Wafatnya Rasulullah Shallallahu Alaihi Wassallam Dan Pembaringan Beliau Yang Terakhir

Posted: 2 Agustus 2010 in Tausiyah
Tag:, ,

sambungan dari kisah sebelumnya..

Akan tetapi kondisi kesehatan beliau yang seperti itu ter­nyata hanya semu belaka. Beberapa saat kemudian penyakitnya berubah menjadi gawat kembali. Detik-detik terakhir hayatnya tiba dikala beliau berbaring di pangkuan isterinya, Sitti Aisyah r.a.

Agak lain dari itu, menurut Imam Ahmad bin Hanbal da­lam Masnadnya jilid II, halaman 300, dan menurut At-Thabariy dalam Dzakha’irul’Uqba’ halaman 73, beliau wafat di atas pang­kuan Imam Ali r.a. Ucapan terakhir yang keluar pada detik ke­mangkatan beliau ialah “Ar Rafiqul A’laa. minal jannah…”

Ada yang mengatakan beliau wafat pada bagian akhir bulan shafar tahun 11 hijriyah. Ada pula sejarawan yang menyebut per­mulaan Rabi’ul Awwal sebagai hari wafat beliau. Kaum Syi’ah, misalnya, mengatakan bahwa beliau wafat dua hari terakhir bulan shafar. Tetapi banyak penulis sejarah lainnya mengatakan pada permulaan bulan Rabi’ul Awwal tahun 11 Hijriyah, atau tanggal 8 Juni tahun 632 Masehi.

Tentang hari dan tanggal wafatnya Rasul Allah s.a.w. bukan­lah suatu masalah yang perlu dipersoalkan. Yang penting dan yang sangat perlu ditekankan, bahwa pada saat-saat terakhir hayat­nya, beliau tidak mengatakan siapa yang akan meneruskan ke­pemimpinan atas ummatnya. Hal ini di belakang hari akan menjadi titik perbedaan pendapat tentang kepemimpinan ummat di ka­langan kaum muslimin.

Rasul Allah s.a.w pulang keharibaan Allah Rabbul’alamin ha­nya meninggalkan Kitab Allah yang berisi firman-firman-Nya, dan ajaran serta tauladan beliau yang kemudian dikenal sebagai Sunnah Rasul Allah s.a.w. Beliau mangkat meninggalkan Islam se­bagai buah risalah suci dalam keadaan lengkap dan sempurna, yang kehadirannya di permukaan bumi akan melahirkan perada­ban baru dalam kehidupan manusia.

Nabi Muhammad s.a.w. wafat meninggalkan keluarga dan para sahabat, yang ketangguhan Iman dan kesetiaannya kepada Islam bisa diandalkan untuk menjamin kelestarian agama Allah dan mengembang-luaskan manusia pemeluknya. Kebenaran telah tiba dan kebatilan pasti lenyap. Itulah motto perjuangan ummat Islam yang mau tidak mau harus diperhitungkan oleh kekuatan-­kekuatan kuffar di Barat dan kekuatan-kekuatan musyrikin di Timur.

Kemangkatan Rasul Allah s.a.w. merupakan peristiwa yang tidak diduga akan secepat itu. Kejadian yang terasa sangat menge­jutkan itu, mengakibatkan banyak kaum muslimin terombang-­ambing antara percaya dan tidak. Bahkan sahabat terdekat beliau sendiri, yaitu Umar Ibnul Khattab r.a. masih juga tidak mau percaya mendengar berita tentang wafatnya Rasul Allah s.a.w. Hingga saat ia sendiri menyaksikan jenazah suci terbaring di rumah Sitti Aisyah r.a., masih tetap berseru kepada semua orang: “Rasul Allah tidak wafat! Beliau hanya menghilang dan akan kembali lagi!”

Umar Ibnul Khattab r.a. tetap membantah, bahkan mengan­cam-ancam setiap orang yang mengatakan bahwa Rasul Allah telah wafat. Apa yang diperlihatkan oleh Umar Ibnul Khattab r.a. itu hanya menunjukkan betapa hebatnya goncangan kaum musli­min mendengar berita tentang wafatnya Nabi Muhammad s.a.w.

