Arsip untuk 6 Agustus 2010

sambungan dari kisah sebelumnya..

Kata-kata Zubair ini tampaknya sangat menyakitkan telinga Khalifah Umar r.a. yang sabar itu. Sambil memandang tajam ke a­rah Zubair, Umar r.a. berkata: “Tentang dirimu, Zubair…, kau itu adalah orang yang lancang mulut, kasar dan tidak mempunyai pendirian tetap. Yang kausukai hanyalah hal-hal yang menyenangkan dirimu sendiri, dan engkau membenci apa saja yang tidak kau­sukai. Pada suatu ketika engkau benar-benar seorang manusia, tetapi pada ketika yang lain engkau adalah syaitan! Bisa jadi kalau kekhalifahan kuserahkan kepadamu, pada suatu ketika eng­kau akan menampar muka orang hanya gara-gara gandum segan­tang.”

Khalifah Umar menghentikan perkataannya sebentar, seolah-­olah mengambil nafas untuk mengumpulkan kekuatan dan me­ngendalikan emosinya. Kemudian ia meneruskan: “Tahukah engkau, jika kekuasaan kuserahkan kepadamu? Lalu siapa yang akan melindungi orang-orang pada saat engkau sedang menjadi syaitan? Yaitu pada saat engkau sedang dirangsang kemarahan?”

Tanpa menunggu jawaban Zubair, Khalifah Umar r.a. me­noleh kearah Thalhah bin Ubaidillah, yang segera menundukkan kepala setelah melihat sorot mata pemimpin yang berwibawa itu. Bukan rahasia lagi di kalangan kaum muslimin pada masa itu, bah­wa sudah beberapa waktu lamanya Khalifah Umar r.a. memen­dam rasa jengkel terhadap tokoh yang satu ini. Peristiwanya ber­mula pada waktu Khalifah Abu Bakar r.a. masih hidup. Ketika itu Thalhah mengucapkan suatu kata kepada Abu Bakar r.a yang sangat tidak mengenakkan perasaan Umar Ibnul Khattab r.a

Setelah memandang Thalhah sejenak, Khalifah Umar r.a. ber­tanya: “Sebaiknya aku bicara atau diam saja?”

“Bicaralah!” sahut Thalhah dengan nada acuh tak acuh. “Tokh anda tidak akan berkata baik mengenai diriku!”

“Aku mengenalmu sejak jari-jarimu luka pada waktu perang Uhud, kata Khalifah Umar r.a. kepada Thalhah. “Dan aku juga mengenal kecongkakan yang pernah muncul pada dirimu. Rasul Allah wafat dalam keadaan beliau tidak senang kepadamu. Itu akibat kata-kata yang kau ucapkan ketika ayat Al-Hijab turun.“[1]

Menurut catatan yang dibuat oleh Syeikh Abu Utsman Al Jahidz, perkataan Thalhah yang dimaksud ialah ucapan kepada salah seorang sahabat. Kata-kata Thalhah itu akhirnya sampai juga ke telinga Rasul Allah s.a.w.: “Apa arti larangan itu baginya (yakni bagi Rasul Allah s.a.w.) sekarang ini? Dia akan wafat. Lalu kita bakal menikahi permpuan-perempuan itu!”[2]

Habis berbicara tentang pribadi Thalhah, Khalifah Umar r.a. melihat kepada Sa’ad bin Abi Waqqash. Kepadanya Umar r.a. berkata: “Engkau seorang yang mempunyai banyak kuda perang. Dengan kuda-kuda itu engkau telah berjuang dan berperang. Banyak sekali senjata yang kau miliki, busur dan anak panahnya. Tetapi qabilah Zuhrah (asal Saad), kurang tepat untuk memangku jabatan Khalifah dan memimpin urusan kaum muslimin.”

