Menelusuri Lebih Jauh kehidupan Imam Ali Serta Keutamaan dan Keistimewaan Akhlak Beliau

Posted: 26 Agustus 2010 in Para Imam
Tag:, , , , ,

Islam SejatiSikap hidup Imam Ali

Sikap dan cara hidup Imam Ali r.a. benar-benar telah ma­nunggal dengan kezuhudan dan ketinggian tingkat taqwanya kepa­da Allah s.w.t. Pernah terjadi, ada seorang telah melakukan suatu kesalahan. Untuk menutupi kesalahannya, ia menyanjung-nyan­jung Imam Ali r.a. Sebagai orang yang sudah tahu duduk persoal­annya, Imam Ali r.a. menjawab: “Aku ini sebenarnya tidak setinggi seperti yang kaukatakan itu, tetapi aku ini sebenarnya memang lebih tinggi daripada apa yang ada pada dirimu.”

Perkataan itu diucapkannya dengan wajar, di samping me­nunjukkan bahwa ia tidak mabok sanjung-puji, sekaligus pula mengeritik orang yang bersangkutan, bahwa perbuatan buruk berakibat memerosotkan martabat.

Lain contoh lagi tentang kesederhanaan sikapnya. Dalam satu peperangan, lawan-lawan yang dihadapinya semua berseragam tem­pur, lengkap dengan baju dan topi besi. Tidak dimilikinya seragam tempur seperti itu, tidak membuat Imam Ali r.a. malu dan gentar. Ia terjun ke kancah pertempuran tanpa mengenakan baju besi atau topi pelindung. Sikap Imam Ali r.a. yang seperti itu mencer­minkan kewajaran dan kesederhanaannya, walau dalam keadaan menghadapi bahaya menantang. Prinsip kesederhanaan yang tidak dibuat-buat itulah yang melahirkan sikap polos, jujur dan terus terang, baik dalam ucapan maupun perbuatan, dalam keadaan sulit atau pun tidak.

Kepolosan dan kewajaran dalam menghadapi lawan seperti di atas tadi, sering disalah-artikan atau disalah-gunakan orang untuk mengecap Imam Ali r.a. sebagai orang yang sombong dan sok. Be­narlah apa yang pernah dikatakan salah seorang sahabatnya: “Ali bin Abi Thalib r.a. adalah orang yang mengenal perang hanya de­ngan modal keberanian. Ia tidak kenal bagaimana dalam pepe­rangan orang harus mendaya-gunakan tipu-muslihat.

Benarnya ucapan itu tampak jelas pada kata-kata Imam Ali r.a. sendiri, yang dengan gamblang menegaskan: “Bukti keberani­an ialah engkau harus mengutamakan kejujuran dan bukannya ke­bohongan, walau kejujuran itu akan mengakibatkan kerugian, dan kebohongan akan mengakibatkan keberuntungan. Dalam berbi­cara dengan orang lain hendaknya engkau tetap selalu taqwa dan patuh kepada Allah s.w.t.”

Dibanding dengan Khalifah-khalifah sebelumnya, memang tak ada seorang pun yang sedemikian zuhudnya dalam meng­hindari nikmatnya kekuasaan dan kekayaan atau kesenangan-­kesenangan duniawi lainnya. Ia makan roti yang terigunya ber­asal dari cucuran keringat isterinya sendiri, Sitti Fatimah r.a.

Tiap kali isterinya selesai menumbuk gandum, ia sendirilah yang turun tangan menggaruki ujung antan (alu) dengan jari je­marinya guna mengumpulkan sisa-sisa tepung yang melekat. Sam­bil mengerjakan hal itu Imam Ali r.a. berkata kepada isterinya: “Aku tak ingin perutku ini dimasuki sesuatu yang aku tak tahu dari mana asalnya…”

Bagaimana lugu dan cara hidupnya yang berada di bawah tingkat sederhana itu diungkapkan oleh Uqbah bin Alqamah, yang mengisahkan pengalaman sendiri, sebagai berikut: “Pada satu hari aku berkunjung ke rumah Ali bin Abi Thalib r.a. Kulihat ia sedang memegang sebuah mangkuk berisi susu yang sudah berbau asam. Bau sengak susu itu sangat menusuk hidungku. Kutanyakan ke­padanya: “Ya Amiral Mukminin, mengapa anda sampai makan seperti itu?”