Seorang sahabat lainnya, Al-Mughirah, berusaha meyakinkan Umar r.a. bahwa Rasul Allah s.a.w. benar-benar wafat. Dengan ge­ram Umar r.a. menuduhnya sebagai pembohong. Umar r.a. menja­wab: “Beliau hanya pergi menghadap Allah, sama seperti Musa bin Imran yang menghilang dari tengah-tengah kaumnya selama 40 hari dan akhirnya kembali lagi kepada mereka.”

Banyak orang yang dituduh oleh Umar r.a. sebagai munafik, hanya karena memberitakan kemangkatan Rasul Allah s.a:w. Ke­pada orang-orang yang sedang berkerumun di masjid Nabawi, Umar r.a. meneriakkan ancaman: “Barang siapa berani mengata­kan Rasul Allah telah wafat, akan kupotong kaki dan tangan­nya!” Ancaman Umar r.a. yang seperti itu cukup menambah bingungnya kaum muslimnin yang sedang dirundung duka cita.

Abu Bakar r.a. yang baru saja datang dari Sunh, ketika men­dengar Umar r.a. melontarkan kata-kata sekeras itu, berusaha meyakinkan dengan mensitir ayat 144 Surah Ali Imran, yang da­lam bahasa Indonesianya: “Muhammad itu tiada lain hanya se­orang Rasul, sesungguhnya telah berlalu sebelumnya beberapa orang Rasul. Apakah jika dia wafat atau terbunuh kamu berbalik ke belakang? Barangsiapa yang berbalik ke belakang ia tak dapat mendatangkan mudharat kepada Allah sedikit pun; dan Allah akan memberikan balasan kepada orang-orang yang bersyukur.”

Mendengar itu sadarlah Umar Ibnul Khattab atas kekhilaf­annya.

Pemakaman

Pada saat wafatnya Rasul Allah s.a.w. Imam Ali r.a. adalah orang pertama yang segera turun tangan untuk merawat dan mem­persiapkan pemakaman jenazah manusia terbesar di dunia, yang paling dicintai dan dikaguminya. Untuk pertama kali kaum mus­limin menghadapi cara pemakaman jenazah orang yang paling mereka hormati dan mereka cintai sebagai pemimpin agung.

Seorang manusia pilihan Allah, Nabi dan Rasul-Nya. Seorang besar yang tak akan pernah ada bandingannya dalam sejarah. Seorang arif bijaksana yang telah berhasil mengubah tata-kehi­dupan bangsanya. Seorang yang telah menunjukkan kesanggup­an merombak secara menyeluruh nilai-nilai lama dan menggan­tinya dengan nilai-nilai baru yang mulia dan luhur, yaitu Islam. Seorang manusia agung yang jauh lebih mulia dibanding dengan kepala-kepala qabilah, pemimpin-pemimpin golongan, bahkan raja-raja sekalipun. Seorang yang hanya dalam waktu kurang lebih dua dasawarsa sanggup mengubah wajah dunia Arab dan mengang­kat derajat satu bangsa yang tadinya dipandang rendah menja­di sangat disegani oleh kekutan-kekuatan raksasa seperti Romawi dan Persia. Jauh lebih besar lagi, karena Nabi Muhammad s.a.w. datang ke tengah-tengah ummat manusia membawa agama besar untuk menegakkan kebenaran dan keadilan di permukaan bumi.

Tata-cara yang direncanakan untuk memakamkan jenazah suci itu ternyata banyak menimbulkan perbedaan pendapat di kalangan kaum muslimin, terutama mengenai problema: siapa yang berhak memandikan, siapa yang berhak menurunkan ke liang lahad dan lain sebagainya.

