Peperangan Terjadi,Negeri Mesir Jatuh Ke Tangan Muawiyah, Saudara Sitti Aisyah Muhammad Bin Abu Bakar Ditangkap Dan Dibunuh

Posted: 22 Agustus 2010 in Para Imam
Tag:, , , , , , , , ,

JihadSerbuan Muawiyah ke Mesir

Setelah perang Shiffin berhenti dan Muawiyah bin Abi Suf­yan melihat tidak ada lagi serangan yang dilancarkan Imam Ali r.a., ia mengumpulkan para penasehatnya untuk dimintai pendapat tentang rencana merebut wilayah Mesir dari kekuasaan Imam Ali.

Kepada para penasehatnya itu Muawiyah antara lain berkata: “Kalian telah menyaksikan sendiri kemenangan yang telah dilim­pahkan Allah kepada kita. Pada mulanya mereka tidak ragu-ragu hendak menghancurkan kalian, menduduki negeri kalian dan me­nguasai kalian. Akan tetapi Allah telah menggagalkan niat jahat mereka. Dengan pertolongan Allah kalian telah berhasil mengalah­kan mereka. Kalian mohon keadilan (tahkim) kepada Allah, dan Allah sekarang telah menjatuhkan hukum-Nya atas mereka. Allah telah memperkokohkan persatuan kita, mempererat persaudaraan kita, membuat musuh kita berpecah-belah, saling kafir meng­kafirkan dan saling bunuh membunuh. Demi Allah aku mengharap mudah-mudahan Allah akan lebih menyem-purnakan lagi keme­nangan kita. Sekarang aku sedang berfikir untuk menyerbu Mesir. Bagaimana pendapat kalian…?”

Menanggapi pertanyaan Muawiyah itu, para penasehatnya menjawab, bahwa mengenai hal itu mereka mendukung apa yang menjadi pendapat Amr Ibnul Ash.

Berdasarkan pernyataan para penasehatnya itu, Muawiyah menjelaskan: “Amr memang sudah mempunyai pendapat tegas dan bertekad hendak menyerbu Mesir, tetapi ia belum menjelas­kan langkah-langkah apa yang harus kita lakukan!”

Untuk menjelaskan langkah-langkah apa yang harus di­lakukan itu, Amr bin Al Ash berkata: “Aku sekarang hendak menjelaskan apa yang sebaiknya harus engkau lakukan. Aku ber­pendapat, sebaiknya engkau mengirim pasukan yang besar di bawah pimpinan seorang kuat, tegas dan mendapat kepercayaan penuh. Bila sudah masuk ke Mesir ia pasti akan mendapat dukung­an penduduk yang sependirian dengan kita. Sedangkan terhadap orang-orang yang memusuhi kita, mereka harus kita tundukkan dengan kekerasan. Kalau pasukan dan para pengikutmu sudah bu­lat sepakat untuk memerangi musuh-musuhmu, kuharap Allah s.w.t. akan memenangkan engkau…”

“Selain itu, bagaimana pendapatmu tentang apa yang perlu kita lakukan sebelum menyerang mereka?” tanya Muawiyah ke­pada Amr bin Al-Ash.

“Aku belum tahu…,” sahut Amr.

“Aku mempunyai pendapat lain,” ujar Muawiyah melanjut­kan perkataannya. “Kufikir, sebaiknya kita menyurati dulu pen­dukung-pendukung kita dan musuh-musuh kita di Mesir. Kepada para pendukung kita anjurkan supaya mereka tetap sabar dan ta­bah menunggu kedatangan pasukan kita. Sedangkan kepada musuh-­musuh kita, sebaiknya mereka itu kita ajak berdamai lebih dulu, sambil kita gertak dengan kekuatan angkatan perang kita. Jika mereka menyambut baik ajakan kita sehingga tidak terjadi pepe­rangan, itulah yang kita inginkan. Tetapi jika mereka menolak, kita tidak menemukan cara lain kecuali harus kita perangi…”

“Kalau begitu, baiklah,” jawab Amr. “Kaulaksanakanlah pendapat itu. Demi Allah, bagaimanapun juga akhirnya pasti terjadi peperangan…”

