Tatswib

Posted: 2 Juni 2010 in Fiqih & Fatwa
Tag:

Makna Tatswib

Tatswib adalah ucapan muadzin ash shalatu khairun minan naum pada adzan fajar, sebagaimana yang dinyatakan oleh Ibnul Mubarak, Ahmad, dan dibenarkan oleh Imam At Tirmidzi. (Al Jami’ush Shahih 1/381)

Adzan pertama yang dikumandangkan sebelum masuk waktu Shubuh disyariatkan dengan dalil :

“Sesungguhnya Bilal adzan di malam hari, maka makan dan minumlah sampai Ibnu Ummi Maktum adzan.” (Hadits ini diriwayatkan oleh beberapa ulama hadits dengan berlainan lafadh tetapi satu makna, seperti Bukhari, Muslim, At Tirmidzi, An Nasa’i, Asy Syafi’i, Ad Darimi, Al Baihaqi, Ibnul Jarud, Ath Thabari, dan lain-lain. Pada intinya hadits ini menunjukkan adanya adzan di malam hari sebelum masuk waktu Shubuh.)

Termasuk Sunnah adzan pertama adalah penambahan lafadh ash shalatu khairun minan naum setelah mengucapkan hayya ‘alal falah. (Ungkapan ini dinyatakan oleh Anas radhiallahu ‘anhu yang diriwayatkan oleh Baihaqi, Daruquthni, Ibnu Khuzaimah, dan sanadnya dishahihkan oleh Al Ya’mar. (Lihat Sunan Al Kubra 1/435))

Ucapan ini sesuai juga dengan hadits Abu Mahdzurah berbunyi :

“Apabila kamu adzan awal dari (waktu) Shubuh, maka ucapkanlah ash shalatu khairun minan naum 2 kali.” (HR. Abu Daud, An Nasa’i, Ath Thahawi, Ibnu Khuzaimah dan dishahihkan oleh beliau serta oleh Syaikh Al Albani di dalam Shahih Sunan Abu Daud 515-516)

Sedangkan riwayat Nasa’i tentang tatswib dishahihkan oleh Ibnu Hazm sebagaimana dinukil oleh Ibnu Hajar dalam Talkhishul Habir 1/362 dan Syaikh Al Albani di dalam Shahih Nasa’i 627 yang maknanya :

Dari Abu Mahdzurah, dia berkata : “Aku adzan bagi Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam dan aku mengucapkan dalam adzan fajar yang pertama sesudah hayya ‘alal falah, ash shalatu khairun minan naum dua kali.”

Sedangkan hadits Ibnu Umar mengatakan :

“Pada adzan awal sesudah hayya ‘alal falah diucapkan ash shalatu khairun minan naum dua kali.”

( Hadits ini dikeluarkan oleh Abdurrazaq di dalam Al Mushannaf 1/473, Ibnu Abi Syaibah di dalam Al Mushannaf 1/208, Al Baihaqi di dalam As Sunan Al Kubra (1/423), Ath Thahawi di dalam Syarh Ma’anil Atsar (1/137), As Siraj, dan Ath Thabrani dan sanadnya hasan sebagaimana yang dikatakan oleh Al Hafidh Ibnu Hajar Al Asqalani di dalam At Talkhishul Habir 1/361 dan Al Ya’mar berkata : “Sanadnya shahih.”)

Dua hadits di atas sebagai taqyid (pembatas) bagi riwayat-riwayat yang mutlak, di antaranya :

“Ya Rasulullah, ajarilah aku Sunnah adzan.” Maka beliau pun mengajarinya dengan sabdanya : “Jika shalat Shubuh, hendaklah engkau ucapkan ash shalatu khairun minan naum, ash shalatu khairun minan naum.” (HR. Ahmad dan Abu Daud)

Pernyataan ini telah diungkapkan oleh Ash Shan’ani di dalam kitab Subulus Salam 1/167-168 ketika mengomentari hadits Nasa’i.

