Usaha Pendamaian Perang Sia – Sia, Perang Meletus Di Shiffin Dan Strategi Picik Muawiyah

Posted: 17 Agustus 2010 in Para Imam
Tag:, , , , , ,

ramadhanUsaha Mendamaikan

Sekarang pasukan kedua belah fihak telah sama memusatkan kubu-kubu pertahanannya masing-masing di lembah Shiffin. Jalan damai nampaknya sudah buntu. Mengkompro-mikan dua pendirian yang berlawanan sangat sulit. Dua belah fihak sama ber­keyakinan, bahwa satu-satunya jalan penyelesaian yang bisa di tempuh ialah perang. Yang satu berjuang untuk kekuasaaan dan keduniaan dan yang lainnya berjuang untuk kepentingan agama dan kehidupan akhirat.

Keadaan yang sangat tragis itu benar-benar membingungkan kaum muslimin dalam memilih fihak. Mereka sudah pasti menghendaki kebahagiaan dunia dan akhirat. Tentang kebahagiaan akhirat sudah tidak menjadi persoalan lagi, karena Islam telah memberi­kan penjelasan dengan gamblang. Yang sulit ialah bagaimana mene­tapkan definisi (pembatasan-pembatasan) tentang kebahagiaan dunia. Fihak Syam berusaha meraihnya lewat jalan kekuasaan dan kekayaan. Sedang fihak Kufah berusaha mencapainya melalui jalan taqwa kepada Allah s.w.t. dan patuh kepada tauladan Rasul­Nya.

Bagaimana menserasikan dua jalan itu tidak ditemukan peme­cahannya oleh kaum muslimin pada zaman yang sedang kita bicara­kan. Tetapi bagaimana pun juga, semua kaum muslimin adalah sau­dara. Semua ingin hidup rukun tentram, damai dan sejahtera.

Fikiran seperti itu tetap menjiwai kehidupan kaum muslim­in sepanjang zaman, tetapi realisasinya tidak semudah seperti yang didambakan. Namun usaha ke arah itu tak boleh berhenti. Pegang­an pokok sudah diletakkan oleh Islam, yaitu Kitab Allah dan sun­nah Rasul-Nya. Siapa yang teguh berpegang pada dua-duanya pasti selamat, dan siapa yang meninggalkan dua-duanya pasti sesat.

Itulah rupanya yang menjadi pemikiran Abu Hurairah dan Abu Darda untuk mencoba mendamaikan dua fihak yang berha­dapan siap perang.

Diriwayatkan, bahwa Abu Hurairah dan Abu Darda sengaja datang dari Himsh untuk bertemu dengan Muawiyah di Shiffin. Kepada Muawiyah dua orang itu mengingatkan: “Hai Muawiyah, mengapa anda memerangi Ali bin Abi Thalib, padahal engkau tahu ia lebih berhak memegang kekhalifahan daripada anda, baik di­sebabkan karena keutamaan pribadinya, maupun oleh kediniannya memeluk Islam. Ia seorang dari kaum Muhajirin yang pertama, dan terdahulu pula dalam hal iman dan ihsan. Sedang anda seorang dari kaum thulaqa, dan ayah anda pun dulu seorang pemimpin kaum musyrikin dalam perang Ahzab melawan kaum muslimin. Demi Allah, aku ingin berkata terus terang kepada anda, bahwa kami ini lebih menyukai Iraq daripada Syam. Tetapi kelestarian hidup, lebih kami sukai daripada kehancuran, dan kebaikan lebih kami sukai daripada kerusakan.”

Terhadap pernyataan yang serba blak-blakan dari dua orang sahabat Rasul Allah s.a.w. itu, Muawiyah memberikan tanggapan: “Aku tidak menganggap diriku lebih berhak daripada Ali untuk memegang kekhalifahan. Aku memerangi dia hanya supaya ia mau meyerahkan orang-orang yang membunuh Utsman bin Affan ke­padaku!”

“Seandainya Ali bin Abi Thalib mau menyerahkan mereka kepada anda,” tanya Abu Hurairah dan Abu Darda, “lantas apa­kah yang kira-kira akan anda lakukan?”

“Aku akan bersikap seperti kaum muslimin yang lain,” ja­wab Muawiyah.” Cobalah kalian datang kepada Ali bin Abi Thalib. Jika ia menyerahkan para pembunuh Utsman itu kepada kalian, masalah kekhalifahan akan kuserahkan kepada kaum muslimin!”