Selesai pertemuan, Muawiyah segera menulis surat kepa­da dua orang tokoh pendukung-nya di Mesir, yaitu Maslamah bin Makhlad dan Muawiyah bin Hudaij Al-Kindiy. Dua orang tokoh tersebut adalah penentang Imam Ali r.a. Dalam surat­nya Muawiyah bin Abi Sufyan antara lain mengatakan: “Allah s.w.t. telah memikulkan tugas besar di atas pundak kalian. Dengan tugas itu kalian akan mendapat pahala sangat besar dan Allah akan mengangkat kedudukan serta martabat kalian. Kalian menuntut balas atas terbunuhnya Khalifah yang madzlum (yakni Utsman bin Affan). Ketika kalian melihat hukum Allah dibiarkan, kalian marah, kemudian kalian berjuang melawan orang dzalim yang memusuhi Utsman. Hendaknya kalian tetap teguh berpendirian seperti itu dan teruskan perjuangan melawan musuh kalian. Tarik­lah orang-orang yang masih menjauhi kalian berdua agar mereka mau mengikuti pimpinan kalian. Sebuah pasukan akan datang un­tuk memperkuat kalian, dan setelah itu akan tersingkirlah semua yang tidak kalian sukai, dan apa yang kalian inginkan akan ter­wujud. Wassalaam.”

Surat Muawiyah tersebut dibawa oleh seorang maula, berna­ma Subai, ke Mesir, untuk diterimakan kepada dua tokoh pen­dukung Muawiyah tersebut di atas tadi.

Setelah dibaca oleh Maslamah bin Makhlad, surat itu diterus­kan kepada Muawiyah bin Hudaij disertai pemberitahuan, bahwa surat itu akan dibalasnya sendiri dan juga atas nama Muawiyah bin Hudaij. Muawiyah bin Hudaij menyatakan persetujuannya agar Maslamah menulis jawaban kepada Muawiyah bin Abi Sufyan.

Dalam surat jawabannya Maslamah antara lain mengatakan: “…Perintah yang dipercayakan kepada kami berdua untuk terus melawan musuh, merupakan kewajiban yang akan kami laksana­kan, dengan harapan semoga Allah akan melimpahkan pahala ke­pada kita. Mudah-mudahan Allah akan memenangkan kita atas orang-orang yang menentang kita, dan akan mempercepat pem­balasan terhadap orang-orang yang telah berbuat jahat memusuhi pemimpin kita, dan yang hendak menginjak-injak negeri kita.

“Di negeri ini (Mesir) kami telah menyingkirkan orang-orang dzalim dan telah membangkitkan orang-orang yang bersikap adil. Engkau telah menyebut-nyebut dukungan dan bantuan kami untuk mem­pertahankan kekuasaan yang ada di tanganmu. Demi Allah, kami telah bangkit melawan musuhmu bukan dengan niat untuk mem­peroleh kekayaan. Bukan itu yang kami inginkan, meskipun Allah mungkin akan melimpahkan imbalan pahala di dunia dan akhi­rat. Kirimkanlah segera kepada kami pasukan berkuda dan peja­lan kaki. Sebab musuh sudah siap hendak menyerang kami, se­dang kekuatan kami sangat kecil dibanding dengan mereka. Pada saat bantuanmu tiba, Allah pasti akan menjamin kemenang­an bagimu…”

Surat Maslamah dan Ibnu Hudaij itu diterima Muawiyah di saat ia sedang berada di Palestina. Para penasehatnya menyaran­kan supaya Muawiyah cepat-cepat mengirimkan pasukan ke Me­sir. Mereka mengatakan: “Insyaa Allah, engkau pasti akan berhasil menaklukannya…”

Muawiyah kemudian memerintahkan Amr bin Al Ash supaya segera memobilisasi pasukan. Setelah siap segala-galanya, Amr di­perintahkan berangkat ke Mesir memimpin pasukan berkekuat­an 6.000 orang. Waktu mengantar keberangkatannya, Muawiyah bin Abi Sufyan berpesan: “Kupesankan supaya engkau tetap ber­taqwa kepada Allah. Hendaknya engkau berkasih-sayang dan ja­ngan terburu-buru. Sebab sikap seperti itu adalah dorongan setan. Hendaknya engkau mau menerima baik siapa saja yang datang ke­padamu, dan berikanlah maaf kepada orang-orang yang menjauhi dirimu. Berilah kesempatan kepada mereka untuk kembali dan bertaubat. Bila mereka sudah kembali dan bertaubat, engkau harus bersedia menerima dan memaafkan perbuatan mereka. Tetapi jika mereka tetap menolak, engkau harus bersikap keras. Sebab, kekerasan yang diambil setelah melalui peringatan lebih dulu, akan lebih baik akibatnya. Hendaknya engkau menyerukan dan mengajak orang untuk berdamai dan rukun serta bersatu. Sehingga apabila engkau menang, engkau akan mempunyai pendukung-­pendukung yang terbaik. Oleh karena itu bersikaplah baik-baik kepada semua orang…”