Bantahan Terhadap Nadwah

Pertama, Nadwah Al Muslimun mendlaifkan hadits-hadits di atas yang merupakan taqyid (pembatas) bagi hadits-hadits yang bersifat mutlak dengan alasan mereka bahwasanya pada riwayat An Nasa’i terdapat perawi bernama Abu Salman yang hanya dipakai oleh An Nasa’i. Ulama hadits tidak memberikan penilaian tentang perawi ini karena memang ia tidak dikenal (!). Ini yang dikatakan mereka.

Maka saya katakan bahwa Nadwah terlalu ceroboh dalam permasalahan ini. Abu Salman dinamakan juga Hammam, meriwayatkan hadits dari Ali bin Abi Thalib dan Abu Mahdzurah Al Jumahi, yang meriwayatkan darinya Al ‘Ala’ bin Shalih Al Kufi dan Abu Ja’far Al Farra’. Rawi ini (Abu Salman) bukan hanya dipakai oleh An Nasa’i melainkan juga oleh Imam Ahmad di dalam Musnad-nya (3/408) dengan lafadh yang artinya :

“Aku adzan di jaman Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam pada shalat Shubuh, maka apabila aku mengucapkan hayya ‘alal falah, aku ucapkan ash shalatu khairun minan naum 2 kali pada adzan pertama.”

Dengan ini berarti apa yang ditulis dalam Majalah Al Muslimun (Nadwah) keliru bahwa rawi ini hanya dipakai oleh An Nasa’i saja.

Kemudian yang meriwayatkan (mengambil riwayat) dari Abi Salman adalah Abu Ja’far Al Farra’. Yahya bin Ma’in, Abu Daud, Adz Dzahabi, dan Ibnu Hajar berkata tentangnya (Abu Ja’far) bahwa dia tsiqat (terpecaya). Ibnu Hibban memasukkannya ke dalam Ats Tsiqat. Imam Al Bukhari di dalam Al Adab serta Nasa’i juga meriwayatkan darinya.

Demikian pula Imam Muslim dan ulama Ahli Hadits yang lain menyebutkan bahwa yang meriwayatkan dari Salman adalah Abu Ja’far Al Farra’. (Tahdzibul Kamal 31/197-199)

Dengan demikian orang yang meriwayatkan dari Abu Salman adalah seorang rawi yang sangat tsiqat. Bila rawi yang tsiqat mengambil riwayat dari seorang rawi yang lain, maka hal ini sebagai ta’dil/tazkiyah bagi orang yang diambil riwayatnya. Lebih-lebih Abu Salman telah di-ta’dil oleh Ibnu Hajar Al Asqalani dengan ungkapannya bahwa dia maqbul (diterima riwayatnya). Hal ini menunjukkan tidak majhul-nya Abu Salman. Sebagaimana dinyatakan pula oleh Al Khatib Al Baghdadi dan selainnya bahwa kemajhulan seorang rawi akan terangkat manakala ada ulama yang mengenalnya atau dengan riwayat-riwayat dari dua rawi yang adil. Beliau juga menambahkan bahwa Ibnu Hibban dan lainnya berpendapat : “Rawi dapat dihukumi adil walaupun hanya dengan keadaan ini.” (Ba’itsul Hatsis halaman 92-93)

Ucapan beliau sangat cocok dengan keadaan Abu Salman. Sesungguhnya yang meriwayatkan dari Abu Salman adalah dua rawi yang adil yaitu Al ‘Ala’ bin Shalih Al Kufi dan Abu Ja’far Al Farra’. Juga Abu Salman diterangkan oleh Imam Al Mizzi di dalam biografi Abu Ja’far tersebut (Lihat Tahdzibul Kamal 32/7285). Dengan demikian hadits riwayat Nasa’i ini shahih sebagaimana yang dinyatakan oleh Ibnu Hazm (Lihat Talkhishul Habir 1/362) dan Syaikh Muhammad Nashiruddin Al Albani di dalam Shahih An Nasa’i nomor 627.