Tibalah sekarang giliran Khalifah Umar r.a. menilai pribadi Abdurrahman bin ‘Auf, yang rupanya sudah siap mendengarkan penilaiannya. “Jika separoh kaum muslimin imannya ditimbang dengan imanmu,” kata Khalifah Umar r.a., “maka imanmulah yang lebih berat. Tetapi kekhalifahan tidak tepat kalau dipegang oleh seorang yang lemah seperti engkau. Qabilah Zuhrah (asal Abdurrahman bin ‘Auf juga) kurang kena untuk urusan itu.”

Abdurrahman tidak sepatah kata pun menanggapi penilaian Khalifah Umar r.a. atas dirinya. Ia membiarkan Khalifah berbicara lebih lanjut mengenai diri Iman Ali r.a. ” alangkah tepat dan baiknya kalau anda tidak suka bergurau!” kata Khalifah Umar r.a. dengan nada suara yang agak meninggi. Kemudian de­ngan suara merendah dikatakan: “Seandainya anda nanti yang akan memimpin ummat, anda pasti akan membawa mereka me­nuju kebenaran yang terang benderang.”

Imam Ali r.a. tampak terjengah dan tersipu-sipu mendengar ucapan orang yang sangat dikaguminya. Juga ia tidak membe­rikan tanggapan terhadap penilaian yang positif atas dirinya. Kha­lifah Umar r.a. akhirnya dengan serius menoleh kearah Utsman bin Affan r.a. Tangannya sudah makin melemah dan tenaganya sudah sangat berkurang. Tetapi ia memaksakan diri untuk menilai orang keenam yang ada di hadapannya itu. “Aku merasa seakan-­akan orang Qureiys telah mempercayakan kekhalifahan kepada anda,” kata Khalifah dengan suara lembut, “karena besarnya rasa kecintaan mereka kepada anda.”

Wajah Khalifah Umar r.a. mendadak kelihatan sendu, se­olah-olah sedang menahan perasaan getir yang menyelinap ke dalam kalbu. “Tetapi aku melihat nantinya anda akan meng­angkat orang-orang Bani Umayyah dan Bani Mu’aith di atas orang lain. Kepada mereka anda akan menghamburkan harta ghanimah yang tidak sedikit.” Suara Khalifah meninggi pula: “Akhirnya akan ada segerombolan ‘serigala’ Arab datang meng­hampiri anda, lalu mereka akan membantai anda di atas pem­baringan.”

Dengan nada peringatan yang sungguh-sungguh, Khalifah Umar r.a. mengakhiri kata-katanya: “Demi Allah, jika anda sampai melakukan apa yang kubayangkan itu, gerombolan ‘sri­gala’ itu pasti akan berbuat seperti yang kukatakan. Dan kalau yang demikian itu benar-benar terjadi, ingatlah kepada kata-kata­ku ini! Semua itu akan terjadi”[3]

Cara Pemilihan

Berbicara tentag wasyiat Khalifah Umar r.a. menjelang wafat nya, Syeikh Abu Utsman Al Jahidz juga mengungkapkan ke­terangan Mu’ammar bin Sulaiman At Taimiy, yang diperoleh dari Ibnu Abbas. Yang tersebut belakangan ini diketahui pernah mendengar apa yang pernah dikatakan Umar Ibnul Khattab r.a. kepada para Ahlu Syuro menjelang wafatnya: “Jika kalian saling membantu, saling percaya dan saling menasehati, maka kuper­cayakan kepemimpinan ummat kepada kalian, bahkan sampai kepada anak cucu kalian. Tetapi kalau kalian saling dengki, saling membenci , saling menyalahkan dan saling bertentangan, kepe­mimpinan itu akhirnya akan jauth ke tangan Muawiyah bin Abu Sufyan!”.

Perlu diketahui, bahwa ketika Khalifah Umar r.a. masih hidup, Muawiyah bin Abu Sufyan sudah beberapa tahun lamanya menjabat sebagai kepala daerah Syam. Ia diangkat sebagai kepala daerah oleh Umar Ibnul Khattab r.a. Sejarah kemudian mencatat, bahwa yang diperkirakan oleh Khalifah Umax r.a. menjelang akhir hayatnya menjadi kenyataan.