Abu Hurairah dan Abu Darda memang bukan diplomat dan bukan pula orang-orang politik seperti Muawiyah atau Amr bin Al Ash. Mereka berdua itu orang-orang bertaqwa, lugu dan polos. Tampaknya mereka tidak dapat meraba apa-apa yang ada dibalik ucapan Muawiyah. Mungkin dua orang itu menganggap Muawiyah sama dengan diri mereka, jujur, terus terang dan tidak bermain lidah.

Pergilah dua orang itu meninggalkan kubu-kubu pertahanan Muawiyah menuju ke kubu-kubu pertahanan Imam Ali r.a. Setiba­nya di sana, mereka diterima oleh Al Asytar, yang ketika itu ber­tindak selaku Panglima pasukan Kufah.

Setelah Abu Hurairah dan Abu Darda menjelaskan maksud kedatangan mereka dan menyampaikan apa yang menjadi pendiri­an Muawiyah dan pendirian mereka sendiri, Al Asytar memberi jawaban: “Hai Abu Hurairah dan Abu Darda, kalian datang kepada orang-orang Syam bukan karena kalian menyukai Muawi­yah. Kalian mengatakan Muawiyah hanya menuntut diserahkan­nya pembunuh-pembunuh Utsman. Dari siapa kalian bisa menge­tahui para pembunuh itu? Apakah dari mereka yang melakukan pembunuhan itu sendiri, ataukah dari mereka yang memberi ban­tuan dalam pembunuhan? Atau kalian mendapat keterangan dari mereka yang memisahkan diri dari Utsman karena mereka tahu dosanya Utsman? Atau kalian mencari penjelasan dari Muawiyah yang menuduh bahwa pembunuh Utsman ialah Ali?”

“Wahai kawan-kawan,” kata Al Asytar lebih lanjut, “bertaq­walah kalian kepada Allah. Kami inilah yang menyaksikan sen­diri, sedang kalian tidak mengetahui terjadinya peristiwa itu. Kamilah yang lebih dapat menetapkan hukumnya dibanding de­ngan orang-orang lain yang tidak menyaksikan sendiri terjadinya peristiwa itu!”

Setelah menerima penjelasan panjang lebar dari Al Asytar, keesokan harinya mereka bertemu dengan Imam Ali r.a. Kepada Imam Ali r.a., Abu Hurairah dan Abu Darda menerangkan: “Anda memang mempunyai keutamaan yang tidak dapat disangkal oleh siapa pun. Anda telah menempuh cara gagah berani dalam menghadapi orang-orang yang buruk perangai. Muawiyah minta supaya anda mau menyerahkan para pembunuh Utsman kepada­nya. Jika anda sudah berbuat itu dan Muawiyah masih tetap me­merangi anda, kami akan bersama-sama anda melawan dia.”

“Apakah engkau tahu siapa-siapa yang membunuh Utsman?” tanya Imam Ali r.a. sambil tersenyum.

“Ya,” jawab kedua orang itu dengan tak ragu-ragu.

“Silakan ambil mereka itu!” sahut Imam Ali r.a. melanjut­kan.

Mereka keluar. Lalu menghampiri Muhammad bin Abu Bakar, Ammar bin Yasir dan Al Asytar yang sedang duduk bersama. Kepada mereka, dua orang itu berkata dengan lantang: “Kalian termasuk orang-orang yang membunuh Utsman. Aku mendapat perintah untuk mengambil kalian!”

Pada saat itu lebih 1.000 orang datang berduyun-duyun me­ngerumuni Abu Hurairah dan Abu Darda sambil berteriak-teriak: “Kami semua inilah yang membunuh Utsman!”

Karena semuanya mengaku membunuh Utsman, dua orang itu kebingungan. Abu Hurairah dan Abu Darda mencoba men­cari keterangan siapa-siapa sebenarnya yang telah membunuh Utsman. Tetapi tiap-tiap bertanya selalu dijawab: “Kami inilah yang membunuh Utsman!”

Dua orang itu tak dapat berbuat apa-apa. Cepat-cepat minta diri, lalu masing-masing pulang ke rumahnya di Himsh.

Meletusnya PerangNight Arabic

Sama seperti di medan-medan tempur lainnya, tiap tempat strategis pasti menjadi incaran pertama dari suatu gerakan militer. Dalam perang Shiffin, sungai Al Furat mempunyai nilai strategi yang sangat vital. Lebih-lebih dalam peperangan di zaman itu, di mana peperangan benar-benar merupakan adu tenaga dan kelincah­an bermain senjata. Bukan hanya anggota-anggota pasukan saja yang membutuhkan air, melainkan ternak-ternak kendaraan se­perti unta-unta dan kuda-kuda perang bahkan lebih banyak meng­habiskan air daripada manusia. Datam perang Shiffin fihak yang menguasai sungai Al Furat pasti akan dapat bertahan lebih lama dibanding dengan fihak yang tidak memperoleh air cukup.

