Arsip untuk 23 Agustus 2010

MadinahTeror Abdul Rahman bin Muljam

Sekelompok orang-orang Khawarij berkumpul memperbin­cangkan nasib sanak famili dan teman-teman mereka yang telah mati terbunuh dalam berbagai peperangan. Mereka berpendapat, bahwa tanggung-jawab atas terjadinya pertumpahan darah selama ini harus dipikul oleh tiga orang: Ali bin Abi Thalib, Muawiyah bin Abi Sufyan dan Amr bin Al Ash. Tiga orang itu oleh mereka disebut dengan istilah “pemimpin-pemimpin yang sesat”.

Salah seorang di antara yang sedang berkumpul itu, bernama Albarak bin Abdullah. Ia bangkit berdiri sambil berkata: “Akulah yang akan membikin beres Muawiyah bin Abi Sufyan!”

Teriakan Albarak itu diikuti oleh Amr bin Bakr dengan kata-­kata: “Aku yang membikin beres Amr bin Al Ash!”

Abdurrahman bin Muljam tak mau ketinggalan. Ia berteriak: “Akulah yang akan membikin beres Ali bin Abi Thalib!”

Tiga orang tersebut kemudian bersepakat untuk melaksana­kan pembunuhan dalam satu malam terhadap tiga orang calon korban: Imam Ali r.a., Muawiyah bin Abi Sufyan dan Amr bin Al Ash. Terdorong oleh kekacauan aqidah dan semangat balas den­dam, tiga orang Khawrij itu bertekad hendak cepat-cepat melak­sanakan rencana mereka.

Berangkatlah Abdurrahman bin Muljam meninggalkan Mak­kah menuju Kufah. Setibanya di Kufah, ia singgah di rumah salah seorang teman-lamanya. Di situ ia bertemu dengan seorang gadis bernama Qitham binti Al Akhdar. Paras gadis ini elok dan cantik. Tidak ada gadis lain di daerah itu yang mengungguli kecantikan parasnya. Ayah dan saudara lelaki Qitham adalah orang-orang Khawarij yang mati terbunuh dalam perang Nehrawan.

Waktu melihat kecantikan gadis itu, Abdurrahman bin Mul­jam sangat terpesona dan tergiur hatinya. Dengan terus terang ia bertanya kepada Qitham, bagaimana pendapat gadis jelita itu kalau ia mengajukan lamaran untuk dijadikan isteri. Qitham ketika itu menyahut: “Maskawin apa yang dapat kauberikan kepadaku?”

“Terserah kepadamu, apa yang kauinginkan,” jawab Ab­durrahman bin Muljam.

“Aku hanya minta supaya engkau sanggup memberi empat macam,” sahut gadis itu menjelaskan: “Uang sebesar 3.000 dirham, seorang budak lelaki dan seorang budak perempuan dan kesang­gupanmu membunuh Ali bin Abi Thalib!”

Mengenai permintaanmu yang berupa uang 3.000 dirham, se­orang budak lelaki dan seorang budak perempuan, aku pasti dapat memenuhinya,” jawab Abdurrahman, “tetapi tentang membunuh Ali bin Abi Thalib, bagaimana aku bisa menjamin?”

“Engkau harus bisa mengintai kelengahannya,” ujar Qitham. “Jika engkau berhasil membunuh dia, aku dan engkau akan ber­sama-sama merasa lega dan engkau akan dapat hidup disampingku selama-lamanya!”

Sebenarnya, sebelum Abdurrahman bertemu dengan Qi­tham binti Al Akhdar, ia sudah mulai bimbang melaksanakan niat membunuh Imam Ali r.a. Sebab, tidaklah mudah bagi dirinya me­laksanakan pembunuhan itu. Perbuatan itu merupakan tindakan petualangan yang berbahaya bagi keselamatan jiwanya. Tetapi su­ratan takdir rupanya mengendaki supaya Abdurrahman lebih ber­tambah berani, hilang keraguannya dan nekad berbuat dosa yang amat jahat. Tampaknya takdir membiarkan tangan Abdurrahman nyelonong bagaikan anak-panah terlepas dari busurnya. Secara kebetulan ia seolah-olah digiring singgah ke rumah teman lamanya dan dipertemukan dengan seorang gadis bernama Qitham! Setelah terjadi pembicaraan tentang maskawin, akhirnya Abdurrahman

mernberikan jawaban terakhir: “Permintaanmu tentang pembu­nuhan Ali bin Abi Thalib akan kupenuhi.”

Sebagaimana tersebut di atas tadi Al-Barak bin Abdullah, Amr bin Bakr dan Abdurrahman bin Muljam, telah sepakat hendak melasanakan pembunuhan serentak dalam satu malam, pada waktu subuh. Tetapi terjadi satu kebetulan yang agak aneh juga, karena tragedi yang ditimbulkan oleh tiga orang komplotan tersebut ter­nyata berakhir dengan akibat yang berlainan.

Amr bin Al-Ash secara kebetulan tidak mengalami nasib seperti yang dialami temannya. Cerita tentang peristiwanya itu sebagai berikut: “Pada malam terjadinya peristiwa itu, Amr bin Al-Ash me­rasa terganggu kesehatannya. Ia tidak keluar bersembahyang di masjid dan tidak juga untuk keperluan lainnya. Ia memerintahkan seorang petugas keamanan, bernama Kharijah bin Hudzafah, su­paya mengimami shalat subuh jama’ah sebagai penggantinya. Amr bin Bakr menduga, bahwa Kharijah itu adalah Amr bin Al-Ash. Amr bin Bakr segera menyelinap dan mendekat, kemudian Kharijah ditikam dengan senjata tajam. Seketika itu juga Kharijah meninggal dan Amr bin Bakr sendiri tertangkap basah. Waktu di­hadapkan kepada Amr bin Al-Ash, ia (Amr bin Al Ash) berkata kepadanya : ‘Engkau menghendaki nyawaku, tetapi Allah ter­nyata menghendaki nyawa Kharijah bin Hudzafah!’ Setelah itu ia memerintahkan supaya Amr bin Bakr segera dibunuh.”