Klimaks dari penyampaian wasyiat oleh Khalifah Umar r.a. ialah memerintahkan supaya Abu Thalhah A1 Anshariy datang menghadap. Waktu orang yang dipanggil itu sudah berada di­dekat pembaringannya, berkatalah Khalifah Umar r.a. dengan tegas dan jelas, seolah-olah sedang melepaskan sisa tenaganya yang terakhir:

“Abu Thalhah, camkan baik-baik! Kalau kalian sudah selesai memakamkan aku, panggillah 50 orang Anshar. Jangan lupa, supaya masing-masing membawa pedang. Lalu desaklah mereka (6 orang Ahlu Syuro) supaya segera menyelesaikan urusan mereka (untuk memilih siapa di antara mereka itu yang akan ditetapkan sebagai Khalifah). Kumpulkan mereka itu dalam sebuah rumah. Engkau bersama-sama teman-temanmu berjaga jaga di pintu. Biar­kan mereka bermusyawarah untuk memilih salah seorang di an­tara mereka.

“Jika yang Iima setuju dan ada satu yang menentang, peng­gallah leher orang yang menentang itu! J’ika empat orang setuju dan ada dua yang menentang, penggallah leher dua orang itu! Jika tiga orang setuju dan tiga orang lainnya menentang, tunggu dan lihat dulu kepada tiga orang yang diantaranya termasuk Abdurrahman bin ‘Auf. Kalian harus mendukung kesepakatan tiga orang ini. Kalau yang tiga orang lainnya masih bersikeras menen­tang,penggal saja leher tiga orang yang bersikeras itu!.

“Jika sampai tiga hari, enam orang itu belum juga mencapai kesepakatan untuk menyelesaikan urusan mereka, penggal saja leher enam orang itu semuanya. Biarlah kaum muslimin sendiri memilih siapa yang mereka sukai untuk dijadikan pemimpin mereka !”.

Dari sekelumit informasi sejarah tersebut di atas, kita menge­tahui, betapa tingginya rasa tanggung-jawab dan jiwa kerakyatan Khalifah Umar Ibnul Khattab r.a. Secara tertib dan terperinci, sampai detik-detik menjelang ajalnya, ia masih memikirkan cara­cara pengangkatan seorang Khalifah yang akan mengantikannya. Sambil menahan rasa sakit akibat luka-luka tikaman sejata tajam, ia masih sempat berusaha menyinambungkan kepemimpinan um­mat Islam sebaik-baiknya.

KHALIFAH UTSMAN BIN AFFAN R.A.

Setelah jenazah Umar Ibnul Khattab r.a. dimakamkan, Abu Thalhah Al Anshariy segera mengumpulkan 6 orang Ahlu Syuro yang ditunjuk Umar r.a., di sebuah rumah. Sesuai dengan wasiyat Khalifah Umar r.a. maka 50 orang Anshar lengkap dengan pedangnya masing-masing, ditugaskan menjaga pintu-pintu rumah. Kepada 6 orang itu dipersilakan berunding untuk memilih siapa di antara mereka yang akan ditetapkan sebagai Khalifah pengganti Umar Ibnul Khattab r.a.

Pelaksanaan Pemilihan

Tentang pelaksanaan pemilihan Khalifah pengganti Umar r.a. terdapat beberapa riwayat. Menurut Abu Utsman Al-Jahidz, pelaksanaannya sebagai berikut:

Keenam Ahlu Syuro itu mulai bermusyawarah dan ber­debat. Thalhah bin Ubaidillah tampil sebagai pembicara pertama. Ia langsung saja mengatakan mendukung Utsman bin Affan sebagai calon Khalifah. Alasan yang diajukannya untuk bersikap demikian, karena ia yakin tidak akan ada seorang pun yang akan mencalonkan dirinya (Thalhah) sebagai Khalifah, selama Imam Ali r.a. dan Utsman bin Affan r.a. masih ada.