“Hai Abal Janub,” jawabnya, “Rasul Allah s.a.w. dulu mi­num susu yang jauh lebih basi dibanding dengan susu ini. Beliau juga mengenakan pakaian yang jauh lebih kasar daripada bajuku ini (sambil menunjuk kepada baju yang sedang dipakainya). Kalau aku sampai tidak dapat melakukan apa yang sudah dilakukan oleh beliau, aku khawatir tak akan dapat berjumpa dengan beliau di hari kiyamat nanti.”

Imam Ali r.a. sebagai seorang shaleh, zuhud, tahan menderita dan sanggup membebaskan diri dari kesenangan duniawi, belum pernah makan sampai merasa kenyang. Makanannya bermutu sa­ngat rendah dan pakaiannya pun hampir tak ada harganya. Abdul­lah bin Rafi’ menceritakan penyaksiannya sendiri sebagai berikut: “Pada suatu hari raya aku datang ke rumah Imam Ali r.a. Ia se­dang memegang sebuah kantong tertutup rapat berisi roti yang sudah kering dari remuk. Kulihat roti itu dimakannya. Aku ber­tanya keheran-heranan: “Ya Amiral Mukminin, bagaimana roti seperti itu sampai anda simpan rapat-rapat?”

“Aku khawatir,” sahut Imam Ali r.a., “kalau sampai dua orang anakku itu mengolesinya dengan samin atau minyak makan.”

Tidak jarang pula Imam Ali r.a. memakai baju robek yang ditambalnya sendiri. Kadang-kadang ia memakai baju katun ber­warna putih, tebal dan kasar. Jika ada bagian baju yang ukuran panjangnya lebih dari semestinya, ia potong sendiri dengan pisau dan tidak perlu dijahit lagi.

Bila makan bersama orang lain, ia tetap menahan tangan, sampai daging yang ada di hadapannya habis dimakan orang. Bila makan seorang diri dengan lauk, maka lauknya tidak lain hanyalah cuka dan garam. Selebihnya dari itu ia hanya makan seje­nis tumbuh-tumbuhan. Makan yang lebih baik dari itu ialah de­ngan sedikit susu unta. Ia tidak makan daging kecuali sedikit saja. Kepada orang lain ia sering berkata: “Janganlah perut kalian dijadikan kuburan hewan!”

Sungguh pun tingkat penghidupannya serendah itu, Imam Ali r.a. mempunyai kekuatan jasmani yang luar biasa. Lapar seolah-olah tidak mengurangi kekuatan tenaganya. Ia benar-be­nar bercerai dengan kenikmatan duniawi. Padahal jika ia mau, kekayaan bisa mengalir kepadanya dari berbagai pelosok wilayah Islam, kecuali Syam. Semuanya itu dihindarinya dan sama seka­li tidak menggiurkan seleranya.

Ibadah

Imam Ali r.a. merupakan orang yang paling tekun dan ba­nyak beribadah. Ia pun paling sering berpuasa. Kepadanya banyak orang yang minta petunjuk tentang cara-cara yang terbaik dalam menunaikan sembahyang malam, berwirid, berzikir dan beribadah lainnya. Bila sedang menghadap ke hadhirat Allah ‘Azaa wa Jalla, Imam Ali r.a. sedemikian khusyu’ dan khidmatnya, tak ada sesuatu yang dapat menggoyahkan kebulatan fikiran dan perasaannya.

Dalam situasi sedang berkobarnya pertempuran di Shiffin, habis menunaikan shalat, Imam Ali r.a. tekun berwirid, tidak ter­pengaruh oleh hiruk-pikuk orang yang sedang mengadu tenaga dan senjata. Di malam yang sangat mengerikan itu, Imam Ali r.a. ber­sembah sujud di hadapan Allah s.w.t., padahal tidak sedikit anak ­panah yang beterbangan di kanan-kirinya dan ada pula yang ber­jatuhan di depannya. Ia tidak gentar sedikit pun dan tidak.bangun meninggalkan tempat ibadah sebelum menyelesaikannya dengan tuntas. Demikian banyaknya ia bersembah sujud setiap hari, siang dan malam, sampai kulit keningnya menebal dan keras kehitam-­hitaman.

Ia selalu bermunajat kepada Allah dan mengagungkan-Nya, menyatakan ketundukan dan penyerahan hidup-matinya kepa­da Allah. Dengan patuh ia melaksanakan semua perintah dan menghindari larangan-Nya. Semuanya itu dilakukan dengan se­penuh hati, jujur dan ikhlas. Hatinya, perbuatannya dan ucap­annya sedemikian utuhnya menjadi satu perpaduan yang tak kenal garis pemisah.