Adapun Muawiyah yang menjadi sasaran Al-Barak bin Ab­dullah, pada saat ia sedang lengah, ditikam oleh Al-Barak. Mujur bagi Muawiyah. Ia tidak mati, sebab tikaman itu hanya mengenai samping pantatnya. Hal itu dimungkinkan karena sejak terbuka­nya permusuhan antara Imam Ali r.a. dengan dirinya, Muawiyah selalu mengenakan baju berlapis besi. Al-Barak tertangkap dan ia dihadapkan kepada Muawiyah.

Mengenai peristiwa ini terdapat penulisan sejarah yang agak berlainan. Abu Faraj Al-Ashfahaniy mengatakan: “Waktu Al-Ba­rak dihadapkan kepada Muawiyah, ia berkata: “Aku membawa berita untukmu.” Muawiyah bertanya: “Berita Apa?”

Al-Barak lalu menceritakan apa yang pada malam itu dilaku­kan oleh dua orang temannya. “Malam itu…,” katanya, “…Ali bin Abi Thalib akan mati dibunuh. Biarlah aku kau tahan du­lu. Jika benar ia mati terbunuh, terserahlah apa yang hendak kau lakukan terhadap diriku. Tetapi jika ternyata ia tidak berhasil di­bunuh, aku berjanji kepadamu, akulah yang akan membunuhnya. Lantas aku akan kembali lagi kepadamu menyerahkan diri. Selan­jutnya terserah hukuman apa yang akan kau jatuhkan atas diriku!”

Al-Barak lalu ditahan oleh Muawiyah. Setelah terdengar beri­ta tentang terbunuhnya Imam Ali r.a., Al-Barak dibebaskan.

Sumber riwayat lain mengatakan dengan pasti, bahwa waktu Al-Barak dihadapkan kepada Muawiyah, seketika itu juga Muawi­yah memerintahkan supaya Al-Barak segera dibunuh.

Wafat

Allah s.w.t. rupanya telah mentakdirkan bahwa Imam Ali r.a. harus meninggal karena pembunuhan pada waktu subuh tanggal 17 Ramadhan, tahun 40 Hijriyah. Ketika Imam Ali r.a. sedang menu­ju masjid, sesudah mengambil air sembahyang untuk melakukan shalat subuh, tiba-tiba muncul Abdurrahman bin Muljam dengan pedang terhunus. Imam Ali r.a. yang terkenal ulung itu tak sempat lagi mengelak. Pedang yang ditebaskan Abdurrahman tepat menge­nai kepalanya. Luka berat merobohkannya ke tanah. Imam Ali r.a. segera diusung kembali ke rumah.

Saat itu semua orang geram sekali hendak melancarkan tinda­kan balas dendam terhadap Ibnu Muljam. Tetapi Imam Ali r.a. sendiri tetap lapang dada dan ikhlas, tidak berbicara sepatahpun tentang balas dendam. Tak ada isyarat apa pun yang diberikan ke arah itu. Semua orang yang berkerumun di pintu rumahnya merasa sedih. Mereka berdoa agar Imam Ali r.a. dilimpahi rahmat Allah yang sebesar-besarnya dan dipulihkan kembali kesehatannya. Semua mengharap semoga ia dapat melanjutkan perjuangan meng­hapus penderitaan manusia.

Beberapa orang sahabat Imam Ali r.a. mendatangkan tabib terbaik di Kufah. Seorang tabib yang berpengalaman mengobati luka, bernama Atsir Ibnu Amr bin Hani. Setelah memeriksa luka-luka di kening, dengan hati cemas dan suara putus asa, Atsir memberi tahu: “Ya Amiral Mukminin, berikan sajalah apa yang hendak anda wasiyatkan. Pukulan orang terkutuk itu mengenai se­laput otak anda.”

Imam Ali r.a. tidak mengeluh. Ia menyerahkan nasib se­penuhnya kepada Allah s.w.t. Ia memanggil dua orang puteranya: Al Hasan r.a. dan Al Husein r.a. Dari seluruh hidupnya yang pe­nuh dengan pengalaman-pengalaman pahit dalam perjuangan me­negakkan kebenaran Allah dan Rasul-Nya, Imam Ali r.a. menarik pelajaran-pelajaran yang sangat tinggi nilainya. Hal itu dituangkan ­dalam wasiyat yang diberikan kepada putera-puteranya beberapa saat sebelum meninggalkan dunia yang fana ini.

Abu Ja’far Muhammad bin Jarir At Thabariy dalam Ta­rikh-nya dan Abu Faraj Al Ashfahaniy dalam Maqatilut Thali­biyyin masing-masing mengetengahkan wasiyat Imam Ali r.a. sebagai berikut:

“Aku bersaksi bahwa tiada Tuhan selain Allah Yang Maha Esa tanpa sekutu apapun bagi-Nya, dan bahwa Muhammad adalah hamba Allah dan Rasul-Nya, diutus membawa hidayat dan agama yang benar, untuk dimenangkan atas agama-agama lain, walau ka­um musyrikin tidak menyukainya. Kemudian shalatku, ibadahku, hidup dan matiku, semuanya kupersembahkan kepada Allah, Tuhan penguasa alam semesta, tanpa sekutu apa pun bagi-Nya. Itu­lah yang diperintahkan kepadaku, dan aku ini adalah orang muslim pertama.

“Kuwasiyatkan kepada kalian berdua supaya tetap bertaqwa kepada Allah. Janganlah kalian mengejar-ngejar dunia walau dunia mengejar kalian, dan janganlah menyesal jika ada sebagian dunia itu lepas meninggalkan kalian. Katakanlah hal-hal yang benar dan

berbuatlah untuk memperoleh pahala akhirat. Jadilah kalian pe­nentang orang dzalim dan pembela orang madzlum.”