Tentang di mana jenazah suci akan dikebumikan juga me­nimbulkan perbedaan pendapat di kalangan para sahabat. Sebagian menuntut supaya jenazah Rasul Allah s.a.w. dimakamkan di Mak­kah. Sebagai alasan dikatakan, di kota itulah beliau dilahirkan. Sebagian lain menuntut supaya jenazah beliau dimakamkan di Ma­dinah, di pemakaman Buqai’, dengan alasan agar beliau bersema­yam bersama-sama pahlawan syahid yang gugur dalam perang Uhud. Akhirnya perbedaan pendapat ini dapat disudahi, setelah Abu Bakar r.a. mengumumkan, bahwa ia mendengar sendiri pene­gasan Rasul Allah s.a.w.: “Semua Nabi dimakamkan di tempat mereka wafat”. Berdasarkan itu bulatlah mereka memakamkan jenazah Nabi Muhammad s.a.w. di rumah beliau di Madinah.

Tentang masalah siapa yang akan mengimami shalat jenazah secara berjama’ah juga terdapat pertikaian. Pertikaian itu ter­jadi karena hal itu dipandang suatu kehormatan yang sangat tinggi bagi seorang yang bertindak selaku Imam shalat jenazah bagi manusia agung seperti Nabi Muhammad s.a.w. Karena tidak tercapai kesepakatan, akhirnya tiap orang melakukan shalat je­nazah sendiri-sendiri. Sementara itu terdapat riwayat lain yang mengatakan, bahwa di kala itu Imam Ali r.a. mengusulkan shalat jenazah secara berjema’ah. Usul tersebut diterima oleh kaum muslimin, bahkan disepakati ia bertindak sebagai imam.

Begitu pula, tentang siapa yang akan mendapat kehormatan menurunkan jenazah suci ke liang lahad. Abbas bin Abdul Mut­thalib, paman Rasul Allah s.a.w. mengusulkan supaya Abu Ubai­dah bin Al Jarrah saja yang menurunkan ke liang lahad. Seba­gai alasan dikemukakan, bahwa dia sudah biasa menggali lahad dan mengembumikan orang-orang Makkah. Imam Ali r.a. ber­pendirian lain. Ia mengusulkan agar Abu Thalhah Al-Anshariy saja yang turun ke liang lahad. Alasannya senada dengan paman Rasul Allah s.a.w. di atas, hanya kotanya lain: “Ia sudah biasa menggali lahad dan memakamkan orang-orang Madinah.”

Setelah melalui pertukaran pendapat beberapa lamanya, a­khirnya terdapat saling pengertian dan Abu Thalhah mendapat ke­hormatan menggali liang lahad. Kemudian timbul pula problema baru. Siapa yang akan menyertai Abu Thalhah dalam melaksana­kan tugas terhormat itu?

Problema-problema seperti di atas timbul, karena tidak ada seorang pun yang diakui otoritasnya untuk mengatur dan menentu­kan tata-cara pemakaman. Juga karena tidak ada wasiyat apa pun dari Rasul Allah s.a.w. tentang sesuatu yang perlu dilakukan kaum muslimin pada saat beliau wafat. Soal-soal yang bagi orang zaman sekarang dianggap kurang penting, pada masa itu benar-benar dipandang sebagai satu soal yang besar. Lebih-lebih karena yang dihadapi kaum muslimin ialah jenazah Rasul Allah s.a.w. Hal itu wajar. Rasanya tidak ada kehormatan yang lebih tinggi dari pada memperoleh kesempatan memberikan pelayanan terakhir kepada jenazah suci itu.

Akhirnya Imam Ali r.a. dengan terus terang dan tegas ber­kata: “Tidak ada orang yang boleh turun ke liang lahad bersama Abu Thalhah selain aku sendiri dan Abbas.”

Sungguh pun sudah ada ketegasan seperti itu dari Imam Ali r.a., namun dalam praktek ia membolehkan juga Al-Fadhl bin Abbas dan Usamah bin Zaid turun ke liang lahad. Hal itu menimbulkan rasa kurang enak di kalangan kaum Anshar. Mereka menuntut­ agar ada seorang dari kaum Anshar yang ikut. Tuntutan yang adil itu akhirnya disepakati dan ditunjuklah orangnya, Aus bin Khau­liy. Aus dulu pernah ikut aktif dalam perang Badr melawan kaum musyrikin Qureiys.