Kedua, Nadwah mengatakan bahwa pada sanad hadits riwayat Ahmad, Abu Daud, Ibnu Khuzaimah, dan Thahawi terdapat rawi yang bernama Utsman bin As Saib. Rawi ini juga tidak dikenal oleh ulama hadits sebagaimana yang dinyatakan oleh Ibnu Qaththan dalam Tahdzibut Tahdzib 7/117, Al Kasyif 250.

Saya katakan bahwa dalam hal ini Nadwah telah menghilangkan amanah ilmiyah dalam meneruskan perkataan Imam Ahli Hadits tentang jarh dan ta’dil terhadap seorang rawi. Hal ini tidak jarang dilakukan oleh Nadwah. Al Mizzi di dalam Tahdzibul Kamal selain membawakan ucapan di atas juga berkata bahwa Utsman bin As Saib terdapat di At Tsiqat Ibnu Hibban. Demikian juga Ibnu Hajar Al Asqalani di Tahdzibut Tahdzib-nya 7/104 dan Lisanul Mizan 4/163, serta lihat di Tarikh Al Kabir 6/277. Selain rawi ini (Utsman bin As Saib) dimasukkan ke dalam rawi-rawi yang tsiqat oleh Ibnu Hibban. Juga rawi ini dinyatakan maqbul (diterima riwayatnya) oleh Ibnu Hajar Al Asqalani di dalam Tahdzibut Tahdzib nomor 4502.

Perlu diketahui, kadang-kadang seorang rawi dikenal oleh ulama hadits tertentu sedang ulama hadits yang lain tidak mengenalnya atau samar baginya keadaan rawi tersebut. Sama halnya dengan di sini, Ibnu Qaththan memajhulkannya. Sedang Ibnu Hajar dan Ibnu Hibban mengenalnya, bahkan men-ta’dil-nya.

“Kalau seorang rawi majhul dan tidak ada ulama hadits yang men-jarh-nya, maka ta’dil ulama hadits lain diterima walau hanya satu dari kalangan ulama, cukup ucapan satu ulama di dalam jarh dan ta’dil. Inilah pendapat yang benar.” Demikian keterangan Ibnu Katsir di dalam Al Ba’itsul Hatsis halaman 91.

Al Khatib mengisahkan di dalam Al Kifayah bahwasanya Al Qadli Abu Bakar Al Baqilani menceritakan dari mayoritas ulama Madinah dan lainnya bahwa tazkiyah atau ta’dil tidak diterima kecuali dari dua Ahli Hadits, sama saja di dalam syahadah (persaksian) ataupun riwayat (Al Ba’itsul Hatsis). Demikian halnya dalam permasalahan Utsman bin As Saib. Beliau di-tazkiyah atau di-ta’dil oleh dua pakar Ahli Hadits Jarh wa Ta’dil yaitu Ibnu Hajar Al Asqalani dan Ibnu Hibban, maka sanad hadits ini shahih sebagaimana dinyatakan oleh Ibnu Khuzaimah dan Syaikh Al Albani.

Dua hadits Abu Mahdzurah di atas yang didlaifkan oleh Al Muslimun yang sudah saya bantah, didukung dengan hadits Ibnu Umar yang dihasankan oleh Ibnu Hajar di dalam Al Talkhish. Dengan demikian tiga hadits ini sah dijadikan sebagai taqyid riwayat-riwayat mutlak, bukan sebagaimana yang diucapkan oleh Nadwah (Al Muslimun).

Ketiga, Nadwah mengatakan bahwa tatswib adanya pada setiap adzan Shubuh (setelah masuk waktu Shubuh) dan adzan pertama di bulan Ramadlan. Adzan Shubuh dua kali adanya hanya dalam bulan Ramadlan.