Setibanya dekat Mesir, Amr bin Al Ash dan pasukannya berhenti. Di tempat itu orang-orang dari penduduk Mesir yang menjadi pengikut Utsman bin Affan r.a. datang bergabung. Kemu­dian Amr mengirim surat kepada Muhammad bin Abu Bakar Ash Shiddiq. Isinya antara lain: “Hai Ibnu Abu Bakar…, serahkanlah kedudukanmu kepadaku, karena tanganmu berlumuran darah (Utsman). Aku tidak ingin melihat engkau celaka di tanganku. Di negeri ini banyak orang yang sudah bertekad hendak melawanmu, menolak perintahmu, dan menyesal pernah menjadi pengikutmu. Mereka hendak menyerahkan dirimu kepadaku di waktu keada­an sudah menjadi genting. Kunasehatkan, sebaiknya kautinggal­kan saja negeri ini…!”

Bersamaan dengan surat itu, oleh Amr juga dilampirkan surat Muawiyah yang ditujukan kepada Muhammad bin Abu Bakar Ash Shiddiq. Surat Muawiyah bin Abi Sufyan itu isinya antara lain: “Apabila kedzaliman dan kedurhakaan sudah merajalela, pasti besarlah akibat buruk yang ditimbulkan. Orang yang telah menum­pahkan darah secara tidak sah, tak akan terhindar dari pembalasan di dunia dan siksa berat di akhirat. Aku belum pernah melihat orang yang melebihi engkau dalam berbuat jahat, mencerca dan menentang Utsman bin Affan. Bersama-sama orang lain engkau berusaha dan saling bantu untuk menumpahkan darahnya. Lantas, apakah engkau mengira bahwa aku akan melupakan perbuatanmu itu?”

Seterusnya dikatakan: “Sekarang engkau tinggal di sebuah negeri dengan aman dan tenteram, padahal di negeri itu banyak sekali pengikut dan pendukungku. Mereka itu ialah orang-orang yang sependirian dengan aku, menolak semua omonganmu, dan berteriak minta tolong kepadaku. Aku telah mengerahkan sebuah pasukan untuk memerangimu, dan mereka itu adalah orang-orang yang sangat dendam terhadap dirimu. Mereka akan menumpahkan darahmu, dan akan bertaqarrub kepada Allah me­lalui perjuangan melawanmu. Mereka telah bersumpah hendak membunuhmu. Seandainya mereka tidak sampai dapat memenuhi sumpah masing-masing, Allah pasti akan mencabut nyawamu, entah melalui tangan mereka atau tangan para hamba-Nya yang lain. Engkau kuperingatkan, bahwa Allah tetap menuntut balas kepadamu atas terbunuhnya Utsman, yang disebabkan oleh kedza­limanmu, kedurhakaanmu dan tusukan tombakmu. Walaupun begitu…, aku tidak ingin membunuhmu. Aku tidak mau berbuat seperti itu terhadap dirimu. Allah tidak akan menyelamatkan dirimu dari pembalasan, di mana pun engkau berada dan sampai ka­pan pun juga. Oleh karena itu, lepaskanlah kedudukanmu dan selamatkan dirimu sendiri. Wassalaam.”

Setelah dua surat tersebut dibaca oleh Muhammad bin Abu Bakar, kemudian dilipat untuk diteruskan kepada Amirul Muk­minin Imam Ali r.a., dengan disertai pengantar sebagai berikut: “Ya Amirul Mukminin, si durhaka Ibnul Ash kini telah tiba dekat Mesir. Orang dari penduduk Mesir yang sependirian dengan dia berhimpun di sekelilingnya. Ia datang membawa sebuah pa­sukan besar. Kulihat ada tanda-tanda patah semangat di kalangan orang-orang yang menjadi pendukungku. Jika engkau masih te­tap hendak mempertahankan Mesir, harap segera mengirimkan beaya dan pasukan. Wassalamu’alaika wa rahmattullahi wabara­kaatuh.”

