Terjadinya Perang Saudara Melawan Amirul Mukminin Imam Ali Bin Abu Thalib Dibawah Pimpinan Ummul Mukminin Sitti Aisyah R.A.

Posted: 13 Agustus 2010 in Para Imam
Tag:, , , , , , ,

Crying-kidKe Bashrah

Untuk melaksanakan rencana kelompok Makkah, yaitu me­nuntut balas atas kematian Khalifah Utsman r.a. dan mengguling­kan Imam Ali r.a. dari kedudukannya sebagai Khalifah, Thal­hah, Zubair dan Sitti Aisyah r.a. berangkat ke Bashrah. Pada saat Sitti Aisyah r.a. hendak berangkat, orang-orang mencarikan seekor unta yang kuat guna mengangkut haudaj-nya[3] Ya’laa bin Ummayyah menyerahkan unta kepunyaannya yang sa­ngat besar, bernama “Askar”. Sitti Aisyah r.a. kagum sekali melihat unta itu. Akan tetapi ketika serati memanggil-manggil untanya dengan berulang-ulang menyebut “Askar”, ia mundur dan berkata kepada serati unta itu: “Kembalikan dia. Aku tidak membutuhkan unta itu!” Sewaktu ditanya apakah sebabnya Ummul Mukminin me­nyuruh unta “Askar” dikembalikan, Sitti Aisyah r.a. menja­wab, bahwa Rasul Allah s.a.w. pernah menyebut-nyebut na­ma unta itu dan ia dilarang mengendarainya.

Ummul Mukmi­nin minta dicarikan unta lain. Orang tak berhasil mencarikan unta seperti “Askar”. Agar jangan diketahui oleh Ummul Muk­minin, bahwa unta yang akan dikendarainya adalah tetap unta “Askar”, maka jilal-nya[4] “Askar” diganti dengan jilal lain, tanpa sepengetahuan Sitti Aisyah r.a.

Ummul Mukminin merasa puas dengan unta yang dikatakan bukan “Askar” itu. Sementara itu Al-Asytar dari Madinah mengirim sepucuk surat kepada Sitti A.isyah r.a. Tulis Al-Asytar: “Ibu adalah isteri Rasul A.llah s.a.w. Beliau telah memerintahkan Ibu supaya tetap tinggal di rumah. Jika Ibu menuruti perintah beliau, bagi Ibu itu lebih baik. Tetapi jika Ibu tetap tidak mau selain hendak meme­gang pentung, menanggalkan baju kerudung dan menampakkan ke­sucian diri di depan mata orang banyak, Ibu akan kami perangi, sampai kami dapat memulangkan Ibu kembali ke rumah, tempat yang sudah diridhoi Allah bagi Ibu.”

Sebagai jawaban atas surat Al-Asytar itu, Sitti Aisyah r.a. menulis: “Engkau adalah orang Arab pertama yang melancar­kan fitnah, menganjurkan perpecahan dan membelakangi para Imam, yakni para Khalifah. Engkau mengerti bahwa dirimu tidak akan dapat melemahkan Allah. Engkau akan menerima pem­balasan dari Allah atas perbuatanmu yang dzalim terhadap seorang Khalifah, yakni Utsman bin Affan. Suratmu sudah kuterima dan aku sudah memahami apa yang ada di dalamnya. Allah sajalah yang akan melindungi diriku dari perbuatanmu. Akan lumpuhlah semua orang yang sesat dan durhaka seperti engkau itu, insyaa Allah!”

Waktu perjalanan Sitti Aisyah r.a. sampai di Hau’ab, yaitu tempat sumber air kepunyaan Bani Amir Sha’sha’ah, ia digonggong banyak anjing, sampai unta yang dikendarainya lari kencang sukar dikendalikan. Waktu itu terdengarlah suara orang berteriak: “Hai, tahukah kalian, betapa banyaknya anjing di Hau’ab ini dan alang­kah keras gonggongannya!” Mendengar teriakan itu, Sitti Aisyah r.a. menarik tali kekang sekeras-kerasnya sambil berteriak kuat: “Itu anjing-anjing Hau’ab! Kembalikan aku! Aku mendengar sendiri Rasul Allah pernah me­ngatakan…,” ia menyebut apa yang pernah dikatakan oleh Ra­sul Allah s.a.w. kepadanya.