Oleh karena itu pasukan Muawiyah yang datang lebih dulu di Shiffin, segera berusaha menduduki dan memperkuat posisi di daerah-daerah sekitar sungai Al Furat. Dengan tujuan untuk me­nguasai perbekalan air.

Dengan berhasil menguasai sungai itu, pasukan Syam yang berjumlah puluhan ribu orang tidak hanya terjamin kebutuhan air­nya, tetapi sekaligus juga mereka akan dapat membuat pasukan lawan mati kehausan.

Setelah pasukan Syam menguasai sungai Al Furat, Muawiyah memerintahkan kepada semua anggota pasukan supaya jangan membiarkan ada seorang pun dari pasukan Imam Ali r.a. meng­ambil air dari sungai itu.

Dugaan memang tidak meleset. Pasukan Imam Ali r.a. yang belum lama tiba dari Kufah sudah mulai kekurangan air minum. Mereka berusaha mendapatkan perbekalan air dari sungai. Alang­kah terkejutnya mereka, karena pasukan Syam dengan ketat sekali menjaganya agar pasukan Imam Ali r.a. tidak menginjakkan kaki di sepanjang tepi sungai itu.

Ketika melihat ada beberapa orang pasukan Kufah mende­kati sungai untuk mengambil air, pasukan Syam yang mengawal sungai itu berteriak-teriak melarang: “Tidak! Demi Allah, kalian takkan kami biarkan mengambil air barang setetes pun. Biarlah kalian mampus kehausan!” Sambil berkata seperti itu ia menyiap­kan busur dan anak panahnya. Anak buah Imam Ali r.a. segera mundur, kembali ke induk pasukan, dan melapor kepada Imam Ali r.a.

Imam Ali r.a. menyadari benar, bahwa air sungai Al Furat sa­ngat dibutuhkan oleh pasukannya dan hewan-hewan tunggangan. Jika pasukannya sampai tidak mendapat air berarti sudah kalah sebelum bertempur dan semua hewan tunggangan akan mati kehausan.

Cepat-cepat Imam Ali r.a. mempersiapkan pasukan untuk melancarkan serangan kilat dan terbatas guna merebut lokasi yang sangat strategis itu. Tak berapa lama kemudian terjadi per­tempuran sengit antara kedua pasukan memperebutkan sungai Al-Furat. Dengan serangan kilat pasukan Syam terusir dari po­sisinya yang strategis dan pasukan Kufah bersama hewan tung­gangannya dapat minum sepuas-puasnya.

Pasukan Syam kini menghadapi keadaan sebaliknya. Seka­rang mereka menderita kepanasan dan kehausan setengah mati. Beberapa sahabat Imam Ali r.a. mengusulkan supaya pasukan Syam jangan diberi kesempatan sama sekali mengambil air sungai: “Biar mereka mampus digorok kehausan! Kita tidak perlu susah-­susah memerangi mereka.”

Menanggapi usul tersebut Imam Ali r.a. berkata: “Demi Al­lah, tidak! Aku tak akan membalas dengan perbuatan seperti yang mereka lakukan terhadap kita. Berilah mereka kesempatan meng­ambil air minum. Keberanian kita mengadu pedang tidak membu­tuhkan perbuatan semacam itu!”

Orang-orang yang mendengar jawaban Imam Ali r.a. setegas itu merasa kagum terhadap sifat ksatriaannya.

Sewaktu pasukan Syam datang mengambil air dari sungai, dengan penuh disiplin tak ada seorang pun dari pasukan Imam Ali r.a. yang menghalang-halangi. Pasukan Imam Ali r.a. yang ber­tugas mengawal tepi sungai, sama sekali tidak memperlihatkan kesombongan karena menang. Banyak di antara anggota-anggota pasukan Muawiyah karena rasa kagumnya ingin menyeberang ke fihak Imam Ali r.a. Hanya saja mereka tidak mempunyai ke­beranian untuk melakukannya. Khawatir, kalau-kalau para anggo­ta keluarga yang ditinggalkan di Syam akan mengalami tekanan dan berbagai kesulitan.

Pada tahap pertama pertempuran antara kedua pasukan itu hanya berlangsung secara kecil-kecilan saja, yaitu satu lawan satu, kelompok lawan kelompok. Pertempuran belum melibatkan se­luruh pasukan.