Kemudian tampil Zubair bin Al ‘Awwam. Ia menentang pen­calonan Utsman bin Affan r.a., seperti yang diajukan Thalhah. Ia memberikan dukungan kepada Imam Ali r.a. Orang memper­kirakan bahwa Zubair mencalonkan Imam Ali r.a. karena hubung­an kekeluargaan. Seperti diketahui Zubair adalah anak lelaki bibi Imam Ali Shafiyyah binti Abdul Mutthalib, dan ayah Imam Ali r.a. sendiri adalah saudara ibu Zubair.

Setelah ini muncul usul ketiga, yang datangnya dari Sa’ad bin Abi Waqqash. Ia mengajukan misanannya sendiri, anak pamannya, yaitu Abdurrahman bin ‘Auf sebagai Khalifah. Usul Sa’ad ini pun masih berbau fikiran kekerabatan. Kedua-duanya berasal dari qabilah Bani Zuhrah. Selain itu Sa’ad sendiri pun sudah me­rasa kecil kemungkinannya untuk terpilih sebagai Khalifah.

Sekarang tinggal 3 orang yang belum mengajukan usul pen­calonan. Abdurrahman kemudian bertanya kepada Imam Ali r.a. dan Utsman bin Affan r.a.: “Siapa di antara kalian berdua yang bersedia mengundurkan diri sebagai calon? Sebab, masalah pe­milihan sekarang ini hanya bergantung kepada kalian berdua.”

Ternyata tak seorang pun di antara dua tokoh itu yang menanggapi pertanyaan Abdurahman bin Auf. Setelah beberapa saat lamanya tidak ada jawaban dan semua mata tertuju kepada Imam Ali r.a. dan Utsman bin Affan r.a. Abdurrahman bin Auf berkata lagi: “Sekarang aku menyatakan menarik diri dari pen­calonan.” Seterusnya ditambahkan: “Dengan demikian aku dapat memilih salah seorang di antara kalian berdua.”

Pernyataan Abdurrahman ini pun tidak ditanggapi, baik oleh kedua orang calon, maupun orang lainnya. Abdurrahman bin Auf kembali mengambil prakarsa untuk melancarkan jalannya pe­milihan. Kepada Imam Ali r.a. ia bertanya: “Bagaimana kalau aku membai’at anda untuk bekerja berdasarkan Kitab Allah, Sunnah Rasul s.a.w. dan mengikuti jejak dua orang Khalifah yang lalu?”

Menghadapi pertanyaan yang agak mendadak itu, dengan cepat Imam Ali r.a. menjawab: “Tidak! Aku menerima (pembai’at­an itu) jika didasarkan kepada Kitab Allah, Sunnah Rasul s.a.w. dan ijtihadku sendiri.”

Tanpa mengajukan pertanyaan lebih lanjut kepada Imam Ali r.a., Abdurrahman bin Auf mengajukan pertanyaan yang sama kepada Utsman bin Affan r.a. Dengan singkat dan tegas Utsman bin Affan r.a. menjawab: “ya!”

Mendengar jawaban Utsman bin Affan r.a. itu, Abdurrahman masih tiga kali lagi mengajukan pertanyaan yang sama kepada Imam Ali r.a. Imam Ali r.a. tetap pada jawaban semula. Akhir­nya Abdurrahman bin Auf mendekati Utsman bin Affan r.a. kemudian memegang tangannya. Ini sebagai tanda pembai’atan yang diberikannya kepada Utsman bin Affan r.a. Prakarsa Abdur­rahman bin Auf ternyata berhasil menyelesaikan pembai’atan Khalifah baru, untuk menggantikan Khalifah Umar r.a. yang te­lah wafat.

Di samping versi Abu Utsman Al Jahidz ini, ada pula versi lain tentang pemilihan Khalifah Utsman r.a. Di dalam versi lain itu dikatakan, bahwa setelah beberapa hari melakukan penja­jagan, akhirnya pada suatu hari Abdurrahman bin Auf, memin­ta kepada kaum muslimin supaya berkumpul di masjid Rasul Allah s.a.w. Dengan menggunakan sorban yang dahulu pernah dipakai oleh Rasul Allah s.a.w., dan dengan berdiri di atas mim­bar pada jenjang tempat Rasul Allah s.a.w. dulu selalu berdiri, Abdurrahman bin Auf mengucapkan do’a dengan suara lirih.