Sesudah Imam Ali r.a. membaca surat-surat yang dikirim­kan oleh Muhammad bin Abu Bakar, ia segera menulis jawaban: “Utusanmu telah datang membawa suratmu kepadaku. Dalam surat tersebut engkau mengatakan, bahwa Ibnul Ash sekarang telah datang di Mesir membawa sebuah pasukan besar, dan bahwa orang-­orang yang sependirian dengan dia telah bergabung kepadanya. Keluarnya orang-orang yang sependirian dengan dia dari barisan­mu itu lebih baik daripada kalau mereka tetap tinggal bersamamu. Engkau menyebutkan juga, bahwa ada orang-orang yang tampak patah semangat. Tetapi engkau sendiri jangan sampai patah sema­ngat. Pertahankanlah wilayah negerimu, himpunlah semua pen­dukungmu, perkuat pengawasan dalam pasukanmu, dan angkat­lah Kinanah bin Bisyir sebagai pimpinan pasukan. Ia seorang yang terkenal bijaksana, berpengalaman dan pemberani. Dalam keadaan sulit rakyat kupercayakan kepadamu. Oleh karena itu hendak­nya engkau tetap tabah menghadapi musuh dan senantiasa te­tap waspada. Perangilah mereka dengan keteguhan tekadmu, dan lawanlah mereka sambil bertawakkal kepada Allah s.w.t.”

Selanjutnya Imam Ali r.a. mengatakan: “Sekalipun fihakmu lebih sedikit jumlahnya, namun Allah berkuasa menolong fihak yang sedikit dan mengalahkan fihak yang berjumlah banyak. Aku sudah membaca dua pucuk surat yang dikirimkan kepadamu oleh dua orang durhaka yang berpelukan mesra dalam perbuatan mak­siyat, bergandeng-tangan dalam kesesatan, saling suap dalam pe­merintahan, dan sama-sama sombongnya terhadap para ahli agama. Janganlah engkau gentar menghadapi dua orang itu, dan jawablah mereka, engkau boleh menggunakan ‘bahasa’ apa saja menurut kehendakmu. Wassalaam.”

Selesai menulis surat, Imam Ali r.a. segera mengumpulkan para pengikutnya kemudian mengucapkan khutbah: “Muham­mad bin Abu Bakar Ash Shiddiq dan saudara-saudara kalian di Mesir sekarang menjerit minta bantuan, karena anak si Nabi­ghah (yakni Amr) sekarang sudah bergerak membawa pasukan besar hendak menyerang mereka. Anak si Nabighah itu ialah mu­suh Allah, musuh orang-orang yang hidup di bawah pimpinan Allah, dan pemimpinnya orang-orang yang memusuhi Allah. Oleh karena itu hai para saudara kita di Mesir, Mesir jauh lebih besar daripada Syam, penduduknya pun lebih baik. Janganlah kalian sampai terkalahkan di Mesir. Adalah suatu kehormatan bagi kalian jika Mesir tetap berada di tangan kalian. Itu pun sekaligus merupa­kan pukulan hebat bagi musuh kalian. Berangkatlah kalian ke Ja­ra’ah[1] dan kita semua besok akan berkumpul di sana. Insyaa Allah.”

Keesokan harinya Imam Ali r.a. berangkat ke Jara’ah. Seti­banya di sana ia berhenti menunggu sampai tengah hari. Ternyata hanya 100 orang saja yang datang hendak mengikuti. Melihat gela­gat seperti itu, Imam Ali r.a. pulang ke Kufah. Malam harinya ia mengumpulkan sejumlah pengikut terkemuka. Dalam perte­muan itu Imam Ali r.a. tampak sedih dan sangat kecewa. Ia ber­kata: “Puji syukur ke hadirat Allah yang mengatur semua urusan menurut takdir-Nya, dan yang menilai siapa-siapa berbuat kebajik­an. Dialah yang memberi cobaan kepadaku dalam menghadapi kalian. Hai saudara-saudara, kalian itu sebenarnya adalah kelompok orang-orang yang tidak mau taat bila kuperintah, dan tidak mau menyambut bila kuajak. Celaka sekali kalian itu! Kemenangan apa yang kalian tunggu jika kalian enggan berjuang membela hak­-hak kalian? Di dunia ini sesungguhnya mati lebih baik dari­pada hidup meninggalkan kebenaran!”