“Kuwasiyatkan kepada kalian berdua, kepada semua anak-­anakku, para ahlu-baitku, dan kepada siapa saja yang mendengar wasiyatku ini, supaya senantiasa bertaqwa kepada Allah. Hendak­nya kalian mengatur baik-baik urusan kalian dan jagalah hubungan persaudaraan di antara kalian. Sebab aku mendengar sendiri Ra­sul Allah s.a.w. mengatakan: Memperbaiki dan menjaga baik-ba­ik hubungan persaudaraan antara sesama kaum muslimin lebih afdhal daripada sembahyang dan puasa umum.[5] Ketahuilah, bahwa pertengkaran itu merusak agama, dan ingatlah bahwa tak ada kekuatan apa pun selain atas perkenaan Allah. Perhatikanlah keadaan sanak famili kalian dan eratkan hubungan dengan mereka, Allah akan melimpahkan kemudahan kepada kalian di hari per­hitungan kelak.”

“Allah…, Allah, perhatikanlah anak-anak yatim. Janganlah mereka itu sampai kelaparan dan jangan sampai kehilangan hak. Aku mendengar sendiri Rasul Allah s.a.w. berpesan: Barang sia­pa mengasuh anak yatim sampai ia menjadi kecukupan, orang itu pasti akan dikaruniai sorga oleh Allah. Sama halnya seperti siksa neraka yang pasti akan ditimpakan Allah kepada orang yang me­makan harta anak yatim.”

“Allah…, Allah, perhatikanlah Al-Qur’an, jangan sampai ka­lian kedahuluan orang lain dalam mengamalkannya. Allah…, Allah…, perhatikanlah tetangga-tetangga kalian, sebab mereka itu adalah wasiyat Nabi kalian. Sedemikian sungguhnya beliau mewasyiat­kan, sampai kami menduga bahwa beliau akan menetapkan hak waris bagi mereka. Allah…, Allah…, perhatikanlah rumah Allah, mas­jid Al-Haram, janganlah kalian tinggalkan selama kalian masih hi­dup. Sebab jika sampai kalian tinggalkan, kalian tidak akan dipan­dang orang. Barang siapa selalu dekat kepadanya, Allah akan mengampuni dosa-dosanya yang telah lalu. Allah…, Allah…, pelihara­lah shalat baik-baik, sebab shalat itu amal perbuatan yang paling mulia dan merupakan tiang agama kalian. Allah…, Allah…, tunaikan­lah zakat sebagaimana mestinya, sebab zakat itu meniadakan murka Allah. Allah…, Allah…, laksanakanlah puasa bulan Rama­dhan, sebab puasa itu merupakan penutup jalan ke neraka.”

“Allah…, Allah…, berjuanglah di jalan Allah dengan harta dan jiwa kalian. Hanya ada dua macam saja orang yang berjuang di jalan Allah, yaitu seorang pemimpin yang memberikan bimbingan dan orang yang patuh kepada pemimpin serta mengikuti kebena­ran pimpinannya. Allah…, Allah…, jagalah baik-baik keturunan Nabi kalian, jangan sampai mereka dianiaya orang di depan mata kalian. Jagalah baik-baik para sahabat Nabi yang tidak meng­ada-adakan bid’ah mungkar, dan yang tidak melindungi orang yang mengada-adakan bid’ah mungkar. Sebab Rasul Allah s.a.w. telah memberi wasiyat tentang mereka itu, dan mengutuk orang dari mereka atau orang yang bukan mereka, yang mengada-adakan bid’ah mungkar dan mengutuk pula orang-orang yang memberi perlindungan kepada mereka.”

“Allah…, Allah…, perhatikanlah para fakir miskin. Ikut serta­kan mereka dalam kehidupan kalian. Allah…, Allah…, jagalah baik-baik wanita kalian dan para hamba sahaya kalian, sebab Rasul Allah s.a.w. mewasiyatkan supaya kalian menaruh perhatian kepada dua golongan lemah itu, yaitu kaum wanita dan para hamba sahaya.”

Setelah berhenti sebentar untuk memulihkan tenaga yang semakin melemah, Imam Ali r.a. melanjutkan:

“Dalam menjalankan kewajiban terhadap Allah, janganlah ka­lian takut dicela orang lain. Allah akan melindungi dan menyela­matkan kalian dari orang-orang yang hendak berbuat jahat terha­dap kalian. Berkatalah baik-baik kepada semua orang sebagaimana telah diperintahkan Allah kepada kalian. Janganlah kalian lengah meninggalkan amr ma’ruf dan nahi mungkar, agar Allah tidak me­limpahkan kekuasaan kepada orang-orang yang berperangai jahat. Sebab dalam keadaan seperti itu doa kalian tidak akan dikabulkan lagi.”

“Hendaknya kalian saling berhubungan erat, saling tolong­-menolong dan saling bercinta-kasih. Janganlah kalian saling memu­tuskan hubungan, saling bertolak belakang atau bercerai-berai. Hendaknya kalian saling bantu-membantu dalam kebajikan dan taqwa, dan janganlah saling-bantu dalam berbuat dosa dan permu­suhan.”

“Bertaqwalah kalian kepada Allah, karena sesungguhnya siksa Allah itu sangat berat. Semoga Allah senantiasa menjaga dan me­melihara kalian, hai para ahlul-bait. Allah melestarikan Nabi s.a.w. melalui kalian. Kuucapkan selamat tinggal sebaik-baiknya ke­pada kalian dan kuucapkan pula Assalaamu’alaikum wa rahma­tullahi wabarakaatuh…”

Ibnul Atsir meriwayatkan, bahwa sesudah Imam Ali r.a. menyampaikan wasiyat tersebut kepada Al Hasan r.a. dan Al Hu­sin r.a., ia menoleh kepada puteranya yang lain, Muhammad Ibnul Hanafiyah, lalu bertanya: “Apakah engkau sudah mema­hami benar-benar apa yang kuwasiyatkan kepada kedua orang sau­daramu?”

