HADITS DHA’IF DAN MAUDHU’

Posted: 18 Mei 2010 in Tausiyah
Tag:,

Suatu musibah besar yang menimpa kaum muslimin semenjak masa lalu
adalah tersebarnya hadits dhaif (lemah) dan maudhu (palsu) di antara
mereka. Saya tidak mengecualikan siapapun di antara mereka sekalipun
ulama’-ulama’ mereka, kecuali siapa yang dikehendaki Allah di antara
mereka dari kalangan para ulama’ Ahli Hadits dan penelitinya sepert
Imam Bukhari, Imam Ahmad, Ibnu Main, Abu Hatim Ar Razi dan selain
mereka.

Dan dampak yang timbul dari penyebarannya adalah adanya kerusakan
yang besar. (Karena) di antara hadits-hadits dhaif dan maudhu itu,
terdapat masalah (yang berkenaan dengan) keyakinan kepada hal-hal
ghaib
, dan juga masalah-masalah syari’at. Dan pembaca yang mulia
akan melihat hadits-hadits tersebut, insya Allah.

Dan sungguh hikmah Allah, Dzat yang Maha Mengetahui menetapkan, untuk tidak meninggalkan hadits-hadits yang dibuat oleh orang-orang yang berpaling dari kebenaran, untuk tujuan yang bermacam-macam. Hadits itu “berjalan” di antara kaum muslimin tanpa ada yang mendatangkan dalam hadits-hadits itu orang yang (dapat) “menyingkapkan penutup” hakikatnya, dan menerangkan kepada manusia tentang perkara mereka. (Orang yang dimaksud tersebut adalah) Imam-Imam ahli hadits, yang membawa panji-panji sunnah nabawiyyah, dimana Rasulullah berdo’a bagi mereka dengan sabdanya :

“Semoga Allah memperindah seseorang yang mendengar perkataanku, lalu menjaga, menghafal dan menyampaikannya. Karena bisa jadi orang yang membawa pengetahuan tidak lebih faham dari orang yang disampaikan”. Hadits riwayat Abu Dawud, Tirmidzi (dan beliaumenshahihkannya) dan Ibnu Hibban dalam shahihnya.

Para ulama’ ahli hadits telah menerangkan keadaan sebagaian besar
hadits-hadits itu, baik itu shahihnya maupun dha’ifnya. Dan
menetapkan dasar-dasar ilmu hadits, membuat kaidah-kaidah ilmu
hadits. Barang siapa mendalami ilmu-ilmu itu dan memperdalam
pengetahuan tentangnya, dia akan mengetahui derajat suatu hadits,
walaupun hadist itu tidak dijelaskan oleh mereka. Yang demikian itu
adalah (dengan) ilmu ushulul hadits atau ilmu Musthala Hadits.

Para ulama’ yang hidup pada masa belakangan telah mengarang satu
kitab khusus untuk mengungkap suatu hadits, dan menerangkan
keadaannya. Salah satu kitab yang termasyhur dan paling luas adalah
kitab : “al-Maqosidu al-Hasanah fi Bayani Katsirin minal ahaadits al-
Mustaharah ‘alal alsinah” yang dikarang oleh Al Hafidh As Sakhowi,
dan kitab-kitab yang semisalnya, dari kitab-kitab “Takhrijul hadits
(kitab yang menjelaskan hadits) ”.

Kitab-kitab itu menerangkan keadaan hadits yang terdapat dalam kitab-
kitab bukan ahli hadits, dan menerangkan hadits yang tidak ada
asalnya.
Seperti kitab : “Nasbu ar-Rayati li ahaditsil hidayah” yang
dikarang oleh al-Hafidz az-Zaila’i, dan kitab : “al-Mughni an hamlil
asfar fi al-Asfar fi Takhriji ma fil ihyai minal akhbar” yang
dikarang oleh al-Hafidh al-Iraqi, dan kitab : “at-Talhis al-Habir fi
Tahrij ahadits ar-Rafi’i al-Kabir”, yang dikarang al-Hafidh Ibnu
Hajar al-Asqalani, dan juga kitab : “Tahriju ahadits al-Kassyaf”,
yang juga dikarang al-hafidh Ibnu Hajar Asqalani dan juga
kitab : “Tahriju ahadits as-Syifaa” yang dikarang oleh Syekh as-
Suyuthi. Dan semua kitab-kitab tersebut diatas tercetak.