“Demi Allah,” kata Imam Ali r.a. seterusnya, “seandainya maut datang kepadaku –dan biarlah ia datang– kalian akan melihat aku benar-benar marah menjadi teman bagi orang-orang seperti kalian! Apakah kalian tidak mempunyai agama yang me­wajibkan kalian bersatu? Apakah kalian tidak bisa marah kalau kehormatan kalian diinjak-injak? Apakah kalian tidak mendengar bahwa musuh kalian hendak mengurangi wilayah negeri kalian dan mereka sekarang sedang melancarkan serangan terhadap kali­an? Apakah tidak aneh kalau orang-orang durhaka dan dzalim bisa menyambut baik ajakan Muawiyah dan bersedia dikerahkan kemana saja menurut kehendaknya? Sedangkan kalian sendiri, tiap kuajak pasti bertengkar, lari bercerai-berai menjauhi aku, mem-bangkang dan membantah…!”

Di Mesir, seterimanya surat yang berisi petunjuk dari Imam Ali r.a., Muhammad bin Abu Bakar segera menulis jawaban kepada Amr bin Al Ash, yang isinya: “Aku sudah memahami isi suratmu dan telah mengerti apa yang kausebutkan. Seolah-olah engkau ti­dak suka melihatku celaka di tanganmu, tetapi aku bersaksi, demi Allah, bahwa engkau itu adalah salah seorang yang hidup bergeli­mang dalam kebatilan. Seolah-olah engkau memberi nasehat ke­padaku, tetapi aku bersumpah, bahwa sesungguhnya bagiku eng­kau adalah musuh yang harus dicurigai. Engkau mengatakan bah­wa penduduk negeri ini emoh kepadaku dan menyesal pernah jadi pengikutku, tetapi orang-orang yang seperti itu sebenarnya hanyalah mereka yang bersekutu dengan setan terkutuk. Aku berserah diri kepada Allah, Tuhan semesta alam, karena hanya Dia-lah tempat orang berserah diri yang sebaik-baiknya.”

Bersamaan dengan itu, Muhammad bin Abu Bakar juga menu­lis jawaban kepada Muawiyah bin Abi Sufyan. Isinya antara lain: “Suratmu sudah kuterima. Engkau menyebut-nyebut per­soalan Utsman bin Affan, suatu persoalan yang aku tidak perlu minta maaf kepadamu. Seolah-olah engkau hendak memberi nase­hat kepadaku dengan menggertak supaya aku menyerahkan kedu­dukan kepadamu. Dengan menakut-nakuti aku, engkau sekaligus juga berpura-pura menunjukkan belas kasihan kepadaku. Padahal sebenarnya aku sendiri sangat mengharapkan bencana menimpa kalian. Mudah-mudahan Allah akan menghancurkan kalian dalam peperangan sehingga kalian akan menjadi orang-orang hina yang la­ri tunggang langgang. Kalau sampai engkau berkuasa di dunia ini, demi Allah, betapa banyaknya orang dzalim yang akan kaubela. Betapa banyaknya orang mukmin yang akan kaubunuh dan kaucincang! Hanya kepada Allah sajalah semua persoalan kembali. Sesungguhnya Dia-lah Maha Pengasih dan Penyayang…”

Seterimanya surat jawaban dari Muhammad bin Abu Bakar, Amr bin Al Ash dan pasukannya mulai bergerak memasuki Mesir. Mendengar berita tentang gerakan Amr tersebut, Muhammad bin Abu Bakar berpidato di depan umum:

“Hai orang-orang yang beriman, ketahuilah bahwa kaum yang sudah biasa melanggar kehormatan, yang tenggelam dalam kesesa­tan, dan yang terus menerus berbuat sewenang-wenang sekarang sudah terang-terangan menyatakan permusuhan terhadap kalian. Mereka sedang bergerak menuju negeri kalian ini dengan membawa pasukan bersenjata. Oleh karena itu, barang siapa yang mengingin­kan sorga dan pengampunan dari Allah s.w.t., ia harus berani keluar dan berjuang melawan mereka dengan niat semata-mata untuk memperoleh keridhoan Allah. Majulah menggempur mereka bersama-sama Kinanah bin Bisyir!”

Kinanah bin Bisyir kemudian diserahi tugas memimpin pasu­kan sebesar 2.000 orang, sedangkan Muhammad bin Abu Bakar bertahan di belakang dengan 2.000 orang pengikut. Amr bin Al Ash bergerak terus menghadapi pasukan Kinanah yang mengambil posisi di depan pasukan Muhammad. Ketika sudah mendekati

pasukan Kinanah, Amr menggerakkan pasukannya regu demi regu. Tiap regu Syam yang berani mendekat, selalu berhasil dipukul mundur oleh pasukan Kinanah. Ini terjadi sampai berulang kali.