“Ya,” jawab Muhammad Ibnul Hanafiyah.

“Kepadamu juga kuwasiyatkan,” kata Imam Ali r.a. meneruskan: “hal yang sama seperti itu. Kuwasiyatkan juga supaya engkau selalu menghormati dua orang saudaramu yang besar itu. Janganlah mereka kautinggalkan dalam urusan apa pun.”

Selesai menekankan hal itu kepada Muhammad Ibnul Hanafi­yah, Imam Ali r.a. menambahkan wasiyatnya kepada Al Hasan r.a. dan Al Husein r.a. “Kuwasiyatkan kepada kalian berdua supaya menjaga dia (Muhammad Ibnul Hanafiyah) dengan baik. Sebab dia itu saudara kalian sendiri dan putera ayah kalian. Kalian tahu benar, bahwa ayah kalian juga mencintai dia…”

Imam Ali r.a. mengulangi ucapannya tentang Abdurrahman bin Muljam. Kepada Al Hasan r.a. Imam Ali r.a. berkata: “Per­hatikanlah orang yang memukulku. Berilah ia makan seperti ma­kananku dan minuman seperti minumanku!”

Ibnu Abil Hadid menambahkan catatan wasiyat Imam Ali r.a. yang disampaikan kepada dua orang puteranya, Al Hasan r.a. dan Al Husein r.a.:

“Anakku…, camkanlah baik-baik empat perkara yang hendak kukatakan. Selama engkau berpegang teguh pada empat perkara itu, apa pun yang kaulakukan tidak akan mendatangkan mudharat kepadamu:

1. Sesungguhnya kekayaan yang paling tinggi nilainya ialah akal fikiran;

2. Kemelaratan yang paling berat ialah kebodohan;

3. Kesepian yang paling menakutkan ialah bangga pada diri sendiri;

4. Dan keturunan yang paling mulia ialah budi pekerti luhur.

“Anakku…, hati-hatilah engkau berteman dengan orang pan­dir. Sebab jika ia hendak menguntungkan dirimu, justru ia berbuat yang merugikan dirimu. Hati-hatilah engkau berteman dengan orang kikir. Sebab ia akan menjauhkan engkau dari sesuatu yang paling kau butuhkan. Hati-hatilah engkau berteman dengan orang durhaka, sebab ia akan menjual dirimu dengan harga murah. Hati-hatilah engkau berteman dengan seorang pembohong, sebab ia seperti fatamorgana, yang jauh didekatkan kepadamu dan yang dekat dijauhkan darimu…”

Mengenai wasiatnya tentang Abdurrahman bin Muljam; me­nurut Ibnu Abil Hadid, Imam Ali r.a. menambahkan sebagai ber­ikut:

“Hai Bani Abdul Mutthalib, aku tidak ingin kalian mengam­bil tindakan pembalasan sampai menumpahkan darah kaum muslimin dengan alasan Amirul Mukminin mati terbunuh! Amirul Mukminin mati terbunuh! Janganlah kalian membunuh orang, selain orang yang membunuhku. Ingatlah, kalau aku mati karena tikaman ini, tikamlah orang yang menikamku dengan ti­kaman yang sama. Janganlah kalian sampai mencincang orang itu, sebab aku mendengar sendiri Rasul Allah s.a.w. pernah mewanti-­wanti: ‘Hati-hatilah kalian jangan sampai melakukan pencincang­an, walau terhadap anjing galak sekalipun’…”

Ketika itu ada orang bertanya kepada Imam Ali r.a.: “Apakah kami harus membai’at Al Hasan sepeninggal anda?”

“Aku tidak menyuruh dan tidak melarang,” sahut Imam Ali r.a. Ia tidak mau memaksakan kepada kaum muslimin siapa yang akan menggantikannya sebagai Amirul Mukminin. Terserahlan ke­pada kaum muslimin sendiri siapa yang akan mereka angkat se­bagai Khalifah. Ini merupakan pengakuan sedalam-dalamnya bah­wa setiap orang mempunyai kebebasan untuk memilih pimpinan yang disukainya.

Tidak lama kemudian Imam Ali r.a. menoleh kepada orang-­orang di sekitarnya…, lalu berkata: “Kemarin aku adalah sahabat kalian. Hari ini aku menjadi contoh yang selalu mengingatkan ka­lian. Dan, esok hari aku berpisah meninggalkan kalian. Semo­ga Allah memberi pengampunan kepadaku dan kepada kalian.”

Selama dua hari sejak terjadinya peristiwa itu, Imam Ali r.a. menderita, kesakitan yang beliau tahan sedemikian rupa kuatnya tanpa mengeluh. Dengan hati mantap ia berserah diri pada Allah s.w.t., mewasiatkan kebajikan kepada orang lain, dan, berpesan supaya berkasih-sayang kepada kaum yang lemah.

[1]Sebuah tempat terletak antara Hirah dan Kufah.

https://tausyah.wordpress.com

ALLAH MiracleJIKA orang membaca Alkitab dari depan sampai belakang tanpa memiliki gagasan sebelumnya mengenai Tritunggal, apakah mereka dengan sendirinya akan sampai pada konsep tersebut? Sama sekali tidak.

Apa yang dengan sangat jelas akan timbul dalam pikiran seorang pembaca yang netral ialah bahwa Allah saja Yang Mahatinggi, sang Pencipta, terpisah dan berbeda dari pribadi manapun, dan bahwa Yesus, bahkan dalam keberadaannya sebelum menjadi manusia, juga terpisah dan berbeda, suatu makhluk yang diciptakan, lebih rendah daripada Allah.

Allah Itu Satu, Bukan Tiga

AJARAN Alkitab bahwa Allah itu esa atau satu disebut monoteisme. Dan L. L. Paine, profesor sejarah gereja, menyatakan bahwa monoteisme dalam bentuknya yang paling murni tidak mengizinkan adanya Tritunggal: “Perjanjian Lama secara tegas adalah monoteistis. Allah adalah suatu pribadi tunggal. Gagasan bahwa suatu tritunggal dapat ditemukan di dalamnya… sama sekali tidak berdasar.”