Beberapa ahli sejarah menaksir pasukan yang berada di­bawah pimpinan Imam Ali r.a. berjumlah kurang lebih 100.000 orang. Pasukan ini dikenal sebagai “pasukan Iraq”. Sedang pasu­kan Muawiyah yang disebut sebagai “pasukan Syam” berjum­lah kurang lebih 75.000 orang. Jadi di medan perang Shiffin pada akhir tahun 36 Hijriyah itu telah terkumpul tidak kurang 175.000 orang prajurit Islam.

Yang menarik bukan hanya karena besarnya jumlah pasukan tersebut. Sebab, sebelum itu pasukan Islam yang besar jumlahnya telah pernah bergerak dalam pertempuran menghadapi pasukan musuh, yang bukan Islam. Sedang kali ini 175.000 orang pasukan muslimin itu saling bertempur di antara mereka sendiri.

Sampai pada akhir bulan Haji tahun itu, di medan perang Shiffin hanya terjadi pertempuran kecil-kecil. Sedang pada bulan Muharram –bulan suci– sebagai sesama pasukan muslimin, ke­dua pasukan itu dengan kesadaran masing-masing hanya saling berhadapan tanpa melakukan pertempuran. Setelah bulan Safar tiba berkobar lagi pertempuran kecil-kecilan.

Melihat hal ini Imam Ali r.a. tidak bisa bersabar lagi. Keadaan ini hanya mengulur-ulur waktu dan bisa berlarut-larut. Yang un­tung hanya Muawiyah, yang mempergunakan kesempatan itu guna menyebar fitnah untuk mematahkan semangat pasukan Imam Ali r.a.

Imam Ali r.a. segera mengeluarkan perintah serangan umum. Muawiyah yang juga telah menyiapkan pasukan segera bangkit menghadapi serangan besar itu. Pertengahan bulan Syafar tahun 37 Hijriyah ditandai oleh suatu pertempuran dahsyat antara dua pasukan yang berlangsung penuh sepanjang hari. Pada hari ke­duanya terjadi pertempuran yang paling hebat, yang sebelumnya tak pernah dikenal dalam sejarah Islam. Menurut kebiasaan bila senja tiba, pertempuran dihentikan, tetapi kali ini pertempuran diteruskan di kegelapan malam. Darah membasahi bumi Shiffin. Prajurit dan komandan berguguran. Bapak melawan anak, saudara bertempur melawan saudara, muslim membunuh muslim. Malam dilewatkan dengan pertumpahan darah yang tiada hentinya hingga fajar menyingsing.

Setelah beberapa hari bertempur dan Muawiyah melihat pa­sukannya mulai kewalahan, ia berpaling kepada Amr bin Al Ash selaku penasehatnya agar dapat memberikan saran-saran. Amr bin Al Ash muncul dengan tipu muslihatnya. Ia perintahkan kepa­da semua anggota pasukan supaya menancapkan lembaran-lem­baran Al Qur’an di ujung senjata masing-masing dan mengangkat­nya setinggi mungkin agar mudah diketahui oleh pasukan Kufah. Sejalan dengan itu terdengarlah mereka berseru:

“Inilah Kitab Allah. Inilah Al Qur’an yang dari awal hingga akhir tetap berada di antara kita. Allah, Allah, jaga dan lindungilah bangsa Arab. Allah, Allah, jaga dan lindungilah agama Islam. Al­lah, Allah, lindungilah negeri kami. Siapakah yang akan menjaga Syam dari serangan musuh (Romawi) apabila tentara Syam bi­nasa? Dan siapa pulakah yang akan melindungi Iraq apabila ten­taranya musnah?”

Tujuan dari gerak-tipu itu ialah agar pasukan Kufah mengira, bahwa pasukan Syam sekarang telah bersedia menerima penyele­saian secara damai berdasarkan hukum Allah.

https://tausyah.wordpress.com

Komentar
  1. […] selama hampir satu bulan. Hanya saja kaum musyrikin belum sampai kepada mereka dan tidak terjadi pertempuran antara mereka.Lalu Amrun bin Abdi Wuddin al-’Amri salah seorang pasukan berkuda dan pahlawan pemberani yang […]

    Suka

  2. […] Setelah cari info ke sana ke mari, akhirnya diperoleh jawaban bahwa kuburan itu adalah kuburan penguasa yang zalim yang suka korupsi yang kebetulan mati hari […]