Saya mengatakan bahwa point pertama yang disimpulkan Nadwah bathil jika dikaitkan dengan hadits-hadits shahih yang merupakan taqyid riwayat-riwayat mutlak.

Jadi, tatswib itu diletakkan pada adzan pertama (sebelum masuk waktu Shubuh), bukan pada adzan Shubuh.

Hal ini sebagaimana yang dinyatakan oleh Imam Al Mubarakafuri di dalam Tuhfatul Ahwadzi 1/593 sebagai berikut : [ Ketahuilah sesungguhnya telah tsabit (tetap) peletakkan kalimat ash shalatu khairun minan naum 2 kali pada adzan fajar sesudah lafadh hayya ‘alal falah 2 kali berdasarkan hadits Ibnu Umar radhiallahu ‘anhuma, beliau berkata : “Pada adzan pertama sesudah hayya ‘alal falah diucapkan ash shalatu khairun minan naum 2 kali.” Hadits ini diriwayatkan oleh As Siraj, Ath Thabrani, Al Baihaqi dan sanadnya dihasankan oleh Al Hafidh. Inilah madzhab sebagian besar ulama dan inilah yang haq. Sedangkan ucapan Imam Muhammad di dalam Mauthi’-nya bahwa ash shalatu khairun minan naum diletakkan pada adzan Shubuh setelah selesai adzan, perlu dipertanyakan. ]

Ibnu Hazm di dalam Al Muhalla 2/159 menyatakan : “Tidak boleh dikumandangkan adzan untuk shalat sebelum masuk waktunya, kecuali shalat Shubuh saja. Boleh adzan Shubuh sebelum terbit fajar sekedar muadzin menyempurnakan adzannya lalu turun dari menara atau tempat tinggi kemudian disusul oleh muadzin yang lain untuk adzan ketika terbit fajar yang kedua. Adzan pertama itu boleh dikumandangkan karena untuk menunjukkan waktu sahur bukan adzan untuk shalat.”

Bukan hanya beliau berdua rahimahumallah yang menyatakan bahwa ash shalatu khairun minan naum dikumandangkan pada adzan awal, tetapi juga Ath Thahawi, Abu Hanifah, Abu Yusuf, dan Muhammad rahimahumullah.

Oleh karena itu yang menyelisihi perkara ini, yaitu bahwa lafadh ash shalatu khairun minan naum diletakkan pada adzan kedua, maka ini suatu kebid’ahan. Ini sesuai dengan kaidah mengetahui bid’ah yang diterangkan oleh Syaikh Al Albani, yaitu setiap sesuatu yang menyelisihi Sunnah dalam bentuk ucapan, perbuatan, atau aqidah, walaupun karena ijtihad. (Lihat Ahkamul Janaiz halaman 300)

Bid’ah peletakkan lafadh tersebut pada adzan kedua ini dinyatakan oleh Syaikh Al Albani dan Syaikh Masyhur Hasan Salman[1].

Adapun point kedua yang mengkhususkan adzan pertama hanya ada di bulan Ramadlan, maka pernyataan ini perlu dipertanyakan sebab adzan pertama gunanya untuk membangunkan orang agar shalat tahajjud atau sahur yang berarti keberadaannya terus menerus di setiap hari, bulan, dan tahun. Inilah yang dinyatakan oleh Syaikh Al Albani di dalam kasetnya. Begitu pula Ibnu Hajar dalam Fathul Bari menyatakan bahwa pernyataan Ibnu Qaththan tentang pengkhususannya di bulan Ramadlan saja, perlu dipertanyakan.

Kalau dilihat dari konteks hadits yang berbunyi :

“Sesungguhnya Ibnu Ummi Maktum adzan pada waktu malam, maka makan dan minumlah sampai kalian dengar adzan Bilal.” (HR. An Nasa’i 1/105, Thahawi 2/83, Ahmad 6/433)

Hal ini sebagaimana yang ditegaskan oleh Abu Bakr ketika mengomentari hadits di atas yaitu Nabi Shallallahu

‘Alaihi Wa Sallam memberitahu manusia tentang dua waktu itu, adzan awal di waktu malam bukan Shubuh yang di waktu ini orang yang ingin berpuasa tidak dilarang makan dan minum dan adzan kedua yang di waktu itu dilarang makan dan minum, yaitu di waktu Shubuh bukan malam.