Konon Ali bin Al Husein r.a. –cucu Imam Ali r.a.– pernah ditanya orang tentang “bagaimana perbandingan antara ibadah yang anda lakukan dengan ibadah yang dilakukan datuk anda?”

Ali bin Al Husein r.a. yang terkenal sebagai orang shaleh dan tekun beribadah itu menjawab: “Perbandingan antara ibadahku dengan ibadah datukku, sama seperti perbandingan antara ibadah datukku dengan ibadah Rasul Allah s.a.w.”

Tentang ibadah Imam Ali r.a. ini, ‘Urwah bin Zubair menge­mukakan sebuah riwayat yang berasal dari Abu Darda sebagai berikut:

Pada suatu hari aku menyaksikan Ali bin Abi Thalib r.a. berada di halaman rumah seorang yang penuh dengan pepohonan. Ia mengasingkan diri dari orang lain dan bersembunyi di sela-se­la batang kurma yang sangat lebat: “Aku mencari-cari dia sampai agak jauh. Kukira pasti ia sudah berada di rumahnya lagi. Tiba­tiba aku mendengar

suara ratap sedih: ‘Ya Allah, Tuhanku, beta­pa banyaknya dosa yang karena kebijaksanaan-Mu tidak Engkau balas dengan murka-Mu. Betapa pula banyaknya dosa yang karena kemurahan-Mu tidak Engkau gugat. Ya Allah, Tuhanku, bila sepanjang umur aku berbuat dosa kepada-Mu dan sangat banyak do­saku tercatat dalam shuhuf, maka aku tidak mengharap sesuatu selain pengampunan-Mu dan aku tidak mendambakan sesuatu kecuali keridhnan-Mu’…”

“Suara ratap sedih itu sangat menarik perhatianku. Jejaknya kutelusuri. Ternyata suara itu adalah suara Ali bin Abi Thalib r.a. Aku lalu bersembunyi dan menunduk agar jangan sampai diketahui olehnya. Kulihat ia sedang berruku’ beberapa kali di te­ngah kegelapan malam. Kemudian ia berdoa sambil menangis dan mengeluh sedih ke hadhirat Allah s.w.t. Di antara munajat yang diucapkannya ialah: “Ya Allah, Tuhanku, tiap kurenungkan ke­ampunan-Mu, terasa ringanlah kesalahanku. Dan tiap kuingat murka-Mu yang dahsyat, terasa sangat besarlah dosa kesalahan­ku.”

Kata Abu Darda lebih lanjut: “Ia lalu tenggelam di dalam tangis. Makin lama suaranya tidak kudengar lagi. Kufikir mungkin ia tertidur nyenyak karena terlalu banyak bergadang. Dini hari ia hendak kubangunkan untuk shalat subuh. Ia kudekati, ternyata ia tergeletak seperti sebatang kayu. Ia kugerak-gerakkan dan ku­balik-balik, tetapi sama sekali tidak berkutik. Kuduga ia wafat. Lalu aku mengucap: Innaa lillahi wa innaa ilaihi raaji’uun. Aku cepat-cepat lari ke rumahnya untuk memberi tahu keluarganya.”

Setelah mendengar keteranganku, Sitti Fatimah r.a. hanya bertanya: “Hai Abu Darda, dia kenapa dan bagaimana keadaan­nya?”

Sesudah kujelaskan keadaan Imam Ali r.a., Sitti Fatiinah r.a. memberitahu kepadaku, bahwa “…dia sedang pingsan, ka­rena sangat takut kepada Allah!”

Keluarganya lantas mendatangi Imam Ali r.a. dengan memba­wa air, kemudian mengusap-usapkan pada wajahnya. Tak lama setelah itu ia siuman dan sadarkan diri kembali. Ia memandang ke­padaku dan aku menangis. Ia bertanya: “Hai Abu Darda, mengapa engkau menangis?”

“Karena melihat sesuatu yang menimpa dirimu,” jawabku.

“Hai Abu Darda,” ujar Imam Ali r.a. lebih lanjut, “bagai­manakah kiranya kalau engkau melihat aku dipanggil untuk meng­hadapi perhitungan (hisab), melihat sendiri orang-orang yang ber­buat dosa sedang menderita siksa adzab, melihat aku dikelilingi sejumlah Malaikat yang bengis dan keras di hadapan Allah Maha Perkasa, sedang para pencintaku sudah tiada lagi dan para ahli dunia pun sudah meninggalkan diriku. Seandainya engkau melihat itu semua, engkau pasti akan lebih mengasihi diriku di hadapan Allah Yang Maha Mengetahui segala sesuatu betapa pun kecilnya.”