Saat itu Sitti Aisyah mendengar suara orang lain mengatakan: “Pelan-pelan! Kita sudah melewati Hau’ab!” “Apakah ada saksi yang membenarkan perkataanmu?” tanya Sitti Aisyah r.a. mengejar suara tadi. Kemudian beberapa orang Badui yang menjadi pengawal me­neriakkan sumpah, bahwa benar-benar tempat itu sudah bukan Hau’ab lagi. Oleh karena itu Sitti Aisyah r.a. lalu melanjutkan perjalanan. Ketika Sitti Aisyah r.a. tiba di Harf Abi Musa, dekat Bash­rah, penguasa daerah Bashrah yang diangkat oleh Khalifah Imam Ali r.a., bernama Utsman bin Hanif, mengirim Abul Aswad Ad Du­aliy guna menemui rombongan.

Abul Aswad bertemu dengan Sitti Aisyah r.a. dan menanyakan maksud perjalanannya. Kepada Abul Aswad, Sitti Aisyah r.a. menjelaskan, bahwa ia datang untuk menuntut balas atas kematian Khalifah Utsman bin Affan. Menanggapi keterangan Sitti Aisyah r.a. itu, Abul Aswad mengatakan, bahwa di Bashrah tidak ada seorang pun yang ikut ambil bagian dalam peristiwa pembunuhan Utsman bin Affan.

Engkau benar, kata Sitti Aisyah r.a. menukas. Tetapi ada orang-orang yang bersama-sama Ali bin Abi Thalib di Madinah. Aku datang untuk mengerahkan penduduk Bashrah supaya bang­kit memerangi dia. Kalau kami bisa marah karena kalian dicambuk oleh Utsman, mengapa kami tak bisa marah terhadap mereka yang mengangkat pedang terhadap Utsman? Menjawab pernyataan Sitti Aisyah r.a. tadi, Abul Aswad berkata: Ibu adalah wanita pingitan Rasul Allah s.a.w. Beliau memerintahkan Ibu supaya tetap tinggal di rumah dan mem­baca Kitab Allah. Tidak ada kewajiban perang bagi wanita. Wanita juga tidak layak menuntut balas atas terbunuhnya seseorang. Bagi Utsman, Ali sebenarnya lebih baik dari pada Ibu. Ia lebih dekat hubungan silaturahminya, karena dua-duanya sama-sama putera keturunan Abdi Manaf. Sitti Aisyah r.a. tak memperdulikan kata-kata Abul Aswad itu.

Ia tetap menyatakan kebulatan tekadnya: Aku tidak akan pergi sebelum melaksanakan maksudku. Hai Abul Aswad, tanya Sitti Aisyah r.a., apakah engkau mengira akan ada orang di Bash­rah ini yang hendak memerangi aku? Demi Allah, kata Abul Aswad, perang yang hendak Ibu ce­tuskan itu akan sangat hebat. Waktu Abul Aswad beranjak hendak meninggalkan tempat, datanglah Zubair bin Al-‘Awwam. Kepadanya Abul Aswad berkata: “Hai Abu Abdullah –nama panggilan Zubair– banyak orang yang menyaksikan, waktu Abu Bakar dahulu dibai’at sebagai Khalifah engkau mengangkat pedangmu sambil berkata: “Tidak ada orang yang lebih afdhal untuk memegang kepempimpinan ummat selain Ali bin Abi Thalib. Bagaimana keadaanmu sekarang dengan pernyataanmu itu?” “Datanglah engkau menemui Thalhah dan dengarkan sendiri apa yang dikatakan olehnya!” kata Zubair, menanggapi perta­nyaan Abul Aswad tadi. Abul Aswad terus pergi menemui Thalhah.

Dari dialog yang berlangsung antara dia dengan Thalhah, Abul Aswad mengetahui, bahwa Thalhah sudah bertekad bulat melancarkan pemberontakan bersenjata. Waktu Sitti Aisyah r.a. mendengar, bahwa pasukan Imam Ali r.a. sudah tiba dekat Bashrah, dari jurusan lain, ia segera menulis surat kepada Zaid bin Shuhan Al-Abdiy: “Dari Aisyah binti Abu Bakar Ash Shiddiq, isteri Nabi s.a.w., kepada ananda yang setia Zaid bin Shuhan. Hendaknya engkau tetap tinggal di rumah. Ce­gahlah orang-orang jangan sampai membantu Ali. Kuharap dapat segera menerima kabar tentang yang kuinginkan darimu. Bagiku, engkau adalah seorang kerabat yang paling dapat dipercaya. Wassalam.”

