sahabat-­sahabatnya itu. “Aku sangat tidak setuju dengan fikiran kalian.

Yang kuinginkan bukan lain hanyalah keridhoan Allah dan kam­pung akhirat!

Selanjutnya kepada Muhammad Al Hanafiyah ia berkata: “Seperti akulah seharusnya engkau berbuat!”

Muhammad Al Hanfiyah tidak menjawab sepatah kata pun ucapan ayahnya itu. Dari orang-orang yang berkerumun di sekitar Imam Ali r.a. terdengar sura bergumam: “Siapa orangnya yang sanggup berbuat seperti Amirul Mukminin!”

Ketika sedang sengit-sengitnya pertempuran, unta yang di kendarai Sitti Aisyah r.a. terputar-putar sedemikian rupa seperti penggilingan gandum. Pasukan kedua belah fihak berjubel dan saling mendesak beradu senjata di sekitarnya. Unta sampai me­ringkik-ringkik keras sekali karena tali kekangnya ditarik ke sana ke mari.

Pasukan Imam Ali r.a. makin maju menerjang untuk lebih mendekat kepada unta. Gerakan pasukan Imam Ali r.a. terham­bat tumpukan manusia yang berada di sekelilingnya. Setiap ang­gota pasukan yang mati, penggantinya datang berlipat ganda.

Melihat situasi itu Imam Ali r.a. berteriak memberi perintah: “Celakalah kalian! Tembak saja unta itu dengan panah! Bantailah unta celaka itu!”

Unta yang dikendarai Sitti Aisyah r.a. itu segera dihujani anak-panah. Tetapi tak sebuah pun anak-panah yang menembus, karena di sekujur badannya dipasang tijfaf. Semua anak panah menancap pada tijfaf sampai unta itu kelihatan seperti seekor lan­dak raksasa.

Terdengar lagi suara orang berteriak: “Hai penuntut balas darah Utsman!” Yang berteriak ialah Al Azd dan Dhabbah. Kalimat itu diulang-ulang dan akhirnya menjadi semboyan yang diteriakkan pasukan Thalhah.

Semboyan pasukan Thalhah itu dijawab Imam Ali r.a. dengan semboyan: “Hai Muhammad!” Nama putera Imam Ali r.a. yang memegang panji pasukan. Pasukan Imam Ali r.a. segera meng­ikuti semboyan yang diserukan Imam Ali r.a.

Pasukan kedua belah fihak sekarang makin tambah bergumul mengadu senjata.

Peristiwa tersebut terjadi pada hari kedua perang Unta. Semboyan yang diserukan Imam Ali r.a. ternyata besar sekali pengaruhnya di kalangan pasukannya, sehingga mereka berhasil menggoyahkan sendi-sendi kekuatan lawan.

Pasukan Thalhah makin payah menghadapi tekanan-tekanan berat yang terus-menerus dilancarkan pasukan Imam Ali r.a. Namun demikian mereka samasekali tidak berusaha melarikan diri atau meletakkan senjata. Pasukan yang makin lama makin mengecil itu kemudian bergerak memusat di sekitar unta yang ditunggangi Sitti Aisyah r.a. Mereka telah bertekad, pasukan Imam Ali r.a. baru akan berhasil merebut Sitti Aisyah r.a. sesudah me­lewati mayat-mayat mereka.

Perlawanan yang diberikan oleh pasukan Makkah dan Bash­rah itu sungguh dahsyat sekali. Nyawa, sudah tidak mereka peduli­kan. Dengan semangat berkobar-kobar penuh fanatisme mereka rela menghadapi maut. Demikian banyaknya korban sehingga di sekitar unta yang besar itu bergelimpangan tumpuk-menumpuk manusia yang luka dan mati. Padang pasir yang kering menjadi basah oleh darah dan bau anyir menyengat hidung.

Melihat keadaan yang mengerikan itu, Imam Ali r.a. meng­ambil suatu keputusan cepat untuk merobohkan unta tersebut. Pelaksanaan keputusan dipercayakan kepada Al Asytar dan Am­mar. Kepada kedua orang sahabatnya itu, Imam Ali r.a. memerin­tahkan: “Cepat bantai unta itu! Peperangan belum selesai, api­nya masih berkobar. Unta itulah yang dijadikan semacam kiblat oleh mereka!”