Sebenarnya perbuatan Abdurrahman seperti di atas menim­bulkan keheranan di kalangan hadirin. Sebab, baik Khalifah Abu Bakar r.a. maupun Khalifah Umar r.a. sendiri, belum pernah ber­buat demikian.

Sambil memandang ke tempat Imam Ali r.a. duduk, Abdur­rahman berseru dengan gaya penuh wibawa: “Hai Ali, majulah engkau!”

Imam Ali r.a. segera memenuhi permintaan Abdurrahman bin Auf. Sebelum Imam Ali r.a. mengetahui benar apa yang menjadi maksud sahabatnya itu, tiba-tiba Abdurrahman memegang tangannya sambil mengucapkan kata-kata dengan suara keras. Isi kata-katanya sama dengan apa yang telah dikemukakan oleh Abu Utsman Al-Jahidz di dalam bukunya. Begitu pula proses seterusnya.

Hanya dalam versi ini ditambahkan, bahwa Abdurraman bin Auf menyambut kesanggupan Utsman bin Affan r.a. yang sudah berusia lanjut itu dengan berkata : “Ya Allah, saksikanlah! Ya Allah, saksikanlah!”

Imam Ali r.a., para sababat Rasul Allah s.a.w. lainnya, dan semua yang hadir dalam masjid itu tanpa ragu-ragu menerima Us­man bin Affan r.a. yang sudah berusia lanjut itu sebagai pemimpin tertinggi mereka yang baru.

Pembai’atan seorang Khalifah melalui pemilihan salah satu di antara 6 orang Ahlu Syuro, merupakan kejadian pertama dalam sejarah kekhalifahan ummat Islam. Khalifah Abu Bakar r.a. di­bai’at langsung oleh kaum muslimin. Khalifah Umar Ibnul Kha­ttab r.a. ditetapkan berdasarkan wasiyat Kahlifah Abu Bakar r.a.

Akan tetapi sejalan dengan pembai’atan Utsman bin Affan r.a. sebagai Khalifah, banyak sekali orang bertanya-tanya tentang jawaban yang diberikan Imam Ali r.a. kepada Abdurrahman bin Auf. Mengapa ia mengatakan “Tidak?”

Tidak ada seorang pun yang dapat memberikan jawaban pas­ti. Imam Ali r.a. sendiri tidak pernah mengemukakan secara ter­buka alasan apa yang melandasi jawabannya. Yang pasti, Imam Ali r.a. tidak pernah menyesal karena ia gagal menjadi Khalifah disebabkan jawabannya itu. Dengan ikhlas ia menerima Utsman bin Affan r.a. sebagai Amirul Mukminin.

Sementara itu ada yang menafsirkan, bahwa perkataan “Ti­dak!” itu bukan ditujukan kepada pertanyaan Abdurrahman bin Auf yang berkaitan dengan keharusan berpegang kepada Ki­tab Allah dan Sunnah Rasul Allah, melainkan tertuju kepada ke­harusan mengikuti jejak Khalifah Abu Bakar r.a. dan Khalifah Umar r.a.

Imam Ali r.a. tidak dapat membenarkan kebijaksanaan Khalifah Abu Bakar r.a. dalam mengambil keputusan tentang tanah Fadak. Yaitu tanah hak-guna Rasul Allah s.a.w. yang dica­but oleh Khalifah Abu Bakar r.a. sepeninggal beliau dan dijadikan ­hak milik kaum muslimin (Baitul Mal). Demikian juga terhadap kebijaksanaan Khalifah Umar r.a. yang mengadakan penggolongan-­penggolongan dalam membagi-bagikan kekayaan Baitul Mal ke­pada kaum muslimin.



https://tausyah.wordpress.com