Dalam semua kegiatan membenahi pemakaman jenazah Rasul Allah s.a.w., Imam Ali r.a. benar-benar memainkan peranan yang sangat dominan. Bahkan waktu memandikan jenazah beliau, Imam Ali r.a.lah satu-satunya orang yang menjamah jasad manusia agung itu. Hal itu dimungkinkan karena sebelumnya banyak orang yang sudah mendengar, bahwa Rasul Allah s.a.w. sendiri pernah menyatakan, hanya Imam Ali r.a. saja yang boleh melihat aurat beliau.

Kesan Imam Ali r.a. yang sangat mendalam dan selalu terke­nang dari peristiwa memandikan jenazah suci itu ialah: “…kuba­likkan sedikit saja, jasad beliau sudah menurut. Sama sekali tidak kurasakan berat. Seolah-olah ada tangan lain yang membantuku, bukan lain pasti tangan Malaikat.”

Riwayat lain mengatakan, bahwa yang memandikan jenazah Rasul Allah s.a.w. bukan hanya Imam Ali r.a., tetapi juga Abbas bin Abdul Mutthalib serta dibantu oleh dua orang puteranya yang bernama Al-Fadhl dan Qutsam, di samping Usamah bin Zaid. Usa­mah bin Zaid dan Syukran, yang sampai saat terakhir menjadi pembantu Rasul Allah s.a.w., dua-duanya menuangkan air. Jasad jenazah suci dimandikan tetap dalam mengenakan pakaian. Di saat memandikan Imam Ali r.a. tertegun oleh keharuman bau semerbak dan sambil bergumam mengucapkan: “Demi Allah, alangkah ha­rumnya engkau di waktu hidup dan setelah meninggal!”

Sementara riwayat mengatakan pula, hahwa pemakaman je­nazah suci itu dilakukan pada malam hari di bawah cahaya gemer­lapan bintang-bintang di langit hening. Di tengah keheningan ma­lam itu terdengar detak-denting suara orang menggali lahad, ber­campur suara saling berbisik, seolah-olah jangan sampai mengusik ketenangan jenazah agung yang sedang menuju ke pembaringan terakhir. Tidak jauh dari tempat pamakaman terdengar suara haru para wanita tertahan mengendap-endap rintihan duka. Innaa Lil­lahi wa innaa ilaihi raaji’uun…

[1]Yang dimaksud ialah bahwa beliau akan menyuruh orang menuliskan wasiyat. Beliau s.a.w. adalah seorang ummiy (tak dapat menulis dan membaca).

Disadur dari buku :

Sejarah Hidup Imam Ali bin Abi Thalib r.a.
Oleh H.M.H. Al Hamid Al Husaini
Penerbit: Lembaga Penyelidikan Islam


https://tausyah.wordpress.com

Komentar
  1. […] Wafatnya Rasulullah Shallallahu Alaihi Wassallam Dan Pembaringan Beliau Yang Terakhir […]

    Suka

  2. […] Wafatnya Rasulullah Shallallahu Alaihi Wassallam Dan Pembaringan Beliau Yang Terakhir […]

    Suka

  3. […] sedangkan ‘Isa as menghancurkan Dajjal. Dan ia berada di muka bumi selama 40 tahun, kemudian wafat dan kaum muslimin mensholatkannya.” [HR. Abu […]

    Suka

  4. […] kekhalifahan. Tetapi sebagai seorang zahid tidak mau mengingkari keutamaan Abu Bakar r.a. Sewaktu menyatakan belasungkawa atas wafatnya Abu Bakar r.a sambil menyeka air mata, Imam Ali r.a. […]

    Suka

  5. […] wilayah Daulah Islamiyah sekitar 274 mil persegi (kota Madinah), maka sepuluh tahun kemudian-ketika Rasulullah saw. menghadap Tuhannya-luas wilayah Daulah mencapai lebih dari 1.000.000 mil […]