Ucapan di atas menunjukkan bahwa halal dan haramnya makan dan minum hanya sebagai tanda malam dan Shubuh, bukan sebagai tanda bahwasanya ini khusus pada bulan Ramadlan. Dengan ini maka tetap dua adzan disyariatkan di setiap hari, bulan, dan tahun. Wallahu A’lam.

Jawaban Kepada Penanya :

Sebenarnya ketika saya (penulis) menulis masalah tatswib terbetik di benak saya untuk membahas fatwa Syaikh bin Baaz (Fatawa 6/16) yang intinya sama dengan fatwa Syaikh Utsaimin tetapi qadarallah wama sya’a fa’ala, saya luput untuk mencantumkannya. Maka dalam kesempatan ini saya ingin membahasnya.

Inti dari fatwa dua Syaikh hafidhahumallah adalah bahwasanya yang dimaksud adzan awal dan adzan kedua pada hadits yang dimaksud adalah adzan dan iqamah berdasarkan hadits (yang artinya) :

“Di antara setiap dua adzan ada shalat.”

Dua adzan pada hadits ini adalah adzan dan iqamat. Atas dasar ini, maka bacaan ash shalatu khairun minan naum diletakkan pada adzan shalat Shubuh dan inilah yang benar, tegas Syaikh hafidhahullah.

Untuk menjawab permasalahan ini ada beberapa segi di antaranya :

a.      Kalau memang demikian, maka apa gunanya hadits Syu’bah dan selainnya yang berbunyi :

“Sesungguhnya Ibnu Ummi Maktum mengumandangkan adzan di waktu malam, maka makan dan minumlah sampai Bilal adzan atau sebaliknya Bilal mengumandangkan adzan di malam hari, maka makan dan minumlah sampai Ibnu Ummi Maktum adzan. Dan waktu itu di antara naik orang ini (Bilal) dan turunnya orang ini (Ibnu Maktum). Maka kami (shahabat) bergantung dengannya, kami katakan sebagaimana engkau (Syu’bah) kami sahur.” (HR. Thahawi, Ahmad, dan Ath Thayalisi 1661)

Hadits di atas menerangkan adanya adzan di malam hari, sebelum masuk waktu Shubuh. Demikian pula akan diletakkan di mana ucapan Ibnu Hazm bahwa tidak ada adzan sebelum masuk waktu shalat kecuali pada waktu fajar, serta di mana ucapan Mubarakafuri bahwa hal ini (yaitu adzan awal di malam hari dan adzan kedua waktu Shubuh) adalah pendapat semua ulama dan itulah yang haq?

b.      Kalaupun benar apa yang dikatakan oleh kedua Syaikh hafidhahumallah tersebut, maka akan dimaknakan atau dimaksudkan apa sabda Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam yang berbunyi (yang artinya) : “Tidak ada jarak di antara keduanya kecuali turunnya orang ini (Bilal) dan naiknya Ibnu Ummi Maktum.” (HR. Bukhari 1/163)

Kalau hadits ini digabungkan dengan atsar yang menerangkan bahwa adzan disunnahkan dikumandangkan di menara dan iqamat sunnahnya di masjid sebagaimana atsar Abdullah bin Syaqiq, beliau berkata bahwa termasuk Sunnah adzan adalah di menara dan iqamat di masjid dan Abdullah bin Mas’ud melakukannya. Dikeluarkan oleh Abdurrazaq (1/57) dan sanadnya hasan, kata Syaikh Al Albani di dalam Tamamul Minnah halaman 146.