Menjawab surat Sitti Aisyah r.a. di atas, Zaid bin Shuhan menulis: “Dari Zaid bin Shuhan kepada Aisyah binti Abu Bakar. Sesungguhnya Allah telah memberi perintah kepada Ibu dan kepa­daku. Ibu diperintahkan supaya tetap tinggal di rumah, dan aku diperintahkan supaya berjuang. Surat Ibu sudah kuterima. Ibu me­merintahkan supaya aku menjalankan sesuatu yang berlainan dari pada apa yang diperintahkan Allah kepadaku. Aku akan berbuat se­perti apa yang diperintahkan Allah kepadaku dan hendaknya Ibu pun berbuat seperti yang diperintahkan Allah kepada Ibu. Perintah Ibu tidak dapat kupatuhi, dan surat Ibu tidak akan terja­wab lagi. Wassalam.”

Menurut Abu Bikrah, ketika Asy Syi’biy menceritakan pengalamannya dalam perang “Jamal” (Unta) mengatakan, bahwa waktu Thalhah dan Zubair datang menjumpai Sitti Aisyah, ku­lihat semua perintah dan larangan berada di tangannya. Waktu itu aku segera teringat kepada sebuah hadits yang kudengar berasal dari Rasul Allah s.a.w. yang mengatakan: “Sesuatu kaum tidak akan berhasil jika urusannya dipimpin oleh seorang wanita.”[5] Teringat itu aku cepat-cepat menjauhkan diri. Dalam pepe­rangan tersebut, unta yang bernama “Askar” (yang dikendarai Siti Aisyah r.a.) merupakan lambang satu-satunya bagi pasukan Thal­hah.

Waktu pasukan Thalhah dan pasukan Imam Ali r.a. masing-­masing telah siaga untuk bertempur, Sitti Aisyah r.a. mengucapkan pidato. Pidatonya juga ditujukan kepada pengikut-pengikut Imam Ali r.a.: “…Kita telah bertekad hendak menuntut balas atas kematian Utsman melalui jalan kekerasan. Ia adalah seorang Ami­rul Mukminin, tempat bernaung dan tempat berlindung yang terbaik. Bukankah dulu kalian minta kepadanya supaya ia berse­dia memenuhi keinginan kalian? Hal itu sudah ia penuhi. Tetapi setelah kalian memandangnya sebagai orang yang suci bersih seperti baju yang baru dicuci, kemudian kalian memusuhinya. Lantas kalian berdosa dengan menumpahkan darahnya secara ha­ram. Demi Allah, ia adalah orang yang jauh lebih bersih dan lebih bertaqwa kepada Allah dibanding kalian…!”

Hampir dalam waktu yang bersamaan, Imam Ali r.a. selaku Amirul Mukminin, juga mengucapkan pidato, sambil memberi instruksi-instruksi: “…Janganlah kalian memerangi mereka sebelum mereka menyerang lebih dulu. Alhamdulillah, kalian ber­ada di atas hujjah (alasan) yang benar. Kalian harus berhenti me­merangi mereka jika mereka mengajukan hujjah lain kepada ka­lian. Tetapi jika kalian terpaksa harus berperang, janganlah kalian menganiaya orang-orang yang luka parah.

“Jika kalian berhasil mengalahkan mereka, janganlah kalian mengejar mereka dengan cara-cara yang licik. Janganlah membuka hal-hal yang memalukan mereka dan janganlah sampai mencin­cang orang yang sudah tewas.” “Jika kalian tiba di tempat pemukiman mereka, janganlah kalian melanggar kesopanan, janganlah kalian memasuki rumah, janganlah kalian mengambil hak milik mereka walau sedikit, jangan sekali-sekali menggelisahkan dan mengganggu wanita, wa­lau mereka itu mencaci-maki kalian atau mencerca pemimpin-­pemimpin dan orang-orang shaleh yang ada di tengah-tengah ka­lian. Sebab mereka itu adalah manusia-manusia yang lemah jas­mani, jiwa dan fikiran.