Apakah ada perubahan dari monoteisme setelah Yesus datang ke bumi? Paine menjawab: “Mengenai hal ini tidak ada pemisah antara Perjanjian Lama dan Perjanjian Baru. Tradisi monoteistis terus dilanjutkan.

Yesus adalah seorang Yahudi, dilatih oleh orang-tua Yahudi dalam kitab-kitab Perjanjian Lama. Ajarannya sepenuhnya Yahudi: memang suatu injil baru, namun bukan suatu teologi baru… Dan ia menerima sebagai kepercayaannya sendiri ayat agung dari monoteisme Yahudi:‘Dengarlah, hai orang Israel, Tuhan Allah kita adalah satu Allah’”

Kata-kata tersebut terdapat dalam Ulangan 6:4. New Jerusalem Bible (NJB) Katolik berbunyi: “Dengarlah, Israel: Yahweh Allah kita adalah esa, satu-satunya Yahweh.”[1] Dalam tata bahasa dari ayat itu. kata ìesaî tidak mengandung sifat jamak untuk menyatakan bahwa kata itu mempunyai arti yang lain, yaitu bukan satu pribadi.
Catatan kaki:
[1] Nama Allah dinyatakan “Yahweh” dalam beberapa terjemahan, “Jehovah” dalam terjemahan-terjemahan lain (dalam bahasa Inggris).

Rasul Kristen Paulus tidak menunjukkan adanya perubahan dalam sifat Allah, bahkan setelah Yesus datang ke bumi. Ia menulis: “Allah adalah satu.” -Galatia 3: 20, lihat juga 1 Korintus 8:4-6.

Ribuan kali dalam seluruh Alkitab, Allah disebutkan sebagai satu Pribadi. Bila Ia berfirman, ini adalah sebagai satu Pribadi yang tidak terbagi. Alkitab benar-benar sangat jelas dalam hal ini.

Seperti Allah katakan: “Aku ini [Yehuwa], itulah namaKu; Aku tidak akan memberikan kemuliaanKu kepada yang lain. “ (Yesaya 42 :8) “Akulah Yahweh Allahmu… Engkau tidak boleh memiliki allah-allah lain kecuali aku.” (Cetak miring red.)-Keluaran 20: 2, 3, JB.
Untuk apa semua penulis Alkitab yang diilhami Allah akan berbicara mengenai Allah sebagai satu Pribadi jika Ia sebenarnya adalah tiga Pribadi? Apa gunanya hal itu, selain dari menyesatkan orang? Tentu, jika Allah terdiri dari tiga Pribadi, la akan menyuruh para penulis Alkitab-Nya untuk membuat hal itu benar-benar jelas sehingga tidak mungkin ada keraguan mengenai hal itu. Sedikitnya para penulis Kitab-Kitab Yunani Kristen yang mempunyai hubungan pribadi dengan Anak Allah sendiri tentu akan berbuat demikian. Ternyata tidak.

Sebaliknya, apa yang dinyatakan dengan sangat jelas oleh para penulis Alkitab ialah bahwa Allah adalah satu Pribadi;
Pribadi yang unik, tidak terbagi-bagi yang tidak setara dengan siapapun juga: “Akulah [Yehuwa] dan tidak ada yang lain; kecuali Aku tidak ada Allah. “ (Yesaya 45:5) “Engkau sajalah yang bernama [Yehuwa], Yang Mahatinggi atas seluruh bumi.”-Mazmur 83 :19.

Bukan Allah yang Jamak

YESUS menyebut Allah “satu-satunya Allah yang benar.” (Yohanes 17:3) Ia tidak pernah menyebut Allah sebagai ilahi yang terdiri dari pribadi-pribadi jamak. Itulah sebabnya dalam Alkitab tidak ada satu pribadi pun selain Yehuwa yang disebut Yang Mahakuasa. Jika tidak, arti kata “mahakuasa” tidak berlaku lagi. Yesus maupun roh kudus tidak pernah disebut demikian, karena hanya Yehuwa yang paling tinggi. Dalam Kejadian 17:1 Ia berkata: “Akulah Allah Yang Mahakuasa.” Dan Keluaran 18:11 berbunyi: “[Yehuwa] lebih besar dari segala allah.”

Dalam Kitab-Kitab Ibrani, kata ‘eloh’ah (allah) mempunyai dua bentuk jamak, yaitu, ‘elo-him’ (allah-allah) dan ‘elo-heh’ (allah-allah dari). Bentuk-bentuk jamak ini umumnya memaksudkan Yehuwa, dan dalam hal itu kata-kata tersebut diterjemahkan dalam bentuk tunggal sebagai “Allah.” Apakah bentuk-bentuk jamak tersebut menyatakan suatu Tritunggal? Tidak. Dalam A Dictionary of the Bible, William Smith berkata: “Gagasan khayalan bahwa [’elo-him’] memaksudkan tritunggal dari pribadi-pribadi dalam Keilahian, sekarang hampir tidak mempunyai pendukung lagi di kalangan para sarjana. Hal itu adalah apa yang disebut para ahli tata bahasa bentuk jamak dari keagungan, atau itu menyatakan kepenuhan dari kekuatan ilahi. Kuasa keseluruhan yang diperlihatkan oleh Allah.”

The American Journal of Semitic Languages and Literatures mengatakan tentang ‘elo-him.’ “Ini hampir selalu dijelaskan dengan suatu predikat kata kerja tunggal, dan membutuhkan atribut kata sifat tunggal.” Untuk menggambarkan ini, gelar ‘elo-him’ muncul 35 kali secara tersendiri dalam kisah penciptaan, dan setiap kali kata kerja yang menggambarkan apa yang Allah katakan dan lakukan adalah dalam bentuk tunggal. (Kejadian 1:1-2:4) Jadi, publikasi itu menyimpulkan: “[’Elo-him’] agaknya harus dijelaskan sebagai bentuk jamak yang bersifat intensif, yang menyatakan kebesaran dan keagungan.”