Hadits di atas adalah dalil yang jelas bahwasanya sunnah tempat iqamat bukan di tempat adzan. Beliau juga menanggapi atsar yang diriwayatkan oleh Abdurrazaq (1/506) yang sanadnya shahih bahwasanya Umar bin Abdil Aziz mengutus beberapa orang ke masjid dan tatkala iqamat untuk shalat maka mereka berdiri. Beliau menyatakan bahwa hal ini jelas menunjukkan bahwasanya iqamat itu dikumandangkan di dalam masjid. (Lihat Tamamul Minnah halaman 145-146)

Keterangan di atas menunjukkan bahwa iqamat dilakukan di masjid sedangkan adzan di menara. Kalau demikian halnya maka berarti tidak ada kecocokan dengan hadits di atas yang menerangkan jarak waktu di antara naiknya Bilal dan turunnya Ibnu Ummi Maktum yang menunjukkan naiknya ke menara. Maka fatwa kedua Syaikh hafidhahumallah di atas tidak cocok dengan dalil dan pernyataan yang saya cantumkan di sini.

c.       Di dalam masalah syariat kita dilarang untuk taqlid kepada siapapun. Kita hanya diperintahkan untuk ittiba’ kepada Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam. Oleh karena itu selain ucapan Rasulullah bisa diterima dan ditolak. “Tidaklah seorang dari kita kecuali ditolak (ucapannya) dan diterima, kecuali pemilik kubur ini (Rasulullah) Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam”, sebagaimana keterangan Imam Malik menanggapi masalah taqlid.

Pembaca yang saya hormati, dengan pertanyaan-pertanyaan yang saya ajukan di atas bisa dijadikan barometer untuk menentukan pendapat mana yang benar. Perlu diketahui bahwa para ulama seperti Syaikh bin Baaz hafidhahullah dan selain beliau mempunyai hak untuk berijtihad, kalau benar mendapat dua pahala dan bila salah mendapat satu pahala sebagaimana sabda Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam yang bermakna :

“Apabila seorang hakim menghakimi kemudian berijtihad dan salah, baginya satu pahala.”

Dalam hal ini ikhtilaf yang tidak mengantarkan pada perpecahan Ukhuwah Islamiyah. Hadits ini menunjukkan ijtihad itu ada yang salah dan ada yang benar. Apabila ijtihad yang salah menyelisihi Sunnah maka hal ini adalah bid’ah, ini dinyatakan oleh Syaikh Al Albani dan beliau juga mencantumkan hal-hal yang dikategorikan bid’ah adalah ungkapan Sunnah dari sebagian ulama lebih-lebih ulama mutaakhirin, padahal ungkapan tersebut tidak ada dalilnya[2].

Dari kaidah ini beliau menyatakan bahwa tatswib pada adzan kedua di waktu fajar adalah bid’ah.

Demikianlah bantahan saya terhadap Majalah Al Muslimun dan tanggapan terhadap fatwa Syaikh Utsaimin hafidhahullah. Saya tidak bermaksud mengaku sebagai orang yang berilmu atau menandingi para ulama di dalam berkarya, akan tetapi semata-mata semangat untuk menyebarkan dakwah Salafiyah sebatas kemampuan saya. Saya memohon kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala agar menjadikan amalku ini hanya semata-mata mengharap wajah-Nya yang mulia dan semoga Allah tidak menjadikannya sebagai amal riya’ ataupun popularitas. Amin.

________________________________________

[1] Lihat Tamamul Minnah 148 dan Al Qaulul Mubin 181.

[2] Lihat Ahkamul Jana’iz halaman 306.