Kita semua telah diperintahkan Allah dan Rasul-Nya supaya membiarkan kaum wanita, sekalipun mereka itu orang-orang musyrik. Jika sampai ada lelaki yang memukul mereka dengan tongkat atau dengan pelepah kurma, lelaki itu sungguh amat tercela dan akan menerima hukuman di kemudian hari…” Sebelum salah satu fihak menyulut api peperangan, Ali bin Abi Thalib r.a. menulis sepucuk surat kepada Thalhah dan Zubair. Isinya sebagai berikut: “Kalian maklum bahwa aku tidak pernah minta dibai’at oleh mereka, tetapi mereka sendirilah yang membai’at diriku. Kalian berdua termasuk orang-orang yang memilih dan membai’a’t diriku. Orang tidak membai’at diriku untuk suatu kekuasaan is­timewa.

Jika kalian membai’atku karena terpaksa, aku mempu­nyai alasan untuk bertindak terhadap kalian, sebab kalian berpura-pura taat, tetapi sebenarnya menyembunyikan rasa per­musuhan. Namun jika kalian membai’atku benar-benar karena taat, hendaklah kalian segera kembali ke jalan Allah.” “Hai Zubair, engkau dahulu adalah seorang pasukan berkuda Rasul Allah s.a.w. dan pembela beliau. Dan engkau hai Thalhah, engkau adalah salah seorang kami-tua kaum Muhajirin. Seandai­nya dulu kalian tidak mau membai’atku, itu akan lebih mudah bagi kalian untuk keluar dari bai’at yang sudah kalian ikrarkan sendiri. “Kalian menuduh aku telah membunuh Utsman.

Padahal aku, kalian dan penduduk Madinah semua mengetahui apa yang sebenarnya telah terjadi. Kalian menuduh aku melindungi para pembunuh Utsman. Padahal anak-anak Utsman sendiri semua­nya menyatakan taat kepadaku dan mengadukan orang-orang yang membunuh ayah mereka kepadaku. Tetapi kalau ternyata Utsman memang mati terbunuh karena madzlum atau dzalim, misalnya, lantas kalian berdua mau apa?! Kalian berdua telah mengikrarkan bai’at kepadaku, tetapi sekarang kalian melakukan dua perbuatan yang amat tercela: menciderai bai’at kalian sendiri dan menghasut Ummul Mukminin hingga meninggalkan rumah.”

Sedang kepada Ummul Mukminin, Sitti Aisyah r.a., Imam Ali r.a. mengirim sepucuk surat. Isinya antara lain: “Bunda telah keluar meninggalkan rumah dengan perasaan marah demi Allah dan Rasul-Nya.

Bunda menuntut suatu perso­alan yang bukan menjadi urusan Bunda. Apa urusan kaum wanita dengan peperangan atau pertempuran? Bunda menuntut balas atas kematian Utsman, demi Allah, orang-orang yang menghadap­kan Bunda kepada marabahaya serta menghasut Bunda supaya berbuat pelanggaran, jauh lebih besar dosanya terhadap diri Bun­da dibanding dengan pembunuh-pembunuh Utsman bin Affan. Aku tidak marah jika Bunda tidak marah, dan aku tidak mem­buat kegoncangan jika Bunda tidak membuat kegoncangan. Ku­harap supaya Bunda tetap bertaqwa kepada Allah dan pulang kembali ke rumah Bunda.”

Sebagai jawaban terhadap surat Imam Ali r.a., Thalhah dan Zubair menulis: “Engkau telah menempuh jalan seperti yang kau tempuh sepeninggal Utsman sekarang ini; dan engkau tidak akan kembali lagi selama engkau merasa perlu menempuh jalan yang sedang kautempuh. Jalankanlah apa yang menjadi kemauanmu. Engkau tidak akan merasa puas selama kami belum taat, dan kami tidak akan taat kepadamu untuk selama-lamanya. Lakukanlah apa saja yang hendak kau perbuat.”

Sedangkan Ummul Mukminin, Sitti Aisyah r.a. hanya me­nulis jawaban singkat: “Persoalannya sudah jelas. Engkau tidak per­lu menyalahkan lagi. Wassalam.”

bersambung..

[1]Peristiwa fitnahan terhadap Sitti Aisyah r.a.

[2]Surah An-Nur: 11-19.

[3]Haudaj – semacam rumah-rumahan untuk berteduh yang dipasang di atas punggung unta.

[4]Jilal sama artinya dengan tijfaf. Yaitu perisai berupa pakaian unta da­lam peperangan, guna melindungi tubuhnya dari panah, tombak dsb.