    Suka

  6. […] juga menolong ahlu hadits untuk dapat berpegang teguh dengan sistem kehidupan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dan berpegang teguh dengan sunnah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Maka Allah-pun […]

    Suka

  7. […] Hadits menetapkan kekhalifahan Abu Bakar radhiallahu ‘anhu setelah wafatnya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berdasarkan pemilihan, kesepakatan dan pendapat mereka yang […]

    Suka

  8. […] ke rumah sakit. Namun kehendak Allah berada di atas segalanya, beberapa saat kemudian si pemuda pun meninggal dunia. Sementara telepon si penjahit berdering menanyakan tentang pemuda itu. Si penjahit mengabarkan […]

    Suka

  9. […] juga menolong ahlu hadits untuk dapat berpegang teguh dengan sistem kehidupan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dan berpegang teguh dengan sunnah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Maka Allah-pun […]

    Suka

  10. […] yang lama. Pernikahannya itu berlangsung 1lanya sepuluh tahun saja. Tahun 11 Hijrah, 632 Masehi, Nabi wafat dan dimakamkan di kamar yang dihuni Aisyah. Nahi digantikan oleh seorang sahabat yang setia, Abu Bakar, sebagai […]

    Suka

  11. […] Dia berfirman, `Wahai Muhammad, sesungguhnya kelima shalat itu dilaksanakan setiap sehari semalam. Setiap shalat dihitung sepuluh […]

    Suka

  12. […] Komentar Terakhir Kisah Perjalanan Isra’ Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam Bertemu Para Nabi Di Setiap Lapisan langit Serta Menjumpai ALLAH Untuk Wahyu Perintah Shalat 5 Waktu « Tausiyah In Tilawatun Islamiyah pada Adam Tidak Tinggal di SyurgaKisah Perjalanan Isra’ Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam Bertemu Para Nabi Di Setiap Lapisan langit Serta Menjumpai ALLAH Untuk Wahyu Perintah Shalat 5 Waktu « Tausiyah In Tilawatun Islamiyah pada Silsilah Hidup Nabi Muhammad Shallallahu Alaihi WassallamKisah Perjalanan Isra’ Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam Bertemu Para Nabi Di Setiap Lapisan langit Serta Menjumpai ALLAH Untuk Wahyu Perintah Shalat 5 Waktu « Tausiyah In Tilawatun Islamiyah pada Wafatnya Rasulullah Shallallahu Alaihi Wassallam Dan Pembaringan Beliau Yang Terakhir […]

    Suka

  13. […] Ketika Rasulullah S.A.W memanggil kaum Muslimin yang mampu berperang untuk terjun ke gelanggang perang Badar, terjadi dialog menarik antara Saad bin Khaitsamah dengan ayahnya yakni Khaitsamah. Dalam masa-masa itu panggilan seperti itu tidak terlalu mengherankan. […]

    Suka

  14. […] dan kemudian Nabi membisikkan sesuatu lagi yang membuat  Fatimah tersenyum.    Setelah  nabi wafat, Fatima menceritakan kejadian itu kepada Aisyah. Ayahnya membisikkan berita kematianya, itulah yang […]

    Suka

  15. […] dan kemudian Nabi membisikkan sesuatu lagi yang membuat  Fatimah tersenyum.    Setelah  nabi wafat, Fatima menceritakan kejadian itu kepada Aisyah. Ayahnya membisikkan berita kematianya, itulah yang […]

    Suka

  16. […] dan kemudian Nabi membisikkan sesuatu lagi yang membuat  Fatimah tersenyum.    Setelah  nabi wafat, Fatima menceritakan kejadian itu kepada Aisyah. Ayahnya membisikkan berita kematianya, itulah yang […]

    Suka

  17. […] Tiongkok kepada Nabi Saw, tetapi kedatangannya ke Madinah ternyata terlambat sebulan dari saat wafatnya Nabi, selanjutnya Abu Kasbah kembali ke Tiongkok dan meninggal […]