Dua orang yang diperintah itu segera maju bersama bebe­rapa orang lainnya dari Bani Murad. Seorang di antaranya ber­nama Umar bin Abdullah. Bersama Umar binAbdullah Al Muradiy mereka mendekati unta, lalu ponok dekat lehernya dipukul de­ngan pedang oleh Al Muradiy. Unta itu meronta-ronta, mering­kik keras-keras, dan akhirnya rebah.

Pendukung-pendukung Sitti Aisyah r.a. melihat gelagat itu cepat lari menjauhkan diri. Imam Ali r.a. berteriak memberi perin­tah: “Potong tali pengikat Haudaj!”

Setelah itu Imam Ali r.a. menyuruh Muhammad bin Abu Bakar Ash Shiddiq (saudara Sitti Aisyah r.a.): “Ambillah sau­dara perempuanmu!” Sitti Aisyah kemudian dibawa oleh Muham­mad bin Abu Bakar dan dimasukkan ke dalam sebuah rumah milik Abdullah bin Khalaf Al Khuza’iy.

Selanjutnya Imam Ali r.a. memerintahkan Abdullah bin Ab­bas supaya menemui Sitti Aisyah dan memintanya agar bersedia pulang ke Madinah. Mengenai hal ini Abdullah bin Abbas menceritakan pengalamannya sebagai berikut:

Aku datang menemui Sitti Aisyah. Aku tidak diberi sesuatu untuk duduk. Kuambil saja sebuah bantal yang dibawa olehnya selama perjalanan, lalu duduk di atasnya. Kepadaku ia berkata: “Hai Ibnu Abbas, engkau sudah menyalahi peraturan. Engkau berani duduk di atas bantalku dan dalam rumahku tanpa seizin aku?!”

“Ini bukan rumah bunda,” jawabku, “bukan rumah yang oleh Allah bunda diperintahkan supaya tetap tinggal di dalamnya. Jika ini rumah bunda, aku tidak berani duduk di atas bantal bunda tanpa seizin bunda!”

“Melalui aku,” kataku meneruskan, “Amirul Mukminin minta supaya bunda berangkat pulang ke Madinah.”

Tiba-tiba ia menyahut: “Mana ada Amirul Mukminin?”

“Dulu memang Abu Bakar,” jawabku dengan sabar dan hormat, “kemudian Umar lalu Utsman dan sekarang Ali!”

“Tidak, aku tidak mau!” sahut Sitti Aisyah.

“Bunda sekarang bukan lagi orang yang dapat memerintah atau melarang,” kataku terpaksa menegaskan, “Tidak bisa meng­ambil dan tidak bisa memberi.”

Sitti Aisyah kemudian menangis, sampai suaranya kedengar­an dari luar rumah. Lalu ia berkata: “Aku akan segera pulang ke tempat kediamanku, insyaa Allah Ta’aalaa. Demi Allah, tidak ada suatu negeri yang kubenci seperti negeri di mana kalian berada sekarang ini.”

“Mengapa begitu?” tanyaku. “Demi Allah, kami tetap me­mandang bunda sebagai Ummul Mukminin. Kami tetap meman­dang ayahnya bunda, Abu Bakar, sebagai seorang shiddiq.”

Sehabis pertemuan dengan Ummul mukminin aku segera menghadap Amirul Mukminin. Kepadanya kulaporkan semua yang kukatakan kepada Sitti Aisyah dan apa yang dikatakannya kepadaku. Mendengar laporanku itu, Amirul Mukminin merasa le­ga. Menanggapi laporanku ia berucap: “Waktu aku menyuruhmu sudah kuduga ia akan memberi jawaban jawaban seperti itu.”

Sudah lazim terjadi, tiap kelompok masyarakat atau pasukan, ssusai menghadapi peperangan muncul anasir-anasir ekstrim. Demikian juga pasukan Imam Ali r.a. Ada yang menuntut agar semua orang yang terlibat dalam pasukan lawan yang sudah kalah itu dijadikan tawanan, diperlakukan sebagai budak dan dibagi-­bagikan.

Menjawab tuntutan ekstrim itu dengan tegas Imam Ali r.a. mengatakan: “Tidak!”

“Mengapa anda melarang kami?” tanya fihak ekstrim itu, “untuk menjadikan mereka sebagai hamba-hamba sahaya, pada­hal anda dalam peperangan menghalalkan darah mereka?!”