‘Elo-him’ bukan berarti “pribadi-pribadi,” melainkan “allah-allah.” Jadi mereka yang berkukuh bahwa kata ini menyatakan suatu Tritunggal menjadikan diri sendiri politeis, penyembah lebih dari satu Allah. Mengapa? Karena ini berarti ada tiga allah dalam Tritunggal. Namun hampir semua pendukung Tritunggal menolak pandangan bahwa Tritunggal terdiri dari tiga allah yang terpisah.

Alkitab juga menggunakan kata-kata ‘elo-him’ dan ‘elo-heh’ bila menyebutkan sejumlah allah-allah berhala yang palsu.
(Keluaran 12:12; 20:23). Namun pada kesempatan lain hal itu bisa memaksudkan hanya satu allah palsu, seperti ketika orang-orang Filistin menyebutkan “Dagon, allah mereka [’elo-heh’].” (Hakim 16:23, 24) Baal disebut “allah [’elo-him]” (1 Raja 18:27) Selain itu, ungkapan ini digunakan untuk manusia. (Mazmur 82:1, 6) Musa diberi tahu bahwa dia akan menjadi “Allah [’elo-him’]” bagi Harun dan bagi Firaun.-Keluaran 4:16; 7:1.

Jelas, menggunakan gelar-gelar ‘elo-him’ dan ‘elo-heh ‘untuk allah-allah palsu, dan bahkan manusia, tidak menyatakan bahwa masing-masing adalah allah-allah yang jamak; demikian juga menerapkan ‘elo-him’ atau ‘elo-heh’ pada Yehuwa tidak berarti bahwa Ia lebih dari satu Pribadi, terutama bila kita mempertimbangkan bukti dari ayat-ayat lain dalam Alkitab mengenai pokok ini.

Yesus Ciptaan yang Terpisah

KETIKA berada di atas bumi, Yesus adalah seorang manusia, meskipun manusia yang sempurna karena Allah telah memindahkan daya kehidupan dari Yesus ke dalam rahim Maria. (Matius 1: 18-25) Namun itu bukan awal kehidupannya. Ia sendiri menyatakan bahwa ia “telah turun dari sorga.” (Yohanes 3:13) Jadi wajarlah bila ia belakangan berkata kepada para pengikutnya: “Bagaimanakah, jikalau kamu melihat Anak Manusia [Yesus] naik ke tempat di mana Ia sebelumnya berada?”-Yohanes 6:62.

Jadi. Yesus sudah hidup di surga sebelum datang ke bumi. Tetapi apakah sebagai salah satu pribadi dalam Keilahian tiga serangkai yang mahakuasa dan kekal? Tidak, karena Alkitab dengan jelas menerangkan bahwa sebelum menjadi manusia, Yesus adalah suatu makhluk roh yang diciptakan sama seperti malaikat-malaikat adalah makhluk-makhluk roh yang diciptakan oleh Allah. Para malaikat maupun Yesus tidak hidup sebelum mereka diciptakan.

Yesus, sebelum hidup sebagai manusia, adalah ‘yang sulung dari segala yang diciptakan.’ (Kolose 1:15) Ia adalah “permulaan dari ciptaan Allah.” (Wahyu 3:14) “Permulaan” [bahasa Yunani, ar-khe’] tidak dapat ditafsirkan bahwa Yesus adalah ‘pemula’ dari ciptaan Allah. Dalam tulisan-tulisannya di Alkitab, Yohanes menggunakan berbagai bentuk dari kata Yunani ar-khe’ lebih dari 20 kali, dan ini selalu mempunyai arti umum “permulaan.” Ya, Yesus diciptakan oleh Allah sebagai permulaan dari ciptaan-ciptaan Allah yang tidak kelihatan.

Perhatikan betapa erat hubungan antara acuan-acuan kepada asal usul Yesus dengan pernyataan-pernyataan yang diungkapkan oleh “hikmat” kiasan dalam buku Amsal di Alkitab: “TUHAN [Yahweh, NJB] telah menciptakan aku sebagai permulaan pekerjaanNya, sebagai perbuatanNya yang pertama-tama dahulu kala. Sebelum gunung-gunung tertanam dan lebih dahulu dari pada bukit-bukit aku telah lahir; sebelum Ia membuat bumi dengan padang-padangnya atau debu dataran yang pertama [”unsur-unsur pertama dari dunia,” NJB].” (Amsal 8: 12, 22, 25, 26)

Meskipun istilah “hikmat” digunakan untuk mempersonifikasi pribadi yang Allah ciptakan, kebanyakan sarjana setuju bahwa ini sebenarnya adalah kata kiasan untuk Yesus sebagai makhluk roh sebelum hidup sebagai manusia.

Sebagai “hikmat” sebelum menjadi manusia, Yesus selanjutnya berkata bahwa ia berada “di sampingNya [Allah], seorang pekerja ahli.” (Amsal 8: 30. JB) Selaras dengan peranan sebagai pekerja ahli ini, Kolose 1:16 (BIS) mengatakan tentang Yesus bahwa “melalui dialah Allah menciptakan segala sesuatu di surga dan di atas bumi.”

Jadi melalui pekerja ahli inilah, seolah-olah mitra kerja-Nya yang lebih muda, Allah Yang Mahakuasa menciptakan semua perkara lain. Alkitab meringkaskan masalahnya sebagai berikut: “Bagi kita hanya ada satu Allah saja, yaitu Bapa, yang dari padaNya berasal segala sesuatu… dan satu Tuhan saja, yaitu Yesus Kristus, yang melalui dia, segala sesuatu telah dijadikan.” (Cetak miring red.)-1 Korintus 8:6, Revised Standard Version, edisi Katolik; BIS.