Komentar
  1. […] itu lalu disiksa oleh raja tadi dan terus-menerus diberikan siksaan padanya, sehingga kawannya itu menunjuk kepada anak yang menyebabkan […]

    Suka

  2. […] ini yaitu diberikan ALLAH Ta’ala kepada manusia yang memiliki sifat-sifat kecerdasan, kelembutan hati dan belas kasih serta kepedulian yang tinggi kepada orang lain dan […]

    Suka

  3. […] dan sifat-sifatNya kepada si penderita. Karena seluruh ayat-ayat Al Quran itu sebagai obat hati dan jasmani. Alloh Subhanahu wa Ta’ala berfirman, yang artinya: Dan Kami menurunkan Al […]

    Suka

  4. […] dan sifat-sifatNya kepada si penderita. Karena seluruh ayat-ayat Al Quran itu sebagai obat hati dan jasmani. Alloh Subhanahu wa Ta’ala berfirman, yang artinya: Dan Kami menurunkan Al Qur’an […]

    Suka

  5. […] muslim. Matematikawan terbaik Abul Kamil dan Ibn Sina adalah muslim. Ahli geography (Ilmu Bumi) dan ensklopedia terbaik Al-Masudi adalah seorang muslim dan Al-Tabari ahli sejarah terbaik juga seorang […]

    Suka

  6. […] muslim. Matematikawan terbaik Abul Kamil dan Ibn Sina adalah muslim. Ahli geography (Ilmu Bumi) dan ensklopedia terbaik Al-Masudi adalah seorang muslim dan Al-Tabari ahli sejarah terbaik juga […]

    Suka

  7. […] surga dan temannya Idris as. Wahai Aisyah, aku junjungan para nabi, ayahmu shiddiqin yang paling utama dan kamu adalah […]

    Suka

  8. […] muslim. Matematikawan terbaik Abul Kamil dan Ibn Sina adalah muslim. Ahli geography (Ilmu Bumi) dan ensklopedia terbaik Al-Masudi adalah seorang muslim dan Al-Tabari ahli sejarah terbaik juga seorang […]

    Suka

  9. […] muslim. Matematikawan terbaik Abul Kamil dan Ibn Sina adalah muslim. Ahli geography (Ilmu Bumi) dan ensklopedia terbaik Al-Masudi adalah seorang muslim dan Al-Tabari ahli sejarah terbaik juga seorang […]

    Suka

  10. […] surga dan temannya Idris as. Wahai Aisyah, aku junjungan para nabi, ayahmu shiddiqin yang paling utama dan kamu adalah […]

    Suka

  11. […] muslim. Matematikawan terbaik Abul Kamil dan Ibn Sina adalah muslim. Ahli geography (Ilmu Bumi) dan ensklopedia terbaik Al-Masudi adalah seorang muslim dan Al-Tabari ahli sejarah terbaik juga seorang […]

    Suka

  12. […] surga dan temannya Idris as. Wahai Aisyah, aku junjungan para nabi, ayahmu shiddiqin yang paling utama dan kamu adalah […]

    Suka

  13. […] muslim. Matematikawan terbaik Abul Kamil dan Ibn Sina adalah muslim. Ahli geography (Ilmu Bumi) dan ensklopedia terbaik Al-Masudi adalah seorang muslim dan Al-Tabari ahli sejarah terbaik juga seorang […]

    Suka

  14. […] surga dan temannya Idris as. Wahai Aisyah, aku junjungan para nabi, ayahmu shiddiqin yang paling utama dan kamu adalah […]

    Suka

  15. […] surga dan temannya Idris as. Wahai Aisyah, aku junjungan para nabi, ayahmu shiddiqin yang palingutama dan kamu adalah […]

    Suka

  16. […] muslim. Matematikawan terbaik Abul Kamil dan Ibn Sina adalah muslim. Ahli geography (Ilmu Bumi) dan ensklopedia terbaik Al-Masudi adalah seorang muslim dan Al-Tabari ahli sejarah terbaik juga seorang […]

    Suka

  17. […] dan temannya Idris as. Wahai Aisyah, aku junjungan para nabi, ayahmu shiddiqin yang paling utama dan kamu adalah […]

    Suka

Tinggalkan komentar