“Bagaimana kalian boleh berbuat seperti itu,” ujar Imam Ali r.a. menjelaskan. “Mereka itu dalam keadaan tidak berdaya, lagi pula mereka itu berada di dalam daerah hijrah dan daerah Islam. Bukankah mereka itu juga kaum muslimin seperti kalian? Adapun tentang apa saja yang dipergunakan pasukan musuh untuk melawan kalian, boleh kalian rampas sebagai barang ghanimah. Tetapi semua yang berada di dalam rumah penduduk Bahsrah, apalagi yang pintunya tertutup rapat, semua itu adalah milik mereka sendiri. Kalian tidak mempunyai hak apa pun atas kesemuanya itu!”

Anasir-anasir ekstrim tidak puas dengan penjelasan itu. Me­reka tetap bersitegang leher dalam mendesakkan tuntutannya.

Malahan berani mengucapkan kata-kata yang bernada menggertak. Tetapi Imam Ali r.a. tidak mau tunduk kepada hukum yang batil. Dengan muka merah padam dan mata membelalak, Imam Ali r.a. menjawab dengan tantangan: “Coba, siapa dari kalian yang berani merampas Sitti Aisyah…? Coba, siapa yang berani merampas dia dan berani menjadikannya hamba sahaya?! Ayoh, jawab… Dia akan kuserahkan!”

Mendengar tantangan Imam Ali r.a. yang sekeras itu mereka mundur sambil minta maaf dan beristighfar kepada Allah s.w.t.

Di saat Abdullah Ibnu Abbas sedang melaksanakan perintah menghubungi Sitti Aisyah r.a., Imam Ali r.a. menerima laporan dari salah seorang anggota pasukan yang baru saja melihat jenazah Thalhah bin Ubaidillah tergeletak di tempat terjadinya pertempu­ran. Bersama beberapa orang sahabat Imam Ali r.a. keluar untuk membuktikannya sendiri dengan hati tersayat-sayat sedih.

Benar, bahwa pada akhir masa hidupnya Thalhah mengambil sikap permusuhan, tetapi bagaimana pun juga ia adalah sahabat Rasul Allah s.a.w. dan termasuk pejuang yang gigih menegakkan Islam bersama para sahabat Nabi yang lain. Tidak jarang di masa lalu Imam Ali r.a. berjuang bahu-membahu dalam berbagai pe­perangan melawan kaum musyrikin.

Imam Ali r.a. bukan seorang pembalas dendam dan bukan pula orang yang tidak mengenal peri-kemanusiaan. Ia mempunyai rasa keadilan yang sangat tinggi. Oleh karena itu tidak sukar bagi­nya menilai seseorang dengan ukuran yang obyektif. Thalhah me­mang dipandang telah berbuat salah, tetapi kesalahannya tidak menghilangkan kebajikan-kebajikan dan jasa-jasanya bagi Islam dan kaum muslimin. Fikiran-fikiran seperti itu layak dimiliki oleh seorang pemimpin ummat yang hidup penuh taqwa dan zuhud. Sekelumit pun Imam Ali r.a. tidak mempunyai kepentingan pribadi dalam menghadapi perlawanan Thalhah. Hanya kebenaran dan keridhoan Allah sajalah yang didambakan sepanjang hidupnya.

Setibanya di depan jenazah Thalhah bin Ubaidillah, ia menun­dukkan kepala. Kemudian jongkok untuk membersihkan jenazah dari lumuran debu bercampur darah. Imam Ali r.a. tidak sanggup membendung derasnya linangan airmata dan menangislah ia ter­sedu-sedu. Ia berdiri menengadah ke langit sambil mengangkat ke­dua belah tangan, memohonkan pengampunan kepada Allah s.w.t. bagi Thalhah, bagi dirinya sendiri dan bagi segenap kaum muslimin. Selesai berdoa, Imam Ali r.a. memerintahkan beberapa orang sahabat supaya membenahi jenazah Thalhah dengan se­baik-baiknya

Disadur dari buku :

Sejarah Hidup Imam Ali bin Abi Thalib r.a.
Oleh H.M.H. Al Hamid Al Husaini
Penerbit: Lembaga Penyelidikan Islam

https://tausyah.wordpress.com