Padahal ulama-ulama ahli hadits tersebut, (semoga Allah membalas
kebaikan mereka) telah memudahkan jalan bagi para ulama dan penuntut
ilmu setelah mereka, sehingga mereka mengetahui derajat suatu hadits
pada kitab-kitab itu dan kiab-kitab yang semisalnya. Akan tetapi
kami melihat mereka (ulama’ dan penuntut ilmu) “dengan rasa
prihatin”, telah berpaling dari membaca kitab-kitab yang tersebut di
atas, mereka tidak mengetahui (dengan sebab berpaling dari membaca
kitab-kitab tersebut diatas) keadaan hadits-hadits yang mereka
hafalkan dari Syeikh-Syeikh mereka, atau yang mereka baca dari kitab-
kitab yang tidak “memeriksa” hadits-hadits yang shahih atau dha’if,
oleh karena itu hampir-hampir kita mendengarkan suatu nasihat dari
orang-orang yang memberi nasihat, pengajian dari salah seorang
ustadz atau khutbah dari seorang khathib, melainkan kita dapati
hadits-hadits lemah atau palsu (disampaikan), dan ini adalah perkara
yang membahayakan, (karena) dikhawatirkan atas mereka termasuk orang-
orang yang diancam oleh Rasulullah dengan sabdanya : “Barang siapa
berdusta dengan sengaja atas namaku maka hendaknya ia menempati
tempat duduknya di Neraka”. Hadits shahih mutawatir

Karena sesungguhnya mereka walaupun tidak berniat berdusta secara
langsung tetapi telah melakukan perbuatan dosa, karena mereka
menukil hadits-hadits semuanya (tanpa menyeleksi), sedang mereka mengetahui bahwa dalam hadits-hadits itu terdapat hadits dha’if dan
maudhu’. Dan mengenai hal ini Rasulullah telah memberi isyarat
dengan sabdanya :

“Cukuplah seorang dianggap pendusta karena menceritakan perkataan
yang ia dengar” (HR. Muslim)

Kemudian diriwayatkan dari Imam Malik bahwa beliau
berkata : “Ketahuilah tidak akan selamat seorang lelaki yang
menceritakan apa saja yang ia dengar, dan selamanya seorang tidak
akan menjadi pemimpin jika ia menceritakan setiap perkataan yang ia
dengar”.

Imam Ibnu Hibban berkata dalam shahihnya halaman 27 tentang
bab : “Wajibnya masuk neraka bagi seseorang yang menyandarkan
sesuatu ucapan kepada Nabi, sedangkan ia tidak mengetahui
kebenarannya”.

Kemudian ia menukil dengan sanadnya dari Abu Hurairah secara
marfu’ : “Barang siapa berkata atasku apa yang tidak aku
katakan,maka hendaklah ia menempati tempat duduknya di neraka”.
Sanad hadits ini hasan, dan asalnya dalam shahih Bukhari dan Muslim.

Dan Imam Ibnu Hibban berkata tentang bab “khabar yang menunjukkan
benarnya apa yang kami isyaratkan padanya pada bab yang lalu”. Lalu
ia menukil dengan sanadnya dari Samrah bin Jundub, ia berkata :
Rasulullah bersabda : “Barang siapa menceritakan dariku suatu hadits
dusta, maka ia termasuk seorang pendusta”. Hadits riwayat Muslim

Maka jelaslah dengan apa yang disebutkan (diatas), bahwa tidak
diperbolehkan menyebarkan hadits-hadits dan riwayat-riwayatnya tanpa
tasabbut (mencari informasi tentang kebenarannya). Dan barang siapa
melakukan perbuatan itu (menyebarkan hadits tanpa mencari kejelasan
tentang kebenarannya terlebih dahulu) maka ia terhitung berdusta
atas Rasulullah. Dan beliau bersabda : “Sesungguhnya berdusta
kepadaku, tidak sebagaimana berdusta kepada salah seorang (di antara
kalian), barang siapa berdusta kepadaku secara sengaja, maka
hendaknya ia menempati tempat duduknya di neraka”. (HR. Muslim)