“Aku tidak pernah melihat hal itu terjadi pada sahabat Rasul Allah s.a.w. yang lain…,” sahut Abu Darda.

Itulah keistimewaan Imam Ali r.a. dalam menghadapkan diri kepada Allah s.w.t. dengan kekhusyu’an seluruh jiwa-raganya. Suatu hal yang sudah biasa disaksikan sendiri oleh semua Ahlul ­Bait. Mereka tidak terkejut ketika diberitahu oleh Abu Darda ten­tang keadaan Imam Ali r.a. Bahkan Sitti Fatimah r.a. mencerita­kan, bahwa apa yang disaksikan oleh Abu Darda itu sudah biasa dialami oleh Imam Ali r.a. tiap saat menghadapkan diri kepada Allah s.w.t. di tengah malam.

Mengenai banyaknya ibadah yang dilakukan Imam Ali r.a. di waktu malam, Nauf Al Bikally menceritakan penyaksiannya sebagai berikut:

“Pada satu hari aku menginap di rumah Imam Ali r.a. Sepan­jang malam ia bersembahyang. Sebentar-sebentar ia keluar, meng­arahkan pandangan ke langit, dan membaca Al-Qur’an. Di malam yang sunyi senyap itu ia bertanya kepadaku: ‘Hai Nauf, engkau tidur ataukah melek?’…”

“Aku melek dan melihatmu dengan mataku, ya Amiral Mukminin,” jawabku.

“Hai Nauf,” ujar Imam Ali r.a. meneruskan, “bahagialah orang yang hidup zuhud di dunia, orang-orang yang merindukan akhirat. Mereka itulah orang-orang yang menjadikan bumi ini sebagai hamparan, menjadikan pasirnya sebagai kasur, menjadi­kan airnya sebagai nikmat, menjadikan doa sebagai syi’ar, men­jadikan Al-Qur’an sebagai selimut, dan meninggalkan dunia ini dengan cara seperti Isa bin Maryam as.!”

Selama hidupnya Imam Ali r.a. tidak pernah putus sembah­yang malam. Tentang hal ini, Abu Ya’laa meriwayatkan, bahwa Imam Ali r.a. pernah menegaskan: “Aku tidak pernah meninggal­kan shalat malam semenjak kudengar Rasul Allah s.a.w. menga­takan, bahwa shalat malam itu adalah cahaya.”

Berdasarkan keterangan yang diterima dari ibunya, Sulaiman bin Al-Mughirah mengatakan: “Bulan Ramadhan atau pun Syawal, bagi Imam Ali r.a. adalah sama saja. Tiap malam ia bergadang un­tuk beribadah.”

Begitu agungnya kedudukkan Allah ‘Azza wa Jalla dalam jiwa Imam Ali r.a. Ia beribadah karena dorongan rasa cinta dan rin­du kepada-Nya. Ia menyadari sepenuhnya bahwa Allah sajalah yang berhak disembah. Ia bersembah sujud semata-mata hanya karena merasa keterikatan hidupnya dengan Allah. Ia hidup ber­tauladan kepada Mahagurunya, yaitu Rasul Allah s.a.w.

Suatu ibadah yang lebih besar artinya daripada hanya seke­dar berdasar keyakinan, dan lebih mulia daripada hanya sekedar dorongan iman! Dengan ucapannya yang abadi, ia pernah mene­gaskan: “Orang-orang yang beribadah kepada Allah karena pamrih, sama seperti ibadahnya kaum pedagang. Orang-orang yang ber­ibadah karna takut, sama seperti ibadahnya seorang budak. Orang yang beribadah karena syukur, itulah ibadahnya manusia mer­deka!”

Di samping Imam Ali r.a. sendiri selalu menjaga baik-baik kewajiban shalat, ia pun terus-menerus mengingatkan para peng­ikutnya supaya selalu menunaikan shalat tepat pada waktunya. Shalat itu ibarat sebuah pisau yang dapat mengupas daki dan ko­toran manusia. Hanya shalatlah yang dapat membersihkannya sama sekali. Oleh Rasul Allah s.a.w. shalat diibaratkan sebagai ma­ta air panas yang tersedia di depan pintu rumah tiap muslim. Bila tiap sehari semalam seorang muslim mandi dengan air panas itu lima kali, kotoran apakah yang tidak terbuang dari badannya?!

Sekalipun Rasul Allah s.a.w. telah menjanjikan nikmat ke­pada Imam Ali r.a., namun kewajiban shalat tetap dijaga kuat-­kuat olehnya, sesuai dengan perintah Allah s.w.t. dalam firman-Nya yang berarti: “Perintahkanlah keluargamu bersembahyang dan hendaknya bersabar dalam menunaikannya…” (S. Thaha: 132).