Ketika Amr melihat pasukannya dalam keadaan meresahkan cepat-cepat ia mengirim kurir kepada Muawiyah bin Hudaij untuk minta bantuan. Permintaan Amr itu segera dipenuhi Muawi­yah bin Hudaij dengan mengerahkan pasukan besar. Melihat pasukan musuh yang berjumlah sangat banyak itu, Kinanah dan sejumlah anggota pasukannya turun dari kuda, lalu melancarkan serangan keras terhadap musuh dengan pedang. Dengan gigih ia menyerang terus-menerus, dan akhirnya gugur di medan tempur sebagai pahlawan syahid.

Setelah Kinanah mati terbunuh, Muawiyah bin Hudaij ma­ju ke depan barisan untuk mencari-cari Muhammad bin Abu Ba­kar. Waktu itu para pendukung Muhammad sudah lari bercerai-be­rai meninggalkannya. Muhammad keluar berjalan kaki pelahan-la­han sampai tiba di sebuah rumah tua yang sudah rusak. Lalu ma­suk ke dalam untuk berlindung. Saat itu Amr rnasih bergerak te­rus sampai ke Fusthat, sedangkan Ibnu Hudaij masih terus menca­ri-cari Muhammad bin Abu Bakar. Akhirnya ia berjumpa dengan orang-orang yang sedang lari untuk menyelamatkan diri. Waktu Ibnu Hudaij bertanya apakah ada orang yang mencurigakan lewat, mereka menjawab: “Tidak!”

Tetapi kemudian salah seorang di antara mereka menam­bahkan: “Aku tadi masuk ke dalam rumah tua itu, dan kulihat di dalamnya ada seorang lelaki sedang duduk.”

Seketika itu juga Muawiyah bin Hudaij berteriak: “Nah…, itu mesti dia…, demi Allah!” Bersama beberapa temannya ia masuk ke dalam, lalu Muhammad bin Abu Bakar diseret keluar dalam keadaan hampir mati kehausan, kemudian di bawa ke Fusthat.

Ketika melihat saudaranya diseret-seret oleh Ibnu Hudaij, Abdurrahman bin Abu Bakar segera lari menemui Amr, kemudian berkata: “Demi Allah, saudaraku jangan sampai dibunuh per­lahan-lahan. Perintahkan orang supaya melarang Ibnu Hudaij ber­buat seperti itu!”

Atas permintaan Abdurrahman, Amr memerintahkan supaya Muhammad bin Abu Bakar dibawa kepadanya. Akan tetapi Ibnu Hudaij menjawab: “Kalian telah membunuh anak pamanku, Kinanah bin Bisyir. Apakah aku harus membiarkan Muhammad hidup? Tidak!”

Dalam suasana sangat tegang itu Muhammad minta diberi air seteguk untuk menghilangkan dahaga. Permintaan Muhammad itu ditolak Ibnu Hudaij dengan kata-kata: “Setetespun engkau ti­dan akan kuberi air. Engkau dulu menghalang-halangi Utsman bin Affan sampai tidak bisa mendapatkan air minum, kemudian ia kau­ bunuh dalam keadaan “berpuasa” kehausan. Hai Ibnu Abu Bakar, demi Allah, engkau akan kubunuh dalam keadaan haus kekering­an. Biarlah Allah nanti memberi minum kepadamu dengan air mendidih dari neraka Jahim dan nanah!”

Muhammad bin Abu Bakar yang sudah hampir kehilangan te­naga masih menjawab dengan penuh semangat: “Hai anak perem­puan Yahudi, pada hari itu nanti tidak ada urusan denganmu atau Utsman. Itu hanya semata-mata urusan Allah. Dia-lah yang akan memberi minum kepada hamba-hamba-Nya yang shaleh, dan membuat musuh-musuh-Nya haus kekeringan! Yaitu orang-orang seperti engkau, teman-temanmu, orang yang mengangkatmu se­bagai pemimpin, dan orang yang kau pimpin! Demi Allah, sean­dainya pedang masih ada di tanganku, orang-orangmu tidak akan dapat menyentuhku!”