Tiada sangsi lagi bahwa kepada pekerja ahli inilah Allah berkata: “Baiklah Kita menjadikan manusia menurut gambar dan rupa Kita.” (Kejadian 1: 26) Ada yang mengatakan bahwa “Kita” dalam pernyataan ini menunjukkan suatu Tritunggal. Namun jika anda mengatakan, ‘Baiklah kita membuat sesuatu untuk diri kita,’ tidak seorang pun akan secara wajar memahami bahwa ini menyatakan beberapa orang digabungkan menjadi satu di dalam diri anda. Anda hanya memaksudkan bahwa dua pribadi atau lebih akan bersama-sama mengerjakan sesuatu. Maka, demikian pula, ketika Allah menggunakan “Kita,” Ia hanya menyapa suatu pribadi lain, makhluk roh-Nya yang pertama, sang pekerja ahli, pramanusia Yesus.

Dapatkah Allah Dicobai?

DALAM Matius 4:1, Yesus dikatakan “dicobai Iblis.” Setelah menunjukkan kepada Yesus semua kerajaan dunia dengan kemegahannya,” Setan berkata: “Semua itu akan kuberikan kepadaMu, jika Engkau sujud menyembah aku.” (Matius 4:8, 9) Setan berupaya untuk membuat Yesus tidak loyal kepada Allah.

Tetapi ujian keloyalan macam apakah itu jika Yesus adalah Allah? Dapatkah Allah memberontak melawan diri-Nya sendiri? Tidak, tetapi malaikat-malaikat dan manusia dapat memberontak melawan Allah dan telah berbuat demikian. Cobaan atas Yesus hanya masuk akal jika ia, bukan Allah, melainkan suatu pribadi yang terpisah yang mempunyai kehendak bebasnya sendiri, pribadi yang bisa saja tidak loyal jika ia memutuskan demikian, seperti halnya malaikat atau manusia.

Sebaliknya, kita tidak dapat membayangkan bahwa Allah dapat berdosa dan tidak loyal kepada diri-Nya sendiri. “PekerjaanNya sempurna… Allah yang setia,… adil dan benar Dia.” (Ulangan 32:4) Jadi jika Yesus adalah Allah, ia tidak mungkin dicobai.-Yakobus 1:13.

Karena bukan Allah, Yesus bisa saja tidak loyal. Namun ia tetap setia, dengan mengatakan: “Enyahlah, Iblis! Sebab ada tertulis: Engkau harus menyembah Tuhan [Yehuwa, NW], Allahmu, dan hanya kepada Dia sajalah engkau berbakti!”-Matius 4:10.

Berapa Besar Harga Tebusan Itu?

SALAH satu alasan utama Yesus datang ke bumi juga mempunyai hubungan langsung dengan Tritunggal. Alkitab menyatakan:
“Allah itu esa dan esa pula Dia yang menjadi pengantara antara Allah dan manusia, yaitu manusia Kristus Yesus, yang telah menyerahkan diriNya sebagai tebusan [yang sesuai, NW] bagi semua manusia.”-1 Timotius 2: 5,6.

Yesus, yang tidak lebih dan tidak kurang daripada seorang manusia sempurna, menjadi tebusan yang dengan tepat mengganti rugi apa yang telah dihilangkan Adam -hak untuk hidup sebagai manusia sempurna di bumi. Jadi Yesus dengan tepat dapat disebut “Adam yang akhir” oleh rasul Paulus, yang berkata dalam ikatan kalimat yang sama: “Sama seperti semua orang mati dalam persekutuan dengan Adam, demikian pula semua orang akan dihidupkan kembali dalam persekutuan dengan Kristus.” (1 Korintus 15: 22, 45) Kehidupan manusia yang sempurna dari Yesus adalah “tebusan yang sesuai” yang dituntut oleh keadilan ilahi-tidak lebih, tidak kurang. Suatu prinsip dasar bahkan dari keadilan manusia ialah bahwa harga yang dibayar harus sesuai dengan kesalahan yang dilakukan.

Tetapi, jika Yesus adalah bagian dari suatu Keilahian, harga tebusan akan sangat jauh lebih tinggi daripada apa yang dituntut oleh Taurat Allah sendiri. (Keluaran 21:23-25; Imamat 24:19-21) Yang berdosa di Eden hanya seorang manusia sempurna, Adam, bukan Allah. Maka tebusan itu, agar benar-benar selaras dengan keadilan Allah, harus tepat sama nilainya-seorang manusia sempurna, “Adam yang akhir.” Maka, ketika Allah mengutus Yesus ke bumi sebagai tebusan itu, Ia menjadikan Yesus sebagai sesuatu yang akan memenuhi keadilan, bukan suatu inkarnasi, bukan manusia-allah, melainkan manusia sempurna, “lebih rendah daripada malaikat-malaikat.” (Ibrani 2:9; bandingkan Mazmur 8: 6, 7.)

Bagaimana mungkin suatu bagian dari Keilahian yang mahakuasa Bapa, Anak, atau roh kudus-dapat lebih rendah daripada malaikat-malaikat?

Bagaimana “Satu-Satunya yang Diperanakkan”?

ALKITAB menyebut Yesus “Anak Tunggal” atau dalam bahasa Inggris, “only-begotten Son” (“Anak satu-satunya yang diperanakkan”). (Yohanes 1:14; 3:16, 18; 1 Yohanes 4:9) Para penganut Tritunggal mengatakan bahwa karena Allah itu kekal, maka Anak Allah juga kekal. Namun bagaimana seseorang bisa menjadi anak dan pada waktu yang sama umurnya setua ayahnya?

Para penganut Tritunggal mengatakan bahwa dalam hal Yesus, “satu-satunya yang diperanakkan” tidak sama dengan definisi kamus untuk “memperanakkan” yang adalah “memberi kehidupan sebagai bapa.” (Webster’s Ninth New Collegiate Dictionary) Mereka berkata bahwa dalam hal Yesus ini memaksudkan “sifat dari hubungan tanpa asal usul,” semacam hubungan anak tunggal tetapi tanpa ia diperanakkan. (Vine’s Expository Dictionary of Old and New Testament Words, karya Vine) Apakah hal itu kedengaran masuk akal bagi anda? Dapatkah seorang pria menjadi ayah seorang anak tanpa memperanakkan dia?