Tidaklah aneh kalau orang Zahid seperti Imam Ali r.a. itu pantang diperlakukan lebih daripada orang lain. Walau ia seorang anggota Ahlu Bait Rasul Allah s.a.w. dan seorang ilmuwan, namun tidak menyukai perlakuan istimewa.

Diriwayatkan, bahwa pada suatu hari ada orang mengadukan Imam Ali r.a. kepada Khalifah Umar Ibnul Khattab r.a. tentang suatu perkara. Waktu itu Imam Ali r.a. sudah siap dan duduk. Tak lama kemudian Khalifah Umar r.a. menoleh kepadanya sam­bil berkata: “Bangunlah, ya Abal Hasan, duduklah bersama lawan perkara anda!”

Imam Ali r.a. bangun, lalu duduk berhadapan dengan orang yang mengadukannya. Setelah perkaranya selesai, orang yang mengadu pergi meninggalkan tempat, Imam Ali r.a. pindah duduk di tempat semula. Ketika itu Khalifah Umar r.a. melihat wajah Imam Ali r.a. berubah, lalu bertanya: “Ya Abal Hasan, mengapa kulihat wajah anda berubah? Apakah anda tidak senang terhadap apa yang baru terjadi?”

“Ya, benar!” jawab Imam Ali r.a. “Sebab anda memanggil­ku dengan nama kehormatan di depan lawan perkara!”

Mendengar jawaban Imam Ali r.a. yang seperti itu, Khalifah Umar r.a. dengan rasa terharu merangkulnya seraya berkata: “Ya Allah, kalian itu…! Dengan kalian (Ahlul Bait) Allah mem­beri hidayat kepada kami, dan dengan kalian pula Allah menge­luarkan kami dari kegelapan ke cahaya terang…!”

Kezuhudannya, kesederhanaannya, keshalihannya serta ke­taqwaannya kepada Allah s.w.t. tidak membuat Imam Ali r.a. menjadi orang yang berwajah angker. Ia seorang yang anggun, bermuka cerah dan ramah. Bahkan tidak jarang ia bergurau untuk menyenangkan hati orang lain. Ia tidak pernah tampak angkuh, memberengut dan suram.

Sifat Imam Ali r.a. yang ramah, terbuka dan jika perlu dapat bergurau, sering dilebih-lebihkan oleh lawan-lawannya untuk men­jatuhkan nama baik dan mengurangi martabatnya. Terutama oleh Amr bin Al-Ash secara berlebih-lebihan disebar-luaskan. Lawan Imam Ali r.a. itu mengatakan kepada penduduk Syam, bahwa Ali bin Abi Thalib seorang yang “gemar bercanda”.

Disadur dari buku :

Sejarah Hidup Imam Ali bin Abi Thalib r.a.
Oleh H.M.H. Al Hamid Al Husaini
Penerbit: Lembaga Penyelidikan Islam

https://tausyah.wordpress.com

Komentar
  1. […] Ali Bin Abu Thalib, putera pamannya sendiri, Abu Thalib., disusul dengan Zaid Bin Haritsah, anak angkat beliau, Abdullah Bin Abu Kuhafa dari Bani Taim Ibni Murra yang selanjutnya lebih dikenal dengan nama Abu Bakar, berusia 2 tahun lebih muda dari Nabi Muhammad dan kelak akan menggantikan kedudukan sang Nabi sebagai pemimpin umat, menjadi Khalifah Islam pertama. […]

    Suka

  2. […] bagaimana akhir hidup kita nanti, apakah baik atau buruk. Karena itu hendaknya kita instropeksi diri terhadap iman dan taqwa […]

    Suka

  3. […] kepada kita tentang kematian!. Ka’abpun berkata: Wahai Amirul Mukminin! Gambaran sakitnya kematian adalah bagaikan sebatang dahan yang banyak berduri tajam, tersangkut di kerongkongan anda, […]

    Suka

  4. […] kepada kita tentang kematian!. Ka’abpun berkata: Wahai Amirul Mukminin! Gambaran sakitnya kematian adalah bagaikan sebatang dahan yang banyak berduri tajam, tersangkut di kerongkongan anda, […]

    Suka

  5. […] laki-laki itu adalah pemimpin bagi kaum wanita, oleh karena Allah telah melebihkan sebahagian mereka (laki-laki) atas sebahagian yang lain […]

    Suka

Tinggalkan komentar