“Tahukah engkau,” tanya Muawiyah bin Hudaij, “apa yang akan kuperbuat atas dirimu? Engkau akan kujejalkan ke dalam perut bangkai keledai itu, lantas akan kubakar sampai hangus!”

“Kalau engkau berbuat seperti itu,” ujar Muhammad bin Abu Bakar, “perbuatan itu sesungguhnya kaulakukan terhadap se­orang hamba Allah yang shaleh. Demi Allah, mudah-mudah­an Allah akan membuat api yang kau gunakan untuk menakut-­nakuti itu menjadi sejuk dan tidak berbahaya. Sama seperti api yang digunakan membakar Nabi Ibrahim a.s. dahulu. Dan mu­dah-mudahan Allah akan membuatmu dan membuat pemimpin-­pemimpinmu sama seperti Namrud dan orang-orang kepercayaan­nya. Semoga Allah akan membakarmu, membakar pemimpin-­pemimpinmu, Muawiyyah dan orang itu (ia menunjuk dengan jari ke arah Amr bin Al Ash)…, dengan api neraka yang berkobar-­kobar. Tiap hampir padam akan lebih dikobarkan lagi oleh Allah!”

“Aku tidak membunuhmu secara dzalim,” jawab Muawiyah bin Hudaij. “Aku membunuhmu karena engkau telah membunuh Utsman!”

“Apa urusanmu dengan Utsman, orang yang telah berbuat dzalim dan mengganti hukum Allah,” sahut Muhammad bin Abu Bakar dengan tegas. “Pada hal Allah telah berfirman (yang arti­nya): “Barang siapa menetapkan hukum tidak menurut apa yang telah diturunkan Allah, mereka adalah orang-orang kafir,[2]orang-orang dzalim,[3] orang-orang durhaka.[4] Kami bertindak keras terhadapnya karena hal-hal yang telah diperbuat olehnya. Kami menuntut supaya ia melepaskan jabatan, tetapi ia menolak, dan akhirnya ia dibunuh orang!”

Mendengar jawaban Muhammad itu, Muawiyah bin Huda­ij naik pitam. Pedang diayun dan Muhammad bin Abu Bakar di­penggal lehernya. Jenazahnya dijejalkan ke dalam perut keledai, kemudian dibakar sampai hangus.

Mendengar saudaranya mengalami nasib malang, Sitti Aisyah r.a. tersayat-sayat hatinya dan sangat sedih. Tiap selesai shalat ia selalu mohon kepada Allah s.w.t. supaya menjatuhkan ad­zab kepada Muawiyah bin Abi Sufyan, Amr bin Al Ash, Muawi­yah bin Hudaij. Keluarga yang ditinggalkan Muhammad di pelihara oleh Sitti Aisyah r.a., termasuk Al-Qasim bin Muhammad.

Menurut berbagai sumber riwayat, sejak terjadinya peristiwa sangat kejam itu Sitti Aisyah r.a. tidak mau lagi makan panggang daging sampai akhir hayatnya. Tiap teringat kepada saudaranya, ia menyumpah-nyumpah: “Binasalah Muawiyah bin Abi Sufyan, Amr bin Al Ash, Muawiyah bin Hudaij!”

Sedangkan Asma binti ‘Umais, ibu Muhammad, ketika men­dengar kemalangan menimpa anak kandungnya, ia muntah darah dalam mushalla, akibat menahan marah dan dendam.

Waktu Imam Ali r.a. mendengar berita tewasnya Muhammad bin Abu Bakar, ia sangat pilu dan sedih. Tindakan buas terhadap Muhammad itu terbayang-bayang di pelupuk matanya. Dalam su­atu khutbahnya sesudah kejadian itu ia mengatakan: “Mesir seka­rang telah ditaklukkan oleh orang-orang durhaka dan pemimpin-­pemimpin dzalim lagi bathil. Mereka itu ialah orang-orang yang sela­ma ini berusaha membendung jalan menuju kebenaran Allah, dan orang-orang yang hendak menyelewengkan agama Islam. Muham­mad bin Abu Bakar telah gugur sebagai pahlawan syahid. Semoga Allah melimpahkan rahmat kepadanya. Perhitungan tentang kema­tiannya itu kita serahkan kepada Allah.”

“Demi Allah,” kata Imam Ali r.a. selanjutnya, “sebagaimana kuketahui ia memang seorang yang penuh tawakkal kepada Allah dan rela menerima takdir Ilahi. Ia telah berbuat untuk memper­oleh pahala. Ia seorang yang sangat benci kepada segala bentuk ke­durhakaan, dan sangat mencintai jalan hidup orang-orang beriman.”