    Suka

  18. […] SAW menjawab : “Tiada kesusahan atas Ayahanda sesudah hari ini.” Tatkala ayahandanya wafat, Fatimah berkata : “Wahai, Ayah, dia telah memenuhi panggilan Tuhannya. Wahai, Ayah, di surga […]

    Suka

  19. […] SAW menjawab : “Tiada kesusahan atas Ayahanda sesudah hari ini.” Tatkala ayahandanya wafat, Fatimah berkata : “Wahai, Ayah, dia telah memenuhi panggilan Tuhannya. Wahai, Ayah, di surga […]

    Suka

  20. […] orang yang bernama Muhammad. Rasulullah SAW melakukannya hingga menjelang Beliau SAW wafat. Setelah kewafatan Rasulullah tidak ada lagi orang yang membawakan makanan setiap pagi kepada pengemis Yahudi buta […]

    Suka

  21. […] S.A.W, dan beliau pun bertanya seperti kemarin. Dan setelah mendapat jawapan yang sama, sekali lagi Rasulullah menegaskan : “Pencuri itu bohong, dan nanti malam ia akan kembali […]

    Suka

  22. […] buruk di mana segala dinding rumahnya telah habis runtuh. Semasa dia memandang keadaan sekeliling rumahnya, dia ternampak seorang perempuan tua, lantas dia pun bertanya, […]

    Suka

  23. […] dan kemudian Nabi membisikkan sesuatu lagi yang membuat  Fatimah tersenyum.    Setelah  nabi wafat, Fatima menceritakan kejadian itu kepada Aisyah. Ayahnya membisikkan berita kematianya, itulah yang […]

    Suka

  24. […] adalah terlebih banyak untuk engkau kumpulkan. Dan merugilah bagi yang berniat bertaubat di masa tuanya, sedang ia tiada beroleh amalan yang banyak melainkan masa mudanya yang tersiakan karena perdaya […]

    Suka

  25. […] SAW menjawab : “Tiada kesusahan atas Ayahanda sesudah hari ini.” Tatkala ayahandanya wafat, Fatimah berkata : “Wahai, Ayah, dia telah memenuhi panggilan Tuhannya. Wahai, Ayah, di surga […]

    Suka

  26. […] SAW menjawab : “Tiada kesusahan atas Ayahanda sesudah hari ini.” Tatkala ayahandanya wafat, Fatimah berkata : “Wahai, Ayah, dia telah memenuhi panggilan Tuhannya. Wahai, Ayah, di surga […]

    Suka

  27. […] SAW menjawab : “Tiada kesusahan atas Ayahanda sesudah hari ini.” Tatkala ayahandanya wafat, Fatimah berkata : “Wahai, Ayah, dia telah memenuhi panggilan Tuhannya. Wahai, Ayah, di surga […]

    Suka

  28. […] menimbulkan gangguan pada jantung dan hati, sedangkan kemunduran energi panas ginjal mengganggu fungsi-fungsi limpa kecil dan […]

    Suka

  29. […] Gejala-gejala kemunduran energi panas secara signifikan berkaitan dengan kehilangan energi atau panas. Serupa dengan kemunduran energi dingin ginjal, ada dengungan pada telinga, pusing, dan rasa sakit di punggung bawah. Namun rasa sakit ini ditandai dengan rasa dingin, lemah, dan lesu yang sangat. Biasanya kemunduran energi dingin ginjal menimbulkan gangguan pada jantung dan hati, sedangkan kemunduran energi panas ginjal mengganggu fungsi-fungsi limpa kecil dan paru-paru. […]

    Suka

  30. […] kekhalifahan. Tetapi sebagai seorang zahid tidak mau mengingkari keutamaan Abu Bakar r.a. Sewaktu menyatakan belasungkawa atas wafatnya Abu Bakar r.a sambil menyeka air mata, Imam Ali r.a. […]

    Suka

  31. […] adalah terlebih banyak untuk engkau kumpulkan. Dan merugilah bagi yang berniat bertaubat di masa tuanya, sedang ia tiada beroleh amalan yang banyak melainkan masa mudanya yang tersiakan karena perdaya […]

    Suka