Selain itu, mengapa Alkitab menggunakan kata Yunani yang sama untuk “satu-satunya yang diperanakkan” (seperti diakui oleh Vine tanpa penjelasan apapun) untuk menggambarkan hubungan antara Ishak dengan Abraham? Ibrani 11:17 menyebut Ishak sebagai “anaknya [Abraham] yang tunggal,” atau dalam bahasa Inggris “anak satu-satunya yang diperanakkan.” Tidak mungkin ada keraguan bahwa dalam hal Ishak, ia satu-satunya yang diperanakkan dalam arti yang normal, tidak sama dalam umur atau kedudukkan dengan ayahnya.

Kata dasar bahasa Yunani untuk “satu-satunya yang diperanakkan” yang digunakan untuk Yesus dan Ishak ialah monogenes’, dari mo’nos, yang berarti “satu-satunya,” dan gi’no-mai, sebuah akar kata yang berarti “menghasilkan,” “menjadi (menjadi ada),” kata Exhaustive Concordance oleh Strong. Maka, monogenes’ didefinisikan sebagai : “Satu-satunya yang dilahirkan, satu-satunya yang diperanakkan, artinya satu-satunya anak.”-A Greek and English Lexicon of the New Testament, oleh E. Robinson. Theological Dictionary of the New Testament,, dengan penyunting Gerhard Kittel, berkata: “[Monogenes] berarti ‘keturunan satu-satunya’ yaitu, tanpa saudara laki-laki atau perempuan.” Buku ini juga menyatakan bahwa dalam Yohanes 1:18; 3: 16, 18; dan 1 Yohanes 4:9, “hubungan Yesus tidak hanya disamakan dengan hubungan seorang anak tunggal atau satu-satunya anak dengan ayahnya. Ini memang hubungan antara anak satu-satunya yang diperanakkan oleh sang Bapa.”

Jadi, kehidupan Yesus, Anak satu-satunya yang diperanakkan, mempunyai permulaan. Dan Allah Yang Mahakuasa dengan tepat dapat disebut Yang Memperanakkan dia, atau Bapa-Nya dalam arti yang sama seperti seorang ayah jasmani di bumi, seperti Abraham, memperanakkan seorang anak. (Ibrani 11:17) Maka, bila Alkitab menyebut Allah sebagai “Bapa” dari Yesus, ini memaksudkan tepat seperti yang dikatakannya -bahwa mereka adalah dua pribadi yang terpisah. Allah yang senior. Yesus yang yunior -dalam hal waktu atau umur, kedudukan, kuasa, dan pengetahuan.

Bila seseorang mempertimbangkan bahwa Yesus bukan satu-satunya makhluk roh, anak Allah yang diciptakan di surga, halnya menjadi jelas mengapa istilah “Anak Tunggal” atau “Anak satu-satunya yang diperanakkan” digunakan dalam hal Yesus. Tidak terhitung banyaknya makhluk roh lain yang diciptakan, malaikat-malaikat, juga disebut “anak-anak Allah,” dalam arti yang sama seperti halnya Adam, karena daya kehidupan mereka berasal dari Allah Yehuwa, Sumber Kehidupan. (Ayub 38:7; Mazmur 36:10; Lukas 3:38) Namun mereka semua diciptakan melalui “Anak Tunggal,” yang adalah pribadi satu-satunya yang langsung diperanakkan oleh Allah.-Kolose 1 :15-17.

Apakah Yesus Dianggap Allah?

MESKIPUN Yesus sering disebut Anak Allah dalam Alkitab, tidak seorang pun pada abad pertama pernah menganggap dia sebagai Allah Anak. Bahkan hantu-hantu, yang ‘percaya bahwa hanya ada satu Allah,’ mengetahui dari pengalaman mereka di alam roh bahwa Yesus bukan Allah. Maka, dengan tepat mereka menyapa Yesus sebagai “Anak Allah” yang terpisah. (Yakobus 2:19: Matius 8:29) Dan ketika Yesus mati, para prajurit Roma yang kafir itu yang sedang berjaga cukup mengetahui untuk dapat mengatakan bahwa apa yang mereka dengar dari para pengikut Yesus pasti benar, bukan bahwa Yesus adalah Allah, melainkan bahwa “sungguh, ia ini adalah Anak Allah.”-Matius 27: 54.

Maka, ungkapan “Anak Allah” menunjuk kepada Yesus sebagai makhluk yang terpisah dan diciptakan, bukan bagian dari Tritunggal. Sebagai Anak Allah, ia tidak mungkin Allah sendiri, karena Yohanes 1:18 berkata: “Tidak seorangpun yang pernah melihat Allah.”

Murid-murid memandang Yesus sebagai ‘pengantara yang esa antara Allah dan manusia,’ bukan sebagai Allah sendiri. (1 Timotius 2:5) Karena menurut definisi seorang pengantara adalah seorang yang terpisah dari mereka yang membutuhkan pengantara, suatu kontradiksi jika Yesus adalah satu kesatuan dengan salah satu pihak yang ia coba perdamaikan. Itu berarti ia pura-pura menjadi pengantara, padahal bukan.

Alkitab memang jelas dan konsisten berkenaan hubungan antara Allah dengan Yesus. Allah Yehuwa saja Yang Mahakuasa. Ia secara langsung menciptakan pramanusia Yesus. Jadi, Yesus mempunyai permulaan dan tidak pernah dapat setara dengan Allah dalam kuasa atau kekekalan.

Sumber :
Haruskan Anda Percaya Pada Kepada Tritunggal?
©1989 Watch Tower Bible and Tract Society of Pennsylvania

https://tausyah.wordpress.com/