“Demi Allah, aku tidak menyesali diriku karena tidak sang­gup berbuat. Aku tahu benar bagaimana beratnya resiko penderi­taan dalam peperangan. Aku sanggup dan berani menghadapi pe­rang, aku mengerti bagaimana harus bertindak tegas, dan aku pun mempunyai pendapat yang tepat. Oleh karena itu aku berseru ke­pada kalian untuk memperoleh balabantuan dan pertolongan. Te­tapi kalian tidak mau mendengarkan perkataanku, tidak mau men­taati perintahku, sehingga urusan yang kita hadapi ini berakibat sangat buruk.

“Kurang lebih 50 hari yang lalu, kalian kuajak membantu saudara-saudara kalian di Mesir, tetapi kalian maju mundur. Kalian merasa berat seperti orang-orang yang memang tidak mem­punyai niat berjuang, yaitu orang-orang yang tidak pernah berfikir ingin memperoleh imbalan pahala.”

“Akhirnya aku hanya dapat menghimpun pasukan kecil, jumlahnya sangat sedikit, lemah dan tidak kompak. Mereka ini seolah-olah hanya untuk digiring menghadapi maut yang ada di depan mereka! Alangkah buruknya kalian itu!”

Selesai mengucapkan khutbah yang pedas didengar itu, ia turun dan pergi.

Disadur dari buku :

Sejarah Hidup Imam Ali bin Abi Thalib r.a.
Oleh H.M.H. Al Hamid Al Husaini
Penerbit: Lembaga Penyelidikan Islam

https://tausyah.wordpress.com

Komentar
  1. […] Utsman bin Affan ketika itu ada perbedaan pendapat dengan Abu Dzar, dan Abu Dzar pun menjauh dan meninggalkan Utsman bin Affan. Dan tiada yang menemani kepergiannya kecuali isteri dan anaknya, maka beliau pun memberi wasiat […]

    Suka

  2. […] pembakaran kapal-kapal yang telah menyeberangkan mereka.Tentu  saja  perintah  ini membuat prajuritnya keheranan. “Kenapa Andalakukan ini?” tanya mereka. “Bagaimana kita kembali […]

    Suka

  3. […] pembakaran kapal-kapal yang telah menyeberangkan mereka.Tentu  saja  perintah  ini membuat prajuritnya keheranan. “Kenapa Andalakukan ini?” tanya mereka. “Bagaimana kita kembali nanti?” tanya […]

    Suka

  4. […] hari Rasulullah S.A.W telah datang dari daerah berbukit. Apabila Rasulullah S.A.W sampai di masjid Bani Mu’awiyah lalu beliau masuk ke dalam masjid dan menunaikan solat dua rakaat. Maka kami pun turut solat […]

    Suka

  5. […] bin Al Aus berkata: “Kematian adalah pengalaman yang paling menakutkan bagi seorang mukmin, baik di dunia ataupun di akhirat. Kematian itu lebih menyakitkan dibanding anda digergaji, atau […]

    Suka

  6. […] bin Al Aus berkata: “Kematian adalah pengalaman yang paling menakutkan bagi seorang mukmin, baik di dunia ataupun di akhirat. Kematian itu lebih menyakitkan dibanding anda digergaji, atau […]

    Suka

  7. […] begitulah mereka, dan ini bukan kali pertama diinternet dan tentu masih banyak blog dan situs-situs kristen yang berkedok Islam untuk mendangkalkan Aqidah Islamiyah ummat muslim di Indonesia. Padahal Islam […]

    Suka

  8. […] istri shalehahpun datang kehadapannya, ia tampak begitu cantik dan berpenampilan menarik..apabila sang istri mrngucapkan kata-kata..hingga luluhlah hati sang suami..wajah kusut lagi penat […]

    Suka

  9. […] istri shalehahpun datang kehadapannya, ia tampak begitu cantik dan berpenampilan menarik..apabila sang istri mrngucapkan kata-kata..hingga luluhlah hati sang suami..wajah kusut lagi penat […]

    Suka

  10. […] istri shalehahpun datang kehadapannya, ia tampak begitu cantik dan berpenampilan menarik..apabila sang istri mrngucapkan kata-kata..hingga luluhlah hati sang suami..wajah kusut lagi penat […]

    Suka

Tinggalkan komentar