[5]Menurut sumber lain, hadits itu berbunyi: “Sepeninggalku akan ada suatu kaum yang muncul dalam bentuk golongan dikepalai oleh se­orang wanita. Mereka tidak akan berhasil selama-lamanya.

https://tausyah.wordpress.com

Komentar
  1. […] Dengan sepenuh hati ia membela mereka yang menuntut balas atas kesyahidan khalifah yang ketiga. Di dalam Perang Unta, suatu pertempuran melawan Ali, khalifah yang keempat, pasukan Aisyah kalah dan ia terus mundur ke Medina di bawah perlindungan […]

    Suka

  2. […] Ibnu Qayyim berkata, “Abu Abdullah Muhammad bin Zubair Al-Haiany bercerita pada kami, bahwa suatu hari selepas Ashar ia keluar rumah untuk berjalan-jalan di taman. Menjelang matahari tergelincir, ia meratakan sebuah kuburan. Tiba-tiba ia melihat sebuah bola api yang telah menjadi bara dan di tengahnya ada mayat. Dia usap-usap matanya seraya bertanya pada dirinya, apakah hal ini mimpi atau kenyataan. Setelah melihat dinding-dinding kota Madinah, ia baru sadar bahwa hal ini suatu kenyataan. […]

    Suka

  3. […] Tertentu Tempatnya..Di Syurgakah Ataukah Di Neraka..!! « Tausiyah In Tilawatun Islamiyah pada Terjadinya Perang Saudara Melawan Amirul Mukminin Imam Ali Bin Abu Thalib Dibawah Pimpinan Ummul Muk…Wahai Hamba Hamba ALLAH..Takutlah Kamu Akan Buruknya Su’ul Khotimah, Sedang Tiap-Tiap Manusia […]

    Suka

  4. […] di sini: dalam ayat tersebut Allah telah menyebut tentang gerakan gunung sebagaimana mengapungnya perjalanan awan. (Kini, Ilmuwan modern juga menggunakan istilah “continental drift” atau […]

    Suka

  5. […] di sini: dalam ayat tersebut Allah telah menyebut tentang gerakan gunung sebagaimana mengapungnya perjalanan awan. (Kini, Ilmuwan modern juga menggunakan istilah “continental drift” atau […]

    Suka

  6. […] bersabda: Berhentilah engkau dari menangis! Sesungguhnya karena tangismu, penjaga Arasy lupa dari bacaan tasbih dan tahmidnya, sehingga la bergoncang. Katakan kepada temanmu itu, bahwa ALLAH  tidak  […]

    Suka

  7. […]  dokter memutuskan untuk mengamputasi kakinya, dan ia telah bersabar dengan apa yang ditetapkan Allah  baginya  …  tapi  beberapa  hari  setelah  operasi […]

    Suka

  8. […] ketika Tuhanmu mengeluarkan keturunan anak-anak Adam dari sulbi mereka dan Allah mengambil kesaksian terhadap jiwa mereka (seraya berfirman) “Bukankah Aku ini Tuhanmu?” mereka menjawab, “Betul […]

    Suka

  9. […] bersabda: Berhentilah engkau dari menangis! Sesungguhnya karena tangismu, penjaga Arasy lupa dari bacaan tasbih dan tahmidnya, sehingga la bergoncang. Katakan kepada temanmu itu, bahwa ALLAH  tidak  […]

    Suka

  10. […] dan usus besar merupakan organ yang saling berpasangan. Usus besar merupakan pengatur panas dalam perut. Jantung termasuk organ yang memiliki sifat panas. Apabila jantung memiliki sifat panas yang […]

    Suka

  11. […] dan usus besar merupakan organ yang saling berpasangan. Usus besar merupakan pengatur panas dalam perut. Jantung termasuk organ yang memiliki sifat panas. Apabila jantung memiliki sifat panas yang […]

    Suka

  12. […] dan usus besar merupakan organ yang saling berpasangan. Usus besar merupakan pengatur panas dalam perut. Jantung termasuk organ yang memiliki sifat panas. Apabila jantung memiliki sifat panas yang […]

    Suka

  13. […] ketika Tuhanmu mengeluarkan keturunan anak-anak Adam dari sulbi mereka dan Allah mengambil kesaksian terhadap jiwa mereka (seraya berfirman) “Bukankah Aku ini Tuhanmu?” mereka menjawab, “Betul […]

    Suka

Tinggalkan komentar