Oleh karena bahayanya perkara ini, saya berpendapat untuk memberi
andil dalam “mendekatkan” pengetahuan tentang hadits-hadits yang
kita dengar pada masa kini, atau hadits-hadits yang kita baca dalam
kitab-kitab yang telah beredar, yang (tidak jelas kedudukannya)
menurut ahli hadits, atau (hadits-hadits itu atasku palsu). Semoga
hal ini menjadi peringatan dan mengingatkan bagi orang yang
mengambil pelajaran sedang ia takut (kepada Allah). (lihat silsilah
hadits dhaifah halaman 47-51 )

Diterjemahkan dari : Silsilah ahadits dhoifah 1 hal125-126 oleh
Syaikh al-Allaamah al-Muhaddits Muhammad Nashiruddin al-Albani

Oleh
Syeikh Muhammad Nashiruddin Al Albani -rahimahullah-
Maraji’:
Silsilah ahadits dhoifah 1 hal125-126
Sumber: salafi.or.id

https://tausyah.wordpress.com/

Komentar
  1. […] urung ayat-ayat al-Qur’an dan Hadist-hadist Nabi justru dijadikan ujung tombak untuk menghantam lawan bicaranya sesama Muslim, entah itu mereka […]

    Suka

  2. […] shalat di masjid. Mustafa Al-Adawi di dalam kitab Ahkamu An-Nisa hal. 299, berkata -setelah memaparkan hadits-hadits ini: Hadits ini adalah tambahan dari sanad yang menjelaskan bahwa shalat wanita di rumahnya lebih […]

    Suka

  3. […] Al-Khathabi mengatakan bahwa makna cinta dan benci pada hadits di atas dikembalikan kepada sebab yang termaktub dalam hadits itu. Yaitu bahwa bersin terjadi karena badan yang kering dan pori-pori kulit terbuka, dan tidak […]

    Suka

  4. […] Al-Khathabi mengatakan bahwa makna cinta dan benci pada hadits di atas dikembalikan kepada sebab yang termaktub dalam hadits itu. Yaitu bahwa bersin terjadi karena badan yang kering dan pori-pori kulit terbuka, dan tidak […]

    Suka

  5. […] Ibnu Taimiyah ….. dan belum pernah kulihat ada orang yang lebih berilmu terhadap kitabullah dan sunnah Rasulullah shallahu’alaihi wa sallam serta lebih  ittiba’ dibandingkan […]

    Suka

  6. […] derajat keabsahannya. Didapatkan banyak dari hadits-hadits tersebut yang beliau hukumi dengan lemah dan palsu atau tidak ada asalnya dari perkataan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Maka […]

    Suka

  7. […] profesional, kaum Zionis juga mengiklankan di dalam situs tersebut bahwa siapa saja bisa membeli pohon Ghorqod secara online dan kemudian menyumbangkannya ke Israel untuk ditanami di Tanah Palestina. […]

    Suka

  8. […] profesional, kaum Zionis juga mengiklankan di dalam situs tersebut bahwa siapa saja bisa membeli pohon Ghorqod secara online dan kemudian menyumbangkannya ke Israel untuk ditanami di Tanah Palestina. […]

    Suka

  9. […] antara sebab taubat ialah ketundukan kepada Allah, me-mohon hidayah dan taufik kepadaNya, serta agar Dia memberi kurnia berupa taubat […]

    Suka

  10. […] derajat keabsahannya. Didapatkan banyak dari hadits-hadits tersebut yang beliau hukumi dengan lemah dan palsu atau tidak ada asalnya dari perkataan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Maka […]

    Suka

  11. […] antara sebab taubat ialah ketundukan kepada Allah, me-mohon hidayah dan taufik kepadaNya, serta agar Dia memberi kurnia berupa taubat […]

    Suka

Tinggalkan komentar