    Suka

  3. […] dalam ayat tersebut Allah telah menyebut tentang gerakan gunung sebagaimana mengapungnya perjalanan awan. (Kini, Ilmuwan modern juga menggunakan istilah “continental drift” atau […]

    Suka

  4. […] agar dia tidak terpesona dengan belas kasih ALLAH. Ketahuilah bahwa ALLAH akan menghisabnya di hari Mahsyar nanti,  akan menimbang semua amalannya, baik yang kecil maupun yang besar!” Setelah menyampaikan […]

    Suka

  5. […] meninggal dunia juga. Dan kini gadis kecil ini  sendirian  tanpa  kedua orangtuanya  ,  dan  oleh  orangtua  teman-teman  sekolah  bar’ah […]

    Suka

  6. […] pintu bagi kehidupan manusia, dengan dia (Pintu) itu hingga engkau dapat berlindung dari sekalian kejahatan malam dan siang didalam rumahmu. Pintu adalah suatu pemberi kabar bagimu atas sekalian apa-apa yang […]

    Suka

  7. […] Komentar Terakhir Perjanjian Nafs (Alam Ruh) Dan Bingkisan Manusia Untuk ALLAH, Dibalik Dua Pintu Manusia Dunia Dan Kelahiran Serta Akhirat Dan Kematian Serta Bertaubatlah Selagi Jasad Masih Bernyawa « Tausiyah In Tilawatun Islamiyah pada Penumpasan Kaum Pemberontak, Persiapan Amirul Mukminin Imam Ali Melawan Muawiyah Dalam Perang ShiffinPerjanjian Nafs (Alam Ruh) Dan Bingkisan Manusia Untuk ALLAH, Dibalik Dua Pintu Manusia Dunia Dan Kelahiran Serta Akhirat Dan Kematian Serta Bertaubatlah Selagi Jasad Masih Bernyawa « Tausiyah In Tilawatun Islamiyah pada Sejarah Tentang Kitab Injil Serta Para Penulisnya, Asal Sebutan Nama Kristen ( Christian ) Dan Hubungan Kitab Tersebut Dengan PaulusPerjanjian Nafs (Alam Ruh) Dan Bingkisan Manusia Untuk ALLAH, Dibalik Dua Pintu Manusia Dunia Dan Kelahiran Serta Akhirat Dan Kematian Serta Bertaubatlah Selagi Jasad Masih Bernyawa « Tausiyah In Tilawatun Islamiyah pada Usaha Pendamaian Perang Sia – Sia, Perang Meletus Di Shiffin Dan Strategi Picik Muawiyah […]

    Suka

  8. […] agar dia tidak terpesona dengan belas kasih ALLAH. Ketahuilah bahwa ALLAH akan menghisabnya di hari Mahsyar nanti,  akan menimbang semua amalannya, baik yang kecil maupun yang besar!” Setelah menyampaikan […]

    Suka

  9. […] dan kemanfaatannya juga dapat dirasakan oleh manusia itu sendiri. Terlebih lagi dengan sholat lima waktu yang telah ALLAH tetapkan bagi seluruh muslimin dan muslimah didunia, mengapa sholat wajib […]

    Suka

  10. […] dan kemanfaatannya juga dapat dirasakan oleh manusia itu sendiri. Terlebih lagi dengan sholat lima waktu yang telah ALLAH tetapkan bagi seluruh muslimin dan muslimah didunia, mengapa sholat wajib […]

    Suka

  11. […] dan kemanfaatannya juga dapat dirasakan oleh manusia itu sendiri. Terlebih lagi dengan sholat lima waktu yang telah ALLAH tetapkan bagi seluruh muslimin dan muslimah didunia, mengapa sholat wajib […]

    Suka

  12. […] dan kemanfaatannya juga dapat dirasakan oleh manusia itu sendiri. Terlebih lagi dengan sholat lima waktu yang telah ALLAH tetapkan bagi seluruh muslimin dan muslimah didunia, mengapa sholat wajib […]

    Suka

  13. […] dan kemanfaatannya juga dapat dirasakan oleh manusia itu sendiri. Terlebih lagi dengan sholat lima waktu yang telah ALLAH tetapkan bagi seluruh muslimin dan muslimah didunia, mengapa sholat wajib […]

    Suka

  14. […] pintu bagi kehidupan manusia, dengan dia (Pintu) itu hingga engkau dapat berlindung dari sekalian kejahatan malam dan siang didalam rumahmu. Pintu adalah suatu pemberi kabar bagimu atas sekalian apa-apa yang […]

    Suka

Tinggalkan komentar